Anda di halaman 1dari 12

Anda Orang Minang?

HARUS BACA dan


BANGGALAH !
By Hamdi Mustapa - Wednesday, July 1, 2015 - 6 Comments

“Merantau” sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari Minangkabau. Asal usul


kata “merantau” itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau
yaitu “rantau”. Rantau pada awalnya bermakna : wilayah wilayah yang
berada di luar wilayah inti Minangkabau, tempat awal mula peradaban
Minangkabau periode terakhir sebelum zaman modern. Peradaban
Minangkabau mengalami beberapa periode atau pasang surut. Wilayah inti
itu disebut “darek” (darat) atau Luhak nan Tigo. Aktifitas orang orang dari
wilayah inti ke wilayah luar disebut “marantau” atau pergi ke wilayah
rantau.
Lama kelamaan wilayah rantau pun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya
wilayah rantau menjadi semakin jauh dan luas, bahkan di zaman modern
sekarang ini wilayah rantau orang Minangkabau bisa disebut di seluruh
dunia, walaupun wilayah tersebut tak akan mungkin masuk kategori
wilayah Minangkabau namun tetap disebut “rantau”. Filosofi dan tujuan
“merantau” orang Minang berbeda dengan imigrasi, urbanisasi, atau
transmigrasi yang dilakukan kelompok lain.

Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya
yang fenomenal adalah kaum Minangkabau. Seorang laki laki
Minangkabau saat menginjak usia dewasa muda (20-30 tahun) sudah
didorong pergi merantau oleh kultur / budaya adat Minangkabau yang
dianut suku tersebut sejak dulu kala, entah kapan bermulanya tak bisa
diketahui secara pasti. Tapi setidaknya berdasarkan sejarah yang masih
bisa ditelusuri sekitar abad ke 7 orang orang atau pedagang Minangkabau
berperan besar dalam pendirian kerajaanMelayu di wilayah Jambi
sekarang yang pada zamannya berada pada posisi yang strategis dalam
perdagangan di Selat Malaka atau Asia Tenggara umumnya.

Masyarakat Minangkabau dikenal punya tradisi merantau yang kuat.


Mereka telah mengembara ke wilayah Asia Tenggara lainnya sejak
berabad abad yang lalu. Keturunan mereka sampai saat ini masih ada
bahkan berkembang di banyak tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara,
Jambi, Bengkulu, Lampung atau wilayah Sumatera lainnya dan juga di
Jawa,Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Malaysia, Singapura, Brunei,
Filipina Selatan, dan lain lain.

Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau


yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak
berabad abad yang lalu. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang dikenal
sebagai pejuang gigih dan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh
pemerintah Indonesia adalah anak dan keponakan dari Nanta Setia
seorang Uleebalang VI Mukim, keturunan seorang perantau Minang yang
juga jadi uleebalang di Kesultanan Aceh pada abad ke 18. Dengan
dukungan raja PagaruyungMinangkabau, pada abad ke 15 perantau
Minangkabau sudah mulai bermukim di Negeri Sembilan semenanjung
Malaya. Komunitas keturunan perantau Minangkabau di Negeri Sembilan
yang populasinya cukup banyak akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan
raja pertamanya Raja Melewar yang diutus langsung dari Pagaruyung
Minangkabau. Pada pertengahan abad ke 20 seorang Raja Negeri
Sembilan yang keturunan Minangkabau Tuanku Abdul Rahman diangkat
menjadi raja Malaysia pertama dengan gelar Yang di-Pertuan Agong.

Empat orang putera raja Pagaruyung Minangkabau mengembara /


merantau ke selatan dan mendirikan Kepaksian Sekala Brak di wilayah
Lampung sekarang. Di Mindanao Selatan (Filipina) keturunan perantau
Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada sampai saat ini.
Gelar bangsawan mereka “Ampatuan” yang berasal dari Pagaruyung /
Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang. Di
Sulawesi Selatan keturunan Datuk Makotta Minangkabau sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bugis-Makassar sejak ratusan
tahun yang lalu. Di pesisir barat Sumatera Utara mulai dari Natal sampai
Sibolga, Sorkam dan Barus keturunan Minangkabau telah bertransformasi
dan telah berubah nama menjadi “Orang Pesisir”. Dahulunya nenek
moyang mereka berasal dari wilayah Painan, Padang dan Pariaman.
Sampai sekarang bahasa mereka hampir tak ada bedanya dengan bahasa
Minangkabau. Saat masa jayanya Bandar Malaka pada abad ke 15 di
semenanjung Malaya, di wilayah Batu Bara dan AsahanSumatera Utara
dulunya banyak bermukim komunitas Minangkabau dan menerapkan sistim
adat Minangkabau yang matrilineal sebelum berubah jadi patrilineal atas
desakanSultan Deli. Saat ini keturunan Minangkabau tersebut telah lebur
kedalam masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara.

Tidak hanya di Negeri Sembilan perantau Minangkabau mendirikan


kerajaan, pada akhir abad ke 14 seorang perantau Minang lainnya Raja
Bagindo juga mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan. Awang Alak
Betatar pendiri Kesultanan Brunei konon berasal dari Minangkabau juga,
bahkan saat acara peresmian replika Istana Pagaruyung di tahun 80 an
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah juga ikut hadir dan sempat mengatakan
bahwa leluhurnya berasal dari Pagaruyung Minangkabau. Kalau ditelusuri
lebih jauh lagi ke belakang, sebuah peninggalan sejarah dari abad ke 7
masehi yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang menyatakan bahwa
Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang setelah bertolak dari
Minanga Tamwan dengan membawa bala tentara sebanyak 20.000 orang.
Ada ahli sejarah yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan zaman kuno
yang berpusat di hulu sungai Batang Hari atau di hulu sungai Kampar itu
adalah Minangkabau sekarang.

Mengenai hal ini memang masih belum ada kesamaan pendapat di antara
para ahli sejarah, ada yang berpendapat Dapunta Hyang bertolak dari
Minanga Tamwan kearah selatan, lalu mendirikan wanua (kerajaan
Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang dianggap tepat. Sedangkan
ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan adalah kerajaan taklukan
Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pendapat yang
pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya mengingat prestasi
yang dicapai orang orang Minangkabau dalam petualangan perantauannya
baik dimasa lalu maupun dimasa kini.

Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian
hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau
individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan
perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta
Minangkabau juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu Datuk Ri
Bandang, Datuk Ri Pattimang, Datuk Ri Tiro merantau ke wilayah timur
dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara
pada awal abad ke 17. Sampai saat ini masyarakat setempat tetap
mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa wilayah Kalimantan Timur dan
Sulawesi Tengah, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Karama dikenang
masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu.

Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke Turki
dan menjadi bagian dari pasukan Janissary Turkiyang terkenal hebat pada
masanya yaitu awal abad ke 19. Kolonel H. Piobang seorang perwira
kavaleri dipercaya menjadi panglima pasukan yang berhasil mengalahkan
salah satu pasukan Napoleon dalam perang Piramid di Mesir. Perwira
lainnya Mayor H. Sumanik menjadi ahli perang padang pasir bersama H.
Miskin. Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang
ketiga anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri
pasukan militer dalam perang Padri.

Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang yang berpengaruh
adalah produk “perantauan”. Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa
dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini yang berasal dari
Minangkabau seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir yang
dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno danJenderal
Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Selain ketiga tokoh
tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya seperti
Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se
Dunia dan perdana menteri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi
pelopor Sumpah Pemuda pada tahun 1928, juga Agus Salimyang jadi
diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assaat. Di
bidang agama Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar
seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi orang non Arab pertama yang jadi
Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah dan Hamka yang dihormati dan
dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di
negara negara Asia Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua
orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan ’45 dan Sutan Takdir
Alisjahbanapelopor Pujangga Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian
hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.

Semua tokoh tokoh besar tersebut


adalah produk “perantauan”. Pencapaian yang tinggi oleh perantau
perantau itu akhirnya menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dan filosofi
orang orang Minang dalam “merantau”. Tidak mudah memahami tujuan
dan filosofi itu melalui artikel yang pendek ini. Secara sederhana bisa
direnungkan makna dari sebuah pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik
bajaso, mati bapusako (Hidup berjasa, mati berpusaka) yang berarti selagi
hidup harus memberi jasa agar setelah mati meninggalkan pusaka
(warisan nama baik) yang bisa dikenang sepanjang masa. Untuk
memahami lebih dalam lagi filosofi dan tujuan “merantau” orang Minang
perlu dibaca karya dari antropolog dan sosiolog ternama Mochtar Naim
dalam bukunya “Merantau”.

Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta
imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa
disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau
yang sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan
positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan tokoh tokoh
berpengaruh di nusantara ini.

Mereka adalah manusia manusia yang tak cepat berpuas diri, mereka akan
menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan keberanian
menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka
telah menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam
sejarah bangsa bangsa nusantara. Salah satu falsafah hidup mereka yang
paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru ikut berperan dalam
kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda dengan alam
Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh
apapun mereka merantau.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan
batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada
masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu
beladiri silat untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung
ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa
bekal sama sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara dan
kampung halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa,
kegigihan, dan keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat
kehidupannya.

Pada masa sekarang, dalam periode di negeri orang inilah orang Minang
yang merantau mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang
ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang.
Banyak bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar,
mengelola usaha angkutan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha
rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Karena
didorong oleh jiwa merdeka, sedikit di antara mereka yang merantau untuk
mencari pekerjaan sebagai orang gajian.

Bagi yang bertujuan menimba ilmu merekapun masuk sekolah sekolah


yang baik. Tak jarang mereka dijadikan pemimpin di komunitas perguruan
tersebut. Banyak di antara mereka menjadi orang besar dikemudian hari,
baik sebagai tokoh pengusaha, politisi, dokter, ilmuwan, birokrat, seniman,
profesional, ulama, militer dan polisi, dan lain lain.
Bila keadaannya dianggap sudah cukup mapan atau sukses setelah jangka
waktu tertentu, maka barulah ia akan pulang ke kampung halamannya
yang telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula para perantau ini lalu
berkeluarga, dan akhirnya menetap di perantauan. Bagi orang
Minangkabau, fenomena ini disebut “Marantau Cino” atau merantau
selamanya dan tak kembali lagi.

Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para perantau Minang
masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial
mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih
tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan
sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional
seperti “buah paruik”, “kaum” atau “suku”, dan lebih banyak berhimpun
dalam satuan nagari asal.

Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan


terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air
Sepakat atau SAS punya kantor perwakilan di banyak kota besar di
Indonesia dan beberapa di luar negeri seperti Malaysia, Singapura,
Jepang, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan lain lain.

Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini
mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah
rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi
konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya.
Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang
berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna
menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan
budaya sendiri.

Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga suku Minangkabau
hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun
mancanegara, perkiraan itupun tidak memasukkan keturunan
Minangkabau yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya
1000 tahun yang lalu diberbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia
pada masa modern ini. Banyak di antara keturunan mereka telah
bertransformasi menjadi orang “Minang Baru” atau bahkan suku suku baru
seperti “Aneuk Jamee” di Aceh, “Orang Pesisir” di pantai barat Sumatera
Utara, “Oghang Nogoghi” di Negeri Sembilan, dan entah apa lagi namanya
di wilayah wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan tali
persaudaraannya dengan Minangkabau. Bahkan terbetik berita tentang
keturunan Pagaruyung Minangkabau yang “terdampar” di pedalaman
Kalimantan Barat di sebuah negeri bernama Kudangan, yang oleh
masyarakat setempat diakui sebagai leluhur mereka.

Perantau Minangkabau yang fenomenal telah melahirkan suku suku baru


di nusantara ini, dan ini adalah sesuatu yang alami dalam dinamika
kehidupan alam. Banyak di antara mereka yang tak mengenal lagi
kampung halaman nenek moyang mereka yang hebat, yang jauh di
pedalaman Sumatera bagian tengah, di dataran tinggi bergunung gunung
gagah yang memberi hawa sejuk dan di lembah berdanau danau indah
yang pinggirannya jadi tepian mandi sejak dulu kala sampai masa kini.(*)

Anda mungkin juga menyukai