Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya
yang fenomenal adalah kaum Minangkabau. Seorang laki laki
Minangkabau saat menginjak usia dewasa muda (20-30 tahun) sudah
didorong pergi merantau oleh kultur / budaya adat Minangkabau yang
dianut suku tersebut sejak dulu kala, entah kapan bermulanya tak bisa
diketahui secara pasti. Tapi setidaknya berdasarkan sejarah yang masih
bisa ditelusuri sekitar abad ke 7 orang orang atau pedagang Minangkabau
berperan besar dalam pendirian kerajaanMelayu di wilayah Jambi
sekarang yang pada zamannya berada pada posisi yang strategis dalam
perdagangan di Selat Malaka atau Asia Tenggara umumnya.
Mengenai hal ini memang masih belum ada kesamaan pendapat di antara
para ahli sejarah, ada yang berpendapat Dapunta Hyang bertolak dari
Minanga Tamwan kearah selatan, lalu mendirikan wanua (kerajaan
Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang dianggap tepat. Sedangkan
ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan adalah kerajaan taklukan
Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pendapat yang
pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya mengingat prestasi
yang dicapai orang orang Minangkabau dalam petualangan perantauannya
baik dimasa lalu maupun dimasa kini.
Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian
hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau
individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan
perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta
Minangkabau juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu Datuk Ri
Bandang, Datuk Ri Pattimang, Datuk Ri Tiro merantau ke wilayah timur
dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara
pada awal abad ke 17. Sampai saat ini masyarakat setempat tetap
mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa wilayah Kalimantan Timur dan
Sulawesi Tengah, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Karama dikenang
masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu.
Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke Turki
dan menjadi bagian dari pasukan Janissary Turkiyang terkenal hebat pada
masanya yaitu awal abad ke 19. Kolonel H. Piobang seorang perwira
kavaleri dipercaya menjadi panglima pasukan yang berhasil mengalahkan
salah satu pasukan Napoleon dalam perang Piramid di Mesir. Perwira
lainnya Mayor H. Sumanik menjadi ahli perang padang pasir bersama H.
Miskin. Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang
ketiga anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri
pasukan militer dalam perang Padri.
Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang yang berpengaruh
adalah produk “perantauan”. Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa
dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini yang berasal dari
Minangkabau seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir yang
dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno danJenderal
Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Selain ketiga tokoh
tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya seperti
Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se
Dunia dan perdana menteri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi
pelopor Sumpah Pemuda pada tahun 1928, juga Agus Salimyang jadi
diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assaat. Di
bidang agama Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar
seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi orang non Arab pertama yang jadi
Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah dan Hamka yang dihormati dan
dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di
negara negara Asia Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua
orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan ’45 dan Sutan Takdir
Alisjahbanapelopor Pujangga Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian
hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.
Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta
imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa
disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau
yang sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan
positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan tokoh tokoh
berpengaruh di nusantara ini.
Mereka adalah manusia manusia yang tak cepat berpuas diri, mereka akan
menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan keberanian
menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka
telah menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam
sejarah bangsa bangsa nusantara. Salah satu falsafah hidup mereka yang
paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru ikut berperan dalam
kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda dengan alam
Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh
apapun mereka merantau.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan
batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada
masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu
beladiri silat untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung
ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa
bekal sama sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara dan
kampung halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa,
kegigihan, dan keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat
kehidupannya.
Pada masa sekarang, dalam periode di negeri orang inilah orang Minang
yang merantau mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang
ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang.
Banyak bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar,
mengelola usaha angkutan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha
rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Karena
didorong oleh jiwa merdeka, sedikit di antara mereka yang merantau untuk
mencari pekerjaan sebagai orang gajian.
Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para perantau Minang
masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial
mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih
tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan
sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional
seperti “buah paruik”, “kaum” atau “suku”, dan lebih banyak berhimpun
dalam satuan nagari asal.
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini
mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah
rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi
konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya.
Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang
berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna
menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan
budaya sendiri.
Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga suku Minangkabau
hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun
mancanegara, perkiraan itupun tidak memasukkan keturunan
Minangkabau yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya
1000 tahun yang lalu diberbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia
pada masa modern ini. Banyak di antara keturunan mereka telah
bertransformasi menjadi orang “Minang Baru” atau bahkan suku suku baru
seperti “Aneuk Jamee” di Aceh, “Orang Pesisir” di pantai barat Sumatera
Utara, “Oghang Nogoghi” di Negeri Sembilan, dan entah apa lagi namanya
di wilayah wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan tali
persaudaraannya dengan Minangkabau. Bahkan terbetik berita tentang
keturunan Pagaruyung Minangkabau yang “terdampar” di pedalaman
Kalimantan Barat di sebuah negeri bernama Kudangan, yang oleh
masyarakat setempat diakui sebagai leluhur mereka.