Anda di halaman 1dari 93

Kebudayaan Minahasa

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. KEBUDAYAAN MINAHASA


II.1.1. IDENTIFIKASI
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada
bagian timur laut jazirah Sulawesi Utara. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut
diri meraka Orang Manado/Touwenang, Minahasa, atau Kawanua. Sedangkan Suku
Minahasa adalah salah satu suku bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari Kabupaten
Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa sebagian besar tersebar di seluruh
provinsi Sulawesi Utara.
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
1. Babontehu
2. Bantik
3. Pasan Ratahan
4. Ponosakan
5. Tonsea
6. Tontemboan
7. Tondano
8. Tonsawang
9. Tombulu
Di antara sembilan subsuku di atas, yang termasuk subsuku terbesar adalah :
Tontemboan, Tonsea, Tombulu, dan Bantik.
Minahasa berasal dari kata "MINAESA" yang berarti persatuan, yang mana zaman
dahulu Minahasa dikenal dengan nama "MALESUNG".
Menurut penyelidikan dari Wilken dan Graafland bahwa pemukiman nenek moyang orang
Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, kemudian berkembang dan
berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini).
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut pada waktu itu
dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
 Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat
 Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan

4
Kebudayaan Minahasa

 Pasiowan Telu : Rakyat


Berdasarkan penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670 di Minahasa telah
terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat
istiadat serta pembagian wilayah Minahasa. Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi
dalam beberapa anak suku, yaitu:
 Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut
 Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara
 Anak suku Toulour : menuju timur (atep)
 Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar
Pada saat itu belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan
Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah
permulaan abad XV dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan
terjadinya perang dengan Bolaang Mongondow, maka penyebaran penduduk makin meluas
keseluruh daerah minahasa. hal ini sejalan dengan perkembangan anak suku sepert anak
suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan bantik.
Di Minahasa sejak dahulu tidak mengenal adanya pemerintahan yang diperintah
oleh raja. Yang ada adalah:
 Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun
 Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang
dipilih menjadi kepala walak
 Teterusan : Panglima perang
 Potuasan : Penasehat
Sebutan "SI TOU TIMOU TUMOU TOU" dalam bahasa Minahasa artinya:
"Manusia hidup untuk menghidupkan manusia". Ini jadi moto keturunan Minahasa asli.
Kata 'Tou' berarti manusia di bahasa Minahasa. 'Timou' berarti hidup. 'Tumou'
berarti mengembangkan, merawat dan mengajar.
Filosofi kehidupan yang berasal dari Minahasa tua ini jadi sering dikutip oleh
almarhum Dr. G.S.S.J. Ratu-Langie (Dr. Sam Ratulangi, 1890-1949), seorang filosof
Minahasa, guru dan pahlawan nasional di Indonesia.
Pulau Sulawesi, dulu dipanggil Celebes, terletak di kalung mutiara archipelago
Indonesia, terbentuk seperti salah satu bunga anggrek. Sulawesi Utara, sesuatu daerah yang
indah, terletak di bagian utara timur Sulawesi, mencakup 27.515 km persegi yang terdiri
dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe

5
Kebudayaan Minahasa

danTalaud.
Sulawesi Utara juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah
tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup
dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga
menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara
mencakup antara lain binatang langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan
Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Untuk melindungi fauna ini, sebuah kebun alam telah di berdirikan. Taman laut
yang sangat menakjubkan menyelenggarakan petualangan dibawah air. Variasi yang luar
biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi
yang unik akan memikat pengunjung dari luar.
Penduduk Minahasa adalah orang Kristen yang ramah dan salah satu suku-bangsa
yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi
saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Tetapi hanya saat orang Belanda tiba,
agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang
Belanda. "Minahasa" berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-
patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Sulawesi Utara jadi salah satu produsen kelapa, cengkeh dan pala yang terbesar di
Indonesia, yaitu menambah pada kekayaan alamnya.

II.1.1.a. Legenda Minahasa (Toar Lumimu'ut)


Minahasa adalah suatu daerah yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi
(dahulu disebut Celebes) di Indonesia. Penduduk menyebut diri mereka sendiri 'Orang
Minahasa', sedangkan Minahasa yang tinggal di luar Minahasa menyebut diri mereka
sendiri Kawanua, yang berarti ´keluarga´.
Kalau anda berada di Minahasa anda akan segera mendengar nama Toar dan
Lumimu'ut disebut. Di Kota Manado sendiri terdapat sepasang patung ini.
Ini adalah cerita tentang Toar dan Lumimu'ut. Menurut cerita legenda, nenek moyang
Minahasa datang dari Monggolia. Orang-orang Monggolia merupakan sebuah kelompok
yang sulit di kendalikan dimana, setelah mereka menyerbu Cina, untuk mencari tempat
tinggal. Orang Monggolia yang terkenal adalah Genghis Khan.
Kelompok-kelompok Monggolia berlayar dengan kapal dan tiba di Celebes Utara
melalui Philipina. Hal ini menjelaskan mengapa orang Philipina dan orang Minahasa
umumnya mempunyai mata yang agak sipit. Mereka (orang Mongol) juga pergi sampai ke
6
Kebudayaan Minahasa

dalam Celebes yang sekarang di sebut Tanah Toraja di Celebes Tengah. Disana atap-atap
rumah dan bangunan-bangunan tradisional mempunyai bentuk kapal berlayar dengan
ikatan simpul yang menunjuk ke arah utara. Disini mereka menggambarkan tentang
penyerbu tersebut yang sebagai Tuhan yang datang dari Utara
Menurut legenda, orang Minahasa berasal dari kedua orang ini yang datang ke
Celebes bagian utara, mereka adalah lelaki Toar (matahari) dan wanita Lumimu'ut (tanah).
Lumimu'ut adalah seorang prajurit wanita, yang dibentuk dari batu karang, dicuci dalam
laut, dipanaskan oleh matahari dan disuburkan oleh Angin Barat. Mereka, awal mulanya,
berkemah di pulau vulcanic, Manado Tua, dekat tepi laut Minahasa, seberang
Manado."Ibunya sangat cantik. Namanya adalah Lumimu'ut dan dia adalah seorang
keturunan tuhan. Kecantikannya yang luar biasa mempesonakan dan awet muda yang
dianugrahi kepadanya. Ketika anak lelakinya, Toar, sudah menjadi seorang pemuda dia
meninggalkan ibunya untuk menjelajahi dunia. Lumimu'ut memiliki sebuat tongkat
perjalanan yang panjang dan ketika dia mengucapkan perpisahan kepada Toar dia
memberikannya sebuah tongkat yang sama panjangnya dan dia memperingatkan nya untuk
tidak menikah dengan anggota keluarga; oleh sebab itu dia seharusnya tidak boleh
menikahi seorang perempuan yang mempunyai tongkat yang sama panjang seperti
miliknya. Bertahun-tahun lamanya dan perjalan panjang kemudian Toar kembali ke
kampung halamannya. Disana dia bertemu dengan seorang wanita muda cantik dimana dia
jatuh cinta dan ingin menikahinya. Dia tidak mengenal ibunya sendiri yang memang tetap
abadi awet muda, dan dari pihak ibunya sendiri tidak mencurigai sama sekali bahwa
pemuda dewasa yang ganteng ini adalah anaknya sendiri.
Sebelum mengambil sumpah perkawinan Toar ingat akan permintaan ibunya ketika
dia akan meninggalkannya untuk perjalanan panjang. Oleh sebab itu dia meletakkan
tongkatnya di samping tongkat calon istrinya untuk membandingkan panjangnya.
Tetapi selama perjalanan panjangnya dia sudah memakai banyak tongkatnya, sehingga
tongkat tersebut menjadi jauh lebih pendek. Sehingga tidak ada halangan lagi untuk nenek
moyang Minahasa ini.
Ketika kemudian mereka mengetahui kesalahan mereka, sudah sangat terlambat
dan dengan rasa malu mereka meninggalkan rumah kota mereka. Selama perjalanan
mereka, mereka kemudian tiba di Celebes Utara di pulau volcanic di Menado Tua,
seberang pantai dekat Manado di Minahasa
Setelah beberapa waktu kemudian Toar dan Lumimu'ut akhirnya memutuskan
untuk pergi ke pantai di benua tersebut. Ketika mereka tiba disana mereka merasa pantai
7
Kebudayaan Minahasa

terlalu panas, oleh sebab itu mereka pergi lebih dalam di desa tersebut dan menetap di
gunung Tondano dimana iklimnya sejuk dan segar. Disini mereka melahirkan anak-anak
mereka dan perlahan mendiami daerah tersebut. Akhirnya tentu saja anak-anak Toar dan
Lumimu'ut menginginkan daerah meraka masing-masing. Legenda menceritakan bahwa
Toar mengizinkan masing-masing anaknya memilih sebidang daerah dan melemparkan
batu-batu di jurusan yang berbeda-beda. Dimana batu-batu tersebut jatuh disitulah muncul
kolonisasi baru Tonsea (manusia yang suka air), Tondano (manusia yang suka danau),
Tombulu (manusia yang suka bulu), Tombasso, Tontemboan (Tompakewa), Toulour,
Tomohon. Di legenda tersebut ke-7 tempat ini adalah ke tujuh daerah Minahasa yang
kemudian membuat suku dengan kepala sukunya masing-masing (Kepala Suku, Tonaas,
Hukum Tua atau Hukum Besar)
Menurut mitos ini Penciptaan manusia turun temurun adalah dari wanita dan bukan,
sebagaimana di agama Kristen, dari laki-laki yang rusuknya diambil untuk menciptakan
wanita. Patung Toar dan Lumimu'ut berdiri di lapangan kecil di Manado, dimana bukan
ibu kota Minahasa, karena itu adalah Tondano. Manado, bagaimanapun, adalah ibu kota
dari Propinsi Sulawesi Utara dan daerah Minahasa secara luas sehubungan dengan
administrasi dan masalah ekonomi. Pendiriannya secara resmi dianggap dibuat oleh Dotu
Lolong Lasut, yang diperingati dengan sebuah patung di kota. Lokasi patung Toar dan
Lumimuut di pusat Manado dapat di dianggap sebagai simbol persatuan/penggabungan
Manado oleh orang Minahasa.

II.1.1.b. Administrasi
Dengan lembaran Negara Nomor 64 Tahun 1919, minahasa di jadikan daerah
otonom. Pada saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : distrik tonsea, manado, bantik,
maumbi, tondano, touliang, Minahasa, sarongsong, tombariri, sonder, kawangkoan,
rumoong, tombasian, pineleng, tonsawang, dan tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut
dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik manado, tonsea, Minahasa, kawangkoan, ratahan,
dan amurang.
Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang
berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado.
Kemudian karena kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung,
berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 Yahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah
ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan
menjadi Kota Bitung.
8
Kebudayaan Minahasa

Batas wilayah administratif Kabupaten Minahasa adalah :


 Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara.
 Selatan : Berbatasan dengan kabupaten Minahasa selatan
 Barat : Berbatasan dengan Kota Manado dan laut sulawesi
 Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara dan Laut Maluku
Adapun luas kecamatan-kecamatan di Kabupaten Minahasa dan jumlah desa /
kelurahannya adalah sebagai berikut :

Kecamatan Luas Wilayah (Km3) Jumlah Desa/Kelurahan


Tombulu 75,25 8
Pineleng 61,04 14
Tombariri 129,20 14
Tondano Utara 52,00 7
Tondano Barat 64,5 9
Tondano Timur 35,12 11
Tondano Selatan 16,5 8
Eris 42,20 7
Kombi 21,30 11
Lembean Timur 40,60 7
Kakas 145,10 20
Remboken 38,70 11
Sonder 46,70 10
Kawangkoan 47,99 13
Tompaso 30,09 11
Langowan Barat 40,85 12
Langowan Timur 13,70 10
Langowan Selatan 69.04 8

Jumlah penduduk Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2006
adalah 304.298 Jiwa. Kabupaten Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis
minahasa yang mendiami daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18
kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :

JUMLAH KEPADATAN
KECAMATAN
PENDUDUK PER KM

9
Kebudayaan Minahasa

TONDANO UTARA 10.064 374


TONDANO BARAT 18.588 547
TONDANO SELATAN 17.196 126
TONDANO TIMUR 13.903 381
LANGOWAN BARAT 18.873 364
LANGOWAN SELATAN 8.057 15
LANGOWAN TIMUR 17.773 130
KAKAS 22.177 184
TOMPASO 14.535 491
REMBOKEN 11.488 202
KAWANGKOAN 26.218 532
TOMBARIRI 25.512 180
SONDER 18.114 319
ERIS 12.843 320
LEMBEAN TIMUR 8.855 131
KOMBI 11.133 92
PINELENG 34.822 250
TOMBULU 14.147 164
JUMLAH 304.298 273

Sumber : Dinas Catatan Sipil & kependudukan Kab. Minahasa

II.1.1.c. Sejarah Minahasa


Era Megalith
Secara garis besar, benda megalit yang ditemukan di Minahasa dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis megalit yaitu: peti kubur, menhir, lumpang batu, batu bergores,
altar batu, batu dakon dan arca batu atau arca menhir. Peti kubur batu di Minahasa disebut
dalam bahasa daerah dengan istilah waruga. Benda ini merupakan tinggalan megalit yang
sangat dominan di Minahasa. Jenis megalit yang lain adalah menhir. Diperkirakan menhir
yang disebut dalam bahasa daerah dengan istilah watu tumotowa pada mulanya juga
merupakan benda megalit yang cukup dominan di Minahasa, dan berfungsi sebagai tanda
pendirian suatu daerah atau desa. Pada umumnya menhir dari daerah ini sangat sederhana
dan tidak dikerjakan secara intensif, bahkan banyak yang tidak dikerjakan sama sekali
bentuknya sehingga tetap sama dengan bentuk alamiahnya, kemungkinan sudah banyak
10
Kebudayaan Minahasa

menhir yang dimanfaatkan dan digunakan untuk keperluan lain Lumpang batu adalah jenis
megalit lainnya yang ditemukan di Minahasa bagian selatan. demikian pula halnya dengan
batu bergores, yang meskipun tidak banyak temuannya, tetapi merupakan tinggalan yang
cukup penting. Jenis-jenis megalit yang lain yaitu altar batu, batu dakon dan arca batu atau
arca menhir juga merupakan megalit yang ditemukan di Minahasa. Jenis-jenis megalit
semacam ini jumlahnya tidak banyak dan daerah sebarannya juga sangat terbatas.
1512
Armada perdagangan Portugis secara resmi mengirim Antonio de Abreu ke
Maluku. Pada tahun tersebut Portugis juga mengirimkan tiga kapal layar ke Manarow
(Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut orang Portugis memina pertolongan dari suku
Babontehu untuk memperkenalkan mereka kepada kepala Walak Wenang, Dotu Ruru-
Ares. Orang Portugis sudah melihat banyak kapal barang rongsokan Cina di Teluk
Manado. Selain itu, dari pelaut-pelaut Cina orang Portugis memperoleh lokasi Macao (dan
kemudian ditemukan pada tahun 1523).
1518
Maksud kedatangan orang Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang
tanah. Tetapi tujuan untuk menyewa tanah di Wenang gagal karena kepala Walak Ruru-
Ares tidak setuju untuk memberikan mereka sebuah tempat. Setelah kegagalan ini Portugis
kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (sekarang Amurang) dan disana mereka
mendirikan Benteng Amurang. Ketika mereka tiba di Uwuran, Portugis yang saat itu
membawa lebih banyak pedagang dan pimpinan rohani dari pada serdadu, belum berani
memasuki daerah pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di
tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa, seperti di Siauw.
1520
Sementara itu Sultan Demak di Jawa membawa kehancuran kerajaan Majapahit
yang sangat kuat. Sebuah kekaisaran Muslim yang kuat berkembang dengan pusatnya di
Melaka (Malaka) di Semenanjung Malayu.
1521
Jalur ke kepulauan Maluku baru didirikan oleh Portugal. Sebelumnya pemimpin
kapal-kapal Spanyol, Ferdinand Magelhaens, menemukan sebuah jalur pelayaran seperti
yang pernah dilakukan oleh Portugis. Perbedaannya adalah bahwa jalur ini dilakukan di
sekitar tanjung Amerika Selatan melintasi Samudera Pasifik dan mendarat di Kepulauan
Sangir Talaud di Laut Sulawesi. Orang Spanyol mendirikan kantor perdagangan (Loji) di
Wenang, yang berlokasi di pasar 45 (sekarang Pasar Jengky), dengan izin dari kepala
11
Kebudayaan Minahasa

Walak Wenang, yang pada waktu itu adalah Dotu Lolong Lasut. Sejak kantor perdagangan
Spanyol sudah ada, orang Cina mulai mendirikan tempat mereka dekat kantor tersebut.
Sebelumnya orang Cina serta Portugis menurunkan barang-barang mereka di pulau
Manarow, yang pada waktu itu lebih terkenal dengan Spanyol-Portugis daripada Wenang.
Spanyol menjadikan pulau Manarow sebagai tempat persinggahan untuk mengambil air
minum. Dari pulau itu kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi Utara melalui
Sungai Tondano (sekarang Sungai Manado). Pengembara-pengembara Spanyol membuat
kontak dengan penduduk melalui perdaganan ekonomi tukar menukar, yang dimulai di
Uwuran (Amurang) di pinggir sungai Rano I Apo. Barang-barang yang ditukar adalah
beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya yang ditukar dengan ikan dan garam.
1523
Walaupun wanita-wanita yang tinggal di sekitar tepi laut sudah banyak yang
bersuamikan orang Portugis, penduduk wanita di daerah pegunungan hanya menikah
dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol. Salah satu contoh adalah seorang wanita
muda dari Kakaskasen Minahasa yang bernama Lingkan Wene yang menikah dengan
seorang Kapten Spanyol yang bernama Juan de Avedo. Kemudian anak lelaki dari
pasangan suami istri ini diberi nama Mainalo Wula'an karena mempunyai mata bulat
bening (Indo Spanyol). Perkawinan wanita Minahasa dengan pria asal Spanyol ini ternyata
tidak disukai oleh orang Portugis karena orang Portugis beranggapan bahwa Spanyol akan
memegang kontrol terhadap daerah Minahasa.
1540
Orang Eropa mendatangi daerah Sulawesi Utara; daerah yang secara nominal
tunduk kepada Sultan Ternate, yang menuntut penghormatan dari suku-suku pantai dan
memperkenalkan agama Muslim diantara beberapa penduduk bahari. Ketika orang
Portugis memperoleh kekuatan dan pengaruh di Ternate dan menjadikan Sultan tersebut
budak mereka, mereka juga mengambil milik Minahasa dan mendirikan pabrik di Wenang.
1541
Nama Manado ditempatkan di peta dunia oleh kartografer Nicolas Desliens. Pada
mulanya peta tersebut menunjuk pada pulau Manarow (sekarang Manado Tua), tetapi,
ketika Wenang menjadi pusat perdagangan, nama Manado menunjukkan Wenang,
menjadikan kepulauan Manarow menjadi Mando Tua. Minahasa menjadi penting bagi
orang Spanyol karena tanah subur dan pernah digunakan oleh Spanyol untuk menanam
kopi yang datang dari Amerika Selatan, untuk di dagangkan di Cina. Untuk alasan itu

12
Kebudayaan Minahasa

Manado dibangun untuk menjadi pusat perdagangan bagi pedagang Cina yang berdagang
kopi di Cina.
1550
Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak
Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke
Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang
dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk
menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehingga akhirnya Spanyol
dapat menduduki Minahasa.
1570
Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehingga membuat
keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke
Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut
menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke
Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
1595
Ekspedisi pertama Belanda ke Asia dengan tujuan untuk mencapai pulau bumbu.
'Compagnie van Verre' memberangkatkan tiga kapal yang diperlengkapi dan dipersenjatai
dengan baik di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (1565-1599) dan Gerrit van
Beuningen. Kapten Pieter Dirksz de Keyser mempunyai rute gambaran dari Jan Huygen
van Linschoten (1563-1611) yang pernah mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal
Portugis. 'Mauritius', 'Hollandia' dan 'Amsterdam', diiringi oleh kapal pesiar kecil
'Duyfken', berangkat pada tanggal 2 April 1595 dari Texel dan tiba di Bantam, sebuah
pelabuhan lada yang paling penting di Jawa Barat, pada Juni 1596. Perjalanan tersebut
mengalami kesulitan dengan banyaknya pertikaian dan kehilangan banyak jiwa. Pada
Agustus 1597 ketiga kapal tersebut kembali dengan 87 orang yang selamat dari 249 awak
kapal pada mulanya. Walaupun secara keuangan tidak berhasil perjalanan tersebut telah
membuktikan bahwa perjalanan ke Asia memungkinkan.
1598
Oude Compagnie' (perpaduan dari sebuah perusahaan yang baru didirikan dengan
Compagnie van Verre) dari Amsterdam melengkapi sebuah armada yang berdiri dari
delapan kapal di bawah komando Jacob van Neck (1564-1638). Ini disebut 'Tweede
Schipvaart' (Pelayaran Kapal Kedua) yang sangat sukses dan kembali dari Bantam satu
tahun kemudian dengan empat kapal yang penuh muatan. Kapal lainnya berlayar menuju
13
Kebudayaan Minahasa

ke kepulauan Molucca. Wijbrand van Warwijck (1569-1615) berlabuh di Celebes, Ambon


dan Ternate, Jacob van Heemskerck (1567-1607) berlabuh di Banda. Juga di pelabuhan
Middelburg, Veere dan perusahaan Rotterdam yang didirikan memberangkatkan sebanyak
14 kapal ke Aisa, di bawah komando antara lain Gerard le Roy, Cornelis de Houtman and
Olivier van Noort (1559-1627).
1599
Oude Compagnie memperlengkapi keseluruh 7 kapal di bawah komando Steven
van der Haghen (1563-1624) dan Jacob Wilckens, 'Nieuwe Brabantse Compagnie'
memperlengkapi 4 kapal dibawah komando Pieter Both (1550-1615). Steven van der
Haghen mendapat izin penggunaan kastil Van Verre di Ambon dari penduduk
semenanjung Hitu yang ditukar dengan bantuan militer untuk melawan orang Portugis.
Sebuah serangan pada benteng Leitimor milik Portugis di Ambon timur mengalami
kegagalan. Cornelis de Houtman berlabuh di Atjeh dan meninggal dalam sebuah
pertemburan melawan penduduk lokal.
1600
Belanda membantu kepala suku Maluku untuk mengeluarkan orang Portugis, yang
pengaruhnya di negara ini mereka peroleh, dan dipertahankan terus-menerus sejak itu.
1602
Pada 20 Maret 1602 'Staten Generaal' Belanda mengeluarkan sebuah monopoli
perdagangan dan pengapalan di Asia selama 21 tahun lamanya sampai 'Verenigde Oost-
Indische Compagnie', VOC. Paten ini di perpanjang di tahun-tahun yang akan datang.
Perserikatan Jendral juga memperbolehkan VOC membangun benteng dan bertransaksi
sebanyak mungkin kerugian kepentingan Portugis dan Spanyol di Asia. Perusahaan
tersebut mempunyai enam bagian atau "kamar" di Belanda, di kota Amsterdam,
Middelburg, Rotterdam, Delft, Hoorn dan Enkhuizen. Kamar-kamar tersebut dilengkapi
kapal masing-masing, yang manajemen-nya ditentukan oleh 'Heren Zeventien', sebuah
komisi yang terdiri dari pimpinan-pimpinan delegasi dari enam Kamar, yang secara
bergiliran bertemu di Amsterdam dan Middelburg. Aset perusahaan (6.5 juta guilders)
dikumpulkan oleh pemegang saham yang menerima deviden (keuntungan saham) menurut
pembagian keuntungan dari kepulangan kargo-kargo dari Asia ke Republik.
1603
Armada pertama VOC sebanyak dua belas kapal yang bersenjata berat ditempatkan
di bawah komando Steven van der Haghen. Salah satu tugasnya adalah menyerang
bangunan Portugis di Goa dan Mozambik. VOC mendirikan sebuah pos perdagangan di
14
Kebudayaan Minahasa

Bantam, yang mana sudah pernah di lakukan oleh Inggris setahun sebelumnya. Spanyol
membangun sebuah benteng di Maluku. Penguasa-penguasa Manado ingin menyingkirkan
para penyerbu Spanyol. Mereka meminta pertolongan dari VOC Belanda di Ternate.
1605
Steven van der Haghen mengeluarkan orang Portugis dari Maluku dan
membaptiskan benteng Leitimor menjadi Fort Victoria. Dia merancang sebuah kontrak
dengan penduduk Hitu untuk persediaan cengkeh. Sedangkan dengan Banda sebuah
perjanjiaan dibuat untuk persediaan pala.
1606
Orang Spanyol dari Filipina menyerbu Benteng Tidor yang ditinggalkan oleh orang
Portugis di Halmaheira.
1607
Kapal-kapal VOC untuk pertama kali memasuki bandar Manado untuk membeli
beras dan bahan pangan lainnya yang diperlukan sebagai bekal bagi perjalanan menuju
daratan Cina. Namun mereka tidak berhasil karena larangan Spanyol yang telah menguasai
niaga Sulawesi-Utara.Gubernur Cornelis Mattelief dari Batavia mengutus Jan Lodewijk
Rossingeyn menjalin hubungan niaga, namun ditolak oleh Spanyol. VOC menjalin
hubungan persahabatan dengan para pemuka kesultanan Maluku pada tahun 1607 yang
dendam terhadap Spanyol. Hal ini terjadi karena Spanyol menangkap Sultan Sahid Berkat
dan mengasingkannya ke Manila. Pihak kesultanan Ternate mendekati Belanda sebagai
pengimbang menghadapi kekuatan Spanyol.
1610
Usaha pendekatan dengan Minahasa dilanjutkan ketika pimpinan VOC di Batavia
mengutusKapten Verhoeff yang juga mengalami kegagalan. Verhoeff memberi laporan
lengkap mengenaipotensi yang dimiliki Minahasa hingga menarik minat Batavia untuk
menguasaiSulawesi Utara bagi kepentingan keamanan VOC di Maluku. Jaminan
keamanan dari VOC diperoleh Ternate ketika pangerah Sahid, Sultan Modafar diangkat
menduduki singgasana kepemimpinan pada 1610 tanpa gangguan Spanyol.
1614
Pihak VOC mulai mengkonsolidir sebuah angkatan perang di Ambon untuk
merebut Laut Sulawesi dari orang Sepanyol. Pertempuran singkat Spanyol-Belanda
berkecamuk pada bulan Agustus dikepulauan Siau, yang mana dimenangkan oleh Belanda.
Setelah kekalahan di Siau, Spanyol memusatkan kekuatannya di Manado. Untuk

15
Kebudayaan Minahasa

menghadapi serbuan Belanda mereka membangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang
berhadapan dengan pulau Manado Tua.
1630
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an dinikahkan dengan gadis asal
Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian
dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-
Untu sementara istrinya di beri gelar Lingkan Wene.`Muntu-Untu dan Lingkan Wene
dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol bernama Ordo Fransiscan.
Kemudian mereka memperoleh status sebagai Raja Manado. Simon Kos, seorang Belanda,
pejabat VOC di Ternate memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos
melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat
pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche
Compagnie.”
Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi
letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-
Timur.
Kehadiran Belanda dan Inggris sebagai adi-kuasa di perairan Maluku memberi
angin bagi para walak tanah Minahasa untuk mengusir Spanyol dari Minahasa dengan
melakukan pendekatan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Ternate setelah
berhasil menyingkirkan kekuatan Portugis diperairan Maluku. Pendekatan terjadi ketika
tiga kepala walak masing-masing: Supit, Paat‚ dan Lontoh‚ melakukan misi diplomasi dan
berhasil menemui perwakilan VOC diTernate pada 1630.
1634
Perang di Maluku dimana VOC mencoba menyelenggarakan monopoli cengkeh
dengan cara kekerasan. Dengan bantuan mitra lokal persediaan untuk konsumen lain
(penyelundupan secara VOC) dicegah dan perkebunan cengkeh dimusnahkan. Tindakan
keras VOC tersebut menyebabkan banyaknya perlawanan dengan penduduk Hitu dan
menimbulkan pertempuran yang berdarah. Hitus mendapatkan bantuan dari raja Ternate
dan sultan dari Gowa. Makassar di Gowa adalah pusat perdagangan penting di Celebes
(Sulawesi) Selatan dimana bumbu didagangkan diluar VOC.
1637
Van Diemen melakukan aksi keras terhadap pasukan Ternate di Hoamoal (di
Seram).

16
Kebudayaan Minahasa

1645
Kepala-kepala walak Minahasa, Umbo (Tonsea), Lonta’an (Kakaskasen), Lumi
(Tomohon), Taulu (Wenang), Kalangi (Ares), Posuma (Tombariri), Sawij (Jurubahasa),
memakai perahu raja Siaw untuk berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama
dengan V.O.C Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian, mereka
adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak Minahasa adalah dari golongan Tona'as.
1648
Spanyol kehilangan dominasi terhadap Laut Sulawesi antara penguasa Spanyol
dengan Belanda di Eropa melalui Perjanjian Munster.
1651
Perang antara Belanda dan Portugal dilanjutkan. Di Ceram-Barat (Hoamoal)
pemberontak-penberontak dari Ternate membunuh 150 orang anggota VOC dengan istri
dan anak-anak mereka. Spanyol mengirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina untuk
mempertahankan posisi Sulawesi-Utara terutama tempat penghuni masyarakat Minahasa.
Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat dipesisir pantai dengan bantuan
prajurit asal Makassar. Karena yang terakhir ini mengklaim Sulawesi-Utara sebagai bagian
dari wilayah kesultanan Makassar.
1655
Arnold de Vlamingh dari Outshoorn (1608-1661) mengakhiri perang di Maluku
dengan paksaan. Hoamoal di Ceram-Barat dihancurkan dan penduduk-penduduknya diusir
ke Ambon. Ternate juga dihukum Orang Belanda di Minahasa lebih kuat dibanding
Spanyol. Pendudukan Espanyol di Minahasa menimbulkan reaksi Belanda di Ternate.
Dibawah pimpinan Simon Kos, pada akhir tahun Belanda mendarat secara paksa di muara
sungai dan langsung mulai membangun benteng.
1658
Pembangunan Benteng ‘De Nederlandsche Vastigheit’, dari kayu-kayu balok
sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan
pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk
mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi,
posisi Belanda di Maluku akan aman terhadap Spanyol.
1660
Untuk mengurangi produksi berlebihan penanaman cengkeh di Ambon dikontrol
mulai saat itu. Penanaman dan pemanenan di kontrol ketat, pohon yang kelebihan di cabut.

17
Kebudayaan Minahasa

1661
Awal tahun 1661, dengan bantuan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar dari
Ternate menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant.
Kekuatan ini mengalahkan orang Spanyol dan Makasar hingga ke Manado dan Amurang.
1673
Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng tua
dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford
Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, Cornelis Francx‚ pada 14
Juli (Benteng tersebut terletak dikota Manado, dibongkar oleh Walikota Manado pada
1949 - 1950).
1677
Belanda mengeluarkan Portugis dari Manado dan menduduki tempat tersebut
sebagai ibu kota dari salah satu daerah dibawah pemerintahan Maluku. Belanda menduduki
Pulau Sangir.
1679
Gubernur Belanda dari Moluccas, Robertus Padtbrugge, mengunjungi Manado.
Kunjungan ini menghasilkan sebuah perjanjian pada 10 Januari di Benteng Belanda di
Manado (sekarang Pasar Jengky) dengan kepala lokal Minahasa. Minahasa diwakili oleh
Supit, Lontoh and Paat. Perjanjian tersebut akhirnya kemudian mengalami sedikit
berubahan beberapa kali yang memutlakkan Belanda mengakui keberadaan masyarakat
Minahasa dan menempatkan Minahasa setara dengan Belanda. Pada waktu itu dimana
sudah ada pawai-pawai menurut adat (kebiasaan) Minahasa. Dalam laporannya pada tahun
1679 Robertus Padtbrugge mengatakan tentang Minahasa bahwa Tentara Tradisional
Minahasa semuanya memakai gelang tembaga yang bunyinya gemerincing, dengan kalung
yang terbuat dari karang, dan terdapat bunyi drum yang keras.
1689
Sebuah persekongkolan untuk membunuh orang Belanda di Batavia direncanakan
oleh Kapten Jonker, seorang muslim dan pemimpin Ambon di pelayanan kompeni, dengan
bantuan dari Amangkurat II. Setelah hal tersebut diketahui Jonger dibunuh ketika sedang
melarikan diri dan pengikut-pengikutnya menemukan sebuah tempat berlindung di
Kartasura. Sebagai pemimpin VOC Ambon, Jonker digantikan oleh sepupunya yang
kristen Zacharias Bintang.
1693
Minahasa memenangkan sebuah pertarungan mutlak melawan Bolaant di sebelah
18
Kebudayaan Minahasa

selatan. Pengaruh Belanda bertambah besar ketika orang Minahasa menerima Tuhan dan
barang-barang Eropa.
1769
Prancis berhasil mencuri tanaman cengkeh dari Ambon dan mengangkutnya ke
Mauritius dan daerah koloni lainnya.
1700-1800
Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar” di
Minahasa. Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan jabatan Komandan Kapiten
Urbanus Puluwang. selanjutnya dia disebut “Bapa Orang Minahasa”. Dia kemudian
mengatur perdagangan beras serta pajak dan memecat Kepala walak antara lain Loho
(Tomohon ) Agus Karinda (Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate
untuk membakar Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, Gerrit Wuisang.
1760
Masyarakat Tondano sudah tidak mau lagi hadir dalam pertemuan-pertemuan
dengan Belanda di Manado dan dari Resident Dur, masyarakat Tondano tersebut paling
sengit melawan Belanda dan juga tidak mengindahkan aturan-aturan mengenai pajak,
wajib militer dan sistim perdagangan beras yang dikembangkan pihak Belanda.
1780
Ekspedisi militer ke Ternate dimana Pengeran Nuku dari Tidore sudah
memberontak terhadap peraturan saudara laki-lakinya, sang sultan, yang melihat uang
VOC untuk perusakan pohon cengkeh dari pada untuk kepentingan orang-orangnya
sendiri.
1796
Inggris nenempati Padan dan Ambon. Benteng VOC di Ternate menolak menyerah.
1801
Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado.
Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik
antara Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk
mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan,
mesiu, dan meriam dari Inggris. Ketika Residen Dur digantikan oleh Residen Prediger,
maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin
oleh Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin
bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak
seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.
19
Kebudayaan Minahasa

1806
Benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat
dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat
perjanjian denga walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk
mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang
membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu
(Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan
(Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa
(Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang
(Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog,
Sarapung dan Korengkeng.
1808
Pada bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan,
tapi pada tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari
Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon dan mendirikan tenda-tenda di
Tata´aran. Pada tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano
dengan meriam 6 pond. Namun, mereka tidak menyangka bahwa akan ada perlawanan dari
pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Tata´aran mendapat kejutan setelah
pasukan berani mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang
di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka
kepalanya akibat terkena tembakan di Tata´aran. Dia kemudian digantikan wakilnya
Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan
perang darat dan perahu.
1809
Pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik
bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob Korompis
menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu,
JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda. Tanggal 2 Juni Belanda
melakukan perjanjian dengan kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –
pasukan yang bukan orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan
makanan muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat.
Setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang dan
bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan
membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus
20
Kebudayaan Minahasa

dan pagi 5 Agustus. Dalam penyerangan tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan
Benteng Morya Tondano. Pimpinan utama dari perang di Tondano adalah Tewu
(Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken), Matulandi (Telap) dan
Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut
“Mayoor” atau Tona’as perang.
1817
Pemberontak di Ambon memberontak terhadap kembalinya Belanda. Dibawah
pimpinan Thomas Matulessy, yang juga dipanggil Pattimura, benteng Belanda di Saparua
diambil. Dengan bala bantuan dari Batavia, benteng tersebut diambil kembali dan
Matulessy dihukum mati.
1825-1830
Perang Jawa. Minahasa bertarung disisi Belanda dalam perang ini. Juga di bagian
kepulauan lain untuk menundukkan pemberontakan.
1820
Sebuah kelompok Calvinist, Masyarakat Misionaris Belanda, beralih dari sebuah
kepentingan khusus di Maluku ke daerah Minahasa. Dengan adanya misionaris, datang
misi sekolah, yang berarti bahwa, seperti di Ambon dan Roti, pendidikan Barat di
Minahasa dimulai jauh lebih awal dibanding bagian lain di Indonesia. Sekolah-sekolah
tersebut diajar dalam bahasa Belanda.
1830
Pangeran Jawa dan pahlawan Indonesia Diponegoro diasingkan ke Manado oleh
Belanda.
1850
Di Minahasa kewajiban untuk membuat perkebunan yang menghasilkan panen
besar kopi murah untuk monopoli Belanda. Orang-orang Minahasa menderita dibawah
"kemajuan" ini, bagaimanapun, ekonomi, agama dan hubungan sosial dengan penjajah
terus bertambah.
1860
Konversi besar-besaran orang Minahasa ke agama Kristen, yang dilakukan oleh
pihak Belanda.
1881
Sekolah-sekolah misionaris di Manado adalah jerih payah pertama dari pendidikan
masal di Indonesia dan tamatannya mendapat keuntungan yang lumayan dalam
memperoleh posisi di pelayanan pemerintah, militer dan posisi penting lainnya.
21
Kebudayaan Minahasa

1881
F. 's-Jacob (1822-1901) ditunjuk sebagai Gubernur Genera. Di Minahasa kepala-
kepala lokal memasuki jawatan pemerintah.
1889
Emas ditemukan di Sulawesi Utara. Pemerintah bereaksi dengan menunjuk
langsung pemerintahan di Gorantalo dan menutup perjanjian-perjanjian dengan kerajaan
lokal.
1945
Sekutu megebom Manado dengan berat. Selama perang kemerdekaan melawan
kembalinya Belanda yang berikut, ada perpecahan berat antara kelompok yang pro-
Indonesia dan yang lebih berpihak kepada federalisme yang disponsor oleh Belanda.
Penunjukan seorang Manado yang beragama Kristen, Sam Ratulangi, sebagai gubernur
republik Indonesia timur yang pertama, menenentukan kemenangan dukungan Minahasa
untuk republik.
1956
Eksport ilegal tumbuh dengan subur. Pada bulan Juni Jakarta memerintahkan
penutupan pelabuhan Manado, pelabuhan penyelundupan yang paling sibuk di republik.
Pemimpin lokal menolak hal tersebut dan Jakarta mundur.
1957
Soekarno mengumumkan bahwa lebih baik melaksanakan sistem "demokrasi
pemerintah", eufinisme untuk sebuah pemerintahan yang otokratis.
1957
Pemimpin militer baik Sulawesi Selatan maupun Utara mengadakan sebuah
konfrontasi terhadap pemerintah pusat, dengan tuntutan otonomi daerah yang lebih besar.
Mereka menuntut pembangunan lokal yang lebih banyak, pembagian pendapatan yang
lebih adil, menolong dalam menekan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,
dan sebuah kabinet pemerintahan pusat bersama yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.
Paling tidak awalnya pemberontakan "Permesta" (Piagam Perjuangan Semesta Alam)
adalah sebuah reformis daripada sebuah gerakan separatis.
1957
Pemimpin Sulawesi Utara merasa tidak puas dengan perjanjian dan perpecahan
gerakan Permesta. Diilhami, barangkali, oleh ketakutan akan dikuasai oleh pihak selatan,
pemimpin memberikan pernyataan negara otonomi mereka sendiri dari Sulawesi Utara.
Lalu Soekarno menunjuk sebuah kabinet kerja dibawah komando R.H. Djuanda (1911-
22
Kebudayaan Minahasa

1963). Dia juga menunjuk sebuah "Dewan Nasional" yang terdiri dari beberapa "kelompok
fungsionil".
1957
Setelah sebuah boikot pada bulan Desember, pemilik dari hampir 250 perusahaan
Belanda dinasionalisasikan dan diumumkan bahwa 46.000 orang warga negara Belanda
harus meninggalkan negara. Perwira TNI diangkat sebagai manajer dan direktur dari
perusaan Belanda yang dicaplok.
1958
Selama perjalanan Soekarno kesejumlah negara Asia (Februari) pemberontak-
pemberontak di Bukittingi (Sumatra-Barat) PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia), dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) memberontak.
Walaupun pemberontakan tersebut tidak bermaksud untuk memisahkan diri dari Indonesia,
Sukarno tidak ragu-ragu untuk membabat gerakan tersebut pada waktu kepulangannya.
Kemungkinan campur tangan dari pihak luar akhirnya menggerakkan pemerintah pusat
untuk mencari bantuan militer dari Sulawesi Selatan. Angkatan perang Permesta diantar
dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kepulauan Sangihe dan dari Morotai di Maluku (dari
lapangan terbang masing-masing, pemberontak sudah berharap untuk terbang serangan
pengeboman ke Jakarta). Beberapa pesawat pemberontak tersebut (disediakan oleh
Amerika dan diterbangkan oleh pilot-polot Filipina, Taiwan dan Amerika) dimusnahkan.
US policy shifted, favoring Jakarta. Angkatan udara mengebom kota-kota di daerah
pemberontak (Padang, Bukittingi, Manado) dan tentara menaklukkan Medan dan
kemudian Padang.
1958
Tentara pemerintah pusat mendarat di Sulawesi Utara dan menawan Manado.
Namun gerak-gerik tersebut bahaya untuk Jakarta, karena di Ambom pemberontak
mendapat bentuk bantuan dari Amerika dan Belanda. Juga Filipina, Cina Nasionalis
(Taiwan) dan Malaysia yang mendukung pemberontakan. Jenderal Nasution merumuskan
teori "dwifungsi" (fungsi ganda), dimana tentara, selain menjadi tenaga perjuangan, juga
menjadi organisasi sosial dalam pelayanan perkembangan sosial negara.
1959
Kekuasaan pusat ditingkatkan di biaya otonomi lokal, nasionalisme radikal
memperoleh sikap moderat yang pragmatis, kekuatan komunis dan Soekarno bertambah
sedangkan Hatta menyusut, dan Soekarno mampu memperlihatkan "Panduan
Demokrasi"nya.
23
Kebudayaan Minahasa

1961
Pemberontakan Permesta akhirnya dipadamkan.
1967
Sulawesi Utara menjadi makmur dibawah Pemerintahan Orde Baru dari Presiden
Soeharto, yang telah mengambil alih kantor. Banyak laporan ekonomi (tetapi sedikit
perbaikan politik) yang dicari oleh pemberontak Permesta tercapai. Propinsi tersebut
memiliki kebudayaan yang toleran dan memandang keluar. Masa depan akan
memperlihatkan apa yang akan terjadi setelah pelaksanaan Otonomi Daerah, gagasan yang
sangat diperjuangkan oleh Permesta.

II.1.2. MATA PENCAHARIAN


Di Minahasa, jaringan jalan raya yang tergolong baik, serta adanya pelabuhan
Bitung dan bandar udara Sam Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko-toko besar,
dan kegiatan ekonomi modern lainnya sangat mempengaruhi sektor ekonomi pedesaan
yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih bersifat tradisional.
Ekonomi pedesaan merupakan ciri-ciri perilaku petani Minahasa. Di Minahasa,
jaringan jalan yang tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan bandar udara Sam
Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko besar maupun kecil di kotsa, dan kegiatan
ekonomi modern lainnya memang sangat erat berhubungan dan sangat mempengaruhi
ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih tergolong
tradisional.ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk tersendiri yang
menunjukkuan adanya perbedaan-perbedaan dari masyarakat-masyarakat pedesaan
lainnya. Berbagai sarana, prasarana, dan pranata ekonomi di Minahasa sekarang telah
mengalami pekembangan, jauh berbeda dari masa-masa dahulu.
Berbagai pabrik, petokoan, yang menjual barang-barang mewah maupun kebutuhan
sehari-hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor dan impor antar pulau maupun lokal
dan masih banyak lagi, semuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern, yang
menunjukkan gejala perkembangan.
Khususnya mengenai sektor industri dapat dikemukakan bahwa bagian terbesar
masih tergolong pada industri kecil (sekitar 98%) dan sisanya tergolong pada industri
menengah. Sebagai penunjang sektor perdagangan, maka produksi sektor industri
menunjukkan pertambahan.

24
Kebudayaan Minahasa

Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang
perkebunan rakyat tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala.
Sekarang perkebunan-perkebunan ini terus mengalami peningkatan intensifikasi dan
ekstensifikasi dengan menggunakan metode dan teknologi pertanian modern. Akhir-akhir
ini komoditi petanian lain yaitu coklat, vanili, jahe putih dan jambu mete mulai digiatkan
secara intensif juga dengan metode dan teknologi pertanian modern.
Persawahan menunjukkan pula adanya gejala-gejala perkembangan dalam upaya
peningkatan produksi padi. Perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan
bibit unggul adalah contoh dari beberapa perkembangan yang dimaksud. Pertebatan ikan
mas dengan mempraktekan metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam
tebat-tebat yang terbuat dari semen) dijalankan di banyak desa terutama oleh petani-petani
kaya.
Perladangan menetap tradisional (kebun kering) yang umum di Minahasa adalah
perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Biasanya petani menanam
pula dalam kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan sehari-hari, dan
buah-buahan (terutama advokat, pepaya, jenis-jenis jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, dan
jenis-jenis jambu air) untuk konsumsi sendiri. Akhir-akhir ini pemerintah daerah telah
mengusahakan peningkatan produksi jagung melalui Proyek Mandiri di kalangan petani,
dijalankan dengan penyuluhan dinas pertanian, untuk dipasarkan melalui Koperasi Unit
Desa (KUD). Selain jagung, kebun sering ditanami pula dengan kacang merah, kacang
tanah, kedelai, kacang hijau, dan berbagai jenis ubi.
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh Perikani yang
berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang, nelayan-nelayan
tradisional mulai meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan
menggunakan alat-alat yang lebih baik maupun dengan apa yang disebut ”motorisasi”
perahu penangkapan ikan. Namun demikian, penangkapan jenis binatang laut masih umum
dijalankan dengan teknologi tradisional.radisional dipegunakan pula dalam penangkapan
jenis-jenis biotik sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Di desa-desa
sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan
kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi
sebagian dari kebutuhan pritein hewani yang dapat diperoleh dipasar-pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagi kebutuhan
penduduk. Berbagai jenis bahan makanan (binatang dan tumbuhan) kebutuhan sehari-hari
maupun pesta bersumber dari hutan. Jenis-jenis binatang yang umum dimakan adalah babi
25
Kebudayaan Minahasa

hutan, tikus hutan (ekor putih), dan kalong. Lain-lainnya yang jarang dimakan karena
sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang Minahasa adalah seperti rusa,
anoa, babi rusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-
jenis unggas liar lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun
lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan sayur-
sayuran, terutama pangi, rebung dan pakis.
Demikian pula, hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, seperti jenis-jenis
mangga, pakoba dan kemiri. Selain itu, enau merupakan sumber nira sebagai minuman
yang terkenal di Minahasa (disebut sanguer) maupun bahan gula merah. (Tumbuhan ini
tumbuh di hutan maupun kebun).
Untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan untuk membuat berbagai alat dan
bangunan gedung dan rumah, hutan merupakan sumbernya. Kecuali itu, hutan dan
lingkungan-lingkungan fisik lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tumbuhan-
tumbuhan yang memberi bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum. Seperti rotan,
kayu bakar, daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas hutan di Minahasa makin
berkurang, terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh
penduduk desa maupun penduduk kota.
Di daerah Minahasa menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan sumber
yang terbesar, melebihi 126 milyar rupiah (42,36%). Daripadanya subsektor perkebunan
adalah yang paling besar dan sesudahnya adalah subsektor pertanian pangan dan
subsektor-subsektor perikanan, peternakan, dan kehutanan. Ada empat jenis komoditi
(kelapa, cengkeh, pala dan kopi) dan satu golongan komoditi lainnya (vanili, jahe putih,
dan biji jambu mete) yang sangat penting bagi perekonomian daerah ini. Bahkan tiga jenis
komoditi yaitu kelapa, pala dan kopi mengisi paket ekspor Sulawesi Utara.

II.1.3. SISTEM KEMASYARAKATAN


Kabupaten Minahasa mempunyai kurang lebih 468 desa (kampung) sebagai
kesatuan administrasi yang dipimpin oleh seorang kepala desa, yang secara adat disebut
Hukum Tua (Kuntua). Dewasa ini, kesatuan administrasi desa dirubah menjadi
Kelurahan/Desa yang dipimpin oleh seorang Lurah/Kepala Desa. Kecuali desa sebagai
kesatuan administrasi tersebut terdapat juga perkampungan yang berupa kompleks
perumahan bersama dengan sawah dan kebun yang secara administratif merupakan bagian

26
Kebudayaan Minahasa

dari suatu desa. Pola perkampungan desa Minahasa bersifat menetap dan kelompok
rumahnya mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.

II.1.3.a. Masyarakat Minahasa Kuno

Awu dan Taranak


Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut
Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur. Sampai sekarang di
Minahasa masih banyak di dapati tempat masak terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan
tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah
tangga) dan di pergunakan banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat
Minahasa kuno sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal
di satu rumah besar berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan
di atas tiang tinggi itu erat hubungannya dengan keamanan.
Dalam kunjungan Prof. Reinwardt tahun 1821 ke Tondano dia masih melihat
rumah rumah yang tiang tiangnya sekitar dua pelukan orang dewasa. Kemudian laporan
Dr. Bleeker pada tahun 1855 menulis bahwa kampung kampung di Minahasa di bangun di
atas tiang tiang tinggi dan besar, dan di huni oleh empat keluarga bersama sama.
27
Kebudayaan Minahasa

Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa
membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri
di keluarga pria atau wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak
sendiri, yang berarti yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak
itulah yang di sebut awu.Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah
orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia
maka si Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan
sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya.
Kepala di sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban
membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk
pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil
keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal.
Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama.
Hal ini menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan
pertanian bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang
berhubungan kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama
dari keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan
ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan
lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak,
hubungan antar Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota
anggota yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut
keamanan dan prestise Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak,
karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Berlainan dengan di tingkat Awu yang mana pengurus berada dalam tangan Ama
dan Ina bersama sama, pada tingkat Taranak peranan si Ina tidak terlalu menonjol.
Taranak, Roong / Wanua, Walak
Perkawinan perkawinan antara anggota Taranak membentuk Taranak Taranak baru.
Bangsal bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin
luas . Batas penentuan sesuatu Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi
kabur, dan arti Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu sebagai alat

28
Kebudayaan Minahasa

identifikasi para penghuni kompleks bangsal, dipakailah kesatuan teritorial. Dengan kata
lain fungsi identifikasi mulai bergeser dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.
Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di
sebut Ro'ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri
dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para
penghuni Ro'ong atau Wanua itu. Pemimpin Ro'ong atau Wanua disebut Ukung yang
berarti kepala atau pimpinan. Untuk pengurusan wilayah, Ro'ong atau Wanua di bagi
dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada mulanya Lukar ini dititik beratkan pada
keamanan sehingga akhirnya Lukar di ganti menjadi Jaga.
Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata Lukar dalam arti
orang orang yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.
Para Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut Meweteng. Tugas mereka
mulanya membantu Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari
Ro'ong / Wanua. Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu pula ada pembantu Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama
dalam hal hal yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah para
tetua yang dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan
dapat dijadikan contoh di dalam Wanua, yang di namakan Pa Tu'usan (yang dapat
dijadikan contoh). Ro'ong / Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa
Wanua tertentu yang akhirnya disebut Walak.

Paesa In Deken
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada
apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu
jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan
keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa
pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan:
"Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: "Taintu"
(memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin
adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti
walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in
Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat
29
Kebudayaan Minahasa

sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia
menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari
siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di
Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau
meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan
menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu
menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala
kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah
musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil
berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para
peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun
didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan
membawa kehancuran bagi mereka."
Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila
keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota
masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber
kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan,
bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap
telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah
dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa
yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.
Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan
memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di
adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak
menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila
seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria
yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin
baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang
kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa
kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya
adalah pemimpin yang baik.
30
Kebudayaan Minahasa

Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga (Pa'eren Telu):


 Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak
atau Ro'ong.
 Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan
menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota
lain.
 Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik
dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .
Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin
dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di
Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.

II.1.3.b. Kawanua
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau
wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah
diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto
Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang
lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke
kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan
sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan
sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri
atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman -
sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman
di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok
Taranak, masing-masing:
 Makarua Siouw
 Makatelu Pitu
 Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada
abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan
terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw",

31
Kebudayaan Minahasa

sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok
Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu
terdiri dari:
 Tountumaratas
 Tountewu
 Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang
menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal,
maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu
yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak
dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah
Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan
Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok
yakni:
 Tounsea
 Toundano
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan Masyarakat "Toundanau" yang
bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
 Tondano Touliang,
 Tondano Toulimambot and
 Kakas-Remboken
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan
Pakasa’an Tondano
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad
18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah
Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano
memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu
Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong.
Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:

32
Kebudayaan Minahasa

 Ro’ong atau negeri,


Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
 Ro’ong atau negeri
 Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:
 Wale, artinya rumah dan
 Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun
(hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau
kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang
bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan .Si A bertanya pada si
B:"Mange wisa" (mau kemana ?) Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke
kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?) si A menjawab:
"Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah
penduduk)
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi
sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang
sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata
"Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu
ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um
Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak
berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh
Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang
didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada
pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri
dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan
dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda,
Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan
Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di

33
Kebudayaan Minahasa

wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan.
Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh
Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-
batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat
hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada
kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya
teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata
Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman,
jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung.
Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)...
"Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat
mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu
negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama
warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain
misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L
Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak
ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang
Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa
menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru
diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat
orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal
dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang
Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa
menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun
sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan
Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.

II.1.3.c. Walak dan Pakasa'an

34
Kebudayaan Minahasa

Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A.
Wilken tahun 1912 dapat berarti:
 Cabang keturunan
 Rombongan Penduduk
 Bahagian Penduduk
 Wilayah kediaman cabang keturunan.
Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang
keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturuan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat
membentuk cabang-cabang keturuan. Mawalak artinya membahagi tanah sesuai banyaknya
cabang keturunan. Ipawalak artinya membahagi tanah menurut jumlah anak generasi
pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.
Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang
menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa
harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak
adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano.
Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika
Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa.
Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.
Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta
“Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an
Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua
menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut
di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke
utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa
dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.
Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam
cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa)
dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya
orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau
“megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun
1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu

35
Kebudayaan Minahasa

besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan.
Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama
sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu
kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal
pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya
turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi
mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan
pada abad ke – 7.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan
untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut
dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua
Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua
menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an .
Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.
Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana
Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat
gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an
Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri
dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan.
Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi
danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak
memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan
bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut.
Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu
Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-
Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-
menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali
musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

II.1.3.d. Ratahan, Pasan, Ponosakan


Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan
Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini
pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan
36
Kebudayaan Minahasa

dikisahkan sebagai berikut; pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis


menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa
taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang).
Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri
Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis
Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri
seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat
kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan
bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina
Selatan) dan bajak laut Tobelo.
Kepala Walak pada waktu itu bernama Soputan mendapatkan bantuan tentara 800
orang dari Tombulu dipimpin Makaware dan anak lelakinya bernama Watulumanap.
Selesai peperangan pasukan Tombulu kembali ke Pakasa’annya tapi Watulunanap menikah
dengan gadis Ratahan dan menjadi kepala Walak menggantikan Soputan yang telah
menjadi buta. Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan
Tafure. Kemudian kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa.
Waktu itu terjadi persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau
tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada
perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu terdampar di
Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di
Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak
meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu.
Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina” karena
ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku
“De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan
Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di
Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan
bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut menggunakan budak-budak
sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari
armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi
pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-
tujuh. Nama Opok Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16
dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman
37
Kebudayaan Minahasa

Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari
Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin
dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu
yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan
yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar
wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-
Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang,
berdekatan seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu.
Penduduk wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka
akhir abad 18.

II.1.3.e. Tona'as Dan Walian


Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan
Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan
memberi perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga
disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit,
menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya
bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan
sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan
generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal
dimasa lalu. Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain,
mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata
ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala
sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak,
pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah
mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka
juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan).
Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan
pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga
Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).

38
Kebudayaan Minahasa

Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene,


suaminya Mandei, Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di
wilayah yang sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama
dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang
sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang
artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama
Manawa’ang.
Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan
suaminya Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan
(Gunung Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo),
Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan
suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu)
Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa)
terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami
Soputan (gunung Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki,
Inawatan dengan suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut), Manambeka
(sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui
namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang pada jaman
pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei (istri Rumengan) bernama
Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa –
yang sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan
Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut
hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan).,
Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka
adalah ; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua
dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai
wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan
Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu
Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar
bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di
Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan,
39
Kebudayaan Minahasa

Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus


upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aran
(Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong),
Pangembatan (Lahendong).
Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894
dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem
pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur
tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan
dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama
Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang
(Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis
Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi
adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.
Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal kata
Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene
asal kata Wene’ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan
membuat kain tenun.

II.1.3.f. I Yayat U Santi


Seruan orang Minahasa sejak dahulu kala ini menjadi perhatian masakini karena
lambang Minahasa sekarang banyak terdapat tulisan tersebut. Lalu apa arti dan makna
ungkapan ini ?
Terjemahan harafiahnya adalah: Angkatlah Dan Acung-Acungkanlah Pedang (Mu)
Itu Ungkapan ini diseru-serukan khususnya oleh para waranei, anggota kabasaran, penari
tari pedang dalam menghadapi tantangan yang dianggap musuh. Ini merupakan suatu
komando, perintah tetapi juga untuk membangkitkan gairah, semangat sekaligus untuk
mengusir kecemasan, kekuatiran dan ketakutan ketika menghadapi tantangan (musuh).
Ungkapan ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal
mengajak mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa
yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia mengandung juga
seruan supaya hendaklah kamu gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur.
Cara menyerukan bagi para waranei ialah dengan suara yang nyaring, tegas betul-
betul seperti komando, sambil mengangkat dan mengacung-acungkan salah satu tangan
dengan kepalan jari-jarinya. Lalu seruan ini disahuti dengan sorakan oleh rekan-rekan
40
Kebudayaan Minahasa

waranei atau oleh hadirin dengan jawaban atau sambutan : Uhuuy!! atau Tentu itu!! yang
artinya : Setuju, demikianlah halnya!.
Apabila kita menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masakini, maka
maknanya ialah : Supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat,
ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecetakan (= wisdom, managerial skill
and technical know-how). Itulah santi kita masakini yang harus diacung-acungkan
menghadapi segala tantangan yang mengancam kehidupan kita baik fisik maupun non-
fisik, dengan segala kebulatan tekad sesudah dimusyawarahkan bersama. Tantangan ini
adalah kemiskinan, kemalasan, kebodohan, kelaparan, ketidakadilan, ancaman penjajahan,
dan segala sesuatu yang dapat menjadi musuh kehidupan.
Dalam bahasa Alkitab ungkapan ini juga bermakna sebagai pengejawantahan
kuasa-kuasa maut. Dan karena kuasa maut itu telah ditaklukan oleh Allah sendiri karena
membangkitkan PuteraNya Yesus Kristus dari kematian, maka tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak berjuang demi kemenangan kehidupan.
Jadi seruan I Yayat U Santi! dan sambutan sorakan Uhuuy! atau Tentu itu!
bermakna : Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya
demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita.
Lambang Minahasa
Lambang perisai Minahasa termasuk burung hantu, sebab burung ini menjadi
simbol untuk kebijaksanaan/kearifan, dengan matanya yang tajam dan kepala yang mampu
berputar 360 derajat, dan ia juga memperingatkan manusia apabila ada bahaya. Orang
Minahasa menganggap burung hantu sangat bijaksana. Mereka menyebut burung hantu
'Burung Manguni'. Setiap kali apabila seseorang ingin melakukan perjalanan, mereka
mendengar burung2 hantu dulu. Burung2 hantu mempunyai dua macam suara; suara yang
pertama berarti perjalanan aman, dan suara kedua berarti lebih baik tinggal dirumah. Orang
Minahasa, sekitar Manado, sangat memperhatikan tanda2 itu. Mereka tinggal dirumah jika
disarankan begitu oleh Manguni.
 Bentuk Perisai : suatu simbol untuk kemampuan menghadapi
berbagai tantangan
 Motto I JAYAT U SANTI : siap dengan tekad bekerja keras demi
pembangunan

41
Kebudayaan Minahasa

 Burung manguni : jenis burung yang ada di minahasa, dimana sangat banyak
dikagumi orang karena ia dapat memberi tanda apabila sesuatu akan terjadi, dan
mempunyai perasaan dalam serta matanya tajam menatap jauh
 Jumlah bulu sayap 17 helai serta ekor 5 helai: angka proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
 Bagian dada adalah lambang pohon kelapa : sebagai komoditi minahasa sejak
dahulu

II.1.3.g. Sistem Pemerintahan


Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat
seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang
gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan
Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi.
Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta
didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh
memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan
cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan
setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau
pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut
Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain
pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat
beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai
raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat
barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan
dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu
terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan
Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar
Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu,
peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga
Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil

42
Kebudayaan Minahasa

tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-
tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai
Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah
sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah
kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke-14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas
Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari
Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga
golongan Minahasa tsb.

II.1.3.h. Upacara Adat


Monondeaga
Upacara adat dari daerah Bolaang Mongondow yang dilaksanakan pada waktu anak
gadis memasuki masa akil baliq yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Daun
telinga dilobangi dan dipasangi anting kemudian gigi diratakan sebagai pelengkap
kecantikan dan tanda telah dewasa.
Mupuk Im Bene
Upacara adat dari daerah Minahasa berupa pengucapan syukur pallen pactio
Masyarakat membawa/mempersembahkan segantang/sekarung padi bersama hasil ladang
lainnya disuatu tempat (lapangan atau dirumah gereja) untuk didoakan. Dan setiap
rumah/keluarga menyiapkan beragam makanan dan makan bersama dengan para tamu
dengan sukaria.
Metipu
Merupakan upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada
Sang Pencipta alam semesta yang disebut BENGGONA LANGI DUATAN SALURAN,
dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap
membumbung ke hadirat-Nya.
Watu Pinawetengan
Tanggal tujuh bulan tujuh tahun dua ribu tujuh saat istimewa bagi sebagian
masyarakat Minahasa. Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat Watu
Pinawetengan, sebuah upacara penuh makna bagi persatuan masyarakat setempat. Watu
Pinawetengan adalah warisan leluhur Minahasa dan merupakan bukti bahwa demokrasi
dan persatuan sudah ada sejak dahulu.
43
Kebudayaan Minahasa

Berdasarkan cerita rakyat, terdapat sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni
batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Johann Albert Traugott Schwarz, seorang misionaris Belanda keturunan Jerman, pada
tahun 1888 berinisiatif melakukan penggalian di bukit Tonderukan yang sekarang masuk
wilayah kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).
Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke
barat. Johann Gerard Friederich Riedel yang lahir di Tondano pada tahun 1832,
menyebutkan bahwa batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan
perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung.
Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan
keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi
pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Latar belakang itu memberi arah bahwa sudah ada demokrasi pada jaman dulu. Sejumlah
persoalan diselesai- kan dengan musyawarah sehingga mereka yang terlibat persoalan
meninggalkan Watu Pinawetengan dengan damai.
Inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata' esa ene
yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah
Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan
meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia
kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu per satu perwakilan menggunakan
pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke
tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan
membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
"Royor endo, ezo e, Maesa-esa lalan ni kita e, Royor endo, ezo e, Sei si nimalewo,
Ya wana ni mengasa- ngasaranmo, Royor endo, ezo e, Mengale-ngalei uman
Pakatuan pakalawirenom, Royor endo, ezo e"
(Persatukanlah jalan kita. Janganlah ada yang merusakkan ataupun hanya berpura-pura.
Mari memohonkan usia lanjut dan lestari).

II.1.3.i. Upacara Pemakaman


Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam
terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan
dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan
mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan
44
Kebudayaan Minahasa

ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa
mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi
menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala
mencium lulut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek
moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan
dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
Kemudian di tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai
pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya
penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus
dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga.
Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah
mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat
di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di
waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencaharian orang tersebut.
Pada awalnya waruga tersebar di seluruh Minahasa. Saat ini waruga yang tersebar
tersebut dikumpulkan di desa Sawangan - Minahasa, yaitu sebuah desa yang terletak di
antara Tondano (ibu kota kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibu kota kabupaten
Minahasa Utara). Sampai saat ini waruga merupakan salah satu tujuan wisata sejarah di
Sulawesi Utara. (Bagian utara Minahasa).

II.1.3.j. Upacara Pernikahan


Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah
mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses
perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan
sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau
malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan
lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini
adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar
mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang
ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja.
Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai
mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan
pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi
45
Kebudayaan Minahasa

pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan
acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional,
seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu
mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti
shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara,
yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis
atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen
(citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan)
yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau
bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi
sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan
air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis
tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut
dikeringkan.
Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai
kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas
dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin
sekadar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-
bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan
mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara
simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian
mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.

Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin
pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak
pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.

46
Kebudayaan Minahasa

Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah
pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena
resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga
wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando
pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana
kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang
Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti
acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan
yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup
masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan
Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya
dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di
Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil
membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai
kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk
pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita.
Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok
pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan
makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja. Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan
perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil
dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda
pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja. Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang
dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat
perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan
prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini
tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea,
Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan
dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman,
47
Kebudayaan Minahasa

makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan
Polineis.
Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan
Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah
yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah,
Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis
tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu
(kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu
dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu
Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan
memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo
(Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan
upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang
megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol
sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua.
Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat
minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat
yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat
mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat
dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis
Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat.
Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah
Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran
di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah
Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa
upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan
tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.
II.1.3.k. Falsafah Hidup
Butungan
Janji yang diucapkan dalam adat masyarakat Bolaang Mongondow oleh 2 golongan
yang dikuatkan dengan sumpah bahwa apabila ternyata kedua golongan ini tidak menaati
48
Kebudayaan Minahasa

perjanjian tersebut maka turunannya akan kena katula (butungan) yakni : MOTOTA W
NA' SIMUTON artinya cair seperti garam, MODA YAG NA' KOLA WAG artinya hidung
tidak sehat, RUMONDI NA' BUING artinya hitam seperti arang, TUMONOB NA'
LANAG artinya meresap seperti di cucuran atap, KIMBUTON IN T ALO artinya
dihisap oleh tanah ditindaklanjuti, DOROTAN IN MONTOY ANDI artinya ditindih
oleh langit.
Gunde (Pemujaan)
Didalam suatu upacara adat masyarakat Sangihe Talaud biasanya dalam upacara
adat diperdengarkan jenis-jenis irama tambur yang sesuai fungsinya : MANGALA
KAPITA (menyongsong pimpinan), MANEKING MAMATE (pengaturan tempat duduk),
BAHEMA (irama tarik bendera), MAKIMAMBARU (irama isyarat bahwa meja telah
siap).
Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban
Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban atau dalam bahasa Minahasa Si Tou
Timou Tumou Touâ adalah falsafah hidup masyarakat Minahasa yang pengertiannya
"Hidup untuk memanusiakan manusia" yang menunjukkan perjuangan hidup orang
Minahasa dalam membentuk etos kerja maupun wawasan keterbukaan, toleransi dan
demokrasi agar menjadi manusia yang berkualitas, maju, mandiri dan beradab dengan
berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Ini didasarkan
pada pandangan Dr. Sam Ratulangi. Nilai budaya tersebut terdiri dari : TOU ENTE (orang
kuat gagah berani) berarti nilai budaya adat Minahasa yang berpijak pada adat istiadat,
TOU NGA'ASAN (peranan ratio, pikiran, akal sehat) berarti dengan masuknya budaya
asing terjadilah proses akulturasi, kepribadian, sikap prilaku dan gaya hidup, TOU SAMA
Nilai budaya agama Kristen yang mengandalkan hal-hal bersifat teologi dan eskatologis
menurut agama Kristen yang berdasarkan iman.
Somahe Kai Kehage
Adalah falsafah seorang pemimpin harus tetap teguh dan tabah dalam menghadapi
sesuai cobaan. Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban atau dalam bahasa Minahasa
Si Tou Timou Tumou Touâ artinya pemimpin harus dapat menerapkan pola kepemimpinan
sayang menyayangi, baik hati dan saling mengingat kepada sesama manusia.
II.1.4. PRODUK BUDAYA
Pengaruh budaya dan adat istiadat terhadap kehidupan masyarakat Minahasa terjadi
pada pola pengelompokan sosial, dimana pada umumnya masyarakat di Kota Minahasa

49
Kebudayaan Minahasa

ber-etnis sama, maka kebiasaan dan adat istiadat Minahasa yang hidupnya berkelompok
dan mengumpul dalam sebuah lingkungan kecil terbawa dan teraplikasikan dalam kondisi
bermasyarakat saat ini, yaitu lingkungan permukiman menjadi padat dan bahkan pada
kondisi asli tidak memiliki batas yang jelas antara satu rumah dengan rumah yang lainnya.
Pola pengelompokan berdasar ikatan kekeluargaan dan kekerabatan terlihat jelas dalam
permukiman.

II.1.4.a. FAM

Nama keluarga yang telah digunakan sebagai nama keturunan bagi orang
Minahasa atau lebih dikenal dengan istilah FAM, diambil dari nama
keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga (orang tua lelaki).
Setiap anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, otomatis disamping
nama depannya, melekat pula nama keturunan keluarga dari sang Bapak.
Khusus bagi seorang wanita yang telah kawin maka nama keluarga sang
suami langsung disisipkan diantara nama depan dengan nama keturunan
keluarga sang wanita tersebut. Selanjutnya nama keturunan keluarga orang
Minahasa memiliki ringkasan pengertian tertentu sebagai berikut:

50
Kebudayaan Minahasa

Abutan : Pembersih D
Adam : Tenang Damongilala: Benteng
Agou : Anoa Damopoli : Jujur dan adil
Akai : Penjaga Dapu : Mematahkan
Aling : Pembawa Datu : Pemimpin
Alui : Pelipur lara Datumbanua : Kepala Walak
Amoi : Teman sekerja Dayoh : Karunia
Andu : Tempat bersenang Dededaka : Panah lidi hitam
Anes : Tawakal Dendeng : Suara yang terang
Angkouw : Keemasan Dengah : Hakim
Anis : Penghalau Dewat : Menyeberangi
Antou : Nama kembang Dien : Dihiasi
Arina : Tiang tengah Dimpudus : Cerdik kepalanya
Assah : Pembuka jalan Dipan : Ukuran depa
Awondatu : Yang dikehendaki Dompis : Pekerja baik
Awui : Senang Dondo : Prinsip
Dondokambei : Prinsip tetap
B
Donsu : Jimat penolak
Batas : Pemutus
Doodoh : Penggerak
Bella : Pasukan
Doringin : Penari
Bokau : Bibit emas
Dotulong : Pahlawan besar
Bokong : Mengikat
Dumais : Menggenapi
Bolang : Penangkap ikan
Dumanauw : Pemenang
Bolung : Perisai
Dumbi : Didepan
Bororing : Pembuat roreng
Dungus : Berkedudukan
Boyoh : Pendamai
Dusaw : Pembuka
Buyung : Penurut

51
Kebudayaan Minahasa

E G
Egam : Menjaga Ganda : Bambu besar
Egetan : Lonceng kecil Gerung : Bunga ukiran
Ekel : Lirikan Gerungan : Bunga-bunga ukiran
Elean : Arah barat Gigir : Mengikis rata
Eman : Dipercaya Gimon : Rupa yang indah
Emor : Lengkap Girot : Pemutus
Endei : Dekat Goni : Cerdik
Engka : Pegang Goniwala : Cerdik akal
Enoch : Pilihan Gonta : Langkah
Ering : Kurang besar Gosal : Timbunan
Gumalag : Menanduk
Gumansing: Pembujuk
Gumion : Pegangan

I
Ilat : Menunggu
Imbar : Yang dibuang
Inarai : Baju jimat
Ingkiriwang : Dari angkasa
Inolatan : Pegang tangan
Intama : Pembawa
Item : Hitam

52
Kebudayaan Minahasa

K Karundeng : Pengusut
Kaat : Penglihatan Karuyan ; Di kejauhan
Kaawoan : Mampu kerja Karwur : Subur
Kaendo : Teman mapalus Kasenda : Kawan sehidangan
Kaeng : Sempit Katopo : Keturunan opo
Kaes : Menyiram Katuuk : Pemegang rahasia
Kainde : Ditakuti Kaunang : Cerdik
Kairupan : Kekuatan Kawatu : Pendirian teguh
Kalalo : Amat berani Kawengian : Bintang sore
Kalangi : Dari langit Kawilarang : Diatas terbuka
Kalempou : Mengunjungi Kawulusan : Benteng
Kalempouw : Kawan baik Kawung : Tersusun keatas
Kalengkongan: Tepat berjatuhan Kawuwung : Berkelebihan
Kalesaran : Pusat segala usaha Keincem : Penyimpan rahasia
Kalici : Mempesona Kekung : Pedang perisai
Kaligis : Sama keluarga Keles : Bayi
Kalitow : Tertinggi Kelung : Perisah
Kaloh : Sahabat setia Kembal : Agak lemah
Kalonta : Perisai kayu Kembau : Kurang kuat
Kalumata : Pedang perang Kembuan : Sumber
Kamagi : Bunga hias Kenap : Genapkan
Kambey : Bunga hias Kepel : Penakluk
Kambong : Obor Kerap : Seiring
Kamu : Pegang teguh Kere : Testa
Kandio : Amat kecil berarti Kesek : Penuh sesak
Kandou : Bintang pagi Kewas : Tumbuhan
Kapantouw : Pembuat Khodong : Kecil, menentukan
Kaparang : Pandai mengukir Kilapong : Batu kilat
Kapele : Amat tegas Kindangen : Yang diberkati
Kapoh : Pemuja Kirangen : Dimalui
Kapoyos : Dukun pijat Kiroiyan : Pengembara
Karamoy : Penunjuk Kojongian : Penggeleng kepala
Karau : Antara Kolangan : Pemain
Karinda : Kawan serumah Kolibu : Banyak bekerja
53
Kebudayaan Minahasa

Koloday : Saudara lelaki Kupon : Diharapkan


Koly : Suka kerja Kusen : Penutup
Komaling : Pembawa Kusoi : Cerdik
Komaling : Penghormat
Kondoy : Lurus kedudukannya
Kontul : Kerja sendiri
Koongan : Mengecil
Kopalit : Pendamai
Koraah : Suka panas matahari
Korah : Suka panas matahari
Korengkeng : Penakluk
Korompis : Hasil kerja yang
baik
Koropitan : Penghukum
Korouw : Perkasa
Korua : Membagi dua
Kotambunan : Penimbun
Kountud : Kerja sendiri
Kowaas : Penggemar barang
kuno
Kowonbon : Tahan uj
Kowu : Penempah
Kowulur : Ke gunung
Koyansouw : Pengipas
Kuhu : Menampakkan
Kulit : Kecukupan
Kullit : Cukup
Kumaat : Melihat
Kumaunang : Penyelidik cerdik
Kumayas : Membongkar
Kumendong : Pengumpul tenaga
Kumolontang : Melompat
keliling
Kumontoy : Lurus hati
54
Kebudayaan Minahasa

L Limbat : Berganti
Lala : Berjalan Limbong : Ingat budi
Lalamentik : Semut api Limpele : Penurut
Lalowang : Perlumba Lincewas : Tumbuhan obat
Lalu : Pendesak Lintang : Bunyi-bunyian
Laluyan : Melintasi Lintong : Pusat persoalan
Lambogia : Paras jernih Liogu : Jernih
Lampah : Tak seimbang Litow : Tinggi
Lampus : Tembus Liu : Bijaksana
Lanes : Kurang semangat Liwe : Air mata
Langelo : Menapis Loho : Perindu
Langi : Tinggi Loing : Pengawas
Langitan : Tinggian Lolombulan : Bulan purnama
Langkai : Dihormati Lolong : Bulan
Languyu : Tanpa tujuan Lomboan : Lemparan keatas
Lantang : Berharga Lompoliu : Pengajar
Lantu : Penentu Lonan : Ramah
Laoh : Manis Londa : Perahu
Lapian : Teladan Londok : Tinggi
Lasut : Pemikir cerdas Longdong : Penjaga
Legi : Menipis Lontoh : Tinggi keatas
Legoh : Penelan manis pahit Losung : Pendesak
Lembong : Pembalas bud Lotaan : Pembuka jalan
Lempas : Kedudukan Lowai : Bayi lelaki
Lempou : Kunjungan Lowing : Mengawasi
Lengkey : Dimuliakan Ludong : Kepala negeri
Lengkoan : Penghalang Lumanau : Biasa berenang
Lengkong : Pendidik Lumangkun : Penyimpan rahasia
Lensun : Diharapkan Lumatau : Berpengetahuan
Leong : Main Lumempouw : Meliwati
Lepar : Tujuan Lumenta : Terbit
Lesar : Halaman Lumentut : Bukti
Lewu : Tersendiri Lumi : Meminggir
Liando : Penimbang Lumingas : Membersihkan
55
Kebudayaan Minahasa

Lumingkewas : Tepat dlm M


segala hal Maengkom : Penakluk
Lumintang : Menunggalkan Maengkong : Mendidik
Luminuut : Berpeluh Mailangkai : Yang ditinggikan
Lumoindong : Melindungi Mailoor : Disenangi
Lumondong : Berlindung Maindoka : Kecukupan
Lumowa : Meliwati Mainsouw : Bersaudara 9
Lumunon : Muka bercahaya Mait : Obat pahit
Luntungan : Memiliki jambul Makadada : Memuaskan
Lutulung : Penolong Makal : Penutup lubang
Makaley : Melindungi/menutup
Makaliwe : Air mata
Makangares : Mengharap
Makaoron : Mengulung musuh
Makarawis : Puncak gunung
Makarawung : Tinggi usaha
Makatuuk : Hidup sentosa
Makawalang : Orang kaya
Makawulur : Dihormati
Makiolol : Selalu ikut
Makisanti : Dengan pedang
Malingkas : Tetap berada
Mamahit : Dukun obat pahit
Mamangkey : Pengangkat
Mamantouw : Penubuat
Mamanua : Pembuka negeri
Mamarimbing : Pemberi
kesuburan
Mamba : Ditetapkan
Mambo : Penetapan
Mambu : Pemberi supa
Mamengko : Pemberi teka-teki
Mamentu : Pemberi rasa
Mamesah : Pembuka rahasia
56
Kebudayaan Minahasa

Mamoto : Penjelasan Maringka : Berkekuatan


Mamuaya : Pemberi Masie : Tumbuhan obat
Mamuntu : Mencapai puncak Masinambau : Tujuan pasti
Mamusung : Penangkal Masing : Bergaram
Manalu : Ditingkatkan Masoko : Pokok
Manampiring : Membuat jalan Matindas : Ramping
Manangkod : Menahan musuh Maukar : Menjaga
Manapa : Pertanyaan Mawei : Pembimbing
Manarisip : Membetulkan Maweru : Pembaharu
Manaroinsong: Sumber air Mawikere : Teladan
Manayang : Pergi jauh Mawuntu : Kedudukan tinggi
Mandagi : Menghiasi bunga Mekel : Lindungi
Mandang : Melambung tinggi Mema : Berbuat
Mandey : Pandai Mende : Pemalu
Manebu : Dewa peninjau Mendur : Berguntur
Manese : Bertindak dahulu Mengko : Teka-teki
Mangare : Minta dibujuk Mentang : Pemutus
Mangempis : Merendahkan diri Mentu : Rasa
Mangindaan : Tahan uji Mesak : Pendesak
Mangkey : Angkat Mewengkang : Pembuka jalan
Mangowal : Pemancung Mewoh : Lemah lembut
Mangundap : Berbahaya Mince : Main
Manimporok : Ke puncak Mincelungan : Main perisai
Manopo : Bersama datuk (opo) Minder : Menderu
Manorek : Mengganggu Mingkid : Pemberi
Mantik : Meneliti/menulis acuan/konsep
Mantiri : Pembuat benda halus Mogot : Penebus
Mantoauw : Nubuat Mokalu : Bersaudara
Manua : Negeri Mokolensang : Berdiam diri
Manurip : Menyisip Mokorimban : Pemberani
Manus : Taruhan Momongan : Pemilik
Mapaliey : Menakuti musuh Momor : Persatuan yang baik
Maramis : Menggenapi Momuat : Pengurus jamuan
Marentek : Tukang besi Mondigir : Meratakan
57
Kebudayaan Minahasa

Mondong : Menyembunyikan N
Mondoringin : Meratakan jalan Nangka : Diangkat
Mondou : Berangkat pagi Nangon : Diangkat
Mongi : Kuat kekar Nangoy : Dipikul
Mongilala : Pengusir musuh Naray : Jimat
Mongisidi : Saksi dan bukti Nayoan : Diberi berkat
Mongkaren : Membongkar Nelwan : Tempat terbang
Mongkau : Mencari emas Ngala : Dirintangi
Mongkol : Mematung Ngangi : Di hati
Mongula : Pemohon berkat Ngantung : Ditimbulkan
Moniaga : Kebesaran Ngayouw : Dmajukan
Moninca : Pembuah ramai Ngion : Diperoleh
Moningka : Penambah tenaga Nnder : Gerakan
Moniung : Menangis kecil
O
Mononimbar : Suka memberi
Ogi : Goyang
Mononutu : Pekerja tekun
Ogot : Hakimi
Montolalu : Pembagi tugas
Ogotan : Kena dendam
Montong : Pembawa
Oleng : Pikulan
Montung : Pengangkat
Oley : Teladan
Motto : Jelas
Ombeng : Kelebihan
Muaya : Berani
Ombu : Cetakan rupa
Mudeng : Berdengung jauh
Ompi : Tertutuo
Mukuan : Mempunyai buku
Ondang : Pedang
Mumek : Penyelidik
Onsu : Jimat
Mumu : Simpanan cukup
Opit : Jepitan
Mundung : Bernaung
Oroh : Perselisihan
Muntu : Gunung
Otay : Bertawakal
Muntu untu : Gunung bersusun
Muntuan : Ke gunung
Musak : Didesak
Mussu : Penjaga setia

58
Kebudayaan Minahasa

P Pepah : Lemah lembut


Paat : Pengangkat Pesik : Pancaran bara
Pai : Besar Pesot : Cekatan
Paila : Cukup besar Piay : Biasa
Pakasi : Pemberian Pinangkaan : Tempat yang
Palangiten : Sinar matahari tinggi
Palar : Tapak tangan Pinantik : Ditulis
Palenewen : Dibenamkan Pinaria : Hubungan erat
Palenteng : Peniup Pinontoan : Menunggu
Palilingan : Nasehat baik Pioh : Cucu
Palit : Bekas luka Piri : Semua satu
Panambunan : Timbunan besar Pitong : Memungut
Panda : Pinter Pitoy : Diikuti
Pandean : Amat pandai Podung : Dijunjung
Pandelaki : Pemegang bibit Pola : Pengajak
Pandey : Pinter, pandai Poli : Tempat suci
Pandi : Penghancur Polii : Pelita
Pandong : Tenaga kuat Polimpong : Didewakan
Pangalila : Berlebihan Politon : Gembira selalu
Pangau : Jauh kedalam Poluakan : Air berkumpul
Pangemanan : Dipercaya Pomantouw : Penubuat
Pangila : Berlebihan Ponamon : Pengasih
Pangkerego : Suara nyaring Pondaag : Pendamai
Pangkey : Diangkat Pongayouw : Penghulu perang
Pantonuwu : Tegas Ponggawa : Pemberani
Pantouw : Penolong bijaksana Pongilatan : Berkilat
Parengkuan : Kepala jimat Pongoh : Berisi padat
Paruntu : Tempat ketinggian Ponosingon : Terbang
Paseki : Pengikat Pontoan : Menunggu
Pasla : Tepat tujuan Pontoan : Menunggu
Pauner : Tengah Pontoh : Pendek
Pele : Jimat Pontororing : Bercahaya
Pelengkahu : Emas tulen Poraweouw : Penunjukan
Pendang : Pengajar Porayouw : Perenang
59
Kebudayaan Minahasa

Porong : Tudung kepala R


Posumah : Pembagi Raintung : Daun bergerigi
Potu : Tekun Rambi : Bunyi merdu
Poyouw : Yang diberikan Rambing : Bunyi suara merdu
Pua : Buah Rambitan : Tambahan bunyi
Pungus : Pengawas Rampangilei : Kembar bersih
Punuh : Orang terdahulu Rampen : Kelebihan
Purukan : Punya kedudukan Rampengan : Berkelebihan
Pusung : Penangkal serangan Ransun : Bawang
Putong : Penyelidik Ranti : Pedang
Rantung : Terapung
Raranta : Naik tangga
Rares : Sehat
Rarun : Sudah tua
Rasu : Penyimpan
Ratag : Terlepas
Ratu : Batu jumat
Ratulangi : Jimat dari langit
Ratumbuisang: Batu berbintik
Ratuwalangaouw: Batu berantai
Ratuwalangon: Batu panjang
Ratuwandang : Batu merah
Rau : Jauh
Rauta : Dewata
Regar : Bebas
Rei : Bebas celaka
Rembang : Burung rawa
Rembet : Berpegang teguh
Rempas : Memasak
Rengku : Tundukan
Rengkuan : Ditunduki
Rengkung : Dihormati
Repi : Pemikir
Retor : Penghalang
60
Kebudayaan Minahasa

Rimper : Potong rata Rumpesak : Kedudukan


Rindengan : Bergerigi Runturambi : Kehormatan
Rindengan : Sama-sama
Rindo-rindo : Suara gemuruh
Robot : Lebih
Rogahang : Berkeringat
Rogi : Banyak bicara
Rolangon : Berantai
Rolos : Kepala
Rombot : Dilebihi
Rompas : Penyimpan rahasia
Rompis : Pekerja baik/rukun
Rondo : Lurus
Rondonuwu : Bicara lurus
Rooro : Penggerak
Rori : Dihormati
Rorimpandey : Sempurna
Roring : Kemuliaan
Rorintulus : Cahaya
Rosok : Tepat
Ruaw : Bulan purnama
Ruidengan : Bersama
Rumagit : Menyambar
Rumambi : Membunyikan
Rumampen : Jadi satu
Rumampuk : Memutuskan
Rumayar : Mengibarkan
Rumbay : Tidak perduli
Rumende : Mendekati
Rumengan : Sejaman
Rumenser : Tetesan air
Rumimpunu : Yang dimuka
Rumincap : Berhati baik
Rumokoy : Membangunkan
61
Kebudayaan Minahasa

S Sinolungan : Memprakarsai
Salangka : Benda persembahan Sirang : Potongan
Salendu : Banyak ide Siwu : Penghancur musuh
Sambouw : Bunga kayu Siwy : Siulan
Sambuaga : Bunga kayu Solang : Pedang
cempaka Somba : Pelindung
Sambul : Berlimpah Sompi : Penyimpan rahasia
Sambur : Melimpah Sompotan : Meluputkan
Samola : Membesar Sondakh : Pengawas
Sangkaeng : Paras kecil Soputan : Letusan
Sangkal : Satu paras Sorongan : Bergeser
Sarapung : Perkasa Suak : Kepala
Saraun : Sepintas remaja Sualang : Karunia
Sarayar : Buka jemuran Suatan : Pengharapan
Sariowan : Pelancong Sumaiku : Panjang idenya
Sarundayang : Pengiring Sumakud : Menewaskan
Saul : Lengah Sumakul : Menewaskan
Seke : Perorangan Sumangkud : Terikat
Seko : Sentakan Sumanti : Mempergunakan
Sembel : Penuh Sumarandak : Gemerincing
Sembung : Bunga Sumarauw : Pendidik
Semeke : Tertawa Sumele : Pembatas
Senduk : Senang Sumendap : Menyinari
Sengke : Guling Sumesei : Pengawas
Sengkey : Pengguling Sumilat : Mengangkat
Senouw : Cepat Sumlang : Main pedang
Sepang : Cabang jalan Sumolang : Memainkan pedang
Sigar : Kaya Sumual : Memiliki kelebihan
Sigarlaki : Kekayaan Sumuan : Mengesahkan
Simbar : Terbuang Sundah : Tidak menetap
Simbawa : Banyak kemauan Sungkudon : Buah persembahan
Sinaulan : Penasehat Suot : Puas
Singal : Perintang musuh Supit : Menjepit musuh
Singkoh : Dibatasi Surentu : Banyak bicara
62
Kebudayaan Minahasa

Suwu : Serbu T
Taas : Kuat
Tairas : Terangkat dari dalam
Talumepa : Berjalan didaratan
Talumewo : Perusak
Tambahani : Senang bersih
Tambalean : Menuju Barat
Tambarici : Dibelakang
Tambariki : Dibelakang
Tambayong : Gemar kekayaan
Tambengi : Amat cepat
Tambingon : Keliling
Tamboto : Menghias kepala
Tambun : Timbun
Tambunan : Timbunan
Tambuntuan : Puncak tinggi
Tambuwun : Menandingi
Tamon : Disayangi
Tampa : Bunga
Tampanatu : Bunga api
Tampanguma : Bunga mekar
Tampemawa : Turun kelembah
Tampemawa : Turun kelembah
Tampenawas : Memotong daun
Tampi : Setia
Tampinongkol: Suka berkelahi
Tandayu : Pemuji
Tangka : Amat tinggi
Tangkere : Teladan
Tangkow : Nyanyian
Tangkudung : Perisai pelindung
Tangkulung : Perisai pelinding
Tanod : Tambu
Tanor : Tambur
63
Kebudayaan Minahasa

Tanos : Teratur Tooi : Pengikut


Tarandung : Jalan Torar : Biasa matahari
Taroreh : Diangkat Torek : Berkekurangan
Taulu : Dijunjung Towo : Dari atas
Tawas : Penawar mujarab Tuegeh : Tumpukan
Tendean : Tempat berpijak Tuera : Perintah
Tengges : Tempat memasak Tulandi : Pemecah batu
Tenggor : Menghilang Tular : Penasehat
Tengker : Bergemuruh Tulenan : Tetap tolong
Terok : Pedagang keliling Tulung : Pandai menolong
Tidayoh : Senang dihormati Tulus : Penengah
Tiendas : Berkurang Tulusan : Menengahi
Tikoalu : Penakluk Tumanduk : Pelindung
Tikonuwu : Pandai bicara Tumangkeng : Merombak
Tilaar : Kerinduan Tumatar : Kebiasaan
Timpal : Persekutuan Tumbei : Berkat
Tinangon : Terangkat Tumbelaka : Diberkati
Tindengen : Pemalu Tumbol : Penopang
Tintingon : Melambung Tumbuan : Kaya
Tirayoh : Senang dihormati Tumembouw : Berteman
Tiwa : Menaiki puncak Tumengkol : Penahan
Tiwow : Berniat Tumewu : Melenyapkan
Tmbuleng : Pemikul Tumilaar : Yang dirindukan
Toalu : Didepan Tumilesar : Telentang
Todar : Bertahan Tumimomor : Tempat yang baik
Togas : Pantang surut Tumiwa : Ingatan
Tololiu : Penghambat Tumiwang : Mengingat
Tombeng : Secepat angin Tumober : Hadiah
Tombokan : Berkelebihan Tumondo : Tujuan pasti
Tombokan : Pemukul akhir Tumonggor : Disiapkan
Tompodung : Dijunjung Tumundo : Pembawa terang
Tompunu : Membuyarkan Tumurang : Pemberi bibit
musuh Tumuyu : Yang dituju
Tongkeles : Percepat Tunas : Asli
64
Kebudayaan Minahasa

Tundalangi : Tatapan dari langit W


Tungka : Terangkat Waani : Pahlawan
Turang : Menopang Wagei : Tertarik
Turangan : Berkelebihan Wagiu : Cantik/rupawan
Tuwaidan : Lengkap Waha : Bara api
Tuyu : Penunjuk Wahon : Moga-moga
Tuyuwale : Menuju rumah Wakari : Teman serumah
Wala : Cahaya
U
Walalangi : Cahaya dari langit
Uguy : Pembawa rejeki
Walanda : Cahaya berlalu
Ukus : Kurang gemuk
Walandouw : Cahaya siang
Ulaan : Ditakuti
Walangitan : Cahaya kilat
Umbas : Kuat bersih
Walean : Komplek rumah
Umboh : Penolak bahaya
Walebangko : Rumah besar
Umpel : Menyenangkan
Walelang : Rumah tinggi
Undap : Cahaya sinar
Waleleng : Rumah tersendiri
Unsulangi : Diatas
Walian : Dukun
Untu : Gunung
Walintukan : Taufan
Waluyan : Lewat
Wanei : Prajurit
Wangania : Buat sekarang
Wangko : Besar
Wantah : Patokan
Wantania : Patokan tetap
Wantasen : Yang jadi patokan
Wariki : Pendidik
Watah : Be ani
Watti : Nubut
Watugigir : Batu licin
Watuna : Biji bersih
Watung : Timbul terus
Watupongoh : Teguh
Waturandang : Batu merah
Watuseke : Berani
65
Kebudayaan Minahasa

Wauran : Cabut pilihan Wondal : Jimat


Wawoh : Ketinggian Wongkar : Membangun
Wawointama : Cita-cita tinggi Wonok : Peruntuk
Wawolangi : Di ketinggian Wonte : Kuat teguh
Wawolumaya : Diatas puncak Wooy : Hujan rahmat
Waworuntu : Diatas gunung Worang : Kuat ikatan
Weku : Penasehat Worotikan : Pancarana api
Welong : Kurang daya Wotulo : Pembersih
Welong : Pemikul Wowilang : Pendorong
Wenas : Penyembuh Wowor : Obat kesohor
Wenur : Persembahan Wuisan : Pengusir
Weol : Penasehat Wuisang : Mengusir
Wetik : Berperan Wulur : Puncak
Wilar : Pembuka Wungkana : Gelang jimat
Winerungan : Menghiasi Wungow : Bicara seenaknya
Winokan : Men coba Wuntu : Gunung
Woimbon : Bercahaya Wurangian : Pemarah
Wokas : Penyelidik Wuwung : Kelebihan
Wola : Cahaya Wuwungan : Diatas atap

66
II.1.4.b.Mapalus
Masyarakat Minahasa pada umumnya memiliki adat istiadat dan budaya yang
dikenal dengan sebutan Mapalus. Budaya mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu
ini telah berakar dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut
sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa
dirasakan sikap suka membantu dan bekerjasama. Kecuali beberapa kegiatan yang
merupakan rangkaian dari ‘mapalus’ seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok
untuk ber’mapalus’ sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan
modernisasi.

II.1.4.c.Syukuran
Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap kecamatan atau
kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan. Kegiatan
ini dipusatkan di gereja-gereja yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud
diadakannya upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan
anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk masyarakat Minahasa
dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki kemiripan dengan upacara "Thanksgiving"
di Amerika.

II.1.4.d. Rumah Adat


Disebut dengan istilah wale atau bale, yaitu rumah/ tempat melakukan akivitas
untuk hidup keluarga. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari
dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan
tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah
satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
Ada pula yaitu rumah kecil untuk tempat beristirahat, berlindung sewaktu hujan,
memasak ataupun tempat menyimpan hasil panen sebelum dijual. Ciri utama rumah
tradisional ini berupa "Rumah Panggung" dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Beberapa
abad lalu terdapat rumah tradisional keluarga besar yang didiami oleh 6 sampai 9
keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga tersendiri dan mempunyai
dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri. Saat ini jarang ditemui rumah adat
besar seperti ini. Pada umumnya susunan rumah terdiri atas emperan (setup), ruang tamu
(leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling depan (setup) berfungsi
untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga, juga tempat makan tamu.
Bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat
menyimpan alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah/loteng
(soldor) berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil
lainnya. Bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat
menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan rumah seperti anjing.
Untuk melihat rumah tradisional adat Minahasa ini, dapat ditemukan pada desa-desa di
Minahasa yang umumnya sebagian rumah masih berupa rumah panggung tradisional.
Akan tetapi kebanyakan telah mengalami perubahan bentuk, sesuai dengan kebutuhan
pemiliknya
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga
didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut
dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka
roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya

II.1.4.e. Naik Rumah Baru


Selain upacara syukuran di atas, di tanah Minahasa juga dikenal memiliki upacara-
upacara adat yang lain seperti jika seseorang/keluarga akan menempati sebuah rumah atau
menempati tempat kediaman baru maka orang/keluarga tersebut akan melaksanakan
upacara syukuran "Naik Rumah Baru", hal ini dianalogikan dengan bentuk rumah
tradisional Minahasa yang berbentuk rumah panggung sehingga untuk memasukinya harus
menaiki sejumlah anak tangga.

II.1.4.f. Tari Perang Kabasaran


Kota Minahasa yang penduduknya sebagian besar adalah suku Minahasa,
mempunyai tarian perang yang bernama Kabasaran. Kabasaran adalah sekelompok pria
yang memakai baju adat perang Minahasa. Kabasaran juga sering disebut dengan Cakalele,
tapi sebutan Cakalele adalah sama dengan tarian perang dari daerah Maluku. Pada saat ini
Tarian Perang Kabasaran dipertunjukan pada saat-saat pawai dan juga pada waktu
penjemputan tamu-tamu pentingdaerah.
Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur
sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda
dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan
yang lemah gemulai.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari
kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam
menjadi lebih garang dalam bertarung.
Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti
Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut
Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang
bertarung.
Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan
gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak
tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan
tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf
“W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak
memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun
akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.
Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-
upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila
Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei
(prajurit perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau
sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua
langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.
Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari
leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun.
Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja,
sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :
Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya
berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi
berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan
berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang
berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari
Kabasaran.
Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya,
mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk
menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti
membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan
diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang
gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari
yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam
bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik.
Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali
pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.
Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan
kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya
di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN.
Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan
kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa
punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan
Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni
dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.
Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang
sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor
karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah,
Tinonton, Pasolongan, Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag
diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga
hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan
adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau
giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).
Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai
Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan
bahwa
Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan
tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga
pemimpin negeri. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda
Residen, kontrolir oleh Kabasaran.
Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).
Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24
hari. Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas,
akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat
itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap
kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan
polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun
malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup
melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada
dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh
orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut
“Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat
tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain. Sungguh mengerikan para Kabasaran pada
waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup
membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.

II.1.4.g. Tarian Maengket


Kata MAENGKET terdiri dari kata dasar ENGKET yang artinya mengangkat tumit
kaki turun naik, dan awalan MA yang merubah kata dasar menjadi kata kerja menari-turun
naik. Dengan demikian sebutan klasifikasi jenis MAENGKET : Maengket "Owey
Kamberu" dapat dikatakan menari "Owey Kamberu", Maengket "Marambak" dapat
dikatakan menari "Marambak", Maengket "Lalayaan" dapat dikatakan menari "Lalayaan".
Fungsi MAENGKET dalam upacara adat jaman tempo dulu, adalah sebagai bahagian dari
serangkaian upacara petik padi MANEMPO' (Tontemboan), MANGUPU' (Tombulu,
Tonsea), MASAMBO (Tondano). Yang terdiri dari Tarian untuk mengundang roh leluhur
Dewa-Dewi dan nyanyian memuji SI EMPUNG (Tuhan) disebut SUMEMPUNG dan
minta berkat perlindungan pada Dewa-Dewi yang disebut MENGALEI. Oleh karena itu
tarian MAENGKET sebenarnya bukan murni tarian, tapi perpaduan dua cabang kesenian
yakni seni tari dan seni menyanyi. Ada dua tarian Minahasa yang sudah punah, dimana si
penari tidak menyanyi yaitu MANGOLONG tarian upacara kedukaan dan
MAHAWALIAN tarian para pemimpin adat dan agama asli TONA'AS dan WALIAN.
Dengan demikian tarian MAENGKET termasuk cabang kesenian tradisional Minahasa,
yang memiliki "Faktor kesulitan" yang cukup tinggi dalam pelatihannya dan
penampilannya, karena harus menghayati gerak tari dan intonasi suara.
Yang dimaksud dengan rangkaian upacara petik padi adalah musim pesta adat yang
berlangsung selama sembilan hari, dengan tarian "Maowey Kamberu", tarian "Lalayaan"
pada upacara bulan purnama MAHATAMBULELENEN (Tombulu), MASISERAP
(Tontemboan). Dan biasanya di ikuti dengan upacara SUMOLO (solo = lampu) pada
pemasangan lampu rumah baru untuk pertama kalinya, tarian pada acara ini disebut
"Marambak" (rambak = Banting kaki) untuk secara simbolisasi menguji kekuatan rumah.
Rumah adat Minahasa jaman tempo dulu disebut "Wale wangko" (rumah besar) yang
bentuknya memanjang dihuni oleh tujuh sampai sembilan keluarga. Apabila penduduk
sebuah "Wanua" atau "Ro'ong" yang dalam bahasa melayu Manado disebut "Negeri" sudah
cukup banyak, maka dibangunlah satu rumah baru untuk keluarga-keluarga baru yang
ingin memisahkan diri dari orang tua mereka. Peresmiannya dilakukan setelah panen raya
padi yakni setelah bulan purnama raya, urutan-urutan upacara adat telah di tentukan
sebelumnya oleh pemimpin negeri, merangkap pemimpin adapt TONA'AS WANGKO.
Setelah bintang tiga "Kateluan" terlihat, maka si Tonaas mulai membuat simpul pada
seutas tali disebut "Mamules", tiap hari membuat satu simpul pada tali selama sembilan
hari kemudian istirahat satu hari.
Kemudian dilanjutkan lagi tujuh hari berturut-turut lalu istirahat satu hari,
selanjutnya lima hari lagi lalu istirahat, dan tiga hari lagi, pada hari berikutnya adalah
bulan purnama raya. 9 + 1 + 7 + 1 + 5 + 1 + 3 + 1 = hari ke-28 bulan purnama raya, tujuh
hari sebelum bulan purnama dilakukan tarian "Maengket Owey Kamberu" dihalaman batu
TUMOTOWA, pada hari ke-28 secara resmi panen raya dimulai, malam harinya adalah
bulan purnama raya dilakukan "Maengket Lalaya'an, tujuh hari setelah bulan purnama
dilakukan peresmian rumah baru upacara "Sumolo". Karena TONA'AS WANGKO juga
memegang jabatan sebagai TONA'AS SAKA (Panglima perang) pemimpin para
"Waranei", maka ketika melihat bintang tiga "Kateluan" muncul, maka dia menyuruh anak
buahnya "Mamu'is" pergi menangkap tawanan bila ada upacara naik rumah baru. Karena
sebelum pemasangan atap rumah baru ada upacara "Pangari'ian" (ari'i = tiang) raja, kurban
kepala manusia ditanamkan dibawah tiang raja, inilah yang dimaksud syair "Mangido-
ngido-do" pada Maengket Marambak Tonsea.
Pemimpin tarian MAENGKET adalah kaum wanita sebagai "Walian in uma"
pemimpin upacara kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh "Walian Im
penguma'an" lelaki dewasa. Pemimpin golongan WALIAN atau golongan agama asli
(agama suku) disebut "Walian Mangorai" seorang wanita tua, yang hanya berfungsi
sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacara-upacara kesuburan. Untuk
memulai tarian maka si pemimpin tarian MAENGKET menari melambai-lambaikan
saputangan mengundang dewi bumi (Lumimu'ut), dan setelah kesurupan Dewi Bumi,
barulah tarian dimulai, oleh karena itu semua penari MAENGKET harus memakai
saputangan. Agar supaya para penari tidak kemasukan (kesurupan) roh jahat (Tjasuruan
Lewo') ada pembantu TONA'AS WANGKO menemani "Walian in uma" yang disebut
"Tona'as in uma" pria dewasa yang memegang tombak symbol Dewa Matahari TO'AR
(To'or = Tu'ur = tiang tegak = Tombak). Oleh karena itu di halaman batu "Tumotowak"
(Tontembuan) "Panimbe" (Tondano), "Pa'lalesan" (Tombulu), "Pasela" (Tonsea)
ditancapkan tiang-tiang bambu berhias disebut "Tino'or" (Tontemboan), "Toto'or"
(Tombulu), sewaktu dilakukan tarian Maengket "Owey Kamberu". OWEY termasuk kata
keluhan karena lelah fisik dan lelah pikiran yang sama artinya dengan Bahasa Tondano
AMBO, rasa lelah yang berada diluar kekuasaan manusia, hingga keluhan membawa rasa
nikmat, menikmati rasa lelah karena ada hasil yang menyenangkan dibalik kelelahan itu,
misalnya lelah menanam padi akan menghasilkan kesenangan waktu menuai padi.
Karena Minahasa terdiri dari kesatuan beberapa sub ethnic seperti, Tontemboan,
Tombulu, Tonsea, Tondano, Tonsawang, Ratahan Ponosakan dan Bantik. Maka syair lagu
nyanyian MAENGKET juga memakai dialek bahasa-bahasa sub ethnic Minahasa tersebut,
menyebabkan ada beberapa sebutan istilah yang berbeda misalnya MA'OWEY (Tombulu,
Tonsea) di Tontemboan disebut MAWINSON, MAKAMBERU di Tombulu disebut
MAWAREI DI Amurang-Tontemboan. Tapi semua subethnik Minahasa mengakui bahwa
Dewi padi itu bernama LINGKANWENE (liklik = keliling, Wene = padi) yang dikelilingi
padi, penguasa produksi padi, suaminya adalah pemimpin semua Dewa-dewi, Maha dewa
MUNTU-UNTU. Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar MUNTU-UNTU dan
istrinya bernama LINGKANWENE, yang pertama kemungkinan hidup abad ke-sembilan,
yang kedua hidup abad ke-12, yang ketiga hidup abad 15. MUNTU-UNTU yang terakhir
inilah yang di kisahkan dalam syair "maowey kamberu" telah dibabtis oleh Pater Spanyol
masuk Kristen-katolik. Umumnya ceritera dewa-dewi padi, MUNTU-UNTU,
TAMATULAR, SAMBALEAN, PARENKUAN, TUMIDENG, PANAMBUNAN (dewa
padi lading), PALENEWEN (dewa padi sawah) dalam lagu "Maowey Kamberu" berkisah
sedih yang melelahkan hati. Tapi produksi beras di Minahasa sangat terkenal di kawasan
Indonesia Timur, sehingga mengundang bangsa barat Spanyol menanam padi sawah di
Motoling Minahasa Selatan dan baru berakhir tahun 1644 selama satu abad. Yang bergelar
MUNTU-UNTU yang dibabtis pater Spanyol sudah pasti LOLONG LASUT karena dotu
inilah yang memberi ijin Spanyol mendirikan kantor dagang "Loji"di "Menango labo"
(pelabuhan Wenang) sekarang kota Manado.
Tangga nada lagu MAENGKET dalam upacara adat disebut Penthatonis Owey
(lima not) ; la (6), sol (5), mi (3), re (2), do (1), dan Penthatonis ROYOR (lima not) ; si (7),
la (6), sol (5), mi (3), re (2). Setelah tahun 1900 tarian MAENGKET tidak lagi menjadi
bahagian dari upacara adat, karena upacara-upacara adapt di Minahasa yang disebut
"Posan" tidak lagi dilakukan orang Minahasa. Tarian MAENGKET kemudian menjadi
salah satu cabang kesenian "Seni Pertunjukkan" terutama sekali pada acara "Kuda Baan"
(Balapan kuda) di Sario-Manado, Walian-Tomohon, Kawangkoan Tonsea, Kawangkoan
Tontemboan, Tasuka-Kakas, kelompok MAENGKET saling bertanding memperebutkan
bendera merah putih. Tidak adalagi "Kesurupan" dalam menari MAENGKET semua
patokan ke-indahan penampilan lomba ditentukan berdasarkan teori hukum-hukum seni
musik dan seni tari dengan menggunakan dasar "Estetika" seni tradisi. Sekitar tahun 1950-
an setelah Hindia Belanda angkat kaki dari Minahasa, lahirlah jenis MAENGKET
"Imbasan" yang secara umum syair utamanya mengenai perjuangan kemerdekaan dan
falsafah Negara, yang mengandung muatan misi agama Kristen disebut "Tari Jajar".
Aturan dan ketentuan tarian MAENGKET menjadi longgar dan kehilangan pegangan yang
disebut "Pakem" dalam ilmu teori tarian jawa. Oleh karena itu banyak pakar MAENGKET
di Minahasa kemudian meneliti lagi aturan-aturan Maengket jaman sebelum tahun 1900,
yang mungkin dapat di sesuaikan dengan MAENGKET jaman sekarang.
Yang tidak dapat dirubah lagi adalah bahwa tangga nada MAENGKET jaman
sekarang adalah "Diatonis"; do (1), 2 (re), mi (3), fa (4), sol (5), la (6), si (7), 1, satu oktaf.
Pemimpin tarian MAENGKET tidak dapat lagi dinamakan "Walian in Uma" (wanita) atau
"Walian im Penguma'an" (pria) tapi disebut KAPEL. Tapi pengaruh fungsi MAENGKET
sebagai upacara adat jaman tempo dulu, belum sama sekali menghilang di Minahasa
hingga sekarang ini. Yakni muatan Supranatural yang dalam bahasa Belanda disebut
"Mokus Pokus" yang prakteknya masih terasa terutama dalam acara pertandingan
MAENGKET memperebutkan kejuaraan. Tapi masalah diluar teori ini, hanya sekedar
untuk diketahui dan memang tidak dapat dibahas sebagai pengetahuan ilmu seni, karena
terdapat secara umum dalam dunia kesenian tradisional diseluruh nusantara. Ciri has suara
penyanyi MAENGKET dengan nada keras dan melengking yang disebut "Suara lima"
tidak termasuk Supranatural, walaupun jaman tempo dulu penyanyi MAENGKET
mengarahkan suaranya ke gunung-gunung tinggi tempat bersemayam Dewa-dewi. Anggap
saja hadirin dan para penonton itu Dewa-dewi, karena nama-nama para leluhur dewa-dewi
itu masih digunakan orang Minahasa hingga sekarang ini, seperti ; TULAR (Tamatular),
TILAAR (Tumilaar), MUNTU-UNTU, MAMOTO', PARENGKUAN, PANAMBUNAN,
PALENEWEN, dan sebagainya.
II.1.4.h. Tari Tumetenden
Tarian yang diturunkan dari legenda tumetenden, yang menceritakan bagaimana
seorang pemuda tampan menikahi seorang dari 9 (sembilan) bidadari yang turun dari
khayangan untuk mandi pada suatu kolam di danau.

II.1.4.i. Tarian Lenso


Menceritakan bagaimana kira-kira seorang pemuda yang menggunakan pergerakan
yang manis untuk menarik hati gadis yang cantik

II.1.4.j. Kolintang
Kolintang adalah instrument musik yang berasal dari Minahasa biasanya Kolintang
dipakai sebagai pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik
instrumen saja. Kolintang sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah
dipromosikan ke luar negeri. Kolintang dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu
terdiri dari 5 sampai 6 orang.

II.1.4.k. Musik Bambu


Musik bambu juga adalah musik tradisional dari Minahasa satu regu terdiri 30 - 40
orang bahkan ada yang lebih. Musik bambu dari Minahasa juga sudah sangat terkenal di
Indonesia bahkan tidak jarang acara dari luar Sulawesi Utara yang mengundang 1 regu
musik bambu.

II.1.4.l. Lagu Daerah


Minahasa juga merupakan daerah yang memiliki lagu daerah yang cukup dikenal,
diantaranya adalah:
a. Esa mokan Sayang sayang si patokaan
b. Luri wisako Matego tego gorokan sayang
c. O ina ni keke Sayang sayang si patokaan
d. Opo wananatas Matego tego gorokan sayang
e. Sa aku ika genang Sako mangemo tanah man jauh
f. Mars Minahasa Mangemo milei leklako sayang
g. Si Patokaan :
II.1.4.m. Bahasa
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua
Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya
dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak
baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut
diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat
Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung
Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan
dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/
taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga
bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas
tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi
kebudayaan Minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa
atas manusia sudah dijalankan di Minahasa sejak awal.
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan,
Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Pernah ada bahasa Ponosakan dan Bentenan, tapi
bahasa-bahasa itu sekarang sedang dalam proses kepunahan. Di samping bahasa-bahasa di
atas ada bahasa Melayu Manado yang digunakan sebagai bahasa pergaulan umum di
seluruh Minahasa malah sampai jauh di luar daerah Propinsi Sulawesi Utara.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Minahasa selain menggunakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa.
Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari sembilan macam jenis bahasa daerah yang
dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll.
Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Minahasa adalah bahasa Tombulu,
karena memang wilayah Minahasa termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa
percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Minahasa
khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari
Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini,
semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut
semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.
Walaupun tidak berdasarkan sensus dapat dikatakan bahwa penutur-penutur Dialek
Tontemboan adalah jumlah terbesar di Minahasa.
Kemunduran bahasa-bahasa Minahasa yang dirasakan masa kini adalah:
Tidak ada perhatian terhadap bahasa sendiri.
Penutur-penutur bahasa Minahasa belum mengenal akan bahasanya sendiri, walaupun ia
mahir menggunakannya.
 Tidak ada dorongan untuk mempelajari bahasanya.
 Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menggeserkan bahasa sendiri.
 Pelajaran-pelajaran bahasa asing lebih mempunyai aspek keuntungan.
 Belum ada buku yang memberi pelajaran dalam bahasa sendiri.
 Pemberitaan tentang bahasa Minahasa dapat dikatakan tidak ada.
 Keindahan dan kekayaan Bahasa Minahasa belum pernah di ungkapkan.

II.1.4.n. Tulisan Kuno Minahasa


Tulisan kuno Minahasa bersifat Ideogramatis: (Gambar atau simbol yang
merupakan seorang, obyek atau ide, tetapi dengan gambar atau kalimat tetap. Sebagai
contoh, tulisan Cina adalah ideogramatis).
Kata "Minahasa" artinya "konfederasi" atau juga "negara yang dibentuk melalui gabungan
beberapa daerah". Minahasa merupakan grup etnis yang hidup di Sulawesi Timur Laut dan
terdiri dari 8 suku.
Berlawanan dengan grup-grup etnis yang lain di Sulawesi, yang beragama Muslim,
orang Minahasa beragama Kristen. Walaupun jumlah sangat sedikit yang buta huruf, orang
Minahasa disebut "tolfuros", yang berarti "setengah-liar" atau "kejam". Mereka bicara
berdasarkan bahasa malayu, tetapi bentuk mereka, secara fysik, lain dibanding dengan
suku-suku bangsa lainnya di pulau itu; menurut beberapa sumber mereka mempunyai sifat
yang khas Jepang. Menurut cerita itu mereka masuk dari bagian utara ke pulau ini.

II.1.4.o. Busana Tradisional Minahasa


Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi
Utara. Dalam kehidupan sehari-hari ada kecenderungan bagi suku bangsa Minahasa untuk
menyebut diri mereka sebagai orang Manado.
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya,
disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang
disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan
kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam
terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai
krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari
bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.
Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari
bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol
terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh
Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-
bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang
modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari
kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak
Baju Ikan Duyung
Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari
baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik
ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang
bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model
salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga,
disebut laborci-laborci.
Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk
konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan
gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang
menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang
memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-
macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung
cendrawasih.
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka,
celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup
ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki
krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan
topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.
Busana Pemuka Adat
Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi,
potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga
padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah.
Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna
merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas
Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak
bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain
berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit
dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya
panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci).
Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah,
selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.
Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian
menjadi model dari jenis-jenis pakaian adat Minahasa untuk berbagai keperluan upacara,
bagi warga maupun aparatur pemertintah setempat. Jenis-jenis dan bentuk busana di atas
merupakan kekayaan budaya Minahasa yang tak ternilai harganya. Selain sebagai
penunjuk identitas kebudayaan, busana adat tersebut menumbuhkan kebanggaan bagi
masyarakatnya.

II.1.4.p. Kuliner
Makanan
Dahulu orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah
makan Manado. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan yang tidak
akrab, dan kedua takut kepedasan.
Maklumlah masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup
hingga hidangan utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa dipanggil
rica anjing.
Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak
daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai
cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer. Tapi kini rasa takut untuk
makan di resto Manado lambat laun telah hilang.
Sekarang banyak orang mulai lebih mengetahui bahwa makanan ini sebetulnya
sehat dan halal karena kebanyakan resto Manado tidak menjual daging anjing dan babi.
Strategi ini didasarkan pada pemikiran, bahwa kalau hidangan yang disediakan halal, maka
segmen pasarnya pasti lebih besar. Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat
menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk,
daun sereh, daun bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan,
cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya. Umumnya orang Minahasa memasak secara
tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai
bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika
ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda.
Minuman
Saguer dan Cap Tikus
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan
melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho
dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus
tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin
tinggi pula kadar alkoholnya.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut
kalangan petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai
dan peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon
enau.
Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang
digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut
saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer
semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin
tinggi kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani
sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian
uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-
tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan
pasti kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap
warga Minahasa ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu
mulai dikenal sejak nenek moyang mereka.
Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di
kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau
memulai pekerjaannya, minum satu seloki (gelas ukuran kecil, sekali teguk) Cap Tikus.
Minuman ini, menurut Pendeta Dr. Richard AD Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas
Kristen Tomohon (Ukit) dikenal oleh setiap orang Minahasa sebagai minuman penghangat
tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja.
Sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu
orang-orang tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap
Tikus. Sejak dulu pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap
Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga
seloki bakal ke neraka.
Pak tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja
bertambah. Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah darah, dan
semangat kerja.
Tanda awas langsung diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika
menambah lagi satu seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki orang
bakal mudah terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol yang masuk ke
tubuhnya membuat orang mudah tersinggung dan rentan berbuat kriminal.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di
sela-sela hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-
disebut pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang
rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan,
sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa
makan banyak.
Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi
minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik
menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama
disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus
yang baik akan mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api.
Mengapa dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan,
nama itu dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus
hutan bermain hidup.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong
semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah
menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan
nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka.
Selain bisa diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah
pabrik anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke
kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.
II.1.4.q. Pariwisata
Wisata Megalit Watu Pinawetengan
Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah batu bergores
yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk setempat batu bergores ini
disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini merupakan bongkahan batu besar alamiah,
sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-
goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang
membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki, menggambarkan kemaluan
perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tidak jelas maksudnya. Para ahli
menduga bahwa goresan-goresan tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan
kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur
(nenek moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur dan
menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus melakukan
upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh keselamatan atau memperoleh apa
yang diharapkan (seperti: keberhasilan panen, menolak marabahaya atau mengusir
penyakit) dengan menggunakan batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat tempat
bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-
Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi
daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam
kelompok-kelompok etnis Minahasa.
Sampai saat ini batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu
pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap sebagai
temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen sejarah, khususnya
sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa.
Watu Pinawetengan terdapat di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso. Dapat di
tempuh dari Kota Tondano dengan kendaraan umum sekitar 1 jam.

Bukit Kasih Kanonang


Objek wisata Monumen Bukit Kasih terletak sekitar 50 km arah selatan Manado,
tepatnya di Desa Kanonang. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut). Ditempat ini
perasaan kasih wisatawan akan digugah. Suasananya terasa menyenangkan sekaligus
mengharukan karena disatu tempat bisa dilihat banyak tempat beribadat untuk berbagai
agama. Objew wisata Monumen Bukit Kasih merupakan obyak wisata yang dibangun
dengan maksud untuk menggugah hati nurani masyarakat akan penting kasih dan
persaudaraan.
Bukit Kasih ini merupakan Bukit belerang yang masih alami, dimana disekitar
bukit ini dibangun Monumen Bukit Kasih memiliki tinggi 22 meter, berbentuk segi lima
sama sisi dan sama tinggi, mencerminkan kebersamaan, persaudaraan lima agama; Kristen
Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha di Sulut.

Danau Tondano
Danau indah yang terletak 600 meter dari permukaan laut dengan dikelilingi
daerah pegunungan yang rata-rata memiliki ketinggian 700 meter sehingga bentuknya
menyerupai sarang burung, dimana banyak orang datang untuk berwisata menikmati udara
pegunungan yang sejuk. Keindahan danau tondano dapat dinikmati setiap saat. Danau
dengan luas 4,278 Ha terletak kurang lebih 36 km dari Kota Manado atau 1 jam dengan
kendaraan umum.

Air Terjun Kali


Berlokasi di Desa kali kecamatan Pineleng, sekitar 10 km dari manado. Air terjun
yang alami dengan air yang bening jatuh ke bawah secara vertikal dari ketinggian 60
meter, sangat cocok untuk santai dan segar untuk mandi, serta sangat mudah dicapai
dengan kendaraan umum.

Pantai Tinggian Kolongan


Kawasan wisata pantai yang berlokasi di Desa kolongan Kecamatan Kombi,
terletak tepat di sisi jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Kota Bitung dengan
kabupaten Minahasa. Dengan pantai berpasir putih bersih terhampar luas serta beningnya
air laut. Kawasan wisata pantai yang sangat unik, karena dikelilingi oleh ladang pertanian
dengan tanaman jagung, kacang tanah, kacang hijau dan lain-lain. Dari ketinggian bukit
akan terhampar keindahan Gunung Klabat dan Gunung Dua Sudara serta hampatan
hamparan laut lepas dan tebing terjal garis pantai. Dapat ditembuh kurang lebih 1 jam dari
Kota Tondano atau 2 Jam dari Kota manado dengan kendaraan umum.
Arena Pacuan Kuda Tompaso
Berlokasi di kecamatan Tompaso atau 1,5 jam dari Kota Manado. Secara reguler
mengadakan lomba pacuan kuda untuk kuda – kuda yang berada di kabupaten Minahasa.
Selain itu di sekitar arena pacuan kuda, pengunjung dapat menikmati atau melihat tempat
pemeliharaan kuda pacu yang ada.

Gua Jepang
Gua ini berlokasi di pinggir jalan antara desa Kiawa dan kota Kawangkoan, mudah
dijangkau dari kota manado (45 km). Gua ini dibangun oleh tentara jepang selama Perang
Dunia II untuk tempat penyimpanan makanan dan gudang persenjataan. Selain Gua jepang
ini disendangan - kawangkoan juga terdapat gua jepang lainnya yang oleh masyarakat
disebut Gua 100 kamar. Gua ini masih sangat alami. Untuk mengunjungi tempat ini
pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 500 meter, dimana jalan yang dilalui masih
jalan setapak.

Pulutan
Desa ini merupakan desa industri kecil yang memproduksi keramik dari tanah liat.
Terletak beberapa km dari Kota Tondano. Pengunjung dapat menikmati pembuatan
keramik oleh masyarakat setempat.

Rafting Dan Air Terjun Sungai Minanga


Rafting dilakukan di sungai Minanga adalah petualangan atau olahraga yang penuh
tantangan. Rafting di sungai ini variasi tantangannya dengan tingkat kesulitan dari 3-4.
Sungai ini juga mempunyai dua air terjun , satu terletak di Desa Tincep dengan
tinggi 70 m dan yang lain di Desa Timbukar dengan tinggi 90 km.
Sungai minanga yang mengalir di kecamatan sonder dan sekaligus merupakan
sungai yang masih alami untuk rafting juga menyediakan air terjun yang sangat indah
untuk dinikmati. Sungai Minanga adalah tempat pertemuan dari sungai masem dan sungai
ranowangko.
Rafting di sungai ini mempunyai tingkat kesulitan yang sangat menantang.
Mengikuti pengalaman berafting di sungai minanga memberi kesan sangat menakjubkan,
karena disamping mengarungi rintangan sungai, juga dapat menikmati keaslian alam
dengan keindahannya yang masih murni diselingi dengan munculnya binatang-binatang
kecil disepanjang sungai seperti kelelawar dan lain-lain.
Ranopaso Dan Pemandian Air Panas
Ranopaso adalah bahasa masyarakat setempat yang berarti air panas, merupakan
salah satu tempat pemandian air panas yang ada di kabupaten Minahasa. Pemandian air
panas dengan nuansa tradisional ini terletak di Desa Koya Kecamatan Tondano Barat ini
sangat mudah di kunjungi karena hanya 3 km dari Kota Tondano. Selain tersedia
pemandian air panas di lokasi ini pengunjung dapat juga menikamati kolam air panas
untuk berendam.
Pemandian air panas alam di kabupaten Minahasa lainnya banyak di jumpai seperti
di Tataaran- Tondano, Karumenga, Kinali, Wale Papetaupan-Sonder, dan lainlain.
Pemandian air panas di tataaran juga menyediakn pemandangan yang indah akan
pegunungan dan persawahan yang ada di depannya. Ditempat ini juga sangat ideal untuk
tinggal menginap, karena disekitar pemandian telah tersedia penginapan. Selain itu tersedia
juga kolam pemandian yang alami. Pemandian ini dapat dijangkau dengan mudah karena
sangat dekat dengan kota Tondano hanya 3 km atau 15 menit dengan kendaraan umum.
Pemandian air panas mineral dikarumenga adalah tempat yang baik untuk
beristirahat sambil berendam. Terdapat di kecamatan Langowan tepatnya Desa karumenga
yang jaraknya 50 km dari Kota Manado.
Selain pemandian panas tersebut dikabupaten minahasa juga terdapat pemandian
air panas yang telah dikembangkan seperti Kinali di kecamatan kawangkoan, wale
papateupan di Kecamatan sonder dan paso di kecamatan remboken.

Sumaru Endo
Berada di samping Danau Tondano, tempat yang ideal untuk olahraga air seperti
Ski Air, pemancingan, dan boating. Bungalow dan restoran juga dilengkapi didaerah ini
serta kolam pemandian air panas.
Terletak kurang lebih 13 km dari Tondano atau 45 km dari Kota manado. Antara
Sumaru Endo dan Kota tondano terdapat panorama yang indah hamparan padi dan
persawahan yang berada di sisi kiri kanan jalan. Hal ini akan membuat perjalanan ke
Sumaru Endo makin menyenangkan.

Pantai Kalasey
Terletak di sebelah barat kota manao, pantai ini juga menawarkan hal yang sama
dengan yang lain, dengan pemandangan pulau bunaken dan manado tua. Di pantai kalasey
terdapat beberapa restoran yang berjajar di pantai menyediakan berbagai makanan sari
laut, khususnya ikan bakar, dengan aroma dan rasa khasnya yang mengundang selera.
Tempat wisata pantai yang tidak kalah menariknya adalah Pantai Mangatasik dan Pantai
Tasik Ria yang berada di Minahasa.

Wisata Agro Tampusu


Tampusu adalah sebuah desa berbukit, terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara
Kota Tondano. Sebagai desa yang terletak di daerah pegunungan Tampusu menawarkan
agro wisata yang sangat menarik dengan ekologinya yang indah dan utuh. Kegiatan
hortikulturnya yang begitu luas dan beraneka ragam seperti sayur-mayur, kopi, panili,
jagung dan sebagainya lebih menambah keindahan pemandangan dengan suasana
lingkungannya yang asri, nyaman dan segar. Peternakan Sapi dan Kuda serta unggas yang
dilakukan masyarakatr setempat menjadikan sebuah atraksi yang sangat menarik untuk
saksikan. Desa Tampusu juga menjadi jalur alternatif dari Kecamatan Sonder menuju
Remboken/Tondano dengan melewati persawahan yang indah, jalan pedesaan yang masih
asri. Tampusu juga sangat menarik untuk kegiatan pendakian bukit yang berada di sekitar
desa tersebut.

Makam Kyai Modjo


Salah satu penasehat Pangeran Diponegoro pada Perang Diponegoro (tahun 1825-
1830), ia diasingkan di Manado tepatnya di Tondano dan wafat pada tahun 1848.
Keturunan Kyai Modjo berkembang dan sekarang dikenal dalam satu Desa yaitu Kampung
jawa karena merupakan keturunan orang jawa pertama di Tondano. Makam ini sangat
dekat dengan Kota Tondano, kira 4 Km dari Pusat Kota.

Makam Tuanku Imam Bonjol


Bangunan Makam Tradisional ini mengingatkan Pahlawan Nasional Tuanku Imam
Bonjol dari Minangkabau Sumatera Barat, yang diasingkan di Manado dan wafat pada
tahun 1864 di Desa Lota kecamatan Pineleng. Makam ini sangat dekat dari Kota manado
hanya sekitar 5 km.

Monumen Dr Sam Ratulangi


Monumen DR. Sam Ratulangi ini terletak di Kelurahan Wawalintouan Kota
Tondano. DR. Sam Ratulangi yang adalah Pahlawan Nasional, adalah Putra Minahasa
yang wafat pada Tahun 1949. Ia juga merupakan Gubernur Pertama di Sulawesi.
Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi yang lebih dikenal dengan nama Sam
Ratulangi lahir pada 5 November 1890 di Tondano, Sulawesi Utara. Setelah menamatkan
Hoofden School (Sekolah Raja) di Tondano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah tehnik
(KWS) di Jakarta. Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh ijazah guru ilmu pasti untuk
Sekolah Menengah dari negeri Belanda dan empat tahun kemudian memperoleh gelar
dokter Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Swiss. Di negeri Belanda ia menjadi Ketua
Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi Ketua Organisasi Pelajar-pelajar Asia.
Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi
yang pertama. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya.
Pada 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di Jakarta dalam kedudukan
sebagai tawanan musuh (Belanda). Jenazahnya kemudian dimakamkan di Tondano.

II.1.4.r. Kain Ikat


Minahasa juga memiliki produk budaya berupa kain tenun khas Minahasa yang
dinamakan Kain Ikat yang digunakan pada upacara-upacara adat dan sebagai cinderamata.

II.5. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI


Dalam rangka untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam rentang kendali
penyelenggaraan tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan dan
pelayanan masyarakat usulan pembentukan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota
Minahasa diproses bersama-sama dengan 25 calon Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia,
dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI, maka Kabupaten Minahasa Selatan dan
Kota Minahasa ditetapkan menjadi Kabupaten dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU
Nomor 10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003
dengan UU Nomor 33 Tahun 2003 , Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan menjadi
daerah otonom yang baru.
Dengan adanya Pemekaran tersebut maka wilayah minahasa menjadi 3 (tiga)
Kabupaten (Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara) dan 3 (dua) Kota
(Kota Manado, Bitung dan Minahasa)
Luas wilayah administratif Kabupaten Minahasa adalah 1.024 km2. Secara
topografi sebagian besar merupakan daerah pegunungan sampai berbukit dan sebagian
kecil daerah dataran dan daerah pantai.
Dalam jaman pembangunan di propinsi ini banyak dibangun proyek-proyek raksasa
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air danau Tondano di Tonsea Lama, proyek irigasi
Dumogo, proyek jalan raya Menado-Gorontalo, proyek penangkapan ikan cakalang di Air
Tembaga dan pabrik minyak kelapa terbesar di Tonsea.

Pembangunan Kawasan Andalan

• Kawasan AGROPOLITAN PAKAKAAN

kawasan Agropolitan Pakakaan mencakup wilayah Tompaso, kawangkoan, Kakas, dan


langowan. Kawasan ini akan dikembangkan sebagai kawasan / kota pertanian, dengan
produk unggukan : Kacang Tanah, Bawang Merah, Jagung, Sayur-sayuran, Tomat
serta Peternakan Babi, Kuda, Sapi Potong.

Pada kawasan ini terdapat objek wisata Bukit Kasih Kanonang, watu Pinawetengan, Gua
Jepang, Pemandian air panas (karumenga, toraget, kinali), pacuan kuda Tompaso

• Kawasan TOMBARIRI - KALASEY

Kawasan ini terletak di sepanjang Pantai Kalasey-Tombariri dengan peluang investasi


berbasis : Kelapa, Industri makanan, Industri perikanan, pariwisata bahari (Perhotelan,
Restoran, Diving Centre, rekreasi pantai)

• Kawasan PINELENG

Kawasan ini terletak antara jalur Manado-Tomohon. Pada kawasan ini menjadi pusat
produksi buah-buahan dan bunga-bungaan.

• Kawasan DANAU TONDANO

Kawasan ini mencakup wilayah Tondano, Eris, Kakas, remboken. Merupakan kawasan
Pariwisata dan Konservasi. Kota Tondano merupakan bagian dari Kawasan danau tondano
dengan peluang investasi pengembangan sarana wisata hotel, restoran, olahraga air.
Disamping itu terdapat peluang investasi dibidang energi listrik dan penyediaan air bersih.

• kawasan LEMBEAN TIMUR

Kawasan dengan konsentrasi produksi cengkih, nenas, pisang, rumput laut dan ikan. Pada
kawasan ini terdapat objek wisata pantai kora-kora.

• Kawasan SONDER

Produksi kawasan ini adalah perikanan air tawar, peternakan, cengkih dan kerajinan rakyat,
juga terdapat tempat rekreasi pemandian, arung jeram.
Sektor Investasi

Keanekaragaman sumber daya alam di kawasan ini merupakan peluang investasi untuk
dikembangkan, seperti investasi di bidang agrobisnis (perkebunan kelapa, cengkih,
kacang, jagung). Selain itu peternakan dan perikanan masih terbuka lebar untuk digarap
secara maksimal. Termasuk juga investasi dibidang agroindustri dan pertambangan.
Peluang investasi lain yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah jasa transportasi,
industri pariwisata dan kerajinan serta pendidikan dan kesehatan.

1. TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN

PELUANG
KOMODITAS LOKASI POTENSI
INVESTASI
20.000 HA.
Hampir semua kecamatan Pabrik makanan
Produksi rata-
lokasi utamannya Kakas, ternak, pengolahan
Jagung rata 3 Ton/Ha
Tompaso, kawangkoan, tepung dan minyak
Jagung Pipilan
Langowan jagung
Kering
Luas areal 3.000
Kawangkoan, Langowan, Ha. Rata-rata Industri makanan
Kacang Merah
Kakas, Tompaso produksi 3,25 (pengalengan)
T0n/Ha
Processing Virgin
Tombariri,Pineleng,
16.608 Ha. rata- Coconut oil, kopra
Tombulu, Kombi, Lembean
Kelapa rata produksi 6.900 putih, sabut kelapa,
Timur, Kakas dan
butir kelapa/ha/thn Carbon aktif, nata de
langowan timur
Coco
Kombi, Lembean Timur, lebih 10.000 Ha
Industri pengolahan
Cengkih Sonder, sebagian dengan produksi
minyak cengkih
langowan timur 653 Kg/ha
Peternakan, Cut-up
Peternakan Hampir 100.000
Semua Kecamatan dan Packaging,
Babi Ekor
Ekspor
Semua Kecamatan, saat Peternakan, Cut-up
Sapi Potong ini tersedia di Desa 17.411 Ekor dan Packaging,
tampusu Ekspor
Tompaso dan
Kuda pacu Breeding
Kawangkoan

Lebih dari 400.000


Cut Up and
ekor ayam buras,
Packaging,
Ayam Semua kecamatan 200.000 ayam ras,
pemasaran eksport
1.300.000 ayam
ayam buras
petelur
Pendidikan

Untuk meningkatkan dunia pendidikan di Minahasa, Dinas Pendidikan Minahasa,


mengajukan permintaan penambahan tenaga guru melalui BKD untuk di lanjutkan ke
pusat. Tenaga guru di Minahasa Utara, terkesan sangat minim, sehingga beberapa sekolah
di Minahasa mengalami kekurangan tenaga pengajar, saat ini Minahasa masih
membutukan kurang lebih enam ratus tenaga guru, sehingga apa yang menjadi rencana
pemerintah Minahasa akan tercapai.
Selain itu, Guna memajukan dunia pendidikan di Minahasa, bupati Stefanus Vreeke
Runtu (SVR) kembali membuat terobosan untuk merangsang prestasi siswa di Minahasa.
Sebagaimana pernah diungkapkan bupati, kalau program tersebut semata-mata untuk
peningkatan prestasi siswa. Selain itu, program tersebut untuk menunjang Sumber Daya
Manusia (SDM) di Kabupaten Minahasa. di Minahasa banyak siswa yang berperstasi.
Namun sayangnya ada dari mereka tak dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, lantaran
kekurangan dana sekolah. Karenanya dengan profram ini, dapat memacu mereka untuk
belajar lebih serius lagi,” tandas bupati.
SVR sendiri tidak menyebutkan sekolah atau universitas yang dijadikan target
lanjutan pendidikan. Namun demikian, upaya itu telah menunjukkan kalau dirinya memang
peduli dengan pendidikan di kabupaten yang dipimpinnya. Bupati menambahkan, guna
merealisasikan programnya itu, Pemkab Minahasa telah mengakomodir anggarannya
sebesar Rp 100 juta setiap tahun.

LAMPIRAN KEBUDAYAAN MINAHASA

Peta Minahasa
Peta Minahasa 1873

Rumah Adat Minahasa


Alat Musik Kolintang

Masakan Minahasa

Minuman Minahasa (Saguer)


Patung Toar Lumimu'ut

Danau Tondano
Tari Kabasaran

Kain Ikat Minahasa

Tulisan Kuno

Musik Bambu Minahasa


Tari Maengket

Pernikahan Minahasa

Anda mungkin juga menyukai