BAB II
PEMBAHASAN
4
Kebudayaan Minahasa
5
Kebudayaan Minahasa
danTalaud.
Sulawesi Utara juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah
tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup
dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga
menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara
mencakup antara lain binatang langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan
Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Untuk melindungi fauna ini, sebuah kebun alam telah di berdirikan. Taman laut
yang sangat menakjubkan menyelenggarakan petualangan dibawah air. Variasi yang luar
biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi
yang unik akan memikat pengunjung dari luar.
Penduduk Minahasa adalah orang Kristen yang ramah dan salah satu suku-bangsa
yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi
saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Tetapi hanya saat orang Belanda tiba,
agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang
Belanda. "Minahasa" berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-
patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Sulawesi Utara jadi salah satu produsen kelapa, cengkeh dan pala yang terbesar di
Indonesia, yaitu menambah pada kekayaan alamnya.
dalam Celebes yang sekarang di sebut Tanah Toraja di Celebes Tengah. Disana atap-atap
rumah dan bangunan-bangunan tradisional mempunyai bentuk kapal berlayar dengan
ikatan simpul yang menunjuk ke arah utara. Disini mereka menggambarkan tentang
penyerbu tersebut yang sebagai Tuhan yang datang dari Utara
Menurut legenda, orang Minahasa berasal dari kedua orang ini yang datang ke
Celebes bagian utara, mereka adalah lelaki Toar (matahari) dan wanita Lumimu'ut (tanah).
Lumimu'ut adalah seorang prajurit wanita, yang dibentuk dari batu karang, dicuci dalam
laut, dipanaskan oleh matahari dan disuburkan oleh Angin Barat. Mereka, awal mulanya,
berkemah di pulau vulcanic, Manado Tua, dekat tepi laut Minahasa, seberang
Manado."Ibunya sangat cantik. Namanya adalah Lumimu'ut dan dia adalah seorang
keturunan tuhan. Kecantikannya yang luar biasa mempesonakan dan awet muda yang
dianugrahi kepadanya. Ketika anak lelakinya, Toar, sudah menjadi seorang pemuda dia
meninggalkan ibunya untuk menjelajahi dunia. Lumimu'ut memiliki sebuat tongkat
perjalanan yang panjang dan ketika dia mengucapkan perpisahan kepada Toar dia
memberikannya sebuah tongkat yang sama panjangnya dan dia memperingatkan nya untuk
tidak menikah dengan anggota keluarga; oleh sebab itu dia seharusnya tidak boleh
menikahi seorang perempuan yang mempunyai tongkat yang sama panjang seperti
miliknya. Bertahun-tahun lamanya dan perjalan panjang kemudian Toar kembali ke
kampung halamannya. Disana dia bertemu dengan seorang wanita muda cantik dimana dia
jatuh cinta dan ingin menikahinya. Dia tidak mengenal ibunya sendiri yang memang tetap
abadi awet muda, dan dari pihak ibunya sendiri tidak mencurigai sama sekali bahwa
pemuda dewasa yang ganteng ini adalah anaknya sendiri.
Sebelum mengambil sumpah perkawinan Toar ingat akan permintaan ibunya ketika
dia akan meninggalkannya untuk perjalanan panjang. Oleh sebab itu dia meletakkan
tongkatnya di samping tongkat calon istrinya untuk membandingkan panjangnya.
Tetapi selama perjalanan panjangnya dia sudah memakai banyak tongkatnya, sehingga
tongkat tersebut menjadi jauh lebih pendek. Sehingga tidak ada halangan lagi untuk nenek
moyang Minahasa ini.
Ketika kemudian mereka mengetahui kesalahan mereka, sudah sangat terlambat
dan dengan rasa malu mereka meninggalkan rumah kota mereka. Selama perjalanan
mereka, mereka kemudian tiba di Celebes Utara di pulau volcanic di Menado Tua,
seberang pantai dekat Manado di Minahasa
Setelah beberapa waktu kemudian Toar dan Lumimu'ut akhirnya memutuskan
untuk pergi ke pantai di benua tersebut. Ketika mereka tiba disana mereka merasa pantai
7
Kebudayaan Minahasa
terlalu panas, oleh sebab itu mereka pergi lebih dalam di desa tersebut dan menetap di
gunung Tondano dimana iklimnya sejuk dan segar. Disini mereka melahirkan anak-anak
mereka dan perlahan mendiami daerah tersebut. Akhirnya tentu saja anak-anak Toar dan
Lumimu'ut menginginkan daerah meraka masing-masing. Legenda menceritakan bahwa
Toar mengizinkan masing-masing anaknya memilih sebidang daerah dan melemparkan
batu-batu di jurusan yang berbeda-beda. Dimana batu-batu tersebut jatuh disitulah muncul
kolonisasi baru Tonsea (manusia yang suka air), Tondano (manusia yang suka danau),
Tombulu (manusia yang suka bulu), Tombasso, Tontemboan (Tompakewa), Toulour,
Tomohon. Di legenda tersebut ke-7 tempat ini adalah ke tujuh daerah Minahasa yang
kemudian membuat suku dengan kepala sukunya masing-masing (Kepala Suku, Tonaas,
Hukum Tua atau Hukum Besar)
Menurut mitos ini Penciptaan manusia turun temurun adalah dari wanita dan bukan,
sebagaimana di agama Kristen, dari laki-laki yang rusuknya diambil untuk menciptakan
wanita. Patung Toar dan Lumimu'ut berdiri di lapangan kecil di Manado, dimana bukan
ibu kota Minahasa, karena itu adalah Tondano. Manado, bagaimanapun, adalah ibu kota
dari Propinsi Sulawesi Utara dan daerah Minahasa secara luas sehubungan dengan
administrasi dan masalah ekonomi. Pendiriannya secara resmi dianggap dibuat oleh Dotu
Lolong Lasut, yang diperingati dengan sebuah patung di kota. Lokasi patung Toar dan
Lumimuut di pusat Manado dapat di dianggap sebagai simbol persatuan/penggabungan
Manado oleh orang Minahasa.
II.1.1.b. Administrasi
Dengan lembaran Negara Nomor 64 Tahun 1919, minahasa di jadikan daerah
otonom. Pada saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : distrik tonsea, manado, bantik,
maumbi, tondano, touliang, Minahasa, sarongsong, tombariri, sonder, kawangkoan,
rumoong, tombasian, pineleng, tonsawang, dan tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut
dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik manado, tonsea, Minahasa, kawangkoan, ratahan,
dan amurang.
Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang
berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado.
Kemudian karena kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung,
berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 Yahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah
ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan
menjadi Kota Bitung.
8
Kebudayaan Minahasa
Jumlah penduduk Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2006
adalah 304.298 Jiwa. Kabupaten Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis
minahasa yang mendiami daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18
kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :
JUMLAH KEPADATAN
KECAMATAN
PENDUDUK PER KM
9
Kebudayaan Minahasa
menhir yang dimanfaatkan dan digunakan untuk keperluan lain Lumpang batu adalah jenis
megalit lainnya yang ditemukan di Minahasa bagian selatan. demikian pula halnya dengan
batu bergores, yang meskipun tidak banyak temuannya, tetapi merupakan tinggalan yang
cukup penting. Jenis-jenis megalit yang lain yaitu altar batu, batu dakon dan arca batu atau
arca menhir juga merupakan megalit yang ditemukan di Minahasa. Jenis-jenis megalit
semacam ini jumlahnya tidak banyak dan daerah sebarannya juga sangat terbatas.
1512
Armada perdagangan Portugis secara resmi mengirim Antonio de Abreu ke
Maluku. Pada tahun tersebut Portugis juga mengirimkan tiga kapal layar ke Manarow
(Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut orang Portugis memina pertolongan dari suku
Babontehu untuk memperkenalkan mereka kepada kepala Walak Wenang, Dotu Ruru-
Ares. Orang Portugis sudah melihat banyak kapal barang rongsokan Cina di Teluk
Manado. Selain itu, dari pelaut-pelaut Cina orang Portugis memperoleh lokasi Macao (dan
kemudian ditemukan pada tahun 1523).
1518
Maksud kedatangan orang Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang
tanah. Tetapi tujuan untuk menyewa tanah di Wenang gagal karena kepala Walak Ruru-
Ares tidak setuju untuk memberikan mereka sebuah tempat. Setelah kegagalan ini Portugis
kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (sekarang Amurang) dan disana mereka
mendirikan Benteng Amurang. Ketika mereka tiba di Uwuran, Portugis yang saat itu
membawa lebih banyak pedagang dan pimpinan rohani dari pada serdadu, belum berani
memasuki daerah pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di
tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa, seperti di Siauw.
1520
Sementara itu Sultan Demak di Jawa membawa kehancuran kerajaan Majapahit
yang sangat kuat. Sebuah kekaisaran Muslim yang kuat berkembang dengan pusatnya di
Melaka (Malaka) di Semenanjung Malayu.
1521
Jalur ke kepulauan Maluku baru didirikan oleh Portugal. Sebelumnya pemimpin
kapal-kapal Spanyol, Ferdinand Magelhaens, menemukan sebuah jalur pelayaran seperti
yang pernah dilakukan oleh Portugis. Perbedaannya adalah bahwa jalur ini dilakukan di
sekitar tanjung Amerika Selatan melintasi Samudera Pasifik dan mendarat di Kepulauan
Sangir Talaud di Laut Sulawesi. Orang Spanyol mendirikan kantor perdagangan (Loji) di
Wenang, yang berlokasi di pasar 45 (sekarang Pasar Jengky), dengan izin dari kepala
11
Kebudayaan Minahasa
Walak Wenang, yang pada waktu itu adalah Dotu Lolong Lasut. Sejak kantor perdagangan
Spanyol sudah ada, orang Cina mulai mendirikan tempat mereka dekat kantor tersebut.
Sebelumnya orang Cina serta Portugis menurunkan barang-barang mereka di pulau
Manarow, yang pada waktu itu lebih terkenal dengan Spanyol-Portugis daripada Wenang.
Spanyol menjadikan pulau Manarow sebagai tempat persinggahan untuk mengambil air
minum. Dari pulau itu kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi Utara melalui
Sungai Tondano (sekarang Sungai Manado). Pengembara-pengembara Spanyol membuat
kontak dengan penduduk melalui perdaganan ekonomi tukar menukar, yang dimulai di
Uwuran (Amurang) di pinggir sungai Rano I Apo. Barang-barang yang ditukar adalah
beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya yang ditukar dengan ikan dan garam.
1523
Walaupun wanita-wanita yang tinggal di sekitar tepi laut sudah banyak yang
bersuamikan orang Portugis, penduduk wanita di daerah pegunungan hanya menikah
dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol. Salah satu contoh adalah seorang wanita
muda dari Kakaskasen Minahasa yang bernama Lingkan Wene yang menikah dengan
seorang Kapten Spanyol yang bernama Juan de Avedo. Kemudian anak lelaki dari
pasangan suami istri ini diberi nama Mainalo Wula'an karena mempunyai mata bulat
bening (Indo Spanyol). Perkawinan wanita Minahasa dengan pria asal Spanyol ini ternyata
tidak disukai oleh orang Portugis karena orang Portugis beranggapan bahwa Spanyol akan
memegang kontrol terhadap daerah Minahasa.
1540
Orang Eropa mendatangi daerah Sulawesi Utara; daerah yang secara nominal
tunduk kepada Sultan Ternate, yang menuntut penghormatan dari suku-suku pantai dan
memperkenalkan agama Muslim diantara beberapa penduduk bahari. Ketika orang
Portugis memperoleh kekuatan dan pengaruh di Ternate dan menjadikan Sultan tersebut
budak mereka, mereka juga mengambil milik Minahasa dan mendirikan pabrik di Wenang.
1541
Nama Manado ditempatkan di peta dunia oleh kartografer Nicolas Desliens. Pada
mulanya peta tersebut menunjuk pada pulau Manarow (sekarang Manado Tua), tetapi,
ketika Wenang menjadi pusat perdagangan, nama Manado menunjukkan Wenang,
menjadikan kepulauan Manarow menjadi Mando Tua. Minahasa menjadi penting bagi
orang Spanyol karena tanah subur dan pernah digunakan oleh Spanyol untuk menanam
kopi yang datang dari Amerika Selatan, untuk di dagangkan di Cina. Untuk alasan itu
12
Kebudayaan Minahasa
Manado dibangun untuk menjadi pusat perdagangan bagi pedagang Cina yang berdagang
kopi di Cina.
1550
Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak
Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke
Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang
dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk
menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehingga akhirnya Spanyol
dapat menduduki Minahasa.
1570
Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehingga membuat
keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke
Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut
menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke
Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
1595
Ekspedisi pertama Belanda ke Asia dengan tujuan untuk mencapai pulau bumbu.
'Compagnie van Verre' memberangkatkan tiga kapal yang diperlengkapi dan dipersenjatai
dengan baik di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (1565-1599) dan Gerrit van
Beuningen. Kapten Pieter Dirksz de Keyser mempunyai rute gambaran dari Jan Huygen
van Linschoten (1563-1611) yang pernah mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal
Portugis. 'Mauritius', 'Hollandia' dan 'Amsterdam', diiringi oleh kapal pesiar kecil
'Duyfken', berangkat pada tanggal 2 April 1595 dari Texel dan tiba di Bantam, sebuah
pelabuhan lada yang paling penting di Jawa Barat, pada Juni 1596. Perjalanan tersebut
mengalami kesulitan dengan banyaknya pertikaian dan kehilangan banyak jiwa. Pada
Agustus 1597 ketiga kapal tersebut kembali dengan 87 orang yang selamat dari 249 awak
kapal pada mulanya. Walaupun secara keuangan tidak berhasil perjalanan tersebut telah
membuktikan bahwa perjalanan ke Asia memungkinkan.
1598
Oude Compagnie' (perpaduan dari sebuah perusahaan yang baru didirikan dengan
Compagnie van Verre) dari Amsterdam melengkapi sebuah armada yang berdiri dari
delapan kapal di bawah komando Jacob van Neck (1564-1638). Ini disebut 'Tweede
Schipvaart' (Pelayaran Kapal Kedua) yang sangat sukses dan kembali dari Bantam satu
tahun kemudian dengan empat kapal yang penuh muatan. Kapal lainnya berlayar menuju
13
Kebudayaan Minahasa
Bantam, yang mana sudah pernah di lakukan oleh Inggris setahun sebelumnya. Spanyol
membangun sebuah benteng di Maluku. Penguasa-penguasa Manado ingin menyingkirkan
para penyerbu Spanyol. Mereka meminta pertolongan dari VOC Belanda di Ternate.
1605
Steven van der Haghen mengeluarkan orang Portugis dari Maluku dan
membaptiskan benteng Leitimor menjadi Fort Victoria. Dia merancang sebuah kontrak
dengan penduduk Hitu untuk persediaan cengkeh. Sedangkan dengan Banda sebuah
perjanjiaan dibuat untuk persediaan pala.
1606
Orang Spanyol dari Filipina menyerbu Benteng Tidor yang ditinggalkan oleh orang
Portugis di Halmaheira.
1607
Kapal-kapal VOC untuk pertama kali memasuki bandar Manado untuk membeli
beras dan bahan pangan lainnya yang diperlukan sebagai bekal bagi perjalanan menuju
daratan Cina. Namun mereka tidak berhasil karena larangan Spanyol yang telah menguasai
niaga Sulawesi-Utara.Gubernur Cornelis Mattelief dari Batavia mengutus Jan Lodewijk
Rossingeyn menjalin hubungan niaga, namun ditolak oleh Spanyol. VOC menjalin
hubungan persahabatan dengan para pemuka kesultanan Maluku pada tahun 1607 yang
dendam terhadap Spanyol. Hal ini terjadi karena Spanyol menangkap Sultan Sahid Berkat
dan mengasingkannya ke Manila. Pihak kesultanan Ternate mendekati Belanda sebagai
pengimbang menghadapi kekuatan Spanyol.
1610
Usaha pendekatan dengan Minahasa dilanjutkan ketika pimpinan VOC di Batavia
mengutusKapten Verhoeff yang juga mengalami kegagalan. Verhoeff memberi laporan
lengkap mengenaipotensi yang dimiliki Minahasa hingga menarik minat Batavia untuk
menguasaiSulawesi Utara bagi kepentingan keamanan VOC di Maluku. Jaminan
keamanan dari VOC diperoleh Ternate ketika pangerah Sahid, Sultan Modafar diangkat
menduduki singgasana kepemimpinan pada 1610 tanpa gangguan Spanyol.
1614
Pihak VOC mulai mengkonsolidir sebuah angkatan perang di Ambon untuk
merebut Laut Sulawesi dari orang Sepanyol. Pertempuran singkat Spanyol-Belanda
berkecamuk pada bulan Agustus dikepulauan Siau, yang mana dimenangkan oleh Belanda.
Setelah kekalahan di Siau, Spanyol memusatkan kekuatannya di Manado. Untuk
15
Kebudayaan Minahasa
menghadapi serbuan Belanda mereka membangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang
berhadapan dengan pulau Manado Tua.
1630
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an dinikahkan dengan gadis asal
Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian
dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-
Untu sementara istrinya di beri gelar Lingkan Wene.`Muntu-Untu dan Lingkan Wene
dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol bernama Ordo Fransiscan.
Kemudian mereka memperoleh status sebagai Raja Manado. Simon Kos, seorang Belanda,
pejabat VOC di Ternate memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos
melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat
pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche
Compagnie.”
Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi
letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-
Timur.
Kehadiran Belanda dan Inggris sebagai adi-kuasa di perairan Maluku memberi
angin bagi para walak tanah Minahasa untuk mengusir Spanyol dari Minahasa dengan
melakukan pendekatan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Ternate setelah
berhasil menyingkirkan kekuatan Portugis diperairan Maluku. Pendekatan terjadi ketika
tiga kepala walak masing-masing: Supit, Paat‚ dan Lontoh‚ melakukan misi diplomasi dan
berhasil menemui perwakilan VOC diTernate pada 1630.
1634
Perang di Maluku dimana VOC mencoba menyelenggarakan monopoli cengkeh
dengan cara kekerasan. Dengan bantuan mitra lokal persediaan untuk konsumen lain
(penyelundupan secara VOC) dicegah dan perkebunan cengkeh dimusnahkan. Tindakan
keras VOC tersebut menyebabkan banyaknya perlawanan dengan penduduk Hitu dan
menimbulkan pertempuran yang berdarah. Hitus mendapatkan bantuan dari raja Ternate
dan sultan dari Gowa. Makassar di Gowa adalah pusat perdagangan penting di Celebes
(Sulawesi) Selatan dimana bumbu didagangkan diluar VOC.
1637
Van Diemen melakukan aksi keras terhadap pasukan Ternate di Hoamoal (di
Seram).
16
Kebudayaan Minahasa
1645
Kepala-kepala walak Minahasa, Umbo (Tonsea), Lonta’an (Kakaskasen), Lumi
(Tomohon), Taulu (Wenang), Kalangi (Ares), Posuma (Tombariri), Sawij (Jurubahasa),
memakai perahu raja Siaw untuk berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama
dengan V.O.C Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian, mereka
adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak Minahasa adalah dari golongan Tona'as.
1648
Spanyol kehilangan dominasi terhadap Laut Sulawesi antara penguasa Spanyol
dengan Belanda di Eropa melalui Perjanjian Munster.
1651
Perang antara Belanda dan Portugal dilanjutkan. Di Ceram-Barat (Hoamoal)
pemberontak-penberontak dari Ternate membunuh 150 orang anggota VOC dengan istri
dan anak-anak mereka. Spanyol mengirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina untuk
mempertahankan posisi Sulawesi-Utara terutama tempat penghuni masyarakat Minahasa.
Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat dipesisir pantai dengan bantuan
prajurit asal Makassar. Karena yang terakhir ini mengklaim Sulawesi-Utara sebagai bagian
dari wilayah kesultanan Makassar.
1655
Arnold de Vlamingh dari Outshoorn (1608-1661) mengakhiri perang di Maluku
dengan paksaan. Hoamoal di Ceram-Barat dihancurkan dan penduduk-penduduknya diusir
ke Ambon. Ternate juga dihukum Orang Belanda di Minahasa lebih kuat dibanding
Spanyol. Pendudukan Espanyol di Minahasa menimbulkan reaksi Belanda di Ternate.
Dibawah pimpinan Simon Kos, pada akhir tahun Belanda mendarat secara paksa di muara
sungai dan langsung mulai membangun benteng.
1658
Pembangunan Benteng ‘De Nederlandsche Vastigheit’, dari kayu-kayu balok
sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan
pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk
mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi,
posisi Belanda di Maluku akan aman terhadap Spanyol.
1660
Untuk mengurangi produksi berlebihan penanaman cengkeh di Ambon dikontrol
mulai saat itu. Penanaman dan pemanenan di kontrol ketat, pohon yang kelebihan di cabut.
17
Kebudayaan Minahasa
1661
Awal tahun 1661, dengan bantuan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar dari
Ternate menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant.
Kekuatan ini mengalahkan orang Spanyol dan Makasar hingga ke Manado dan Amurang.
1673
Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng tua
dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford
Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, Cornelis Francx‚ pada 14
Juli (Benteng tersebut terletak dikota Manado, dibongkar oleh Walikota Manado pada
1949 - 1950).
1677
Belanda mengeluarkan Portugis dari Manado dan menduduki tempat tersebut
sebagai ibu kota dari salah satu daerah dibawah pemerintahan Maluku. Belanda menduduki
Pulau Sangir.
1679
Gubernur Belanda dari Moluccas, Robertus Padtbrugge, mengunjungi Manado.
Kunjungan ini menghasilkan sebuah perjanjian pada 10 Januari di Benteng Belanda di
Manado (sekarang Pasar Jengky) dengan kepala lokal Minahasa. Minahasa diwakili oleh
Supit, Lontoh and Paat. Perjanjian tersebut akhirnya kemudian mengalami sedikit
berubahan beberapa kali yang memutlakkan Belanda mengakui keberadaan masyarakat
Minahasa dan menempatkan Minahasa setara dengan Belanda. Pada waktu itu dimana
sudah ada pawai-pawai menurut adat (kebiasaan) Minahasa. Dalam laporannya pada tahun
1679 Robertus Padtbrugge mengatakan tentang Minahasa bahwa Tentara Tradisional
Minahasa semuanya memakai gelang tembaga yang bunyinya gemerincing, dengan kalung
yang terbuat dari karang, dan terdapat bunyi drum yang keras.
1689
Sebuah persekongkolan untuk membunuh orang Belanda di Batavia direncanakan
oleh Kapten Jonker, seorang muslim dan pemimpin Ambon di pelayanan kompeni, dengan
bantuan dari Amangkurat II. Setelah hal tersebut diketahui Jonger dibunuh ketika sedang
melarikan diri dan pengikut-pengikutnya menemukan sebuah tempat berlindung di
Kartasura. Sebagai pemimpin VOC Ambon, Jonker digantikan oleh sepupunya yang
kristen Zacharias Bintang.
1693
Minahasa memenangkan sebuah pertarungan mutlak melawan Bolaant di sebelah
18
Kebudayaan Minahasa
selatan. Pengaruh Belanda bertambah besar ketika orang Minahasa menerima Tuhan dan
barang-barang Eropa.
1769
Prancis berhasil mencuri tanaman cengkeh dari Ambon dan mengangkutnya ke
Mauritius dan daerah koloni lainnya.
1700-1800
Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar” di
Minahasa. Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan jabatan Komandan Kapiten
Urbanus Puluwang. selanjutnya dia disebut “Bapa Orang Minahasa”. Dia kemudian
mengatur perdagangan beras serta pajak dan memecat Kepala walak antara lain Loho
(Tomohon ) Agus Karinda (Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate
untuk membakar Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, Gerrit Wuisang.
1760
Masyarakat Tondano sudah tidak mau lagi hadir dalam pertemuan-pertemuan
dengan Belanda di Manado dan dari Resident Dur, masyarakat Tondano tersebut paling
sengit melawan Belanda dan juga tidak mengindahkan aturan-aturan mengenai pajak,
wajib militer dan sistim perdagangan beras yang dikembangkan pihak Belanda.
1780
Ekspedisi militer ke Ternate dimana Pengeran Nuku dari Tidore sudah
memberontak terhadap peraturan saudara laki-lakinya, sang sultan, yang melihat uang
VOC untuk perusakan pohon cengkeh dari pada untuk kepentingan orang-orangnya
sendiri.
1796
Inggris nenempati Padan dan Ambon. Benteng VOC di Ternate menolak menyerah.
1801
Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado.
Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik
antara Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk
mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan,
mesiu, dan meriam dari Inggris. Ketika Residen Dur digantikan oleh Residen Prediger,
maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin
oleh Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin
bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak
seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.
19
Kebudayaan Minahasa
1806
Benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat
dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat
perjanjian denga walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk
mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang
membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu
(Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan
(Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa
(Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang
(Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog,
Sarapung dan Korengkeng.
1808
Pada bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan,
tapi pada tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari
Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon dan mendirikan tenda-tenda di
Tata´aran. Pada tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano
dengan meriam 6 pond. Namun, mereka tidak menyangka bahwa akan ada perlawanan dari
pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Tata´aran mendapat kejutan setelah
pasukan berani mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang
di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka
kepalanya akibat terkena tembakan di Tata´aran. Dia kemudian digantikan wakilnya
Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan
perang darat dan perahu.
1809
Pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik
bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob Korompis
menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu,
JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda. Tanggal 2 Juni Belanda
melakukan perjanjian dengan kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –
pasukan yang bukan orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan
makanan muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat.
Setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang dan
bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan
membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus
20
Kebudayaan Minahasa
dan pagi 5 Agustus. Dalam penyerangan tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan
Benteng Morya Tondano. Pimpinan utama dari perang di Tondano adalah Tewu
(Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken), Matulandi (Telap) dan
Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut
“Mayoor” atau Tona’as perang.
1817
Pemberontak di Ambon memberontak terhadap kembalinya Belanda. Dibawah
pimpinan Thomas Matulessy, yang juga dipanggil Pattimura, benteng Belanda di Saparua
diambil. Dengan bala bantuan dari Batavia, benteng tersebut diambil kembali dan
Matulessy dihukum mati.
1825-1830
Perang Jawa. Minahasa bertarung disisi Belanda dalam perang ini. Juga di bagian
kepulauan lain untuk menundukkan pemberontakan.
1820
Sebuah kelompok Calvinist, Masyarakat Misionaris Belanda, beralih dari sebuah
kepentingan khusus di Maluku ke daerah Minahasa. Dengan adanya misionaris, datang
misi sekolah, yang berarti bahwa, seperti di Ambon dan Roti, pendidikan Barat di
Minahasa dimulai jauh lebih awal dibanding bagian lain di Indonesia. Sekolah-sekolah
tersebut diajar dalam bahasa Belanda.
1830
Pangeran Jawa dan pahlawan Indonesia Diponegoro diasingkan ke Manado oleh
Belanda.
1850
Di Minahasa kewajiban untuk membuat perkebunan yang menghasilkan panen
besar kopi murah untuk monopoli Belanda. Orang-orang Minahasa menderita dibawah
"kemajuan" ini, bagaimanapun, ekonomi, agama dan hubungan sosial dengan penjajah
terus bertambah.
1860
Konversi besar-besaran orang Minahasa ke agama Kristen, yang dilakukan oleh
pihak Belanda.
1881
Sekolah-sekolah misionaris di Manado adalah jerih payah pertama dari pendidikan
masal di Indonesia dan tamatannya mendapat keuntungan yang lumayan dalam
memperoleh posisi di pelayanan pemerintah, militer dan posisi penting lainnya.
21
Kebudayaan Minahasa
1881
F. 's-Jacob (1822-1901) ditunjuk sebagai Gubernur Genera. Di Minahasa kepala-
kepala lokal memasuki jawatan pemerintah.
1889
Emas ditemukan di Sulawesi Utara. Pemerintah bereaksi dengan menunjuk
langsung pemerintahan di Gorantalo dan menutup perjanjian-perjanjian dengan kerajaan
lokal.
1945
Sekutu megebom Manado dengan berat. Selama perang kemerdekaan melawan
kembalinya Belanda yang berikut, ada perpecahan berat antara kelompok yang pro-
Indonesia dan yang lebih berpihak kepada federalisme yang disponsor oleh Belanda.
Penunjukan seorang Manado yang beragama Kristen, Sam Ratulangi, sebagai gubernur
republik Indonesia timur yang pertama, menenentukan kemenangan dukungan Minahasa
untuk republik.
1956
Eksport ilegal tumbuh dengan subur. Pada bulan Juni Jakarta memerintahkan
penutupan pelabuhan Manado, pelabuhan penyelundupan yang paling sibuk di republik.
Pemimpin lokal menolak hal tersebut dan Jakarta mundur.
1957
Soekarno mengumumkan bahwa lebih baik melaksanakan sistem "demokrasi
pemerintah", eufinisme untuk sebuah pemerintahan yang otokratis.
1957
Pemimpin militer baik Sulawesi Selatan maupun Utara mengadakan sebuah
konfrontasi terhadap pemerintah pusat, dengan tuntutan otonomi daerah yang lebih besar.
Mereka menuntut pembangunan lokal yang lebih banyak, pembagian pendapatan yang
lebih adil, menolong dalam menekan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,
dan sebuah kabinet pemerintahan pusat bersama yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.
Paling tidak awalnya pemberontakan "Permesta" (Piagam Perjuangan Semesta Alam)
adalah sebuah reformis daripada sebuah gerakan separatis.
1957
Pemimpin Sulawesi Utara merasa tidak puas dengan perjanjian dan perpecahan
gerakan Permesta. Diilhami, barangkali, oleh ketakutan akan dikuasai oleh pihak selatan,
pemimpin memberikan pernyataan negara otonomi mereka sendiri dari Sulawesi Utara.
Lalu Soekarno menunjuk sebuah kabinet kerja dibawah komando R.H. Djuanda (1911-
22
Kebudayaan Minahasa
1963). Dia juga menunjuk sebuah "Dewan Nasional" yang terdiri dari beberapa "kelompok
fungsionil".
1957
Setelah sebuah boikot pada bulan Desember, pemilik dari hampir 250 perusahaan
Belanda dinasionalisasikan dan diumumkan bahwa 46.000 orang warga negara Belanda
harus meninggalkan negara. Perwira TNI diangkat sebagai manajer dan direktur dari
perusaan Belanda yang dicaplok.
1958
Selama perjalanan Soekarno kesejumlah negara Asia (Februari) pemberontak-
pemberontak di Bukittingi (Sumatra-Barat) PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia), dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) memberontak.
Walaupun pemberontakan tersebut tidak bermaksud untuk memisahkan diri dari Indonesia,
Sukarno tidak ragu-ragu untuk membabat gerakan tersebut pada waktu kepulangannya.
Kemungkinan campur tangan dari pihak luar akhirnya menggerakkan pemerintah pusat
untuk mencari bantuan militer dari Sulawesi Selatan. Angkatan perang Permesta diantar
dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kepulauan Sangihe dan dari Morotai di Maluku (dari
lapangan terbang masing-masing, pemberontak sudah berharap untuk terbang serangan
pengeboman ke Jakarta). Beberapa pesawat pemberontak tersebut (disediakan oleh
Amerika dan diterbangkan oleh pilot-polot Filipina, Taiwan dan Amerika) dimusnahkan.
US policy shifted, favoring Jakarta. Angkatan udara mengebom kota-kota di daerah
pemberontak (Padang, Bukittingi, Manado) dan tentara menaklukkan Medan dan
kemudian Padang.
1958
Tentara pemerintah pusat mendarat di Sulawesi Utara dan menawan Manado.
Namun gerak-gerik tersebut bahaya untuk Jakarta, karena di Ambom pemberontak
mendapat bentuk bantuan dari Amerika dan Belanda. Juga Filipina, Cina Nasionalis
(Taiwan) dan Malaysia yang mendukung pemberontakan. Jenderal Nasution merumuskan
teori "dwifungsi" (fungsi ganda), dimana tentara, selain menjadi tenaga perjuangan, juga
menjadi organisasi sosial dalam pelayanan perkembangan sosial negara.
1959
Kekuasaan pusat ditingkatkan di biaya otonomi lokal, nasionalisme radikal
memperoleh sikap moderat yang pragmatis, kekuatan komunis dan Soekarno bertambah
sedangkan Hatta menyusut, dan Soekarno mampu memperlihatkan "Panduan
Demokrasi"nya.
23
Kebudayaan Minahasa
1961
Pemberontakan Permesta akhirnya dipadamkan.
1967
Sulawesi Utara menjadi makmur dibawah Pemerintahan Orde Baru dari Presiden
Soeharto, yang telah mengambil alih kantor. Banyak laporan ekonomi (tetapi sedikit
perbaikan politik) yang dicari oleh pemberontak Permesta tercapai. Propinsi tersebut
memiliki kebudayaan yang toleran dan memandang keluar. Masa depan akan
memperlihatkan apa yang akan terjadi setelah pelaksanaan Otonomi Daerah, gagasan yang
sangat diperjuangkan oleh Permesta.
24
Kebudayaan Minahasa
Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang
perkebunan rakyat tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala.
Sekarang perkebunan-perkebunan ini terus mengalami peningkatan intensifikasi dan
ekstensifikasi dengan menggunakan metode dan teknologi pertanian modern. Akhir-akhir
ini komoditi petanian lain yaitu coklat, vanili, jahe putih dan jambu mete mulai digiatkan
secara intensif juga dengan metode dan teknologi pertanian modern.
Persawahan menunjukkan pula adanya gejala-gejala perkembangan dalam upaya
peningkatan produksi padi. Perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan
bibit unggul adalah contoh dari beberapa perkembangan yang dimaksud. Pertebatan ikan
mas dengan mempraktekan metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam
tebat-tebat yang terbuat dari semen) dijalankan di banyak desa terutama oleh petani-petani
kaya.
Perladangan menetap tradisional (kebun kering) yang umum di Minahasa adalah
perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Biasanya petani menanam
pula dalam kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan sehari-hari, dan
buah-buahan (terutama advokat, pepaya, jenis-jenis jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, dan
jenis-jenis jambu air) untuk konsumsi sendiri. Akhir-akhir ini pemerintah daerah telah
mengusahakan peningkatan produksi jagung melalui Proyek Mandiri di kalangan petani,
dijalankan dengan penyuluhan dinas pertanian, untuk dipasarkan melalui Koperasi Unit
Desa (KUD). Selain jagung, kebun sering ditanami pula dengan kacang merah, kacang
tanah, kedelai, kacang hijau, dan berbagai jenis ubi.
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh Perikani yang
berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang, nelayan-nelayan
tradisional mulai meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan
menggunakan alat-alat yang lebih baik maupun dengan apa yang disebut ”motorisasi”
perahu penangkapan ikan. Namun demikian, penangkapan jenis binatang laut masih umum
dijalankan dengan teknologi tradisional.radisional dipegunakan pula dalam penangkapan
jenis-jenis biotik sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Di desa-desa
sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan
kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi
sebagian dari kebutuhan pritein hewani yang dapat diperoleh dipasar-pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagi kebutuhan
penduduk. Berbagai jenis bahan makanan (binatang dan tumbuhan) kebutuhan sehari-hari
maupun pesta bersumber dari hutan. Jenis-jenis binatang yang umum dimakan adalah babi
25
Kebudayaan Minahasa
hutan, tikus hutan (ekor putih), dan kalong. Lain-lainnya yang jarang dimakan karena
sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang Minahasa adalah seperti rusa,
anoa, babi rusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-
jenis unggas liar lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun
lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan sayur-
sayuran, terutama pangi, rebung dan pakis.
Demikian pula, hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, seperti jenis-jenis
mangga, pakoba dan kemiri. Selain itu, enau merupakan sumber nira sebagai minuman
yang terkenal di Minahasa (disebut sanguer) maupun bahan gula merah. (Tumbuhan ini
tumbuh di hutan maupun kebun).
Untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan untuk membuat berbagai alat dan
bangunan gedung dan rumah, hutan merupakan sumbernya. Kecuali itu, hutan dan
lingkungan-lingkungan fisik lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tumbuhan-
tumbuhan yang memberi bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum. Seperti rotan,
kayu bakar, daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas hutan di Minahasa makin
berkurang, terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh
penduduk desa maupun penduduk kota.
Di daerah Minahasa menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan sumber
yang terbesar, melebihi 126 milyar rupiah (42,36%). Daripadanya subsektor perkebunan
adalah yang paling besar dan sesudahnya adalah subsektor pertanian pangan dan
subsektor-subsektor perikanan, peternakan, dan kehutanan. Ada empat jenis komoditi
(kelapa, cengkeh, pala dan kopi) dan satu golongan komoditi lainnya (vanili, jahe putih,
dan biji jambu mete) yang sangat penting bagi perekonomian daerah ini. Bahkan tiga jenis
komoditi yaitu kelapa, pala dan kopi mengisi paket ekspor Sulawesi Utara.
26
Kebudayaan Minahasa
dari suatu desa. Pola perkampungan desa Minahasa bersifat menetap dan kelompok
rumahnya mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.
Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa
membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri
di keluarga pria atau wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak
sendiri, yang berarti yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak
itulah yang di sebut awu.Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah
orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia
maka si Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan
sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya.
Kepala di sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban
membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk
pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil
keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal.
Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama.
Hal ini menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan
pertanian bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang
berhubungan kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama
dari keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan
ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan
lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak,
hubungan antar Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota
anggota yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut
keamanan dan prestise Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak,
karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Berlainan dengan di tingkat Awu yang mana pengurus berada dalam tangan Ama
dan Ina bersama sama, pada tingkat Taranak peranan si Ina tidak terlalu menonjol.
Taranak, Roong / Wanua, Walak
Perkawinan perkawinan antara anggota Taranak membentuk Taranak Taranak baru.
Bangsal bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin
luas . Batas penentuan sesuatu Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi
kabur, dan arti Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu sebagai alat
28
Kebudayaan Minahasa
identifikasi para penghuni kompleks bangsal, dipakailah kesatuan teritorial. Dengan kata
lain fungsi identifikasi mulai bergeser dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.
Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di
sebut Ro'ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri
dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para
penghuni Ro'ong atau Wanua itu. Pemimpin Ro'ong atau Wanua disebut Ukung yang
berarti kepala atau pimpinan. Untuk pengurusan wilayah, Ro'ong atau Wanua di bagi
dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada mulanya Lukar ini dititik beratkan pada
keamanan sehingga akhirnya Lukar di ganti menjadi Jaga.
Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata Lukar dalam arti
orang orang yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.
Para Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut Meweteng. Tugas mereka
mulanya membantu Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari
Ro'ong / Wanua. Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu pula ada pembantu Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama
dalam hal hal yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah para
tetua yang dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan
dapat dijadikan contoh di dalam Wanua, yang di namakan Pa Tu'usan (yang dapat
dijadikan contoh). Ro'ong / Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa
Wanua tertentu yang akhirnya disebut Walak.
Paesa In Deken
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada
apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu
jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan
keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa
pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan:
"Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: "Taintu"
(memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin
adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti
walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in
Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat
29
Kebudayaan Minahasa
sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia
menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari
siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di
Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau
meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan
menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu
menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala
kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah
musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil
berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para
peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun
didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan
membawa kehancuran bagi mereka."
Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila
keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota
masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber
kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan,
bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap
telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah
dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa
yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.
Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan
memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di
adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak
menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila
seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria
yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin
baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang
kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa
kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya
adalah pemimpin yang baik.
30
Kebudayaan Minahasa
II.1.3.b. Kawanua
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau
wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah
diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto
Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang
lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke
kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan
sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan
sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri
atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman -
sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman
di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok
Taranak, masing-masing:
Makarua Siouw
Makatelu Pitu
Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada
abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan
terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw",
31
Kebudayaan Minahasa
sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok
Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu
terdiri dari:
Tountumaratas
Tountewu
Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang
menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal,
maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu
yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak
dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah
Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan
Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok
yakni:
Tounsea
Toundano
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan Masyarakat "Toundanau" yang
bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
Tondano Touliang,
Tondano Toulimambot and
Kakas-Remboken
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan
Pakasa’an Tondano
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad
18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah
Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano
memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu
Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong.
Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
32
Kebudayaan Minahasa
33
Kebudayaan Minahasa
wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan.
Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh
Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-
batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat
hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada
kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya
teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata
Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman,
jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung.
Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)...
"Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat
mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu
negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama
warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain
misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L
Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak
ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang
Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa
menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru
diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat
orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal
dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang
Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa
menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun
sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan
Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
34
Kebudayaan Minahasa
Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A.
Wilken tahun 1912 dapat berarti:
Cabang keturunan
Rombongan Penduduk
Bahagian Penduduk
Wilayah kediaman cabang keturunan.
Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang
keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturuan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat
membentuk cabang-cabang keturuan. Mawalak artinya membahagi tanah sesuai banyaknya
cabang keturunan. Ipawalak artinya membahagi tanah menurut jumlah anak generasi
pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.
Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang
menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa
harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak
adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano.
Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika
Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa.
Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.
Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta
“Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an
Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua
menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut
di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke
utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa
dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.
Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam
cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa)
dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya
orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau
“megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun
1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu
35
Kebudayaan Minahasa
besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan.
Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama
sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu
kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal
pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya
turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi
mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan
pada abad ke – 7.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan
untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut
dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua
Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua
menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an .
Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.
Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana
Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat
gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an
Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri
dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan.
Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi
danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak
memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan
bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut.
Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu
Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-
Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-
menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali
musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari
Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin
dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu
yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan
yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar
wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-
Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang,
berdekatan seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu.
Penduduk wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka
akhir abad 18.
38
Kebudayaan Minahasa
waranei atau oleh hadirin dengan jawaban atau sambutan : Uhuuy!! atau Tentu itu!! yang
artinya : Setuju, demikianlah halnya!.
Apabila kita menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masakini, maka
maknanya ialah : Supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat,
ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecetakan (= wisdom, managerial skill
and technical know-how). Itulah santi kita masakini yang harus diacung-acungkan
menghadapi segala tantangan yang mengancam kehidupan kita baik fisik maupun non-
fisik, dengan segala kebulatan tekad sesudah dimusyawarahkan bersama. Tantangan ini
adalah kemiskinan, kemalasan, kebodohan, kelaparan, ketidakadilan, ancaman penjajahan,
dan segala sesuatu yang dapat menjadi musuh kehidupan.
Dalam bahasa Alkitab ungkapan ini juga bermakna sebagai pengejawantahan
kuasa-kuasa maut. Dan karena kuasa maut itu telah ditaklukan oleh Allah sendiri karena
membangkitkan PuteraNya Yesus Kristus dari kematian, maka tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak berjuang demi kemenangan kehidupan.
Jadi seruan I Yayat U Santi! dan sambutan sorakan Uhuuy! atau Tentu itu!
bermakna : Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya
demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita.
Lambang Minahasa
Lambang perisai Minahasa termasuk burung hantu, sebab burung ini menjadi
simbol untuk kebijaksanaan/kearifan, dengan matanya yang tajam dan kepala yang mampu
berputar 360 derajat, dan ia juga memperingatkan manusia apabila ada bahaya. Orang
Minahasa menganggap burung hantu sangat bijaksana. Mereka menyebut burung hantu
'Burung Manguni'. Setiap kali apabila seseorang ingin melakukan perjalanan, mereka
mendengar burung2 hantu dulu. Burung2 hantu mempunyai dua macam suara; suara yang
pertama berarti perjalanan aman, dan suara kedua berarti lebih baik tinggal dirumah. Orang
Minahasa, sekitar Manado, sangat memperhatikan tanda2 itu. Mereka tinggal dirumah jika
disarankan begitu oleh Manguni.
Bentuk Perisai : suatu simbol untuk kemampuan menghadapi
berbagai tantangan
Motto I JAYAT U SANTI : siap dengan tekad bekerja keras demi
pembangunan
41
Kebudayaan Minahasa
Burung manguni : jenis burung yang ada di minahasa, dimana sangat banyak
dikagumi orang karena ia dapat memberi tanda apabila sesuatu akan terjadi, dan
mempunyai perasaan dalam serta matanya tajam menatap jauh
Jumlah bulu sayap 17 helai serta ekor 5 helai: angka proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
Bagian dada adalah lambang pohon kelapa : sebagai komoditi minahasa sejak
dahulu
42
Kebudayaan Minahasa
tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-
tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai
Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah
sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah
kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke-14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas
Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari
Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga
golongan Minahasa tsb.
Berdasarkan cerita rakyat, terdapat sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni
batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Johann Albert Traugott Schwarz, seorang misionaris Belanda keturunan Jerman, pada
tahun 1888 berinisiatif melakukan penggalian di bukit Tonderukan yang sekarang masuk
wilayah kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).
Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke
barat. Johann Gerard Friederich Riedel yang lahir di Tondano pada tahun 1832,
menyebutkan bahwa batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan
perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung.
Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan
keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi
pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Latar belakang itu memberi arah bahwa sudah ada demokrasi pada jaman dulu. Sejumlah
persoalan diselesai- kan dengan musyawarah sehingga mereka yang terlibat persoalan
meninggalkan Watu Pinawetengan dengan damai.
Inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata' esa ene
yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah
Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan
meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia
kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu per satu perwakilan menggunakan
pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke
tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan
membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
"Royor endo, ezo e, Maesa-esa lalan ni kita e, Royor endo, ezo e, Sei si nimalewo,
Ya wana ni mengasa- ngasaranmo, Royor endo, ezo e, Mengale-ngalei uman
Pakatuan pakalawirenom, Royor endo, ezo e"
(Persatukanlah jalan kita. Janganlah ada yang merusakkan ataupun hanya berpura-pura.
Mari memohonkan usia lanjut dan lestari).
ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa
mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi
menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala
mencium lulut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek
moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan
dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
Kemudian di tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai
pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya
penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus
dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga.
Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah
mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat
di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di
waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencaharian orang tersebut.
Pada awalnya waruga tersebar di seluruh Minahasa. Saat ini waruga yang tersebar
tersebut dikumpulkan di desa Sawangan - Minahasa, yaitu sebuah desa yang terletak di
antara Tondano (ibu kota kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibu kota kabupaten
Minahasa Utara). Sampai saat ini waruga merupakan salah satu tujuan wisata sejarah di
Sulawesi Utara. (Bagian utara Minahasa).
pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan
acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional,
seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu
mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti
shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara,
yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.
Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis
atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen
(citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan)
yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau
bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi
sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan
air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis
tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut
dikeringkan.
Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai
kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas
dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin
sekadar simbolisasi.
Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-
bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan
mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara
simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian
mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin
pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak
pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
46
Kebudayaan Minahasa
Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah
pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena
resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga
wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando
pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana
kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang
Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti
acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan
yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup
masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan
Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya
dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di
Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil
membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai
kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk
pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita.
Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok
pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan
makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja. Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan
perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil
dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda
pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja. Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang
dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat
perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan
prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini
tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea,
Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan
dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman,
47
Kebudayaan Minahasa
makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan
Polineis.
Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan
Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah
yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah,
Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis
tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu
(kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu
dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu
Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan
memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo
(Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan
upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang
megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol
sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua.
Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat
minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat
yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat
mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat
dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis
Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat.
Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah
Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran
di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah
Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa
upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan
tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.
II.1.3.k. Falsafah Hidup
Butungan
Janji yang diucapkan dalam adat masyarakat Bolaang Mongondow oleh 2 golongan
yang dikuatkan dengan sumpah bahwa apabila ternyata kedua golongan ini tidak menaati
48
Kebudayaan Minahasa
perjanjian tersebut maka turunannya akan kena katula (butungan) yakni : MOTOTA W
NA' SIMUTON artinya cair seperti garam, MODA YAG NA' KOLA WAG artinya hidung
tidak sehat, RUMONDI NA' BUING artinya hitam seperti arang, TUMONOB NA'
LANAG artinya meresap seperti di cucuran atap, KIMBUTON IN T ALO artinya
dihisap oleh tanah ditindaklanjuti, DOROTAN IN MONTOY ANDI artinya ditindih
oleh langit.
Gunde (Pemujaan)
Didalam suatu upacara adat masyarakat Sangihe Talaud biasanya dalam upacara
adat diperdengarkan jenis-jenis irama tambur yang sesuai fungsinya : MANGALA
KAPITA (menyongsong pimpinan), MANEKING MAMATE (pengaturan tempat duduk),
BAHEMA (irama tarik bendera), MAKIMAMBARU (irama isyarat bahwa meja telah
siap).
Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban
Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban atau dalam bahasa Minahasa Si Tou
Timou Tumou Touâ adalah falsafah hidup masyarakat Minahasa yang pengertiannya
"Hidup untuk memanusiakan manusia" yang menunjukkan perjuangan hidup orang
Minahasa dalam membentuk etos kerja maupun wawasan keterbukaan, toleransi dan
demokrasi agar menjadi manusia yang berkualitas, maju, mandiri dan beradab dengan
berlandaskan pada nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Ini didasarkan
pada pandangan Dr. Sam Ratulangi. Nilai budaya tersebut terdiri dari : TOU ENTE (orang
kuat gagah berani) berarti nilai budaya adat Minahasa yang berpijak pada adat istiadat,
TOU NGA'ASAN (peranan ratio, pikiran, akal sehat) berarti dengan masuknya budaya
asing terjadilah proses akulturasi, kepribadian, sikap prilaku dan gaya hidup, TOU SAMA
Nilai budaya agama Kristen yang mengandalkan hal-hal bersifat teologi dan eskatologis
menurut agama Kristen yang berdasarkan iman.
Somahe Kai Kehage
Adalah falsafah seorang pemimpin harus tetap teguh dan tabah dalam menghadapi
sesuai cobaan. Mototobian, Mototompiaan, Bo Mototanoban atau dalam bahasa Minahasa
Si Tou Timou Tumou Touâ artinya pemimpin harus dapat menerapkan pola kepemimpinan
sayang menyayangi, baik hati dan saling mengingat kepada sesama manusia.
II.1.4. PRODUK BUDAYA
Pengaruh budaya dan adat istiadat terhadap kehidupan masyarakat Minahasa terjadi
pada pola pengelompokan sosial, dimana pada umumnya masyarakat di Kota Minahasa
49
Kebudayaan Minahasa
ber-etnis sama, maka kebiasaan dan adat istiadat Minahasa yang hidupnya berkelompok
dan mengumpul dalam sebuah lingkungan kecil terbawa dan teraplikasikan dalam kondisi
bermasyarakat saat ini, yaitu lingkungan permukiman menjadi padat dan bahkan pada
kondisi asli tidak memiliki batas yang jelas antara satu rumah dengan rumah yang lainnya.
Pola pengelompokan berdasar ikatan kekeluargaan dan kekerabatan terlihat jelas dalam
permukiman.
II.1.4.a. FAM
Nama keluarga yang telah digunakan sebagai nama keturunan bagi orang
Minahasa atau lebih dikenal dengan istilah FAM, diambil dari nama
keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga (orang tua lelaki).
Setiap anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, otomatis disamping
nama depannya, melekat pula nama keturunan keluarga dari sang Bapak.
Khusus bagi seorang wanita yang telah kawin maka nama keluarga sang
suami langsung disisipkan diantara nama depan dengan nama keturunan
keluarga sang wanita tersebut. Selanjutnya nama keturunan keluarga orang
Minahasa memiliki ringkasan pengertian tertentu sebagai berikut:
50
Kebudayaan Minahasa
Abutan : Pembersih D
Adam : Tenang Damongilala: Benteng
Agou : Anoa Damopoli : Jujur dan adil
Akai : Penjaga Dapu : Mematahkan
Aling : Pembawa Datu : Pemimpin
Alui : Pelipur lara Datumbanua : Kepala Walak
Amoi : Teman sekerja Dayoh : Karunia
Andu : Tempat bersenang Dededaka : Panah lidi hitam
Anes : Tawakal Dendeng : Suara yang terang
Angkouw : Keemasan Dengah : Hakim
Anis : Penghalau Dewat : Menyeberangi
Antou : Nama kembang Dien : Dihiasi
Arina : Tiang tengah Dimpudus : Cerdik kepalanya
Assah : Pembuka jalan Dipan : Ukuran depa
Awondatu : Yang dikehendaki Dompis : Pekerja baik
Awui : Senang Dondo : Prinsip
Dondokambei : Prinsip tetap
B
Donsu : Jimat penolak
Batas : Pemutus
Doodoh : Penggerak
Bella : Pasukan
Doringin : Penari
Bokau : Bibit emas
Dotulong : Pahlawan besar
Bokong : Mengikat
Dumais : Menggenapi
Bolang : Penangkap ikan
Dumanauw : Pemenang
Bolung : Perisai
Dumbi : Didepan
Bororing : Pembuat roreng
Dungus : Berkedudukan
Boyoh : Pendamai
Dusaw : Pembuka
Buyung : Penurut
51
Kebudayaan Minahasa
E G
Egam : Menjaga Ganda : Bambu besar
Egetan : Lonceng kecil Gerung : Bunga ukiran
Ekel : Lirikan Gerungan : Bunga-bunga ukiran
Elean : Arah barat Gigir : Mengikis rata
Eman : Dipercaya Gimon : Rupa yang indah
Emor : Lengkap Girot : Pemutus
Endei : Dekat Goni : Cerdik
Engka : Pegang Goniwala : Cerdik akal
Enoch : Pilihan Gonta : Langkah
Ering : Kurang besar Gosal : Timbunan
Gumalag : Menanduk
Gumansing: Pembujuk
Gumion : Pegangan
I
Ilat : Menunggu
Imbar : Yang dibuang
Inarai : Baju jimat
Ingkiriwang : Dari angkasa
Inolatan : Pegang tangan
Intama : Pembawa
Item : Hitam
52
Kebudayaan Minahasa
K Karundeng : Pengusut
Kaat : Penglihatan Karuyan ; Di kejauhan
Kaawoan : Mampu kerja Karwur : Subur
Kaendo : Teman mapalus Kasenda : Kawan sehidangan
Kaeng : Sempit Katopo : Keturunan opo
Kaes : Menyiram Katuuk : Pemegang rahasia
Kainde : Ditakuti Kaunang : Cerdik
Kairupan : Kekuatan Kawatu : Pendirian teguh
Kalalo : Amat berani Kawengian : Bintang sore
Kalangi : Dari langit Kawilarang : Diatas terbuka
Kalempou : Mengunjungi Kawulusan : Benteng
Kalempouw : Kawan baik Kawung : Tersusun keatas
Kalengkongan: Tepat berjatuhan Kawuwung : Berkelebihan
Kalesaran : Pusat segala usaha Keincem : Penyimpan rahasia
Kalici : Mempesona Kekung : Pedang perisai
Kaligis : Sama keluarga Keles : Bayi
Kalitow : Tertinggi Kelung : Perisah
Kaloh : Sahabat setia Kembal : Agak lemah
Kalonta : Perisai kayu Kembau : Kurang kuat
Kalumata : Pedang perang Kembuan : Sumber
Kamagi : Bunga hias Kenap : Genapkan
Kambey : Bunga hias Kepel : Penakluk
Kambong : Obor Kerap : Seiring
Kamu : Pegang teguh Kere : Testa
Kandio : Amat kecil berarti Kesek : Penuh sesak
Kandou : Bintang pagi Kewas : Tumbuhan
Kapantouw : Pembuat Khodong : Kecil, menentukan
Kaparang : Pandai mengukir Kilapong : Batu kilat
Kapele : Amat tegas Kindangen : Yang diberkati
Kapoh : Pemuja Kirangen : Dimalui
Kapoyos : Dukun pijat Kiroiyan : Pengembara
Karamoy : Penunjuk Kojongian : Penggeleng kepala
Karau : Antara Kolangan : Pemain
Karinda : Kawan serumah Kolibu : Banyak bekerja
53
Kebudayaan Minahasa
L Limbat : Berganti
Lala : Berjalan Limbong : Ingat budi
Lalamentik : Semut api Limpele : Penurut
Lalowang : Perlumba Lincewas : Tumbuhan obat
Lalu : Pendesak Lintang : Bunyi-bunyian
Laluyan : Melintasi Lintong : Pusat persoalan
Lambogia : Paras jernih Liogu : Jernih
Lampah : Tak seimbang Litow : Tinggi
Lampus : Tembus Liu : Bijaksana
Lanes : Kurang semangat Liwe : Air mata
Langelo : Menapis Loho : Perindu
Langi : Tinggi Loing : Pengawas
Langitan : Tinggian Lolombulan : Bulan purnama
Langkai : Dihormati Lolong : Bulan
Languyu : Tanpa tujuan Lomboan : Lemparan keatas
Lantang : Berharga Lompoliu : Pengajar
Lantu : Penentu Lonan : Ramah
Laoh : Manis Londa : Perahu
Lapian : Teladan Londok : Tinggi
Lasut : Pemikir cerdas Longdong : Penjaga
Legi : Menipis Lontoh : Tinggi keatas
Legoh : Penelan manis pahit Losung : Pendesak
Lembong : Pembalas bud Lotaan : Pembuka jalan
Lempas : Kedudukan Lowai : Bayi lelaki
Lempou : Kunjungan Lowing : Mengawasi
Lengkey : Dimuliakan Ludong : Kepala negeri
Lengkoan : Penghalang Lumanau : Biasa berenang
Lengkong : Pendidik Lumangkun : Penyimpan rahasia
Lensun : Diharapkan Lumatau : Berpengetahuan
Leong : Main Lumempouw : Meliwati
Lepar : Tujuan Lumenta : Terbit
Lesar : Halaman Lumentut : Bukti
Lewu : Tersendiri Lumi : Meminggir
Liando : Penimbang Lumingas : Membersihkan
55
Kebudayaan Minahasa
Mondong : Menyembunyikan N
Mondoringin : Meratakan jalan Nangka : Diangkat
Mondou : Berangkat pagi Nangon : Diangkat
Mongi : Kuat kekar Nangoy : Dipikul
Mongilala : Pengusir musuh Naray : Jimat
Mongisidi : Saksi dan bukti Nayoan : Diberi berkat
Mongkaren : Membongkar Nelwan : Tempat terbang
Mongkau : Mencari emas Ngala : Dirintangi
Mongkol : Mematung Ngangi : Di hati
Mongula : Pemohon berkat Ngantung : Ditimbulkan
Moniaga : Kebesaran Ngayouw : Dmajukan
Moninca : Pembuah ramai Ngion : Diperoleh
Moningka : Penambah tenaga Nnder : Gerakan
Moniung : Menangis kecil
O
Mononimbar : Suka memberi
Ogi : Goyang
Mononutu : Pekerja tekun
Ogot : Hakimi
Montolalu : Pembagi tugas
Ogotan : Kena dendam
Montong : Pembawa
Oleng : Pikulan
Montung : Pengangkat
Oley : Teladan
Motto : Jelas
Ombeng : Kelebihan
Muaya : Berani
Ombu : Cetakan rupa
Mudeng : Berdengung jauh
Ompi : Tertutuo
Mukuan : Mempunyai buku
Ondang : Pedang
Mumek : Penyelidik
Onsu : Jimat
Mumu : Simpanan cukup
Opit : Jepitan
Mundung : Bernaung
Oroh : Perselisihan
Muntu : Gunung
Otay : Bertawakal
Muntu untu : Gunung bersusun
Muntuan : Ke gunung
Musak : Didesak
Mussu : Penjaga setia
58
Kebudayaan Minahasa
S Sinolungan : Memprakarsai
Salangka : Benda persembahan Sirang : Potongan
Salendu : Banyak ide Siwu : Penghancur musuh
Sambouw : Bunga kayu Siwy : Siulan
Sambuaga : Bunga kayu Solang : Pedang
cempaka Somba : Pelindung
Sambul : Berlimpah Sompi : Penyimpan rahasia
Sambur : Melimpah Sompotan : Meluputkan
Samola : Membesar Sondakh : Pengawas
Sangkaeng : Paras kecil Soputan : Letusan
Sangkal : Satu paras Sorongan : Bergeser
Sarapung : Perkasa Suak : Kepala
Saraun : Sepintas remaja Sualang : Karunia
Sarayar : Buka jemuran Suatan : Pengharapan
Sariowan : Pelancong Sumaiku : Panjang idenya
Sarundayang : Pengiring Sumakud : Menewaskan
Saul : Lengah Sumakul : Menewaskan
Seke : Perorangan Sumangkud : Terikat
Seko : Sentakan Sumanti : Mempergunakan
Sembel : Penuh Sumarandak : Gemerincing
Sembung : Bunga Sumarauw : Pendidik
Semeke : Tertawa Sumele : Pembatas
Senduk : Senang Sumendap : Menyinari
Sengke : Guling Sumesei : Pengawas
Sengkey : Pengguling Sumilat : Mengangkat
Senouw : Cepat Sumlang : Main pedang
Sepang : Cabang jalan Sumolang : Memainkan pedang
Sigar : Kaya Sumual : Memiliki kelebihan
Sigarlaki : Kekayaan Sumuan : Mengesahkan
Simbar : Terbuang Sundah : Tidak menetap
Simbawa : Banyak kemauan Sungkudon : Buah persembahan
Sinaulan : Penasehat Suot : Puas
Singal : Perintang musuh Supit : Menjepit musuh
Singkoh : Dibatasi Surentu : Banyak bicara
62
Kebudayaan Minahasa
Suwu : Serbu T
Taas : Kuat
Tairas : Terangkat dari dalam
Talumepa : Berjalan didaratan
Talumewo : Perusak
Tambahani : Senang bersih
Tambalean : Menuju Barat
Tambarici : Dibelakang
Tambariki : Dibelakang
Tambayong : Gemar kekayaan
Tambengi : Amat cepat
Tambingon : Keliling
Tamboto : Menghias kepala
Tambun : Timbun
Tambunan : Timbunan
Tambuntuan : Puncak tinggi
Tambuwun : Menandingi
Tamon : Disayangi
Tampa : Bunga
Tampanatu : Bunga api
Tampanguma : Bunga mekar
Tampemawa : Turun kelembah
Tampemawa : Turun kelembah
Tampenawas : Memotong daun
Tampi : Setia
Tampinongkol: Suka berkelahi
Tandayu : Pemuji
Tangka : Amat tinggi
Tangkere : Teladan
Tangkow : Nyanyian
Tangkudung : Perisai pelindung
Tangkulung : Perisai pelinding
Tanod : Tambu
Tanor : Tambur
63
Kebudayaan Minahasa
66
II.1.4.b.Mapalus
Masyarakat Minahasa pada umumnya memiliki adat istiadat dan budaya yang
dikenal dengan sebutan Mapalus. Budaya mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu
ini telah berakar dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut
sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa
dirasakan sikap suka membantu dan bekerjasama. Kecuali beberapa kegiatan yang
merupakan rangkaian dari ‘mapalus’ seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok
untuk ber’mapalus’ sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan
modernisasi.
II.1.4.c.Syukuran
Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap kecamatan atau
kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan. Kegiatan
ini dipusatkan di gereja-gereja yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud
diadakannya upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan
anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk masyarakat Minahasa
dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki kemiripan dengan upacara "Thanksgiving"
di Amerika.
II.1.4.j. Kolintang
Kolintang adalah instrument musik yang berasal dari Minahasa biasanya Kolintang
dipakai sebagai pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik
instrumen saja. Kolintang sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah
dipromosikan ke luar negeri. Kolintang dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu
terdiri dari 5 sampai 6 orang.
II.1.4.p. Kuliner
Makanan
Dahulu orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah
makan Manado. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan yang tidak
akrab, dan kedua takut kepedasan.
Maklumlah masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup
hingga hidangan utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa dipanggil
rica anjing.
Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak
daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai
cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer. Tapi kini rasa takut untuk
makan di resto Manado lambat laun telah hilang.
Sekarang banyak orang mulai lebih mengetahui bahwa makanan ini sebetulnya
sehat dan halal karena kebanyakan resto Manado tidak menjual daging anjing dan babi.
Strategi ini didasarkan pada pemikiran, bahwa kalau hidangan yang disediakan halal, maka
segmen pasarnya pasti lebih besar. Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat
menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk,
daun sereh, daun bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan,
cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya. Umumnya orang Minahasa memasak secara
tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai
bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika
ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda.
Minuman
Saguer dan Cap Tikus
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan
melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho
dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus
tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin
tinggi pula kadar alkoholnya.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut
kalangan petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai
dan peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon
enau.
Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang
digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut
saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer
semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin
tinggi kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani
sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian
uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-
tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan
pasti kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap
warga Minahasa ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu
mulai dikenal sejak nenek moyang mereka.
Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di
kalangan petani Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau
memulai pekerjaannya, minum satu seloki (gelas ukuran kecil, sekali teguk) Cap Tikus.
Minuman ini, menurut Pendeta Dr. Richard AD Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas
Kristen Tomohon (Ukit) dikenal oleh setiap orang Minahasa sebagai minuman penghangat
tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja.
Sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu
orang-orang tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap
Tikus. Sejak dulu pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap
Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga
seloki bakal ke neraka.
Pak tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja
bertambah. Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah darah, dan
semangat kerja.
Tanda awas langsung diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika
menambah lagi satu seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki orang
bakal mudah terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol yang masuk ke
tubuhnya membuat orang mudah tersinggung dan rentan berbuat kriminal.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di
sela-sela hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-
disebut pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang
rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan,
sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa
makan banyak.
Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi
minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik
menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama
disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus
yang baik akan mengeluarkan nyala api biru ketika disulut korek api.
Mengapa dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan,
nama itu dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus
hutan bermain hidup.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong
semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah
menjadi tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan
nafsu serta menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka.
Selain bisa diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah
pabrik anggur di Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke
kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.
II.1.4.q. Pariwisata
Wisata Megalit Watu Pinawetengan
Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah batu bergores
yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk setempat batu bergores ini
disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini merupakan bongkahan batu besar alamiah,
sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-
goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang
membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki, menggambarkan kemaluan
perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tidak jelas maksudnya. Para ahli
menduga bahwa goresan-goresan tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan
kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur
(nenek moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur dan
menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus melakukan
upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh keselamatan atau memperoleh apa
yang diharapkan (seperti: keberhasilan panen, menolak marabahaya atau mengusir
penyakit) dengan menggunakan batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat tempat
bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-
Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi
daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam
kelompok-kelompok etnis Minahasa.
Sampai saat ini batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu
pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap sebagai
temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen sejarah, khususnya
sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa.
Watu Pinawetengan terdapat di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso. Dapat di
tempuh dari Kota Tondano dengan kendaraan umum sekitar 1 jam.
Danau Tondano
Danau indah yang terletak 600 meter dari permukaan laut dengan dikelilingi
daerah pegunungan yang rata-rata memiliki ketinggian 700 meter sehingga bentuknya
menyerupai sarang burung, dimana banyak orang datang untuk berwisata menikmati udara
pegunungan yang sejuk. Keindahan danau tondano dapat dinikmati setiap saat. Danau
dengan luas 4,278 Ha terletak kurang lebih 36 km dari Kota Manado atau 1 jam dengan
kendaraan umum.
Gua Jepang
Gua ini berlokasi di pinggir jalan antara desa Kiawa dan kota Kawangkoan, mudah
dijangkau dari kota manado (45 km). Gua ini dibangun oleh tentara jepang selama Perang
Dunia II untuk tempat penyimpanan makanan dan gudang persenjataan. Selain Gua jepang
ini disendangan - kawangkoan juga terdapat gua jepang lainnya yang oleh masyarakat
disebut Gua 100 kamar. Gua ini masih sangat alami. Untuk mengunjungi tempat ini
pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 500 meter, dimana jalan yang dilalui masih
jalan setapak.
Pulutan
Desa ini merupakan desa industri kecil yang memproduksi keramik dari tanah liat.
Terletak beberapa km dari Kota Tondano. Pengunjung dapat menikmati pembuatan
keramik oleh masyarakat setempat.
Sumaru Endo
Berada di samping Danau Tondano, tempat yang ideal untuk olahraga air seperti
Ski Air, pemancingan, dan boating. Bungalow dan restoran juga dilengkapi didaerah ini
serta kolam pemandian air panas.
Terletak kurang lebih 13 km dari Tondano atau 45 km dari Kota manado. Antara
Sumaru Endo dan Kota tondano terdapat panorama yang indah hamparan padi dan
persawahan yang berada di sisi kiri kanan jalan. Hal ini akan membuat perjalanan ke
Sumaru Endo makin menyenangkan.
Pantai Kalasey
Terletak di sebelah barat kota manao, pantai ini juga menawarkan hal yang sama
dengan yang lain, dengan pemandangan pulau bunaken dan manado tua. Di pantai kalasey
terdapat beberapa restoran yang berjajar di pantai menyediakan berbagai makanan sari
laut, khususnya ikan bakar, dengan aroma dan rasa khasnya yang mengundang selera.
Tempat wisata pantai yang tidak kalah menariknya adalah Pantai Mangatasik dan Pantai
Tasik Ria yang berada di Minahasa.
Pada kawasan ini terdapat objek wisata Bukit Kasih Kanonang, watu Pinawetengan, Gua
Jepang, Pemandian air panas (karumenga, toraget, kinali), pacuan kuda Tompaso
• Kawasan PINELENG
Kawasan ini terletak antara jalur Manado-Tomohon. Pada kawasan ini menjadi pusat
produksi buah-buahan dan bunga-bungaan.
Kawasan ini mencakup wilayah Tondano, Eris, Kakas, remboken. Merupakan kawasan
Pariwisata dan Konservasi. Kota Tondano merupakan bagian dari Kawasan danau tondano
dengan peluang investasi pengembangan sarana wisata hotel, restoran, olahraga air.
Disamping itu terdapat peluang investasi dibidang energi listrik dan penyediaan air bersih.
Kawasan dengan konsentrasi produksi cengkih, nenas, pisang, rumput laut dan ikan. Pada
kawasan ini terdapat objek wisata pantai kora-kora.
• Kawasan SONDER
Produksi kawasan ini adalah perikanan air tawar, peternakan, cengkih dan kerajinan rakyat,
juga terdapat tempat rekreasi pemandian, arung jeram.
Sektor Investasi
Keanekaragaman sumber daya alam di kawasan ini merupakan peluang investasi untuk
dikembangkan, seperti investasi di bidang agrobisnis (perkebunan kelapa, cengkih,
kacang, jagung). Selain itu peternakan dan perikanan masih terbuka lebar untuk digarap
secara maksimal. Termasuk juga investasi dibidang agroindustri dan pertambangan.
Peluang investasi lain yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah jasa transportasi,
industri pariwisata dan kerajinan serta pendidikan dan kesehatan.
PELUANG
KOMODITAS LOKASI POTENSI
INVESTASI
20.000 HA.
Hampir semua kecamatan Pabrik makanan
Produksi rata-
lokasi utamannya Kakas, ternak, pengolahan
Jagung rata 3 Ton/Ha
Tompaso, kawangkoan, tepung dan minyak
Jagung Pipilan
Langowan jagung
Kering
Luas areal 3.000
Kawangkoan, Langowan, Ha. Rata-rata Industri makanan
Kacang Merah
Kakas, Tompaso produksi 3,25 (pengalengan)
T0n/Ha
Processing Virgin
Tombariri,Pineleng,
16.608 Ha. rata- Coconut oil, kopra
Tombulu, Kombi, Lembean
Kelapa rata produksi 6.900 putih, sabut kelapa,
Timur, Kakas dan
butir kelapa/ha/thn Carbon aktif, nata de
langowan timur
Coco
Kombi, Lembean Timur, lebih 10.000 Ha
Industri pengolahan
Cengkih Sonder, sebagian dengan produksi
minyak cengkih
langowan timur 653 Kg/ha
Peternakan, Cut-up
Peternakan Hampir 100.000
Semua Kecamatan dan Packaging,
Babi Ekor
Ekspor
Semua Kecamatan, saat Peternakan, Cut-up
Sapi Potong ini tersedia di Desa 17.411 Ekor dan Packaging,
tampusu Ekspor
Tompaso dan
Kuda pacu Breeding
Kawangkoan
Peta Minahasa
Peta Minahasa 1873
Masakan Minahasa
Danau Tondano
Tari Kabasaran
Tulisan Kuno
Pernikahan Minahasa