MANUSIA KEI
DARI PERKAWINAN SAMPAI
KEMATIAN
IGNASIUS S. S. REFO
MANUSIA KEI
DARI PERKAWINAN SAMPAI KEMATIAN
IGNASIUS S. S. REFO
© 2015
Yayasan Pustaka Nusatama
Jl. Sawit 21, Sawitsari, Yogyakarta 55283
Telp.(0274) 885471, 882959 Fax. (0274) 566250
E-mail: pustakanusatama@yahoo.com
Website: www.pustakanusatama.com
ISBN
KATA PENGANTAR
Ignasius Refo
5
DAFTAR ISI
BAB I
GAMBARAN UMUM
KEPULAUAN DAN MASYARAKAT KEI
1. Kepulauan Kei
Kepulauan Kei, yang oleh penduduk disebut Nuhu Evav
(pulau Evav) atau Tanat Evav (Tanah Evav), adalah kelompok pu-
lau-pulau di Maluku Tenggara, di timur Indonesia. Kepulaun ini
berada di Laut Banda, di barat Kepulauan Aru dan di tenggara
8
1
Cécile Barraud ; Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme, 1979, 1
2
VOC signifie Vereenigde Oostindische Compagnie (secara literer berarti Kongsi
Dagang Belanda di India Timur). Adalah kongsi dagang yang dibentuk pada
tahun 1602. Kongsi ini hidup hampir selama dua abad untuk menanamkan
kekuasaan kapitalisme dan imperialisme Belanda.
3
J. Tetelepta, Struktur Bahasa Kei. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, 2.
4
Wallace, The Malay Archipelago. London: Periplus Editions, 2000, 176.
10
5
Nama kuno yang diberikan pada masa Kerajaan Majapahit yang meliputi
suatu teritorial yang sangat luas di Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunai
dan Filipina aktual.
6
« Nagarakertagama », « Nagarakertagama », atau juga « Desawarnana »,
adalah sebuah karya sastra pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit yang
ditulis oleh Mpu Prapanca.
7
Roy Ellen, On the Edge of the Banda Zone : Past and Present in the Social
Organization of a Moluccan Trading Network. Hawaii: Univ of Hawaii Press, 2003,
64.
8
Lih. F.A.E. van Wouden, Types of social structure in eastern Indonesia. Leiden:
The Hague-Martinus Nijhoff. 1968: 39-40 dan 147.
11
10
Di Jawa, mulai dari Sumatra dan semenanjung Malaysia, seperti di pulau-
pulau Sunda (Bali, Sumbawa) dan pulau-pulau di timur (kepulauan Kei), orang
telah menemukan sejumlah tambor perunggu (orang-orang Indonesia menye-
butnya « nekara »), dalam perbandingan dengan yang terdapat di Indochina
atau di selatan China, maupun sebuah tipe original « mokko »…. (Lombard,
1990: 12).
11
Roy Ellen, Ibid., 64-65.
13
12
Cécile Barraud, Ibid. 4.
13
H.C. Folkard, Sailing boats from around the world: the classic 1906 treatise.
Toronto: General publishing company Ltd, 2000: 477-478.
14
14
D.S. Adhuri, “Concept of origin and origin structure of the austronesians:
a reflection from the Kei islands in southeastern Maluku, Eastern Indonesia”
dalam T. Simanjuntak, Inggrid Puyoh et Moh. Hisyam (eds), Austronesia Diaspora
and the Ethnogenses of people in Indonesia (pp. 392-411). Jakarta: LIPI.2006: 395)
15
P.M. Laksono, “Exchange and its other: A Reflection on the Common
Ground for the Keiese”, dalam Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern
Indonesia. David Mearns and Chris Healey, eds. Special Monograph No. 1,
Centre for Southeast Asian Studies. Darwin, Australia: Northern Territory
University, 1996, 157.
15
17
Lih. Robert A. Blust, “Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian”
dalam Oceanic Linguistics, 32, 1993, 241-293.
18
Kita dapat menemukan penjelasan-penjelasan tentang sejarah dan tentang
bahasa ini dalam karya J. Collins dan T. Kaartinen “Preliminary notes on
Bandanese; Language maintenance and change in Kei”.
19
Lih. Tetelepta, Ibid. 5-8.
17
2. Indonesiasi
Setelah kemerdekaan 1945, pemerintah Indonesia, yang ber-
kedudukan di Jakarta, telah memulai suatu usaha yang keras untuk
indonesianisasi, atau unifikasi dan normalisasi, demi terciptanya
18
20
Untuk sebuah perbandingan, kita dapat menemukan informasi dalam:
Picard « Religion, tradition et culture. La construction dialogique d’une identité
balinaise » dalam l’Homme, no. 163, 107-136.
21
Peraturan Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara n° 3 Tahun 2009
tentang « Raschap dan Ohoi », yang merupakan terjemahan dari hukum n° 32
Tahun 2004.
19
pinan desa disebut “kepala desa” dan berfungsi sebagai agen ad-
ministrarif pemerintah.
Semenjak dimulainya desentralisasi, artinya otonomi regional
di Indonesia, pada tahun 2004, orang dapat merubah istilah desa.
Setiap daerah menggunakan istilah mereka seturut tradisi se-
tempat. Di Kepualauan Kei, digunakan kata ohoi dan pimpinan
ohoi adalah Orang Kaya, sering orang menyebut Orang Kai. Ini
adalah satu dari fungsi-fungsi tradisional heriditer dalam sebuah
20
22
Menurut « Peraturan daerah Maluku Tenggara no. 7 tahun 2009 », ohoi atau
ohoi rat adalah kesatuan masyarakat yang didasarkan pada hukum adat, yang
bersifat genealogis dan teritorial. Ohoi memiliki batas-batas teritorial dan
berfungsi untuk mengorgansir kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
didasarkan pada hukum-hukum, asal-usul dan kebiasaan-kebiasaan lokal.
23
Salah satu pimpinan dalam domain adat di Kepualaun Kei disebut dalam
bahasa Kei sebagai rat, turunan dari istilah proto malayu-polynesia, datu.
Pimpinan ini digambarkan oleh para peneliti asing sebagai « kepala »
(Kaartinen, 2008: 231), « kepala yang utama » (Kaartinen, 2010: 89), dan « raja »
(Laksono, 1990: 95; Adhuri 2006: 398). Sejak zaman kolonial, pimpinan ini
digambarkan sebagai raja, sebuah istilah melayu (turunan dari kata sansekerta).
24
Uun, kepala ; turun, setuju ; naf’en, tidak setuju.
25
Tuan Tanah, dalam bahasa Kei orang sering menggunakan Tuan tan. Mitu
duan, petugas mitu atau penjaga mitu (mitu sendiri adalah salah satu kategori
supranatural). Hukum duan adalah penjaga hukum (Hukum memiliki dua arti :
roh mitu atau penjaga hukum dan kesatuan hukum dan sangsi-sangsi,
contohnya Hukum Larvul Ngabal). Marinyo adalah penghubung antara Rat dan
Orang Kaya dengan warga desa. Wakwak adalah « mata-mata », yang menjaga
perbatasan desa.
21
desa, seturut aturan hanya Rat, Orang Kaya, Soa dan Seniri26. Posisi
informal yang kini masih ada di desa-desa Kei adalah apa yang
disebut Tua-tua Adat. Mereka berfungsi dalam upacara-upacara
tradisional. Mereka memberikan nasehat dalam hubungan de-
ngan tradisi.
28
Di Lumefar, ada seorang bapak, seorang penjaga Luv Yeu Tomat (kotak
Yeu Tomat). Setiap orang yang melakukan kesalahan-kesalahan melawan
adat harus berbicara dengan orang ini, menjelaskan semua kesalahannya dan
kemudian mereka akan melakukan sebuah ritual untuk membebaskan orang
tersebut dari hukuman adat.
29
Lih. Picard, Ibid. 114-115.
30
M.C. Headley, An Introduction to Javanese Law. Tucson: University of
Arizona Press, 1981, 61.
23
31
Islam telah ada di Kei sebelum misi Katolik dan Protestan. Islam telah
tiba bersama para pelaut dan pedagang, yang telah berkunjung ke kepulauan.
Dalam buku « Catholic in Indonesia », pengarang mengisahkan bagaimana
pada akhir abad 18 dan awal abad ke 19 adalah masa persaingan antara Katolik
dan Islam di desa-desa di Kei. Dalam konteks rivalitas ini, sebagaimana Islam
telah menggunakan peran penduduk lokal, Gereja Katolik juga menggunakan
penduduk lokal. Hampir semua desa katolik dewasa ini mengetahui bagaimana
Gereja Katolik telah masuk ke dalam desa-desa mereka berkat seseorang dari
desa mereka sendiri. (Steenbrink, 2003: 183-185).
32
Dalam sejarah Gereja Katolik, Maluku (Ambon, Ternate, Saparua dan
lain-lain) adalah daerah pertama di Indonesia yang mengenal kekristenan
semenjak 1546-1547 berkat usaha para misionaris seperti Santo Fransiskus
Xaverius. Desa Mamuya di pulau Halmahera (1534), di Maluku Utara, telah
menjadi katolik berkat usaha Gonsalo Veloso, seorang pedagang portugis.
Namun demikian, kepulauan Kei baru mengenal kristianisme sekitar 300 tahun
kemudian. Agama Katolik masuk ke Kepulauan Kei, berkat usaha dan bantuan
Adolf Langen, seorang pengusaha Jerman, seorang protestan Lutheran, yang
tinggal di Tual. Ia pergi ke Batavia dan bertemu Mgr. A.C. Claessens, vicaris
apostolik Batavia pada waktu itu. Ia kembali meminta dengan sebuah surat
pada tanggal 24 september 1886. Atas dasar surat ini Mgr. Claessens mengontak
gubernur jendral Otto van Rees, dan sekitar dua tahun kemudian Mgr. Claessens
memperoleh jawaban resmi gebernur jendral melalui sebuah surat tertanggal
10 Februari 1888. Tanggal 1 juli 1888, dua Jesuit, Johannes Kusters dan Johannes
Booms tiba di Tual. Setelah setahun tanpa keberhasilan, 13 juli 1889, J. Kusters
SJ membaptis Maria Sakbaw, yang berusia 3 tahun dan sakit-sakitan di desa
Langgur. Baptisan pertma ini kemudian diikuti dengan baptisan-baptisan
berikutnya. Pada akhirnya Conggregatio de propaganda fidae di Rome memu-
tuskan bahwa Langgur menjadi pusat la prefektur apostolik untuk kawasan
timur, yang meliputi Papua, Kepualuan Kei, Kepulauan Aru, Kepualaun Tanim-
bar, Seram, Ambon, Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Kawasan yang
luas mendorong pastisipasi awam katolik. Itu sebabnya, Gereja Katolik di Kei
menjadi Gereja dari para pekerja awam. Banyak dari mereka menjadi misionaris
yang bekerja di Maluku dan Papua. Ketiadaan imam pada masa kolonialisasi
Jepang tidak sampai mematikan Gereja Katolik berkat usaha mereka. (Steen-
brink, 2008 : 335)
24
33
D.S. Adhuri, Ibid. 395.
34
Perkembangan misi Gereja Katolik di Kepualaun Kei mendorong hadirnya
zending Protestan sekitar tahun 1900. Gereja Protestant telah mencoba masuk
di Kepulauan Kei pada tahun 1635, tetapi misi ini kurang berhasil. Misi
Protestan kemudian berpusat di Ambon dan di pulau-pulau Lease.
35
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Maluku Tenggara, Profil Daerah
Maluku Tenggara, 2011, hlm. 4-6. Islam adalah mayoritas (41.296 dari 70.360
habitants) di Kotamadya Tual.
25
KEPUSTAKAAN
BAB II
RITUAL PERKAWINAN
MASYARAKAT KEI TRADISIONAL
37
Segalen, M., Rites and rituels contemporain, Paris: Natham, 1998, 104
32
38
Dalam masyarakat Kei, Rumah, yang dalam bahasa Kei rahan, memiliki
dua arti: 1) sebagai sebuah bangunan tempat tinggal, dan 2) sebagai kesatuan
sosial terkecil. Dalam tulisan ini Rumah yang dimaksudkan adalah kesatuan
sosial. Setiap fam atau marga secara langsung merujuk pada nama rahan tertentu.
Misalnya fam saya adalah Refo dan rahan saya adalah Rahan Ruske Kawod. Dalam
pembicaraan adat, orang lebih merujuk pada nama rahan daripada nama fam.
Hal serupa dapat ditemukan dalam nama desa dan nama woma.
35
39
Cecile Barraud, etc., Of relations and the dead. (Oxford: Berg Publisher.
1994), 69.
36
40
Cecile Barraud, etc., Ibid., 76.
40
42
Sebagai contoh dalam hal kematian dan kelahiran kembali. Upacara per-
pisahan pada akhirnya mewujudkan sebuah kematian simbolis, yang memin-
dahkan individu dari masyarakat dan status sosial lama sebelum mereka di-
transformasikan dalam upacara transisi dan akhirnya dilahirkan kembali dalam
komunitas tersebut dalam upacara penyatuan.
44
b. Sebuah perkawinan:
kesatuan dua pribadi dan dua Rumah
Gereja Katolik masuk ke Kei berkat misi Jesuit pada tahun
1889. Pada waktu itu, selain Islam yang mulai berkembang, ada
pula agama tradisional, yang umumnya disebut sebagai Hindu.
Penyebaran Gereja Katolik berlangsung lambat, meskipun kini
menjadi salah satu agama dominan di Kepulauan Kei. Sama
seperti pemeluk Katolik pada umumnya, mereka mempraktekkan
berbagai ritual penting, yang disebut sakramen. Meskipun de-
45
43
Cecile Barraud, Wife-givers as ancestors and ultimate values in the Kei island,
dalam Bijdragen tot de taal, Land- en Volkenkunde 146, no 2/3, Leiden, 1990,
197.
44
Ibid., 197.
47
45
Cecile Barraud, etc. Of relations and the dead, 75.
49
46
Lih. Houseman, M., « Relations rituelles et re-contextualisation » dalam
H. Wazaki (ed.) Multiplicity of meaning and the Interrelationship of the subject and
the object in the ritual and body texts. Nagoya: Nagoya University, 2008, 109-114.
51
KEPUSTAKAAN:
BAB III
SISTIM PERKAWINAN
TRADISIONAL KEI DALAM
PERSPEKTIF TEORI KEKERABATAN
CLAUDE LÉVI-STRAUSS
Pendahuluan
Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Den ial of Human Nature (New
48
54
Charistian Ghasarian, Ibid. Ketiadaan aturan untuk menikah di dalam atau
di luar kelompok disebut agami.
Ibid. 146.
55
60
Ibid. 220.
Lévi-Strauss, Ibid., 611.
57
61
Ibid. 12
62
63
Hubungan kekeluargaan yg didasarkan atas satu garis keturunan (bapak
atau ibu saja). Dalam masyarakat Kei, hubungan ini didasarkan pada garis
keturunan Bapak.
66
68
Cecile Barraud, “Kei Society and the Person. An approch through
Childbirth and Funerary,” dalam Ethnos 55: 3-4 (1990), 197.
69
Barraud, Tanebar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large
(Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme, 1979), 168.
68
Ibid. 168.
70
69
71
Ignasius S. S. Refo, Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di kepulauan
Kei (Salatiga: Widyasari, 2014), 84-85
70
KEPUSTAKAAN
a. Buku
Barraud, C. “Etre en relation. A propos des corps à Tanebar-Evav
(Kei, Indonésie de l’est)”, dalam M. Godelier dan M. Pannoff
(eds), La production du corps (pp. 229-248). Paris: Éditions des
Archives Contemporaines, 1988.
_________. “Kei Society and the Person. An approch through
Childbirth and Funerary” dalam Ethnos 55: 3-4, (1990), 214-
231.
_________. “Le bateau dans la société ou la société en bateau?
Image et réalité du voilier pour la société de Tanebar-Evav
(Kei, Indonésie de l’Est” dalam Anthropologie Maritime, cahier
no. 5, (1995), 108.
_________. Tanebar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan
Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1979.
_________. “Wife-givers as ancestors and ultimate values in the
Kei islands,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde
(146), no 2/3 , (1990), 193-225.
Ghasarian, Christian. Introduction à la parenté. Paris: Edition du
Seuil, 1996.
Maurice, Godelier. Métamorphoses de la parenté. Paris: Champs
essais, 2010.
74
b. Majalah
Ashbrook, Tom, “Claude Levi-Strauss,” dalam Point (November
2009).
“Une Logique du marriage” dalam Les Genies de la Science (Fevrier-
avril 2009).
75
BAB IV
METAMORFOSA
YAN’UR-MANG’OHOI
Pendahuluan
1. Pengertian
Meskipun ungkapan yang digunakan adalah yan’ur-mang’ohoi,
bukan sebaliknya, namun untuk mempermudah penjelasan, tulis-
an ini akan menjelaskan terlebih dahulu mang’ohoi dan selanjutnya
yan’ur.
Mang’ohoi
tuar tom
Mang’ohoi utin
Mang’ohoi
maduan
Ego
73
Ignasius S.S. Refo, Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di kepulauan
Kei (Salatiga: Widya Sari, 2014), 92.
79
74
Lih. Barraud, « Le bateau dans la société ou la société en bateau? Image et
réalité de Tanimbar-Evav en Indonésie de l Est » dalam Anthropologie Maritime,
cahier no. 5, 1995, 200.
80
75
Ignasius S.S. Refo, MA., Ibid, 93-94
82
76
Ignasius S.S. Refo, MA., ibid, 95
77
Cécile Barraud, Tanimbar-Evav: une societe de la Maisons Tournee vers le
large (Cambridge dan Paris: Cambridge University press dan Editions de la
Maison des Sciences de l’Homme, 1979, 164-165.
83
Rumah A Rumah B
Mang’ohoi Yan’ur
Gambar 3. Rumah yang di satu sisi adalah yan’ur dan di sisi lain adalah mang’ohoi
Namun dalam rentang waktu, pandangan tradisional ini
mengalami perubahan dan inilah yang dalam tulisan ini disebut
sebagai metamorfosa. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia,
metamorfosa adalah perubahan atau peralihan bentuk atau
susunan, misalnya dari dari kepompong menjadi kupu-kupu.
Dengan demikian yang hendak ditekankan di sini adalah peru-
bahan.
Perubahan pertama yang kira-kira menyolok adalah pertukar-
an posisi dari Rumah-rumah dalam relasi yan’ur-mang’ohoi. Eks-
presi yang umum digunakan adalah sar bib na’an kaan (kambing
memakan plasentanya) atau sak il ni lamin mas (orang mengambil
kembali keranjang emas). Hal ini berarti bahwa Rumah yang ber-
fungsi sebagai mang’ohoi pada suatu masa tertentu berganti posisi
menjadi Rumah yan’ur dalam relasi dengan Rumah yang sama.
Jika sebelumnya sebuah Rumah berposisi sebagai pemberi istri-
istri untuk sebuah Rumah lainnya, kini Rumah tersebut justru
menerima istri-istri dari Rumah penerima istri. Jadi, jika di atas
telah dijelaskan bahwa relasi antara yan’ur dan mang’ohoi hanya
searah (lihat gambar 2), bahwa ada Rumah-rumah yang berfungsi
sebagai pemberi istri-istri dan Rumah-rumah lain yang berfungsi
sebagai penerima istri-istri, maka kita dapat menemukan bahwa
dalam prakteknya kemudian ada suatu aturan yang lebih lunak,
dimana posisi Rumah penerima sekaligus adalah Rumah pemberi
istri dalam hubungan dengan Rumah lainnya. Kedua Rumah ini
sekaligus saling memberi dan menerima, meskipun beberapa
85
Rumah B Rumah A
78
Ignasius S.S. Refo, MA., ibid, 88
86
Mang’ohoi Yan’ur
Generasi 1
Generasi 2
A B
Gambar 5. Perkawinan yan’ur- mang’ohoi
Maison A B C D
Yan’ur Mang’ohoi
79
Claude Lévi-Strauss, Les structure élèmentaires de la parenté (Berlin dan
New York: Mouton de Gruyter, 1949), x. Ignasius S.S. Refo, “Perkawinan tradisi-
onal masyarakat Kei dalam perspektif teori kekerabatan Claude Levi-Strauss”
dalam Logos, Vol. 5 No. 2 desember 2013, 43.
89
80
Ignasius S. S. Refo MA., « Manusia Kei: relasi-relasi seputar kematian »
dalam Logos Vol. III, No. 2 Desember 2012, 76.
90
nal pada relasi yan’ur-mang’ohoi yang telah berubah. Jika hal ini
terus terjadi, maka kita akan terus mendengar keluhan masyarakat
Kei tentang beban adat, yang secara ekonomis memberatkan.
91
KEPUSTAKAAN
BAB V
RELASI-RELASI
SEPUTAR KEMATIAN
Pendahuluan
81
P. Baudri, La Place des Morts: Enjeux et Rites (Paris: L’Harmattan, 2009),
115.
82
Malinowski, Magic, Science and Religion (Boston: Beacon Press, 1948).
83
P. Baudri, Ibid., 17.
94
84
R. Hertz, “Contribution à une é tude sur la répresentation collective de la
mort”, dalam R. Hertz, Sociologie Religieuse et Folklore, 14.
85
Durkheim, Les Formes Elémentaires de la Vie Religieuse (Paris: Presses
Universitaires de France, 2008), 567.
R. Hertz, Ibid., 14.
86
95
87
C. Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973),
153.
96
88
Ignasius Refo, Relasi-relasi Seputar Kematian di Sebuah Desa di Kepulauan
Kei (Salatiga: Widyasari, 2014), 31.
97
3. Refleksi
Marilah kita mengakhiri sambil memberikan tanda pada point
terakhir. Analisa ini tidak lengkap jika tidak menjelaskan sirkulasi
pemberian benda/barang yang menyertai relasi-relasi folmal dan
non-formal. Karena itu kita harus menjelaskan secara kongkrit
pertukaran pemberian. Pertama-tama, kita mencoba membuat
analisa atas barang-barang; kemudian kita mencoba untuk mema-
hami pertukaran dan aturan-aturan dari sirkulasinya.
Jika masyarakat Kei mengganggap bahwa banyak hal yang
baik datang dari luar, bahan-bahan pemberian dalam berbagai
upacara juga datang dari luar. Cécile Barraud telah mencoba untuk
mengidentifikasi asal-asul bahan-bahan yang dipakai dalam
berbagai upacara tersebut. Meriam-meriam berasal dari para
penjajah Portugis dan Belanda. Gong datang dari Cina dan dari
berbagai tempat di barat Indonesia (Sumatera, Java dan Bali).
Kain-kain berasal dari pulau-pulau di Maluku dan bahkan dari
104
90
C. Barraud, Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large
(Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme 1979), 207.
105
KEPUSTAKAAN