Anda di halaman 1dari 112

1

MANUSIA KEI
DARI PERKAWINAN SAMPAI
KEMATIAN

IGNASIUS S. S. REFO

Yayasan Pustaka Nusatama


2

MANUSIA KEI
DARI PERKAWINAN SAMPAI KEMATIAN

IGNASIUS S. S. REFO

Editor: Bert Tallulembang

© 2015
Yayasan Pustaka Nusatama
Jl. Sawit 21, Sawitsari, Yogyakarta 55283
Telp.(0274) 885471, 882959 Fax. (0274) 566250
E-mail: pustakanusatama@yahoo.com
Website: www.pustakanusatama.com

Cetakan Pertama, Januari 2015

ISBN

Hak cipta dilindungi Undang-undang


All rights reserved
3

KATA PENGANTAR

P ada Maret 2014 saya menerbitkan buku saya yang pertama


Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di Kepulauan
Kei. Buku ini, yang merupakan terjemahan dari tesis Master saya
di Ecole des hautes études en sciences sociales, sejujurnya penuh
dengan kekurangan, mulai dari persoalan salah ketik, kata-kata
asing yang luput dari terjemahan, uraian-uraian yang sulit dipa-
hami oleh para pembaca dan banyak kekurangan lain. Sebagai
penulis dan pembaca pertama buku ini saya menyadari semua
kekurangan tersebut dan menjadi malu karenanya. Namun, apa-
kah saya harus berhenti pada rasa malu tersebut? Tidak. Saya
merasa bahwa saya harus bertanggung-jawab untuk sedikit ba-
nyak mencoba memperbaiki buku tersebut.
Hal ini kemudian mendorong saya untuk membaca kembali
bahan-bahan penelitianku yang saya buat pada tahun 2011 lalu.
Di sini saya menemukan banyak sekali informasi yang tidak
cukup saya garap, baik itu dalam penulisan tesis Master saya
maupun pada saat penulisan buku saya yang pertama. Beberapa
informasi ini kemudian saya olah dan terbitkan dalam jurnal
Logos milik STPAK St. Yohanes Penginjil Ambon. Akhirnya, saya
memiliki di sini bukan hanya buku yang harus diperbaiki, tetapi
juga sejumlah tulisan, baik yang sudah diterbitkan maupun yang
belum diterbitkan.
4

Perjalanan untuk memperbaiki buku yang pertama telah


mengarahkan saya untuk melahirkan dua buku, dimana masing-
masing saya beri judul Manusia Kei: Relasi-relasi seputar
kematian dan Manusia Kei: dari perkawinan sampai kematian.
Buku pertama merupakan perbaikan dari buku sebelumnya de-
ngan pengurangan dan perbaikan di sana-sini. Sedangkan buku
kedua adalah sebuah buku pelengkap dari buku pertama, dengan
sejumlah pokok pikiran teoretis tentang konteks masyarakat Kei,
perkawinan, relasi yan’ur-mang’ohoi dan bagaimana relasi-relasi
sebuah Rumah (rahan) berfungsi pada saat kematian. Kedua buku
ini diterbitkan secara bersamaan dengan maksud agar kedua buku
ini saling melengkapi.
Saya menyadari bahwa buku ini bisa diterbitkan karena ban-
tuan banyak pihak. Karena itu pertama-tama saya mengucapkan
terima kasih kepada civitas academica STPAK St. Yohanes Penginjil
Ambon dan Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon.
Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada uskup dan rekan-
rekan imam Keuskupan Amboina. Terima kasih tak terhingga juga
kepada Orang tua dan semua orang yang mencintai dan mendu-
kungku. Secara khusus ucapan terima kasih kepada rekan-rekan
yang mempunyai waktu untuk diskusi RD. Kor Seralarat, RD.
Marlon Ohoilulin, Saudari Vero Lefteuw, para frater dan maha-
siswa STPAK St. Yohanes Penginjil Ambon.
Kiranya tulisan yang sederhana ini dapat memberikan man-
faat bagi masyarakat Kei dalam memahami kekayaan tradisi dan
pemikiran para leluhur.

Ambon, Januari 2015

Ignasius Refo
5

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................


Daftar isi ..........................................................................................
Bab I Gambaran Umum Kepulauan dan Masyarakat Kei....
Bab II Ritual Perkawinan Masyarakat Kei Tradisional..........
Bab III Sistim Perkawinan Tradisional Kei dalam
Perspektif Teori Kekerabatan Claude Lévi-Strauss ....
Bab IV Metamorfosa Yan’ur-Mang’ohoi......................................
Bab V Relasi-relasi Seputar Kematian ......................................
6
7

BAB I
GAMBARAN UMUM
KEPULAUAN DAN MASYARAKAT KEI

D alam penjelasan umum tentang masyarakat Kei ini, akan di-


jelaskan secara ringkas tentang orang-orang Kei, asal-usul
mereka, tanah dimana mereka hidup dan bahasa yang mereka
gunakan. Hingga sekarang ini kehidupan bahari tidak dapat
dipisahkan dari hidup mereka. Bukan hanya secara fisik, dimana
sebagian dari mereka adalah para pelaut terbaik, tetapi secara
konseptual ide-ide kebaharian ada selalu dalam pemikiran, ketika
orang menggambarkan tentang dunia mereka. Selain itu masya-
rakat Kei sejatinya adalah sebuah masyarakat terbuka, yang men-
dapat banyak pengaruh yang berasal dari luar.
Dalam bagian ini akan dijelaskan pula dua hal yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Kei dewasa ini: indone-
siasasi dan kehadiran agama-agama. Keduanya telah mempenga-
ruhi perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat, seperti
bahasa, sistem pemerintahan dan adat-istiadat.

1. Kepulauan Kei
Kepulauan Kei, yang oleh penduduk disebut Nuhu Evav
(pulau Evav) atau Tanat Evav (Tanah Evav), adalah kelompok pu-
lau-pulau di Maluku Tenggara, di timur Indonesia. Kepulaun ini
berada di Laut Banda, di barat Kepulauan Aru dan di tenggara
8

bila dilihat dari Pulau Seram. Secara geografis, Kepulauan ini


terdiri atas kelompok-kelompok pulau, tetapi umumnya orang
sering membaginya dalam dua kelompok: pulau-pulau Kei
Kecil (dalam bahasa Kei Nuhu Roa « pulau atau desa dari laut »)
dan pulau Kei Besar (dalam bahasa Kei Kei Nuhu Yut « pulau tabu
atau terlarang »). Luas wilayah dari Kepulauan Kei adalah 7.856,70
km² (luas laut: 3.180,70 km² dan luas daratan : 4.676 km²).

Gambar 1. Peta umum Indonesia dan Maluku, yang menunjuk


letak Kepulauan Kei
9

Pulau Kei Besar itu bergunung-gunung, meskipun tidak ter-


lalu tinggi, dengan hutan-hutan di lembah-lembah. Gunung Dab,
yang adalah gunung tertinggi di pulau Kei Besar, hanya memiliki
tinggi 820 m. Tidak terdapat banyak sungai dan danau. Di pulau-
pulau Kei Kecil orang dapat menemukan dua sungai dan tiga
danau kecil.
Tanah di Kei Kecil terdiri atas « tanah » karang yang kering:
permukaan tanah setebal 5-15 cm adalah tanah merah dan hitam
dan selanjutnya adalah tanah karang. Situasi di Kei Besar berbeda:
ada cukup banyak tanah, tetapi sangat keras pada musim panas.
Di seluruh Kepulauan Kei, orang tidak menemukan hutan homo-
gen yang signifikan, kecuali terdapat sedikit hutan bakau di bebe-
rapa wilayah pesisir.
Nama « Kei » adalah nama yang diberikan oleh orang-orang
asing.1 Nama ini telah ada sebelum Belanda (VOC)2 tiba di kepu-
lauan ini. Dalam suratnya kepada Ordo Jésuit di India pada tahun
1564, Manuel Gomez SJ menjelaskan bahwa ada pemimpin dari
Quey, yang meminta para pastor untuk datang ke sana. Kemudian,
ortograf dari nama ini menjadi Kei ketika Belanda menjajah Indo-
nesia.3 Alfred Wallace, seorang naturalis Inggris, yang telah tiba
di kepualuan ini pada tanggal 1 januari 1857, menulis dalam buku-
nya The Malay Archipelago, bahwa nama dari Kepulauan ini adalah
Ke, Key atau Ki.4

1
Cécile Barraud ; Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme, 1979, 1
2
VOC signifie Vereenigde Oostindische Compagnie (secara literer berarti Kongsi
Dagang Belanda di India Timur). Adalah kongsi dagang yang dibentuk pada
tahun 1602. Kongsi ini hidup hampir selama dua abad untuk menanamkan
kekuasaan kapitalisme dan imperialisme Belanda.
3
J. Tetelepta, Struktur Bahasa Kei. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, 2.
4
Wallace, The Malay Archipelago. London: Periplus Editions, 2000, 176.
10

Namun sebelumnya, ketika kerajaan Majapahit telah mengua-


sai Nusantara5 dan Kepulauan Kei ada dalam kekuasaannya,
dalam buku Negarakertagama6, Kepulauan Kei disebut Muar.7
Muar, dalam Bahasa Kei, adalah nama sejenis pohon, yang disebut
ai muar. Dalam bahasa Kei kata ini juga digunakan untuk meng-
gambarkan « tumpukan batu », muar vat.
Dalam sebuah mitos yang berasal dari pulau Kei Besar, di-
kisahkan oleh van Wouden, bahwa leluhur Kei berasal dari langit
dan tanah, yang terdiri atas tujuh orang, yang kemudian tersebar
kemana-mana. Ia mencatat juga banyak cerita lain, yang mengi-
sahkan bahwa leluhur-leluhur Kei berasal dari tumbuhan-tum-
buhan dan binatang-binatang, seperti dari pohon sagu, dari ke-
rang, dan dari ikan. Cerita-cerita ini bersifat partikuler, karena
mengisahkan sejarah dari sebuah keluarga dan yang memiliki
hubungan dengan totem.8

5
Nama kuno yang diberikan pada masa Kerajaan Majapahit yang meliputi
suatu teritorial yang sangat luas di Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunai
dan Filipina aktual.
6
« Nagarakertagama », « Nagarakertagama », atau juga « Desawarnana »,
adalah sebuah karya sastra pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit yang
ditulis oleh Mpu Prapanca.
7
Roy Ellen, On the Edge of the Banda Zone : Past and Present in the Social
Organization of a Moluccan Trading Network. Hawaii: Univ of Hawaii Press, 2003,
64.
8
Lih. F.A.E. van Wouden, Types of social structure in eastern Indonesia. Leiden:
The Hague-Martinus Nijhoff. 1968: 39-40 dan 147.
11

Gambar 2. Kepulauan Kei

Jika sebagai penduduk Kei diasal-usulkan dari pulau-pulau


Kei sendiri (origine autochtone), secara umum banyak orang Kei
menjelaskan bahwa leluhur mereka datang dari berbagai daerah
yang berbeda :9
1. Dari Bali dan dari Lombok.
2. Dari Luang-Leti atau Luang-Maubes, yakni mereka yang
berasal dari pulau Leti, dari pulau Luang dan dari pulau-
pulau lain di Maluku Barat Daya.

Spriggs Matthew menjelaskan bahwa populasi yang berbicara bahasa


9

Austronesia telah hadir di timur Indonesia, termasuk di Maluku, sekitar 3500-


4500 sebelum Jesus (Spriggs, 1998: 54). Kehadiran di Kepulauan Kei oleh orang-
orang yang berbahasa Melayu-Polinesia Tengah antara tahun 2000-3000 sebe-
lum Jesus (de Jong dan Dijk 1995: 20). Kita dapat menemukan berbagai pening-
galan dari pendaratan manusia Austronesia pada situs Dudumahan di dekat
desa Ohoidertawun di Kei Kecil. Situs seni pada dinding karang berisi sejumlah
gambar, didominasi gambar-gambar manusia dan kapal (lih. Ballard, 1988).
12

3. Dari Banda-Gorom. Kelompok ini menunjuk pada mereka


yang datang dari pulau Banda, pulau Geser, pulau Gorom
dan pulau-pulau lain di timur pulau Seram.
4. Dari Ternate-Tidore. Kelompok ini berasal dari pulau-pulau
di Maluku Utara.
5. Dari Buton-Bugis-Makassar. Mereka umumnya adalah para
pedagang, yang menjelajahi pulau-pulau di Indonesia. Seba-
gian dari mereka kemudian menentap di Kepulauan Kei.
Dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain di Indo-
nesia, seperti masyarakat Jawa dan Bali di bagian tengah dan barat
Indonesia, atau Banda, Ternate dan Tidore di Maluku, masyarakat
Kei adalah satu dari masyarakat-masyarakat yang kurang dikenal
di Indonesia. Semua ini semata-mata terjadi karena tidak terdapat
cukup informasi tentang masyarakat ini. Namun, perlu diketahui
bahwa kepulauan ini telah masuk dalam jalur perdagangan Nu-
santara, ketika orang-orang cina telah memulai pelayaran mereka
dan ketika « indianisasi » terjadi dalam berbagai masyarakat di
Nusantara pada abad-abad yang lampau. Denys Lombard, seorang
sejarawan Prancis, menjelaskan bahwa Kepulauan Kei adalah
bagian dari jalur perdagangan selatan, yang melingkupi Sumatra,
Jawa, Bali sampai Kepulauan Kei.10 Selain itu, Roy Ellen menjelas-
kan bahwa sejak abad ke 16, ketika Kepulauan Banda telah men-
jadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur, Kepulauan
Kei adalah bagiannya seperti halnya pulau Ambon dan Seram.11
Kita dapat mengatakan bahwa sejak beberapa abad Kepulauan
Kei telah secara reguler dikunjungi oleh para pedagang (melayu,

10
Di Jawa, mulai dari Sumatra dan semenanjung Malaysia, seperti di pulau-
pulau Sunda (Bali, Sumbawa) dan pulau-pulau di timur (kepulauan Kei), orang
telah menemukan sejumlah tambor perunggu (orang-orang Indonesia menye-
butnya « nekara »), dalam perbandingan dengan yang terdapat di Indochina
atau di selatan China, maupun sebuah tipe original « mokko »…. (Lombard,
1990: 12).
11
Roy Ellen, Ibid., 64-65.
13

bugis dan pulau-pulau lain di Nusantara), yang menyebarkan di


sana agama islam dan bahasa melayu. Dalam konteks ini ada dari
antara mereka yang memilih untuk mendiami Kepulauan Kei.
Cécile Barraud, seorang antropolog Prancis yang lama mem-
pelajari kebudayaan Kei, mencatat bahwa « penduduk Kei memi-
liki relasi (pertukaran dan perdagangan) baik dengan pulau-pulau
tetangga (Tanimbar di selatan, Aru di timur, Seram dan Gorom
di utara), maupun dengan para pedagang yang datang dari pulau
Sulawasi (Bugis, Buton, dll.), yang berlayar dengan perahu-perahu
layar mereka ».12 Penduduk-penduduk Kei membuat kapal-kapal:
kapal-kapal layar (habo) untuk perdagangan, dan perahu (belan)
untuk menciptakan atau meneguhkan relasi-relasi antar desa (dan
perang dll.). Henry Coleman Folkard menjelaskan bahwa para
pembuat kapal dan perahu yang berasal dari Kepulauan Kei ada-
lah para ahli dalam « dunia Melayu ». Banyak kapal dan perahu
yang digunakan di pulau-pulau tetangga dibuat di Kepulauan
Kei. Mereka membuatnya dengan sangat baik. Sebagian perahu
memiliki atap dengan konstruksi yang besar dan sangat ringan,
yang melindungi para awaknya dari sinar matahari. Ada pula
bagian yang dapat memuat buah-buah dan sayur-sayur yang
diproduksi oleh penduduk dan berbagai jenis ikan.13 Kapal bagi
masyarakat Kei adalah sangat penting dan orang menggunakan-
nya sebagai referensi untuk menjelaskan masyarakat mereka.
Tetapi, dewasa ini, kapal-kapal modern, yang datang dari Jakarta,
ibukota Indonesia, dan Ambon, kota dari provinsi Maluku, telah
mengganti tahap demi tahap peran dari kapal-kapal dan perahu-
perahu tradisional.

12
Cécile Barraud, Ibid. 4.
13
H.C. Folkard, Sailing boats from around the world: the classic 1906 treatise.
Toronto: General publishing company Ltd, 2000: 477-478.
14

Tabel 1. Populasi Kepulaun Kei (1882-2010).


1882 1915 1971 1987 1995 2010
Kei Kecil 5,880 15,000 60,616 60,158 73,729 114,776
Kei Besar 11,666 15,000 33,730 38,834 39,473 39,726
Total 17,546 30,000 94,346 98,992 113,202 154,502
Sumber: Adhuri (2006) dan Badan Pusat Statistik Maluku (2010a, 2010b)

Dalam hal demografi, kita memiliki beberapa informasi se-


bagai berikut. Pada pertengahan 2011 populasi penduduk Kei
sekitar 174.390 penduduk. Setahun sebelumnya, pada tahun 2010,
populasi penduduk Kei adalah 154.502 penduduk. Selain itu, bila
kita mundur ke abad 19, penduduk pulau Kei Besar lebih banyak
dari Kei Kecil (lih. Tabel 1), tetapi dalam seratus tahun terakhir,
penduduk Kei Kecil bertambah sangat cepat (lih. gambar 3).
Menurut M. Adhuri, pertumbuhan demografis di Kei Kecil adalah
hasil dari migrasi ke pusat-pusat daerah administrasi (ke Tual
dan ke Langgur) sepanjang periode kolonial Belanda sampai masa
setelah kemerdekaan.14 Sebagai contoh pada tahun 1984, populasi
Kota Tual adalah 13.927 penduduk15 dan pada tahun 2010, jumlah
penduduk Kota Tual telah menjadi 33.135 (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Maluku Tenggara 2010).
Sebagain besar penduduk Kei tinggal di tiga pulau penting
kepulauan ini: pulau Kei Kecil, pulau Kei Besar dan pulau Dulah.
Mereka tinggal di desa-desa pesisir, dan hanya ada beberapa desa

14
D.S. Adhuri, “Concept of origin and origin structure of the austronesians:
a reflection from the Kei islands in southeastern Maluku, Eastern Indonesia”
dalam T. Simanjuntak, Inggrid Puyoh et Moh. Hisyam (eds), Austronesia Diaspora
and the Ethnogenses of people in Indonesia (pp. 392-411). Jakarta: LIPI.2006: 395)
15
P.M. Laksono, “Exchange and its other: A Reflection on the Common
Ground for the Keiese”, dalam Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern
Indonesia. David Mearns and Chris Healey, eds. Special Monograph No. 1,
Centre for Southeast Asian Studies. Darwin, Australia: Northern Territory
University, 1996, 157.
15

di bagian dalam pulau.16 Tetapi, meskipun desa-desa tersebut


terletak di pesisir, mayoritas penduduk bekerja sebagai pe-
tani. Mereka mempraktikan cara bertani ladang dengan terlebih
dahulu membakar lahan. Mereka menanam berbagai varietas
umbi-umbian (keladi, petatas, enbal dan lain-lain), jagung, sayur-
mayur, labu-labuan, kopi dan lain-lain. Tidak terdapat cukup
banyak varietas buah dan sayur (hanya pisang, pepaya, dan mang-
ga). Kini orang mulai menanam sawi dan kol. Peternakan (sapi,
kambing dan ayam) tidak terlalu berkembang. Secara tradisional
sebagian penduduk Kei berburu untuk mendapat daging babi
hutan dan kukus. Sedangkan sebagai sumber protein utama,
mereka memakan ikan dan binatang laut lainnya. Mereka tidak
melakukan budidaya ikan, tetapi hanya mencari apa yang mung-
kin mereka peroleh di laut. Selain itu, sejak lama kopra adalah
sumber utama untuk memperoleh uang, tetapi kini di banyak desa
masyarakat telah beralih dengan membudidayakan alga (agar-
agar).

Gambar 3: Pertumbuhan demografik Kei Kecil dan Kei Besar, 1882-2010

Sebelumnya penduduk-penduduk bermukim di tengah pulau tetapi


16

kemudian berpindah ke pinggir pantai atas permohonan pemerintah Belanda.


16

Dalam hal bahasa, untuk percakapan sehari-hari, selain


bahasa nasional Bahasa Indonesia dan bahaya Melayu Ambon, ada
berbagai bahasa dari rumpun bahasa Austronesia,17 yang dipakai
sebagai bahasa percakapan di Kepulauan Kei. Veveu Evav (Bahasa
Kei) adalah bahasa yang paling umum digunakan, terutama di
207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan beberapa pulau lain. Pen-
duduk pulau-pulau Kur dan Kamear menggunakan Veveu
Kur (Bahasa Kur), tetapi dalam bahasa sehari-hari, dalam per-
gaulan dengan penduduk Kei dari pulau-pulau lain, mereka
menggunakan bahasa Kei sebagai « lingua franca ». Veveu
Wadan (bahasa Banda)18 digunakan oleh penduduk desa Wadan
El (Banda Eli) dan Wadan Elat (Banda-Elat), di tengah dan utara
Kei Besar. Penduduk dari pulau Ut menggunakan Veveu Teor
(Bahasa Teor). Bahasa Kei tidak memiliki sistem penulisan tersen-
diri. Para misionaris telah menggunakan alfabet Latin untuk me-
nulis Bahasa Kei.19
Secara umum, seperti bahasa-bahasa daerah di Indonesia,
Bahasa Kei digunakan di dalam keluarga dan di dalam hidup
kemasyarakatan. Dengan demikian bahasa memanifestasikan
identitas regional. Bahasa Kei juga adalah sebuah bahasa yang
menampakan kultur Kei, karena dalam seremoni-seremoni ter-
tentu, seperti upacara perkawinan, kematian, pembukaan kebun
baru dan lain-lain orang, mereka menggunakan Bahasa Kei.
Dalam praktik ritual, bahasa ini sering tampak berbeda dari bahasa
sehari-hari, karena berisi formula-formula kabahasaan tertentu,

17
Lih. Robert A. Blust, “Central and Central-Eastern Malayo-Polynesian”
dalam Oceanic Linguistics, 32, 1993, 241-293.
18
Kita dapat menemukan penjelasan-penjelasan tentang sejarah dan tentang
bahasa ini dalam karya J. Collins dan T. Kaartinen “Preliminary notes on
Bandanese; Language maintenance and change in Kei”.
19
Lih. Tetelepta, Ibid. 5-8.
17

yang berisi ungkapan atau peribahasa yang hanya dapat ditang-


kap dengan baik oleh mereka yang mempraktekannya.
Bagi orang-orang Kei, di antara mereka, Bahasa Kei sering
digunakan dalam hidup sehari-hari dan bahkan bagi mereka yang
tinggal di luar Kepulauan Kei. Tetapi kini mayoritas orang Kei
berbicara juga Bahasa Indonesia, karena mereka harus meng-
gunakan bahasa ini di sekolah, di kantor-kantor, di pasar dan
berbagai sektor publik dan membangun relasi dengan orang-
orang dari berbagai daerah yang berbeda. Itu sebabnya di kota-
kota, seperti Tual dan Langgur, orang lebih sering menggunakan
Bahasa Indonesia. Di desa-desa, orang menggunakan percam-
puran Bahasa Kei, Bahasa Indonesia dan juga melayu Ambon.
Dalam konteks administrasi pemerintahan, dalam sistem
desentralisasi setelah resim President Suharto (1998 hingga kini),
Kepulauan Kei dewasa ini dibagi dalam dua pemerintahan admi-
nistartif, yakni Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual (lih.
Gambar 4). Kelompok-kelompok kepulauan di luar Kepulauan
Kei, yang pada masa lalu ada di bawah pemerintahan Kota Tual
dalam Kapupaten Maluku Tenggara, kini terbagi dalam tiga kabu-
paten baru (Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru). Dewasa ini
Kabupaten Maluku Tenggara berpusat di Kota Langgur di Pulau
Kei Kecil, dan terdiri atas enam kecamatan: tiga di Pulau Kei Kecil
dan tiga di Pulau Kei Besar. Kotamadya Tual, dengan ibu kotanya
di Tual, terdiri atas empat kecamatan. Dengan demikian, sejak
periode Orde Baru, jumlah kecamatan di Kepulauan Kei bertam-
bah dari 2 menjadi 10 kecamatan.

2. Indonesiasi
Setelah kemerdekaan 1945, pemerintah Indonesia, yang ber-
kedudukan di Jakarta, telah memulai suatu usaha yang keras untuk
indonesianisasi, atau unifikasi dan normalisasi, demi terciptanya
18

suatu kebudayaan nasional. Idiologi nasional tentang pemba-


ngunan diajarkan dan disebarluaskan di sekolah, radio dan
televisi. Hal ini secara prinsipil berakar di daerah perkotaan,
secara khusus di kalangan kaum muda, yang diarahkan untuk
terintegrasi dalam suatu kultur nasional lebih daripada kultur
tradisional lokal. Dibentuk dalam bahasa nasional (Bahasa
Indonesia), kaum muda diajarkan bahwa « tradisi » adalah suatu
yang konsevatif, yang tidak cocok dengan semangat perubahan
dan ideal demokrasi. Usaha untuk menumbuhkan perasaan
nasional keindonesiaan hadir dalam berbagai bentuk pendidikan,
seperti Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan Kewiraan.
Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan dasar dan
menengah, di Perguruan Tinggi, kaum muda dapat memper-
tanyakan kembali sistem tradisional di desa-desa mereka.20
Contoh yang paling jelas adalah sistem administrasi desa.21
Ada suatu kontras antara sistem pemerintah desa yang didasarkan
pada regulasi nasional dan organisasi yang didasarkan pada
tradisi. Pemerintah pusat telah mengaplikasikan dan telah mem-
bentuk sebuah sistem nasional untuk mengatur administrasi,
tetapi di pihak lain warga desa sering memiliki kesulitan untuk
menggabungkan sistem nasional dan sistem yang berakar pada
tradisional lokal.
Selama periode Orde Baru, 1966-1998, pemerintah pusat telah
mencoba menyamakan nama dan struktur desa dengan mempo-
pulerkan nama “desa” (UU no 5 tahun 1979) untuk menggantikan
keberagaman nama sesuai dengan sebutan-sebutan lokal. Pim-

20
Untuk sebuah perbandingan, kita dapat menemukan informasi dalam:
Picard « Religion, tradition et culture. La construction dialogique d’une identité
balinaise » dalam l’Homme, no. 163, 107-136.
21
Peraturan Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara n° 3 Tahun 2009
tentang « Raschap dan Ohoi », yang merupakan terjemahan dari hukum n° 32
Tahun 2004.
19

Gambar 4: Kabupaten Maluku Tenggara sebelum


dan setelah desentralisasi

pinan desa disebut “kepala desa” dan berfungsi sebagai agen ad-
ministrarif pemerintah.
Semenjak dimulainya desentralisasi, artinya otonomi regional
di Indonesia, pada tahun 2004, orang dapat merubah istilah desa.
Setiap daerah menggunakan istilah mereka seturut tradisi se-
tempat. Di Kepualauan Kei, digunakan kata ohoi dan pimpinan
ohoi adalah Orang Kaya, sering orang menyebut Orang Kai. Ini
adalah satu dari fungsi-fungsi tradisional heriditer dalam sebuah
20

desa tradisional Kei.22 Meskipun terjadi perubahan nama, tetapi


pengertian tetaplah sama, seperti pada saat Orde Baru, karena
dalam aturan, Orang Kaya adalah petugas administrasi peme-
rintahan. Selain itu posisi raja23 yang adalah menurut adat, dalam
bahasa Kei disebut uun turun naf’en24 (bertindak sebagai pemim-
pin, kepala dan pengambil keputusan akhir dari sebuah ratschap,
yang adalah sebuah aliansi dari beberapa desa) tidak dipahami
dengan baik oleh pemerintah. Untuk administrasi pemerintahan,
raja hanya dianggap sebagai seorang agen pemerintah, yang
memiliki peran yang relatif sama dengan Orang Kaya. Selain itu,
fungsi-fungsi tradisional lain, seperti tuan tan, mitu duan, hukum
duan, marinyo dan wak-wak25, tidak memiliki arti di mata peme-
rintah, atau bahkan telah hilang sama sekali. Fungsi-fungsi ini
dijadikan « fungsi-fungsi informal », yang hanya berfungsi, bila
warga desa membutuhkannya. Jika tidak, fungsi-fungsi ini tidak
ada. Dengan demikian fungsi-fungsi resmi dalam pemerintahan

22
Menurut « Peraturan daerah Maluku Tenggara no. 7 tahun 2009 », ohoi atau
ohoi rat adalah kesatuan masyarakat yang didasarkan pada hukum adat, yang
bersifat genealogis dan teritorial. Ohoi memiliki batas-batas teritorial dan
berfungsi untuk mengorgansir kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
didasarkan pada hukum-hukum, asal-usul dan kebiasaan-kebiasaan lokal.
23
Salah satu pimpinan dalam domain adat di Kepualaun Kei disebut dalam
bahasa Kei sebagai rat, turunan dari istilah proto malayu-polynesia, datu.
Pimpinan ini digambarkan oleh para peneliti asing sebagai « kepala »
(Kaartinen, 2008: 231), « kepala yang utama » (Kaartinen, 2010: 89), dan « raja »
(Laksono, 1990: 95; Adhuri 2006: 398). Sejak zaman kolonial, pimpinan ini
digambarkan sebagai raja, sebuah istilah melayu (turunan dari kata sansekerta).
24
Uun, kepala ; turun, setuju ; naf’en, tidak setuju.
25
Tuan Tanah, dalam bahasa Kei orang sering menggunakan Tuan tan. Mitu
duan, petugas mitu atau penjaga mitu (mitu sendiri adalah salah satu kategori
supranatural). Hukum duan adalah penjaga hukum (Hukum memiliki dua arti :
roh mitu atau penjaga hukum dan kesatuan hukum dan sangsi-sangsi,
contohnya Hukum Larvul Ngabal). Marinyo adalah penghubung antara Rat dan
Orang Kaya dengan warga desa. Wakwak adalah « mata-mata », yang menjaga
perbatasan desa.
21

desa, seturut aturan hanya Rat, Orang Kaya, Soa dan Seniri26. Posisi
informal yang kini masih ada di desa-desa Kei adalah apa yang
disebut Tua-tua Adat. Mereka berfungsi dalam upacara-upacara
tradisional. Mereka memberikan nasehat dalam hubungan de-
ngan tradisi.

3. Agama dan adat


Untuk menjelaskan kebiasaan dan tradisi, digunakan kata
adat. Tidak ada sebuah defenisi seragam untuk kata ini. Kata
adat berasal dari kata Arab, yang berarti kebiasaan. Kata ini di-
gunakan dimana-mana di seluruh Indonesia. Secara umum, adat
digambarkan sebagai aturan dan kebiasaan tradisional, sering ti-
dak tertulis, yang mengatur hubungan antar pribadi atau hubung-
an antar masyarakat. Di Kepulauan Kei secara umum orang meng-
gunakan kata adat untuk menggambarkan cara hidup para lelu-
hur, artinya adat terhubung dengan sejarah dan dengan cara
hidup para leluhur lokal. Konsep adat mencakup ide-ide moral,
hukum, hidup sosial dan budaya. Dengan demikian, adat me-
manifestasikan berbagai macam hal, seperti karya-karya tra-
disional, lagu-lagu, ritual-ritual, aturan dan hukum tradisional,
sistem pemerintahan, proses perkawinan, norma-norma moral
dan lain-lain. Ungkapan dan praktek adat, yang berbeda pada
tingkat lokal, telah memberikan kontibusi pada kekayaan kultural
masyarakat Kei.
Kata adat itu juga sering dipersonifikasi. Di pulau Tanimbar-
Kei, menurut Cécile Barraud, Adat, bersama Hukum dan Aturan,
adalah roh-roh yang melindungi seluruh desa. Satu dari fungsi-
fungsi mereka adalah untuk menghukum « jiwa-jiwa », yang
diberi sangsi oleh Duad Ler-Vuan (Tuhan Matahari-Bulan).27
26
Dalam sistim administrasi di Kei, seniri adalah sebuah institusi yang terdiri
atas perwakilan dari Rumah-Rumah dan bertugas membantu Orang Kaya dalam
pengambilan sebuah keputusan.
27
Lih. Barraud, Ibid. 231.
22

Dalam ide yang sama, ada penjelasan bahwa secara tradisional


orang berpikir setelah Tuhan Matahari-Bulan, ada Adat dan Hukum.
Untuk itu dapat ditemukan ungkapan-ungkapan ini: « adat akan
menghukummu » atau « adat akan memakanmu » bagi mereka
yang dianggap bersalah terhadap adat.28 Meskipun harus dikata-
kan bahwa orang tidak selalu memahami dengan jelas ungkapan
« adat akan menghukummu », karena sering ungkapan ini meru-
pakan justifikasi, agar orang taat pada hukum-hukum dan aturan-
aturan.
Semenjak kedatangan agama-agama Islam, Kristen dan lain-
lain, bagaimana kita dapat menjelaskan hubungan antara agama
dan adat? Michel Picard menjelaskan bahwa agama adalah sebuah
kata Sansekerta yang berarti « tradisi ». Menurutnya, di India, kata
ini memiliki makna ganda: dalam arti umum, arti yang berhu-
bungan dengan pengajaran-pengajaran keagamaan tradisional,
apa yang memiliki hubungan dengan arti yang terkandung dalam
adat; dalam arti yang lebih spesifik, kata agama menjelaskan teks-
teks pemujaan tantrik dari Shiva. Ini menjelaskan bahwa kata
agama telah mengalami evolusi di Indonesia dan sedikit salah
dipahami.29 Semenjak abad 18, ketika kata ini diadopsi oleh Islam
di Nusantara, kata agama dalam arti sansekerta telah dipahami
dalam arti generik sebagai agama sebagaimana dipahami seka-
rang ini.30

28
Di Lumefar, ada seorang bapak, seorang penjaga Luv Yeu Tomat (kotak
Yeu Tomat). Setiap orang yang melakukan kesalahan-kesalahan melawan
adat harus berbicara dengan orang ini, menjelaskan semua kesalahannya dan
kemudian mereka akan melakukan sebuah ritual untuk membebaskan orang
tersebut dari hukuman adat.
29
Lih. Picard, Ibid. 114-115.
30
M.C. Headley, An Introduction to Javanese Law. Tucson: University of
Arizona Press, 1981, 61.
23

Bagi konstitusi Indonesia, agama menunjuk agama-agama


universal (Islam31, Protestant, Katolik32, Hindu dan Budha). Inilah
agama-agama yang dikenal secara resmi dan pada prinsipnya,
seluruh warga Indonesia diwajibkan untuk menjadi anggota dari
salah dari agama-agama tersebut. Di luar agama-agama ini, de-
wasa ini, semua sistem kepercayaan tradisional dikelompokkan
dalam istilah Aliran Kepercayaan. Sering terjadi, orang-orang atau

31
Islam telah ada di Kei sebelum misi Katolik dan Protestan. Islam telah
tiba bersama para pelaut dan pedagang, yang telah berkunjung ke kepulauan.
Dalam buku « Catholic in Indonesia », pengarang mengisahkan bagaimana
pada akhir abad 18 dan awal abad ke 19 adalah masa persaingan antara Katolik
dan Islam di desa-desa di Kei. Dalam konteks rivalitas ini, sebagaimana Islam
telah menggunakan peran penduduk lokal, Gereja Katolik juga menggunakan
penduduk lokal. Hampir semua desa katolik dewasa ini mengetahui bagaimana
Gereja Katolik telah masuk ke dalam desa-desa mereka berkat seseorang dari
desa mereka sendiri. (Steenbrink, 2003: 183-185).
32
Dalam sejarah Gereja Katolik, Maluku (Ambon, Ternate, Saparua dan
lain-lain) adalah daerah pertama di Indonesia yang mengenal kekristenan
semenjak 1546-1547 berkat usaha para misionaris seperti Santo Fransiskus
Xaverius. Desa Mamuya di pulau Halmahera (1534), di Maluku Utara, telah
menjadi katolik berkat usaha Gonsalo Veloso, seorang pedagang portugis.
Namun demikian, kepulauan Kei baru mengenal kristianisme sekitar 300 tahun
kemudian. Agama Katolik masuk ke Kepulauan Kei, berkat usaha dan bantuan
Adolf Langen, seorang pengusaha Jerman, seorang protestan Lutheran, yang
tinggal di Tual. Ia pergi ke Batavia dan bertemu Mgr. A.C. Claessens, vicaris
apostolik Batavia pada waktu itu. Ia kembali meminta dengan sebuah surat
pada tanggal 24 september 1886. Atas dasar surat ini Mgr. Claessens mengontak
gubernur jendral Otto van Rees, dan sekitar dua tahun kemudian Mgr. Claessens
memperoleh jawaban resmi gebernur jendral melalui sebuah surat tertanggal
10 Februari 1888. Tanggal 1 juli 1888, dua Jesuit, Johannes Kusters dan Johannes
Booms tiba di Tual. Setelah setahun tanpa keberhasilan, 13 juli 1889, J. Kusters
SJ membaptis Maria Sakbaw, yang berusia 3 tahun dan sakit-sakitan di desa
Langgur. Baptisan pertma ini kemudian diikuti dengan baptisan-baptisan
berikutnya. Pada akhirnya Conggregatio de propaganda fidae di Rome memu-
tuskan bahwa Langgur menjadi pusat la prefektur apostolik untuk kawasan
timur, yang meliputi Papua, Kepualuan Kei, Kepulauan Aru, Kepualaun Tanim-
bar, Seram, Ambon, Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Kawasan yang
luas mendorong pastisipasi awam katolik. Itu sebabnya, Gereja Katolik di Kei
menjadi Gereja dari para pekerja awam. Banyak dari mereka menjadi misionaris
yang bekerja di Maluku dan Papua. Ketiadaan imam pada masa kolonialisasi
Jepang tidak sampai mematikan Gereja Katolik berkat usaha mereka. (Steen-
brink, 2008 : 335)
24

masyarakat tertentu yang tidak menganut salah satu dari agama


resmi disebut « hindu » tanpa memiliki hubungan dengan agama
Hindu. Di Kepulauan Kei, mereka yang tidak masuk dalam agama
resmi dan mempraktekan ritual tradisional disebut juga « hindu ».
Jumlah mereka terus berkurang dalam perjalanan waktu dan
akibat pengaruh dari Islam, Katolik, dan Protestant.33

Tabel 2: Komposisi penduduk menurut agama-agama (1887-2011).


Islam Katolik Protestan Lainnya Total
1887 5,893 (29%) 0 0 14,137 (71%) 20,030
1915 12,000 (40%) 8,000 (27%) 3,000 (10%) 7,000 (23%) 30,000
1930 20,000 (39%) 13,000 (26%) 11,000 (22%) 6,000 (12%) 50,665
1984 41,175 (41%) 33,241 (33%) 25,530 (25%) 821 (1%) 100,767
2011 70.027 (40 %) 68.398 (39%) 35.965 (20%) ? 174.390
Sumber: P.M. Laksono (1887-1994) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Maluku Tenggara (2011)

Dalam seluruh Kepualaun Kei, Islam adalah agama terbanyak


yang dianut oleh penduduk (70.027 penduduk), diikuti oleh Kato-
lik (68.398) dan Protestan34 (35.965). Mayoritas pemeluk Muslim
tersebar di Kota Tual, pulau Dullah, pulau Kur, pulau Tayando
dan beberapa tempat di pulau Kei Besar. Sementara mayoritas
Katolik tersebar di pulau Kei Kecil, dan beberapa tempat di pulau
Kei Besar. Itulah sebabnya mayoritas penduduk Kabupaten
Maluku Tenggara adalah Katolik (59.827 de 109.000 penduduk).35

33
D.S. Adhuri, Ibid. 395.
34
Perkembangan misi Gereja Katolik di Kepualaun Kei mendorong hadirnya
zending Protestan sekitar tahun 1900. Gereja Protestant telah mencoba masuk
di Kepulauan Kei pada tahun 1635, tetapi misi ini kurang berhasil. Misi
Protestan kemudian berpusat di Ambon dan di pulau-pulau Lease.
35
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Maluku Tenggara, Profil Daerah
Maluku Tenggara, 2011, hlm. 4-6. Islam adalah mayoritas (41.296 dari 70.360
habitants) di Kotamadya Tual.
25

Dewasa ini ada organisasi-organisasi keagamaan yang me-


mainkan peran sangat penting. Di desa-desa yang berpenduduk
Katolik Dewan Gereja telah memainkan peran yang sangat penting
untuk menjadi salah satu elemen dari tiga “batu tungku”: peme-
rintah desa, adat dan agama.
Untuk sebagian dari desa-desa Kei, masyarakatnya adalah
perpaduan dari masyarakat tradisional dan masyarakat terbuka,
yang menerima agama-agama yang datang dari luar. Menurut
pendapatku, sering agama-agama universalis tidak kompatibel
dengan upacara dan ritual masyarakat tradisonal, tetapi tidak
demikian bagi masyarakat tradisional. Bagaimana mereka dapat
memahami dan mempraktekan kehidupan religius mereka?
Dalam masyarakat Kei, kegiatan-kegiatan keagamaan sudah
pasti mempengaruhi perspektif dan perilaku masyarakat terhadap
tradisi mereka. Berbagai peristiwa seputar kelahiran, perkawinan,
kematian dan acara lainnya telah mulai berubah sesuai dengan
aturan-aturan agama, tetapi jika menghadapi beberapa masalah
lain (penyakit, konflik ...), mereka menggunakan cara-cara tradi-
sional. Penduduk desa selalu menghubungkan apa yang terjadi
dalam hidup mereka dengan entitas non-empiris: “keilahian”,
yakni roh-roh dan nenek moyang. Dengan kata lain, agama-agama
universal tidak menghapus semua tradisi.
Apa yang terjadi adalah bahwa agama dan tradisi berjalan
bersama. Artinya bahwa agama dan tradisi tidak mencakup aspek
yang sama dari kehidupan masyarakat Kei. Agama telah menam-
bahkan dimensi-dimensi baru, yakni sentuhan akan keilahian
tertinggi dan kebutuhan untuk konversi pada suatu doktrin yang
berasal dari luar yang ajaran-ajarannya yang terkandung dalam
Kitab Suci. Tradisi menekankan pada relasi dengan para leluhur
dan warisan mereka, yang telah berlanjut dari generasi ke gene-
rasi. Karena itu, bahkan dalam sejumlah kasus, ada ketidaksesuai-
an, adat Kei tidak dapat diganti sepenuhnya oleh agama-agama,
26

tetapi keduanya terintegrasi dalam masyarakat. Beberapa pro-


sedur ritual masih terus bertahan untuk menjaga keharmonisan
dengan roh leluhur, terutama dalam tahap-tahap perjalanan kehi-
dupan, seperti kelahiran, pernikahan, kematian, pembangunan
rumah, dan peristiwa penting dalam siklus pertanian, panen,
pendidikan, dll. Dari masalah-masalah lain yang sering muncul
dalam hubungan ritual adalah mimpi, kesehatan, dan perjalanan.
Secara lebih mendalam lagi untuk masyarakat Kei, agama
bukanlah suatu domain terpisah dari dunia sosial. Kehidupan
religius meliputi juga kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-
lain. Hal ini telah dijelaskan Cécile Barraud, ketika ia menjelaskan
hubungan antara kehidupan beragama dalam masyarakat tra-
disional. Ia menunjukkan bahwa « ritual-ritual dan tindakan-
tindakan yang kita sering sebut sebagai agama membentuk bagian
dari serangkaian praktek dari suatu koherensi internal sosiologis,
itu adalah sistem makna. Tidak ada agama di satu sisi, hidup sosial
di sisi lain. ».36
Dengan demikian kita dapat menemukan kombinasi-kombi-
nasi dari agama dan tradisi dalam berbagai aktivitas komuniter.
Pada saat pengangkatan Orang Kaya baru, seorang tua adat akan
membuat sebuah ritual adat dan untuk pengangkatan sumpah,
digunakan teks-teks agama yang dipraktekkan oleh Orang Kaya
tersebut. Dalam desa-desa Katolik, orang menggunakan sebuah
ritual adat ketika seorang imam baru atau bahkan uskup berkun-
jung di desa mereka. Ketika orang memberkati rumah atau perahu
atau lainnya, selalu ada bagian untuk doa adat dan doa dari agama
yang dianut. Keduanya dipraktekkan. Itu sebabnya dalam perka-
winan dan kematian, dapat ditemukan praktik adat dan agama.
Jika keduanya dibuat, orang merasa bahwa upacara itu lengkap.
36
Cecile Barraud, “Notes sur la situation religieuse dans l’archipel de Kei,
aux Moluques”, dalam Le Banian n°13: La religion, une obligation en Indonésie
2012, 82-83.
27

Suatu persepsi umum masyarakat Kei adalah bahwa Tuhan harus


disembah dan para leluhur dihormati. Tentu saja, orang harus
mengetahui bahwa setiap desa dan setiap agama memiliki kebia-
saan-kebiasaanya sendiri dan sangat tergantung dengan pers-
pektif pemahaman dari relasi antara agama dan tradisi.
28
29

KEPUSTAKAAN

1. Cécile Barraud, Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée


vers le large. Cambridge dan Paris: Cambridge University Press
dan Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1979.
2. ————————— “Notes sur la situation religieuse dans
l’archipel de Kei, aux Moluques”, dalam Le Banian n°13 : La
religion, une obligation en Indonésie 2012.
3. Blust Robert A., “Central and Central-Eastern Malayo-Poly-
nesian” dalam Oceanic Linguistics, 32, 1993.
4. D.S. Adhuri, “Concept of origin and origin structure of the
austronesians: a reflection from the Kei islands in southeastern
Maluku, Eastern Indonesia” dalam T. Simanjuntak, Inggrid
Puyoh et Moh. Hisyam (eds), Austronesia Diaspora and the
Ethnogenses of people in Indonesia (pp. 392-411). Jakarta:
LIPI.2006.
5. F.A.E. van Wouden, Types of social structure in eastern Indonesia.
Leiden: The Hague-Martinus Nijhoff. 1968.
6. H.C. Folkard, Sailing boats from around the world: the classic 1906
treatise . Toronto: General publishing company Ltd, 2000.
7. J. Tetelepta, Struktur Bahasa Kei. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebu-
dayaan.
8. Lombard, 1990. Le Carrefour Javanais: Les réseaux asiatiques.
Paris: Ecole des hautes études en sciences sociales.
30

9. M.C. Headley, An Introduction to Javanese Law. Tucson: Univer-


sity of Arizona Press, 1981.
10. P.M. Laksono, “Exchange and its other: A Reflection on the
Common Ground for the Keiese”, dalam Remaking Maluku:
Social Transformation in Eastern Indonesia. David Mearns and
Chris Healey, eds. Special Monograph No.
11. Picard « Religion, tradition et culture. La construction dialogi-
que d’une identité balinaise » dalam l’Homme, no. 163.
12. Roy Ellen, On the Edge of the Banda Zone : Past and Present in
the Social Organization of a Moluccan Trading Network. Hawaii:
Univ of Hawaii Press, 2003.
13. Steenbrink, K. 2003. Catholics in Indonesia a documented history.
Leiden : KTLV.
14. Steenbrink, J.S. 2008. A History of Christianity. Leiden - Boston:
Koninklijke Brill NV.
15. Wallace, The Malay Archipelago. London: Periplus Editions,
2000.
31

BAB II
RITUAL PERKAWINAN
MASYARAKAT KEI TRADISIONAL

D iamati sebagai sebuah bentuk ritual sistematik, perkawinan


adalah salah satu ritus peralihan klasik, yang di satu sisi ter-
buka terhadap perubahan pada bentuk ritual dan di sisi lain ter-
buka pada penemuan bentuk ritual baru.
Secara tradisional, diprakarsai oleh pemakluman pertunang-
an, siklus perkawinan akhirnya memuncak pada perkawinan itu
sendiri. Perkawinan, di antara keputusan dan pelaksanaannya,
harus dipersiapkan dengan baik. Hal ini telah dicatat dengan baik
oleh Martin Segalen ketika ia mengatakan bahwa « perkawinan
dimulai dengan baik sebelum perkawinan itu terjadi »37.
Para antropolog telah mempelajari dua sudut pandang yang
sangat populer tentang perkawinan : larangan-larangan perka-
winan dan dimensi ekonomi perkawinan. Selain itu, perkawinan
memiliki juga suatu dimensi tindakan atau dimensi ritual. Setiap
tahap perkawinan meliputi beberapa tindakan ritual. Semua itu
membentuk ritual perkawinan. Kita dapat memulai ketika
seorang pemuda bertemu seorang gadis. Mereka memutuskan
untuk menikah. Selanjutnya, mereka mengadakan ritual
perkawinan. Maka perkawinan adalah salah satu dari tahapan-

37
Segalen, M., Rites and rituels contemporain, Paris: Natham, 1998, 104
32

tahapan, yang menandai saat ketika pintu baru dibuka. Mereka


yang menikah meninggalkan keluarga asal mereka untuk
membuat keluarga mereka sendiri dan masuk bersama-sama
dalam definisi kehidupan bersama.
Dalam masyarakat tradisional atau dalam masyarakat mo-
dern, yang menjadi kian individual, kita selalu berpikir bahwa
sebuah perkawinan harus melewati sebuah ritual perkawinan.
Dengan kata lain, di luar hukum dan formalisasi kisah cinta, ba-
nyak pasangan merasa perlu untuk meminta tindakan tertentu
untuk merasakan dan menjelaskan perkawinan mereka. Ada
sejumlah tindakan yang terasosiasi pada perkawinan. Beberapa
tindakan ini memiliki rasa keagamaan, yang lain murni sekuler.
Banyak datang dari adat istiadat setempat dan diubah oleh waktu
atau tetap utuh dari generasi ke generasi. Sebuah keluarga dapat
memiliki tradisi mereka sendiri, yang diteruskan kepada anak-
anak mereka.
Dalam tulisan ini saya tidak mencoba untuk menjelaskan
larangan-larangan perkawinan, bukan pertukaran harta kawin,
dan bukan aspek-aspek hukum, tetapi tindakan-tindakan perka-
winan. Pada tahun 1970-an, sosiolog J. Cazeneuve, dalam bukunya
Sociologie du rite (Sosiologi tentang Ritus, 1971) telah memberikan
sebuah defenisi tentang ritual: « Ritual adalah sebuah tindakan
yang diiukti oleh konsekwensi-konsekwensi riil ». Defenisi ini
sangat minimalis, tetapi secara umum kita tahu bahwa sebuah
ritual adalah sebuah tindakan yang berulang menurut aturan-
aturan yang relatif tetap. Sebuah ritual adalah sebuah tindakan
kompleks yang di dalamnya kata-kata, nyanyian-nyanyian, tin-
dakan-tindakan, pimpinan dan para partisipan menyatu dalam
sebuah tindakan yang sama. Dengan demikian sebuah ritus bukan
sebuah meditasi pasif, tetapi sebuah meditasi aktif, karena ritus
bukan hanya sebuah doa personal tetapi sebuah seri tindakan-
tindakan reguler. Dengan demikian ritual perkawinan adalah
33

sebuah kebersamaan dari tindakan-tindakan untuk menyatakan


kesatuan antara orang-orang: antara dua pribadi yang menikah
atau antara dua keluarga.
Secara umum, sebuah ritual penting bagi mereka yang
melakukannya. Sebuah ritual bukan hanya kumpulan tindakan,
melainkan serangkaian tindakan yang masuk akal bagi mereka
yang mempraktekannya. Ada kemungkinan bahwa tindakan itu
bersifat spontan dan sebuah tindakan biasa; namun pada tahapan
lainnya orang dapat mengetahui apa artinya. Mereka yang menge-
tahui arti ini adalah mereka terlibat dan memahami arti pen-
tingnya sebuah ritual.
Bahan-bahan etnografis dari tulisan ini berasal dari masyara-
kat Kei, masyarakat yang telah saya pelajari sejak tahun 2011 lalu
(secara khusus masyarakat desa Lumefar). Dalam tulisan ini saya
ingin mencoba menjelaskan bagaimana sebuah ritual perkawinan
tradisional penting dipraktekkan selain ritual keagamaan. Untuk
menyatakan sebuah perkawinan, orang membutuhkan sebuah
pernyataan dalam tindakan-tindakan kongkret. Tindakan-
tindakan tersebut adalah instrument-instrumen dari sebuah
deklarasi dan dari sebuah arti perkawinan. Bagamaimana kita
dapat menjelaskan tindakan-tindakan dari ritual perkawinan dan
bagaimana tindakan-tindakan tersebut berfungsi di dalam masya-
rakat Kei?
Dengan demikian, di dalam tulisan ini, pertama-tama saya
akan mendeskripsikan secara umum ritual perkawinan tradisional
masyarakat Kei dan selanjutnya saya mencoba untuk meng-
analisanya. Pada akhirnya, dalam bagian penutup, saya mencoba
menuliskan beberapa refleksi tentang tindakan-tindakan ritual.
34

1. Ritual Perkawinan Tradisional


Masyarakat Kei
Sebelum hadirnya agama-agama monoteis, masyarakat Kei
telah memiliki sebuah sistim « kepercayaan », yang telah diwaris-
kan dari generasi ke generasi. Secara umum, sistim ini tampak
dalam ritus-ritus dan perayaan-perayaan yang berbeda dalam
siklus hidup manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian
dan setelah kematian.
Dalam konteks ritus perkawinan, sebagian masyarakat Kei
mempraktekan beberapa tahap perkawinan: sebuah pertemuan
awal, perkawinan adat, perkawinan keagamaan dan lainnya. Da-
lam Bahasa Kei orang menyebut sebuah pertemuan awal ini se-
bagai dudung ngail, yang berarti « orang meminta » dan lenan reet
fid, yang berarti « orang masuk melalui pintu depan ». Rumah38
(rahan) dari pemuda harus pergi ke Rumah pemudi. Tahapan ini
akan berjalan dengan sangat mudah bila di antara kedua Rumah
ini telah terbentuk sebuah relasi yan’ur-mang‘ohoi. Jika tidak,
mereka harus membentuk sebuah relasi baru, dimana Rumah
pemuda disebut sebagai yan’ur dan Rumah pemudi disebut
sebagai mang’ohoi.
Seperti dalam pertemuan-pertemuan awal, dalam upacara
perkawinan adat, Rumah pemuda harus pergi ke Rumah pemudi
sebagai mang’ohoi-nya. Ketika rombongan Rumah pemuda tiba,
mereka dipersilahkan masuk ke dalam ruang depan, yang pada
saat ini menjadi ruang pertemuan, yang dalam Bahasa Kei disebut
tovat kofaak, yang berarti sebuah tempat pertemuan yang dalam

38
Dalam masyarakat Kei, Rumah, yang dalam bahasa Kei rahan, memiliki
dua arti: 1) sebagai sebuah bangunan tempat tinggal, dan 2) sebagai kesatuan
sosial terkecil. Dalam tulisan ini Rumah yang dimaksudkan adalah kesatuan
sosial. Setiap fam atau marga secara langsung merujuk pada nama rahan tertentu.
Misalnya fam saya adalah Refo dan rahan saya adalah Rahan Ruske Kawod. Dalam
pembicaraan adat, orang lebih merujuk pada nama rahan daripada nama fam.
Hal serupa dapat ditemukan dalam nama desa dan nama woma.
35

hal ini dianggap memiliki kemiripan dengan ruangan pada se-


buah kapal (tovat : tempat pertemuan, kofaak : bangku pada kapal).
Kapal merupakan sebuah gambaran yang bagus bagi sebuah per-
kawinan. Dalam perkawinan, pemudi harus meninggalkan Ru-
mahnya dan tinggal bersama suaminya, Rumah yan’ur-nya.
Dalam upacara perkawinan adat ini, mereka duduk di lantai,
di atas tikar, dengan membentuk persegi empat, dok tovat
kofaak dalam Bahasa Kei. Sebagai sebuah bentuk rasa hormat,
yan’ur duduk pada bagian dalam dari ruangan ini yang disebut
tav vovaan. Adapun mereka yang hadir dalam upacara perkawinan
adat ini adalah para anggota Rumah yan’ur-mang’ohoi, para tua-
tua adat dan pada suatu tempat khusus pasangan yang menikah.
Seseorang dari Rumah yan’ur tampil dan memberikan tiga
piring yang berisi mas, uang, tembakau, dan sirih-pinang bagi
orang-orang yang mewakili tiga Rumah: Rumah pemudi, yang
disebut mang’ohoi rahanduan, Rumah ibu dari pemudi yang disebut
mang’ohoi utin dan Rumah nenek dari pemudi, yang disebut
mang’ohoi tuar tom. Mereka yang menerima piring-piring tersebut
kemudian mengangkatnya untuk memuji Tuhan dan menghor-
mati para leluhur, yang dalam Bahasa Kei disebut Sob duad ne
flurut duad nit.39

39
Cecile Barraud, etc., Of relations and the dead. (Oxford: Berg Publisher.
1994), 69.
36

No Waktu Nama Tempat Deskripsi


1 Pertemuan Rumah •Rumah pemuda mengindi-
awal (1) gadis kasikan keinginan mereka
dudung
untuk melamar seorang
ngail
gadis.
atau
lenan reet •Jika Rumah pemudi setuju,
fid kedua Rumah membicarakan
dan menyatakan niat Rumah
pemuda tersebut kepada setiap
anggota Rumah.

2 Perkawinan Rumah •Mulai dari hari ini, orang


adat (1). gadis menyebut Rumah pemuda
sebagai yan’ur dan Rumah
pemudi mang’ohoi.
•Rumah mang’ohoi menyiapkan
sebuah ruangan untuk
pertemuan.
•Dalam pertemuan ini Rumah
yan’ur meminta kepada Rumah
mang’ohoi tiga piring untuk
menyiapkan persembahan untuk
memohon kepada Tuhan dan
menghormati leluhur.
•Rumah yan’ur memberikan mas
mol sian kepada Rumah
mang’ohoi, jika ada saudara
sulung dari gadis yang
waut tatau sementara berlayar atau berada
dan di pulau lain.
eak sit yahau •Di tengah ruang pertemuan,
welan yan’ur meletakkan sebuah
meriam, sebuah gong dan uang
secukupnya sebagai harta
kawin.
•Pemuda dan pemudi yang akan
menikah ada di tengah atau di
tempat yang dapat disaksikan
semua yang hadir. Keduanya
dibungkus dengan kain. Seorang
tua adat dengan piring berisi
uang, mas, tembakau dan sirih-
37

No Waktu Nama Tempat Deskripsi


pinang memanjatkan
permohonan kepada duad
(Tuhan) dan kepada leluhur.
Rumah mang’ohoi menyiapkan
makanan kepada Rumah
yan’ur dan kepada semua orang.
Di awal makan bersama ini,
Rumah yan’ur memberikan
sebuah gelang kepada Rumah
mang’ohoi untuk membuka
perjamuan.

3 Perkawinan Rumah •Rumah yan’ur dan Rumah


adat (2) gadis mang’ohoi, orang-orang terdekat
dan para pemuka desa hadir.
•Seorang tua adat mengangkat
piring yang berisi uang, emas,
tembakau dan sirih-pinang
untuk Tuhan dan leluhur.
•Kedua pasangan calon suami-
istri berlutut di depan orang tua.
•Orang makan bersama makanan
yang disiapkan oleh Rumah
mang’ohoi. Seorang wanita tua
duduk di antara kedua
pasangan yang menikah. Kedua
pasangan makan dan minum
dari piring dan gelas yang sama.
Mereka merokok sebatang
rokok. Selama makan bersama
ini kedua pasangan dinasehati
oleh para tua-tua.

4 Perkawinan Gereja •Mulanya kedua pasangan


di Gereja mengikuti masa persiapan yang
diatur dengan pastor paroki.
•Perayaan ekaristi : kedua
pasangan duduk di depan altar
38

No Waktu Nama Tempat Deskripsi

•Setelah homili, mereka lebih


dekat di seputar altar dan
memulai upacara perkawinan:
dialog, doa dan mereka saling
memberikan cincin.

5 Istri diantar Rumah •Istri diantar ke Rumah


ke Rumah pemuda yan’ur dan selama satu
yan’ur malam (pada masa lampau
dapat terjadi sampai tiga
malam), Rumah yan’ur
mengadakan pesta
penerimaan.
•Pada pesta tersebut, sebuah
kelompok menyanyikan ngel-
ngel (lagu tradisional) untuk
menjelaskan sejarah desa,
sejarah Rumah suaminya,
memberikan nasehat dan
untuk menyenangkan hati
istri yang telah
meninggalkan Rumahnya.
•Ketika pasangan baru ini
tidur di waktu malam, ada
seorang wanita tua tidur di
antara mereka. Ketika
mereka sungguh tertidur,
wanita tersebut keluar dari
kamar. Sampai di sini ritual
perkawinan berakhir.
Mereka menjadi sepasang
suami-istri.

Rumah Yan’ur harus memberikan juga sebuah mas mol


sian (mas larangan) kepada Rumah mang’ohoi, jika saudara dari
pemudi yang menikah ada di perantauan (karena berlayar, karena
ikut berperang atau karena ikut dalam penjualan kapal). Dalam
tradisi Kei, adalah sebuah larangan bagi seorang pemudi menikah
sementara saudara laki-lakinya sementara di perantauan. Untuk
alasan itu, Rumah yan’ur harus memberikan sebuah mas bagi
39

saudara pemudi tersebut. Di tengah ruangan perayaan « tovak


kovaak », Rumah yan’ur meletakkan sebuah meriam, disebut
sadsad, sebuah gong dan sejumlah uang. Semua ini akan diserah-
kan kepada Rumah mang’ohoi sebagai kompensasi perkawinan
atau secara populer disebut sebagai harta kawin. Selain itu sebagai
sebuah tanda ikatan perkawinan, Rumah yan’ur memberikan se-
buah gelang, yang disebut mas vaav ratan, yang terjemahan aproxi-
matifnya berarti « emas di punggung babi » dan sebuah mas lain;
yang disebut mas eak ye (emas untuk mengikat kaki-kaki pemudi).
Rumah mang’ohoi membalas pemberian Rumah yan’ur dengan
sebuah kain, yang disebut heman (sebuah sarung) untuk « meng-
ikat kaki-kaki pemuda ». Kemudian, pemuda dan pemudi yang
hendak menikah duduk di tengah tovat kofaak dan tua adat mem-
bungkus mereka dengan kain sarung. Tua adat itu dengan bahan-
bahan persembahan (sirih-pinang) di sebuah piring berdoa ke-
pada Tuhan « duad » dan para leluhur. Untuk membalas semua
kompensasi perkawinan yang diberikan oleh Rumah yan’ur, Ru-
mah mang’ohoi mempersiapkan jamuan makan untuk para ang-
gota Rumah yan’ur dan semua orang yang hadir. Dalam Bahasa
Kei, orang menyebutnya sebagai fa’an fnilur, yang berarti “mem-
berikan pakaian-pakaian dan makanan”.40
Dalam upacara selanjutnya, Rumah yan’ur harus memberikan
sebuah gelang emas untuk meminta dilaksanakan tahap berikut-
nya dari upacara perkawinan kepada Rumah mang’ohoi. Untuk
menjawab pemberian tersebut, Rumah mang’ohoi mempersiapkan
vat ni bayoi, yang artinya adalah pakaian-pakaian pernikahan,
makanan, piring-piring dan tempat tidur bagi pasangan yang baru
menikah.

40
Cecile Barraud, etc., Ibid., 76.
40

Ritual upacara perkawinan adat ini berlangsung sedikit seder-


hana:
1. Rumah yan’ur dan Rumah mang’ohoi, sanak keluarga terdekat
dan para tua adat hadir. Mereka duduk membentuk formasi
segi empat di atas tikar-tikar.
2. Seorang tua adat mengangkat piring yang berisi sirih-pinang,
uang dan mas. Ia berdoa kepada Tuhan dan para leluhur.
3. Kedua pasangan yang akan menikah berlutut di depan orang-
tua-orang tua mereka.
4. Setelah itu semua yang hadir makan bersama makanan yang
telah disiapkan oleh Rumah pemudi « mang’ohoi ». Seorang
wanita yang telah berusia lanjut duduk di antara pasangan
yang menikah. Pasangan yang menikah ini makan dari piring
yang sama dan minum dari gelas yang sama. Selain itu mereka
mengisap rokok yang sama. Selama makan bersama ini pa-
sangan yang menikah ini dinasehati oleh para tua-tua.
5. Pada saat malam tiba, pasangan ini tidur dan seorang wanita
yang berusia lanjut tidur pula di antara mereka. Ketika yakin
bahwa pasangan ini telah tidur, wanita ini pun keluar. Dengan
demikian tahapan ritual berakhir. Pasangan ini telah menjadi
suami dan istri.
Dewasa ini upacara pernikahan adat ini tidak lagi dipraktek-
kan secara kurang lebih lengkap. Perhatian orang lebih tertuju
pada pernikahan keagamaan.

Tempat ritual perkawinan Gereja Katolik


Pada tahun-tahun terakhir ini orang berpikir bahwa perka-
winan keagamaan adalah lebih penting daripada perkawinan
adat. Meskipun demikian, kita masih menemukan praktek-prak-
tek perkawinan adat yang dibuat sebelum perkawinan keagama-
an. Dalam konteks perkawinan Katolik, secara umum pasangan
41

yang hendak menikah harus telah melaksanakan sejumlah per-


siapan sebelum upacara perkawinan di gereja bersama dengan
pastor paroki atau petugas lainnya. Semua ini memakan waktu
beberapa minggu. Setelah semua usai, pasangan ini masuk dalam
upacara perkawinan. Seturut aturan Gereja, mereka yang hadir
dalam upacara perkawinan adalah pastor paroki, pasangan dan
dua orang saksi. Tetapi secara umum, ada pula kaum keluarga
dan sahabat-kenalan.
Ritual perkawinan dibuat dalam upacara ekaristi. Namun
ritual perkawinan yang spesifik tampak dalam tindakan-tindakan
berikut:
1. Dialog antara pastor dan pasangan. Di sini pasangan yang
menikah menyatakan dengan jelas cinta kasih seorang kepada
yang lain dan setia sepanjang hidup mereka. Di sini mereka
menerima tanggung jawab sebagai pasangan dan sebagai
orang tua.
2. Pertukaran cincin nikah. Pertukaran cincin ini menyimbolkan
kesatuan di hadapan Tuhan. Pasangan yang menikah menya-
takan kalimat berikut ini seorang kepada yang lain: « Terima-
lah cincin ini sebagai lambang dari cinta dan kesetiaanku ».
Setelah itu, pastor menyatakan bahwa: « Saudara-saudara
sekalian yang hadir di sini telah menjadi saksi dari ikatan
suci ini. Hendaklah kita ingat akan perkataan Kitab Suci: Apa
yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manu-
sia ».

Pengantin wanita diboyong ke rumah mempelai pria


Setelah upacara pernikahan di gereja, semua orang yang
diundang menuju rumah pasangan wanita. Mereka berpesta dan
makan bersama. Setelah itu, pada waktu yang telah ditentukan,
pengantin wanita diboyong ke rumah mempelai pria, ke Rumah
42

yan’ur-nya. Pengantin wanita ini menjadi anggota dari Rumah


suaminya.
Umumnya ada beberapa tahapan upacara lagi yang harus di-
lalui. Rumah yan’ur harus memberikan beberapa mas untuk
saudara-saudari pengantin wanita, yang menemani kedatangan
saudari mereka. Selain itu, Rumah yan’ur mengadakan upacara
penerimaan dengan mengundang kaum kerabat. Pada saat itu
dinyanyikan ngel ngel (nyanyian tradisional) yang pada saat itu
berisi nasehat, sejarah desa dan hal ikhwal seputar Rumah dari
suaminya.

2. Analisa tentang ritus perkawinan


Setelah menjelaskan tahapan-tahapan perkawinan dalam
masyarakat Kei secara umum, pada bagian berikut ini, hendak
dibuat sebuah analisa tentang ritual perkawinan tersebut. Per-
tama-tama atas dasar analisa tersebut saya akan menjelaskan be-
berapa aspek dari tindakan-tindakan ritual dan selanjutnya saya
akan menjelaskan bagaimana ritual perkawinan berfungsi dalam
masyarakat Kei.

a. Suatu struktur tiga fase


Dijelaskan bahwa sebuah perkawinan berisi tindakan-tindak-
an ritual, dimana tindakan tersebut menyertai setiap perubahan
lokasi, status, posisi sosial dan usia. Selain itu, menurut skema
ritual peralihan, setiap tindakan ritual meliputi tiga fase: tindakan
perpisahan « l’acte de séparation », tahap transisi « l’étape de marge »
dan penyatuan « l’agrégation ». Untuk van Gennep, ini disebut
sebagai “wilayah peralihan” « territorial passage ».41 Perpisahan
ditandai dengan penghapusan individu atau kelompok pada titik
spesifik dalam struktur sosial untuk beberapa hal. Ketika per-

Van Gennep, A., Rites de passages (London: Routledge, 1960), 15.


41
43

pisahan selesai, seseorang memasuki fase liminal dan kemudian


fase penyatuan42.
Proses ritual perkawinan adat Kei menjelaskan dengan baik
struktur model tiga fase van Gennep. Jika pemuda dan seorang
pemudi kawin, maka mereka meninggalkan status lama mereka
dan menjadi suami dan istri. Ketika semua proses perkawinan
selesai pasangan ini akan hidup bersama. Setelah suatu masa
tertentu, mereka akan tinggal di rumah tinggal mereka sendiri.
Adalah mungkin mereka tetap tinggal dalam rumah orang tua
suami sampai kematian mereka karena mereka adalah pewaris
rumah tersebut. Meskinpun demikian, orang tua mereka akan
memperlakukan pasangan ini seturut status baru mereka, yakni
sebagai sebuah keluarga independen.
Selain itu, fase perpisahan, yang tampak dalam ritual perka-
winan yang panjang, mengungkapkan pentingnya sebuah proses
bertahap: pengantar, pendalam relasi dan penyatuan dua Rumah
(rahan). Tahapan penting dari fase perpisahan dimulai dari masa
persiapan perkawinan, dimana mereka harus melewati pertemu-
an-pertemuan pendahuluan sebelum memutuskan untuk masuk
dalam perkawinan, yang juga terdiri dari beberapa tahapan.
Bagi pasangan-pasangan di perkotaan, keputusan untuk
kawin dimulai ketika pasangan memutuskan untuk menikah.
Setelah itu, mereka mendeklarasikan putusan mereka kepada
setiap keluarga mereka, sebelum memulai proses perkawinan,
entah itu dimulai dengan pertunangan atau langsung ke jenjang
perkawinan. Dalam masyarakat Kei tradisional, keputusan untuk
menikah perlu mendapat persetujuan dari keluarga dan lebih luas

42
Sebagai contoh dalam hal kematian dan kelahiran kembali. Upacara per-
pisahan pada akhirnya mewujudkan sebuah kematian simbolis, yang memin-
dahkan individu dari masyarakat dan status sosial lama sebelum mereka di-
transformasikan dalam upacara transisi dan akhirnya dilahirkan kembali dalam
komunitas tersebut dalam upacara penyatuan.
44

lagi Rumah (rahan). Dengan demikian keluarga dan Rumah


memainkan peran yang sangat penting. Mereka dapat menyetujui
dan mungkin juga, mereka menolak karena alasan-alasan tertentu.
Jika keluarga dan Rumah menerimanya, mereka dapat maju pada
tahapan berikutnya sampai pada jenjang perkawinan.
Selanjutnya, tahap transisi dimulai ketika pengantin wanita
diterima dalam suaminya. Di sini diadakan upacara penerimaan
dan diadakan pesta penerimaan. Pengantin wanita diajarkan
tentang tradisi, kisah, nasehat dan lain-lain, yang dihidupi oleh
Rumah dan desa suaminya.
Pada tahap terakhir adalah tahap penyatuan « l’agrégation »,
dimana pasangan ini hidup sebagai sebuah keluarga. Dalam
tindakan ritual, hal ini tidak tampak. Tetapi seperti dalam sejum-
lah masyarakat tradisional, istri membawa beberapa pemberian
Rumahnya dalam hubungan dengan perkawinan ini, sering da-
lam bentuk produk mebel (lemari dan tempat tidur), kain-kain
dan beberapa hal lain dalam hubungan dengan kebutuhan do-
mestik. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah jawaban atas harta
kawin yang telah diberikan oleh Rumah suaminya. Dengan demi-
kian, sambil membawa hal-hal ini, istri membawa sejumlah
elemen dari keluarganya dalam perkawinannya dan dalam rumah
suami dan orang-tua mantunya dimana kini ia hidup.

b. Sebuah perkawinan:
kesatuan dua pribadi dan dua Rumah
Gereja Katolik masuk ke Kei berkat misi Jesuit pada tahun
1889. Pada waktu itu, selain Islam yang mulai berkembang, ada
pula agama tradisional, yang umumnya disebut sebagai Hindu.
Penyebaran Gereja Katolik berlangsung lambat, meskipun kini
menjadi salah satu agama dominan di Kepulauan Kei. Sama
seperti pemeluk Katolik pada umumnya, mereka mempraktekkan
berbagai ritual penting, yang disebut sakramen. Meskipun de-
45

mikian mereka mempraktekkan juga ritual-ritual tradisional. Di


antara berbagai ritual tersebut, ritual perkawinan adalah salah
satu ritual yang paling umum dipraktekkan. Apa yang diartikan
dengan kata « tradisional » adalah partikularitasnya. Berbeda
dengan ritual perkawinan Gereja Katolik yang secara universal
dipraktekkan diberbagai tempat di seluruh dunia, ritual perka-
winan adat Kei hanya dipraktekkan di dalam masyarakat Kei.
Dari sudut pandang masyarakat Kei, ritual perkawinan dalam
Gereja Katolik terlalu sederhana dan terlalu terkonsentrasi pada
dua pasangan yang menikah. Peran keluarga dan Rumah dire-
dusir pada tingkat-tingkat tertentu saja, bahkan dapat hanya se-
bagai partisipan.
Dalam masyarakat Kei, sebagaimana masyarakat tradisional
lain, peran keluarga (Rumah) adalah sangat penting. Tindakan-
tindakan ritual tradisional menjelaskan bahwa perkawinan bukan
hanya pernyataan dua pribadi yang kawin, tetapi kesatuan antara
dua Rumah. Itu sebabnya, meskipun Gereja Katolik telah lebih
100 tahun hidup di Kepulauan Kei, dalam hubungan dengan
perkawinan, masyarakat Kei melihat ritual perkawinan Gereja
sebagai satu tahapan saja dari keseluruhan tahapan perkawinan
yang harus dilewati oleh pasangan dan Rumah-rumah mereka.
Di Kei pertukaran harta kawin yang bersifat asimetrik tidak
mengimplikasikan pada tempat pertama partisipasi dari masya-
rakat secara keseluruhan. Dua Rumah, dua kelompok penerima
dan pemberi istri, mengorganisir suatu perkawinan baru di dalam
aliansi relasi mereka atau menyatakan sebuah aliansi perkawinan
yang baru. Mereka mengadakan pertukaran benda dan barang
yang telah disepakati secara adat, yang diperuntukan bukan
hanya bagi mereka yang hidup tetapi juga bagi mereka yang mere-
presentasikan dunia supranatural.
46

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sebuah relasi dari


hubungan perkawinan dinyatakan dalam ungkapan yan’ur-
mang’ohoi, yang menggambarkan kelompok penerima dan
pemberi istri. Untuk menyatakan bahwa istilah yang terakhir lebih
superior dari yang pertama sebagai penerima, Rumah yan’ur harus
pergi ke Rumah mang’ohoi. Kita dapat memahami ini mulai dari
nama yang digunakan. Mang’ohoi digambarkan sebagai orang-
orang dari desa (mang: orang-orang dan ohoi: desa). Mereka
diterima sebagai yang berasal dari interieur desa. Sebagai konsek-
wensinya, penerima « yan’ur » adalah yang berasal dari luar.
Secara umum, kita dapat memahami bahwa secara konseptual
yang inferieur harus pergi kepada yang superieur. Tindakan
yan’ur untuk pergi ke rumah mang’ohoi mungkin dianggap sebagai
tindakan ordiner, tetapi justru dalam tindakan ini kita dapat me-
mahami suatu yang penting untuk memulai dan menyatakan
sebuah relasi.43
Istilah mang’ohoi terasosiasi pada mel ohoiduan (mel berarti
« bangsawan » dan « besar »; « ohoiduan » berarti « tuan desa »).
Jadi, mel ohoiduan berarti tuan dari desa atau kampung dan dari
tanah (teritori yang suci) dimana ia mendiaminya. Untuk
mang’ohoi, Rumah pemuda datang dan memohon putrinya untuk
dijadikan istri. Pertemuan-pertemuan yang terjadi di antara
mereka sebelum perkawinan terjadi adalah upaya untuk saling
mengenal dan untuk mengetahui kemungkinan untuk memper-
kuat relasi di antara mereka. Adalah mungkin, tidak terjadi kese-
pakatan di antara kedua Rumah, dan dengan demikian tidak ter-
jadi hubungan yan’ur-mang’ohoi di antara keduanya.44

43
Cecile Barraud, Wife-givers as ancestors and ultimate values in the Kei island,
dalam Bijdragen tot de taal, Land- en Volkenkunde 146, no 2/3, Leiden, 1990,
197.
44
Ibid., 197.
47

Hal yang dapat ditekankan di sini adalah bahwa masyarakat


Kei memberikan sebuah ruang yang luas bagi partisipasi dua
Rumah dan bukan hanya hubungan dua pribadi. Dalam konteks
perkawinan, tidaklah mungkin pasangan yang menikah meng-
urus pernikahan mereka secara independen dan terpisah dari
Rumah dimana mereka berasal. Seorang pribadi adalah represen-
tasi dari Rumahnya. Itu sebabnya sebuah perkawinan bukan
hanya sebuah kesatuan antara dua pribadi tetapi adalah kesatuan
juga dari dua Rumah. Dalam sebuah ritual perkawinan tradisio-
nal, mereka yang hadir dalam ruang perkawinan adalah anggota
Rumah pemuda, anggota Rumah pemudi, anggota Rumah ibu
pemudi, anggota Rumah nenek dari pemudi, para pemuka desa
dan undangan sekalian. Tindakan ritual yang paling menonjol di
sini adalah Rumah pemuda memberikan tiga piring yang berisi
sirih-pinang dan bahan persembahan lain kepada: 1) Rumah ibu
dari pemudi, yang diistilahkan dengan nit saksak; 2) Rumah nenek
pemudi, nit vatvatuk; dan 3) Rumah pemudi, nit rahanduan. Mereka
semua menerima piring tersebut dan berdoa kepada Tuhan
« duad » dan kepada para leluhur mereka.
Meskipun dalam hubungan dengan Tuhan, dalam konteks
ini doa kepada Tuhan dan leluhur tidak dipanjatkan oleh seorang
pastor. Bagian pastor ada di gereja. Bagi mereka yang mengikuti
ritual perkawinan adat tradisional, kehadiran seorang pastor
bukan merupakan hal yang penting, karena ini bukan moment-
nya. Ini adalah pertemuan keluarga dan pertemuan Rumah-
rumah yang terlibat dalam perkawinan. Mereka yang mengajukan
bahan persembahan kepada Tuhan dan leluhur adalah orang-
orang yang mereka kenal secara personal dan memiliki relasi
personal dengan para leluhur mereka. Dengan demikian kata «
leluhur » bukan sebuah kata yang umum dan kabur, tetapi sebuah
kata yang menjelaskan relasi personal. Dalam tindakan ritual,
Rumah yan’ur memberikan tiga piring berbeda kepada tiga
48

Rumah berbeda. Dengan demikian, leluhur bukan menunjuk pada


leluhur dalam arti umum, tetapi leluhur dari tiga Rumah sebagai-
mana dimaksud. Dalam sebuah ritual lain, ketika seseorang sakit,
keluarganya akan meminta bantuan saudara ibu dari dia yang
sakit itu untuk mengadakan ritual kepada leluhur. Saudara ibu,
yang merepresentasikan Rumah asal ibu, menghunjukkan sirih-
pinang, yang berisi tembakau, uang, sirih dan pinang, dalam se-
buah piring. Dengannya, ia memohon kesehatan dari para lelu-
hurnya bagi keponakannya yang sakit itu.
Sekali diciptakan, relasi perkawinan yan’ur-mang’ohoi terus
berlanjut, bahkan jika tidak lagi ada perkawinan baru yang terjadi
di antara mereka. Hubungan ini tidak pernah dapat direduksi
hanya menjadi pertukaran antara seorang wanita dengan apa
yang disebut sebagai harta kawin. Namun hubungan ini melibat-
kan sebuah pertukaran kontinyu dari manfaat, tugas dan kewajib-
an timbal balik dalam siklus hidup antara kedua Rumah. Hal ini
mengikat mereka selamanya.

c. Ritual perkawinan: sebuah ritual meriah


Masuknya agama-agama, seperti Katolik dan Islam, telah me-
nggantikan secara relatif ritual-ritual tradisional yang didedi-
kasikan bagi roh-roh pelindung dari setiap Rumah. Sebagai contoh
dari Tanimbar Kei, Cécile Barraud telah mencatat ritual sedemi-
kian tetapi yang kini sudah tidak ada lagi. Ia mencatat, « Dalam
ritual perkawinan, babi-babi, yang ditawarkan oleh Rumah pe-
muda, dengan sedikit uang, dikorbankan kepada roh-roh penjaga
Rumah, yang disebut mitu, dari anak laki-laki dan dari anak
perempuan itu, untuk memberitahu mereka bahwa pengantin
wanita meninggalkan rumah asalnya dan sekarang menjadi milik
suaminya. Babi ini kemudian dikonsumsi oleh para tamu selama
pesta makan meriah. Pemberian ini disebut sisinga un man bubur.45

45
Cecile Barraud, etc. Of relations and the dead, 75.
49

Kita dapat memahami perubahan ini, karena agama-agama ini,


melalui ajaran-ajarannya, mencoba untuk mengganti pandangan
masyarakat tentang kosmologi dan keberadaan supranatural.
Selain itu, keberadaan agama-agama ini memberikan tekanan
formal pada ritual perkawinan. Ketika orang menghadiri ritual
tradisional orang tidak terbebani soal pakaian atau tata krama
selayaknya orang masuk ke dalam gereja. Dalam perkawinan
tradisional, orang dapat berbicara, menyaksikan, terlibat aktif atau
hanya sebagai penonton. Orang dapat juga berdiskusi dalam
suasana keakraban atau dapat saja sebaliknya. Suasana ini tentu
berbeda dengan dengan suasana di gereja. Orang tidak dapat
berbicara sekehendaknya. Mereka semua adalah partisipan dan
menjadi saksi dari ritual yang dibuat oleh pastor dan pasangan
kawin.
Meskipun demikian, hal yang kiranya sama dalam ritual
perkawinan adat dan Gereja adalah kemeriahan sebuah pesta
perkawinan setelah ritual. Setelah ritual perkawinan di gereja,
semua orang masuk dalam bagian lain dari perkawinan tersebut,
yakni sebuah pesta perkawinan. Semua yang hadir masuk dalam
kemeriahan pesta. Beberapa orang tampil ke depan dan memberi-
kan nasehat kepada pasangan yang baru menikah. Ada pula jabat-
an tangan dan pada kesempatan itu memberikan kado kepada
pasangan tersebut. Setelah itu mereka masuk dalam jamuan
makan bersama.
Kemeriahan pesta tidak berhenti hanya di situ. Sebuah pesta
sederhana akan diselenggarakan di rumah pengantin pria pada
saat pengantin wanita diantar ke rumah suaminya. Pada saat itu,
Rumah pengantin pria akan memperkenalkan pengantin wanita
kepada semua penduduk desa. Semua orang berdatangan dan
memberikan selamat. Nyanyian tradisional menambah kemeriah-
an pesta.
50

Penutup: sebuah refleksi tentang ritual


Pada tulisan ini kita telah berulang-ulang menemukan kata
ritual. Kata ini sebenarnya adalah sebuah kata yang sulit dan kom-
pleks. Dalam perkembangannya kata ini memiliki banyak sekali
arti dan menjadi sebuah kata yang sulit dipahami, karena kata
ini polisemik, dipelajari oleh berbagai disiplin ilmu yang berbeda
(antrpologi, sosiologi, sejarah, etnologi dan psikologi) dan relevan
juga untuk arti umum. Kemudian, ritual sebagai fenomena yang
dapat diamati jauh melampaui fungsi-fungsi sosiologis dan/ atau
psikologis dimana kita bisa mengenalinya. Sebaliknya, makna-
makna yang dapat dikaitkan dengan elemen-elemen ritual jauh
melebihi kerangka ritual itu sendiri.46
Ritual perkawinan dalam masyarakat Kei memiliki banyak
sekali elemen yang dapat diamati: tindakan-tindakan (personal
dan kolektif), para aktor (tua adat dan para peserta ritual), relasi-
relasi, material yang digunakan, rumusan-rumusan ritual, aturan-
aturan, disposisi spasial dan keberadaan supranatural (Tuhan dan
leluhur). Secara umum kita dapat menemukan elemen-elemen
ini dalam ritual-ritual yang lain, tetapi perlu diingat bahwa setiap
ritual memiliki arti khusus sesuai dengan maksud ritual tersebut
dibuat.
Apa yang paling jelas dari ritual perkawinan adat Kei ada
pada fakta bahwa ritual ini adalah sebuah bentuk tindakan parti-
kuler, sebuah tindakan yang khas. Hal ini berbeda dari ritual per-
kawinan Gereja Katolik yang berlaku universal. Selain itu apa
yang penting bagi mereka yang melaksanakan ritual adalah apa
yang memang harus mereka lakukan. Setiap orang dalam ritual
perkawinan mengetahui dengan baik apa yang menjadi bagian

46
Lih. Houseman, M., « Relations rituelles et re-contextualisation » dalam
H. Wazaki (ed.) Multiplicity of meaning and the Interrelationship of the subject and
the object in the ritual and body texts. Nagoya: Nagoya University, 2008, 109-114.
51

dan perannya. Peran ini tak tergantikan, karena mereka yang


berperan tidak hanya menampakan relasi yang hidup di antara
peserta ritual tetapi juga dalam hubungan dengan para leluhur
mereka.
Dalam arti ini kita dapat memahami apa itu tindakan tindak-
an. Budaya itu hidup dan berkembang dalam tindakan. Karena
itu tindakan terjadi di manapun dan kapanpun. Kita dapat
mengamati bagaimana kita melakukan tindakan tertentu setiap
hari: bangun, mandi, merapikan pakaian, rambut, dll. Kita mela-
kukannya secara alami, setiap hari tanpa bertanya-tanya mengapa
kita melakukan ini atau itu. Ritual perkawinan adat Kei menjelas-
kan kepada kita bahwa tindakan ritual berbeda dari tindakan-
tindakan tersebut. Tindakan-tindakan ritual pada ritual perkawin-
an mengikuti suatu cara tertentu dan aturan tertentu. Dengan kata
lain, suatu tindakan ritual perkawinan adat adalah suatu tindakan
bersama yang melibatkan orang-orang tertentu. Sebuah tindakan
kolektif hanya dapat dilakukan dan terkonsolidasi atas dasar
aturan kolektif, karena tanpa itu, tampaknya tidak mungkin para
pelaku ritual mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka
secara benar. Oleh karena itu, dalam kehidupan bersama, tindakan
ritual perkawinan adat dan kehidupan sosial pada umumnya
berasal-usul kolektif.
Satu hal yang kiranya penting untuk dicatat di sini adalah
bahwa para peserta dalam ritual perkawinan adat umumnya tidak
mempunyai kebutuhan dari sebuah konseptualisasi tindakan
ritual mereka secara jelas. Mereka mempraktekan ritual karena
mereka berpikir mereka dapat mempraktekkannya. Apa yang
penting bagi mereka adalah tindakan dan aturan tindakan. Setiap
kali ketika orang tidak mempraktekkan tindakan atau tindakan
tidak konsisten dengan aturan, itu akan menjadi masalah bagi
mereka.
52
53

KEPUSTAKAAN:

1. Barraud, Cécile, 1979 Tanebar-Evav Une société de maisons


tournée vers le large, Cambrige : University Press et Paris : Mai-
sons des sciences de l’homme.
2. -------------1990 Wife-givers as ancestors and ultimate values in
the Kei island, dalam Bijdragen tot de taal, Land- en Volken-
kunde 146, no 2/3, Leiden (p. 193-225)
3. Barraud, Cécile etc. 1994 Of relations and the dead. Oxford: Berg
Publisher.
4. Arsenean Catherin dan Roberge Martine 2006 “Réflexion sur
le rite contemporain de fiançailles: vers une hybridation des
rites matrimoniaux? » dalam Ethnologie vol 28, no 2, (p. 29-
51)
5. Cazeneuve, Jean 1971 Sociologie du rite (Tabou, magie, sacré),
Paris: Presses Universitaires de France.
6. Housman, M., « Résumé du conférence et travaux » dalam
Annuaire de l’EPHE, section des sciences religieuses, t. 110
(2001-2002) (p. 83-89)
7. ------------- 2008 « Relations rituelles et re-contextualisation »
dalam H. Wazaki (ed.) Multiplicity of meaning and the
Interrelationship of the subject and the object in the ritual and body
texts. Nagoya: Nagoya University.
54

8. Segalen, M., 1998 Rites and rituels contemporain, Paris: Natham.


9. Van Gennep, A., 2004 Rites de passages London: Routledge
10. Wallace, A. R., 1869 The Malay Archipelago. London: Macmillan
and co.
55

BAB III
SISTIM PERKAWINAN
TRADISIONAL KEI DALAM
PERSPEKTIF TEORI KEKERABATAN
CLAUDE LÉVI-STRAUSS

Pendahuluan

T ulisan ini adalah sebuah usaha untuk menghubungkan pan-


dangan Levi-Strauss tentang teori kekerabatan dengan sistim
perkawinan tradisional masyarakat Kei. Sejatinya, dalam arti yang
sangat umum, tema ini bukan sesuatu yang baru. F. A. E. van
Wouden telah menulis dan mempublikasikan tema ini dalam bu-
kunya Sociale Structuurtypen in de Groote Oost, yang kemudian
diterjemahankan dalam bahasa Inggris oleh Rodney Needham
dengan judul Types of Social Structure in Eastern Indonesia (Bentuk-
bentuk Struktur Sosial di Indonesia Timur). Dalam bahasa Prancis,
Francis Zimmermann, seorang murid Lévi-Strauss, telah meng-
angkat tema ini dalam bukunya Enquête sur la parenté (Penelitian
tentang Kekerabatan) dan Maurice Godelier dalam bukunya Méta-
morphoses de la parenté (Metamorfosis Kekerabatan). Akhirnya,
pembimbing tesisku Cécile Barraud pun telah mengangkat tema
ini dalam berbagai tulisannya, termasuk dalam bukunya Tanebar-
Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Bila di atas saya menyebut bahwa tema ini bukan sesuatu
yang baru dalam arti yang sangat umum, hal ini dimaksudkan
56

bahwa di dalam buku-buku tersebut tema ini hanya merupakan


salah satu pokok bahasan, atau malah dibahas sepintas, dalam
rangkaian pembahasan yang kompleks tentang struktur keke-
rabatan. Oleh karena itu tujuan dari tulisan ini adalah menunjuk-
kan secara kurang-lebih jelas konsep dan praktek perkawinan
tradisional dalam masyarakat Kei dalam perspektif Claude Lévi-
Strauss.
Tulisan ini akan tersusun dalam dua bagian. Pertama, akan
diperkenalkan terlebih dahulu teori kekerabatan Lévi-Strauss.
Lévi-Strauss adalah seorang tokoh strukturalisme. Baginya,
struktur adalah konsep dan cara berpikir akal manusia yang
dianggapnya elementer dan karena itu bersifat universal. Dengan
struktur tersebut kita dapat memahami secara deduktif data
mengenai kenyataan kehidupan masyarakat.47 Selanjutnya, teori
kekerabatan Lévi-Strauss itu akan dimanfaatkan untuk mema-
hami perkawinan tradisional masyarakat Kei, yang akan dibahas
dalam bagian kedua.

1. Struktur Dasariah Kekerabatan Lévi-Strauss


Claude Lévi-Strauss lahir di Brussels-Belgia pada tanggal 28
November 1908 dan meninggal di Paris-Prancis pada tanggal 30
Oktober 2009 pada usia 100 tahun. Oleh James George Frazer,
antropolog Inggris, dan Franz Boas, sosiolog Amerika, Lévi-
Strauss dijuluki sebagai Bapak Antropologi modern.48 Bahan-
bahan studinya adalah kunci perkembangan dari strukturalisme
dan antropologi struktural. Ia berargumentasi bahwa pemikiran
“liar” memiliki struktur yang sama dengan pemikiran “beradab”
dan bahwa karakteristik manusia adalah sama dimana-mana.49

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1980), 233.


47

Steven Pinker, The Blank Slate: The Modern Den ial of Human Nature (New
48

York: Penguin Books, 2003) 22


Tom Ashbrook, “Claude Levi-Strauss,” Point (November 2009).
49
57

Pada tahun 1949 Lévi-Strauss menerbitkan sebuah buku se-


tebal lebih dari 600 halaman, yang ia beri judul Les structures élé-
mentaires de la parenté (Struktur-struktur dasariah kekerabatan).
Buku ini berisi analisis mendalam Lévi-Strauss atas data-data
etnografis, yang kemudian melahirkan berbagai hipotesa dan
teori-teori tentang kekerabatan. Sebagian besar data dari buku
ini diperolehnya dari perpustakaan, selain data-data yang diper-
olehnya dari lapangan penelitian atas beberapa suku di tepian
sungai Amazon-Brasil.
Dalam buku ini Lévi-Strauss menjelaskan bahwa asal-mula
pertukaran wanita dalam perkawinan bermula dari larangan
incest. Ia menempatkan larangan tersebut dalam artikulasi natural
dan kultural. Secara natural orang dapat membuat aliansi perka-
winan tanpa henti dan dengan siapa saja, tetapi secara kultural
hal ini diatur dengan ketentuan-ketentuan.50 Secara etimologis
kata incest berasal dari kata latin incestus, yang berarti “tidak mur-
ni”. Larangan incest, yang menolak relasi seksual antara individu-
individu pada tingkat relasi kekeluargaan tertentu, dipraktekkan
hampir di semua masyarakat manusia.51 Larangan ini telah mem-
batasi orang untuk menikah di dalam lingkup kelompoknya sen-
diri. Pertanyaannya, dimanakah seseorang harus mencari atau
memperoleh pasangan untuk kawin?
Koentjaraningrat, dengan mengutip Lévi-Strauss, menjelas-
kan:
Pranata perkawinan pada dasarnya merupakan tukar me-
nukar antara kelompok, yang adalah akibat dari konsep-
sinya mengenai asal-usul pantangan incest... Konsepsi ini
berdasarkan pada pendirian kuno dalam ilmu antropo-

Lévi-Strauss, Les structures élémentaires de la parenté (Berlin dan New York:


50

Mouton de Gruyter, 1949), 522.


51
Christian Ghasarian, Introduction à la parenté (Paris: Edition du Seuil 1996),
137.
58

logi yang mengatakan bahwa dalam proses evolusi sosial


timbul suatu saat dimana ada orang dari suatu kelompok
manusia mulai mencari wanita untuk dijadikan istrinya
dari kelompok lain. Kelompok darimana wanita itu di-
ambil tentu tidak tinggal diam, mereka mempertahan-
kan diri, tetapi pada suatu saat, timbul gagasan pada salah
satu kelompok itu untuk memberikan saja wanita kepada
kelompok lain dengan syarat bahwa mereka juga mem-
peroleh wanita dari kelompok lain lagi sebagai gantinya.
Alasanya ialah bahwa dengan tukar menukar wanita itu
kedua kelompok dapat bersekutu ke dalam lapangan
kebutuhan yang sama, dan dengan demikian menjadi
kelompok yang lebih besar dan lebih kuat bila mengha-
dapi kelompok lain. Kelompok-kelompok lain itu ter-
paksa harus melakukan hal yang sama, sebab kalau tidak,
sebagai kelompok tunggal yang kecil mereka akan selalu
terancam oleh kelompok-kelompok gabungan yang lebih
besar tadi. Mereka juga melakukan tukar-menukar wanita
dengan kelompok lain agar dapat membentuk persekutu-
an yang besar dan dengan demikian bisa menghadapi
persekutuan kekerabatan lain yang telah bergabung
terlebih dahulu dengan cara tukar-menukar wanita tadi.52
Bagi Lévi-Strauss, larangan incest ini memiliki aspek positif,
yakni melarang menikah dengan wanita-wanita terdekat, artinya
menciptakan kesatuan dengan wanita-wanita dalam hubungan
yang lebih jauh. “Larangan incest adalah bukan hanya suatu
aturan yang melarang untuk menikahi, melainkan suatu aturan
yang mewajibkan untuk memberikan ibu, saudari dan anak
perempuan kepada orang lain. Ini adalah aturan terbaik dari se-
buah pemberian.”53
52
Koentjaraningrat, Ibid. 218-219.
53
Lévi-Strauss, Ibid. 552.
59

Dalam konteks pertukaran wanita antar kelompok ini, Lévi-


Strauss menegaskan dua istilah penting, yakni endogami dan
eksogami. Endogami adalah suatu aturan dimana seorang pria
wajib menikah dengan seorang wanita di dalam kelompoknya,
sedangkan eksogami adalah kebalikannya, dimana seorang pria
wajib menikah dengan seorang wanita di luar kelompoknya.54
Charistian Ghasarian, dalam bukunya Introduction à l’étude de la
parenté (Pengantar untuk Studi Kekerabatan), menjelaskan bahwa
larangan incest secara otomatis memproduksi eksogami. Namun,
baginya, aturan eksogami bukan hanya suatu pengembangan ne-
gatif dari incest (tidak menikah dengan wanita dari kelompoknya,
karena orang tidak dapat melakukan relasi seksual dengannya).
Ini juga adalah suatu ekspresi positif dari suatu kebutuhan untuk
hidup (masuk menuju suatu hubungan dalam relasi dengan
kelompok lain supaya hidup dalam damai dengan mereka).55
Selanjutnya, dalam konteks eksogami, Lévi-Strauss telah
membedakan dua bentuk dasar aliansi kekerabatan: struktur-
struktur kompleks (structures complexes) dan struktur-struktur
dasariah (structures élémentaires). Struktur-struktur kompleks
bukan dimaksudkan sebagai aturan “negatif”, tetapi aturan yang
membatasi perkawinan dengan kelompok kerabat sendiri. Hal
ini juga tidak mempunyai aturan-aturan yang tegas yang menen-
tukan dengan gadis atau wanita mana di luar kelompok kerabat
sendiri yang boleh dijadikan istri. Artinya bahwa seorang pemuda
bebas memilih gadis mana saja untuk dikawininya. Sebaliknya
struktur-struktur dasariah memiliki aturan-aturan yang relatif
tegas, dimana para pemuda dan pemudi dari sebuah kelompok
dapat mengetahui dengan gadis atau pemuda mana dan dari
kelompok mana mereka akan kawin. Dari dua bentuk ini Lévi-

54
Charistian Ghasarian, Ibid. Ketiadaan aturan untuk menikah di dalam atau
di luar kelompok disebut agami.
Ibid. 146.
55
60

Strauss lebih memilih struktur-struktur elementer sebagai objek


penelitiannya.56
Dalam kesimpulannya, Lévi-Strauss menyatakan bahwa ada
tiga kemungkinan dalam strukur-struktur dasariah ini, yakni:57
1. Kemungkinan pertama adalah perkawinan sepupu silang
dengan model bilateral atau struktur tukar-menukar terbatas
(l’échange restreint). Di sini seorang pria selalu mengambil istri
yang di satu sisi adalah anak perempuan dari paman dari
sisi ibu dan di sisi lain anak perempuan tante dari sisi ayah.
Perkawinan jenis ini sering terjadi di antara suku-suku di
India, Amazon dan di Australia.

2. Kemungkinan kedua adalah perkawinan sepupu silang


dengan tipe matrilateral atau struktur tukar-menukar meluas
(l’échange généralisé), dimana seorang pria secara ekslusif me-
nikah dengan anak perempuan dari paman dari pihak ibunya.
Artinya, sebuah kelompok (A) akan memberikan kepada
kelompok lain (B) yang akan memberikan kepada kelompok
(C) yang akan memberikan kembali kepada kelompok (A).

Lévi-Strauss, Ibid. x; Charistian Ghasarian, Ibid. 147; Koentjaraningrat,


56

Ibid. 220.
Lévi-Strauss, Ibid., 611.
57
61

Dalam hal ini, jika seseorang memberikan seorang istri kepada


sebuah kelompok lain, maka ia tidak dapat memperoleh istri
dari kelompok tersebut. Dengan demikian tidak ada sebuah
pertukaran langsung, sebaliknya ada sebuah seri pertukaran
suksesif istri-istri antara beberapa kelompok (tiga atau lebih).
Seorang pria mengambil seorang istri dari sebuah kelompok,
dimana saudarinya tidak menikah di kelompok tersebut.58
3. Akhirnya kemungkinan ketiga, perkawinan sepupu silang
dengan tipe patrilineal, dimana seorang pria menikahi anak
perempuan dari tantenya dari pihak ayah.

Lévi-Strauss, Ibid. 206-209.


58
62

Dalam ketiga teori inilah Lévi-Strauss meringkas seluruh


“struktur-struktur dasariah dari kekerabatan”. Dengan struktur-
struktur ini pula, Lévi-Strauss menjadi yang pertama yang meng-
ajukan teori general tentang kekerabatan. Ia telah menemukan
sebuah kegunaan logis untuk menggambarkan semua bentuk
yang mungkin dari kekerabatan (dalam kasus sistim-sistim ele-
menter) dan mengklasifikasikannya secara sistematis.

2. Perpektif Teori Kekerabatan Lévi-Strauss


Dalam bagian berikut, dengan menggunakan teori kekerabat-
an Lévi-Strauss, akan dijelaskan perkawinan tradisional masya-
rakat Kei.

2.1. Rumah (rahan) sebagai Kelompok Sosial Terkecil


Sebagaimana masyarakat-masyarakat tradisional lainnya,
masyarakat Kei tradisional hidup dalam kelompok-kelompok.
Kelompok sosial paling kecil dalam suatu masyarakat desa di Kei
disebut rahan. Dalam Bahasa Kei, rahan berarti rumah. Itu artinya
kata ini memiliki arti ganda, yakni rumah sebagai bangunan
tempat tinggal dan juga Rumah sebagai kesatuan sosial terkecil.
Pada prinsipnya Rumah adalah eksogami dan patrilineal.
Sebagaimana telah dijelaskan, eksogami berarti seorang pria Kei
akan kawin dengan seorang perempuan yang bukan berasal dari
kelompoknya. Patrilineal berarti semua anggota Rumah meng-
gunakan satu nama diri (fam) yang berasal dari ayah. Umumnya,
yang menyandang nama fam ini adalah semua orang yang terlahir
dalam Rumah tersebut, juga para wanita yang kawin ke dalam
Rumah tersebut, mereka yang diadopsi dan pada masa lampau
“para pelayan”.

2.2. Relasi Yan’ur-Mang’ohoi


Dalam masyarakat Kei, setiap perkawinan menyatukan dua
rahan dalam suatu relasi. Pada waktu lampau, relasi ini pada
63

prinsipnya terulang pada setiap generasi. Dalam kosakata antro-


pologi sosial, relasi ini disebut aliansi perkawinan, dimana rahan
yan’ur adalah Rumah suami dan rahan mang’ohoi adalah Rumah
asal istri.
Pada bagian ini akan dijelaskan praktek perkawinan sepupu
silang matrilateral dari Lévi-Strauss dalam konteks masyarakat
tradisional Kei dan selanjutnya menjelaskan apa itu relasi yan‘ur-
mang’ohoi.

2.2.1. Perkawinan Sepupu Silang Matrilateral Masyarakat Kei


Dalam konteks teori kekerabatan Lévi-Strauss, perkawinan
tradisional Kei, oleh banyak antropolog, dikatagorikan dalam
“perkawinan sepupu silang matrilateral” atau masuk dalam teori
kedua sebagaimana dijelaskan di atas.59 Namun, bagaimana kita
dapat menjelaskan hal itu?
Orang pertama yang memperkenalkan bentuk perkawinan
sepupu silang dalam masyarakat Kei adalah F.A.E van Wouden
dalam tesis doktoratnya yang kemudian diterbitkan. Dalam
uraiannya, ia mengutip sebuah teks dari H. Geurtjens MSC,60
seorang pastor MSC yang bekerja di Kei, di masa peralihan dari
Serikat Yesus (SJ) ke Misionaris Hati Kudus (MSC):
Kita menemukan di Kepulauan Kei, di utara Kepulauan
Tanimbar, sebuah kelompok connubium asimetrik. Fam
(sebuah kelompok patrilineal, sub-klan), yang menyedia-
kan istri-istri kepada yang lain, memperoleh pada yang
terakhir ini suatu kewibawaan tertentu dari kedudukan

F.A.E. van Wouden, Types of social structure in eastern Indonesia (Leiden:


59

The Hague-Martinus Nijhoff, 1968), 11-12, 87-89; Maurice Godelier,


Métamorphoses de la parenté (Paris: Champs essais, 2010), 245-246; Francis
Zimmerman, Enquête sur la parenté (Paris: Puf, 1993), 84-86. Sebagaimana umum
dalam masyarakat manusiawi, pengkatagorian ini bersifat umum, karena sangat
mungkin dijumpai penyimpangan dari aturan ini karena sebab-sebab tertentu.
F.A.E van Wouden telah menggunakan karya-karya H. Geurtjens 1921.
60
64

dan kekuasaan. Ikatan hubungan yang telah lama ada


akibat perkawinan-perkawinan dari para leluhur fam hen-
dak dilestarikan; itulah tujuan utama dari aturan-aturan
yang ada dari perkawinan.Setiap fam ditentukan oleh
aturan-aturan ini untuk mencari istri-istri bagi anak-anak
lelakinya di antara sejumlah fam yang lain yang ditentu-
kan secara akurat. Pertukaran timbal-balik dari anak-anak
perempuan antara fam-fam ini secara absolut ditolak. Jika
seorang pemuda dinikahkan di luar dari batas-batas yang
telah ditentukan secara erat ini, tanpa berbicara terlebih
dahulu kepada para tua-tua dari fam, mereka bisa meng-
akui pernikahan nanti dalam banyak kasus, dan wilin
(harta kawin) akan dibayar, tetapi hubungan yang baru
terbentuk ini tidak berlangsung lama; semua pembayaran
akan dilunasi secepat-cepatnya, agar tidak ada lagi kewa-
jiban terhadap fam pihak wanita. Di tempat yang lain
dinyatakan juga bahwa: “Tidak terjadi aliansi yang baru
bagi perkawinan yang tidak menurut pada aturan”.
Fam, yang dihubungkan melalui perkawinan itu disebut
janur dan mangohoi. Mangohoi berarti “penduduk de-
sa” dan yang dimaksud pertama-tama adalah penduduk
prianya, karena yang pria itu yang tinggal di desa. Seba-
liknya, istri-istri desa, yang karena pernikahan harus
meninggalkan desa, disebut marwutun “orang asing”,
sedangkan wanita yang karena perkawinan menetap di
desa disebut juga mangohoi. Jan ur – dari janan uran, anak-
anak dari saudari-saudari, adalah anak-anak gadis yang
dikawinkan di luar desanya serta keturunan mereka. Jadi
mangohoi adalah fam yang menyediakan istri, dan janur
adalah yang menerima mereka.”61

F.A.E van Wouden,Ibid.11.


61
65

Kita dapat menemukan di dalam kutipan ini suatu penjelasan


tentang keberadaan dari suatu bentuk perkawinan, yang olehnya
disebut connubium asimetrik dalam masyarakat Kei, yang tidak
lain adalah perkawinan sepupu silang matrilateral. Selanjutnya,
F.A.E van Wouden, yang mengutip teks lain dari Geurtjens, menu-
lis bahwa dalam masyarakat Kei,
Anak laki-laki sulung diwajibkan menikah dengan anak
perempuan sulung dari saudara ibunya. Jika anak laki-
laki sulung telah melakukan pernikahan sedemikian,
maka adik laki-laki tidak lagi boleh menikah dalam ‘hu-
bungan kekerabatan tingkat ini’. Semua anak-anak dari
saudara dan saudari dari orangtuanya sendiri disebut
saudara-saudara dan saudari-saudari, dan semua per-
kawinan dengan mereka, kecuali seperti di atas, adalah
terlarang. Jika tidak ada anak perempuan yang lahir dari
Rumah saudara ibu, ia harus pergi ke mang’ohoi-nya untuk
mencari seorang istri untuk anak laki-laki dari saudari-
nya.62
Dengan demikian di Kepulaun Kei, perkawinan sepupu silang
ekslusif yang wajib hanya terbatas pada satu anak sulung pria.
Selanjutnya, ditemukan dalam penjelasan F.A.E van Wouden
bahwa dalam masyarakat Kei ada sebuah sistim aliansi yang di-
dasarkan atas unilateralitas63. Aliansi ini melibatkan semua kelom-
pok-kelompok dalam masyarakat yang terhubung satu terhadap
yang lain melalui suatu rantai tertutup dari relasi-relasi perkawin-
an. Baginya, jika dalam satu desa di Kei ada tiga Rumah: Rumah
pertama mengambil istri-istri dari Rumah kedua, hal yang sama

Ibid. 12
62

63
Hubungan kekeluargaan yg didasarkan atas satu garis keturunan (bapak
atau ibu saja). Dalam masyarakat Kei, hubungan ini didasarkan pada garis
keturunan Bapak.
66

terjadi pada Rumah ketiga dan Rumah yang terakhir mengambil


dari Rumah pertama. Jika sistim ini berfungsi secara benar, setiap
Rumah akan memiliki dua Rumah partner: sebuah Rumah yan’ur
dan sebuah Rumah mang’ohoi.64
F.A.E van Wouden menulis:
Tritunggal yang dibentuk oleh klan Ego, kelompok pem-
beri istri dan kelompok penerima istri adalah suatu ele-
men sosial yang sangat penting […] dari sudut pandang
klan Ego, tiga kelompok ini membentuk suatu kesatuan
sosial yang sempurna […] Kelompok Ego menduduki
posisi yang berwibawa dihadapan kelompok penerima
istri; ia memainkan suatu peran yang lebih rendah diha-
dapan kelompok pemberi istri. Sikap rangkap ini merupa-
kan salah satu sifat khas kelompok Ego. Kelompok Ego
secara simultan adalah suatu kelompok pemberi istri dan
suatu kelompok penerima istri, di satu sisi adalah superior
dan di sisi lain subordinasi, bergantung partner-partner
mana yang dihadapi.65
Dengan demikian van Wouden telah menggariskan aturan
umum yang berlaku dalam masyarakat Kei, tetapi dapat ditemu-
kan juga bahwa aturan tradisional ini tidak selalu diikuti dan ada
perkawinan yang tidak mengikuti aturan ini (irreguler).66
Dalam konteks perkawinan asimetrik dalam masyarakat Kei,
sebuah contoh dari Tanimbar-Kei, sebuah pulau di selatan Pulau
Kei Kecil, perlu diketengahkan di sini. Cécile Barraud menulis:
Rumah yan’ur adalah Rumah suami, sementara Rumah
mang’oho67 adalah Rumah istri. Jadi setiap Rumah terhu-
64
F.A.E. van Wouden, Ibid. 88.
65
Ibid. 89.
66
Ibid. 88.
67
Di Lumefar dan bagian lain dari Kei, orang menggunakan istilah mang’ohoi,
di pulau Tanimbar- Kei, orang menggunakan istilah mang’oho.
67

bung dengan sejumlah rumah yang lain, dimana sebagian


adalah mang’oho-nya dan yang lain adalah yan’ur-nya…
seorang pria tidak diberi kuasa untuk kawin dengan se-
orang istri dari Rumah dengannya saudarinya telah di-
nikahkan. Sistim ini dikenal sebagai perkawinan asime-
trik, dimana bentuk klasik adalah perkawinan dengan
anak perempuan dari saudara ibu. Secara teoretis sebuah
perkawinan yang sama akan terulang pada setiap gene-
rasi, yang memberikan dimensi diakroniknya pada relasi
ini.68
Dalam karyanya yang lain Cécile Barraud menekankan bah-
wa, sambil menyetujui teori general dari aliansi asimetrik sebagai-
mana teori kedua dari Lévi-Strauss, masyarakat Kei cenderung
mencapai model tripartit, suatu relasi ideal untuk tiga partner:
sebuah Rumah, yan’ur dari Rumah tersebut dan mang’oho-nya.
Baginya, orang telah terbawa untuk menegaskan tentang itin kan
(nama yang diberikan untuk para pemberi istri sejak semula) yang
bersifat primordial pada tingkatan ideologis. Di samping istilah
itin kan, ada istilah vu’un yang berarti yan’ur dalam relasi asali
(archétypale). Jadi, ungkapan lengkap dari relasi ini adalah: itin
kan–vu’un. Menurutnya, kita tidak dapat memisahkan yan’ur dari
vu’un. «Istilah itu sendiri tidak digunakan di titik dimana orang
mengaplikannya untuk selanjutnya pada pemberi: pada tempat-
nya untuk mengatakan ‘ini adalah pemberi mang’ohoi-ku, jadi saya
adalah vu’un-nya’, orang mengatakan ‘ini adalah vu’un-ku’,
seolah-olah kedua kutub hubungan diungkapkan oleh hanya
sebuah istilah yang mengacu pada pemberi tunggal».69 Ketika

68
Cecile Barraud, “Kei Society and the Person. An approch through
Childbirth and Funerary,” dalam Ethnos 55: 3-4 (1990), 197.
69
Barraud, Tanebar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large
(Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme, 1979), 168.
68

seorang anak laki-laki telah menikahi sepupunya, orang me-


ngatakan: ia melakukan sebuah pernikahan vu’un, yang berarti
di sana bahwa ia memperbaharui aliansi dengan mang’oho tra-
disionalnya.
Dalam contoh dari Tanimbar-Kei Cécile Barraud memberikan
sebuah model yang bersifat teoretis: para mang’oho primordial
tereduksi dalam sembilan Rumah, yang membesarkan pada saat
yang sama jumlah yan’ur. Dengan demikian, ada sejumlah vu’un
untuk setiap sembilan itin kan. Setiap yan’ur memiliki sebuah
mang’oho yang berinisial itin kan, sedangkan para mang’oho ber-
usaha memberikan istri-istri pada sejumlah Rumah dan tidak
memiliki yan’ur yang sangat istimewa lebih dari yang lain.70
Atas dasar dari penjelasan-penjelasan di atas, kita telah mene-
mukan bagaimana teori Lévi-Strauss berbicara dalam konteks
masyarakat Kei. Secara tradisional semua Rumah terhubung satu
terhadap yang lain dalam perkawinan asimetrik. Anak laki-laki
sulung diwajibkan untuk menikah dengan anak perempuan dari
saudara ibunya dan selanjutnya seorang laki-laki tidak diberikan
otoritas untuk mengawini seorang istri dari Rumah dimana sau-
darinya telah dinikahkan. Pertanyaan, bagaimana kita dapat men-
jelaskan sistim ini dalam praktik perkawinan?

2.2.2. Lumefar sebagai Sebuah Contoh


Di Lumefar, beberapa orang masih mengenal dengan baik
bentuk perkawinan ini. Bahkan orang mengetahui bagaimana per-
kawinan sepupu silang matrilateral berfungsi dalam masyarakat-
nya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa bagaimana bentuk
perkawinan ini dipraktekan pada masa yang lampau.

Ibid. 168.
70
69

Sebuah contoh pernikahan sepupu silang matrilateral masyarakat Kei

Penduduk Lumefar yang ditanya mengatakan bahwa Ego ti-


dak dapat menikah dengan A, C dan E, karena mereka memiliki
asal-usul yang sama, yakni kakek (X) dari sisi yan’ur. Ibu dari A
dan ayah dari C, orang tua dari E dan Ego, mereka memiliki fam
yang sama. Jadi Ego dan E dianggap oleh A, B, C dan D sebagai
saudara-saudara dan saudari-saudarinya. Dari sisi mang’ohoi, Ego
dan E mengganggap bahwa F, G, H dan I sebagai saudara-saudara
dan saudari-saudarinya juga. Tetapi menurut tradisi, Ego harus
menikah dengan F. Sebaliknya, ia dilarang untuk menikah dengan
yang lain.
Untuk lebih menjelaskannya, kita dapat mengatakan71:
1. Ego tidak dapat menikah dengan A, karena jika mereka meni-
kah maka, 1) ayah dari A akan menjadi paman dan sekaligus
bapak mantu; 2) Rumah Ego adalah mang’ohoiuntuk Rumah
A, yang adalah yan’ur untuk Rumah Ego. Jika Ego menikah
dengan A, Rumah A akan menjadi baik yan’urmaupun
mang’ohoiterhadap Rumah Ego.

71
Ignasius S. S. Refo, Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di kepulauan
Kei (Salatiga: Widyasari, 2014), 84-85
70

2. Ego tidak dapat menikah dengan C, karena mereka datang


dari Rumah yang sama. Beberapa orang mengatakan kepada
saya bahwa pada waktu yang lampau, sering, pemuda dari
tingkatan mel-mel menikahi seorang gadis dari paman dari
pihak ayah, supaya vilin-nya (harta kawin) tetap dalam
rumahnya sendiri. Dalam kasus ini, paman dari pihak ayah
menjadi serentak paman dan bapak mantu. Namun kasus
seperti ini jarang terjadi, karena secara umum orang meng-
anggap bahwa hal itu kurang baik.
3. Ego tidak dapat menikah dengan E, karena mereka adalah
kakak dan adik dari orang tua yang sama.
4. Ego tidak dapat menikah dengan H, karena Rumah Ego
(yan’ur) akan meiliki suatu relasi dengan mang’ohoi yang lain.
Ibu dari H menikah dengan dengan suatu Rumah yang lain.
5. Jadi, perkawinan antara Ego dan F adalah mungkin, karena
Ego menikah dalam kelompok mang’ohoi dari Rumahnya
(Rumah dari ibunya).
Untuk orang Lumefar, secara tradisional relasi antara yan’ur
dan mang’ohoi adalah tetap dan wajib bagi keduanya. Beberapa
orang menjelaskan bahwa pada waktu lampau jika pemuda tiba
pada usia menikah, keluarganya atau Rumahnya mencari seorang
istri baginya. Kepala Rumahnya menyampaikan permohonan itu
kepada mang’ohoi-nya (saudara dari ibu dari pemuda itu). Jika
ternyata mang’ohoi-nya tidak memiliki seorang gadis, ia akan
mencari seorang gadis bagi si pemuda tersebut. Setelah itu
mang’ohoi harus memberikan mas untuk yan’ur, disebut mas ba u
(emas yang membuka jalan). Namun, bagaimana terjadi kalau
pihak yan’ur ingin menikahkan pemuda mereka tanpa memberi-
kan informasi kepada kelompok mang’ohoi-nya, artinya jika
pemuda itu menikah dengan seorang gadis dari Rumah lain yang
tidak memiliki relasi pernikahan yan’ur-mang’ohoi? Beberapa
71

orang Lumefar menjelaskan bahwa mang’ohoi dapat memohon


maaf kepada yan’ur:
1. Rumah yan’ur harus membayar denda, disebut mas vu’ut uun
(terjemahan approximatif: emas kepala ikan, vu’ut: ikan, uun,
kepala), yakni sebuah lela (meriam), yang memiliki tinggi
yang sama dengan pemuda yang menikah. Bagi masyarakat
Kei, kepala ikan adalah bagian yang paling enak dari ikan.
Yan’ur telah bersikap tidak hormat terhadap relasi yang ada
di antara mereka, karena itu yan’ur harus membayar denda
untuk memperbaiki hubungan di antara mereka.
2. Rumah yan’ur harus memberikan juga mas arta kuun (“emas
tuli”) yakni sebuah gelang untuk membuka telinga mang’ohoi.
Keberadaan sangsi dalam relasi ini menjelaskan bahwa relasi
ini adalah penting untuk masyarakat tradisional. Beberapa orang
Lumefar menjelaskan nilai-nilai dari perkawinan sepupu silang
dari pihak ibu sebagai berikut:
1. Relasi dan aliran darah terus berlanjut.
2. Pemberian-pemberian perkawinan selalu beredar pada arah
yang sama.
3. Mang’ohoi tidak meminta banyak pemberian harta kawin.
Beberapa keberatan dari tipe perkawinan ini adalah:
1. Adalah mungkin bahwa perbedaan usia antara mereka yang
menikah terpaut jauh, yang seorang terlalu tua untuk yang
lain. F.A.E van Wouden mengutip Geurtjens menulis sebuah
kisah tentang seorang pria, yang tidak mendapatkan seorang
gadis, menikah lagi untuk mendapatkan seorang gadis. Ke-
pada seorang pemuda yan’ur, yang siap untuk menikah, pria
tersebut meminta untuk bersabar sekian waktu sampai ia
memperoleh anak gadis.72 Kita tidak dapat membayangkan

F.A.E. van Wouden, Ibid. 11.


72
72

perbedaan usia antara pemuda yan’ur dan anak gadis yang


akan lahir pada pernikahan kedua mang’ohoi-nya.
2. Perkawinan terjadi karena kehendak Rumah dan bukan kare-
na kehendak dari mereka yang akan menikah.
73

KEPUSTAKAAN

a. Buku
Barraud, C. “Etre en relation. A propos des corps à Tanebar-Evav
(Kei, Indonésie de l’est)”, dalam M. Godelier dan M. Pannoff
(eds), La production du corps (pp. 229-248). Paris: Éditions des
Archives Contemporaines, 1988.
_________. “Kei Society and the Person. An approch through
Childbirth and Funerary” dalam Ethnos 55: 3-4, (1990), 214-
231.
_________. “Le bateau dans la société ou la société en bateau?
Image et réalité du voilier pour la société de Tanebar-Evav
(Kei, Indonésie de l’Est” dalam Anthropologie Maritime, cahier
no. 5, (1995), 108.
_________. Tanebar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan
Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1979.
_________. “Wife-givers as ancestors and ultimate values in the
Kei islands,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde
(146), no 2/3 , (1990), 193-225.
Ghasarian, Christian. Introduction à la parenté. Paris: Edition du
Seuil, 1996.
Maurice, Godelier. Métamorphoses de la parenté. Paris: Champs
essais, 2010.
74

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1980.


Lévi-Strauss, C. Les structures élémentaires de la parenté. Berlin dan
New York: Mouton de Gruyter, 1949.
Pinker, Steven. The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature.
New York: Penguin Books, 2003.
Refo, Ignasius S. S. Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di
Kepulauan Kei, Salatiga: Widyasari, 2014.
Van Wouden, F.A.E. Types of social structure in eastern Indonesia.
Leiden: The Hague-Martinus Nijhoff, 1968.
Zimmermann, F. Enquête sur la parenté. Paris: Puf, 1993.

b. Majalah
Ashbrook, Tom, “Claude Levi-Strauss,” dalam Point (November
2009).
“Une Logique du marriage” dalam Les Genies de la Science (Fevrier-
avril 2009).
75

BAB IV
METAMORFOSA
YAN’UR-MANG’OHOI

Pendahuluan

M asyarakat Kei tradisional hidup dalam jaring-jaring relasi,


baik itu jaring relasi non formal, seperti karena pertemanan
dan kelahiran, maupun jaring relasi formal, seperti yan’ur-mang’o-
hoi dan koi-maduan. Di antara semua jaringan relasi tersebut relasi
yan’ur-mang’ohoi adalah jaringan relasi yang paling umum dan
paling penting. Secara singkat, relasi yan’ur-mang’ohoi adalah relasi
yang terjadi, karena sebuah perkawinan. Dalam setiap perkawin-
an terjadi kesatuan antara dua Rumah, yakni Rumah yan’ur yang
menunjuk pada Rumah suami, sedangkan mang’ohoi menunjuk
Rumah istri.
Di dalam masyarakat Kei, bentuk relasi ini telah ada sejak
lama dan terus bertahan dari generasi ke generasi dalam setiap
perkawinan. Meskipun demikian, membanding relasi ini pada
masa lalu dan masa kini, kita dapat melihat bahwa ada unsur-
unsur yang relatif tetap dan sama, tetapi ada pula unsur-unsur
yang berubah. Tulisan ini, sebagaimana judul di atas: metamorfosa
relasi yan’ur-mang’ohoi, hendak menjelaskan perubahan dalam
konsep dan bentuk dari relasi ini.
76

1. Pengertian
Meskipun ungkapan yang digunakan adalah yan’ur-mang’ohoi,
bukan sebaliknya, namun untuk mempermudah penjelasan, tulis-
an ini akan menjelaskan terlebih dahulu mang’ohoi dan selanjutnya
yan’ur.

1. 1. Mang’ohoi: Rumah Istri


Kata mang’ohoi berarti « orang-orang desa » atau « warga de-
sa », terjemahan aproksimatifnya, mang berarti orang-orang dan
ohoi berarti desa. Dalam konteks relasi yan’ur-mang’ohoi, kata
mang’ohoi secara spesifik menunjuk warga desa laki-laki, karena
yang tinggal sebagai anggota dari masyarakat desa adalah laki-
laki. Mengapa demikian? Dalam konteks masyarakat Kei pada
umumnya, orang menggambarkan seorang perempuan sebagai
vat marvutun (vat berarti perempuan dan marvutun berarti asing
atau dari luar). Ide di balik ungkapan ini adalah seorang perem-
puan tinggal dan hidup dalam rumah orang tuanya, tetapi secara
konseptual ia telah dianggap sebagai « yang asing », karena ia
nantinya akan pergi dan menjadi bagian dari anggota Rumah
suaminya.
Kiranya penjelasan ini cukup menerangkan mengapa kata
mang’ohoi menunjuk secara spesifik pada warga desa laki-laki.
Selain itu, ungkapan mang’ohoi juga mengindikasikan bahwa
lewat sebuah perkawinan para perempuan telah diberikan kepada
orang-orang yang datang dari luar (Rumah lain atau desa lain).
Dengan demikian, istilah mang’ohoi dengan jelas menunjuk pada
para warga laki-laki yang menyerahkan saudari mereka kepada
pihak lain yang meminta dalam sebuah pernikahan.
Dalam hubungan dengan istilah mang’ohoi, kita perlu mema-
hami pula konsep masyarakat Kei tentang ohoi (desa). Ohoi berarti
suatu tempat beserta dengan para penduduknya. Itu berarti bah-
wa ohoi adalah masyarakat desa dalam totalitasnya. Masyarakat
77

desa adalah mereka, yang berasal-usul dari sebuah desa, yang


memiliki suatu relasi khusus dengan desa mereka, yang telah
dibangun oleh para leluhur mereka dan adalah tempat dimana
mereka akan dimakamkan. Dalam konteks ini menjadi jelas bah-
wa mang’ohoi bereferensi pada lokalitas. Pihak mang’ohoi adalah
pihak yang terikat pada desa mereka dan pada lokalitas mereka.
Lokalitas ini menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari
mang’ohoi secara konseptual.

Mang’ohoi
tuar tom

Mang’ohoi utin

Mang’ohoi
maduan
Ego

Gambar 1. Ego dan tiga generasi dari mang’ohoi

Selain itu kita dapat memahami istilah mang’ohoi dalam hu-


bungan dengan ungkapan lain, yakni mel ohoi duan. Kata mel atau
lengkapnya mel-mel berarti « luhur », « agung » dan « besar »;
sedangkan dan ohoi duan berarti « tuan-tuan desa ». Terjemahan
aproximatif ini menjelaskan bahwa mel ohoi duan adalah mereka
yang berasal dari desa. Sebaliknya, seperti telah dijelaskan, ada
juga istilah marvutun (asing), yang menggambarkan mereka yang
bukan dari desa, bukan dari tanahnya. Mel ohoi duan adalah
« tuan » dan pada waktu yang sama adalah pelayan dari tanah
yang darinya ia berasal. Dengan demikian ungkapan ini menjelas-
78

kan bahwa mel ohoi duan menggambarkan « penduduk yang benar


dari sebuah desa ». Ketika mang’ohoi disebut mel ohoi duan, hal ini
menjelaskan bahwa posisi mereka sangat dihormati dalam hu-
bungan dengan desa, yang dengannya mereka diidentifikasi, dan
dibandingkan dengan masyarakat dimana mereka adalah ang-
gota.
Dalam masyarakat Lumefar, generasi setelah atau generasi
berikutnya dari seorang wanita yang menikah, jadi anak-anak
dari wanita tersebut, menyebutkan Rumah asal dari ibu mereka
sebagai mang’ohoi maduan. Maduan berarti “tuan dari orang-
orang” (ma atau mang berarti orang-orang dan duan berarti
« tuan »). Untuk generasi sebelumnya (Rumah asal nenek seturut
garis ibu), orang menyebutnya mang’ohoi utin. Utin berarti « dasar
» atau « akar » dari sebuah pohon. Dalam arti yang sama, ada
istilah utin kan. Bagi orang Lumefar, kata kan menunjuk pada
bagian dari pohon di atas permukaan tanah (sedikit batang pohon
di permukaan tanah dan akar-akar di dalam tanah), ketika sebuah
pohon ditebang. Ketika seseorang dalam posisi yan’ur menyebut
sebuah Rumah yang darinya seorang istri berasal sebagai utin
kan, dia tereferensi secara spesifik pada asal dari hidupnya sendiri,
asal-usul dari Rumahnya: untuk Rumah yan’ur, ia merepresentasi-
kan «benih dari tangkai tumbuhan».73
Untuk menggambarkan generasi sebelumnya lagi (Rumah ibu
dari nenek) ada ungkapan mang’ohoi tuar tom. Tuar tom berarti
« dasar atau fondasi dari mite atau sejarah ». Jika orang berkata
mang’ohoi tuar tom, hal ini ingin menjelaskan bahwa mang’ohoi ini
adalah pemberi istri pada mulanya « l’origine » (tiga generasi sebe-
lumnya dari Ego).

73
Ignasius S.S. Refo, Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di kepulauan
Kei (Salatiga: Widya Sari, 2014), 92.
79

Dengan demikian dalam tradisi Lumefar, relasi pada tingkat


pertama (mang’ohoi maduan), dalam hubungan dengan anak-anak,
menggambarkan Rumah dimana ibu lahir. Tingkat kedua (mang’o-
hoi utin kan) adalah Rumah dari nenek dari pihak ibu, dan tingkat
yang ketiga (mang’ohoi tuar tom) menjelaskan Rumah dari ibu dari
nenek dari pihak ibu.

1. 2. Yan’ur : Rumah Suami


Yan’ur, Rumah dimana seorang perempuan kawin, adalah
singkatan dari yanan dan uran. Dalam kosakata kekerabatan, kata
uran berarti saudari dari seorang pria atau saudara dari seorang
perempuan. Dalam hubungan dengan relasi yan’ur-mang’ohoi, kata
uran menunjuk pada wanita (saudari) yang telah pergi menikah
dilihat dari sudut pandang saudaranya. Hal ini berarti bahwa ada
suatu penekanan untuk relasi antara saudara terhadap saudari-
nya. Sementara itu, kata yanan sendiri berarti anak. Dengan demi-
kian kata yan’ur berarti « anak-saudari » dari sudut pandang sau-
dara dari seorang ibu yang menikah. Cécile Barraud menggariskan
bahwa yan’ur adalah sebuah bagian konstitutif dari Rumah
saudara (Rumah mang’ohoi), dimana yan’ur dan mang’ohoi mem-
bentuk suatu kesatuan integral.74 Hal ini menjadi sangat jelas
dalam ungkapan yanang-urang (anakku-saudariku), ketika sese-
orang menyebut Rumah suami dari saudarinya (Rumah aktual
dari saudarinya kini karena perkawinan), karena ia telah menjadi
bagian dari Rumah suami.
Kebalikan dari kata mang’ohoi yang mengasosiasikan lokalitas,
yan’ur tidak terikat pada ide lokalitas. Yan’ur menjelaskan keke-
rabatan, dan lebih persis lagi menjelaskan saudara kesepupuan
(keturunan). Kata ini pertama-tama menunjuk anak-anak perem-

74
Lih. Barraud, « Le bateau dans la société ou la société en bateau? Image et
réalité de Tanimbar-Evav en Indonésie de l Est » dalam Anthropologie Maritime,
cahier no. 5, 1995, 200.
80

puan yang menikah « di luar dari Rumahnya, di luar desanya


dan di luar pulaunya » beserta keturunan-keturunan, yang lahir
darinya. Ini adalah ide yang penting dari relasi yan’ur-mang’ohoi.
Jika kita kembali ke awal lahirnya suatu relasi yan’ur-mang’o-
hoi, umumnya kita beranggapan bahwa yan’ur adalah sebuah
Rumah atau kelompok yang datang meminta seorang gadis ke-
pada mang’ohoi-nya. Hal ini benar, karena Rumah ini meminta
kepada mang’ohoi untuk memberikan seorang gadis sebagai istri
bagi anaknya. Jika pernikahan terjadi karena mang’ohoi merelakan
anak gadisnya, maka kelompok yang meminta itu disebut yan’ur.
Namun secara konseptual, kata yan’ur tidak pertama-tama me-
nunjuk pada kelompok yang meminta tersebut, namun secara
nyata menunjuk pada gadis yang menikah beserta keturunannya
dari sudut pandang mang’ohoi-nya.
Dalam sebuah relasi yan’ur-mang’ohoi, Rumah yan’ur selalu
menghormati Rumah mang’ohoi dalam banyak cara. Di desa
Lumefar, orang menganggap bahwa Rumah mang’ohoi memiliki
« status lebih tinggi » dari Rumah yan’ur. Namun, kita harus me-
mahami ungkapan « status yang lebih tinggi » atau « status su-
periur » dalam konteks hubungan yan’ur-mang’ohoi. Ungkapan
seperti ini mungkin terlalu tegas untuk menjelaskan relasi yan’ur-
mang’ohoi berhadapan dengan konteks hidup sehari-hari. Ini bu-
kan sebuah status absolut. Ungkapan ini sendiri harus dipahami
dalam hubungan dua Rumah. Sebuah Rumah memiliki arti dalam
relasinya dengan sebuah Rumah yang lain. Sebuah Rumah adalah
yan’ur untuk sebuah Rumah lain, yang adalah mang’ohoi-nya.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan Rumah lain lagi, Rumah
ini dapat menjadi mang’ohoi. Hal yang mungkin juga terjadi adalah
bahwa sebuah Rumah menjadi yan’ur pada sebuah generasi dan
berubah menjadi Rumah mang’ohoi pada generasi yang lain. Jadi
81

status lebih tinggi bukan karena tingkatan dalam masyarakat,


tetapi karena hubungan tersebut.75
Mang’ohoi memiliki hubungan yang kuat dengan lokalitas,
dengan tanah dan masyarakat, serta terhubung dengan sangat
erat dengan para leluhur. Selain itu, Rumah mang’ohoi adalah
Rumah asal dari istri atau wanita yang memberikan kehidupan
bagi Rumah yan’ur. Dalam konteks ini mang’ohoi menjadi « asal-
usul » dari masyarakat ohoi, dan dasar, utin, dari yan’ur. Namun,
dalam hubungan dengan « asal-usul », kita harus memahami juga
secara tepat dan tidak semata secara harafiah. Asal-usul ini bukan
dimengerti sebagai sumber asali dari penciptaan sebuah Rumah.
Kata asal-usul ini hendak menegaskan posisi Rumah mang’ohoi,
dimana anak gadis yang diberikannya menjadi sumber lahirnya
kehidupan di dalam Rumah yan’ur. Dengan begitu ungkapan asal-
usul adalah sebuah ungkapan hormat terhadap posisi mang’ohoi
dalam relasi yan’ur-mang’ohoi.
Suatu alasan lain dari status lebih tinggi Rumah istri adalah
posisi Rumah mang’ohoi sebagai representasi dari kategori orang-
orang mati: para duad-nit (Tuhan dan orang-orang mati), leluhur
dari aliran darah mereka. Yan’ur tidak hanya menghormati sanak
keluarga mereka yang telah meninggal, tetapi juga orang-orang
yang telah meninggal dari relasi-relasi mereka. Di desa Lumefar,
orang membawa persembahan-persembahan yang diletakkan
dalam Rumah mang’ohoi. Ini tidak jarang menggambarkan mang’o-
hoi sendiri dengan istilah duad-nit yang diberikan pada relasi ini
sendiri. Dalam konteks ini, orang Lumefar menjelaskan bahwa
saudara laki-laki dari ibu dilibatkan dalam banyak putusan sehari-
hari. Saudara ibu ini memainkan sebuah peran penting dalam
perkawinan sepupunya. Di waktu lampau, dalam perkawinan
sepupu silang matrilineal, ia harus memberikan putrinya bagi

75
Ignasius S.S. Refo, MA., Ibid, 93-94
82

perkawinan keponakan laki-lakinya dan sebagai balasannya ia


harus menerima harta kawin.76
Dalam sebuah contoh dari Tanimbar-Kei, Cécile Barraud
menulis:
Peran partikuler dari saudara dari ibu ini dikenal dengan
nama tul den atau vav u, secara literer diterjemahkan « me-
ngatakan jalan » atau « membawa di depan »; (vav meng-
gambarkan tindakan untuk membawa di punggungnya,
sebuah beban atau seorang anak). Istilah-istilah ini men-
jelaskan secara jelas posisi saudara ibu dan dari Rumah-
nya berhadapan dengan posisi dari kemenakan kandung-
nya; sebagai pemberi istri-istri, ia adalah untuk kepala,
di depan, yang pertama dan utama dalam relasi. Posisi
ini adalah dapat dibandingkan dengan posisi-posisi yang
dipahami dir u ham wang bersama dengan para kapitan
ankod, sebagai para pemimpin untuk masyarakat (dir u,
berdiri di depan). Kesamaan posisi ini memungkin untuk
meletakkan secara pararel dua kebiasaan dari term yanan
duan « kemenakan laki-laki », diaplikasikan untuk satu
sisi anak-anak dari saudari-saudari, yang yang menjadi
milik dari Rumah-rumah yan’ur, di sisi lain warga desa
di hadapan para pemimpin mereka.77

2. Metamorfosa Relasi Yan’ur-mangohoi


Dalam pandangan tradisional, relasi yan’ur-mang’ohoi bersifat
menetap. Sesuai namanya, yan’ur-mangohoi, relasi ini meng-
gambarkan pola relasi dua Rumah. Rumah mang’ohoi memberikan
seorang anak perempuan sebagai pasangan kawin bagi anak laki-

76
Ignasius S.S. Refo, MA., ibid, 95
77
Cécile Barraud, Tanimbar-Evav: une societe de la Maisons Tournee vers le
large (Cambridge dan Paris: Cambridge University press dan Editions de la
Maison des Sciences de l’Homme, 1979, 164-165.
83

laki dari Rumah yan’ur. Dengan demikian setiap Rumah yang


memberikan anak perempuan kepada Rumah lain dalam konteks
perkawinan disebut mang’ohoi dan setiap Rumah yang menerima
anak perempuan dalam konteks tersebut disebut yan’ur.

Rumah A Rumah B
Mang’ohoi Yan’ur

Gambar 2. Relasi searah mang’ohoi kepada yan’ur (anak panah menunjuk


para pemberian anak perempuan)

Meskipun secara konseptual relasi yan’ur-mang’ohoi menyata-


kan hubungan dua Rumah, namun dalam realitasnya relasi
yan’ur-mang’ohoi secara dasariah menyiratkan tiga Rumah. Sebuah
Rumah adalah yan’ur bagi Rumah lain yang adalah mang’ohoi-
nya dalam relasi dua Rumah dan dalam hubungan dengan Rumah
lainnya lagi, Rumah tersebut adalah mang’ohoi. Pada gambar 3 di
bawah ini Rumah A menjadi Rumah yan’ur dalam hubungan
dengan Rumah B yang adalah mang’ohoi-nya, namun dalam
hubungan dengan Rumah C, Rumah tersebut adalah mang’ohoi.
Dengan demikian sebuah Rumah adalah yan’ur dan serentak ada-
lah mang’ohoi tergantung hubungannya dengan relasi yang diba-
ngun dengan Rumah-rumah lain. Hal ini tentu saja berhubungan
dengan perkawinan anak-anak dan kelanjutan keturunan sebuah
Rumah. Setiap anak perempuan membuat sebuah Rumah menjadi
mang’ohoi dan setiap anak laki-laki membuat sebuah Rumah men-
jadi yan’ur. Jelasnya adalah sebuah Rumah menyerahkan anak-
anak perempuannya kepada Rumah lain dan serentak mengambil
anak-anak perempuan dari Rumah lainnya lagi sebagai pasangan
dari anak-anak laki-laki Rumah tersebut.
84

Rumah B Rumah A Rumah C


Mang’ohoi Yan’ur

Gambar 3. Rumah yang di satu sisi adalah yan’ur dan di sisi lain adalah mang’ohoi
Namun dalam rentang waktu, pandangan tradisional ini
mengalami perubahan dan inilah yang dalam tulisan ini disebut
sebagai metamorfosa. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia,
metamorfosa adalah perubahan atau peralihan bentuk atau
susunan, misalnya dari dari kepompong menjadi kupu-kupu.
Dengan demikian yang hendak ditekankan di sini adalah peru-
bahan.
Perubahan pertama yang kira-kira menyolok adalah pertukar-
an posisi dari Rumah-rumah dalam relasi yan’ur-mang’ohoi. Eks-
presi yang umum digunakan adalah sar bib na’an kaan (kambing
memakan plasentanya) atau sak il ni lamin mas (orang mengambil
kembali keranjang emas). Hal ini berarti bahwa Rumah yang ber-
fungsi sebagai mang’ohoi pada suatu masa tertentu berganti posisi
menjadi Rumah yan’ur dalam relasi dengan Rumah yang sama.
Jika sebelumnya sebuah Rumah berposisi sebagai pemberi istri-
istri untuk sebuah Rumah lainnya, kini Rumah tersebut justru
menerima istri-istri dari Rumah penerima istri. Jadi, jika di atas
telah dijelaskan bahwa relasi antara yan’ur dan mang’ohoi hanya
searah (lihat gambar 2), bahwa ada Rumah-rumah yang berfungsi
sebagai pemberi istri-istri dan Rumah-rumah lain yang berfungsi
sebagai penerima istri-istri, maka kita dapat menemukan bahwa
dalam prakteknya kemudian ada suatu aturan yang lebih lunak,
dimana posisi Rumah penerima sekaligus adalah Rumah pemberi
istri dalam hubungan dengan Rumah lainnya. Kedua Rumah ini
sekaligus saling memberi dan menerima, meskipun beberapa
85

orang mengatakan bahwa perubahan posisi dari kelompok yan’ur


ke mang’ohoi dan dari mang’ohoi ke yan’ur ini hanya akan terjadi
terjadi setelah beberapa generasi.78

Rumah B Rumah A

Gambar 4. Rumah A dan B serentak sebagai yan’ur dan mang’ohoi

Perubahan posisi ini tentu saja menimbulkan kekaburan da-


lam hal relasi antara dua Rumah, dimana kita tidak dapat serta-
merta menyebut sebuah Rumah adalah mang’ohoi bagi Rumah
lain, yang adalah yan’ur-nya atau sebaliknya. Dalam ritual-ritual
adat, seperti kematian, kelahiran dan pembuatan rumah baru,
orang harus lebih saksama melihat relasi yang mungkin dengan
Rumah lain, apalagi, dalam ritual-ritual adat, seperti ritual kemati-
an, setiap Rumah yang hadir harus memainkan peran yang spe-
sifik atas Rumah lain. Orang perlu bertanya diri apakah Rumah
ini hadir sebagai yan’ur atau sebagai mang’ohoi?
Perubahan lain yang lebih penting adalah kian terbukanya
kemungkinan bagi terciptanya relasi yan’ur-mang’ohoi yang baru.
Anak-anak muda memiliki kesempatan untuk memilih sendiri
pasangan hidupnya. Hal ini didukung oleh mobilitas masyarakat,
yang jauh lebih luas dan mudah, dibanding pada masa lalu. Ba-
nyak anak muda karena alasan pendidikan dan pekerjaan mening-
galkan desa mereka dan tinggal di kota-kota, seperti di Tual dan
di Langgur. Keadaan ini mengakibatkan setiap anak muda men-
jalin hubungan dengan pasangan yang bukan berasal dari Rumah
yang secara tradisional ada dalam relasi yan’ur-mang’ohoi. Pada

78
Ignasius S.S. Refo, MA., ibid, 88
86

akhirnya, setiap Rumah terbuka untuk menciptakan sebuah relasi


baru yan’ur-mang’ohoi dengan Rumah-rumah lain.

Mang’ohoi Yan’ur

Generasi 1

Generasi 2
A B
Gambar 5. Perkawinan yan’ur- mang’ohoi

Kenyataan ini menimbulkan perubahan struktur dasar dari


perkawinan tradisional. Hal ini telah saya jelaskan dalam buku
saya Relasi-relasi Seputar Kematian di Sebuah Desa di Kepulauan Kei
dalam hubungan dengan perkawinan sepupu silang dari pihak
ibu.
Pada gambar 5 di atas, kita dapat melihat pola perkawinan
yan’ur-mang’ohoi tradisional. Di sini Rumah mang’ohoi memberi-
kan anak perempuannya dalam sebuah perkawinan dengan Ru-
mah yan’ur, sebagaimana tampak dalam lingkaran. Atas cara ini
anak perempuan mang’ohoi telah menjadi bagian dari Rumah
yan’ur. Dua anak yang lahir dalam perkawinan ini (A dan B) akan
kembali menikah dengan dalam pola relasi yan’ur-mang’ohoi. Anak
laki-laki (A) akan menikah dengan anak perempuan dari saudara
ibunya (pamannya). Dengan cara ini posisi Rumah dari anak laki-
laki (A) tersebut tetap sebagai yan’ur dalam hubungan dengan
Rumah saudara ibunya, yang adalah Rumah mang’ohoi-nya. Se-
dangkan anak perempuan (B) akan dinikahi oleh anak laki-laki
87

dari saudari dari ayahnya. Dengan demikian Rumah dari anak


perempuan (B) tersebut tetap menjadi mang’ohoi atas Rumah
suami dari saudari ayah. Dengan cara ini hubungan yan’ur-
mang’ohoi berlanjut dari generasi ke generasi dalam lingkup ter-
batas dan ekslusif. Rumah yan’ur adalah tetap Rumah yan’ur dan
Rumah mang’ohoi adalah tetap Rumah mang’ohoi.
Dengan kian terbukanya kemungkinan untuk sebuah perni-
kahan di luar relasi yan’ur-mang’ohoi asali, maka tercipta pula
hubungan yan’ur-mang’ohoi yang baru. Hal ini membuka ruang
bagi terciptanya relasi-relasi baru. Dengan demikian sebuah Ru-
mah dapat dengan cepat terhubung dengan banyak sekali Rumah-
rumah lain. Dalam situasi seperti ini, bila sebuah perkawinan
terjadi (relasi yan’ur-mang’ohoi), secara praktis akan ada empat
Rumah yang berpartisipasi dalam relasi tersebut.
Pada gambar 6 di bawah, dalam relasi yan’ur-mang’ohoi tra-
disional, pemuda dari Rumah A (yan’ur) wajib mengambil istrinya
dari Rumah B, yakni anak perempuan saudara ibunya (mang’ohoi),
tetapi yang terjadi kini anak laki-laki tersebut mengawini gadis
dari Rumah C (mang’ohoi), yang adalah yan’ur dari Rumah D.
Bentuk dasar perkawinan seperti ini memperlihatkan kerumitan

Maison A B C D

Yan’ur Mang’ohoi

Gambar 6. Perkawinan yang menghubungkan empat Rumah


88

dalam relasi yan’ur-mang’ohoi. Dalam perspektif teori kekerabatan


Claude Lévi-Strauss, kita dapat berkesimpulan bahwa perkawin-
an masyarakat Kei telah beralih dari struktur dasariah ke struktur
kompleks, dimana tidak ada lagi aturan-aturan yang tegas, yang
menentukan dengan gadis atau wanita mana di luar kerabatnya
sendiri yang boleh dijadikan istri. Artinya bahwa seorang pemuda
bebas memilih dengan gadis mana saja untuk dijadikan istri.79
Pertanyaan yang dapat kita ajukan di sini adalah apakah de-
ngan perubahan pola perkawinan masyarakat Kei, relasi yan’ur-
mang’ohoi masih tetap relevan? Sejauh ini masyarakat Kei mene-
rima dan mempraktekkan perubahan dalam relasi perkawinan
mereka. Istilah yan’ur-mang’ohoi pun masih tetap digunakan. Itu
artinya masyarakat Kei masih menganggap bahwa relasi ini
relevan. Namun, masyarakat Kei pun harus menyadari perubahan
yang terjadi dari pola relasi tersbut. Lebih dari itu, setiap perubah-
an mengandung konsekwensi. Karena itu pada bagian akhir tulis-
an ini akan coba dijelaskan konsekwensi perubahan ini bagi ma-
syarakat Kei dewasa ini.

Penutup: konsekwensi praktis


Jika dalam relasi tradisional, relasi yan’ur-mang’ohoi bersifat
tetap dan ekslusif, hal ini tentu saja berhubungan dengan bebe-
rapa alasan. Relasi ini menghindarkan anak-anak lelaki dan pe-
rempuan untuk menikah pada hirarki sosial masyarakat yang
berbeda. Relasi ini juga memungkinkan sebuah aturan yang lebih
lunak dalam soal mas kawin. Relasi ini juga membatasi Rumah-
rumah untuk tidak terbebani secara ekonomis dalam konteks per-
tukaran objek-objek dalam ritual adat.

79
Claude Lévi-Strauss, Les structure élèmentaires de la parenté (Berlin dan
New York: Mouton de Gruyter, 1949), x. Ignasius S.S. Refo, “Perkawinan tradisi-
onal masyarakat Kei dalam perspektif teori kekerabatan Claude Levi-Strauss”
dalam Logos, Vol. 5 No. 2 desember 2013, 43.
89

Alasan ketiga ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.


Masyarakat Kei sejak semula ada dalam sirkulasi memberi dan
menerima. Semua Rumah, yang secara khusus menciptakan relasi
formal dengan Rumah lain, seperti relasi yan’ur-mang’ohoi, terlibat
dalam sirkulasi ini, secara istimewa dalam ritual kelahiran, pem-
buatan rumah baru dan kematian. Artinya bahwa setiap Rumah
wajib untuk memberikan objek-objek tertentu pada sebuah ritual
adat dan Rumah yang menerima wajib pula membalasnya dengan
objek-objek yang telah disepakati secara adat. 80 Misalnya dalam
ritual nit vokan (bagian dari orang-orang mati) pada saat kematian,
Rumah yan’ur yang berduka harus memberikan 1 meriam (lela), 1
gong, 2 mas (gelang) dan uang kepada Rumah mang’ohoi-nya, yang
pada saat kematian telah datang dan memberikan baju untuk
membungkus jenazah, piring dan bahan makanan.
Jika dalam relasi tradisional yan’ur-mang’ohoi hubungan antar
Rumah dibatasi secara ekslusif pada Rumah-rumah tertentu saja,
maka ini dapat meringankan beban adat, dimana sebuah Rumah
hanya memberikan kompensasi adat pada Rumah-rumah tertentu
saja. Namun dengan kian terciptanya relasi-relasi baru, sebuah
Rumah akan semakin terbebani untuk memberikan kompensasi
adat kepada lebih banyak Rumah baru. Tidak heran, kini kita da-
pat lebih sering mendengar keluhan tentang beban adat lebih dari
masa-masa sebelumnya. Hal ini belum termasuk pemberian yealim
(yean, kaki dan liman, tangan), yang berarti pemberian dan kontri-
busi, sebagai bentuk partisipasi sebuah Rumah pada saat kemati-
an, kelahiran, dan lain-lain.
Dengan demikian perubahan dalam praktek relasi yan’ur-
mang’ohoi tidak berjalan sejajar dengan pemberian kompensasi
adat. Artinya, orang masih menerapkan kompensasi adat tradisio-

80
Ignasius S. S. Refo MA., « Manusia Kei: relasi-relasi seputar kematian »
dalam Logos Vol. III, No. 2 Desember 2012, 76.
90

nal pada relasi yan’ur-mang’ohoi yang telah berubah. Jika hal ini
terus terjadi, maka kita akan terus mendengar keluhan masyarakat
Kei tentang beban adat, yang secara ekonomis memberatkan.
91

KEPUSTAKAAN

Barraud, Cécile (2010) “De la résistence des mots. Propriété,


possession, autorité dans des sociétés de l’Indo-Pacifique”,
dalam La Cohérence des sociétés Mélanges en hommage à Daniel
de Coppet. Paris : Éditions de la Maison des Sciences de
l’Homme
(1998). “Etre en relation. A propos des corps à Tanimbar-Evav
(Kei, Indonésie de l’est)”, dalam Pannoff, M., (eds) La
production du corps. Paris: Éditions des Archives Contempo-
raines.
(1990). “Kei Society and the Person. An approch through
Childbirth and Funerary”, dalam Ethnos 55: 3-4.
(1995). “Le bateau dans la société ou la société en bateau?
Image et réalité du voilier pour la société de Tanimbar-Evav
(Kei, Indonésie de l’Est” dalam Anthropologie Maritime, cahier
no. 5.
(1979). Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le
large. Cambridge et Paris: Cambridge University Press dan
Editions de la Maison des Sciences de l’Homme.
Lévi-Strauss, C., (1949) Les structure élèmentaires de la parenté, Berlin
dan New York : Mouton de Gruyter.
Refo, Ignasius S.S., MA.”Perkawinan tradisional masyarakat Kei
dalam perspektif teori kekerabatan Claude Levi-Strauss” da-
lam Logos, Vol. 5 No. 2 Desember 2013.
92

« Manusia Kei: relasi-relasi seputar kematian » dalam Logos,


Vol. III, No. 2 Desember 2012
(2014) Relasi-relasi seputar kematian di sebuah desa di kepulauan
Kei, Salatiga: Widya Sari.
93

BAB V
RELASI-RELASI
SEPUTAR KEMATIAN

Pendahuluan

T idak ada masyarakat tanpa ritual kematian. Universalitasnya


tanpa ragu telah menjadi satu karakteristinya yang paling
utama. Baudri dalam bukunya La Place des morts: Enjeux et Rites
menjelaskan bahwa tidak ada masyarakat yang akan menyingkir-
kan tubuh jenazah seolah-olah dia tidak memiliki tubuh tersebut81
Malinowski menulis bahwa dari semua sumber-sumber agama,
krisis tertinggi – inilah kematian – adalah krisis terpenting dalam
hidup manusia.82 “Kematian bukan hanya antagonis dari kehidup-
an, karena ia adalah bagian dari eksistensi manusiawi.”83 Secara
lebih dalam Robert Hertz menjelaskan:
Pada kematian, yang adalah suatu peristiwa organis, di-
tumpangkan satu set kompleks kepercayaan, emosi-emo-
si dan tindakan-tindakan yang memberikan kepadanya
karakternya tersendiri. Kita melihat kehidupan yang ke-
luar, tapi orang mengungkapkan hal ini dalam bahasa

81
P. Baudri, La Place des Morts: Enjeux et Rites (Paris: L’Harmattan, 2009),
115.
82
Malinowski, Magic, Science and Religion (Boston: Beacon Press, 1948).
83
P. Baudri, Ibid., 17.
94

tertentu: itulah jiwa, kata mereka, yang berangkat ke du-


nia lain di mana dia akan bergabung dengan bapak-ba-
paknya. Tubuh jenazah tidak dianggap seperti mayat
binatang: harus memberikan kepadanya defenisinya dan
suatu perawatan rutin, tidak hanya untuk higienis, tetapi
untuk kewajiban moral. Akhirnya kematian terbuka bagi
mereka yang berduka di masa yang suram, dimana tugas
khusus dikenakan bagi mereka, terlepas dari perasaan
pribadi mereka, mereka diwajibkan untuk beberapa wak-
tu menunjukkan kesedihan mereka, mereka harus meng-
ubah warna pakaian mereka dan mengubah berbagai hal
dari hidup mereka dari hidup yang biasa. Dengan demi-
kian kematian menghadirkan kesadaran sosial ini darlam
suatu arti khusus, hal itu membuat kematian menjadi
suatu representasi kolektif.84
Para antropolog sendiri telah memahami dimensi kolektif dari
ritual-ritual, khususnya ritual kematian. Dimulai dari buku “Ben-
tuk-bentuk dasar hidup keagamaan” (Les formes élémentaires de la
vie religieuse) dari Emile Durkheim, anthropologi sosial menjelas-
kan bagaimana kepercayaan dan ritus-ritus, seperti ritus pelepas-
an, dapat memperkuat dan mengkonsolidasi hubungan-hubung-
an tradisional di antara individu.85 Robert Hertz menjelaskan bah-
wa “kita masing-masing memahami secara memadai apa yang
adalah kematian, karena merupakan peristiwa kekeluargaan dan
karena itu menimbulkan emosi yang intens”.86 Dalam arti yang
sama, Clifford Geertz mengidentifikasi kematian di Jawa dalam
dua situasi berikut: 1) suasana pemakaman di Jawa tidak diliputi

84
R. Hertz, “Contribution à une é tude sur la répresentation collective de la
mort”, dalam R. Hertz, Sociologie Religieuse et Folklore, 14.
85
Durkheim, Les Formes Elémentaires de la Vie Religieuse (Paris: Presses
Universitaires de France, 2008), 567.
R. Hertz, Ibid., 14.
86
95

tangisan histeris, atau menangis terisak-isak, atau bahkan tangisan


resmi di depan mayat, 2) namun sebuah aktivitas-aktivitas kolektif,
mulai dari kuburan hingga perayaan-perayaan seputar kematian,
slametan (makan bersama), untuk jangka waktu tiga tahun.87
Semua pandangan di atas menyatakan bahwa kematian meru-
pakan suatu peristiwa penting bagi kehidupan manusia. Ada ba-
nyak sekali upacara, ekspresi dan ungkapan menjadi nyata dalam
sebuah kematian. Masyarakat Kei, sebuah masyarakat yang men-
diami Kepulauan Kei, memandang kematian sebagai sebuah
peristiwa kolektif di seputar ritual-ritual kematian. Di tengah kese-
dihan, Rumah yang berduka harus menegaskan kembali jaringan
relasi yang telah dibangun dari generasi ke generasi.
Untuk memudahkan penulisan, diajukan beberapa pertanya-
an: bagaimana masyarakat Kei memahami relasi-relasi dalam
kehidupan mereka? Bagaimana relasi-relasi ini berfungsi dalam
kehidupan kongkrit mereka? Bagaimana relasi-relasi ini dima-
nifestasikan dalam praktik ritual seputar kematian? Dengan
demikian tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan relasi-
relasi terjadi dalam sebuah desa di Kei dan untuk menjelaskan
bagaimana relasi-relasi tersebut berfungsi dalam praktek ritual
seputar kematian.

1. Ohoi Lumefar: Sebuah Desa Kei


Dari sudut pandang antropologis, Lumefar, sebuah desa kecil
di selatan Pulau Kei Kecil, mempresentasikan kehidupan masya-
rakat, kekayaan kultural dan secara khusus relasi-relasi. Selanjut-
nya, Lumefar adalah suatu masyarakat yang terstruktur dengan
baik menurut model masyarakat Kei. Laut, pantai, pintu masuk
desa, woma (pusat desa), jalan desa, lutur (tembok yang melingkasi

87
C. Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973),
153.
96

desa), hutan, dan lain-lain memiliki nama-nama tradisional, yang


didasarkan pada peninggalan leluhur dan berlanjut dari generasi
ke generasi. Bagi laki-laki dan perempuan, ada nama-nama khu-
sus yang juga merepresentasikan hubungan dengan leluhur. Se-
lain itu, dalam ekpresi tomat ohoi ratut dan tomat ohoi rivun, mereka
menjelaskan relasi-relasi mereka. Tomat ohoi ratut menjelaskan
relasi interieur di dalam desa dan tomat ohoi rivun, relasi eksterieur
dengan desa-desa lain. Dalam arti ini masyarakat Lumefar juga
masuk dalam kesatuan danar i faak dan aliansi ratschap Danar dan
lebih luas lagi aliansi kelompok Ursiu. Lebih dari itu, warga desa
memahami dunianya sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas
yang kelihatan (nelyoan) dan tak kelihatan (kavunin).88
Sampai di sini kita dapat memahami secara umum gambaran
dari bentuk-bentuk dasar relasi-relasi dalam masyarakat Lumefar.
Ada relasi antara warga desa dan para leluhur mereka. Ada pula
relasi antara masyarakat dengan dunia dimana mereka hidup,
yang dibentuk oleh organisasi spasial desa. Ada juga relasi antara
yang kelihatan dengan yang tak kelihatan. Dengan demikian kita
telah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di awal
dari studi ini: bagaimanakah orang-orang Lumefar memahami
relasi-relasi mereka?

2. Peristiwa Kematian: Relasi-relasi Formal


dan Non-formal
Jika kita berbicara tentang relasi, kita tidak dapat berhenti
pada bentuk-bentuk relasi di atas, karena bentuk-bentuk relasi
tersebut masih bersifat sangat umum. Kita harus berusaha untuk
maju selangkah dan menemukan bentuk-bentuk relasi yang lebih
mendalam. Untuk maksud tersebut kita akan berjumpa dengan

88
Ignasius Refo, Relasi-relasi Seputar Kematian di Sebuah Desa di Kepulauan
Kei (Salatiga: Widyasari, 2014), 31.
97

relasi-relasi formal tradisional (yan’ur-mang’ohoi, koi-maduan, dan


rahan dek afwar) dan ada relasi-relasi non-formal (ho maklivur teran).
Bagaimana kita dapat memahami relasi-relasi ini dalam kon-
teks kematian? Sebagaimana kebanyakan masyarakat, kematian
bagi masyarakat Lumefar adalah juga suatu peristiwa menyedih-
kan. Hal ini dikarakteristikan oleh tangisan keluarga, tangisan
anggota Rumah (rahan) dan tangisan mereka yang memiliki relasi
dekat dengan dia yang meninggal. Kematian adalah suatu trans-
formasi dari dunia yang kelihatan ke dunia yang tidak kelihatan.
Semua orang sedih karena dia yang hidup dan danpat dilihat,
kini tak dapat dilihat. Meskipun demikian, ritual-ritual kematian
di desa Lumefar menjelaskan bahwa kesedihan bukan merupakan
pusat dari kematian. Bagi mereka yang hidup, dia yang tidak da-
pat dilihat tetap berada dalam relasi dengan mereka. Dalam kon-
teks ini, transformasi dari yang kelihatan ke yang tidak kelihatan
harus dipersiapkan dengan baik oleh mereka yang memiliki relasi
dengan Rumah dari dia yang meninggal. Dia yang meninggal
terintegrasi dalam Rumah-Rumah yang dipahami oleh masya-
rakat dipandang sebagai sumber dari kehidupannya.
Dengan demikian untuk masyarakat Lumefar, kematian dan
ritual-ritualnya harus dipahami dalam konteks relasi antara Ru-
mah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian-bagian awal.
Rumah (rahan) adalah struktur dasar dari masyarakat Lumefar.
Ia adalah suatu kesatuan sosial terpenting, yang berisi keluarga-
keluarga, disatukan oleh nama yang sama dan leluhur yang sama
(patrilinear). Rumah itu otonom, dalam arti bahwa setiap Rumah
terstruktur dengan dengan baik di bawah pimpinan yang tertua
di dalam Rumah. Setiap Rumah mengorganisasi pertemuan-perte-
muan dalam berbagai kesempatan dan membuat ritual-ritual da-
lam relasi dengan leluhur-leluhur mereka.89

Lih. Ibid., 46-47.


89
98

Aturan-aturan dari setiap bentuk relasi itu berbeda. Untuk


masyarakat Lumefar, relasi terpenting adalah relasi perkawinan
(yan’ur-mang’ohoi). Relasi ini menyatukan dua Rumah, dan setiap
Rumah memiliki beberapa relasi yan’ur-mang’ohoi dengan bebe-
rapa Rumah berbeda. Pada saat kematian, relasi yan’ur-mang’ohoi
memainkan peran-peran penting. Meskipun demikian, harus
ditegaskan di sini, di antara beberapa relasi yan’ur-mang’ohoi, relasi
sangat penting adalah relasi antara Rumah dia yang meninggal
dan Rumah ibunya. Bagaimana kita dapat menjelaskan hal terse-
but? Bagaiamana kita dapat memahami relasi antara dia yang me-
ninggal dan Rumah dari ibunya?
Jika kita mundur sejenak dan memahami dengan baik ritual
kematian, kita dapat menemukan dua tindakan penting. Pertama,
Rumah yan’ur memberikan tiga buah piring yang berisi bahan-
bahan tertentu kepada tiga Rumah mang’ohoi yang berbeda.
Kewajiban ini diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada
duad-nit dari tiga Rumah mang’ohoi tersebut. Hal ini menjelaskan
bahwa kesatuan antara dua Rumah mencakup relasi dengan para
leluhur, yang adalah dasar eksistensi dari sebuah Rumah. Dia
yang terlahir dalam relasi ini harus ditempatkan dalam aliran
darah dari generasi ke generasi yang bersifat matrilateral: dari
Rumah ibu dari nenek (mang’ohoi tuar tom) kepada Rumah nenek
(mang’ohoi utin) dan terus kepada Rumah ibu (mang’ohoi maduan).
Kedua, tindakan lain yang penting dalam ritual perkawinan
adalah pemberian sebuah meriam dari Rumah yan’ur kepada Ru-
mah mang’ohoi maduan untuk “menggantikan” tubuh anak perem-
puan yang dinikahi. Dalam masyarakat Kei, meriam digunakan
dalam berbagai kesempatan dalam arti yang sama, yakni “meng-
gantikan tubuh”. Selain perkawinan, meriam adalah pengganti
hidup yang hilang karena kematian, adopsi, penjualan kapal dan
lain-lain. Pada saat kematian, pemberian wajib yang harus
diberikan kepada Rumah nit utin adalah meriam, disebut nit vokan.
99

Meriam ini diberikan untuk menggantikan tubuh dia yang me-


ninggal. Selain itu tindakan ini juga menjelaskan bahwa ada se-
suatu yang penting yang datang dari leluhur melalui aliran darah
ibu.
Fakta bahwa dalam perawinan Rumah yan’ur harus memberi-
kan pemberian-pemberian wajib kepada leluhur dari Rumah
mang’ohoi dan meriam kepada Rumah mang’ohoi menjelaskan
beberapa aspek penting dari relasi yan’ur-mang’ohoi:
1. Rumah yan’ur memahami Rumah mang’ohoi sebagai dasar dan
asal-usulnya. Dalam konteks ini kita dapat memahami alasan
mengapa Rumah asal dari ibu, pada saat kematian, disebut
Rumah nit utin. Artinya bahwa dia yang meninggal “berasal”
dari Rumah ibunya, meskipun Rumah aktualnya adalah Ru-
mah bapaknya.
2. Rumah yan’ur ada dalam relasi dengan orang-orang mati dan
leluhur-leluhur Rumah mang’ohoi. Referensi ini hendak men-
jelaskan bahwa sebuah pernikahan tidak hanya menyatukan
mereka yang hidup, tetapi juga mencakup mereka yang telah
meninggal. Jika dalam ritual kematian, orang memandang
bahwa mang’ohoi tidak terbatas pada Rumah ibu, tetapi juga
rumah nenek maternal dan Rumah ibu dari nenek maternal,
relasi-relasi dengan dia yang meninggal juga tidak terbatas
pada Rumah ibu, tetapi mencakup juga leluhur-leluhur dari
generasi sebelumnya seturut garis Rumah ibu, meskipun
Rumah ibu tetap memainkan peran yang lebih penting.
3. Berkat relasi dengan duad-nit, relasi-relasi perkawinan dapat
dipahami sebagai suatu relasi antara para leluhur dengan
keturunan-keturunannya. Seperti telah kita lihat, duad berarti
“tuhan”, dan nit berarti tubuh dan juga orang-orang mati.
Kata nit digunakan pula oleh angota-anggota setiap Rumah
untuk menggambarkan leluhur-leluhur patrilineal yang di-
100

hormati. Tetapi ekspresi duad-nit bereferensi secara khusus


pada Rumah saudara ibu (artinya: Rumah ibu) untuk menje-
laskan orang-orang yang telah meninggal dan leluhur-leluhur
mereka.
Di sini kita dapat memahami mengapa Rumah ibu dari dia
yang meninggal itu penting pada saat kematian. Bahkan dalam
praktik, bersama Rumah aktual dia yang meninggal, Rumah ini
dipandang sebagai penanggung-jawab utama (sering orang me-
nyertakan juga Rumah nenek maternal atau Rumah dari ibu dari
nenek maternal). Dengan demikian relasi yan’ur-mang’ohoi adalah
asimetrik. Meskipun setiap anak yang lahir dalam sebuah Rumah
adalah bagian dari Rumah bapak dan menggunakan nama fam
bapak, tetapi dalam relasi dengan para leluhur, dipahami bahwa
Rumah dan para leluhur ibu itu lebih penting. Itu sebabnya
digunakan istilah duad-nit untuk berreferensi pada Rumah
saudara ibu. Kita dapat mengatakan bahwa di satu sisi, dia yang
meninggal adalah anggota dari Rumah bapaknya, tetapi di sisi
lain ia terhubung pada Rumah ibunya, yang dipahami sebagai
dasar, akar dan asal.
Pada saat kematian, dalam konteks relasi yan’ur-mang’ohoi,
orang dapat menemukan hal-hal yang menarik sebagai berikut:
1. Rumah ibu (nit utin) dihormati oleh Rumah dari dia yang
meninggal. Relasi yan’ur-mang’ohoi tersusun hirarkis, karena
sering salah satu istilah dari hubungan biner ini (mang’ohoi)
akan dianggap secara umum sebagai “tuan” atau “protektor”
(pelindung). Tetapi hal ini tidak berarti bahwa salah satu
menguasai yang lain. Sebuah Rumah dapat menjadi Rumah
yan’ur tetapi dalam hubungan dengan Rumah lain, ia dapat
menjadi mang’ohoi dan sebaliknya mang’ohoi dapat menjadi
yan’ur. Ini berarti bahwa dalam relasi ini suatu Rumah adalah
yan’ur dan dalam waktu yang sama ia adalah mang’ohoi, tetapi
bukan relasi dalam Rumah yang sama. Ketika orang mem-
101

praktekkan perkawinan asimetrik, setiap Rumah mengikuti


model yang sama, sebuah Rumah memberikan seorang anak
perempuan, tetapi ia tidak memperoleh anak perempuan dari
Rumah yang sama. Dengan kata lain, mang’ohoi harus mem-
berikan seorang anak perempuan, tetapi anak laki-lakinya
harus menikah di sebuah Rumah yang lain. Jadi, meskipun
nama yan’ur-mang’ohoi terdiri atas dua nama dan memberi
kesan hanya dua Rumah, tetapi sebenarnya hubungan yan’ur-
mang’ohoi mengimplikasikan tiga rumah.
2. Dalam relasi yan’ur-mang’ohoi, secara khusus pada saat
kematian, orang menggunakan kata “ibu” untuk menjelaskan
Rumah dari ibu dan Rumah dari saudara ibu. Kata ibu ini
menjelaskan bahwa orang melihat relasi dari sudut pandang
anak dan bukan pada sudut pandang suami. Itu sebabnya
orang tidak menggunakan nama Rumah istri. Apa yang kita
dapat pahami adalah bahwa nama dari Rumah ibu mengindi-
kasikan suatu relasi antara dua atau beberapa generasi (karena
ada Rumah nenek atau Rumah ibu dari nenek). Dua generasi
atau lebih menjelaskan kontinuitas dari generasi ke generasi.
3. Selain itu, masyarakat Lumefar menghadirkan sesuatu yang
lebih khusus dari garis patrilinear, yang menjadi ciri masya-
rakat Kei. Dalam suatu masyarakat patrilinear, kita sering me-
nemukan bahwa garis patrilinear (dari sudut bapak) memain-
kan peran penting dalam banyak aspek kehidupan. Sebalik-
nya, dalam masyarakat Lumefar dan masyarakat Kei pada
umumnya, yang adalah juga patrilinear, justru Rumah ibu
yang memainkan peran yang sangat penting. Peran ini telah
mulai pada saat perkawinan, yang menyatukan dua rumah,
dimana orang menghormati mang’ohoi untuk relasinya de-
ngan lokalitas, dan duad nit. Kemudian, peran ini jelas juga
dalam relasi dengan nit utin, dimana peran Rumah ibu dari
dia yang meninggal adalah penting. Tetapi dalam konteks
102

patrilinear, harus dipahami juga kepentingan dari garis patri-


linear dari Rumah ibu. Dengan demikian, masyarakat Lume-
far mengikuti selalu garis patrilinear, tetapi menghormati pula
garis patrilinear dari Rumah ibu.
Pada saat kematian, relasi-relasi yang lain (koi-maduan, rahan
dek afwar dan ho maklivur teran) tidak memainkan peran yang
khusus dibandingkan peran yang dimainkan dalam relasi yan’ur-
mang’ohoi. Namun relasi-relasi ini harus dihadirkan pula pada
saat kematian. Kehadiran mereka adalah tanda dari relasi yang
ada di antara mereka. Sirkulasi pemberian-pemberian menjelas-
kan hubungan yang menyatukan mereka.
Relasi-relasi yang lain tidak selalu tampak dalam konteks
kematian. Dengan kata lain, relasi-relasi ini tidak membutuhkan
suatu relasi kekerabatan. Relasi koi-maduan dapat menyatukan
berbagai hal yang berbeda: antara dua pribadi, antara dua Rumah,
antara satu Rumah dan desa atau antara desa satu dengan desa
yang lain. Rahan dek afwar « Rumah Kembar » menyatukan dua
rumah. Hal terpenting dari relasi-relasi ini adalah kesepakatan
yang tercipta di masa lampau dimana dua orang, satu Rumah,
atau satu desa meminta atau memberikan bantuan, dan yang
menerima bantuan tersebut. Kedua bentuk relasi ini (koi-maduan
dan rahan dek afwar) diciptakan pertama-tama oleh karena kesepa-
katan dari dua pihak yang terlibat. Kemudian relasi-relsai ini
diciptakan pada masa lampau dan terus berlagsung hingga kini.
Di Lumefar, kita tidak menemukan lagi relasi baru dari relasi koi-
maduan dan rahan dek afwar. Orang hanya mempraktekkan relasi-
relasi lama.
Relasi-relasi, yang tidak didasarkan pada perkawinan dan
kesepakatan antar Rumah, tetapi para persahabatan dan hidup
bertetangga, adalah ho maklivur teran. Relasi-relasi ini sering men-
jadi seakan-akan formal. Pada kesempatan perkawinan dan
kematian, mereka yang ada dalam relasi-relasi ini hadir dan
103

menyerahkan pemberian-pemberian (prestations) mereka,


meskipun mereka tidak menerima pemberian balik (contre-
prestations). Sebagai gantinya, keluarga yang berduka memberikan
kepada mereka makan dan minum.
Dengan demikian kita dapat menjelaskan bahwa kehadiran
Rumah-rumah dan kelompok-kelompok pada saat kematian
adalah pusat dari perhatian Rumah yang berduka. Kehadiran
individual hanya mendapat perhatian terbatas. Tegasnya, dalam
ritual kematian kehadiran individual tidak memiliki arti. Dari
sudut pandang ini, semua yang hadir merepsentasikan Rumah
mereka dan kelompok mereka atau dalam konteks relasi ho
maklivur teran, mereka merepresentasikan institusi mereka (se-
bagai contoh: sekolah atau lembaga dimana dia yang meninggal
itu bekerja) atau lembaga mereka (dimana dia yang meninggal
adalah anggota lembaga tersebut).

3. Refleksi
Marilah kita mengakhiri sambil memberikan tanda pada point
terakhir. Analisa ini tidak lengkap jika tidak menjelaskan sirkulasi
pemberian benda/barang yang menyertai relasi-relasi folmal dan
non-formal. Karena itu kita harus menjelaskan secara kongkrit
pertukaran pemberian. Pertama-tama, kita mencoba membuat
analisa atas barang-barang; kemudian kita mencoba untuk mema-
hami pertukaran dan aturan-aturan dari sirkulasinya.
Jika masyarakat Kei mengganggap bahwa banyak hal yang
baik datang dari luar, bahan-bahan pemberian dalam berbagai
upacara juga datang dari luar. Cécile Barraud telah mencoba untuk
mengidentifikasi asal-asul bahan-bahan yang dipakai dalam
berbagai upacara tersebut. Meriam-meriam berasal dari para
penjajah Portugis dan Belanda. Gong datang dari Cina dan dari
berbagai tempat di barat Indonesia (Sumatera, Java dan Bali).
Kain-kain berasal dari pulau-pulau di Maluku dan bahkan dari
104

berbagai tempat di Indonesia. Berbagai jenis dan bentuk piring


datang petama-tama dari Cina dan selanjutnya dari Eropa. Mas
(yakni emas dan perhiasan pada umumnya: kalung, cincin, anting
dan lain-lain) dibawa oleh pada pedagang dari berbagai tempat
di Indonesia. Dipahami dengan nama mas, kita menemukan juga
berbagai uang logam yang berasal dari luar (Cina, Portugis dan
Belanda).90 Tetapi selain barang-barang yang datang dari luar,
apa yang orang asosiasikan sebagai barang persembahan adalah
bahan-bahan makanan, yang adalah produk dari desa. Hal ini
menjelaskan bahwa produk-produk ini adalah bagian dari pem-
berian. Selanjutnya. Dalam ritual kematian, Rumah yang berduka
harus memberikan makanan yang disiapkan dengan berbagai
jenis pemberian.
Pemberian-pemberian ini ditukar dalam banyak kesempatan:
pertama-tama dalam berbagai tahapan upacara perkawinan;
kemudian dalam berbagai upacara seputar kematian, dan pada
berbagai kesempatan lain. Relasi antara dua Rumah atau dua
kelompok dimanifestasikan dengan suatu pertukaran, pembagian
dan saling bertukar pemberian. Ada dalam pertukaran yang
mengantar pada kesatuan dari Rumah-rumah dan kelompok-
kelompok, suatu aturan implisit yang dapat diterjemahkan seba-
gai: “apa yang untuk kami adalah untuk kamu; apa yang untuk
kamu adalah untuk kami”. Dalam proses ini ada dua elemen:
aktor-aktor dan objek-objek yang tersikulasi. Di sini kita dapat
memahi bahwa aktor-aktor adalah Rumah-rumah yang masuk
dalam relasi. Objek-objek adalah apa yang sesuai dengan tradisi.
Untuk memahami sirkulasi pemberian, ada tiga tindakan
yang menyatukan dua rumah: memberikan, menerima dan me-
ngembalikan. Godbout Jacques dalam l’Esprit du don (Roh dari

90
C. Barraud, Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large
(Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan Editions de la Maison
des Sciences de l’Homme 1979), 207.
105

Pemberian) menulis: “Memberikan, menerima dan mengembali-


kan adalah saat-saat dari pemberian yang bersirkulasi dalam se-
mua arti sekaligus. Memberikan, ini adalah menerima dan ini
adalah mengembalikan.”91 Akibatnya, kita dapat melihat bahwa
dalam pergerakan sirkuler ini objek-objek yang diberikan bersir-
kulasi, berevolusi dan berubah dan menurut urutan pemberian
dan balasan pemberian. Bentuk naturalnya pada akhirnya bersifat
sekunder, nilainya yang memiliki sesuatu yang penting, dan nilai
ini bersifat kultural dan sosiologis serta terjalin pada kepentingan
dari suatu garis yang ada di antara dua Rumah, dan juga kepen-
tingan dari hubungan yang bermain di antara mereka seturut tra-
disi.
Jika kita memperhatikan sirkulasi barang-barang yang dipa-
kai dalam relasi-relasi formal dan non-formal pada saat kematian,
kita dapat menyimpulkan bahwa pertama-tama pemberian dalam
relasi formal tradisional diwajibkan dan terjadi secara resiprok.
Artinya, salah satu dalam hubungan ini harus memberikan se-
suatu dan yang lain harus membalasnya. Bahkan, secara umum,
bentuk-bentuk dari objek-objek yang digunakan adalah tetap,
karena orang menggunakan selalu objek yang sama. Kita telah
melihat dalam bagian keempat bahwa kewajiban bukan hanya
pada tingkat relasi antar Rumah tetapi dimulai pada tingkat relasi
antara keluarga-keluarga dalam suatu Rumah. Mereka yang tertua
di dalam sebuah Rumah mewajibkan anggota-anggota mereka
untuk memberikan pemberian-pemberian yang mereka butuh-
kan dalam sebuah upacara atau kesempatan tertentu.
Selanjutnya kita harus menggarisbawahi bahwa dalam ma-
syarakat Lumefar, status setiap relasi tidak sama. Hal ini berhu-
bungan dengan nilai dan kuantitas dari pemberian. Relasi yan’ur-
mang’ohoi dianggap sebagai relasi yang sangat penting diban-

J.T. Godbout, L’Esprit du don (Paris: la Découverte, 1992), 298.


91
106

dingkan dengan relasi-relasi koi-maduan, rahan dek afwar dan ho


maklivur teran. Relasi yan’ur-mang’ohoi memasukan semua Rumah
tanpa kecuali, artinya setiap Rumah memiliki suatu relasi perka-
winan dengan Rumah-rumah lain. Relasi ini melibatkan Rumah-
rumah sedemikian mendalam dan orang tidak menemukan hal
tersebut dalam relasi-relasi lain. Selain itu, relasi-relasi yan’ur-
mang’ohoi dan koi-maduan bersifat hirarkis, karena sesekali sebuah
istilah (mang’ohoi dan maduan) dari setiap kesatuan relasi ini akan
secara umum dianggap sebagai “tuan” dan “protektor” (pelin-
dung). Hal ini dapat dikomparasi dengan oposisi “kakak-adik”.
Di antara keduanya, kakak akan dihirmati oleh adik, dan sebalik-
nya adik akan dijaga oleh kakak. Dengan demikian, dalam relasi
yan’ur-mang’ohoi dan koi-maduan kita dapat membandingkan arah
dari pemberian-pemberian. Meriam-meriam, gong-gong dan per-
hiasan-perhiasan terarah dari dia yang dianggap sebagai “yang
kecil” kepada yang lain yang dianggap sebagai “tuan” atau “yang
dihormati”, dan dalam arti sebaliknya kain-kain, piring-piring
dan makanan.
Dalam masyarakat Lumefar, secara teoretis pemberian dalam
relasi non-formal adalah bebas, artinya bahwa tidak ada kewajib-
an. Tetapi dalam praktik, orang tetap merasa terwajibkan. Ada
pertukaran, artinya bahwa orang harus memberikan sesuatu ke-
pada sebuah Rumah dalam berbagai kesempatan. Selanjutnya
Rumah ini harus memberiakan sesuatu sebagai balasan pemberi-
an. Tetapi dalam kasus ini, Rumah ini tidak memberikan objek-
objek seperti meriam, gong atau perhiasan, melainkan hanya
memberikan makanan. Sirkulasi dari objek-objek menjelaskan
kepada kita dua hal: pertama pemberian adalah suatu tindakan
sosial dan sebuah transfer dari objek-objek antara Rumah dan
kelompok-kelompok lain dalam sebuah hubungan sosial; dan
selanjutnya pemberian adalah sebuah ekspresi dari komunikasi
manusiwi. Setiap pemberian, setiap perkataan dan setiap aksi
107

memiliki sebuah arti dan setiap Rumah dan kelompok yang


berpastisipasi dalam relasi ini, dapat memahami artinya. Relasi-
relasi antar Rumah dan kelompok termanifestasi secara kongkrit
oleh sirkulasi objek-objek atau oleh pertukaran pemberian-
pemberian.
108
109

KEPUSTAKAAN

Barraud, C. “De la résistence des mots. Propriété, possession,


autorité dans des sociétés de l’Indo-Pacifique”, dalam La
Cohérence des sociétés Mélanges en hommage à Daniel de Coppet.
Édité par André Iteanu. Paris: Éditions de la Maison des Sciences
de l’Homme, 2010.
___________. “Etre en relation. A propos des corps à Tanimbar-Evav
(Kei, Indonésie de l’est)”, dalam Godelier M., dalam
Pannoff, M., (eds) La production du corps (pp. 229-248). Paris:
Éditions des Archives Contemporaines, 1998.
___________. “Kei Society and the Person. An approch through Childbirth
and Funerary”, dalam Ethnos 55: 3-4 , (1990), 214-231.
___________. “Le bateau dans la société ou la société en bateau? Image
et réalité du voilier pour la société de Tanimbar-Evav (Kei,
Indonésie de l’Est”, dalam Anthropologie Maritime, cahier no.
5 , (1995), 108.
____________. Tanimbar-Evav Une Société de Maisons Tournée vers le large.
Cambridge dan Paris: Cambridge University Press dan
Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1979.
____________. “Wife-givers as ancestors and ultimate values in the Kei
islands”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde
(146), no 2/3, (1990).
____________. “Notes sur la situation religieuse dans l’archipel de Kei,
aux Moluques”, dalam Le Banian: La religion, une
obligation en Indonésie, n°13, (2012).
110

Baudry, P. La Place des morts: enjeux et rites. Paris: L’Harmattan, 1999.


____________. “La ritualité funéraire”, dalam Yannic. A. (ed.), Rituel Paris:
CNRS Editions, 2009.
Durkheim, E. Les formes élémentaires de la vie religieuse. 6 édition. Paris: Presses
Universitaires de France, 2008.
Errington, S. “Incestuous Twins and the House Societies of Insular
Southeast Asia”, dalam Cultural Anthropology 2 (1987): 403-
44.
Geertz, C. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books,
1973.
Godbout, J.T. L’Esprit du don. Paris: la Découverte, 1992.
Hertz, R. “Contribution à une étude sur la répresentation collective
de la mort”, dalam R. Hertz, Sociologie religieuse et folklore.
Quebec:http://www.uqac.uquebec.ca/zone30/Classiques_
des_sciences_sociales/index.html.
Lévi-Strauss, C. Les structures élémentaires de la parenté. Berlin dan
New York: Mouton de Gruyter, 2002.
Malinowski, B. Magic, Science and Religion. Boston: Beacon Press,
1948.
McKinnon, S. From a Shattered Sun: Hierarchy, Gender, and Alliance
in the Tanimbar Islands. Madison: University of Wisconsin
Press, 1991.
Refo, Ignasius. S.S., Relasi-relasi Seputar Kematian di Sebuah Desa di
Kepulauan Kei. Salatiga: Widyasari, 2014.
111
112

Anda mungkin juga menyukai