Anda di halaman 1dari 220

LEGENDA ORANG-ORANG KEI

(Keieesche Legenden)

P. H. Geurtjens

Penerjemah
C.J. Böhm MSC

Ignasius S. S. Refo (Ed.)

2019

1
SAMBUTAN

2
PENDAHULUAN

Masyarakat pribumi yang tuna aksara pun memiliki sastra, sekalipun itu bukan dalam
bentuk tertulis. Khazanah sastra sebagian besar terdiri atas legenda atau cerita. Mereka suka
bercerita, dan dengan penuh minat aku memasang telinga untuk mendengar cerita-cerita mereka.
Bagi kita dewasa ini, hal bercerita makin dipandang sebagai kegiatan anak-anak. Kita
orang dewasa memang tahu bagaimana menikmatinya juga, tetapi daripada duduk
mendengarkan seorang pencerita dengan penuh perhatian, kita lebih suka memintanya
menuliskan cerita itu, supaya kemudian kita menikmatinya dan dapat membacanya sambil duduk
sendirian.
Masyarakat pribumi tidak membuat sastranya tertidur pada seprei-seprei kertas di dalam
buku-buku; sastranya bagaikan tertidur di dalam kepala orang-orang tua, teristimewa di dalam
kepala para perempuan yang sudah tua. Dan sama seperti pada kita, pada mereka pun bintang-
bintang sastra itu bersinar di langit sastrawi dalam ukuran yang berbeda-beda. Beberapa di
antara mereka menjadi termashyur sebagai pencerita yang ulung.
Fakta bahwa justru kaum perempuan berurusan dengan kesusastraan ini belum tentu
berdasarkan pertimbangan etis. Dunia puisi dan penghormatan satrawi terhadap perempuan
yang berlaku di dunia barat belum dialami oleh masyarakat setempat. Tetapi dalam cerita-cerita
ini sering juga terdapat lagu-lagu perkabungan, yang bila dipertunjukkan, harus dibawakan
dengan irama tangisan. Dan tangisan resmi yang harus dilaksanakan pada kesempatan
penguburan atau perpisahan, selalu dipercayakan kepada perempuan. Jadi, tangisan indah, yang
hanya boleh diharapkan dari seorang perempuan, merupakan salah satu syarat utama untuk
dapat disebut sebagai pencerita-indah.
Setelah mengemis pada seorang perempuan (ternyata perempuan-perempuan di mana-
mana sama saja!), ia pada akhirnya berjongkok dan merebahkan kepala pada lututnya sambil
membuat seolah-olah ia tidur. Beberapa saat kemudian ia tegak kembali dan berkata: “Saya sudah
bermimpi sedikit”. Lalu ia mulai bercerita: Sar tomtom labo!... (dan beginilah ceritanya), yang
adalah suatu ungkapan, yang dalam lanjutan cerita masih akan diulangi beberapa kali, sebagai
awal suatu bagian baru.
Saya sendiri pun ikut hadir di situ, sambil berjongkok di atas lantai bambu, di samping
sebuah pelita minyak tanah dengan buku tulis di atas lututku; sementara itu pinsilku yang rajin
itu berusaha untuk mengabadikan bunyi-bunyian yang melayang-layang di tempat itu. Ibu
pencerita tidak terlalu berusaha untuk meragakan kisah yang ia bawakan itu. Biasanya dengan
cara monoton, ia menyajikan ceritanya kalimat demi kalimat. Dengan sikap tidak kurang pasif
juga, tetapi dengan penuh minat, para hadirin mendengarkannya.
Adapun kegiatan ini bagaikan diliputi oleh suasana sakral. Maklumlah, cerita-cerita ini
tidak boleh dibawakan dengan cara acuh-tak-acuh. Tujuan utamanya ialah mengisi waktu, bila
orang harus melayat ke tempat jenazah seseorang. Tak heran, dari seorang ibu yang demikian,
dituntut sebuah usaha yang tidak mudah, yaitu bila sepanjang malam ia harus menghindarkan
para hadirin tertidur, apalagi dalam hal ini orang-orang di sini selalu suka untuk tidur dan mampu
juga tidur dalam waktu yang lama. Adalah pomali, atau sama sekali tidak boleh, bila kegiatan ini
dibuat di siang hari. Jangan sampai roh-roh mendengarkannya dan mengira bahwa ada seorang
meninggal dunia. Roh-roh itu pasti akan ke situ untuk menjemput kawannya. Tetapi bila mereka

3
tidak menemukannya, boleh jadi mereka akan membuat seseorang menjadi jenazah! Sebaliknya,
ini bukan sesuatu yang berbahaya dalam suasana gelap, karena malam hari adalah siang hari bagi
roh-roh halus; kegelapan adalah cahaya bagi mereka. Dalam hal ini, tidak ada bahaya, bila mereka
datang di malam hari.
Legenda-legenda atau cerita-cerita yang diteruskan turun-temurun dengan cara
demikian tidak semua memiliki jenis yang sama. Walaupun semuanya lebih menceritakan hal-hal
yang ajaib, ada di antaranya cerita-cerita itu, yang berisikan fakta-fakta historis, meskipun ada
juga yang fiktif belaka.
Pada orang Kei, seperti pada banyak suku bangsa lain di zaman dulu, angka tujuh dan
angka tiga adalah angka kramat atau mistik.
Tentu saja kita bertanya: apakah mereka menaruh kepercayaan akan segala yang ajaib
yang termuat dalam semua cerita itu?
Pertanyaan itu tak perlu dijawab, jika seandainya hal-hal luar biasa itu hanya ada di dalam
cerita-cerita dongeng yang sudah umum dikenal, dan yang hanya dibaca untuk bersenang-
senang. Dalam hal itu cukup untuk dijawab bahwa, sama seperti seorang anak, orang di sini
tertarik pada hal-hal yang aneh dan ajaib.
Hal tersebut ditemukan juga dalam legenda-legenda historis, di mana isinya yang
disodorkan adalah bukan sebagai fantasi belaka. Tak mudah menyelidiki, secara psikologis, sikap
orang Kei terhadap fakta-fakta ini. Secara umum tidak dapat dinyatakan bahwa hal-hal ajaib itu
sungguh dipercayai; terhadap itu mungkin saja orang Kei pun bersikap skeptis. Maklum saja,
untuk menentukannya, orang harus sanggup mengolahnya secara refleksif; padahal, orang-orang
Kei tidak merasa perlu untuk menyelidiki kebenaran dari hal-hal yang disodorkan kepada
mereka.
Misalnya, tak jarang terjadi bahwa, berdasarkan legenda tertentu, orang mau
membuktikan haknya dalam perselisihan tentang siapa pemilik sebidang tanah tertentu. Pihak
lawan tidak akan berusaha untuk menentang kebenaran legenda yang bersangkutan, sebaliknya
ia merasa cukup dengan menyodorkan legendanya sendiri. Dengan sendirinya legenda yang
kedua itu dianggap akan lebih meyakinkan. Pihak lawan sama sekali tidak akan berusaha untuk
membantah pembuktian-pembuktian pihak lain berdasarkan banyaknya keajaiban yang terdapat
dalam cerita tersebut, sekalipun sudah jelas bahwa hal-hal ajaib itu tidak dapat diverifikasikan.
Untuk itu dia kan menyatakan saja bahwa semuanya itu tidak benar, bukan karena hal-hal yang
terlalu ajaib yang terdapat di dalam cerita tersebut, melainkan hanya karena ia tidak mau
mengakui kesimpulan pihak lawan itu.
Hal yang sama berlaku untuk silsilah keturunan. Misalnya, seorang menceritakan bahwa
di zaman purba ada seorang perempuan berjalan menyusur pantai untuk mengumpulkan
binatang berkulit kerang. Ketika ia meletakkan binatang-binatang kecil itu ke dalam belanga di
atas api, keluarlah dari salah satu kerang itu seorang kurcaci, yang menjadi leluhur sukunya;
kepada suku itu diberi nama orang-orang belanga. Tiada orang yang akan menyangsikan
kebenaran kisah itu. Dan jika datang seorang ilmuwan yang menyodorkan aksioma bahwa “setiap
makhluk-hidup menurunkan makhluk sejenis”, orang akan menjawab: “Untuk orang kulit putih
memang demikian, tetapi kami di sini mempunyai pandangan yang berbeda”.
Selain itu, orang Kei, bila berhadapkan dengan sebuah mujizat, mengambil posisi tidak
sama seperti orang Eropa. Secara spontan kita ini condong mendekati secara kritis setiap fakta

4
atau peristiwa yang sedikit di luar hal-hal yang lazimnya kita alami. Apa yang tidak kita mengerti,
akan kita sangsikan, bahkan kita merasa gelisah –hampir secara fisik–, bila menghadapi suatu
fenomena yang kita tidak pahami.
Sebaliknya orang Kei larut dalam sikap intelektual yang apatis, dan tidak menyadari akan
banyak hal yang bermakna. Orang biasanya digemparkan sesaat tentang sesuatu yang luar biasa,
tetapi kemudian tidak terpikat padanya. Ia memang tidak memahami hal yang ajaib itu, tetapi ia
tidak akan berusaha untuk memahaminya juga. Hal ini dapat dimaklumi, karena ia melihat di
sekitarnya ada begitu banyak hal, yang melebihi pemahamannya, sehingga ia tidak akan kaget
terhadap apa pun. Seorang filsuf Yunani, bernama Plato, pernah berkata bahwa filsafat itu lahir
dari keheranan, tetapi orang Kei belum sampai pada tahap tersebut, apalagi pada filsafat. Tiada
sesuatu pun yang membuatnya mengajukan kritik, dan karena itu jiwanya dengan tak terbatas
terbuka untuk pelbagai kemungkinan, asalkan dalam praktek ia tidak merasa dirugikan olehnya.
Selain itu, menurut pandangan kita, cerita yang disodorkan itu, secara logis tidak
meyakinkan: fakta-fakta dan situasi-situasi sering tidak cukup menjelaskan atau pincang dalam
motivasinya; bahkan hal-hal yang nyaris tak mungkin, tetapi terjadi dan disodorkan seakan-akan
normal saja. Namun demikian tentang hal ini –mutatis mutandis– dapat diterapkan pada apa yang
sebelumnya sudah kami nyatakan tentang hal-hal ajaib. Orang Kei tidak menyelidiki semua itu
dengan sangat teliti, dan seperti ia tidak bersikap kritis terhadap isi dari cerita-cerita, demikian
pula ia tidak kritis terhadap susunannya.
Dalam cerita-cerita Kei ini, tidak pernah kita menemukan suatu kesimpulan moral. Orang
yang sudah mengenal sedikit jiwa orang-orang di sini tidak akan mengharapkan itu. Maklumlah,
orang di sini hanya mengenal moral negatif. Pengertian tentang dasar-dasar etika pun hampir
tidak ada. Adapun kita ini merangkum ajaran moral kita dengan prinsip ganda ini: usahakanlah
yang baik dan tinggalkanlah yang jahat. Tetapi orang di sini hanya mengatakan: tinggalkanlah
yang jahat. Ia tidak biasa dengan melaksanakan hal-hal yang baik demi memenuhi hasrat akan
kebaikan. Mereka akan berusaha untuk meninggalkan yang jahat bukan karena yang jahat itu
sendiri adalah jelek, melainkan untuk menghindarkan diri dari hukuman yang terkait dengan itu.
Atas suatu pelanggaran selalu diberi hukuman sebagai sanksi. Hukuman ini menutupi
pelanggaran itu dengan sepenuhnya. Dengan menjalankan hukuman atau melunas denda itu
bukan hanya kesalahan itu dihapus, tetapi orang yang telah bersalah itu direhabilitasi dan
mendapat kembali penghargaan orang sekampung.
Namun perlu diperhatikan bahwa orang di sini membedakan dua jenis kejahatan, yaitu
berdasarkan dua faktor berbeda yang menjadi dasar pandangan hidupnya, ialah animisme dan
magi. Animisme menghadirkan yang baik, sedangkan magi menyodorkan yang jahat.
Animisme menjadi dasar adat. Adat sebetulnya melandaskan hukum alam. Sang
Mahakuasa atau roh-roh lain menjadi pengawas hukum alam itu. Dan akan bertindak, jika hukum
itu dilanggar. Para kepala masyarakat telah diangkat oleh roh-roh itu untuk menjaga, supaya
jangan terjadi pelanggaran. Mereka wajib menghukum para pelanggar peraturan. Jika lalai dalam
masalah ini, maka mereka sendiri, atau dalam hal-hal tertentu bahkan suatu masyarakat
seluruhnya, akan dihukum oleh roh-roh. Bila para pemimpin tidak mampu menjalankan
hukuman atas suatu kejahatan, misalnya karena orang yang bersalah itu tidak dapat ditentukan,
maka si pendosa itu harus diserahkan saja kepada dendam roh-roh itu. Dari segi itu masyarakat
setempat bagaikan suatu teokrasi.

5
Magi menjadi dasar untuk semua petunjuk dan kewajiban yang bertujuan untuk
menguasai kekuatan-kekuatan alam: yang baik harus dirayu, yang tidak baik harus dilumpuhkan.
Pandangan ini adalah dasar bagi tindakan potong-kepala, pembunuhan anak-anak kembar dan
perempuan-perempuan hamil yang sakit dst., yang sering langsung bertentangan dengan hukum
alam. Sekaligus ini menjadi dasar untuk semua tindakan yang bertujuan untuk menghindarkan
pengaruh jahat dari kuasa-kuasa sihir. Selama tiada pihak ketiga yang dirugikan, bila peraturan-
peraturan ini dilanggar atau kewajiban-kewajiban ini dilalaikan, maka orang yang bersangkutan
tidak akan ditindaki oleh para pemimpin; siapa yang bersalah harus secara pribadi memikul
akibatnya. Jika ia takut akan akibat itu, maka ia akan mencoba bertobat atas kesalahannya itu
melalui kurban-kurban silih. Selain itu orang bisa juga mencoba menipu roh-roh yang sudah
jengkel atau kuasa-kuasa misterius itu dengan misalnya berpindah tempat atau mengambil nama
baru dan lain-lain.
Sudah jelaslah bahwa di suatu masyarakat yang menganut pandangan-pandangan yang
demikian tentang kebaikan dan kejahatan, seorang pewarta kesusilaan akan kurang sukses. Dan
sudah tentu semua musibah dan bencana, penyakit-penyakit dan terutama kematian ditafsirkan
sebagai hukuman atas salah satu pelanggaran hukum, sekalipun dilakukan tanpa sadar;
maklumlah orang-orang di sini mempunyai pandangan yang sama sekali obyektif terhadap dosa,
sehingga ke-tidak-tahuan tidak menjadi dalil baginya untuk luput dari hukuman. Salah satu
kesimpulannya ialah bahwa mereka yang mati dalam suatu peperangan tidak dihormati sebagai
pahlawan-pahlawan yang gugur secara terhormat. Malah sebaliknya, mereka diberi suatu
penguburan yang hina. Alasannya: suatu perang di mata orang di sini adalah bentuk paling agung
dari keputusan pengadilan Allah, sedangkan bentuk paling sederhana pengadilan ilahi ialah bila
orang mengangkat sumpah (lewat pengutukan diri).
Akan tetapi semuanya itu belum tentu berlaku dalam legenda-legenda. Mereka yang
dalam legenda-legenda ditampilkan sebagai orang pahlawan tersohor, dalam hidup sehari-hari
barangkali akan dicap sebagai orang yang menjengkelkan. Namun pembawa cerita Kei itu tidak
menghiraukan: ia tidak begitu teliti dengan memperhatikan segi moral, logika, benar/tidaknya
dan syarat apapun yang biasanya kita pentingkan untuk sebuah cerita. Yang penting baginya ialah
bahwa oleh hadirin ia tetap didengarkan dengan penuh minat; itu saja tujuannya.
Akhirnya perlulah kita memperhatikan bahwa tidak semua situasi yang digambarkan
dalam cerita-cerita itu secara benar mencerminkan hidup kemasyarakatan orang Kei. Sudah
hampir pasti fakta ini disebabkan oleh karena orang-orang Kei –walaupun sekarang mereka
bicara satu bahasa saja dan hidup menurut adat yang sama– sebenarnya bukan merupakan satu
suku bangsa yang kompak. Mereka dapat dipandang sebagai aglomerat dari unsur-unsur yang
sangat berbeda-beda.
Hal ini mungkin juga turut menyebabkan bahwa pada mereka kita tidak menemukan
suatu kisah penciptaan seperti halnya pada terbanyak suku bangsa primitif lain. Dari sisi lain
setiap marga dapat menyebut asal mula dari keturunan mereka, yang kadang-kadang berakar
pada surga (maklumlah, ada yang menyatakan bahwa para leluhur mereka telah turun dari
surga!). Akan tetapi tidak ditemukan sebuah kisah umum tentang penciptaan.
Dari data-data tertua yang kita miliki tentang orang-orang Kei, kita diberi tahu tentang
hubungan dagang mereka dengan orang Jawa, Makasar, Ternate, Banda dan lain-lain. Dan banyak
di antara bangsa-bangsa ini telah datang dan berpindah ke Kei dan menetap di situ, di antaranya
beberapa yang sungguh penting. Menurut legenda-lengenda, terutama orang-orang Bali telah

6
mempunyai pengaruh besar terhadap adat: bahkan -katanya– adat itu telah dibawa datang oleh
seorang raja, namanya Dewa. Kita boleh mengandaikan bahwa orang-orang pendatang itu pun
telah turut mempengaruhi isi cerita-cerita Kei, sehingga kita tidak akan heran bila situasi-situasi
yang dilukiskan di situ, sering tidak mencerminkan kenyataan hidup aktual.
Kami telah mengambil kebijaksanaan membagi tulisan ini atas dua bagian. Sudah kami
jelaskan bahwa di samping dongeng-dongeng romantis, terdapat juga kisah-kisah sejarah.
Memang belum tentu bahwa kisah sejarah itu kalah romantiknya; akan tetapi, di mata orang
setempat, kisah-kisah itu adalah sejarah bangsa mereka, dan karena itu pantas diakui
kebenarannya dan harus dipercayai. Bersama dengan kebiasaan-kebiasaan adat, kisah-kisah itu
oleh masyarakat lokal dengan sedikit bangga disebut Buku Ewav, “Buku Kei”.
Buku yang tak ditulis oleh seorang pun itu –menurut edisi yang mereka pergunakan–
akan diragukan kebenarannya, kecuali bila suatu proses sipil barat yang makin merasuk masuk,
telah membisikkan ke teling mereka bahwa adalah pantas mereka pun menerapkan sedikit kritik
historis. Hingga kini mereka yang mendengar bisikan itu masih sangat sedikit jumlahnya.
Berbeda dengan kesusasteraan yang dipraktekkan terutama oleh para pencerita
perempuan, ensiklopedi Kei ini di simpan dalam kepala-kepala terhormat para pemimpin dan
tua-tua adat, dan termasuk juga salah satu kewajiban untuk mewariskan butir-butir
kebijaksanaan itu kepada keturunannya. Seorang pembesar Kei yang tidak mempelajari “Buku
Kei” itu sama dengan seorang ahli hukum yang tidak mengetahui Kitab Undang-Undang Negara.
Kisah-kisah ini bertujuan ganda: (1) di dalamnya telah ditetapkan asal mula dan silsilah
keluarga-keluarga kasta-atas; (2) memuat hak milik tanah yang de fakto dipakai dan menegaskan
hak atas tanah lain.
Akan tetapi dalam hal itu nyatalah bahwa “Buku Kei” itu sangat bervariasi. Di sini pun,
selain si pencatat sejarah, ada pula si pemalsu. Dan siapakah yang akan menentukan mana versi
yang benar! Tiada orang yang dengan seenaknya memberi diri dikorbankan demi kepentingan
orang lain. Justru ini yang menjadi masalahnya. Kepentingan-kepentingan politik kelas-atas
dipertaruhkan, karena semua hak milik atas tanah serta kekuasaan didasarkan atas cerita-cerita,
sekalipun sering dicampur dengan legenda.
Karena itu tiada ada satu kampung di Kei yang tidak dalam perselisihan dengan kampung
lain tentang batas tanah.
Dalam pemecahan masalah-masalah itu, dahulu kala kadang-kadang diminta bantuan
dewa/dewi untuk lewat suatu tanda menentukan siapa yang benar, atau pun masalah itu
diselesaikan lewat kekuatan senjata. Tetapi sejak Pulau-pulau Kei mendapat perhatian
Pemerintah Belanda, hal-hal tersebut makin sering diganti dengan keputusan-keputusan
pengadilan, naik banding dan lain-lain yang tidak habis-habisnya. Memang perlu diakui bahwa
para pegawai pemerintahan menghadapi suatu tugas yang sulit: bagaimana dari sumber-sumber
yang begitu kabur mereka bisa memperoleh kebenaran?
Kadang-kadang kita ditolong oleh monumen-monumen sejarah. Misalnya pernah raja
Tual mempunyai banyak tuntutan terhadap ratskap Faan dan Rumadian, walaupun menurut
kedua ratskap tersebut justru Tual adalah ratskap bungsu dan karena itu yang paling belakang.
Dalam ceritera tentang kura-kura raksasa, kita mendengar bahwa Towi, yang mengadakan suatu
kesepakatan antara orang Lorlim dan orang Ursiu, menggadai perjanjian tersebut dengan
meninggalkan penutup pinggan tembaganya di Faan dan alas pinggan tersebut dibawanya ke

7
Madwair. Sampai hari ini kedua gadai tersebut disimpan di bawah sebuah pohon yang adalah
tempat tinggal mitu. Hal ini disodorkan oleh Faan untuk membenarkan haknya. Karena sudah
barang tentu, jika hendak diadakan suatu kesepakatan dengan suatu penguasa, orang
menghubungi kepalanya dan bukan pada bawahannya.
Namun sering monumen-monumen sejarah itu sendiri pun kurang meyakinkan, misalnya
jika orang sebagai bukti mengemukakan salah satu pohon yang terdapat di tengah-tengah banyak
pohon lain.
Adapun ceritera-ceritera tentang keturunan dan silsilah tidak begitu sering dipersoalkan,
karena kurang menyangkut kepentingan pribadi. Adat perkawinan, yang mendasari seluruh
kehidupan kemasyarakatan, melarang bahwa orang luar masuk ke dalam ikatan marga. (Lihat Uit
Een Vreemde Wereld, bab tentang Perkawinan).
Legenda-legenda yang membahas keturunan membatasi diri pada keluarga-keluarga
kasta-atas, karena hanya mereka yang dapat memetik suatu keuntungan dari keturunan dan
kelahiran.
Orang kasta-tengah memang adalah penduduk yang paling asli, tetapi mereka orang-
orang primitif, dimana mereka belajar hidup beradab dari orang kasta-atas. Dalam legenda-
legenda yang terdapat dalam kitab ini kita akan menemukan beberapa contoh bahwa mereka oleh
para kasta-atas ditemukan dalam hutan rimba, dalam jurang-jurang atau bahkan di bawah tanah,
dan bahwa mereka telah diajarkan hidup dalam keteraturan bermasyarakat dan caranya
meningkatkan taraf hidupnya. Tetapi mereka sekaligus ditaklukkan.
Adapun para pesuruh-pelayan telah didatangkan dari Papua dan ada juga yang keturunan
dari tawanan perang. Sudah barang tentu suatu daftar keturunan untuk kasta-bawah sama sekali
tidak dianggap penting.
Warga kasta-atas menghina mereka yang kasta lebih rendah; hal itu sering dapat dilihat
dalam sumpah, sebagaimana dibahas dalam legenda-legenda ini. Sebagai ilustrasi dari pandangan
ini, saya dapat menceritakan begini. Dalam parokiku telah meninggal seorang suruhan yang
beragama katolik. Seorang kasta-atas, yang baru saja menjadi calon-baptis, mendatangiku dan
bertanya:
“Tuan, sekarang jiwa almarhum itu ada di mana?”
“Nah, kita berharap dia ada di surga”, jawabku.
Orang itupun menjawab, “Di surga, tuan, di surga?... Dia toh hanya seorang budak?”
Karena itu, legenda-legenda ini hanya berkisar pada keluarga-keluarga kasta-atas; hanya
sewaktu-waktu dan sepintas lalu disebut-sebut beberapa keluarga orang kasta-tengah.
Dalam menelusuri legenda-legenda ini, pembaca tidak disuguhi dengan sastra berbobot.
Namun acapkali tak jarang pembaca akan kaget akan fantasi polos dari bangsa ini, yang sangat
sederhana hidupnya.
Pembaca tentu saja sewaktu-waktu akan menemui hal-hal dan situasi-situasi yang perlu
dijelaskan. Karena itu di sana-sini kami telah membubuhkan penjelasan singkat, yang diharapkan
akan cukup menjelaskan. Untuk suatu uraian yang lebih panjang-lebar, terutama menyangkut
hidup masyarakat Kei, kami menunjuk pada buku kami berjudul Uit een Vreemde Wereld (Dari
suatu Dunia Asing, selanjutnya disingkatkan U.e.v.W).

8
Buku yang kami sodorkan ini tidak memuat semua legenda dan ceritera Kei. Dalam buku
Uit een Vreemde Wereld dapat ditemukan beberapa legenda, yang tidak dimuat dalam buku ini.
Demi suatu batasan yang wajar, kami membuat seleksi atas semua cerita yang tersedia. Akan
tetapi kami berharap bahwa apa yang kami sajikan di sini cukup memberikan informasi bagi
pembaca akan sastra-tak-tertulis bangsa ini.
Adapun terjemahan dari bahasa Kei ke dalam bahasa Belanda, kami telah berusaha untuk
mengikuti bahasa Kei seteliti mungkin, meskipun tanpa menerjemahkannya seara harafiah kata-
demi-kata; hal ini supaya lebih enak dibaca. Jadi kami mengutamakan arti dan isi daripada huruf.

Merauke, 12 Februari 1923

H. GEURTJENS M.S.C.

9
DAFTAR ISI

Sambutan
Pendahuluan
Daftar Isi
BAGIAN I
1 Ai Ngam Sorngai………………………………………………………………………………………………. 11
2 Kisah Ngimas…………………………………………………………………………………………………… 17
3 Kisah Kodok…………………………………………………………………………………………………….. 20
4 Ikan Paus dan Ikan Luma-lumba………………………………………………………………………. 28
5 Raja dan Tujuh Putri………………………………………………………………………………………… 34
6 Putri Bulan Bernam dan Kapten Adan………………………………………………………………. 43
7 Kisah Boketsin………………………………………………………………………………………………… 50
8 Il Sukot Orang Seram dan Wurdadanfit…………………………………………………………….. 57
9 Sang Putri dan Tujuh Saudaranya…………………………………………………………………….. 67
10 Putri Watreew dan Watsin dari Kitwat di Pesisir Timur…………………………………….. 70
11 Putri Jenun dan Komwain………………………………………………………………………………… 76
12 Perempuan Saleh dan Perempuan Jahat……………………………………………………………. 83
13 Raja Beristri Tujuh…………………………………………………………………………………………… 87
14 Dua Orang Perempuan…………………………………………………………………………………….. 91
15 Dua Anak Yatim-piatu……………………………………………………………………………………… 95
16 Kadal Emas……………………………………………………………………………………………………… 99
17 Raja dan Istrinya Watwarin……………………………………………………………………………… 107
18 Putra Raja yang Bodoh……………………………………………………………………………………... 115
19 Kisah Siput Gurdi…………………………………………………………………………………………….. 128
20 Si Miskin………………………………………………………………………………………………………….. 135
21 Manusia Setengah……………………………………………………………………………………………. 145
22 Baat dan Nenyai………………………………………………………………………………………………. 150
23 Kisan Gigi Emas dari Ohoilean………………………………………………………………………….. 153
24 Kisah Benuas…………………………………………………………………………………………………… 157
BAGIAN II
25 Sejarah Desa Ngilngof………………………………………………………………………………………. 167
26 Sejarah Desa Haar……………………………………………………………………………………………. 173
27 Sejarah Desa Hian……………………………………………………………………………………………. 183
28 Sejarah Mata Rumah Welerubun………………………………………………………………………. 188
29 Sejarah Desa Hollat………………………………………………………………………………………….. 189
30 Sejarah Tual…………………………………………………………………………………………………….. 193
31 Sejarah Marga Lefaan dan Marga Retob…………………………………………………………….. 195
32 Perang Lorlim dan Ursiuw……………………………………………………………………………….. 197
33 Sejarah Desa Ohoililir………………………………………………………………………………………. 201
34 Sejarah Desa Ohoililir (versi lain) ……………………………………………………………………. 205
35 Sejarah Marga Maturan……………………………………………………………………………………. 208
36 Sejarah Marga Watraatan dan Marga Ohoiwutun………………………………………………. 209
37 Sejarah Hayeew………………………………………………………………………………………………. 210
38 Kisah Penyu Raksasa……………………………………………………………………………………….. 212

10
39 Sejarah Padi…………………………………………………………………………………………………….. 217

11
BAGIAN I

12
Kidin 1

AI NGAM SORNGAI

Ada seorang gadis bernama Watwarin.1 Dia mempunyai enam kakak perempuan. Pada
suatu hari mereka berenam memarut buah-buah kelapa, sebanyak tujuh batok, untuk digunakan
saat mandi di laut. Seekor ikan kecil melompat masuk ke dalam batok gadis sulung. Gadis itu
berkata: “Semoga hantu-hantu menghancurkannya, ikan ini tidak berguna sedikit pun”. Lalu ia
membuang ikan itu. Ikan kecil itu lalu meloncat masuk ke dalam batok dari masing-masing lima
gadis yang lain itu, tetapi mereka semua memandang remeh ikan kecil itu dan membuangnya.
Akhirnya ikan itu melompat masuk ke dalam batok kelapa milik gadis bungsu. Maka Watwarin
berkata: “Biar cuma seekor ikan, aku menerima dia sebagai suami dan akan menikahi dia”.
Dan beginilah ceritanya!– Dia membawa pulang ikan kecil itu dan memasukkannya ke
dalam sebuah pasu. Tak lama kemudian pasu itu menjadi terlalu kecil (karena ikan itu bertumbuh
dengan cepat sekali). Ukuran ikan itu tidak cukup lagi untuk pasu itu. Maka Watwarin mengambil
sebuah sampan, dan membuat ikan itu berenang di dalamnya. Pada malam hari, ikan itu berubah
menjadi seorang manusia dan tidur bersama Watwarin. Keenam kakaknya mendengar suara
orang, yang berbicara di dalam kamar Watwarin, dan mengintainya. Mereka melihat bahwa ikan
itu sudah berubah menjadi seorang manusia. Dengan kaget dan kagum mereka memperhatikan
betapa tampan Anak muda itu. Maka mereka pun merasa iri hati dan cemburu terhadap
Watwarin. Adapun nama ikan itu adalah Ai Ngam Sorngai.2
Pada suatu hari mereka berkata kepada Watwarin: “Ayo, mari kita pergi pemiri kebun
kita. Tetapi alangkah baiknya engkau tinggal di rumah untuk memasak, lalu kami bersama Ai
Ngam Sorngai akan potong kayu api dan pemiri kebun”.
Mereka memotong kayu api, udara sangat panas. Mereka semua berkeringat dan
membuka kebaya mereka masing-masing, yang kemudian mereka gantunkan pada sebuah dahan
pohon di tengah-tengah kebun; mereka menyembunyikan rerumputan sihir di dalamnya, supaya
siapa pun yang menyentuhnya akan mati.
Setelah kayu api menjadi kering, mereka berenam menyalakan api dan membakar kebun
sekelilingnya.
Seketika api itu berkobar di mana-mana, mereka berseru kepada Ai Ngam Sorngai: “Aduh,
Ai Ngam Sorngai, di tengah kebun tergantung kebaya-kebaya kami. Cepat, ambillah, supaya
jangan terbakar!”
Ai Ngam Sorngai berlari secepat-cepatnya, tetapi ia terkurung oleh api, sehinga ia
terbakar dan meninggal.
Dan beginilah ceritanya! – Mereka pulang, dan Watwarin bertanya: “Di mana Ai Ngam
Sorngai?”

1 Nama Watwarin sering dipakai dalam cerita-cerita ini; kata ini sendiri berarti gadis bungsu.
2Tidak dapat dipastikan arti nama Ai Ngam Sorngai. Ai: kayu; Ngam mungkin sama artinya dengan agam :
agama; Sorngai: surga.

13
Mereka menjawab: “Kami tidak tahu. Dia berjalan mendahului kami. Aapakah Ia belum
pulang? Mungkin ia pergi ke tempat lain”.
Berkatalah Watwarin: “Bukan begitu; kamu berbohong. Kamu telah membunuh dia,
membakar dia, karena kalian cemburu!”
Lalu Watwarin berjalan ke kebun, di mana ia berusaha mencari suaminya, tetapi ia sudah
terbakar hingga menjadi abu.
Maka berdoalah Watwarin, dan perlahan-lahan abu itu bersatu kembali. Dia melanjutkan
doanya, maka anggota-anggota tubuhnya memulihkan diri. Lagi ia berdoa, dan tubuh itu mulai
bergerak. Lama sekali ia berdoa, sampai Ai Ngam Sorngai hidup kembali seluruhnya.
Dan mereka pulang ke kampung mereka.
Dan beginilah ceritanya!– Kembali keenam bersaudara perempuan itu cemburu terhadap
adiknya dan berkata: “Baiklah kau tinggal saja di rumah, sedangkan kami bersama Ai Ngam
Sorngai pergi memancing”.
Maka mereka pun pergi dan Ai Ngam Sorngai mendayung perahu mereka. Ketika mereka
sampai di tengah laut yang dalam, mereka berenam menjatuhkan parang-parang mereka masing-
masing ke dalam laut.
Berpura-pura terkejut, mereka melompat berdiri dan berseru: “Ai Ngam Sorngai, parang-
parang kami telah jatuh ke dalam laut. Mohon menyelam dan ambillah parang-parang kami itu”.
Ai Ngam Sorngai menyelam untuk memungut parang-parang itu.
Tetapi keenam perempuan itu mendayung keluar dari tempat itu, sambil berpikir: sudah
pasti Ai Ngam Sorngai mati lemas di dalam laut.
Tetapi Ai Ngam Sorngai, setelah menemukan parang-parang itu, berenang ke darat dan
memberi parang-parang itu kepada Watwarin; lalu ia menyembunyikannya.
Ketika pada malam hari kakak-kakaknya pulang, Watwarin bertanya: “Di mana Ai Ngam
Sorngai?”
Jawab mereka: “Kami tidak tahu; mungkin dia akan menyusul”.
Dan beginilah ceritanya!– Kebencian keenam kakak isterinya terhadapnya sangat
menyedihkan Ai Ngam Sorngai. Maka ia berkata kepada Watwarin: “Karena keadaan demikian,
saya akan bergabung dengan roh-roh halus; nanti suatu waktu saya akan kembali”.
Lalu Watwarin memasak nasi baginya, supaya ia makan. Sehabis makan ia berangkat. Ia
berjalan lewat pantai.
Setelah ia pergi, Watwarin sangat bersedih hati, maka ia pun menyusulnya.
Lewat tanjung pertama, ia belum melihat dia; sesudah tanjung kedua pun ia belum
melihat dia juga; baru lewat tanjung ketiga, ia melihat dia, lalu mengeluh katanya:
“Mengapa aku kauperlakukan begitu jelek? Bukankah aku tidak melakukan sesuatu yang
jahat terhadapmu! Jangan memperlakukanku begitu. Dan tunggui daku”.
Suaminya belum mendengarkannya, maka sekali lagi ia berkeluh, sampai akhirnya ia
menoleh dan memperhatikan isterinya, lalu isterinya itu berkeluh lagi katanya:
“Engkaulah raja kami di dunia ini!
Keenam kakakku (adalah orang jahat)!
Dan engkau pun membuat aku menderita dengan begitu berat!
Kembalilah kepadaku!

14
Aku pun kembali . . .”
Ketika itu ia menunggui isterinya. Ketika isterinya itu sampai padanya, mereka duduk
bersama dan mulai saling mencari kutu.3
Sementara Watwarin dicarikan kutu, ia tertidur. Maka Ai Ngam Sorngai
membaringkannya di atas pasir, lalu melanjutkan perjalanannya.
Ketika mulai air pasang, air membasahi Watwarin, ia pun terbangun, tetapi ia tidak
melihat lagi suaminya. Sambil berkeluh-kesah ia mengikutinya. Setelah lewat satu tanjung, ia
belum melihatnya; lewat tanjung kedua pun ia belum melihatnya; setelah lewat lagi satu tanjung,
barulah ia melihatnya, lalu ia mengeluh katanya:
“Mengapa aku diperlakukan olehmu dengan begitu jelek? Bukankah aku tidak melakukan
sesuatu yang jahat terhadapmu! Jangan perlakukan aku demikian. Dan tunggui aku”.
Tangisannya tidak didengar oleh Ai Ngam Sorngai. Maka ia berkeluh-kesah sekali lagi,
tetapi belum didengar juga. Ia pun mengulangi satu kali tangisannya, barulah Ai Ngam Sorngai
menoleh dan ia memperhatikan isterinya. Ia tinggal berdiri menantikan isterinya. Mereka
melanjutkan perjalanan bersama-sama.
Mereka melewati sebuah tanjung, satu lagi dan satu lagi; akhirnya mereka tiba di sebuah
selat yang lebar, yang memisahkan dunia roh-roh dari dunia biasa.
Dalam air itu terdapat amat banyak ular dan buaya untuk menghalangi orang untuk
menyeberang di situ.
Sambil mengutuk diri, Ai Ngam Sorngai berkata: “Jika aku seorang manusia kasta-rendah,
seorang budak atau telah berdosa4, hendaklah binatang-bintang ini tetap berjaga di sini; tetapi
jika aku seorang penting dari kasta-atas, hendaklah semuanya menghilang, supaya aku bisa
menyeberang”.
Dan tiba-tiba semua binatang itu menghilang. Ai Ngam Sorngai mengubah Watwarin
menjadi sebutir telur, membungkus telur itu dalam sarongnya, lalu berjalan ke seberang, ke
negeri roh-roh.
Di pantai seberang ternyata terdapat banyak babi. Tiada orang berani lewat di situ.
Seluruh pantai bagaikan sebuah bala tentara babi-babi. Mereka disumpahinya, lalu ia
melanjutkan perjalanannya.
Lebih jauh sedikit, jalannya dihalangi oleh amat banyak anjing, yang menggonggong
keras. Tidak ada orang berani lewat di situ.
Selalu saja ada yang mau menghalangi, tetapi ia mengutuki anjing-anjing itu, lalu larilah
mereka. Ia melanjutkan perjalanannya dan melihat sebuah kampung.
Dan beginilah ceritanya!– Ketika ia mendekati kampung itu, ia mengubah Watwarin
menjadi seorang perempuan Papua. Ketika mereka sampai di kampung itu, para penduduk
menawarkan sirih-pinang kepada mereka. Tetapi mereka menolak. Namun akhirnya ada
seseorang menawarkan kepada mereka sirih-pinang yang kurang bermutu, dan mereka
menerimanya.

3 Salingmencari kutu di Kei dianggap sebagai bantuan biasa antar kawan, lagi pula sering dianggap sebagai
suatu cara untuk iseng-iseng mengisi waktu secara berguna.
4 Dosa ialah pelanggaran adat.

15
Kemudian mereka pergi ke kampung berikutnya. Mereka disuguhi dengan sirih-pinang
dan duduk menikmatinya bersama para penduduk. Para penduduk itu mengira bahwa Watwarin
adalah seorang perempuan Papua, maka mereka menyuruhnya mengangkat sebuah gayung dan
sebuah tempayan besar untuk pergi menimba air.
Namun hal ini membuat Ai Ngam Sorngai menjadi marah sekali. Ia menghancurkan
tempayan dan gayung itu, dan mengubahkan kembali Watwarin menjadi seorang puteri raja yang
cantik.
Ketika roh-roh itu memperhatikan betapa cantiknya Watwarin, mereka menjadi takut
dan berkata: “Mengapa engkau menipu kami? Kami mengira bahwa Watwarin adalah seorang
perempuan Papua dan kami sangka bahwa ia termasuk kasta-rendah dan budak saudara.5
Seandainya kami mengetahui bahwa dia keturunan agung dan isteri saudara, maka tak seorang
pun di antara kami telah berani memperlakukannya demikian. Jadi, mohon jangan marah“.
Mereka lalu bersatu dalam persahabatan, dan mereka berdua untuk selamanya menetap di negeri
roh-roh itu.
Dengan demikian berakhirlah kisah ini.

--------------------

Tomat wat ain, meman Watwarin, ni an hir neyan. Leran hir neyan ertar nur taw enfit,
for erba enluruk na’a tahit. Edbo ladlid kot ain nesohok rat en an ni taw. En i nanar: nit rir wang
afa sisian bail i ! enwatuk ladlid i, hir resngan bisa, erwatuk bisa ladlid kot i. Edbo famur nesohok-
rat wel en warin ni taaw wuk. Watwarin i nanar: ladlid liklak te bebe, u taha rehe fo hong fo ufaw
Sar tomtom labo ! Enwarti ni rahan ladlid bo, en ot enloi veng ain. Mangmang veng nafdeen,
(ladlid enmel ngihenli waid) enrehe wuk veng mele, ma watwarin entaha nie lebleb ain, ain. Edbo
dede ladlid enil fo umat, hiru watwarin ertub. Ni an erdenar mang erdok nangrehi na watwarin nie
rein ma, erkanak i. Hir matar erlek ladlid i en ot il’uk fo umat. Erfarnehe er ot wahar matan ental
kot i felan bokbokli rehe. Hir raan endir ma refhangir laai li watwarin. I bo ladlid i meman Ai Ngam
Sorngai.
Leran hir ernar we watwarin: am bisa mafnge de? O omdok umat uran, amis Ai Ngam
Sorngai am ot ai, am mafnge did wee.
Ed bo hir er ot ai ma, ler la’ai male rebrat bisa ma erlauk bisa rawit erfakloi na ai hanga
ain endir wee afruan, erfakfunin bisa bedbod na’a, fo er ot fo mang erken, ermat.
Ed bo yaf en urun la’ai ruk, hir erwoo Ai Ngam Sorngai, nanar: Ai Ngam Sorngai uy ! umlaik
mam rawit erloi hoba wuv wee raan, matak yaf ental he, mufla ngihen t’umhauk. Ai Ngam Sorngai
nafla ma, yaf en urun daang ruk, ental wuk i, ma enmat.
Sar tomtom labo! Hir eril rahan watwarin enhorak. Ai Ngam Sorngai i be?
Hir ernar: betkai, amkai waid; i enba ul ruk ja, i enil hob bo… wukun enba un laen wel te bebe?
Watwarin nanar: waid, imweang he, imfedan, imawun i, utin mifngahir i.
Ed bo watwarin nafla su wee, enliik hauk ni hon, enit ma, en il ruk fo yaf teen.
Watwarin endok nasbur be, mangmang yaf teen nafkanimun ruk. Entaba nasbur wel ma, yan liman
bisa er il ruk. Nasbur welma, mangmang enwilunruk. Nasbur wel amnanatli, sar te enwaitil wel

5Terbanyak budak di Kei adalah keturunan orang Papua. Sedikitnya dapat dikatakan bahwa semua orang
Papua di Kei adalah orang budak.

16
Ed bo hiru eril fa rir ohoi.
Sar tomtom labo ! watwarin ni an hirneyan rafngahir wel i ma, ernar: O umdok bo, amis Ai Ngam
Sorngai enleek waha habo bo, sar te erho ruk lahetan. Hirneyan bisa erhilik rir nger enlek su tahit
Waawn fabreng erdir namhidik ernar: Ai Ngam Sorngai, mam ngir enleek su tahit ya! musew,
sumhauk il mam ngir.
Ai Ngan Sorngai nasew, enhauk nger.
Edbo wat hir neyan erwehe rehe, erfangnan: Tunanli, Ai Ngam Sorngai, enmat ruk na nuhutil roa
Edbo Ai Ngam Sorngai enit nger bisa ruk nanang ti nangan, na’a nger we ni watwarin ma, i
enfakwunin.
Ler wohan watwarin ni an er il ma, enhorak :Ai Ngam Sorngai i be?
Hir ernar: Amkai waid matak i enba mur te bebe.
Sar tomtom labo ! Ai Ngam Sorngai raan sus la’ai ni hon ni an bisa ermahau laili i, nanar we
watwarin:felenhe, ya’au u il ruk fo nit, tiok, famur u il wel u do.
I bo Watwarin envaik kokat i na’an
Na’an wail ruk afa, ma enba.
Enba enhi miet. Emtawun ruk bo, watwarin endok enfangnanli ma, enba wuk norang.
Enba, enyal lair ain, enit waid: enyal wel lair ain, enit waid; enyal wel lair ain ma, enit. Enit bo
enroon.
Umat yau sisian whid eh!
Umtiok yau te!
Barenran endenar hob, edbo enron wel, sar te entamur, enit ni
I wel te ensikar wuk :
Did rat Dunyai o he!
Ang hirneyan oh!
Umat yau sus ‘uk ho!
Um il wer yau oh!
U il . . .
Fell endir entiok, enwat enma wak. Enma, hiru erdok, ain enhil ain ni ut.
Edbo Ai Ngam Sorngai enhil Watwarin ni ut, e wat entubkin bo, en ot i suntub wirin ratan, enba wel.
Ruwat endok enes Watwarin, enbatar, en it ni hon waid ruk. Enfaangnanli wel, enba norang wel.
Enyal liar ain wel ma, enit ma, enroon wel:
Umat yaw sisian aka eh!
Ya’au u ot sisian waid oh!
Um ot ya’au sisian waid eh!
Um tiok ya’au te!
Enroon ma, enberan endenar waid; enroon faa wel ma, endir wel entiok i. Hiru erba famehe wel.
Eryal lair ain, ain wel, ain wel, sar hor lai nenyelak wain nit rir.
Na hor i robai, uvrek, uve bisa enloi angledlibo, fo ni hira enlur na‘a wahid
Edbi Ai Ngam Sorngai entaroman: Lik yaw tomat sian, yaw iri te uwar ning dos afa, rubai meski
erloi tahit i, ertub erloi felenhe; betfel yaw tomat bok, melmel, hir erba tafrik, fo ulur.

17
Edbo rubai bisa erba tafrik rehe, Ai Ngam Sorngai enut Watwarin en il fo mantilur fatu, enwil i na
ni esbo, enlur rehe enti wain nit rir nuhu .
Na wirin i waf angledli naa, hira ni bran enho waid. Wirin kanimun bail wav nuut famehe wat. Edbo
entaroman wel ma enho naa.
Enba wel bo, yahau angledli ertub sir wel ded, nafruut i. Hira ni bran fo enho waid.
Enyoat sus wel uk male, entaroman wel bo, yahau rafla wirwaruk bisa.
Enho wel, enit ruk ohoi ain.
Sar tomtom labo! Enho len sir luk ohoi i, enut Watwarin enil fo tomat nisyaf. Hir erti ohoi, tomat
ohoi duan erot bukmam hir raknat; bail hir refenfen wat, sar hira ain entub enot bukmam sisian bo,
hir ra rehe.
Famur hir erba wel ohoi ain. Hiris ohoi duan erdok ermam afa, ihio duan erleik Watwarin waawn
tomat Nisyaf ma, nesno inan wer i wuk bo, er ot ub kare laili enhov ewan fo entaha enba enleek we.
Edbo Ai Ngam Sorngai enmeak laai, entai lawur rehe ub enhov ewan bisa, enot il wel Watwarin fo
tomat butri bokbok ain.
Falenhe nit erleik Watwarin bokbok bail i, hir erbobar ernar:
Umweang am fo aka? Amleik Watwarin bail tomat Nisyaf, amfangnan i asa sian, omu iri ain. Likfe
amkai i tomat lai wuk, omu hon i, hira ni bran fo enot waawni waid. Fel batang o raam sian wahid.
Hir refyan ma erdok hoba rehe nit rir ohoi.
Tum ni wahan ruk ja.

18
Kidin 2
KISAH NGIMAS

Dan beginilah ceritanya:


Pada suatu hari matahari ingin bersama isterinya, bulan,6 bepergian jauh-jauh, tetapi
anak mereka, bernama Ngimas7, mendesak supaya boleh ikut.
Matahari berkata: “Aku terlalu panas; alangkah baik engkau tetap di rumah saja; kalau
tidak, engkau bisa mati”.
Ngimas terus merengek-rengek, tetapi matahari tetap pada keputusannya. Namun
Ngimas meminta-minta terus-menerus, sehingga akhirnya matahari berkata: “Nah, Ngimas,
biarlah. Kalau engkau mati, aku tidak bertanggung jawab: itu kesalahanmu sendiri”.
Ngimas turut naik perahu matahari. Dia bergerser ke depan, bergeser ke belakang, tetapi
di mana-mana terasa panas-terik. Mereka menempatkan dia ke dalam sebuah pasu besar, tetapi
di situ ia pun nyaris mati karena panas.
Kemudian ia ditempatkan di atas kemudi. Tetapi begitu Ngimas duduk di atasnya, maka
ia hampir hangus pula. Dia bergeser mundur, lagi mundur, mundur, akhirnya ia jatuh.
Aduh! Dari langit ia jatuh ke tanah kita. Dia hampir mati, tetapi belum seluruhnya mati.
Dan beginilah ceritanya!– Ngimas telah jatuh di atas bumi dan merasa lapar. Dia
memperhatikan sebuah kebun, milik dua orang: seorang laki-laki bernama Skaltevron dan
isterinya bernama Karu.
Dalam kebun itu Ngimas melihat buah-buah pepaya yang sudah masak bergantungan. Ia
memetik dan memakannya. Ada juga pisang yang sudah masak, yang juga ia petik dan makan.
Ketika Skaltevron pergi meninjau pepaya-pepayanya, ia melihat bahwa sudah dipetik.
Tiap hari ia memantaunya, dan jelaslah, pepaya-pepaya itu telah dicuri!
Maka pada malam Skaltevron bersembunyi di kebun dan bernyanyi: ”Tu, tu, tu, tu, tu…
Aku, Skaltevron akan menangkap engkau!”
Ia tetap mengintai, tetapi tidak melihat seorang pun. Lain waktu ia datang dan berjaga
lagi, tetapi ia tak melihat seorang pun. Akhirnya, ketika ia bersembunyi dan mengintai lagi, ia
melihat Ngimas dan menangkapnya.
Dia bertanya: “Engkau dari mana?”
Jawab Ngimas: “Ayahku adalah matahari, dan ibuku adalah bulan. Mereka mau
mengadakan suatu perjalanan jauh dan aku mau ikut bersama mereka; tetapi ketika aku
menumpangi perahu mereka, aku merasa panas sekali. Maka aku duduk di ujung belakang di atas
kemudi, lalu jatuh.
Dan beginilah ceritanya!– Skaltevron memelihara Ngimas bagaikan anaknya sendiri.
Tetapi pada suatu hari, sementara Ngimas duduk menganyam sebuah tikar, dia menangis karena
teringat akan ketujuh saudaranya laki-laki serta ibunya, seluruhnya delapan orang, dan juga ia

6Dalam pengertian religius orang Kei, matahari dan bulan main peranan penting. Tetapi tidak pernah ada
pembicaraan tentang peranannya terhadap keajaiban-keajaiban alamiah dll.
7 Ngimas adalah nama untuk seorang perempuan.

19
teringat akan ayahnya, seluruhnya menjadi sembilan orang. Dan dia memohon supaya mereka
akan mengembalikannya kembali ke tempat kediaman matahari.
Seorang adik laki-laki mendengar keluh-kesahnya dan ia mengatakan kepada ayahnya,
matahari: “Ayah, aku mendengar suatu suara sepertinya suara kakak perempuanku Ngimas”.
Matahari menjawab: “Semoga setiap orang yang berani menyebut nama itu, direnggut
oleh Allah!”8
Ketika tak lama kemudian Ngimas duduk lagi menganyam tikarnya, dia berkeluh-kesah.
Adiknya yang tadinya sudah mendengarnya, kali ini mendengarnya lagi dan memberitahukan itu
kepada matahari. Tetapi matahari tidak mau mempercayai itu.
Kemudian, ketika Ngimas duduk menganyam tikarnya lagi, dia menangis karena teringat
akan ketujuh saudaranya laki-laki serta ibunya, seluruhnya delapan, dan juga ia teringat akan
ayahnya, seluruhnya menjadi sembilan. Dan dia memohon supaya mereka akan menaikkannya
kembali ke tempat kediaman matahari. Berkatalah adiknya lagi: “Dengarlah! Di bawah situ
terdengar suara, sepertinya suara Ngimas”.
Kali ini matahari pun mendengarnya dan berkata: “Sungguh, engkau benar”. Lalu mereka
menurunkan sebuah tangga tali.
Ngimas duduk di atasnya dan mereka menaikkannya ke atas. Karu dan Skaltevron, yang
melihat Ngimas naik ke atas, melompat mau menyusul dia, tetapi Ngimas sudah diluar jangkauan.
Bapa Matahari sudah mendapatkan kembali puterinya Ngimas. Karu dan Skaltevron tidak
melihat dia lagi dan menangis.
Ini hanya sebuah cerita pendek, dan sudah selesai.

--------------------

Sar tomtom labo! Leran faa ler hiru hon wuan erhawk erhoba ma, ni yanan Ngimas enron fa enhov
wuk.
Ler nanar: Yaw ufroran bail i mele;umdok teno, edbo Ngimas i enher tuang rehe male; falenhe ler i
nanar; Feli Ngimas entav mu suksuk wat, fel umwat hira enher yaaw waid, o he.
Ngimas enrat wuk ler ni habo ma, enti u, roran lai, ensak mur, roran lai: erut suntub ngus raan ma,
roran lai wel; wukun enmat ruk he.
Felenhe erut i eunduk uwilin. Edbo Ngimas enduk habat uwilinwuk hub, nafroranlali wel ma, ensur
ro, ensur ro, ensur ro, famehe enlek su rehe.
Deddo! Enlek ma, entav lanit enlek su did nuhu ya! Wukun enmat: enmat waid he: I haling rehe.
Sar tomtom labo! Ngimas enlek su ruk bum i be, neblafar. Enit wee ain tomat enru rir:ko beranran
ain meman Skaltevron, en vat i meman karu.
Edbo kot Ngimas enit wee i, kustel wowar enloi, enaha, naan. Muu wel te enloi wowar, enaha, naa.
Edbo Skaltevron enba entaang ni kustel, enit mang eraha ruk: hamar entaang, mang erbor, hamar
entaang, mang erbor..

8 Menyebutkan nama orang yang tidak hadir, dipandang sebagai semacam kutukan. Apalagi dalam situasi
ini mereka menghadapi pelbagai bahaya, dan dengan demikian dengan mudah dapat menjadi mangsa roh-
roh jahat yang cemburu. Maka dengan menyebut nama orang yang tak hadir, perhatian roh-roh itu dapat
ditujukan kepada mereka.

20
Felenhe dedan Skaltevron enduk enwatar bo, enhuv i ensikar :
Tu,tu,tu,tu,tu… Skaltevron ua hu! (?)
Enwatar ma, enit hira waid ; enwatar wel, enit hira waid.
Famur enwatar wel bo, enit wuk Ngimas ma, entaha i.
Enhorak: O ental be?
Ngimas nanar: Yamang Ler, renan wuan, erhoba bo, yaaw udok habo ma ufroran; i bo udok uwilin
mur rehe ma, ulek rehe usu.
Sar tomtom labo! Skaltevron entood Ngimas sak Yanan. Entood ma, leran wuk Ngimas endok
enanan dar, enroon ni uran hirfit, enhov ni renan hirwow, enhov wel ni yaman hirsiw, fo enfar i’ i
wel fo ler dukduk.
Enroon ma, ni uran kot ain enfatlin, nanar we ni yaman ler mam he mam he, hira ain wion fel urang
Ngimas he!
Ler nanar: Duadni wang enbebe endeeng meman bail enhe!
Famur Ngimas enduk enanan ni dar, enroon wel. Ni uran kot enfatlin lainle, endenar wel, nanar tul
wel we ler ma, ler enwat rehe waid.
Faa wel Ngimas enduk enanan ni dar, enron wel ni uran hirfit, enhov ni renan hirwow, enhov wel ni
Yaman hirsiw, fo enfaril i wel fo ler dukduk. Ni uran kot nanar wel: Ah ! afa wion waawn Ngimas
lelan he!
Fieng enhe ler wel te endenar wuk, nanar: oho waid aka, umnar ken. Eril bo erhilik raw tuktuk enhov
ai saval.
Edbo, Ngimas enduk ai saval ratan, enfair il i, enrat. Karu hiru Skaltevron erit Ngimas enrat, erohok
norang bo, erohok naa waid. Jaman ler entaha ken wel ruk ni yanan Ngimas. Karu hiru Skaltevron
erit wel waid rak ma, eron.
Tum kut bo, wahan ruk he.

21
Kidin 3
KISAH KODOK

Ada seorang ibu yang sudah tua, yang mempunyai tujuh orang putra, enam di antara
mereka adalah manusia, tetapi yang bungsu adalah seekor kodok. Ibu itu serta semua anaknya
mengenyahkan si kodok itu, sehingga akhirnya ia tinggal sendirian dan hidup dalam kemiskinan.
Keenam kakaknya mengerjakan sebuah perahu. Dengan perahu itu mereka ingin pergi
berdagang. Si kodok pergi ke ibunya dan berkata: “Aku pun mau pergi berdagang”.
Jawablah ibunya: “Engkau? Engkau kan seekor kodok! Bagaimana mungkin engkau mau
pergi berdagang? Tinggal saja di rumah!”
Beberapa waktu kemudian, si kodok sekali lagi menyampaikan permintaannya, tetapi
ibunya tidak menanggapinya.
Ketika kakak-kakaknya siap berangkat, si kodok mengulangi sekali lagi permohonannya.
Ibunya berkata: “Bagaimana mungkin kau ikut, kau ’kan tidak mempunyai bekal.”
Si kodok menjawab: “Tidak mengapa. Entah nanti aku hidup atau mati, itu urusanku
sendiri: cukuplah ibu memberi aku sebuah labu sebagai bekal”.
Dan beginilah ceritanya! –Mereka bertujuh berangkat, tetapi pada saat hendak
membentangkan layar, mereka bertanya diri: siapa akan menarik tali lewat lobang pada tiang? 9
Angin bertiup keras, dan tidak ada yang berani naik tiang itu. Lalu si kodok berkata: “Aku
akan membuatnya, aku berani”. Si kodok itu naik, menarik tali lewat lobang di tiang dan serentak
melihat di kejauhan sebuah pulau.
Mereka berlayar menuju pulau itu. Keenam bersaudara berkata kepada si kodok: “Jika
mau, kau boleh menunggu di pulau ini; kami akan menjemput engkau pada waktu kami pulang”.
Si kodok berkata: “Entah ya. Baiklah kamu yang putuskan. Kalau kamu mau supaya aku
menunggu di sini, maka aku akan tinggal. Tetapi kalau kamu mau supaya aku ikut dengan kamu,
maka aku ikut”.
Maka mereka pesan supaya dia tinggal saja di pulau itu. Maka si kodok tinggal di pulau itu
seorang diri. Tiada orang lain tinggal di situ.
Si kodok lalu membuka sebuah kebun, tetapi lantaran ia tidak mempunyai buah apa pun,
maka ia membelah labunya dan menaburkan biji-biji yang terdapat di dalamnya.
Labu itu menghasilkan amat banyak buah, maka ia membangun sebuah gubuk untuk
menyimpan buah-buah itu.

9 Layar yang dipakai di sini, adalah sebuah layar Seram. Layar itu berbentuk persegi panjang. Dewasa ini
layar itu makin sering dibuat dari kain, tetapi dulu dikerjakan dari serat kulit pohon yang berasal dari
Seram dan dianyam. Pada kedua sisi panjang dipasang bambu, dan pada bambu yang teratas diikat tali
untuk membentangkan layar. Pada ujung-atas tiang yang agak pendek itu terdapatlah sebuah lobang yang
memanjang, kadang-kadang diperlengkapi dengan sebuah katrol. Tali harus dimasukkan lewat lobang itu
untuk bisa menaikkan layar.

22
Dan beginilah ceritanya! – Di pulau itu terdapatlah juga sebatang pohon beringin: tiada
pohon-pohon lain. Di dalam pohon beringin itu tinggal seorang roh, 10 yang mencuri labu-labu
milik si kodok itu.
Berkatalah si kodok: “Aduh! Aku seorang diri di pulau ini; siapa gerangan yang mencuri
labu-labuku?”
Dan malam hari ia menjaga labu-labunya, karena ternyata dicuri.
Tengah malam datanglah roh itu dan memetik sebuah labu. Si kodok menangkap dia.11
Roh itu merasa malu dan berkata: “Mohon lepaskan aku, maka kau akan kujadikan kaya”.
Si kodok berkata: “Jangan harap!”
Kata roh itu: “Sebut saja apa yang kau inginkan”.
Si kodok berkata: “Aku minta parangmu. Jika engkau memberikannya kepadaku, aku akan
melepaskan engkau”.
Sebenarnya roh itu berkeberatan, tetapi si kodok mendesak, dan akhirnya roh itu
menyerahkan parang itu seraya berkata: “Ada keistimewaan pada parang ini: bila mengetuk-
ngetuknya dengan jari, maka dengan sendirinya tampillah emas, pakaian, piring-piring dan
berbagai barang lain”.
Si kodok menjawab: “Baiklah. Kalau begitu, aku hadiahkan kepadamu seluruh kebunku,
dan engkau boleh makan semua labu yang terdapat di situ”.
Dan beginilah sejarahnya! – Keenam kakak si kodok sementara daalm perjalanan pulang,
tetapi mereka tidak singgah di pulau tempat dia tinggal. Tetapi si kodok melihat perahu itu
berlayar dan mengetuk-ngetuk parangnya. Dengan segera angin berhenti bertiup; mereka tidak
dapat berlayar lagi, dan perahu terapung saja di laut.
Keenam bersaudara di perahu bertanya diri: “Apa yang membuat angin tiba-tiba berhenti
bertiup?”
Salah satunya menjawab: “Itu dibuat oleh si kodok yang telah tertinggal di pulau itu”.
Berkatalah mereka: “Kalau begitu, mari kita berlayar kembali untuk menjemput si kodok”.
Maka mereka menjemput si kodok; dia itu naik perahu itu, dan bersama-sama mereka berlayar
pulang ke kampung mereka.
Setelah tiba kembali, mereka mengadakan pesta besar. Mereka membongkar muatan
perahu itu: emas, piring-piring, sarong-sarong, senapan-senapan dan macam-macam barang lain.
Cuma si kodok tidak mempunyai apa-apa dan ia pergi menyembunyikan parangnya.
Ibunya bertanya: “Ayo, kodok, oleh-oleh apa yang telah kaubawa untuk aku? Engkau tidak
membawa apa-apa. Kau tidak merasa malukah? Kenapa tidak tinggal saja di sini, seperti waktu
itu kunasehati; engkau nekad mau pergi dan telah pergi, tetapi percuma saja. Kau tidak mau
mendengarkan aku”.
Si kodok menjawab: “Kalau itu salah, maka akulah yang bersalah, tidak ada orang yang
memaksaku. Bebannya kupikul sendiri”.
Pagi-pagi benar, si kodok berkata kepada ibunya: “Ibu?”

10 Roh itu adalah roh dim, diturunkan dari bahasa Melayu Jin. Walaupun sebetulnya dengan istilah ini
dimaksudkan roh dalam arti umum, tetapi dalam bahasa Kei kata dim hanya dipakai untuk seorang roh
jahat.
11 Harafiah: ia menangkap dia pada kemaluannya.

23
Berkatalah ibu: “Ada apa?”
Si kodok berkata: “Ibu harus pergi mandi”.
Berkata lagi ibu itu: “Adapun mandi memang gampang, tetapi aku tidak mempunyai
sarong pengganti”.12
Si kodok lagi sekali mengulangi suruhannya, tetapi ibunya berkata: “Kalau sarongku
basah, apa yang harus kupakai?”
Si kodok sekali lagi pesan hal yang sama dan berkata: “Tidak menjadi masalah. Ibu pergi
saja. Nanti kita lihat”.
Maka ia pergi mandi. Sesampai di laut, ia membasuh sarongnya. Aduh, ternyata kotor
sekali! Ah, ah, ah, ah. Semua ikan tercekik oleh kotoran yang keluar dari sarong itu.
Sementara ibunya menjauhkan diri, si kodok mengetuk-ngetuk parangnya, lalu
muncullah sarong-sarong, kebaya-kebaya, selendang-selendang, kasut dan berbagai barang lain.
Ketika ibunya kembali, berkatalah si kodok: “Ibu, mari datang berpakai”. – Perempuan itu
kaget atas segala barang yang telah dibawa datang baginya oleh si kodok.
Setelah ia berpakai, si kodok berkata: “Ibu?”
Dia berkata: “Ada apa?”
Si kodok berkata: “Aku minta Ibu pergi ke bapak raja dan meminta bagiku salah satu di
antara puteri-puterinya, supaya aku kawin dengannya”.
Berkatalah ibu itu: “Aduh, kodokku! Betapa berani meminta hal demikian! Seorang puteri
raja? Jangan, aku tidak berani”.
Si kodok berkata: “Kenapa tidak? Pergi saja!”
Dan perempuan itu pergi untuk meminta puteri raja bagi anaknya.
Berkatalah raja: “Seekor kodok sebagai anak mantu? Sungguh itu hal baru! Sebaiknya
engkau sendirilah yang mendekati puteri-puteriku: supaya mereka sendirilah yang
memutuskan”.
Ketujuh puteri raja berkata: “Astaga! Seekor kodok! Semoga Allah jemput kodok yang
jorok itu!” Mereka semua menolak dan perginya ibu itu disertai ludah mereka.
Dengan rasa malu ia pulang dan melapor kepada si kodok apa yang telah terjadi.
Si kodok berkata: “Tidak mengapa. Coba lagi satu kali, mungkin toh salah satu di antara
mereka yang setuju. Maka ibunya pergi mencoba lagi, tetapi dengan jijik mereka meludahi dia
lagi.
Si kodok berkata: “Sekalipun mereka merasa jijik terhadap aku juga, namun coba minta
lagi satu kali”.
Dan lagi satu kali perempuan itu pergi melamar seorang puteri raja bagi si kodok.
Enam masih nekad menolak, tetapi yang bungsu berkata: “Nah, betapa tolol dia jua, aku
terima.
Berkatalah raja: “Butri terima; baiklah, akan tetapi apakah ibu mampu juga membayar
harta kawin?”
Berkatalah si kodok: “Katakan saja bahwa kami mampu”.

12Karena orang perempuan masuk air dengan berpakaian sebuah sarong, dan pada kesempatan itu pun
langsung membasuh sarong itu, mereka membutuhkan lagi satu sarong sebagai ganti.

24
Berkatalah pula raja: “Nah, kalau begitu, taruhlah berurut-urut dari pintu rumahmu
sampai pintu rumahku meriam-meriam,13 gong-gong, dan pelbagai barang besar lain yang
berharga. Dan muatlah pendopo rumahku dengan emas merah, emas murni”.
Si kodok berkata: “Boleh saja. Tetapi kalau malam ini ada guntur dan kilat dan gerakan
bumi, jangan takut”.
Dan beginilah ceritanya! – Pada malam hari itu ada kilat dan guntur yang dahsyat! – Pagi-
pagi buta ibu si kodok itu pergi membangunkan semua orang di kampung, untuk datang melihat
semua harta yang telah dikumpulkannya: gong-gong, meriam-meriam, berbagai benda besar
yang berharga terletak dengan teratur mulai dari rumah si kodok sampai pintu rumah raja; dan
di pendopo-depan rumahnya terdapatlah sebuah tempayan penuh emas.
Raja mengadakan pesta perkawinan secara besar-besaran untuk Butri dan si kodok.
Akan tetapi keenam kakak perempuan Butri sangat iri hati. Mereka menempatkan si
kodok dalam sebuah pasu dan berkata: “Butri, suamimu ini tidak berarti apa-apa”.
Butri merasa malu dan menempatkan si kodok ke dalam kamarnya. Keenam kakaknya itu
tetap jengkel. Mereka menghidangkan banyak bahan makanan, yang dihabisi semuanya.
Tiap malam mereka mengintip-intip: ternyata si kodok berubah menjadi seorang
manusia dan menyantap makanan. Mereka pun memperhatikan bahwa si kodok tidur sendirian
di situ.
Tak lama kemudian mereka berkata kepada Butri: “Lagi dua hari kami pergi ke pesisir
timur untuk tutup sebuah rumah.14
Butri memberitahukan hal itu kepada si kodok. Dia lalu mengetuk parangnya, maka
muncullah amat banyak emas.
Butri menyiapkan bekal untuk si kodok dan menaruh dia ke dalam pasunya. Tetapi ketika
mereka sudah berangkat, si kodok berubah menjadi seorang manusia. Ia memasang pelana pada
seekor kuda, mengenakan celana dan openyas putih, dan menaikkan isterinya pula.
Orang-orang yang duduk di atas bubungan sambil menutupi rumah itu melihat dia
pertama dan berseru: “Seorang tuan penting sedang datang!”
Maka semua orang pergi meAnak mudasong kedatangannya dan menawarkan kepadanya
sirih-pinang yang bermutu, tetapi ia menolaknya; akan tetapi ketika Butri menawarkan sirih-
pinang kepadanya, ia menerimanya.
Kemudian ia pulang dan duduk dalam pasunya. Butri pun pulang dan memperhatikan
bahwa makanan belum disentuh. Pikirnya: barangkali ada seorang lain membawa datang
makanan baginya, maka bertanyalah dia kepada si kodok: “Siapa telah datang di sini?”
Jawab si kodok: “Aku tidak tahu”.
Baru mengertilah Butri bahwa tuan terhormat tadi adalah si kodok.

13 Seperti halnya dengan taring gajah di kepulauan Tanimbar, demikianlah di Kei benda-benda yang
terpenting untuk membayar harta kawin untuk pengantin wanita ialah meriam-meriam tembaga kecil,
yang banyak di antaranya masih dari zaman VOC. Nilai benda-benda ini – sama seperti benda-benda emas
dan taring gajah – ditetapkan sesuai dengan kebiasaan lokal. Pada umumnya berlaku: makin tua makin
berharga. Misalnya, taring gajah yang kelihatan sudah sangat usang dan pada dirinya sebetulnya tidak
mempunyai nilai lagi, namun di Tanimbar dinilai sangat berharga, tak mungkin dibayar dengan uang.
14 Menutup sebuah rumah di Kei selalu disertai perayaan meriah.

25
Dan beginilah ceritanya! – Dua hari kemudian Butri berangkat lagi dengan kakak-
kakaknya untuk membuat adat Kei.15 Si kodok mengetuk-ngetuk pada parangnya dan tampak lagi
emas amat banyak bagi Butri yang dapat dia bawa serta.
Butri menempatkan si kodok dalam pasunya dan membuat persediaan makanan baginya.
Tetapi ketika mereka semua telah berangkat, ia siapkan lagi kudanya dan menyusul mereka.
Setibanya di kampung itu, semua orang meAnak mudasong dia dan menawarkan sirih-
pinang kepadanya. Tetapi dia menolak, sampai Butrilah yang menawarkan sirih-pinang
kepadanya–yang diterimanya. Kemudian dia berangkat pulang. Ia tiba di rumah mendahului yang
lain, dan mengambil lagi tempat dalam pasunya.
Ketika Butri pulang, dia memperhatikan bahwa kali ini juga makanan tidak telah disentuh,
dan lagi ia pikir: mungkin ada seorang telah memasak baginya?
Ia bertanya kepada si kodok: “Siapa telah datang di sini?”
Ia menjawab: “Aku tidak tahu”.
Maka Butri menduga: tuan yang berpakaian begitu indah dan yang naik kuda itu, dialah
mungkin adalah si kodok.
Dua hari kemudian mereka pergi ikut dalam pesta perkawinan di suatu kampung. Si
kodok mengetuk-ngetuk lagi parangnya, dan langsung muncullah emas dan pelbagai harta
kekayaan bagi Butri untuk dibawa serta.
Butri menyiapkan lagi makanan bagi si kodok, tetapi dia lalu bersembunyi untuk
mengintai si kodok.
Setelah mereka semua berangkat, Butri melihat si kodok menanggalkan kulitnya, yang
lalu digantungnya pada atap rumah. Ia berubah menjadi seorang manusia, naik kuda dan
berangkat.
Ini dia! Cepat Butri mengangkat kulit itu. Ia memasak minyak kelapa, dan ketika minyak
itu mendidih, dia masukkan kulit itu ke dalamnya, yang ikut dimasak.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika si kodok pulang dan melihat Butri, dia kaget. Dan ketika
dia pun memperhatikan kulitnya yang sedang dimasak dalam minyak mendidih itu, ia mengeluh:
“Aduh Butri! Kenapa menyiksa aku begini! Engkau sudah menghancurkan kulitku! Aduh, aduh!
Ini berarti aku akan mati!
Butri terkejut. Cepat dia memarut sebuah kelapa, mengilangnya, lalu dengan air kelapa
itu ia memandikan dan menggosok seluruh tubuh si kodok itu. Selanjutnya untuk selamanya
kodok itu tetap seorang manusia. Begitu berakhirlah kisah ini.

--------------------

15 Adat Kei ialah saling memberi hadiah antara keluarga dengan keluarga, terutama setiap kali bila sebagian
harta kawin dibayar.

26
Kaptun ain, yanan ainfit: hirneyan umat, enwarin ngarngar. Kaptun enhov ni yanan bisa
erwatuk ngarngar bo, ngarngar endok mehe kassian wat.
Edbo ni an bisa erdat habo ain fo erba dagam. Feli ngarngar enba renan nanar: yaw uhawkwuk uba
dagam.
Renan nanar:O ngarngar bail i male ! Felbe wak umhawk enba dagam ? Umdok teno !
Mangmang ngarngar enher faa wel ma, ni renan enhawk entahang wel.
Leen sir ruk ni an ertawun, ngarngar enher wel. Ni renan nanar: u umhuv, felbe, mu kis human waid.
Ngarngar nanar: miski; umat te, uwait te, yaw mehe; miski ma lam watu mehe fo ning kis.
Sar tomtom labo ! hirfit refla ruk bo, erhawk ersak lar bo, enhorak: hiraki enkirik warat na afler?
Niot lai ma, hira ni bran waid. Edbo ngarngar nanar: miski yaw, uut, ning bran. Ngarngar enseb rat,
enkirik warat, enit wuk nuhu janat enwusak.
Hir erbiluk odan, fa ertaha ken nuhu yanat i. An hirneyan erhorak ngarngar i: bet omu suk umdok
oba nuhu yanat i, umdok, tiok, amil, amhawk wel o.
Ngarngar nanar: Betkikai im, imleeng; imnar udok te, udok;imnar uhovte, uhov.
Felenhe hir ernar fo endok. Ngarngar i mehe enduk nuhu yanat i, hira leen naa waid
Edbo ngarngar enut ni wee benaw ain ma, benaw human waid bo, enwiak wat lam, enhawai lam
watwatu.
Ni lam wuan angledli bo, enut sar ain, ni lam entub.
Sar tomtom labo ! Na nuhu yanat i, wowu enmehe wuk endir, ai leen afa waid. Na wowu i dim ain
endok ma, enbor ngarngar ni lam.
Ngarngar i nanar: Wah ! yaw mehe udok nuhu yanat i mele mangbe erbor wel ning lam ?
Edbo dede endok enwatar na lam utin mang erbor ni lam.
Defruan dim enma, enaha rehe lam watu. Edbo ngarngar entaha kuuk dim ni wehin. Dim enmeek,
nanar: umtaha talik; uut o fo sedangar.
Ngarngar nanar ufen.
Dim nanar:umnar afa wat te afa afa te omu suk.
Ngarngar nanar: ning suk omu bangut, ma yaw utam, ut5aha talik wel o.
Dim lain enhaawk nefen wuk ma, ngarngar enher daang wel bo, ma dim na rehe, nanar: bangut i
haling wel he; felenhe, umbibik bangut i, mas, esbo, bingan, afafa bissa erma wat mehe.
Ngarngar nanar: bok, feli o umtam ning wee lam bissa, omehe muan wail.
Sar tomtom labo ! Ngarngar ni an hirneyan eril ruk ms, rafla li nuhu yanat ngarngar endok. Edbo
ngarngar enit habo nefla, enbibik bangut. Enbibik bo, tahit neblin famehe, hira nefla naa waid, habo
enloi enfikfok wat.
An hirneyan erdok habo ernar: afa aka enut tahit neblin bail i ?
Ain nanar: Ngarngar endok oba nuhu yanat roi, enut i.
Hir ernar: feli itsak mur rehe, ithaawk ngarngar. Hir erhaawk wel ngarngar entai wukhabo, refla il
rir ohoi.
Eril ruk ohoi bo, hir erot rumnin lai, eryait bissa maas, bingan, esbo, sadsad, bissa, bissa. Ngarngar
imehe wat wus, enba wat enfak wunin ni bangut.

27
Ini renan nanar: Ngarngar, o umlon aka wak teok yaw ? O wus mele, umkai ummek wuk waid bo ?
lik umdok oba rehe teno, waawn yaw unar lalainle; umbwa, umbwa mu lala wat; umwat yaw waid
mele! ...
Narak wel, ngarngar nanar wel we ni renar: Nen he!
Ni renan nanar: akalah ?
I nanar: Nen umbwa umluruk.
Ni renan nanar: Uluruk, uluruk, i sus waid, bail esbo ufwarik naa waid.
Ngarngar enyangun faa wel. Ni renan nanar wel; Esbo kabohan, ufwalik ken aka ?
Ngarngar enyangun wel, nanar: Miski, umbwa teno! Famur wak umkai.
Edbo, i enba rehe fo enluruk.i enho ruktahit, entuv ni esbo,ngurai angledli... ah! ah! ah! wuut ermat
bissa kasse!
Tewat ni renan enba, ngarngar enbibik ni bangut; esbo, rawit, pelekat, slop, erma bissa.
Ni renan enil, ngarngar nanar: Nen ummwa wak fo umreed. Ko wat i enduk nastanuk rehe afa bissa
ngarngar enlon tuk i.
Edbo, enreed rod ruk, ngarngar nanar: Nen he!
I nanar: Akahe?
I nanar: Umbwa sumhorak rad ni yanan ain fo ning hon.
Ni renan nanar: Ah, ngarngar o, umnar aka falbe i? Rad ni yanan? Ah ubobar!
I nanar: Waid, umbwa teno!
Felen i ko wat i enba, fo enhorak rad ni yanan wat ain.
Rad i nanar: Ngarngar ain fo ning etan! Afa enhe afa haling rehe! Bokli umhorak hir duar, hir
erleeng hirmehe.
Edbo rad ni yanan wat hirfit ernar: Niyo! Ngarngar mele! Duad naan ngarngar sisian i! Hir refen
bissa ma, raftuhut wel na ko wat i.
Felenhe enmeak lai mele, enil rehe, nanartul we ngarngar.
Ngarngar nanar: Miski umbwa wel umhorak wel, wukun nein te ain enturun. Ni renan enba wel bo,
hir resngan wel, raftuhut we i wel.
Ngarngar nanar: Resngan wel te, miski umbwa, sumhorak wel faa. Feli ko wat enba faa welfo enher
rad ni yanan wat ain fo ngarngar hon.
Hir neyan hub refen wat, ne en warin nanar: hongh miski liklak te bebe, ulan utarim.
Rad nanar: Butri entarim bo, felenhe omu bran enwer ni wilin te felbe?
Ngarngar nanar: umnar fo did bran.
Rad nanar: felenhe umut rehe sadsad, kasber, dada, harta wan lalai watsentub ental mu rahan
lutubur, sentut na ning; enhov na ning katleen umut wel mas timrun, mas bokbok wat famehe raan.
Sar tomtom labo, ! Dede enfitik, nafdeed famehe, ah, bailbe oh! Rawitun wat ngarngar ni renen enba
enuuk tomat ohoi ratut bissa, fo erma erleik ni wilin entuu rod ruk: dada, sadsad, kasber, harta
bokbok lalai wat, entub ental ngarngar ni rahan famehe entut na’ rad ni latubur; enhov ni katleen
wel mas ngus lai famehe raa.
Rad enut rumnien lai, ngarngar hiru butri rafaw.
Edbo, Butri ni an hirneyan bissa refhangir, erut ngarngar enloi veng, ernar: Butri mu hon sisian.

28
Butri enmeak ma, enut ngarngar entub ni rein raan. Butri an erdok erfarnehe, ertuu benaw angledli
mang raan wait wat. Edbo dedan erdok erkeneek; ngarngar enil wuk fo tomat, naan wuk benaw.
Bail erit wat ngarngar mehe entub.
Famur an ernar we Butri: tiok rafru itaba timo, ittirat rahan.
Butri nanar we ngarngar enbibik bangut, mas enma angled.
Edbo Butri enut ngarngar ni kis, enut i entub ni veng. Hir erma ma, ngarngar enut il wel fo umat,
enreed ladyaran ain, entai ni bakbakean ngir, nefla wuk norang.
Tomat endok entalwunan ertirat rahan, erit lain, erwoo: Hira lai ain enma weluk.
Edbo tomat bissa erba sang, erut bissa bukmam bokbok i enmam, ne i nafen wat, famehe Butri wel
enut wuk afa i naan, i entaha rehe.
Famur i nafla il wel ohoi, entub ni veng. Butri wuk enil, enleik kis hob entub wat, enfangnan hira
leen entaha wel wer benaw endat ma, enhorak ngarngar: hiraki endat mam rahan i?
Ngarngar nanar: Betkikai.
Butri enfangnan ken ruk, hira lai i wekatie, i ngarngar ruk i.
Sar tomtom llabo! Leran ru en mur Butri hiris ni an bissa erba wel erot aturan Ewav. Ngarngar
enbibit wel bangut ma, mas angled enma wel, fo Butri entaha.
Butri enut ngarngar enloi ni veng, enhov enut ni kis benaw enduk. Edbo hir erba rod ruk, ngarngar
enred wel ni ladyaran, nefla norang.
I endat, tomat ohoi ratut erba sang wel, ertaha bukmam i enmam, bail i nefen wat, famehe wel Butri
enut afai enmam, i entarim rehe. Fomur i nefla il wel, i enil lain, enloi weng ni veng.
Butri enil, enit wel benaw entub, enfangnan wel: matak hira ain enut wel ni uran te bebe? Enhorak
ngarngar: hiraki enrat wel mam rein i?
I nanar: Betkikai, ukai waid
Felenhe Butri enras, tomat enreed bok bail i, ental ni ledyaran, wukun ngarngar ruk ya.
Edbo ni rafru erba bissa wel erut rumnin tomat ain nafaw.
Ngarngar enbibik wel bangut, mas, wur-harta, enma bissa, Butri entaha.
Butri enut wel Ngarngar ni kis wer benaw entub ma, enweeng enduk fakwunin, enkaneek ngarngar.
Edbo tomat erba wail ruk, enit ngarngar enlok ulin, enut senloi rafat, enil fo umat, entai ni ledyaran
ma, nefla.
Ah! Butri ngarngar ulin i, i na rehe, enwaik ngu ma, entiok fo enluur lai ruk, enutulin naa, enwaik
enhuv.
Sar tomtom labo! Ngarngar enil, enit Butri enduk, nastakur rehe, enit wel ni ulin enduk akwal raan
enluur bail i, enroon. Nanar: Butri o, umut yaw felbe, umlawur wail ruk uling! Ded i! umat-uk oh!
Edbo Butri enbobar, neslan entar nuur, enroman, enraik nuur minan enluruk nesmo ngarngar yan,
liman, arumun bissa. Edbo ngarngar enil non ruk fo umat.
Tum wahan ruk i.

29
Kidin 4
IKAN PAUS DAN IKAN LUMBA-LUMBA

Dan beginilah ceritanya! Pada suatu hari ada seseorang yang sebelum fajar menyingsing,
pergi menyadap tuak. Ketika ia sudah naik pohon kelapa, ia melihat dua orang sedang menanami
dan menaburi kebunnya.
Berkatalah dia: “Astaga! Siapa-siapa itu yang sebelum matahari terbit sudah bekerja di
kebun?”
Dia terus mengamat-amati kedua orang yang sedang bekerja di kebunnya itu dan
menjelang waktu bintang fajar terbit, salah satunya berkata: “Kawan, mari kita pergi sebelum
menjadi terang”.
Lalu mereka pergi. Mereka mengangkat kulit mereka yang tadinya mereka gantungkan
pada pagar kebun dan mengenakannya. Lalu yang satunya berubah menjadi seekor ikan lumba-
lumba, sedangkan yang lain menjadi seekor ikan paus. Mereka melompat masuk ke laut dan pergi
sambil berenang.
Orang yang tadinya telah memanjat pohon kelapa, turun; tetapi hari berikut, ketika masih
gelap gulita, ia pergi lagi menyadap tuak dan mengintai lagi ikan lumba-lumba dan ikan paus yang
sementara mengolah kebun mereka. Mereka sudah menanggalkan kulitnya masing-masing, dan
telah berubah menjadi manusia supaya dapat mengerjakan kebun.
Pada suatu hari ia melihat bersama mereka tujuh orang perempuan. Ia melihat tujuh
orang, tetapi yang bungsu kelihatan sangat cantik.
Menjelang waktu bintang fajar mau terbit, ia meneliti tempat di mana tergantunglah kulit
si bungsu itu.
Ketika fajar menyingsing, ikan lumba-lumba berkata: “Mari, sudah mau menjadi terang”.
Mereka semua mengambil kulitnya dan mengenakannya. Mereka berubah menjadi ikan
dan melompat masuk ke laut. Tetapi penyadap tuak itu telah menggores dalam ingatannya
tempat di mana tadinya tergantunglah kulit si bungsu.
Pada hari berikut ia lagi pergi menyadap tuak dan melihat lagi ikan-ikan itu mengolah
kebunnya, sedangkan orang-orang perempuan itu sementara menyiangi rumput. Ia melihat juga
tempat tergantunglah kulit-kulit, dan memastikan di mana tergantunglah kulit si bungsu.
Ia turun dari pohon, menyelinap ke tempat itu, mengangkat kulit si bungsu dan
menyembunyikannya. Sesudah itu ia cepat memanjat lagi pohonnya.
Menjelang waktu bintang fajar mau terbit, ikan lumba-lumba berkata: “Mari kita pergi,
karena sudah hampir siang.
Ikan lumba-lumba, ikan paus dan semua orang perempuan itu mengenakan kulitnya dan
berubah menjadi ikan-ikan. Si bungsu mencari kulitnya, namun tidak menemukannya.
Maka si bungsu memanggil kakak-kakaknya dan berkata: “Kakak-kakak, mari dulu, di
mana gerangan kulitku? Aku mencari-cari tetapi tidak menemukannya”.
Jawablah kakak-kakaknya: “Bintang fajar hampir terbit. Kami mau cepat pergi sebelum
menjadi siang. Cari sendiri saja!”

30
Dan ketika mereka semua sudah berubah menjadi ikan, tinggallah si bungsu, seorang diri.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika penyadap tuak memperhatikan bahwa si bungsu telah
tinggal seorang diri, ia turun dari pohon, datang mendekat dan bertanya: “Apa yang kaucari?”
Jawablah gadis itu: “Aku mencari kulitku. Aku sudah cari dari tadi, namun tidak
menemukannya”.
Berkatalah bapak itu: “Jika aku menunjukkan di mana kulitmu, maka maukah engkau
kawin dengan daku?”
Gadis itu berkata: “Bagaimana mungkin bapak dapat mengatakan hal demikian.
Maklumlah aku mencari kulitku. Seandainya aku manusia biasa, maka aku akan mengatakan:
“Baiklah, kawin saja dengan aku. Tetapi aku bukan seperti orang lain, dan kemudian hari mungkin
bapak akan menyesal”.
“Menyesalkah, tidak menyesalkah, pokoknya jika engkau kawin dengan aku, aku akan
menunjukkan tempat di mana terdapatlah kulitmu; itu mudah saja bagiku”.
Maka gadis itu lalu menyetujui, tetapi bapak itu tidak menepati janjinya dan tetap
menyembunyikan kulit gadis itu.
Dan beginilah ceritanya: - Mereka berdua menetap di kebun itu dan membangun sebuah
pondok di situ untuk tinggal di dalamnya.
Jadi di situ mereka tinggal dan sesudah beberapa waktu, perempuan itu melahirkan
seorang anak.
Mereka membesarkan anak itu dan makin berkembang, tetapi memang ia dari keturunan
yang aneh dan tidak tahu berlaku sopan santun; ia sangat kurang ajar dan mendekati semua anak,
meminta makan kentang, jagung, ubi-ubian dan sagu.
Anak-anak menghina dia, memaki-maki dia dan menyebut dia seorang penebeng.
Si kecil itu sambil menangis melapor itu kepada ibunya dan dia itu sangat tersinggung
karena anak-anak yang lain menyebutkan anaknya seorang penebeng. Ia memberitahukan itu
kepada suaminya, tetapi suaminya itu takut dan tidak mau mempersoalkan itu lebih lanjut.
Maka perempuan itu beranggapan bahwa ia diperlakukan dengan kurang baik oleh
suaminya dan tidak menghiraukan kehinaannya. Dia mau kembali saja ke kampungnya, tetapi dia
kehilangan kulitnya, maka ia menangis-nangis dan mukanya muram.
Dan beginilah ceritanya! – Pada suatu hari perempuan itu sedang memasak, lalu di dalam
belanga itu ia melihat pencerminan kulitnya. Dia menengadah, dan melihat kulitnya tergantung
pada bubungan. Dia memanjat sampai di situ, mengangkat kulit itu dan menyembunyikannya.
Maka ia melanjutkan memasak nasi. Ketika ia mencedok nasi untuk anaknya dan untuk
suaminya pada sebuah piring, ia sebelumnya meletakkan sebuah batu cincin di atas piring itu,
lalu menudungnya dengan nasi.
Setelah ia mencedok nasi, ia mengatakan kepada anaknya: “Sudah siaplah makanan
untukmu dan untuk ayahmu. Aku pergi ke kebun. Tetapi ketahuilah, jika sementara makan nasi
engkau menemukan sesuatu pada piring itu, maka engkau akan melihat aku kembali, tetapi jika
sambil memakan nasi tidak. menemukan apa-apa pada piring itu, maka engkau tidak akan
melihat aku kembali”.
Lalu pergilah perempuan itu. Dia mengenakan lagi kulitnya dan berubah menjadi seekor
ikan; dia melompat masuk laut dan berenang ke kampungnya.

31
Ketika anaknya serta suaminya makan nasi itu, mereka menemukan batu cincin itu. Batu
itu mereka angkat dan simpan.
Menjadi malam, dan lantaran perempuan itu belum pulang, maka bertanyalah bapak itu
kepada anaknya: “Ke mana ibumu?”
Anak itu menjawab: “Aku tidak tahu. Dia bilang bahwa ia mau ke kebun; mungkin dia
tinggal bermalam di situ”.16
Hari berikutnya ia belum pulang. Ketika sehari kemudian ia belum juga pulang, pergilah
bapak itu ke kebun hendak mencari dia, tetapi ia tidak menemukannya.
Waktu itu baru anak itu mengingat pesan ibunya dan berkata: “Bapa, aku ingat bahwa ibu
baru-baru berkata kepadaku: “Perhatikanlah, jika pada makan nasi kamu menemukan sesuatu,
maka kamu akan melihat aku lagi; tetapi jika pada waktu makan kamu tidak menemukan apa-
apa, kamu tidak akan melihat aku kembali”.
Bapak itu memperhatikan bahwa kulit perempuan itu tidak lagi tergantung pada
tempatnya dan ia menyadari bahwa dia sudah kembali ke tempat orang tuanya.
Mereka menghela sebuah perahu ke laut, dan ayah dan anak bertolak untuk mencari dia.
Selain bekal, mereka membawa juga sirih yang amat baik dan daun sirih yang halus dan juga sirih
liar dengan daun sirih yang buruk.
Dan beginilah ceritanya! –Setelah mereka mendayung agak jauh, mereka bertemu dengan
seekor ikan seneknek, namanya Kaletbet, yang duduk di tengah-tengah rizofor.
Si kecil mengeluh katanya: “Aduh Kaletbet, aduh Kaletbet, tidakkah engkau telah melihat
ibuku?”
Jawablah seneknek: “Aku duduk di sini di tengah-tengah rizofor, bagaimana mungkin aku
telah melihat ibumu? – Aku tidak tahu-menahu, aku tidak tahu arah apa perginya”.
Si kecil memberikan kepadanya sirih liar dan daun sirih yang buruk supaya ia
mengulumnya, karena dia tidak tahu ke mana ibunya pergi.
Sesudah mereka mendayung lebih jauh, mereka bertemu dengan seekor ikan farun. Si
kecil berkeluh lagi katanya: “Papi farun, papi farun, tidakkah engkau telah melihat ibuku?”
Jawablah si farun: “Aku ’kan selalu berada di bawah batu-batu. Bagaimana aku bisa tahu
tempat ibumu berada? Aku tidak tahu-menahu, ya!”
Si kecil memberikan kepadanya sirih liar dan daun sirih yang buruk supaya ia
mengulumnya.
Sambil mendayung mereka melanjutkan pelayarannya, sampai bertemu dengan seekor
ikan fo. Si kecil berkeluh lagi katanya: “Aduh fo, aduh fo, tidakkah engkau telah melihat ibuku?”
Si fo menjawab: “Memang aku telah melihat dia. Kamu sudah berada pada arah yang tepat;
lanjutkan begitu dan pasti kamu akan menemukannya”.
Kata-kata fo itu memberi harapan sedikit dan anak itu memberi kepadanya sirih yang
amat baik dan daun sirih yang halus supaya ia mengulum dan selain itu juga tembakau untuk
menyusur.

16 Di kebun-kebun orang membangun sebuah gubuk untuk berlindung bila cuaca buruk ataupun untuk
bermalam bila ada banyak kerja di kebun, khususnya bila – terutama pada senja hari dan pagi-pagi buta –
tetumbuhan harus dilindungi terhadap kakatua-kakatua yang suka merampok.

32
Setelah mereka mendayung lebih jauh, mereka melihat seekor ikan bisbisuk dan lagi si
kecil berkeluh-kesah katanya: “Aduh bisbisuk, aduh bisbisuk, tidakkah engkau telah melihat
ibuku?”
Jawablah si bisbisuk: “Memang aku telah melihat dia, di kampung di sana ia duduk tertawa
dan bersenda gurau. Berdayunglah sedikit lagi, lalu kamu akan sampai di kampung itu”.
Si kecil memberi sirih yang amat baik dan daun sirih yang halus serta tembakau kepada
ikan bisbisuk itu karena dia telah menyampaikan kepada mereka berita yang baik itu.
Dan beginilah ceritanya! – Sekarang mereka mengetahui di mana perempuan itu berada,
tetapi mereka tidak berani memasuki tempat kediaman ikan-ikan paus dan ikan-ikan lumba-
lumba; karena itu mereka minta kesediaan seorang bapak yang sudah tua untuk – dengan dibayar
atas jasanya – meminta ibu anak itu untuk pulang.
Si tua itu menyampaikan pesan itu. Ibu itu merindukan kembali akan anaknya dan datang.
Suami-isteri itu jadi berdamai, dan ibu itu ikut naik perahu. Dia menanggalkan kulitnya
dan membuangnya untuk dipergunakan oleh kakak-kakak perempuannya; kini untuk selamanya
ia telah berubah menjadi seorang manusia.
Mereka mendayung pulang ke kampung mereka dan bapak itu sekarang sungguh marah
kepada anak-anak yang tadinya menghina anaknya. Karena itu ia memakai tipu daya begini: ia
menimbun kayu api keliling halaman rumahnya, lalu mengundang semua anak kecil itu untuk
menyaksikan caranya ia merayakan pulangnya isterinya.
Ketika semua anak itu sudah datang, dia memasang api pada kayu itu. Api menyala tinggi
dan mengepung semua, sehingga tidak ada yang dapat melarikan diri. Lalu ia mengangkat
parangnya dan memarangi mereka semua, sampai mati semuanya, semuanya.
Begitulah berakhirlah kisah ini.

--------------------

Sar tomtom labo! Leran ko aein enba nêfngihun ma, heb de on. Eidbo enseb-rat ruk nocur,
enit tomat einru erduk erfulhawai rir wee.
Ko i nanar: Ah! Mangbe erduk erkerja ruk wee hub dedean baeil i!
Eidbo endok enkaneek hirru erdad rir wee i. Famehe wukun telyor endat he, aein nanar: Ko he, itaba
bo, itslan hamar he. Felenhe hirru erba, ertaha ulir, erfakloi ngeen ma, erhur wel bo, aein enil fo
arad, aein enil fo lor; erohok-su taheit, ernang-ti. Eidbo ko i enseb tuat ensu ma, leran en mur hub
dedan rehe, enba nefngihun wel, enduk wel enkaneek b, enit wel arad hirru lor endad wel rir wee.
Erko-watuk bissa ulir ma, eril fo umat, erduk enut urat i.
Leran enit wel tomat wat hirfit erhov wel. Enit ko wat einfit ma, en warin, loi-sus, enleik
waawn bokli rehe. Eidbo telyor wukun enwussak, enduk enfaneek en warin ulin. Rawitun arad i
nanar: Itaba bo, itslan hamar. Hir bissa ertaha ulir, erhur wel bo, eril fo wuut, erohok-su taheit ma,
ko enduk nefngihun i enfaneek ruk en warin ni ulin enloloi odanbe. Eidbo leran en murtomat i enba
enseb wel tuat ma, enit wel arad erfui-hawai welrir wee, enhuv watwat erduk nefringin. Enit wuk

33
ulir erfakloi ruk ma, enfaneak wel en warin ni ulin. Enseb-su bo, enba ketkot, entaha rehe, enba
enfakwoenin en warin ni ulin. Fomur neslan enseb-rat wel.
Felenhe woekoen tolyor endat ma, arad nanar wel: Itaba, itslan hamar bo. Eidbo arad hirru
lor, hiris watwat bissa erhur wel ulir bo, eril bissa fo wuut; en warin enle-haawk ulin ma, enit waeid.
En warin enwoo ni an, nanar: Ang ey! Umbo wak, uling enho odanbe wak? Ule-hawk ruk ental
esmirle, uit ken waeid i! An nanar: Telyor wukun endat ruk he, amuslan ruk hamar mele, o duan
umle-haawk. Eidbo hir bissa erba eril ruk fo wut, en warin enoba rehe i mehe wat.
Sir tomtom labo! – Tomat endok nefngihun i, enit en warin enduk-oba ruk i imehe wat, ensu, enba-
ti, nanar: Umle-haawk aka wak? Ko wat i nanar: Ule-haawk uling bo; uduk ule-haawk ental esmirle,
uit rehe heb Berenran i nanar: Jaw bet ufaneek ulim, ua o bo? En wat i nanar: Felbe wak umnar afa
felenhe? Uduk ulehaawk uling baeil i mele! Likfel jaw umat tunan, umma, umma wat b. I bo yaw
waawn umat angled waeid mele, wukun leran o sus he. Sus teno ses, ua o f hong, uut ulim enil, uut
naa wat. Feli ko wat i entarim rehe ma, beranran nanar-weeng wat ma, enfakwunin en wat ni ulin.
Sar tomtom labo! – Feli hirru ertub-oba ruk rir wee ruk i ma, erut sar aein fo ertub. Ertub bo famehe
mangmang wel ko wat i denduk rahan ni yanan kut aein. Hir ertood kut i fo lai ruk odan bo, baeil
kut i asa waawn haling, enkai aturan aein wuk waeid mele, enbdli ma, enba wat enher kut leen bissa
rir benaw, slar, enbal, manga, bissa, f naan. Eidbo tomat kut leen resngan i, erfamair, erher i fo letko.
Eidbo kut i enroon se-nartul we reinan ma, en wat i inmeek lai, kut angled erfamemak i yanan fo
letko. I nanartul bissa we ni hon ma, hon enbobar ma enmester wuk waeid. Felenhe en wat enra ini
hon enut sisien ruk i, enwil ni meet waeid bo, enhaawk nefla-il fo ni ohoi bo, ma ulin naa ruk waeid
mele, ini sus ras ma enduk wat wahan elleman.
Sar tomtom labo! Leran faa wel tomat wat i endek enut uran, enit ni ulin ngawan na uran, waawn
na lak waeide. Entokdat ma, enit ulin enloi entalwunan rat. Enseb, entaha ken, enfakwunin rehe.
Feli enduk enwaeik kokat ma, entuu bissa kkat na bingan, fo ni yanan enhuv ni hon hir raan, enut
tentan-bangutun enduk bingan i, enet kokat entub-sir. Entuu waeil ruk kokat na bingan, nanar we
ni janan i: Imru yamam benaw enduk ruk ya, yaw uba ruk nangan he, baeil imkai, imduk naan okat
i, bet umtaha ken wuk afa na bingan raan i, imkai, leran imit wel jaw; bet likfel immien kokat i,
immien en afa waeid, na bingan raan i, leran imit yaw wel waeid ruk.
Felenhe ko wat i enba ruk. Enhur wel ni ulin enil wel fo wuut, enohok-su taheit, nanang-il-ti ni ohoi.
Ni yanan hirru ni hon erdek naan kokat, ertaha ken wuk ni tentan-bangutun. Hir ertaha ma, erut
sentub. Ler wahan ruk ma, en wat enil hub, i nanar, i enba nangan bo, wukun entub te bebe? Kut i
nanar: Betkikai, ukai waeid, i nanar, i enba nangan b, wukun entub te bebe? Leran en fur i enil hub
wuk. Leran en mur enil heb wuk ma, ni hon enba wuk wee, enba enle-haawk ma, enit waeid.
I bo kut i enfangnan en ruk reinan ni sibsib ma, nanar: Mam en i ukai wuk, leran il he reinang ensib
we jaw: kashe, immien kokat i, betfel immien ken wuk afa, imkai leran imit wel yaw; betfel mien ken
afa waeid, leran imit yaw wel waeid ruk. Felenhe berenran i enit en wat ni ulin enloi waeid ruk wuk,
enfikir en ruk, enil ruk we ni reinanyaman rir dukduk. Edbo ertuu raw u, hirru yanan ertai erle-
haawk-il wel. Enhov rir kis hir erlon wel ise mel enhov naan narnar, enhov isu watan enhov naan
nagmetan.
Sar tomtom labo!– Hir erwehe roro ruk odan, hir erit seneknek aein, meman Kalebet, enduk wakat
raan. Eidbo kut i enroon: Kalebet ey, Kaetbet ey, umit reinang he te waeid? Seneknek enhawa naanr:
Jaw uduk wakat raan i baeil i, felbebe wak uit wuk reinam? I enho odan bebe wak yaw ukikai wuk
waeid. Kut i na isu watan enhuv naan kolkol, i enman niraan i enkai ni reinan ni dekduk waeid.

34
Eidbohir erwehe roro wel odan, hiris farun aein resnutuk. Kut enroon we: Bun farun oh, bun farun
oh, umit reinang i te waeid? Farun i nanar: yaw uduk wat wowan baeil i, felbe wa ukai reinam ni
dukduk? Yaw uikai waeid. Felenhe kut enut wel isu watan enhov naan nagmetan i naan.
Hir erwehe wel bo, famehe hiris yoot fo aein. Eidbo kut i enroon wel: Fo he, fo he, umit reinang i te
waeid? Fo i nanar: uit wuk he; imbie en ruk he, imrat misuruk wat, imit wat. Fo ni nangrehi enut i fo
senang ruk odan ma, kut i na wer i isu mel enhuv naan narnar fo enmam enhov wel atba fo naknat.
Eidbo hir erwehe roro wel odan, erit wuk bisbisuk aein ma, kut ensikar enroon faa wel: Visbisuk ey,
bisbisu ey, umit wuk ning reinan te waeid oh? Bisbisuk i nanar: Uit wuk he, enduk enbein enmalit
ohoi rat he, imwehe odan wel, imtaha ken ruk ni ohoi he. Kut i enut wel isu mel enhov naan narnar
enhov atbak wel wer bisbisuk i enhul ruk iwar tuntunan bokbok wer i.
Sar tomtom labo! Hir erkai ruk en wat ni dukduk bo, baeil erbobar enho lor arad rir ohoi mle, feli
erreeng koptotuan aein, fo enba enher kut ni reinan fo enil. Koptotuan i enba nanarte. En wat
enfangnanli wel ni yanan ma, enil endo. Eidbo hirru hon erhamak-il fo bok ruk berkar ma, enrat wuk
raw, enko-watuk wel ni ulin, enwatuk ma enoba rehe f ni anwarin ertam; en wat i enil fo umat
famehe ruk i.
Hir erwehe-il fomrir ohoi ma, fomur en beran enkai wuk raan sien lai tomat kut ohoi erfamair ruk
ni janan koet. Felenhe enweeng, enut bissa ai honghong enweea bissa ni rahan lutubur ma, enuuk
kut bissa erdat erhamoning i enmirrin ni hon enil i. Eidb kuthir erma bissa ruk, i entev yaf naa. Yaf
enurun-yal laitenli ma, hira nefla naa waeid bo, i enreik ni ngir ma enafat-fedan kut hir i bissa, bissa
rehe. Tom ni wahan ruk ya.

35
Kidin 5
RAJA DAN TUJUH ISTRI

Dan beginilah ceritanya! –Ada seorang raja yang beristeri tujuh orang. Mula-mula
banyaknya isterinya hanya enam orang, tetapi dia berkata: “Kalian berenam tidak mempunyai
anak, karena itu Watwarin pun akan kujadikan isteriku”.
Dan ketika tampaklah di langit bulan berikut, ternyata Watwarin sudah menjadi hamil
dan karena itu keenam isteri raja yang lain sangat cemburu akan Watwarin.
Pada suatu hari Watwarin menyuruh budaknya wanita bernama Wunin: “Pergilah
mencari jeruk-jeruk nipis”.
Dia pergi, tetapi ia tidak berhasil melepaskan jeruk-jeruk itu. Karena itu ia menunggu
sampai jeruk-jeruk itu masak dan jatuh dengan sendirinya.
Ketika sesudah waktu yang lama akhirnya jeruk-jeruk nipis itu jatuh, ia membawanya
kepada majikannya untuk dimakan.
Tetapi keenam isteri raja merampas jeruk-jeruk itu dari padanya, minum cairannya, lalu
memakannya; mereka memberi hanya kulitnya saja kepada Watwarin untuk dimakan.
Kemudian Watwarin pesan kepada Wunin: “Pergi ambil mangga-mangga”.
Dia itu pergi, tetapi tangannya tidak sampai, maka ia mengambil sebuah kait, tetapi kait
itu terlalu pendek dan ia menunggu sampai kakatua-kakatua datang memakan mangga-mangga
itu.
Kakatua-kakatua datang memakan mangga-mangga itu, tetapi jatuhkan banyak. Yang
jatuh itu dipungut Watwarin dan dibawanya kepada majikannya.
Tetapi keenam isteri raja makan mangga-mangga itu dan memberikan kulitnya kepada
Watwarin untuk dimakan.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika bulan terlihat di ufuk timur, Watwarin hamil tua.
Raja berkata kepada keenam isterinya: “Aku mau bepergian jauh; jagalah Watwarin baik-
baik”.
Tetapi keenam isteri raja mengejek-ejek, dan yang sulung berkata: “Aku akan menjadi
ibunya Watwarin”.
Seorang isteri berikut berkata: “Aku menjadi bapanya Watwarin”.
Seorang lain berkata: “Aku menjadi neneknya Watwarin”.
Seorang lain berkata: “Aku menjadi tetenya Watwarin”.
Seorang lain berkata: “Aku menjadi pamannya Watwarin”.
Seorang lain berkata: “Aku menjadi bibinya Watwarin”.
Raja berangkat, dan belum juga ia lewat tanjung, lalu Watwarin melahirkan seratus anak
laki-laki, tambah satu perempuan yang diberi nama Butri.
Namanya Butri, dan ketika lahir ia memegang dalam tangannya sebuah batu sihir (wat
sebit) dan sebuah pisau besar.

36
Keenam isteri raja menyumbat telinga, mata dan hidung pada Watwarin, memasukkan
keseratus anaknya ke dalam sebuah peti dan membuat mereka terapung di laut.
Kemudian mereka mengisi sebuah keranjang dengan kulit kelapa sebagai pengganti anak-
anak Watwarin.
Lalu mereka menggaruk mata Watwarin hingga terbuka kembali, dan memasang enam
api unggun, di mana dia dapat memanggang diri. 17
Dan beginilah ceritanya! – Peti yang terapung itu makin menjauh, dan akhirnya
terdampar pada sebuah kampung di sebuah pulau, di mana tinggallah seorang bapak yang sudah
tua bersama isterinya.
Mereka berdua pergi ke laut dan merasa dingin. Mereka melihat peti yang sudah
terdampar di atas pantai. Perempuan itu berkata: “Bos, hancurkanlah peti itu agar kita dapat
menghangatkan diri kita, kita kedinginan”.
Si tua itu mau menghancurkan peti itu, namun tidak berhasil; tiap kali kapak kena peti itu,
kapak itu menyerempet.
Isterinya mengambil alih kapak itu dan berkata: “Masakan kau tidak dapat hancurkan
kayu lombok! Berilah saja kepadaku”. Tetapi dia pun tidak berhasil.
Lalu Butri angkat pisaunya, memotong peti itu dan keluarlah keseratus anak laki-laki kecil
itu.
Bertanyalah Butri: “Ibu, ada api di daratan ini?”
Jawablah ibu yang sudah tua itu: “Ya, ada api”.
Butri bertanya lagi: “Ada juga ikan di sini?”
Ibu itu menjawab: “Tidak ada ikan”.
Butri lebih lanjut bertanya: “Terdapatlah sebuah rumah di sini?”
Jawab ibu itu: “Tiada rumah”.
Bertanyalah Butri lagi: “Ada makanan di sini?”
Ibu itu berkata: “Makanan pun tidak ada”.
Ibu yang sudah tua itu memperhatikan keseratus anak itu dan berkata kepada suaminya:
“Tuan, bunuhlah salah satunya, supaya kita makan”.
Bapak itu berkata: “Baiklah! Marilah kita membunuh salah satunya”.
Butri berkata: “Ibu, tuan, jika kamu membunuh salah satu dari keseratus anak ini, maka
aku angkat pisauku dan membunuh kalian berdua”. – Lebih lanjut ia berkata: “Ibu, tuan, kamu
harus menjaga anak-anak ini baik-baik, karena aku mau berjalan ke bukit batu di sana”.
Dia pergi, menyapu sepetak tanah seluas sebuah rumah dan bersumpah: “Jika aku adalah
anak dan keturunan dari raja-raja besar dan orang kasta-tinggi, maka apa yang kugambarkan di
sini, akan berubah menjadi sebuah rumah batu yang besar”.
Di dalam gambar rumah itu ia masih menggambarkan ubi-ubian-ubi-ubianan, ikan, padi,
pelbagai periuk dan belanga, pokoknya: bermacam-macam barang. Kemudian ia bersumpah lagi:
“Jika aku adalah anak dan keturunan orang budak, tukang-tukang sihir dan hamba-hamba, maka

17Sesudah melahirkan, ibu yang bersangkutan harus – terbaring di atas sebuah papan – memanggang
diri, dengan punggungnya menghadap api, yang menyala dengan memakai jenis-jenis kayu khusus.

37
dalam hal itu semoga aku dengan percuma telah menggambarkan ubi-ubian, ikan, padi, pelbagai
periuk dan belanga”.
Ketika sudah selesai, ia kembali untuk menjemput adik-adiknya dan berkata kepada ibu
itu: “Ibu, coba jalan ke situ dan lihatlah”.
Ibu itu pergi dan melihat sebuah rumah, besar sekali! Dia berkata: “Tuan, coba lihat rumah
itu: itu pasti milik seorang penting; dulu tidak ada orang punya rumah di sini”.
Tuan itu berkata: “Mungkin itulah rumah Tuhan Allah, dulu tidak ada orang punya rumah
di sini”.
Lalu Butri pergi mandikan semua anaknya itu. Ketika ia kembali, dia menyuruh tuan
dengan isterinya mempergunakan bagian sebelah rumah itu, sedangkan dia sendiri dengan
keseratus adiknya itu tinggal di sebelah yang lain.
Dan beginilah ceritanya! – Setelah mereka sudah tinggal beberapa waktu di situ, tibalah
seorang raja di pulau itu. Ia melihat keseratus anak laki-laki itu dan bertanya kepada mereka:
“Mungkin kalian, seratus anak bersaudara ini, mempunyai seorang saudara perempuan?”
Mereka menjawab: “Memang, kami mempunyai seorang saudara perempuan”.
Berkatalah raja itu: “Kalau begitu, aku mau minta dia kawin dengan aku”.
Mereka berkata: “Baiklah bapak pergi mencari dia; jika bapak dapat membuka
kelambunya yang berlapis tujuh itu, dia akan menjadi isterimu; kalau tidak jadi membuka
kelambu itu, maka dia tidak akan menjadi isterimu”.
Raja itu membuka satu kelambu, tetapi begitu ia berusaha membuka yang kedua, maka ia
jatuh di tanah dan meninggal, dan tinggal terpapar di tempat.18
Butri terkejut, dia mengamat-amati raja itu, meletakkan tangannya pada dadanya, lalu
raja hidup kembali.
Raja itu malu sekali, dan ia marah kepada keseratus adik Butri, lalu ia mengubahkan
mereka semua menjadi kambing.
Setelah ia mengubahkan mereka menjadi kambing, ia pergi dan berlayar pulang ke
negerinya.
Butri menggambar sebuah bahtera, mengucapkan lagi sumpah, maka gambar itu berubah
menjadi sebuah bahtera.
Ia menggulung kasur-kasur yang telah dipakai oleh adik-adiknya untuk tidur, dan
membawanya ke bahtera. Keseratus adiknya pun ia bawa ke bahtera, lalu bertolaklah ia dan
berlayar ke tempat di mana mungkin ia mendapatkan raja.
Ketika ia sampai di tempat tinggal raja, ia bertanya: “Apakah bapak raja ada di rumah?”
Orang jawab: “Bapak raja ada di rumah”.
Ketika Butri sudah berdiri di hadapan raja, maka raja berkata: “Butri, kita akan
mengadakan sabungan ayam”.19

18 Dari lanjutan cerita ini akan menjadi jelas bahwa raja itu adalah ayah Butri: maka perkawinan ini,
seandainya terlaksana, adalah incest berat. Incest di Kei pun dipandang sebagai dosa berat. Memang, raja
itu tidak mengetahui bahwa ia ayah calon isterinya itu, tetapi dosa untuk orang Kei adalah masalah obyektif
belaka. Jadi di mata orang Kei raja itu membuat dosa berat dan sangat pantaslah ia dihukum dengan
kematian.
19Berkali-kali dalam legenda ada pembicaraan tentang sabungan ayam. Namun di Kei sendiri kebiasaan
sabungan ayam itu tidak dikenal.

38
Berkatalah Butri: “Aku datang ke sini bukan untuk mengadakan sabungan ayam. Maksud
kedatanganku di sini ialah: memohon jamu-jamu untuk mengubahkan adik-adikku menjadi
kembali manusia. Nah, kalau ayamku mengalahkan ayam raja, aku akan memperoleh jamu-jamu
itu; dan jika ayam raja mengalahkan ayamku, maka aku tidak akan memperolehnya”.
Setelah mereka ikat pisau-pisau kecil pada kaki kedua ayam itu, ayam-ayam itu saling
mengadukan. Dan ayam Butri mengalahkan ayam raja bahkan membunuhnya.
Lalu Butri berkata kepada raja: “Bapak raja, jika seandainya aku membuat banyak usulan
kepada Bapak, apakah Bapak akan menolaknya?”
Raja menjawab: “Banyakkah, sedikitkah, katakan saja, maka aku akan mengatakan
apakah aku kabulkan atau menolak”.
Berkatalah Butri: “Bapak raja, berilah kepadaku jamu-jamu yang dapat mengubahkan
adik-adikku kembali menjadi manusia. Jika berhasil, aku siap menjadi mempelai Bapak.
Raja menyetujui dan berkata: “Bawalah adik-adikmu ke mari”.
Butri membongkar muatan bahtera berupa kasur-kasur dan berkata kepada adik-
adiknya: “Mari, turunlah dari bahtera”. Mereka melompat ke dalam air laut lalu datang ke darat.
Raja menyuruh orang membentangkan tikar-tikar, tempat mereka harus membaringkan
diri. Tetapi Butri berkeberatan dan berkata: “Adik-adikku tidak biasa berbaring di atas tikar-tikar
melainkan di atas kasur-kasur, lalu ia membawa kasur-kasur dan bantal-bantal, dan mereka
membaringkan diri di atasnya.
Raja perintahkan: “Tudungilah mereka dengan tikar-tikar. Kemudian ia berkata kepada
Butri: “Coba lihat apakah mereka sudah menjadi manusia!”
Dan memang mereka sudah diubahkan menjadi manusia dan Butri berkata kepada adik-
adiknya: “Kembalilah ke bahtera; lantaran raja sudah mengubahkan kamu menjadi kembali
manusia, aku sudah menyerahkan diriku kepada raja”.
Bertanyalah mereka: “ ‘Dirimu’, apa itu?”20
Butri menjawab: “Aku telah berjanji menjadi isteri raja”.
Mereka berkata: “Silakan raja boleh meminta imbalan besar sesuka hatinya, tetapi kami
tidak mau bahwa Butri menjadi isteri raja”.
Lalu Butri mengenakan pakaian laki-laki, dan memberitahukan kepada raja: “Kami tidak
mau bahwa Butri menjadi isteri raja. Bapak raja boleh meminta imbalan besar sesuka hatinya,
tetapi kami tidak mau bahwa Butri menjadi isteri Bapak raja”.
Raja berkata: “Yang aku utamakan ialah Butri, tetapi kalau aku harus meminta imbalan,
maka aku minta seribu gulden21.
Dan Butri membayar kepada raja seribu gulden yang ia terima menggantikan
mempelainya.
Kemudian raja mengizinkan bahwa mereka akan pulang ke tempat tinggal ibu mereka
serta keenam bibi mereka.

20 Agaknya Butri ingin menyembunyikan untuk adik-adiknya rencananya untuk kawin dengan raja, karena
dalam teks bahasa Kei ia mempergunakan sebuah kata bahasa Melayu yang tidak dimengerti oleh adik-
adiknya, yaitu kata “diri”. Syukurlah mereka tidak membiarkan diri ditipu, dan karena mereka melawan
rencana itu, maka mereka mengelakkan lagi incest, yang tentu saja akan berakibat fatal.
21 Gulden ialah mata uang Belanda di masa itu.

39
Dan beginilah ceritanya! – Ketika semua sudah naik bahtera, Butri berkata: “Anak-anak,
kamu tidak mengetahuinya, tetapi akulah kakakmu. Orang tua kita adalah raja, dan kami
mempunyai tujuh orang ibu”.22
Ibu kita melahirkan kita berseratus ini, dengan hanya aku sebagai tambahan. Bila kita
sampai di kampung dan bertemu dengan ibu kita, barangkali air mata kita akan mengalir; tetapi
kalau begitu, katakan saja bahwa itu keringat; kalau tidak, orang akan bilang bahwa kita terharu
dan menangisi ibu kita.
Lalu mereka bertolak, sambil bernyanyi.
Raja bertanya: “Siapa gerangan membuat keributan di laut?”
Orang jawab: “Ada bahtera berlabuh, dan seseorang di bahtera itu sedang berkeluh-
kesah”.
Kata raja: “Pergi tanyalah mereka dari mana datangnya mereka”.
Mereka pergi bertanya, lalu dijawab kepada mereka: “Ibu kami adalah seorang Makasar
dan ayah kami adalah seorang Bugis”.
Berkatalah raja: “Hela bahtera lebih dekat dan tariklah dia sampai di darat”.
Mereka menghela bahtera sampai di tembok batas laut dan Butri bersama keseratus
adiknya menyaksikan caranya keenam perempuan itu dan juga raja sendiri sedang menyiksa
Watwarin. Aduh! Aduh! Aduh! Aduh! Mereka telah menurunkan Watwarin ke dalam tanah sampai
pada lehernya, tanpa perlindungan terhadap hujan dan terik matahari.
Butri berkata: “Bapak raja, mohon beri minum kepada keseratus adikku ini”.
Raja menolak dan berkata: “Sepantasnya mereka minum hanya air kelapa”.
Dan raja memberi seratus gelas supaya mereka dapat minum.
Lalu Butri bertanya: “Bapak raja, budak milik siapa berdirilah dekat pintu rumahmu?
(Maklumlah ia maksudkan Watwarin).
Berkatalah raja: “Dialah salah satu budak perempuanku”.
Butri bertanya: “Harga berapa bapak minta untuk budak itu?”
Raja menjawab: “Engkau boleh membelinya dengan harga lima puluh gulden”.
Butri menjawab: “Aku tidak mau membeli dia dengan harga lima puluh gulden, melainkan
dengan harga seribu”.
Setelah Butri menebus ibunya, ia minta diberi sarongnya, ia memandikan dia, membuang
sarong yang lama itu dan memberi pakaian baru kepadanya, lalu bertolak dengan bahteranya.
Dan beginilah ceritanya! – Mereka sudah berlayar sampai tanjung Ngil di kejauhan itu dan
mulai lagi bernyanyi.
Seorang bapak yang sudah tua memanjat sebatang pohon kelapa dan melapor kepada
raja: “Orang-orang yang di bahtera di laut situ sedang menyanyi. Maka raja menyuruh mereka
kembali.
Ketika mereka sudah kembali ke kampung itu, raja bertanya: “Kenapa kamu bikin ribut di
laut di sana?”
Mereka menjawab: “Kami merayakan budak kami yang baru ini”.

22Di Kei, semua saudara perempuan dari ibu, disebut “ibu” juga. Dan semua saudara laki-laki dari bapa,
disebut juga “bapa”. Dan semua saudara sepupu disebut juga “adik” dan “kakak”.

40
Maka berlayar mereka lagi, dan ketika mereka kurang-lebih sejauh tanjung Ngil itu,
mereka mengakui Watwarin sebagai ibu mereka dan semuanya menangis.
Dan mereka berseratus yang ada di bahtera itu berkata kepada Watwarin: “Engkaulah ibu
kami semua. Engkau yang telah melahirkan kami; keenam isteri raja telah menyumbat mata dan
telingamu, supaya engkau tidak dapat mengenal kami”.
Seorang bapak yang sudah tua memanjat sebatang pohon kelapa dan mendengar semua
itu dan berkata kepada raja: “Orang di bahtera di laut di sana membikin ribut kepalang besarnya!”
Raja menyuruh panggil kembali bahtera itu dan berkata: “Butri, mengapa engkau
menangis? Butri, akulah ayahmu!”
Butri menjawab: “Bukan! Ibuku adalah sebuah peti, dan ayahku adalah sebuah baki.
Namun, bapak raja, jika bapak mengatakan bahwa bapak adalah ayahku, maka marilah kita
menghela bahteraku ke sini dan tarik ke darat, lalu kita akan bersama-sama berceritera”.
Ketika bahtera itu sudah ditarik ke darat, berkatalah Butri: “Nanti aku melaporkan
ceritaku, tetapi, bapak raja, mengingat bapak adalah ayahku, maka hendaklah bapak mulai
bercerita”.
Raja berkata: “Benar, Butri, akulah ayahmu; ibumu melahirkan keseratus adikmu laki-laki
dengan ditambah hanya engkau, Butri. Aku berangkat untuk suatu perjalanan jauh hendak
membeli kain lampin bagi kamu semua, tetapi keenam isteriku yang lain, memasukkan kamu ke
dalam sebuah peti dan membiarkan kamu terapung di laut makin jauh dari sini”.
Berkatalah Butri lagi: “Ya Bapak raja, aku mengakui bapak sebagai ayahku, tetapi keenam
teman-isteriku telah membiarkan aku hilang terapung. Tetapi ketika Watwarin melahirkan daku,
dalam tanganku kupegang batu sihir ini dan pisau ini”.
Raja bertanya: “Watwarin itu di mana?”
Butri menjawab: “Dia masih di bahtera sedang duduk berkeluh-kesah”.
Berkatalah raja: “Suruhlah dia datang, mereka bertujuh akan menjadi ibu-ibu untuk kamu
semua”.
Maka orang pergi panggil Watwarin, tetapi Watwarin berkata: “Kamu telah menggarami
aku seakan-akan aku seekor ikan. (maklumlah mereka telah menyumbat mata dan telinganya).
Maaf saja!”
Lalu Butri berkata: “Bapak raja, ibu itu tidak mau. Kenapa? Karena kamu telah
menggarami dia seperti seekor ikan”.
Berkatalah raja: “Kalau seandainya keenam isteriku kujadikan kayu gulungan, sedangkan
dia sendirilah sebagai isteriku, apakah dalam hal itu ia akan setuju?”
Keenam isteri raja menjadi takut dan berkata: “Kami akan memasak dan menambus
untuk mereka semua, asalkan bapak tidak menjadikan kami kayu gulungan!”
Kata raja: “Diam!” – Ia menjadikan mereka kayu gulungan, dan setelah ia menjadikan
mereka kayu gulungan, datanglah Watwarin sebagai isteri raja.
Selesainya itu semua berkatalah Butri: “Bapak raja, aku akan mengubahkan keenam
bibiku kembali menjadi manusia”. Keenam kayu gulungan sudah terletak di bawah bahtera, tetapi
Butri mengangkat pisaunya dan memotongnya menjadi dua bagian. Mereka berubah kembali
menjadi manusia, tetapi mereka semua masih terletak sebagai dua belahan.
Lalu ia mengambil batu sihirnya, dan menyatukan kembali jantung dan tubuh mereka dan
ketika itu juga bahtera itu meluncur ke bawah.

41
Keenam perempuan itu dijadikan Butri budak-budaknya, sampai kemudian hari raja
mendamaikan kedua belah pihak. Tetapi tak lama kemudian keenam isteri raja kembali menjadi
cemburu pada Butri, dan sebulan kemudian meninggallah Butri.
Ketujuh ibunya (ialah ibunya dan keenam teman-isteri raja), raja dan keseratus adiknya
laki-laki meratapi dia. Malah raja sendiri begitu sedih sehingga ia pun meninggal karenanya.
Dan demikian tersimpan dalam sejarah! – Dan sudah habislah.

--------------------

Sar tomtom labo! Rat aein ni hon einfit. Laein ini hon eineyan ma, nanar: imneyen yanab im
waeid bo, utaha wel Watwarin enhov fo hong wuk. Eidbo wuan enwussak wel, Watwarin ni iwen
ruk ma, rat ni hon hir neyen refngahir ruk Watwarin ental deni. Eidbo leran Watwarin nesno inan
afa we ni iri wat meman Wunin, nanar: Umbwa sumhaawk roin. Enba bo, enut roin enlek naa waeid
ma, entouk fo wowar-ak fo erlek wat mehe. Amnanat wel rin wowar ma, enlek, entaha-su ni duante
i nan. Eidbo rat ni hon hir neyen ertaha rehe roin, rin wahan, raan ihin, erut wat bieb Watwarin
naan.
Fomur Watwarin nosn wel: Wunin sumbwa umaha faw. Enba ma, enut naa waeid, enreek hong,
hong ket ma, enaha tok waeid ma, entuk wilat ersu raan. Wilat ersu, erhaawk raan faw ma, faw
woho erlek, Wunin enfil-uk, entaha-su ni duante. Eidbo rat ni hon hir neyen naan-watuk ihin, erut
wat bieb Watwarin naan.
Sar tomtom labo! Wuan entub timur, Watwarin iwun lai, ruk. Rat nanar we ni hon hir neyen bissa:
Yaw uhoba ruk i bo, im batang Watwarin fo bok. Eidbo rat ni hon hir neyen erfarnehong ma, en yan
nanar: Teuk, Watwarin ni reinan jaw. Matwan aein wel nanar: Teuk Watwarin ni yaman yaw. Aein
wel nanar: Teuk, Watwarin ni bunte yaw. Aein wel nanar: Ini bunteran wel yaw. Aein wel nanar:
Teuk, Watwarin ni mimin fat. Aein wel nanar: Teuk, Watwarin ni awan yaw.
Eidbo teran rat enhoba ma, enwal lair wuk hub, Watwarin enduk rahan ruk ni yanan ratut, ni rehen
wel aein, meman Butri. Meman butri ma, entaful, i entaha-kuuk wat sabit aein enhov ngiv lai aein.
Rat ni hon hir neyen erfuu-kuuk Watwarin ni arum, mata. Enhov nirun bissa, erfot ni yanan hir ratut
bissa na kler aein, fo erut enba-fof. Fomur erfot il na kabut famehe raan, fo enhiluk Watwarin ni
yanan. Fomur erngar-watuk ini matan, erhong yaf matan eneyen na tanat, fo tomat Watwarin
nefror.
Sar tomtom labo! Kler enfok ma, amnanat wuk odan entua ohoi aein, na nuhu-yanat aein, teran aein
horru ni hon erduk. Eidbo hirru erba taheit ma, rebrinin, erit kler enduk nguur. En wat nanar: Teran
o he, umkakwiek kler i, foitafroran, itabrinin. Teran enkak ma, enkak naa waeid, siv ensu, sav
neskukil; enkak wel, enkak ris, waawn wat einmehe. Ini hon enes sav ental berenran liman, nanar:
Umkak ai mafun wel te umkak naa waeid wuk mele, yaw wak. En wat enkak ma, enkak naa waeid
wuk. Eidbo Butri enes ni ngiv, enussit kler i ma, enwiek. Ini tomat ratoet erwussak.
Butri enhorak: Tete, yaf na nangan i te waeid? Tete nanar: Yaf naa he. Butri enhorak wel: Tete, wuut
naa wuk te waeid? Tete nanar: Wuut human waeid. Butri enhorak wel: Rahan naa wuk te waeid?
Tete nanar: Rahan naa waeid. Butri enhorak wel: Benaw naa wuk te waeid? Tete nanar: Benaw
human waeid woek. Eidbo tete enit yanan hir ratut, nanar we ni hon: Teran o he, umfedan kut aein,
fo itaan. Teran nanar: Oho naka, itfedan. Butri nanar: Te, bun, betfel imfedan kut ratut i hira aein,

42
oereek ning ngiv, uut imru bissa immiet he. Nanar wel: Te, bun, berfel imbatang kut ratut hir fo bok,
yaw uba-ro lawarat wahan.
Enro bo, enyilin nguur odan, baeil rahan ni wai ma, entor-taroman: Bet rat aknas, mel lai, mel kasil
wut janan ubun yaw, uring deni, enil fo rawat lai aein. Entaroman bo, enring wel benaw woho, wuut
woho, kokat woho, ub-uran bisbissa na rahan i, fomur entr taroman wel: Bethe yaw iri-howang,
tuktukhawak yanar-ubur yaw, uring naa benaw, wuut, kokat ub-uran na rahan i uring naa waeid.
Benaw, wuut, kokat ub-uran na rahan i uring naa waeid. Enut waeil ruk bo, enba-il-ti, enhaawk ni
uran nanar: Bunte, umho umbwa umleik nangan roi. Bunte enba bo, enit rahan baeilbe oh! Nanar:
Teran, umleik, hira lai aein ni rahan, laein deni hira ni rahan waeid. Teran nanar: Wukun tuhan
Duad ka ni rahan laeinle deni hira ni rahan waeid. Eidbo Butri enba enloeruk ni yanan bissa. Enil
endo, enut teran hirru ni hon erduk rahan kedin; Butri hiris uran kut ratut erduk rahan kedin.
Sar tomtom labo! Hir erduk ruk amnanat odan bo, rat aein enho wuk nuhu-yanat i. Enit tomat kut
ratut, enhorak: Kut ratut uran naa wuk te waeid? Hir ernar: Uran naa wuk. Rat nanar: Fel enhe,
yaw uhaawk uhorak i fo hong. Hir ernar: sumbwa umhaawk, umyarat kalambu dafin fit: umyarat
naa, fo hom, umyarat naa waeid. Hom waeid. Eidbo rat enjarat dafin bo, wekat enjarat dafin wel fo
einru ma, enlek rehe ma, enmat, entub wat ni wai. Butri nebreeng bo, enba enleik, enut limat entub
rat ini yaran ma, rat enwaeit-il. Eidbo hir ratut bissa erwalil fo bib. Enut hir ratoet fo bib, ensak mur
rehe, nefla-il ni ohoi.
Ni ohoi bo, Butri enring wel kaba aein ma, entaroman: ringring enil wel fo kaba. Enwil bissa kasur-
kabes ni uran ertub, enwar-ti kaba enhov ni uran ratut bissa, nefla-haawk teran rat ini dukduk.
Eidbo Butri nefla ken ruk rat ni dukdek, enhorak: Rat naa te waeid? Mang ernar: Rat naa he. Felhe,
butri enho-harang ruk rat ni wahan bo, rat nanar: butri itroe itbein manut de? Butri nanar: Yaw
udo ifo ubein waeid: bet uro, uut fo uhorak arn, nanoet ning uran enil wel fo umat. Felenhe, yaw
uhorak ken, rat ni manut enfedan ning; bet uhorak ken waeid ning manut enfedan rat ni. Eidbo
erkeek bissa ngiv na manut yen, manut erkaslebak ma, fomur Butri ni enrehe rat ni, enfedan rehe.
Eidbo Butri nanar we rat i: Teran rat unar berkar avled wer o bo, matak o mufen? Rat nanar: emnar
angled de donkut, umnar rehe, f yaw enar wel ufen e uturun. Butri nanar: teran rat, umut aron na
urang fo eril fo umat: bet umut, umut naa, miski hom yaw. Rat enturun, nanar: Umwav uram do.
Boetri enwav kasur soe nangan, ensib uran: immie, imdo nangan. Nesnobang ma, ir erohok-su
taheit, erma. Rat nesno mang erweilar dar f ertub. Butri nefen, nanar: ning uran rir bias ertub dar
waeid, baeil erteb kasur-kabes. Betri na kasur-kabes fo ertub. Rat nanar: Ma dar do fo enyatat hir
ertub. Ertub bo, rad nanar: Butri umleik, hir eril fo umat te hub.
Ir eril ruk fo umat ma. Boetri nanar wel ni uran: Imro wel kaba, teran rat enut-il im fo umat, yaw
uturun ning diri we rat. Hir erhorak: mu diri akahe? Butri nanar: yaw umengak yaw mehe rat hon.
Hir ernanar: Miski rat enher ni perseng baeilbe wak, ma amufen Butri o hom. Rat nanar: Ning suk
butri mele, ma but fel uher rereeng, oeher rubi riwun. Eidbo Butri enwer rubi riwun. Rat entarim
sak ni hon. Fomur rat enturun hir eril rir reinan-awan hir nejen erduk.
Sar tomtom labo! Hir erho bissa ruk kaba, Betri nanar: Kut imkai waeid, yaw uran yan im, reinad-
yamad rat, reinad einfit. Reinad enduk-rahan am ratut, rehen yaw mehe. Imteuk, itrat ohi did, itit
reinad, wokun luun endit, itnar fo ratid, waeid, tomat ernar itfangnan ithabalin reinad. Hir ertawun
bo, ersikar. Tomat rat enhorak: mangbe eret mumu baeil i ra roi? Mang ernar: Habo u enloi roa roi,
hira na habo raan nesor. Rad nesno: timbie, imhorak hir ental be he ro. Erhorak ernanr: Am reinab
am Masar, yamab am Bugis. Rat nanar: Imwir habo do, fo ittarak-uk te.
Erwier habo-bo nangan ma, betri hiris uran ratut erit ko wat ir neyern hiris rat orut Watwarin mele!
ah! ah! ah! ah! Erker tanat, ertiwak rehe Watwarin senho lelan, f doot ler ental. Butri nanar: Rat,

43
ma wer, urang hir ratoet rin. Rat nefen, nanar: Hir lim baeil rin nuur rad. Eidbo rat enut glas ratut
fo hir rin. Rin bo, butri enhorak: rat, hiraki ni iri endir mu fid roi. Nanar Watwarin waeide. Rat nanar:
ning umat aein he. Rat nanar: ma ruvi wutlim wak, umfaha. Butri nanar: Yaw ufen ufaha rubi
wutlim, oefaha ru! Riwun wak. Eidbo butri entiwut ruk ni reinan bo, ma enher esbo i nefwaeik
enluruk, enwatuk ni esbo namawn ruk, enut rawit-esbo waeit i enreet. Enreet bo nefla.
Sar tomtom labo! refla ruk fel lair Ngil rat, ersikar wel. Teran betotuan aein enseb nuur ngaein bo
nanar: mang kaba aein ersikar watroa roi. Rat nesno wel hir eril-su. Eidbo hir ersu wel ohoi, rat
enhorak : Imut mumur baeil i na roa roi fo aka? Hir ernar: amumirin mam iri. Eidbo hir ratut erduk
kaba ernar we Watwarin : Am bissa yanan reinan ma, erroon. Eidbo hir ratoet erduk kaba ernar we
Watwarin: Am bissa yanan o. Umduk-rahan am, rat ni hon hir neyen erfuu-kuuk matam arum fo
umkai am waeid. Teran aein ensob nuur endeinar ma, nanar wel we rat: Mang kaba erut mumur
baeil watroa roi.
Rat nesno wel tomat werhauwk-il kaba ensue ma, nanar: Butri, umroon aka? Butri yaman yaw he.
Butri nanar : waeid; yaw reinang kler; yamang kud. Rat o umnar yaw yamang o, falhe kaba fo
ittarak bo, itru ithul did tum. Hir ertarak waeil ruk habo, Butri nanar: Ning tum uhul bo, ne rat
umnar o yaw yamang ma, falenhe o umnar laein naa wak. Rat i nanar: Butri, umkai fo teanen yaw
yamam o he; umkai reinam enduk rahan uram hir ratut, rehen mehe Butri o, yaw u-hoba ruk bo, fo
ufaha mu kafnuut ma, tomat hong hir neyen erfot im na kler ba enfot.
Butri nanar: Rat oemkai, umengak yamang o, baeil ning reinan hir neyen erut enfof yaw, baeil
Watwarin enduk-rahan yaw, utaha ning wat sebit enhuv ning ngiv i. Bat enhorak: Watwarin Ii be?
Butri nanar : ini masuhun bo, hub endok kaba raan wuv. Rat nanar: Ma-il do fo lan ratut im fo reinab
hir fit. Eidbo hir erba erhorak Watwarin ma, Watwarin nanar: Immasing ruk yaw wuut mele,
(erfuu-buuk waeide), ma yaw ufen. Nefen bo, Butri nanar: Rat o, ko wat I nefen, niraan aka? Niraan
immasing i waawn wuut. Rat nanar: Betne ning hon hir neyen uut-il hir fo luuan, imehe rat hon,
entarim te waeid? Eidbo hon hir neyen erbobar ma, ernar: Am miski am baeil amut uran-umun hir
bissa raan, ferne am luan waheid.
Eidbo rat nanar: wiub waheid ! Entarim hir luan rehe. Hir eril fo luan bo, Watwarin enol do fo rat
hon. Erut waeil ruk, Butri nanar: Teran rat he, uut reinang hir neyen eril fo umat. Luan hir neyen
ertub ruk kaba teinan ma, Butri enreek ni ngiv, enussit-fee hir neyen, eril fo umat, bail kidin ruru
hub erduk haling-haling. Enreek wel ni wat sebit, enut wel wuan enhuv ulin enil fo kanimun bo, kaba
enhuk-lawk. Eidbo Butri enut hir neyen fo ni iri, famehe rat enhamak-il fo bok. Eidbo rat hon hir
neyen famur refngahair wel Butri ma, wuan aein Butri enmat. Reinan hir fit enhuv rat enhuv ni uran
ratut bissa erhabalin Butri ma, rat ni masuhun laili wuk bo, enmat rehe wuk. Sar tomtom labo ! Ein
ruk.

44
Kidin 6
PUTRI BULAN-BERNAM
DAN KAPTEN ADAN

Dan beginilah ceritanya! – Ayah kapten Adan sudah mendekati semua gadis pulau Seram,
melamar mereka untuk anaknya, tetapi anaknya itu tidak suka sama seorang pun di antara
mereka.
Maka berkatalah ayahnya: “Lantaran engkau tidak suka seorang pun di antara gadis-
gadis Seram, maka pergi saja melamar Bulan Bernam23, puteri raja yang tinggal di Timrun
Kalawun”.
Berkatalah Adan: “Bagaimana ciri-ciri putri Bulan Bernam?” Ia mengenalnya hanya lewat
desas-desus tetapi pada malam Jumat ia melihat dia terlukis di pasir. Dia mengangkat lukisan itu
dan berkata” “Inilah puteri Bulan Bernam”. Ia membawa pulang lukisan itu dan berkata kepada
ayahnya: “Esok aku mau membangun sebuah kapal di dalam bangsal di situ”.
Tiga hari kemudian ia sudah menyelesaikan sebuah kapal. Kemudian ia mengerjakan lagi
kapal-kapal hingga total tujuh buah. Lalu ia berkata kepada ayahnya: “Kumpulkan semua orang
Seram untuk meluncurkannya”.
Tujuh hari kemudian semua kapal itu diluncurkan dan lagi tujuh hari kemudian mereka
bertolak. Sebagai bekal mereka membawa sepuluh karung beras, sebagiannya untuk ayahnya,
sebagiannya untuk dirinya sendiri.
Setelah berlayar selama tujuh hari, mereka tiba di pulau Tayando. Tetapi salah satu dari
rombongan mereka, bernama Sorsan, dengan kapalnya telah menjauhkan diri dari yang lain. Dia
itu yang tadinya telah memuat pisau-pisau dan tabung-tabung tuak.
Mereka haus dan berlabuh pada sebuah kampung bernama Kampung Besi. Mereka
turunkan sauh dan pergi timba air.
Seluruh awak kapten Adan pergi timba air, dan pada memperhatikan bahwa seluruh
pulau itu terdiri atas besi, mereka memuat juga sejumlah besi.
Hanya kapten Adanlah yang tidak mengambil pusing dengan semua besi itu, dan duduk
saja mengiseng-iseng waktu.
Mereka berlayar terus, dan tiba pada sebuah pulau yang bernama Tanah Kuningan.
Mereka pergi lagi timba air dan memperhatikan bahwa seluruh pulau terdiri atas kuningan.
Mereka memuat sebagian dari kuningan itu; hanya kapten Adan membuangnya.
Mereka berlayar terus, dan tiba pada sebuah pulau yang namanya Tanah Perak. Dan lagi
mereka pergi timba air dan melihat bahwa seluruh pulau terdiri atas perak belaka. Mereka
memuat sebagiannya; cuma kapten Adan tidak menghiraukan.
Mereka berlayar terus, dan tiba pada sebuah pulau yang bernama Tanah Emas. Mereka
pergi lagi menimba air dan memperhatikan bahwa negeri ini terdiri hanya melulu atas emas

23 Nama Bulan Bernam diambil dari bahasa Melayu (sekarang sekaligus Bahasa Indonesia): Bulan Purnama.

45
murni. Mereka memuat sebagiannya pada kapal-kapal dan membuang di laut segala besi,
kuningan dan perak; hanya kapten Adanlah yang menertawakan segala usaha itu.
Mereka berlayar terus dan tiba pada sebuah pulau namanya Tanah Emas Merah. Mereka
pergi lagi timba air dan memperhatikan bahwa seluruh negeri itu terdiri atas emas merah yang
murni.
Di situ baru kapten Adan memuat kapalnya sampai penuh. Mereka berlayar terus dan tiba
pada sebuah kampung bernama Bintang, letaknya dekat pada kampung puteri itu.
Mereka melepaskan tujuh tembakan dan tiba di kampung Kalawun, tempat tinggal puteri
Bulan-Bernam. Mereka berlabuh dan raja kampung itu menyuruh orang-orangnya naik kapal-
kapal itu untuk bertanya pedagang siapa yang berlabuh di situ.
Mualim berkata: “Pedagang itu adalah kapten Adan”.
Ia mendayung kembali, tetapi raja menyuruh dia untuk bertanya apakah kapten itu
berniat untuk naik ke darat.
Kata kapten Adan: “Esok aku ke darat”.
Dan beginilah ceritanya! – Di malam hari kapten Adan mandi tujuh kali; dan ketika
saatnya untuk naik ke darat dan pergi ke rumah raja, dia berpakai dalam pakaian emas
seluruhnhya.
Ia mendayung ke dermaga dan pergi ke rumah raja, yang sedang duduk di atas sebuah
tempat tidur yang dibuat dari emas; ia duduk di tengah-tengah rakyatnya.
Raja bertanya: “Apa tujuan pelayaranmu?”
Kapten Adan menjawab: “Awak kapalku sekadar berpesiar”.
Lalu berkatalah raja: “Jika engkau cuma mau bersenang-senang, maka marilah kita
mengadakan sabungan ayam”.
Sahut kapten Adan: “Aku tidak tahu-menahu tentang sabungan ayam”.
Tetapi raja mendesak dan mereka bersama-sama mengadakan sabungan ayam. Tetapi
ayam kapten Adan membunuh dulu ayam raja, dan kemudian ia membunuh semua ayam jantan
di kampung Kalawun, semuanya!
Kemudian raja berkata: “Marilah kita pergi main sepak bola di sana”.24
Tetapi kapten Adan berkata: “Sepak bola? Aku tidak tahu menendang bola”.
Akan tetapi raja mendesak, maka kapten Adan terpaksa menendang jua”.
Perlu diberitahukan, bahwa rumah puteri Bulan Bernam dibangun di atas hanya satu
tiang. Dan bila angin bertiup, maka rumah berputar ikut angin.
Kapten Adan menendang bola itu, bola itu terbang tinggi dan mengena dengan keras
jendela kamar puteri, lalu jatuh.
Dan puteri memasukkan sekapur sirih yang sudah siap pakai ke dalam sebuah kantong
kecil dan menjatuhkannya ke bawah dan jatuhnya tepat di tangan kapten Adan.
Kapten Adan merasa malu karena bola yang ditendangnya telah mengena jendela puteri
itu.

24 Sebuah bola kaki Kei adalah sebuah keranjang berbentuk bulat dan dibuat dari rotan yang telah dianyam;

mempunyai diameter k.l. 15 sampai 20 cm. Tidak ada peraturan main. Para pemain berdiri dalam lingkaran
besar. Maksud permainan ialah bahwa dia yang padanya turunlah bola itu, menendangnya ke atas, dengan
maksud bahwa bola sedapatnya tetap melayang.

46
Tetapi raja pesan: “Tendang lagi sekali!”
Demikian perintah raja, tetapi ia berpikir: nanti harus bagaimana dengan puteri itu? Lalu
ia berkata: “Jika engkau berhasil menendang bola hingga masuk lewat jendela itu, maka puteri itu
menjadi isterimu; kalau tidak berhasil, maka batal.
Kapten Adan menendang, dan bola mengena payudara kanan puteri itu. Para pelayan
puteri membuat puteri itu tetap duduk di tengah rumah itu dan menyembunyikan dia dan tidak
membiarkan dia menunjukkan diri.
Tetapi bola sudah mengena payudara puteri itu dan kakak laki-lakinya naik tangga
setinggi tujuh anak tangga dan bertanya apakah dia sudah menerima kabar. (Yaitu apakah dia
senang dengan mempelainya itu).
Namun puteri tidak mendengarnya. Kakaknya itu naik lagi empat anak tangga dan
bertanya: “Apakah engkau sudah menerima berita atau belum?”
Sahut puteri: “Kabar sudah sampai”.
Lalu kakaknya turun dari tangga dan mengumumkan di sekeliling kampung: “Kapten
Adan sudah menjadi mempelai puteri!”
Segera awak dari lima atau enam kapal bergegas naik kapalnya masing-masing. Mereka
angkat kapak-kapaknya, potong tali sauhnya dan bertolak terburu-buru untuk menyampaikan
kabar itu.
Tetapi kapten Adan tidak ikut dan berkata kepada ipar-iparnya bahwa terlebih dahulu ia
mau merayakan pesta perkawinannya dengan puteri.
Puteri juga mengatakan: “Biar dulu semua penduduk Timrun Kalawun berkumpul untuk
merayakan perkawinan itu”.
Tujuh hari kemudian mereka kawin, tetapi puteri memandang remeh si kapten Adan dan
berkata bahwa ia berbau.
Kapten Adan merasa malu dan berkata: “Awas!”
Dan mereka cerai. Lalu kapten Adan berpakaian emas seluruhnya, namun masih lagi ia
dipandang remeh oleh puteri dan itu membuat dia jadi marah.
Tetapi putri berkata: “Sejak kecil ia memakai pakaian dan pakaian itu sudah menjadi
usang pada tubuhnya, dan tak pernah seorang telah melihat sebagian kecil pun dari tubuhnya”.
Dan dia berkata lagi: “Kapten Adan, jangan merasa malu; memang tubuhmu berbau sekali,
tetapi aku akan membasuhmu”. Ia membasuh dia tujuh kali; lalu sama sekali bersihlah
pengantinnya dan mereka kawin lagi.
Dan beginilah ceritanya! – Kapten Adan ingin berlayar pulang bersama puteri untuk
mengunjungi orang tuanya. Dan puteri berkata: “Jika engkau pergi, kita pergi bersama”.
Kapten Adan berkata: “Aku kuatir akan ayahmu dan saudara-saudaramu; lebih baik
engkau tinggal dulu”.25
Lalu puteri memberitahukan hal ini kepada keluarganya.
Maka berkatalah ayah dan saudara-saudaranya laki-laki kepadanya: “Dialah suamimu;
jika ia pergi, maka pergilah bersama-sama”.

25 Kekuatiran kapten Adan berdasarkan kebiasaan di Kei, bahwa seorang laki-laki tidak boleh membawa
isterinya ke rumahnya sendiri jika harta kawin, sedikitnya untuk sebagian besar, belum dibayar.

47
Lalu kapten Adan membawa harta kawin kepada ayah dan saudara-saudara laki-laki
puteri; seluruh muatan kapalnya dibongkarnya.
Ayah dan saudara-saudara puteri memuati kapal dengan harta-balas, dan mereka berdua,
suami dan isteri, bertolak.
Pada keberangkatannya, semua penduduk kampung dan juga ayah dan saudara-saudara
puteri telah mengiringi mereka ke kapal.
Dan beginilah ceritanya! – Mereka berangkat, tetapi tujuh hari kemudian, meninggallah
kapten Adan. Dia sudah mati, dan puteri menyembunyikan jenazahnya dalam palkar kapal itu.
Ketika beberapa waktu kemudian mereka mendekati sebuah kampung, bertanyalah awak
kapal: “Apakah kita singgah di sini atau tidak?”
Puteri berbohong dan berkata: “Kapten Adan telah minum banyak tuak dan sementara
tidur nyenyak, baiklah kita berlayar terus saja”.
Lagi mereka mendekati sebuah kampung, dan mualim bertanya: “Kita sandar di sini atau
tidak?”
Berkatalah puteri: “Jangan. Kapten Adan telah minum tuak dan dia mabuk, berlayarlah
terus saja”.
Sementara itu tubuh kapten Adan mulai membengkak, tetapi puteri menguliti tubuhnya
itu, lalu mengambil kapur dan menggaraminya dengan itu.
Dan lagi mereka mendekati sebuah kampung, tidak jauh dari tempat tinggal mereka
sendiri, dan puteri berkata: “Kita sudah dekat tempat tinggal kita, baiklah kita berlayar terus
saja”.
Ketika sudah dekat kampung itu, puteri mulai meratap. Pada malam hari kapal sandar di
situ. Di dalam kapal puteri berkeluh-kesah tentang kapten Adan dan tentang semua adik-
kakaknya sampai dengan yang bungsu.
Adik-kakak kapten Adan mendengarnya dan yang bungsu berkata: “Sepertinya ada orang
yang menangisi kapten Adan”.
Ibunya berkata: “Begitu sedihlah kita karena kapten Adan; jangan menyebut namanya,
karena itu bagaikan suatu kutukan”.
Seorang kakaknya mendengar itu dan berkata: “Namun, benar-benar, sepertinya
seseorang menangisi kapten Adan”.
Ibunya berkata lagi: “Begitu sedihlah kita karena kapten Adan; jangan menyebut
namanya, karena itu bagaikan suatu kutukan”.
Kemudian semua kakaknya menyatakan hal yang sama dan yang sulung berkata:
“Memang, Ibu, sepertinya seorang menangisi kapten Adan”.
Lalu ibu itu menyuruh hamba-hambanya untuk pergi periksa.
Mereka pergi dan bertanya: “Kapal siapa ini?”
Mualim menjawan: “Kapal ini kapal kapten Adan”.
Orang bertanya lagi: “Siapa sedang menangis di dalam kapal ini sambil menyebut-nyebut
nama kapten Adan?”
Mereka menjawab: “Kami tidak tahu”. Maklumlah, puteri telah mengelabui mereka,
sehingga mereka tidak tahu-menahu.
Lalu berserulah puteri: “Kapten Adan telah meninggal!”

48
Lalu mereka mendayung kembali dan memberitahukan kepada saudara-saudaranya:
“Kapten Adan sudah meninggal”.
Ketika mereka mendengar bahwa kapten Adan sudah mati, mereka tergulung-gulung dan
merayap-rayap di tanah sambil menangis, karena mereka sangat sedih.
Ketika sudah menjadi siang, semua orang Seram membawa datang sebuah tempat tidur
hendak membaringkan ke atasnya baik suami maupun isteri.
Mereka menempatkan tempat tidur di situ dan semua orang Seram itu menangis. Tetapi
ketika semuanya menangis, maka puteri berhenti menangis.
Dia berhenti menangis dan melipur lara semua kaum keluarganya di seluruh negeri.
Setelah menghibur mereka semua, dia pergi berdiri di pintu rumah dan bersumpah: “Jika
yang ini (aku yang berdiri di sini) adalah keturunan orang budak dan hamba, pelayan dan suangi,
maka semoga ia tidak melihat jamu penyembuh yang bertumbuh di sisi tangga; tetapi jika ia
adalah anak dan keturunan raja-raja besar, kasta tinggi, pejabat tinggi kenegaraan, maka semoga
ia melihat jamu penyembuh yang bertumbuh di sebelah-menyebelah tangga itu”.
Kemudian puteri turun lewat tangga itu dan dia melihat jamu penyembuh itu; ia
memasukkannya ke dalam sebuah gelas dan memerasnya dengan minyak untuk menghidupkan
kembali suaminya.
Dia menggosok dulu lengan tangan kanannya dengan obat itu, dan lengan itu bergerak.
Dia menggosok juga lengan tangan kirinya, dan lengan itu bergerak.
Dia menggosok matanya, dan mata itu jadi terbuka.
Dia menggosok badannya, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan, dan kembalilah ia
bernafas.
Sesudah ia suruh suaminya berdiri dan dia pergi memandikan dia di pendopo-dalam.
Dia sudah hidup kembali, dan puteri mengambil air untuk membasuh dia dan
membersihkan dia dari kapur dan semua yang lain. Lalu ia kelihatan lagi seperti kapten Adan
yang dahulu.
Dia telah hidup kembali dan mereka hidup kembali sebagai suami-isteri.
Akan tetapi dua bulan kemudian meninggallah puteri. Kapten Adan berkabung karena
isterinya itu dan mengikuti dia masuk kubur.
Ibunya dan saudara-saudara perempuannya meratapi mereka berdua; mereka
mengerjakan sebuah kubur keluarga dan menguburkan mereka bersama.
Demikianlah kisah ini. Dan sudah habislah kisah ini.

Sar tomtom labo! Enkod Adan ni jaman enhorak wat Seran bissa ma, enkod Adan nefen
bissa. Eidbo ni jaman nanar: Mufen wat Seran bissa mele, felhe umbwa sumhaawk Butri Bulan-
Bernam enduk ohoi Timrun Kalawun. Adan nanar: Butri Bulan-Bernam wahan felan falbebe wak?
Endeinar wat iwar bo, jurnat dedan enit ni waawn na nguur ea ratan. Entha yaeik ma, nanar: Butri
Bulan-Bernam ruk i. Entaha ti rahan, nanar: we ni yaman: Meran udad ning kaba na enmalir woev.
Endad ni kaba bo, raftil mehe kaba aein. Enut bissa fo einfit. Nanar we yaman: umduk mang seran
bissa, sertuu. Hir raffit ertuu senloi; raffit ertawu. Enut kokat karun wut fo yaman kis woho, i kis
woho.

49
Refla bo, raffit erho Tehjad. Eidbo tomat aein, meman Sorsan, ni kaba nefla-talik i bo, entaha baeil
ngiv enhuv sul-kawowar. Feli hir rebro ma, erho ohoi aein, meman ohoi Atman. Erhilik watsin, erho
fo erleek wer. Enkod Adan ni marwuun bissa erho erleek wer, erit nuhu i baeil atman wat, eryaeid
woek woho. Enkod Adan mehe minstar atman waeid, natmeen wat. Nefla wel bo, enho wel ohoi aein
meman oho ibis hir erba wel erleek wer ma, erit wel nuhu i bis famehe wat. Eryaeid wel woho, baeil
wat enkod Adan enwatuk wat.
Refla wel bo, erho wel ohoi aein meman Per. Erba erleek wer, erit wel ohoi i perah famehe wat. Erlon
wel woho, baeil enkod Adan nesngan wat. Refla wel bo, erho ohoi aein meman Mas. Erba wel erleek
wer, erit wel nuhu i mas wat. Erbuat woho wuk na kaba, erwatuk bissa atman, bis, perah, bissa; baeil
enkod Adan enleik-tuu wel, enmalit wat. Refla wel bo, erho wel ohoi aein meman Timruun, erba wel
enleek wer, erit nuhu i mas timruun famehe wat. Deni enkod Adan enyaeit wuk na ni kaba famehe
raan. Enyaeit bissa ruk bo, refla wel erho ohoi aein meman Bintang, sirsir ruk Butri no ohoi.
Eidbo hir ertun raan fit bo, fomur erho ohoi Kalawoen, Butri Bulan-Bernam ni dukdu. Erhilik i
watsin ma, rat ohoi i nesno ni murit erlenan kaba fo erhorak tomat sedangar enbe wak entua ni
ohoi i. Stiman nanar: Enkod Adan i. I enwehe–il ma, rat nesno wel senhorak, i enhawk entubur wuk
te waeid. Enkod Adan nanar: Fel meran-uk utubur.
Sar toemtoem labo! Dedan ruk ma enkod Adan enluruk fafit, enut ni bakeen mas famehe wat ma,
leran tubtubur i enho rat ni rahan. Enwehe tit entut nam bo, enrat rahan rat ni, enduk atban mas,
tomat bissa enantar i. Rat nanar: Umbwa umut aka? Enkod Adan nanar: Ning murid erba natmeen
wat. Fomur rat nanar: bet imbem wat, itru itbem manut de? Tomat enkod Adan nanar: Manut, ukai
ubein manut. Hirru erbein manort, enkod Adan ni manut enfedan laein rat ni, famur enfedan manut
ohoi Kalawun bissa, bissa rehe.
Fomur rat i nanar: Itho roi, itbein terai-sembat. i bo enkod Adan nanar: Ubein sembat, ukai ubit
waeid. Nakma rat enfaut namris bo, i enbit rehe. Enbit bo, Boetri ini lir einmehe ni rahan enloi, leen
mehe, niut enbein, enduk enbein wat. Enkod Adan enbit sembat , enbit bo, sembat enrat enken Butri
ni esniwut; enrat ma, enlek-il su. Lek-il, tomat Butri enut sir-masak enut nab is mas, enwatuk-su,
enlek enkod Adan ni liman raan. Enkod Adan enmeek : enmeek i enbit, ni sembat enrat enken Butri
ni esniwut. I bo, rat nesno: Umbit wel.
Rat nesno fo enbit wel ma nanar: Ubit, ubit wat bo, nakma poetossan ko wat i endok falbe? Rat
nanar: Umbit, terai enti esniwut raan, Butri o hom; waeid o hom waeid. Eidbo enkod Adan enbit-rat,
enbit ke Butri ni sus kedin mel. Butri hir erut enduk rahan raan, erfakwunini, enwussak woleen
waeid. Eidbo terai ental ken ruk Butri ni sus ma, ni uran enrat, endir reet yawun fit, enhorak: Ni
alamat enrat te hub? (Waawn nanar: Ni suk hon te waeid?) Eidbo Butri enfatlin waeid. Enrat wel
yawun fak, enhorak wel: Omu alamat enrat te hub? Fomur Butri enhawa nanar: Alamat enrat ruk.
Eidbo ensue, enwoo-tul na ohoi bissa: Butri ni hon neblo ruk i enkod Adan.
Fomur tomat kaba raan lim te neyen refla-su ni kaba, ertaha baeil rir ngir, erat-tetat watsin lilan,
reslan fo refla, fo ertaha iwar. Baeil enkod Adan i waeid; i nanar we ni ifarin, fo erut i hirru Butri
rafaw naa wak. Butri nanar wuk : Tomat Timruun Kalawun ernem bissa wak, fo erut hir erbatsinik.
Eidbo leran enfit, hir erbatsinik ma, Butri nefkalkin enkod Adan human sien. Eidbo enkod Adan
enmeek, nanar: Umbatang. Hirru rafaw waeid ruk. Enkod Adan ni bakbakeen ma swat bo, Butri
nefkalkin bo, i raan sein. Eidbo romat Butri nanar: Ental ni melmel rawit naa, senlawur na ni ulin,
hira enit i waeid, hira enit i waeid, hira enit ni arumun waeid; o ulim hoeman sien bo, namka Butir
enluruk o. Enluruk i fafit, ma ni hon brissi, hirru rafaw.
Sar tomtom labo ! Butri hirru enkod Adan erhaawk refla-il, fo erhul ni reinan-yaman. Butri nanar:
O umhoba, itru ithoba. Enkod Adan nanar: Ubobar omu yaman-uran ma, o omduk. Eidbo Butri

50
imehe nanar: we ni yaman-uran. Butri yaman-uran ernar: Omu hon bo, fel enhoba, imru imhoba.
Eidbo fomur enkod Adan entuu wur-harta we Butri ni yaman-uran, enyaeit afa bissa, kaba raan
bissa. Butri yaman-uran ermuwat wel afa na kaba ma, hirru wat beranran refla. Refla bo, ohoi ratut
bissa hiris Butri yaman-uran bissa erduak hir; erho kaba ma refla.
Sar tomtom labo! Refla ma, no raffit enkod Adan enmat rehe. Enmat bo Butri enfakwunin ni nit na
kaba raan. Eidbo mangmang erho leen-sir ohoi aein, ni murid erhorak: itloi deni i waeid? Butri
enweeng nanar : enkod Adan nin tut angled ma, nakna-wut, entub-kein, itnesluruk rehe. Erho leen-
sir wel ohoi aein ma, striman enhorak wel: itloi i te waeid? Butri nanar: itloi waeid: enkod Adan ni
tut ma, naknawut, itafla wat. Fomur enkod Adan natbubur ruk bo, Butri endandan-watuk ulin,
enreek yafur, enmassin arumun. Eidbo refla-ti wel ohoi aein, ni ohoi sirsir ruk, Butri nanar: ohoi
sirsir bo, itafla rehe ohoi.
Refla sirsir ruk ohoi, Butri enroon. Dedan kaba enloi. Kaba raan enroon enkod Adan enhuv ni oeran,
ni warin, loisus bissa. Tomat enkod Adan ni uran warin hir neyen erfatlin, en warin nanar: Hira
enroon, waawn enroon enkod Adan. i enroon ma, ni reinan nanar: ithabaling enkod Adan baeil i,
batang umdeeng meman i enour wahaeid. Eidbo en matwan enfatlin wel, nanar: Hira enroon rehe,
waawn enroon enkod Adan. Ni reinan nanar: ithabaling enkod Adan baeil i, batang umdeeng
meman i ener wahaeid he! Fomur matwan hir lim nuteen bissa waawn wat i, i bo en yan nanar wel:
Oho n’aka? Nen he, hira enroon, waawn enroon enkod Adan he.
Eidbo nesno ni umat enba enleik. Erho bo, erhorak: Hiraki ni kaba he? Striman nanar: Enkod Adan
ni. Tomat enhorak: Hiraki enroon na kaba raan i, ensoeboet enkod Adan? hir ernar: Amkai waeid.
Umkai Butri enweeng hir, fo erkai waeid. Fomur Butri enwoo: Enkod Adan enmat ruk oh! Eidbo
erwehe-il, ernar we ni uran: enkod Adan enmat ruk. Hir erkai enkod Adan enmat, erle-laa, erroon,
rir, massouhun laili. Hamar ruk bo, tomat serain bissa ersablur atban, ni wat-abran hirru ertub.
Ersablur atban i do, tomat seran bissa erroon. Erroon, Butri enrroon-talik. Enrroon-talik bo, nefra
ni uran warin, an-warin ohoi nuhu bissa.
Nefra bissa wak, entail rehe fid matan, entor-taroman, nanar: Bet moubong, kab-lema, iri howang
yanar-ubur i, i entubu-su, enit aron endir reet ruhun waheid. Bet i rak aknas, melmel-kanew, dir-u
ham-wang yanar-ubur i, ontubur ensue, enit aron endir reet kedin roe enharoeb endat. Fomur Butri
entoeboer ensue, enit aron, enoetna glas ma, enoet, enferak enhov ngoe nanfangwaeik ni abran.
Eidbo enut laein na ni liman kedin mel bo, liman kedin mel wilun. Enut wel na liman kedin balit,
liman kedin balit wilun. Enut na matan, matan enlangar. Enut na ni tumun laiten, enhut howan
ensue enut enho i ensu, hanaan endat. Fomur enyangun no hon enbatar, enho katleen enluruk.
Enwaeit-il ruk, Butri enreek wer, enluruk bissa, enlureek-watuk yafur afa afa; i ulin–raein wel
waawn enkod Adan lalaeinle. Fomur enwaeit, hirru hon rafaw wel. Eidbo Butri ni wuan ru enmat.
Enkod Adan enhabalin wel ni hon, enmat norang. Ni reinan uran bissa erhabalin hirru bissa, ertut
kubur tum, ertiwak hirru bissa famehe. Sar tomtom, wahan ruk i.

51
Kidin 7
KISAH BOKETSIN

Orang telah membeli Boketsin menjadi isteri Lesemboan. Mereka menghiasi sebuah
perahu bélang; rencananya sesudah dua hari mereka akan mendayung ke kampung Boketsin
untuk menjemputnya.
Tetapi pada malam hari ada seekor ular yang mengubahkan dirinya menjadi Lesemboan.
Ular itu mendekati Boketsin dan berkata bahwa ia datang untuk membawa lari dia, supaya
bersama-sama mereka pergi ke kampungnya. Ular itu berpura-pura bahwa dialah Lesemboan.26
Mereka berdua naik sebuah perahu dan bertolak.
Mereka mendayung ke tempat tinggal ular itu dan berjalan bersama ke kaki sebuah bukit
batu yang tinggi, ialah tempat tinggal ular itu. Di situ ia mengubahkan diri kembali menjadi seekor
ular dan berkata: “Mari kita naik ke atas”.
Sahut Boketsin: “Aku tidak mampu naik setinggi itu”.
Lalu ular mengangkat dia pada punggungnya dan membawa dia naik dan menempatkan
dia di atas puncak bukit batu itu.
Maka ia duduk di situ, dan orang yang pagi hari mendayung dari kampung, tidak
menemukannya.
Orang tua Boketsin berkata: “Lesemboan telah menjemput dia kemarin, dan sudah
dayung pulang.
Maka mereka mendayung pulang ke kampungnya dan semua orang mulai mencari
Boketsin. Hanya Lesemboan yang tinggal di kampung.
Orang mencari Boketsin selama banyak hari, dan mereka mencari dia selama banyak
malam, amat lama sekali, tetapi tidak ada orang yang menemukan dia.
Dan beginilah ceritanya! – Orang tua mertua Boketsin mengunci pintu rumahnya dan
tinggal tetap di dalam rumah. Mereka menutup juga jendela-jendela agar tidak akan mendengar
nama Boketsin. Mereka menyumbat juga telinga mereka, (karena mereka sangat bersedih hati),
supaya nama Boketsin tidak akan mereka dengar.
Amat lama sesudahnya ada seorang ibu yang sudah tua, yakni nenek Boketsin, yang pergi
ke pantai hendak mencari kerang. Boketsin, yang masih duduk di atas puncak bukit batu itu,
memandang kebawah dan melihat neneknya.
Ketika Boketsin melihat ibu yang sudah tua itu sedang mencari kerang, dan mengenal
kembali dia sebagai neneknya, ia mulai berkeluh-kesah, katanya:
Wowa, wowa, tukun lena,
Enwalan enhawalan Lesemboan ah!27

26 Bila
kaum tua-tua yang harus mengambil keputusan tentang sebuah perkawinan memakai waktu terlalu
lama untuk sampai pada suatu kesepakatan, maka tak jarang terjadi bahwa pemuda dan pemudi yang
bersangkutan tidak sabar lagi dan si pemuda membawa lari saja gadisnya.
27 Kisah ini terjadi dalam suatu negeri asing. Lagu Boketsin dikutip dalam bahasanya sendiri. Bahasa ini
tidak dikenal oleh pencatat kisah ini (ialah Pater H.Geurtjens).

52
Demikian keluhannya sebanyak tiga kali. Kali pertama ibu yang tua itu tidak
mendengarnya. Pada kali kedua, Boketsin melihat ibu itu berjalan di laut. Ketika ia ucapkan
keluhannya untuk ketiga kalinya, ibu itu mendengarnya dan tinggal berdiri. Ketika ia berdiri
begitu, Boketsin mengucapkan keluhannya lagi satu kali. Dia mengenal kembali neneknya dan
melambai-lambai dengan tangannya sambil berseru: “Nenek! Nenek!”
Ibu itu berjalan kembali ke kampung dan menceritakan pengalamannya itu kepada
Lesemboan dan kepada semua orang di kampung, dan mengumpulkan mereka semua untuk
bersama pergi ke tempat itu.
Semua orang dari kampung itu pergi ke bukit batu itu, mengasah kapak-kapak dan
parang-parang mereka serta perkakas lain, untuk bersama-sama menumbangkan bukit batu
tempat duduklah Boketsin.
Mereka menghantam bukit batu itu dan hampir tembus: batu itu nyaris mau tumbang,
tetapi tiba-tiba ular itu dengan sihirnya membuat batu itu utuh kembali.
Mereka berusaha sekali lagi dan menghantam batu itu dengan segenap tenaga hingga
hampir saja bukit batu itu akan tumbang; namun sekali lagi dijadikan utuh kembali.
Maka mereka sadar bahwa segala usaha mereka percuma, lalu orang tua Boketsin dan
semua orang lain pasrah saja.
Dan beginilah ceritanya! – Boketsin masih menunggu selama waktu yang lama, lalu ia
mencoba memperdayakan ular itu. Ketika mereka duduk bersama di situ, berkatalah Boketsin:
“Ketika aku masih tinggal bersama ayah dan saudara-saudaraku, mereka memberikan aku ikan-
ikan yang melompat di atas permukaan laut, supaya aku bermain dengannya.
Jawablah ular: “Apakah engkau menginginkan ikan-ikan itu? Tunggu, aku akan
memberikannya kepadamu”.
Ular itu pergi, dan kembali dengan membawa ikan-ikan itu; dia menggeliat lehernya jauh
ke depan, sehingga hanya ekornya ada di atas bukit batu itu untuk menjagai Boketsin.
Kemudian Boketsin menginginkan ikan-ikan lumba-lumba dan berkata: “Ketika aku
masih tinggal bersama ayah dan saudara-saudaraku dan menginginkan ikan-ikan lumba untuk
bermain, mereka dengan mudah menangkap ikan-ikan itu untuk aku”.
Jawab ular: “Tunggu, aku akan memberikannya kepadamu”.
Dia menggeliat lehernya dan berhasil menangkap seekor. Hanya ekornya saja yang
menetap di atas bukit batu itu untuk menjagai Boketsin.
Ketika pada suatu kesempatan mereka duduk lagi bersama, berkatalah Boketsin:
“Tengoklah, di sana, jauh di laut ada suatu benda besar sementara menyembur air; coba lihat
betapa besar semprotan air laut itu! Ketika aku masih tinggal bersama ayah dan saudara-
saudaraku, mereka memberikan itu kepadaku untuk bermain”.
Berkatalah ular: “Tunggu, aku akan memberikannya kepadamu”. Ular itu menerjunkan
kepalanya ke dalam laut dan ia menggeliat lehernya jauh sekali; hanya ekornya saja yang masih
menetap di atas bukit batu itu. Dia makin bergeliat, lalu membelit seekor ikan paus yang amat
besar, yang sementara menyembur air laut. Mula-mula ia tidak berhasil, namun akhirnya berhasil
juga dan ia menghela naik ikan itu.
Tengoklah, Boketsin bermaksud memperdayakan ular, tetapi usahanya percuma. Pada
suatu hari, ketika mereka duduk lagi bersama, ia melihat matahari sedang terbenam, nyaris
tenggelam dalam laut dan ia berkata: “Ketika aku masih tinggal bersama ayahku dan saudara-

53
saudaraku, mereka memberikan kepadaku benda merah yang tergantung di sana supaya aku
dapat bermain dengannya”.
Ular berkata: “Maukah engkau memiliki benda itu pun? Nah, tunggu, aku akan
memberikannya kepadamu”.
Dan ular itu mau tangkap matahari; ia menggeliat lehernya, tetapi tidak bisa
menjangkaunya; dia bergeliat dan beregang-regang, tetapi matahari sedang menurun; badannya
tegang, ia menggeliat lehernya, membuka lagi satu belitan, tetapi matahari makin menurun dan
masih di luar jangkauannya . . . ia menegangkan diri . . . menegangkan diri . . . sampai ekornya pun
lepas dari bukit batu dan menuju ke matahari.
Pada saat itu – akhirnya – Boketsin duduk seorang diri. Kebetulan ada seekor burung
madu bersama seekor burung kolibri di puncak sebatang pohon kelapa. Mereka datang terbang
menuju Boketsin dan dia berkata” “Bawa aku keluar dari sini”.
Ketika kedua burung kecil itu ragu-ragu, berkatalah Boketsin: “Aku akan membayar;
kamu minta berapa?”
Kedua burung itu berkata: “Berikanlah kepada kami pakaian yang kaupakai itu”.
Boketsin setuju dan selain pakaiannya dia memberi juga anting-antingnya, cincin-
cincinnya, gelang-gelangnya dan segala hiasannya. Selain itu ia masih memberikan lagi kepada
mereka boncis, kacang ijo, ubi-ubian, pisang-pisang dan semua makanan yang terdapat di dunia,
untuk dimakan.
Burung-burung itu memasak dan makan. Sementara mereka makan, Boketsin mengambil
seekor kutu gemuk dari kondenya, menaruh dia di atas tikarnya dan memesan kepadanya: “Jika
ular memanggil aku, kamulah yang harus menjawab”.
Lalu Boketsin meloncat ke atas akup burung-burung kecil itu dan segera mereka
berangkat terbang. Mereka terbang ke kampung itu dan menempatkan Boketsin di puncak
sebuah pohon jeruk nipis, yang terdapat di samping sebuah sumur.
Sementara itu ular telah kembali dan berseru: “Boketsin! Boketsin!”
Jawab kutu itu: “Ya, aku di sini!”
Ular itu mencari dan berseru, tetapi tidak jadi menemukannya. Kutu itu duduk menjawab
panggilannya. Suaranya kecil dan ular memandang ke kejauhan tetapi tidak melihat apa-apa. Dia
menjungkirbalikkan segala sesuatu, tetapi – walaupun kutu itu adalah seekor kutu besar –
sebetulnya juga dia amat kecil, dan sama sekali tidak bisa dilihat oleh ular. Maka dia marah
kepada Boketsin atas penipuannya dan pergi mencari dia.
Dan beginilah ceritanya! – Boketsin sementara duduk di ujung pohon jeruk nipis, ketika
gadis-gadis muda dari kampung datang menimba air. Sambil menimba air, mereka memandang
ke air yang dibawah itu dan melihat muka Boketsin tercermin dalam air. Mereka menengadah ke
puncak pohon jeruk itu dan melihat Boketsin.
Gadis-gadis itu lalu berlari ke kampung dan berseru kepada semua orang dan kepada ibu-
bapa mertua Boketsin: “Boketsin ada di sana, dekat sumur”.
Sahut mereka: “Siapa gerangan berani menyebut-nyebut nama Boketsin? Diamlah! Kami
sangat berduka cita karena Boketsin; jangan menyebut namanya!
Berkatalah gadis-gadis itu: “Tetapi apa yang kami mengatakan itu sungguh benar!”
Semua orang, besar-kecil, pergi ke sumur itu. Ibu-bapa mertuanya mengambil sumbatan
keluar dari telinganya dan membuka pintu rumah.

54
Sementara itu orang membawa Boketsin kembali ke kampung: semua orang menandu dia
sampai ke rumahnya; orang menimba air, memeras buah kelapa dan jeruk nipis untuk
menghilangkan bau busuk ular itu.
Dan beginilah cerita! – Ketika ular itu tidak menemukan Boketsin, ia pergi mencari dia; ia
turun dari bukit itu dan pergi ke kampung di mana tinggallah manusia.
Di situ ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang menganyam sebuah keranjang
ikan, dan ia bertanya kepadanya: “Tuan, tidakkah bapak menemukan di sini sesuatu yang adalah
milikku?”
Tuan itu menjawab: “Aku tidak tahu-menahu tentang barang milikmu; aku telah tinggal
dalam kampung; dan juga seandainya barang itu hilang di sini, maka aku tidak tahu jua”.
Ular itu lalu sampai suatu tempat di mana seorang Tiur 28 duduk menempa besi dan ia
bertanya: “Apakah bapak menemukan di sini sesuatu yang adalah milikku?”
Orang Tiur itu bilang: “Aku sama sekali tidak tahu”.
Ular itu bertanya-tanya di mana-mana, tetapi di setiap tempat ia mendapat jawaban yang
sama. Akhirnya ia berkata: “Lagi tujuh hari kamu akan melihat aku kembali di sini, maka aku akan
tuntut kembali milik yang ku kehilangan di sini. Agaknya kamu belum mengenal aku, namun akan
mengenal aku”.
Semua orang di kampung menjadi takut dan mereka berunding. Bapak dari Tiur itu rela
menyelesaikan perkara dengan ular itu.
Tujuh hari kemudian ular itu kembali, dan bapak Tiur itu berhasil memperdayakan dia.
Ular itu mula-mula mencoba membujuk orang dan berbicara sangat manis. Ketika ia
memperhatikan gigi hitam bapak Tiur itu, ia berkata: “Apa yang kaubuat pada gigimu yang
membuatnya mengilap hitam begitu bagus?”
Dia menjawab: “Kami menghangatkan sepotong besi dan membuat besi itu mengena gigi”
(sudah mengerti ya: ia menipu ular).
Kata si ular: “Kalau begitu, aku mohon supaya bapak membuat itu pun pada gigiku”.
Bapak Tiur bilang: “Sambil menunggu, silakan duduk di bangku itu”.
Lalu bapak Tiur itu tarik puputan angin dan membuat sepotong besi jadi panas terik dan
menyuruh ular itu untuk menganga.
Ketika ular itu menganga dengan mulut terbuka lebar-lebar, ia melempar besi yang panas
pijar itu ke dalam moncongnya dan berkata: “Naam tela telas”.
Dan sepotong besi lain lagi ia lempar masuk ke dalam moncongnya sambil berseru: “Naam
mina minat”.
Semua orang kampung itu menjadi takut dan lari pergi. Perut ular itu mendidih dan besi
itu membakar isi rongga badannya. Dia berdiri tegak, dan besi itu menembus perutnya dan jatuh
di tanah, yang terbelah dua karenanya.

28Orang Kei tidak tahu menempa besi. Tetapi ada tukang-tukang besi dari pulau Tiur yang pada waktu-
waktu tertentu singgah di Kei, di mana dengan alat-alat tempa yang sangat sederhana mereka pergi dari
kampung ke kampung untuk mengerjakan alat-alat rumah tangga.

55
Sudah matilah ular itu dan semua orang menghela bangkai itu keluar. Sejak waktu itu ada
di tempat itu sebuah selat besar, lantaran besi ular itu telah membelah pulau itu menjadi dua
bagian. Bagian ini dari pulau selanjutnya disebut orang Hiwur-man (berarti Perut-besi).29
Demikian berakhirlah kisah ini.

---------------------------------

Boketsin erfaha fo tomat ain, meman Lesemboan hoan. Edbo erreed belan fo waawn rafru
erwehe fo Boketsin ni ohoi fo erdok i. Edbo fel dei rubai ain enwal-il fo Lesemboan. Enrat nanar i
enba endat entuu Boketsin fo hirru ersu ni ohoi rubai enweang i Lesemboan. Edbo hirru ersu habo
ma erwehe-il. Erwehe-il ersu robai ni ohoi bo, hirru erbaro wat utin,rubai ni ohoi. Erho bo, robai
enotil fo robai . robai nanar: it seb de? Boketsin nanar: useb na waid. Robai en ot Boketsi endok ni
tetan , enwar woar rat, enot sundok watmuban rat he!
Endok bo, tomat ohoi fel meran erwehe, er it Boketsin waid. Boketsin renan-jaman ernar:
Lesemboan enhawuk ental deenla, enwehe-il rak. Erwehe- rat bo, erwehe-il ohoi, hir bissa erhawuk
Boketsin. Lesemboan mehe endok uba ohoi. Erhawuk de wat ma, hira en it waid: dedan wat rehen
wel, amnatnatli erli hawuk, hira en it waid.
Sar tomtom labo!-Boketsin renan-jaman ertowan-nut rir fid, erdok rahan raan, erfoe-koek fid,
esniwut bissa, fo erfatlin Boketsin meman wahid. Erfok wel arur, ( rir masuhun lai waid ) fo erdenar
Boketsin meman wahid. Edbo sar te amnatnatli wel wat betutuan ain Boketsin bunte. Boketsin
endok enliik tete entai met bo, en ef ken ni bunte ma, enroon:
Wowa, wowa tukun lena. Enwalan enhawalan Lesemboan ah! Edbo enroon fatil. Enroon lai li, tete
endenar i hob. Faa wel, en it tete enlur tahit. Enroon fel, enfatkak ruk ma, endir. Endir, Boketsin
enroon faa wel. En ef ken bo, en af namris liman, enwoo ris: Bunte ! bunte ! Bunte nefla-il ohoi. Nefla-
il bo, enba nanartul we Lesemboan, enhov tomat bissa, en uk hir bisbisa ersu.
Hir ohoi ratut ernem na wat, er raha bisa sav aftetat, nger neran-matan bissa, ernem, erdok en etan
wat laai li, Boketsin endok. Er etan wat i bo, er etan wat ket ruk, enhawuk ruk enlek ma, robai en ot
ni adil, wat en il fo kanimun wel. Faa wel erro wel, er etan-saruk wel, wat enhawuk en lek, en il fo
kanimun wel. Kanimun bo, er ot, er ot na rak waid, renan jaman, ohoi bissa ertalik rak.
Sar tomtom labo ! Entek famehe amnanat-li wal, Boketsin en ot enweang robai i. Hirru erdok,
Boketsin nanar: Jad udok enhow jamang –urang, ra jad woet dom nesohok tahit roi, ra fo ning
beben. Robai nanar : Omsehek woet i, om tek udan, ea. I enro ma, entaha-do ; entongar ni lelan
bloatli ma, ni welan mehe entub uba wat ratan, nan batang Boketsin i. Edbo famur wel ensehek wel
arad, nanar: udok enhov jamang –urang, uhawuk utaha arad fo uban, hir ertaha, hir er ot naa wat.
Robai nanar : Omtek dedan de. Entongar wat lelan, entaha rehe welan mehe endok wat ratan
enbatang Boketsin.

29Pulau terbesar di Kei Kecil namanya Hiwur-maan. Tak mudah untuk menentukan sejauh mana nama ini
mempunyai kaitan dengan legenda ini. Hiwur atau sebenarnya iwur, adalah bentuk jamak dari iwun = perut.
Mungkin kata man adalah singkatan dari atman = besi, walaupun bentuk singkat kata ini, bila dipakai dalam
kata-kata majemuk, lazimnya adalah atma. Dalam hal itu terjemahannya adalah: perut-perut besi.
Dari ciri-ciri cerita ini, yang rupanya dilokasikan di luar Kei, kita cenderung mengatakan bahwa legenda ini
tidak telah berkembang berdasarkan suatu fenomena alamiah, melainkan bahwa suatu legenda yang sudah
dikenal, berdasarkan suatu analogi peristilahan telah diterapkan pada suatu situasi atau fakta yang riil.

56
Edbo faa erdok wel, Boketsin nanar : Kashe, na tahit roro roi afa laai tenli nekfinur, tahit enrat bail
! Omkai, udok enhov jamang-urang, ertaha-do wat fo ning beben. Robai i nanar : Omtek udan de.
Edbo enwatuk ne beoen su tahit enro abloatli ; welan endok uba wat ratan. Enwatuk su bo, eneslibat
lorwan laaili ain, enloi nekfinur tahit roi. Lain en ot na waid ; mangmang en ot na, enwer- rat . I bo
Boketsin enhawuk en weeng robai i bo, en ot na waid. Faa wel hiru erdok, en it ler ensu, wukun
namdo, nanar : Udok enhov jamang-urang, ra wat afa welwel enloi rat, fo ning beben. Robai nanar
: Omsehek wel afa i, Omtek udan,de. Edbo robai enot fo enhawuk ler ma, entongar lelan, en ahatok ;
ensok fo entetar ; ler ensu ; etub katar ulin narni, lelan entongar . . . . ulin su enwelar wel ma, ler
ensu, entaha naa waid ; entongar.... entongar. . . . entongar . . . . welan wuk enbusil ohoi, enba norang
wel ler.
Enbusil wuk, Boketsin mehe, wat endok ruk. Edbo safsiw endok nuur uban, safsiw enhov sangwa fo
enru. Erwer erdat, Boketsin nanar: Imwav yaau. Manut ernar : ma mu rawit esbo rak i. Boketsin
enterim bo, entu wal ni funfan ni tantan, ni a, ni mas bisa, enhov en ot wel nafohot, tangun,en,muu,
benaw na bum ratan bisa, fo hiru raan. Hirru er ot uran ma, raan. Raan Boketsin entaha eat laai
ain ental ni sarsoen en ot endok dar raan, ensib : Robai bet enhorak yaaw om hawa. I bo, Boketsin
en ohok endok manut halaan, hiru er or, er or su ohoi, eryoat Boketsin endok roen uban, endir wer
ratan.
Robai en il, enlai-hawuk Boketsin, en woo : Boketsin ! Boketsin ej ! Ot en ot : ai ! udok i ja ! Robai
enlaai-hawuk, en woo namris ma, en it waid. Ot endok enhawa wat dar raan, woen kot ma, robai
enliik roro ma, en it waid. Entaha- wel wilak wel afa bisa rahan raan ma, ot lai wel te, afa kutsen
ma, robai en it rehe i waid. Raan sian Boketsin en ot i ma, nefla ba enhawuk.
Sar tomtom labo !- Boketsin endok rak roen uban ma, endok ma, amnelat ohoi erba erliik wer. Erliik
wer, erliik –su ; er it Boketsin mavan wer raan wev. I wak ertok-dat roen, er it Boketsin. Er it, kot
wat refla-il ohoi, er woo tul we tomat ohoi enhov Boketsin renan – jaman i er woo : Boketsin meman
bail i ! Im deang talik, am mamasuhun bail i ; im deang Boketsin meman wahid ! Tomat kot ernar :
Amnar tunan he ! Tomat kot lai bissa erba erlaik wear. Renan-jaman er ot lauk foe na arun enhov
na fid. Er ot watuk bo, tomat bisaa erwalil rak Boketsin enma ohoi. Umat ohoi nuhu bisa erwav
Boketsin er ot endok rahan, erlaik wear nan luruk watuk robai human, ertar reframat nur, erferak
roen.
Sar tomtom labo !- Robai en it waid rak ma, enba enhauk Boketsin rak he. Enhauk, ental wear ensu
ohoi umat erdok. Ensu in it toran ain endok enhed ni wav, i enhorak : toran wukun om it ning afa
ain na udan i te waid. Enma enti umat erjat erdok erwav, enhorak wal : wukun im it ning afa ain ?
Erjat nanar : ukai waid. Enhorak, enhorak wangledli bo, umat bisa wen wat i. Edbo i nanar : Tek
raffitak, jaw wel naa den i uahwuk rehe ning afa enmam i ; im kai yaau hob, tek im kai. Umat ohoi
ratut bisa erbobar ma, rasdov. Rasdov tomat Erjat ermengak fo er ot robai i.
Raffit robai ensu ma, umat erjat er ot i. Robai lain enhawuk enweang umat ma nengrihi halesli. En
it erjat ngifan nangmetan, en it, nanar. Amawun atman udan, am ot na nifad am : ( enweang robai
he ! ) Robai nanar : Om ot yaau ngifang naa wuk. Eryat nanar : Sumdok bangku i na wak. Endok bo,
eryat enhor yar, en awun atman fo welwel, nesnobang robai enlang wowan. Enlang wowan ma, en
watuk atman i su, nanar : Naam mina minat ! Edbo umat ohoi ratut bisa erbobar ma refla. Robai i
woen enloer, enawun-fee atnen. Robai endir ma, atman enlek- fee tanat en i fo utan ru. Robai enmat
bo, umat bisa ertod robai nit, erwatuk. Famur na nuhu en den i her lai ain, atman robai ni enlek fee
nuhu ma, er her nuhu en i Hiwur-man. Tom ain rak i.

57
Kidin 8
IL SUKOT ORANG SERAM
DAN WURDADANFIT

Di Taan hiduplah seorang gadis bernama Wurdadanfit. Ada banyak yang mau membeli
dia menjadi isterinya, tetapi dia menolak mereka semua. Mereka berkata: “Engkau tidak mau
sama kami karena engkau menunggu sampai Il Sukut dari Seram Utara datang untuk kawin
denganmu”.
Orang tua Il Sukut dari Seram ingin membeli seorang perempuan bagi dia, tetapi ia
menolak mereka semua.
Karena itu mereka berkata pada suatu hari: “Engkau tidak suka akan seorang perempuan
dari sini, nah, kalau begitu, pergi saja mengambil puteri Wurdadanfit yang tinggal di Kei menjadi
isterimu”.
Ia menjawab: “Aku akan jemput dia. Sekalipun semua sanak-saudara puteri Wurdadanfit
berkeberatan, namun dia akan datang ke mari menjadi isteriku”.
Ketika Il Sukut, orang Seram itu, memohon ibunya dan saudara-saudara perempuannya
untuk menyediakan baginya sekotak lempeng sagu sebagai bekal untuk perjalanannya, maka
bertanyalah ibunya: “Ke mana mau kaupergi?”
Sahutnya: “Aku mau memancing dan mengail”.
Dan beginilah ceritanya!
Il Sukut, orang Seram itu, naik perahunya dan berlayar langsung ke Taan.
Ketika ia tiba di situ, dia menyampaikan lamarannya kepada orang tua dan saudara-
saudara laki-laki dari puteri Wurdadanfit, yang sementara duduk di loteng pada lantai ketujuh. 30
Berkali-kali ia menyampaikan permohonannya, namun ia ditolak. Lalu ia menyuruh
budaknya perempuan untuk dengan sembunyi-sembunyi mendekati puteri itu dan
menyampaikan permohonannya. Ia pesan kepadanya untuk membuat itu pada malam hari. Maka
di malam hari orang-orangnya menempatkan sebuah tangga bambu pada dinding rumah, dan
budak itu naik ke atas.
Setelah budak itu menyampaikan lamarannya, ia sendiri pun naik ke atas, lalu mereka
kawin.
Saudara-saudara laki-laki dari Wurdadanfit tidak mengetahui bahwa mereka tinggal
bersama.
Mereka hidup bersama sampai Wurdadanfit menjadi hamil.

30 Di rumah orang Kei tidak terdapatlah tingkatan, tetapi sering ada sebuah loteng kecil yang dipergunakan
sebagai gudang atau kadang-kadang juga sebagai kamar tidur. Bahwa ada loteng sebanyak tujuh satu di
atas yang lain tentu tidak mungkin. Namun lewat pernyataan ini diungkapkan dengan betapa saksama
puteri itu dijaga, seperti lazimnya dibuat pada gadis-gadis muda keturunan tinggi. Tujuannya: (1) supaya
ia tidak terperosot dalam perkara perkawinan yang dapat membatalkan rencana-rencana perkawinan yang
sementara diatur oleh om-omnya dengan susah payah; (2) supaya kulitnya tidak terlalu terbakar oleh
matahari; maklumlah, jika kulitnya berwarna muda, maka penampilannya akan makin menarik.

58
Tetapi Il Sukut, orang Seram itu, tidak berani memberitahukannya kepada ketujuh
saudara puteri Wurdadanfit dan ia mengusulkan kepada puteri bahwa ia akan kembali ke Seram
dan ia berkata: “Wurdadanfit, camkanlah, engkau sudah hamil; baiklah engkau tinggal saja di sini.
Aku akan pulang dan kemudian kembali lagi ke sini dan membawa serta tujuh kartets untuk
ketujuh saudaramu, tujuh meriam untuk ketujuh saudaramu, tujuh benderang untuk ketujuh
saudaramu, tujuh gong untuk ketujuh saudaramu, tujuh kalung emas untuk ketujuh saudaramu,
tujuh taring gajah untuk ketujuh saudaramu, tujuh buah gelang untuk ketujuh saudaramu, tujuh
mata uang mas untuk ketujuh saudaramu, untuk memohon izin mendapatkan engkau, tujuh ikan
emas untuk ketujuh saudaramu, tujuh burung emas untuk ketujuh saudaramu, tujuh jenis emas
untuk ketujuh saudaramu, dan selain itu semua juga tujuh senapan untuk ketujuh saudaramu.
Lalu ia pesan kepada budaknya: “Aku pulang untuk mengerahkan semua orang laki-laki
dari Seram Utara. Engkau bersama puteri harus menunggu aku kembali”.
Ia menasihati Wurdadanfit katanya: “Tinggallah di sini, dan kalau saudara-saudaramu
bertanya-tanya kepadamu, katakan bahwa aku sedang mengambil semua barang itu”.
Tetapi Wurdadanfit tidak memahami bahasa Seram dan tidak mengerti segala yang ia
pesan kepadanya dan tidak memberitahukan apa-apa pun kepada ketujuh saudaranya.
Ketika ketujuh saudaranya memperhatikan bahwa Wurdadanfit hamil dan menanyakan
dia tentang hal itu, ia diam. Mereka mendesak, tetapi ia tidak mau jawab dan mereka semua jadi
marah, memukul dia dan akhirnya membunuh dia.
Kakak sulung memukul dia sebagai yang pertama.
Budak Il Sukut, orang Seram itu, yang juga duduk di loteng di lantai tujuh, mulai menangis
ketika kakak sulung itu memukul Wurdadanfit; ia berkeluh-kesah dalam bahasa Seram:
Rora roran tutika ambolo
Mu subut o la mabolo,
Il Sukut Seran oh!
Budak itu mengeluh dalam bahasa Goram, tetapi saudara-saudara Wurdadanfit tidak tahu
bahasa Goram dan tidak mengerti kata-kata yang ia pakai. Yang sulung menyuruh orang
memastikan hamilnya Wurdadanfit.31
Berkatalah lagi budak itu dalam bahasa Goram: “Il Sukut, orang Seram itu, sementara
mengambil banyak harta benda, semuanya rangkap tujuh, untuk saudara-saudara laki-laki dari
puteri. Aku tidak bohong, aku sungguh-sungguh mengatakan apa yang benar”.
Kakak Wurdadanfit itu tidak mengerti dia; ia jadi marah, memukul Wurdadanfit dan
lempar dia kebawah satu lantai.
Kemudian seorang adik naik dan membuat hal yang sama, memukul dia dan lempar dia
turun lagi satu lantai.
Seorang adik lain datang, memukul dia dan melempar dia lagi satu lantai, sampai akhirnya
datanglah saudaranya yang keenam; dia memukul dia dan lempar dia sampai dibawah sama
sekali. Dan saat itu matilah Wurdadanfit.
Lalu datanglah adik bungsunya: dia tidak memukul dia, sebaliknya dia merasa akung
dengan kakaknya Wurdadanfit. Ia merawat jenazahnya dan pergi membacok sebuah keranda.

31Jika seorang perempuan yang dicurigai menjadi hamil karena berzinah, menyangkal bahwa ia hamil,
maka seorang perempuan yang ahli ditunjuk untuk memastikan apakah penampilan khusus dari
perempuan itu adalah kehamilan atau disebabkan oleh hal lain.

59
Kemudian ia membawa dia ke atas bukit batu Kobkaree dan mendidrikan sebuah pondok di atas
kuburnya.
Dan beginilah ceritanya! – Il Sukut, orang Seram itu, mengumpulkan semua orang Seram
Utara. Mereka naik sepuluh perahu. Mereka bertolak dan pertama mampir di Kissehui.
Berpikirlah Il Sukut: “Jangan-jangan ada seorang suangi yang mau menyihiri
Wurdadanfit, maka ia berpura-pura seakan-akan ia tidak mau sandar di situ.
Tetapi orang-orang Kissehui membunyikan genderang dan berseru: “Oh wosona ngio?”
(= Ke mana kalian?)
Il Sukut berpura-pura karena ia kuatir bahwa seorang suangi mau menyihiri
Wurdadanfit, maka ia balas sambil berseru: “Oh woson was keran ebi na Kei!” (= Aku ke Kei
hendak menikam penyu dan tripang)”.
Ia sandar, menimba air pada orang-orang Kissehui itu dan memberi mereka sirih untuk
dikulum.
Mereka melanjutkan pelayarannya dan tiba di Tiur. Orang-orang Tiur berseru kepadanya,
tetapi Il Sukut memperdayakan mereka juga.
Mereka sampai di Ur dan berbuat demikian pula.
Mereka melanjutkan pelayarannya dan tiba di dekat Tayando. Ia menghiasi perahunya
dan mengibarkan bendera-bendera.
Orang-orang Tayando berseru kepadanya, tetapi Il Sukut, orang Seram itu, balas berseru:
“Aku mendayung ke Taan”.
Ketika ia sudah dekat Taan, dia melihat orang-orang memancing di pantai. Ia keluar dari
perahu dan berjalan menuju mereka dan bertanya: “Ada berita apa di kampung sini? Apakah
Wurdadanfit sudah memberitahukan masalahnya kepada saudara-saudaranya? Apakah mereka
sudah sampai suatu kesepakatan atau sebaliknya mereka mau menjadikan ini suatu perkara?”

Orang Taan menjawab: “Tiada berita khusus di kampung; namun, adapun Wurdadanfit,
dia hamil; dia tidak menjelaskan apa-apa kepada saudara-saudaranya, maka enam di antara
mereka telah membunuh dia; yang bungsu telah menguburkan dia; di sana, di atas bukit batu
Kobkaree, kelihatanlah kuburnya yang warna putih itu”.
Il Sukut, orang Seram itu, berjalan kembali ke perahunya, dan semua orang Seram yang
berada dekat Taan itu merasa malu lantaran perjalanan mereka percuma saja; mereka berkata:
“Wurdadanfit sudah mati; mari kita pulang saja”.
Il Sukut menangisi isterinya dan berkata: “Kamu sekalian pulang saja; adapun aku dan
orang-orangku tinggal di sini”.
Orang-orang Seram itu tidak berbicara lebih lanjut; mereka menurunkan dan menyimpan
bendera-bendera di dalam perahu dan berlayar kembali ke Seram.
Dan beginilah ceritanya! – Il Sukut pergi ke kampung itu dan bertanya kepada orang-
orang Taan: “Apakah mungkin di Kei ada seseorang yang dapat memasuki kerajaan roh-roh?”
Orang Taan menjawab: “Di Kei tidak ada orang yang dapat membuat itu, kecuali nenek
Waharu (= dua wajah), yang tinggal di lereng bukit batu: dia tahu segala sesuatu tentang orang
mati dan orang hidup. Ia mempunyai satu mata yang dapat melihat dan satu mata yang buta. Mata
yang dapat melihat, melihat hal-hal yang menyangkut orang-orang hidup dan mata yang buta
melihat segala yang menyangkut orang mati”.

60
Ketika orang-orang Taan menyatakan itu semua, ia bersedih-sedih demi isterinya dan
menangis, dan tujuh hari kemudian mereka berkata kepadanya: “Pergilah ke Ohoideer, ke nenek
Waharu, yang menjaga kerajaan roh-roh dan bertanyalah kepada dia”.32
Ia mendayung ke tempat itu dan bertanya kepada semua orang Ohoideer untuk
menunjukkan kepadanya tempat tinggal nenek Waharu.
Mereka menunjukkan kepadanya tempat tinggal nenek Waharu, ialah sebuah gua kecil di
sebuah bukit batu tinggi, yang berada tersendiri di samping sebuah gua amat besar, ialah kerajaan
roh-roh halus.
Ia pergi ke sana; nenek Waharu bertanya kepadanya: “Engkau dari mana?”
Ia menjawab: “Aku datang dari Seram untuk memohon Ibu memampukan aku melihat
Wurdadanfit”.
Nenek Waharu berkata: “Wurdadanfit pun bersedih-sedih demi Il Sukut, orang Seram itu;
dia belum memasuki kerajaan roh-roh, dia masih bersamaku dalam gua ini di bukit batu ini”.
Dan beginilah ceritanya! – Tadinya, sementara Il Sukut, orang Seram itu, mendaki bukit
batu untuk sampai tempat tinggal nenek Waharu, Wurdadanfit pergi ke kerajaan roh-roh untuk
menari; anaknya tertinggal pada nenek Waharu. Il Sukut berkata: “Ibu dari anak bayi ini telah
pergi ke kampung di sana; biar aku menggendong dia sedikit; baiklah Ibu pergi jemput ibunya
supaya aku melihat dia”.
Berkatalah Waharu: “Kembali dulu dan ambil empat gugus pinang”.
Ketika ia kembali dengan pinang itu, nenek Waharu pesan kepadanya: “Pulanglah dan
dengan kapakmu buatlah lubang-lubang dalam semua keranda, ialah bahtera-bahtera orang
mati”.33
Il Sukut pergi dan menghancurkan semuanya. Ketika ia kembali, nenek Waharu
menyuruh dia bersembunyi di sebuah gua kecil di bagian atas bukit itu.
Lalu ia memanggil Wurdadanfit. Ia mencubit bayi itu sehingga ia menangis. Ia berseru:
“Ayo, Wurdadanfit! Hari ini engkau belum menyusui anakmu; dia haus; marilah!”
Karena belum juga ia datang, maka ia mencubit si kecil lagi satu kali sehingga ia menangis
dan lagi ia berseru: “Wurdadanfit! Hari ini engkau belum menyusui anakmu; dia haus; marilah!”
Wurdadanfit menjelaskan sambil berseru: “Sabar dulu! Aku sementara menyanyi lagu
perjalanan. Aku harus menyelesaikannya dulu”.
Lagi ia mencubit bayi itu, sehingga menangis, maka akhirnya datanglah Wurdadanfit.
Tadinya nenek Waharu sudah menyuruh Il Sukut, orang Seram itu, untuk meletakkan
malang melintang di jalan: tongkat-tolak, dayungnya, penimba, layar, keranjang dan bermacam-
macam barang lain, supaya Wurdadanfit dalam perjalanannya melintasi dan memperhatikannya.
Maka, ketika Wurdadanfit datang dan melangkahi tongkat-tolak, ia berkata: “Kepunyaan
siapa tongkat-tolak itu? Kelihatan seperti tongkat-tolak dari Il Sukut, orang Seram itu, dan ia

32Di Kei dikenal beberapa tempat tinggal roh-roh. Yang paling menyolok di antaranya terdapat di dekat
Ohoideer-Tutu di Kei Kecil; di situ roh-roh tinggal di gua-gua yang dalam yang terdapat pada lereng bukit
batu di pinggir laut. Gua-gua itu pun penting karena peristiwa-peristiwa sejarah yang mempunyai kaitan
dengannya, sesuai dengan apa yang akan kita lihat dalam suatu legenda berikut.
33Kepada orang mati diberi berbagai keperluan untuk hidup di alam baka. Orang Kei adalah orang
penangkap ikan dan orang yang mengarungi lautan. Maka di alam baka tak mungkin orang bertahan tanpa
perahu. Keranda-keranda, yang dikerjakan dari satu batang kayu, adalah perahu-perahu mereka.

61
berkeluh: “Seni tokanira rupa Il Sukut Seran ni tokanira (= Inilah sebuah tongkat-tolak seperti
tongkat-tolak Il Sukut, orang Seram itu)”.34
Berkatalah nenek itu: “Ketika tadi engkau berada bersama orang-orang mati, dan
sekarang pada melihat tongkat-tolak dan dayung yang kauduga adalah milik Il Sukut, orang
Seram itu, maka ketahuilah sekarang bahwa ia tidak lagi ada di Seram Utara, tetapi ia telah datang
untuk memeluk engkau”.
Wurdadanfit datang mendekat, ia melihat dayung dan berkeluh: “Seni dowmira rupa Il
Sukut ni dowmira! (= Inilah sebuah dayung yang mirip dengan dayung Il Sukut).
Demikian juga halnya dengan penimbanya, parangnya, sekapur sirihnya dan semuanya.
Dia melangkahinya, melihatnya dan menangis tersedu. Il Sukut telah meletakkan semuanya itu
malang melintang di jalan sampai dengan kapur sirihnya, yang terletak tepat di depan pintu.
Sirihnya itu pun sudah dilangkahi Wurdadanfit, dan ia sudah di ambang pintu untuk
masuk, dan Il Sukut sudah memperhatikannya.
Ketika Wurdadanfit melompat masuk rumah itu, ia mencium bau manusia yang hidup di
dunia dan ia berkata: “Nenek, ada seorang dari dunia telah datang di sini”.
Nenek itu menjawab: “Sepanjang hari aku duduk di sini seorang diri; siapa gerangan telah
datang di sini? Mari, susuilah anakmu: dia haus”.
Wurdadanfit berkata: “Nenek, berilah daku apa-apa untuk dikulum: air liur melekat”
(artinya mulutku terasa kering).
Nenek itu mengambil sedikit dari sirih yang telah dibawa datang oleh Il Sukut dan ia
menyiapkan sekapur sirih baginya. Ia menyerahkan juga anaknya kepadanya; ia lalu
menggendong dan menyusuinya.
Air mata dari Il Sukut, yang duduk bersembunyi di atas itu, melinang dan menetes pada
payudara isterinya.
Isterinya itu berkata: “Nenek, ada tetesan air jatuh atasku”.
Nenek itu menjawab: “Terdapatlah air hujan di atas bukti batu ini. Air itu merembes dan
mengena dikau”.
Wurdadanfit berkata: “Mohon tambah lagi apa-apa untuk aku kulum, tetapi berilah daku
sirih yang memukau”.
Dia mengunyah sirih yang membiuskan itu; dia tetap memegang anaknya pada
payudaranya; anak itu tetap menyusu, sementara Wurdadanfit duduk ngantuk dan akhirnya
tertidur.
Ketika ia sudah tidur nyenyak, nenek Waharu bertanya kepada Il Sukut: “Kalau aku
mengubahkan mereka berdua menjadi ular atau kaki-seribu atau biawak, maka beranikah
engkau berkata ‘untuk kami berdua’ sampai mereka berubah menjadi dua butir telur, lalu cepat
mengambilnya dan lari?”
Il Sukut berkata: “Segala apa saja kuberani!”
Ketika mereka berdua sedang tidur, ia turun, memegang ibu dan anak kuat-kuat dan
meliliti mereka; lalu keduanya berubah menjadi ular.
Il Sukut, orang Seram itu, berkata: “Untuk kita berdua!”

34Tentu menyoloklah bahwa sang puteri, yang tadinya tidak mengerti bahasa Seram, kini tiba-tiba
berbicara dalam bahasa itu. Tetapi dalam legenda-legenda Kei logika kurang main peranan.

62
Mereka berubah menjadi kaki-seribu, dan ia berkata lagi: “Untuk kita berdua!”
Mereka berubah menjadi ular berbisa; ia berkata: “Untuk kita berdua!”
Mereka selanjutnya berubah menjadi enam jenis binatang, tetapi Il Sukut setiap kali
berkata lagi: “Untuk kita berdua!”
Akhirnya mereka berubah menjadi dua butir telur, dan ia langsung mengangkatnya.
Lalu nenek Waharu mengajak Il Sukut katanya: “Bertolaklah!” Sebagai bekal ia memberi
sebuah tempurung berisikan boncis, sebuah tempurung berisikan kacang ijo, sebuah tempurung
berisikan jagung, sebuah tempurung berisikan beras, sebuah tempurung berisikan benih burung
dan sebuah tempurung penuh abu; jumlahnya enam tempurung.
Dia menganjurkan juga: “Berlayarlah langsung ke Taan, karena ketahuilah: roh-roh halus
itu akan mengejar engkau”.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika nenek Waharu sudah tidak lagi dapat melihat layar
perahu Il Sukut, ia berdesis seperti seekor ular dan berseru kepada roh-roh itu: “Telah datang
orang-orang pencuri dari timur dan barat, dari dalam dan dari luar kampung. Aku panggil kamu
semua berkumpul; Il Sukut telah menculik Wurdadanfit dan jauh di sana ia sedang membawa dia
kembali ke dunia!”
Semua roh halus itu lari datang dan di kejauhan mereka hanya melihat ujung tiang perahu
itu. Mereka menghela sebuah keranda ke laut, mau memakainya sebagai perahu, tetapi pukulan
kapak telah membuatnya bocor dan keranda itu tenggelam.
Sebuah keranda lain mereka cobai, tetapi keranda itu bocor juga sehingga tenggelam.
Keranda demi keranda mereka hela ke laut, tetapi semuanya sudah dijadikan bocor dan
tenggelam, sampai akhirnya, di tengah semak belukar, mereka menemukan sebuah yang tidak
diperhatikan oleh Il Sukut dan karena itu tidak dihancurkannya.
Mereka menghela keranda itu ke laut dan ternyata keranda itu tetap terapung dan dengan
menumpangnya mereka mengejar Il Sukut.
Ketika mereka sudah dekat Il Sukut, ia membuang boncis itu ke dalam laut untuk
menghalangi lajunya roh-roh itu.
Roh-roh itu memungut boncis itu dan melanjutkan pelayarannya.
Ia membuang kacang ijo ke dalam laut. Tetapi setelah mengumpulkannya, roh-roh itu
kembali mendekat.
Ia lalu membuang tempurung berisikan jagung. Roh-roh itu memungutnya dan ikut lagi.
Ia membuang sejumlah kacang ijo kecil ke dalam laut. Roh-roh itu mengangkatnya dari
laut dan datang mengejar lagi.
Ia membuang tempurung berisikan beras ke dalam laut. Roh-roh itu memungut beras itu
dan ikut lagi.
Kemudian ia membuang benih burung ke dalam laut. Karena benih itu sangat kecil, maka
makan waktu yang lama, baru dapat dikumpulkan, dan ia mendapat kedahuluan yang lumayan.
Ketika mereka muncul lagi, ia membuang abu itu. Roh-roh itu tidak mampu
mengumpulkan abu itu. Perahunya menghilang dari pandangannya dan mereka terpaksa pulang.
Ia berlayar sampai di Taan, menghancurkan telur-telur itu, lalu Wurdadanfit dan anaknya
berubah menjadi manusia lagi. Tetapi Wurdadanfit tidak dapat berjalan: keranda dan kubur itu
terlalu berat untuk dipikul.

63
Il Sukut lalu menghancurkan keranda dan kubur yang terdapat di atas bukit batu
Kobkaree, dan dengan demikian Wurdadanfit lincah lagi.
Tujuh hari kemudian, anak mereka mulai berjalan-jalan. Saudara-saudara Wurdadanfit
melihat anak itu berjalan dan bertanya siapa ibunya.
Anak itu berkata: “Ibuku adalah Wurdadanfit. Dia ada di atas perahu di sana”.
Lalu semua saudara Wurdadanfit datang, tetapi kartet-kartet, meriam-meriam, emas dan
pelbagai harta benda lain diberi Il Sukut hanya kepada yang bungsu, karena dialah yang telah
merawat jenazah Wurdadanfit dan telah membacok keranda dan kubur baginya.
Setelah memberikan segala barang yang berharga itu, ia bertolak.
Dan beginilah ceritanya! Orang tua Il Sukut, orang Seram itu, telah menyumbat rumahnya
dan juga telinga dan mata mereka, karena mereka amat bersedih hati lantaran sudah begitu lama
mereka tidak lagi melihat anaknya Il Sukut. Mereka meratapi juga isterinya ialah Wurdadanfit:
berita tentang kematiannya telah mereka dengar. Orang-orang Seram yang telah mendayung
pulang, telah memberitahukan bahwa ia sudah meninggal.
Ia berlayar pulang, dan ketika ia mendekati kampungnya, ia pertama diperhatikan oleh
beberapa orang yang ada di pantai. Mereka berlari ke kampung dan berseru keliling: “Il Sukut
sudah kembali!”
Orang tuanya berkata: “Terkutuklah oleh Tuhan siapa pun yang berani menyebut nama Il
Sukut, padahal, kami ini begitu bersedih hati demi dia! Keluarlah dari halaman rumah kami!”
Tetapi mereka yang dimaki-maki itu berkata: “Bukalah sumbatan rumah dan telinga dan
keluarlah dari rumah semuanya!”
Mereka keluar dan melihat Il Sukut yang sedang menuju mereka bersama isteri dan
anaknya.
Orang mengadakan pesta besar. Rumahnya dibereskan. Mereka juga menyembelih seekor
kambing sebagai persembahan bagi nenek Waharu dan melempar abu sekelilingnya supaya roh-
roh itu tidak akan menunjukkan diri lagi. Kemudian semua orang Seram itu merayakan pesta. Di
sini berakhirlah kisah ini.

------------------------------------

Umat wat ain, meman Butri werdadanfit, endok Tan. Umat wangled erhawuk erfaha i fo
hoan, i nefeen wat. Hir ernar ; muf en bo am tek Il Sukat Seran ental Seran tawun enma wak, entaha
o fo hoan. Umat Il Sukat Seran renan-yaman erhawuk enfaha wat fo i hoan, i nefen wat. Nefeen ma,
leran hir ernar : mufeen hoan na den i, sumba om hauk Butri werdadanfit endok ewav, fo hoam. I
nanar : Tek uhawuk: meski Butri werdadanfit hir bissa refeen, ensu wat fo hoang. Edbo Il Sukat
Seran nesno ni renan-uran erot ni kes manga na akbilin, renan enhorak : Om hoba be ? I nanar : u
ba eswarut, utai met.
Sar tomtom labo ! – Il Sukat Seran entai ni habo, enwehe nasluruk sar ti endat tan roi. Endat bo,
enhorak Butri ni yaman, ni renan, ni uran hirfit erot Butri werdadanfit endok araan danfinfit. I
enhorak amnanat sus rak bo, enhorak ken naa hob. I bo i nesno ni iri wat ain fo enba enhorak-
kawunin Butri i dean. Nesno fo dedan enba enhorak. Dedan ni umat erfello dedan na eslifir, dedan
hamar enho enrat. Enho enrat, iri wat ental rak bo, Il Sukat Seran enrat enhoran bo, hirru rafaw.
Hirru erdok rafaw, werdadanfit ni uran erkai waid

64
Erdok wat rafaw, famehe mnanatli wel, sid Butri iwun rak. Edbo Il Sukat Seran enbobar enholtul we
Butri werdadanfit ni uran hirfit, nanar-snib we Butri fo en il Seran, nanar : werdadanfit i wun rak
bo, o mdok, yaau ufla-il, ulan kasber enfit tek uram hirfit ; sadsad enfit tek uram hirfit ; araban enfit
tek uram hirfit ; dada enfit tek uram hirfit ; sor enfit tek uram hirfit ; mas sidsidak enfit tek uram
hirfit mas wut enfit tek uram hirfit ; mas manut enfit tek uram hirfit ; afa masmas bisa enfitfit enhov
wel esbingar enfit, bissa enfitfit wat tek uram hirfit. I ka ensib ni iri wat wel : yaau ufla ilrak ya, uba
uuk umat Seran tawun bissa kanimun. Imru Butri im dok im tek yaau. Ensib wal umat werdadanfit
: Omdok, tek bet uram erhorak, omnartul, yaau uba uahwuk he. Edbo werdadanfit enkai wew Seran
waid bo, enfikir ken ni sibsib bisaa waid bo, ma nanartul we ni uran hirfit waid.
Uran hirfit erliik werdadanfit iwun rak ma, erhorak, i endok enmoan wat ; erhorak daang, woen
rehe waid ma, rar siar erbangil i, erfeden rehe i. Uran yaan enrat, enbangil lain. Il Sukat Seran ni
umat wat endok wuk araan dadanfit rat, uran yaan enrat enbangil werdadanfit, enroon uran ! “Rora
roran toetika ambolo. Moe soeboet o la mabolo, Il Sukat Seran oh ! Iri wat enroon uran ma,
werdadanfit ni uran erkai wew uran waid bo, erfangnan ken ni roron wuk waid. En yaan en ot
enkabrer tetan werdadanfit ni. Iri wat nanar nguran wel : Il Sukat Seran enab rak en hawuk wur
harta wangledli enfitfit bissa tek Butri ni yaan war bissa. Uanr weang waid, unar tunan he.
Werdadanfit ni uran enkai waid bo, raan sian laai bo, enbangil werdadanfit, enwatuk su dafin.
Famur matwan ain enrat wel ; waun wat enmehe, enbangil i enhov enwatuk su wel dafin. Ain wal
enrat wal, enbangil, enwatuk su wel dafin, famehe matwan enlim enbangil wal, enwatuk su rehe
tanat ma, werdadanfit enmat rak. Emnat ma, en warin enma enbangil i waid, i wak enfangnan ni
uran werdadanfit i ma, enher i fo bok, enba en hawik ni buan. Endad rak, enot i endok wat kubkare,
entut wal wat endok ser kubur.
Sar tomtom labo ! – Il Sukat Seran enuk umat Seran tawun bissa. Hir bissa ertai habo tair. Erwehe
bo, ental Seran erdat lain Ewai. Il Sukat enfikir : Wukun umat sitan enhawuk enhowang
werdadanfit, enweang nefen enloi. Edbo umat Ewai ertifa erwoo : “Oh wosona ngio? Il Sukat
enweang, enbubar wukun umat setan enhawuk enhowang werdadanfit, enweang enwoo-tul. Oh
wasan wus keran ebi na Kei ! Enloi ma, enlek wuk umat Ewai rir wer, na isu nefyaf umat. Erwehe
wal, endo Eryat ma erwoo wal ma, Il Sukat enweang wal. Erho wal urar, wawun wal i.
Erwehe wal, erho Tehyad, enreed ni habo, en ot beder naa bissa. Mang Tehyad erwoo wal. Edbo II
Sukat enwoo tul : ulan uwehe Tan he ! Erwehe rak famehe nuhu wahan Tan, en it umat ertai met.
Ental kaba ensu, nefla ti, enhorak : Matak afa na ohoi i ? wukun wedadanfit enhol rak we yaman-
uran ? Erot fo bok te, erot fo berkar? Tan ernar : Afa na ohoi i waid, bail wat werdadanfit iwun ma,
nanartul wer uran waid ma, hirnajen erfedan rak ; en wari enot ni kubur endok ningier Wat Kobkare
roi. Il Sukat Seran enlur il ti habo, Seran hir bissa erdok Tan en ermeak refla rir lala wat ma, ernar
: Werdadanfit enmat rak bo itll it. Il Sukat enfangnana hoan, nanar : Im biil, yaau enhov ning umat
udok. Endok, umat Seran erot ni hira woen wal waid, erot beder su habo raan, refla il Seran.
Sar tomtom labo ! Il Sukat enrat ohoi, enhurak umat Tan: Umat Ewav bissa hir fatbav erba nit te
waid ? Umat Tan nanar: Ewav hira enba na waid, bail tete Waharu endok liwat, enkai afa nit dunyai
bissa. Ni matan kidin bok, kidin sian: Omba Ohoider wuk, omharang tete Waharu, enbatang nit rir
ohoi, omhorak i wuk. Enwehe do wev, enhorak umat Ohoider bissa, fo erturuk tete Waharu ni ohoi.
Erturuk tete waharu ni dokdok, wan kot ain na wat lai endir haling enjifik luwat laai , nit rir ohoi.
Erturuk ma, enti ; tete Waharu enhorak: O mntal be ? I nanar: Yaau ental Seran. Udo fo uhurak
Werdadanfit om ot fo u it i. Tete Waharu nanar : Werdadanfit ni masuhun wuk Il Sukat Seran ma,
enti nit hob. Hob endok tete Waharu ni rahan, wan na wat lai i.

65
Sar tomtom labo ! Il Sukat Seran enrat wuk tete Waharu ni dokdok i, Werdadanfit enba rak ensoi
ben na nit rir ohoi ; bail ni yanan kot hirru tete Waharu erdok. I nanar: Kot i renan enrat ohoi rat,
ma yaau uwil kot i naa wuk, tete o sumba umat ni renan ensu wuk fo uliik. Tete Waharu nanar:
Omsu naa wuk omhawuk isu mir fak. Enil enwar isu do, tete Waharu nesno wal : omil wat,
omafatlehew umat matmat rir buban habo bissa. Nesno ma, Il Sukat enlawur wail rak, en il endo
tete Waharu nesno i enfakwunin na wan kot ain ratan rat.
I bo, en woo Werdadanfit ; i enngis ni yanan kot ma enroon ma, enwoo : Werdadanfit oh ! Yanan
ental leri ensus hob i bo, enroon nebro, omsu oh ! Ensu hob bo, tete Waharu enngis yanan kot faa
wal fo enroon, enwoo wal : Werdadanfit, yanan leri ensus hob i bo, enroon nebro, omsu oh !
Werdadanfit enwoo tul : Omtek, uher bawt, uher bawt tutu naa wuk te ! Edbo enngis wal yanan kot
faa fo enroon, Werdadanfit ensu rehe. Tete Waharu nesno rak Il Sukat Seran enot ni leat wehe, it
waha, lar, katlab, akbilin bisa endok fii ded, fo Werdadanfit ensu enlangut, enliik.
Edbo Werdadanfit ensu, enlangut leat i nanar : mangbe ni leat i ? Otken wawun II Sukat Seran ni
leat i ma, enroon: ..Seni tukanira rupa II Sukat Seran ni tukanira “. Tete Waharu nanar: Nit ermat
har u famur, ne leat wehe omnar wal fo Il Sukat Seran ni, i endok Seran tawun wel waid, endat fo
enkail fatru atwam. Edbo Werdadanfit enma wal. Enliik wal wehe, enroon wal. .. Seni dowmira rupa
Il Sukat ni dowmira.” Fel i enit it waha, ni katlab, ni nger, ni kana bissa, wawun wai i enlangut, enliik
ma enron. Il Sukat en ot bissa endok fii ded, famehe ni kana entut rak fid matan. Werdadanfit
enlangut rak wuk, fo enho rahan, enho rak fid matan, enkidar ruk.
Edbo nesohok rahan raan, Werdadanfit enhumak umat dunyai human, nanar: Tete, hira dunyai
enho i. Tete nanar: Yaau mehe udok ental ler i, hirarki enho? Omdowuk, omsus kot i, nebro.
Werdadanfit nanar: Tete ma afa do umam, berang nesbuk rak. Tete Waharu na rak isu Il Sukat na,
en ot bair fo enmam. Edbo na wuk ni yanan, endok enwil, ensus. II Sukat endok enfakleek na ratan,
ni lun endit na en wat ni sus. En wat nanar: Tete, afa kabohan na yaau! Tete nanar: Doot enloi wan
ratan i, endit, enot fo kabohan i. Werdadanfit nanar wal: Ma udan umam wal, ma isu maniran wuk.
Enmam isu amaniran ma, enlohok ni kakahi entub ensus. Entub, matan kaslun.
Entubkin rehe bo, tete Waharu ensib Il Sukat: “Yaau bet u ot hirru en il fo robai te, eat te, buu te, mu
bran umnar… itru did”, famehe enwalil fo mantilur waturu, omtaha rehe ma, mufla ? Il Sukat nana:
Ning bran bissa. Edbo, hirru ertub, i ensu, ensib dad-daang yanan kot i enhov renan, ensibdad bo,
hirru eril rak fo rubai. Il Sukat Seran nanar : Itru did ! Erwal il fo aet, i nanar wal : Itru did. Erwal il
wal fo har, i nanar wat : Itru did ! Erwal il wat fo dagimeinejen ma, Il Sukat nanar wat : Itru did !
Famur erwail wal fo mantilur, waturu, i entaha kuk rak i. Edbo tete Wahuru nesno Il Sukat: Omwehe
! Enot wel ni kes: tananaan taw ain, tangun taw ain, slar taw ain, kukat taw ain, botan taw ain,
kanawun taw ain, fo taw enfit. Ensib wal : mufla masluruk, famehe omho Tan. Omkai nit bissa
ernorang o he.
Sar tomtom labo! – Tete Waharu enit Il Sukat ni lar waid rak, ensiwar bail rubai ain, enwoo tul we
nit hir: Umat bor-bor timur warat, kot raan kot murin, ersu erdat, uwoo bisa imsu, Il Sukat na il rak
Werdadanfit, enba il rak fo dunyai roi! Umat nit bissa ersu, erit ni afler uban denkotkot rak roro roi.
Edbbo surtuu buban habo. Ertuu ain ma, lelehew, namduu. Ertuu wal ma, lelehew, namduu. Ertuu,
ertuu ain wal, lelehew wat namduu bissa, famehe erit buban ain endok ngifar ran bo, Il Sukat en it
waid, enlawur waid. Ertuu, enloi, reslan erwehe norang.
Erwehe norang, erho lean ser rak bo, Il Sukat enwatuk su tinan, nanser ded we nit hir. Ensir ma nit
erfil. Erfil bissa erma wel. Na wal tangun enti. Nit erfil watuk, erma wal rak. Na wal slar taw raan
enti. Nit erfil watuk, erma wal rak. Na wal nafohot taw raan enti. Nit erfil watuk erma wal rak. Na
wal kukat taw raan enti. Nit erwil fatuk, erma wal rak. Na wal botan taw raan enti. Watu kotkot

66
seniin bo, erfil mang-mang ma, nefla roro wal rak. Erma wal, enwatuk kanawun. Nit erfil, erfil naa
waid bo, i nefla watuk rak, nit erwehe il.
I nefla Tan roi, enkok ni mantilur bo, Werdadanfit hirru ni yanan er il fo umat. Bail Werdadanfit
enba, enba na waid,alleman, niraan buban kubur alleman. Edbo II Sukat enlawur buban kubur
endok wat Kobkare fo i maraan. I hob enfakwunin Werdadanfit. Edbo raffit ni yanan kot enba
sadjang, Werdadanfit ni uran en it; en it ma enhorak ni renan. Kot i nanar: Renang Werdadanfit,
endok habo enloi watroa roi. Edbo Werdadanfit ni uran erma bissa, Il Sukat entuu kasber, sadsad,
mas,wur harta bissa we umat Werdadanfit ni uran warin imehe wat, niraan imehe enkulik
Werdadanfit enhov enot ni buban ni hawat. Edbo ertu rod harta, i nefla il.
Sar tomtom labo! – Il Sukat ni renan yaman erfoo wail wuk rahan, arun, matan bissa, rir masuhun
lai yanan Il Sukat, er it mnanatli waid rak; rir masuhun wal yanan hon Werdadanfit imehe wat,
niraan imehe enkulik werdadanfit enhov en ot rak fo enmat. Erwehe il rak bo, erho lean ser rak ohoi,
umat woho erdok tahit, erit lain. Refla il rat ohoi, erwoo tul: Il Sukat enil rak he! Ini renan yaman
ernar : Duad naan hira endeang Il Sukat meman, amdok ni masuhun bail i! Timba lawuk mam
rahan tet i! Edbo umat erer i nanar: I met lawuk foe na rahan, na arub im bissa, imtubur ! Ertubur
bo, erit wuk Il Sukat en il rak enhov ni hoan ni yanan endo. Edbo ermerren laai, erot ini rahan fo
bok, erfedan bib ain ersob tete Waharu, erot kanawun nanot nit erwusak waid rak. Famur umat
Seran bissa ersoi ben, ermerren. Tom ain rak i.

67
Kidin 9
SANG PUTERI
DAN KETUJUH SAUDARANYA LAKI-LAKI

Dan beginilah ceritanya!


Ada seorang puteri bernama Butri, yang mempunyai tujuh saudara laki-laki.
Mereka bertujuh berangkat hendak bepergian jauh dan saudara perempuannya, yaitu
Butri, tinggal di rumah untuk menjaga api suci; siang-malam dia tinggal di tempat terpisah selama
waktu yang lama.
Setelah ia sudah duduk lama begitu, maka pada suatu ketika api itu padam.
Dia sangat cemas lantaran api itu telah padam dan ia meninggalkan rumah. Tetapi di
setiap rumah api telah mati.
Dia berdiri putus asa dan hampir mau menangis; tetapi tiba-tiba ia melihat asap mengepul
ke atas di puncak sebuah gunung yang amat tinggi. Di sana hiduplah sepasang suami-isteri, tetapi
si laki-laki itu adalah seorang suangi, dan Butri tidak mengetahui itu.
Butri mendaki gunung itu.
Ketika ia sudah sampai di atas, si laki-laki itu telah pergi mencari manusia untuk
mencaplok mereka. Isterinya sedang parut dan memeras kelapa.
Butri sudah naik ke atas untuk mengambil api.
Isteri si suangi itu berkata: “Silakan duduk menantikan suamiku pulang; sementara itu
aku akan memberi kamu makan”.
Butri menjawab: “Ketujuh saudara laki-lakiku sudah berangkat akan suatu perjalanan
jauh; aku hanya datang mengambil api, supaya dari dalam abu itu kuhidupkan kembali nyala dan
membangkitkan api itu”.
Ibu itu berkata: “Kalau begitu, pulang saja, dan silakan bawa sedikit ampas kelapa ini”
(yakni untuk meletakkan arang yang menyala ke atasnya).
Dia memberikan itu kepadanya, tetapi suaminya sudah hampir mau datang, dan dia
berkata: “Cepatlah, anak manis, cepat!”
Butri menerima ampas kelapa dengan api itu lalu bergegas pergi.
Dan beginilah ceritanya! – Baru saja Butri pergi, maka tibalah suangi itu. Ia melihat bahwa
Butri sudah pergi agak jauh dan ia berlari menyusul dia.
Namun ia terlambat dan Butri sudah masuk rumahnya.
Bapak tua itu sudah turun dan sambil berdiri di halaman rumah Butri, ia berseru: “Butri!”
Butri diam; rumput yang bertumbuh di samping rumah, membisik: “Tibloloi raai
maskon!”
Suangi itu berseru sekali lagi: “Butri!”
Butri tahan diri dan bunga-bunganya berbisik: “Terasato tanbai timbang lolai!”
Lalu suangi itu mencabut salah satu giginya, meletakkannya di atas tangga dan pergi.

68
Ketika kemudian Butri turun dari rumahnya, gigi itu masuk ke dalam kakinya dan ia
meninggal.
Dan begini ceritanya! – Ketika Butri sudah mati, pulanglah ketujuh saudaranya.
Mereka melihat bahwa Butri sudah mati dan membaringkan dia di atas sebuah tempat
tidur. Sangat sedihlah mereka, lalu mereka berpisah satu dari yang lain dan pergi ke timur dan
barat, ke selatan dan utara dan semuanya berubah menjadi angin.
Setelah mereka menjadi angin, tibalah dua orang, seorang laki-laki dan seorang
perempuan, pada rumah Butri. Sementara berdiri di halaman rumah, mereka minta minum air.
Butri tidak menjawab.
Mereka memasuki rumah itu dan melihat bahwa rumah itu kosong; hanya Butri berbaring
di atas tempa tidur. Mereka meneliti tubuhnya dan berkata: “Mungkin sesuatu telah mengena
dia”.
Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Sekali lagi mereka menyelidiki jenazah, baru
mereka memperhatikan gigi yang tertancap dalam kaki Butri.
Kata mereka: “Ah! Itulah yang menyebabkan ia mati. Mereka mencabut gigi dari manusia-
setan itu keluar dari kakinya dan Butri hidup kembali.
Lalu berkatalah Butri kepada kedua orang itu: “Mohon panggillah ketujuh saudaraku yang
sudah pergi dan telah tersebar ke timur dan barat, ke selatan dan utara dan telah berubah
menjadi angin. Katakanlah kepada mereka bahwa aku hidup dan bahwa mereka harus pulang”.
Maka mereka pergi untuk memberitahukan hal itu kepada ketujuh saudaranya, tetapi
mereka tidak mau lagi berubah menjadi manusia; mereka sudah menjadi angin dari timur dan
barat, dari selatan dan utara, dan demikianlah mereka menjadi bundaran.
Bapak dan ibu itu kembali dan menceritakan itu kepada Butri. Butri – karena amat
bersedih hati – pingsan dan kehilangan kesadaran.
Mereka menempatkan dia di ambang pintu. Lalu datanglah angin dari timur dan barat,
dari selatan dan utara, dan bertiup pulang-pergi; mereka membelai rambut si Butri, wajahnya
dan seluruh tubuhnya, dan daya hidup kembali padanya.
Berakhirlah kisah ini.

-------------------------

Sar tomtom labo !- Butri ain, uran enfit. Ebdo uran hirfit erhoba, rir uran Butri endok, enot
mol, entub wat ngon dedan hamar, amnanat sus. Endok mnanatli bo, famehe ni yaf enmat. Ni yaf
enmat bo, Butri raan susli, enba su tanat, ohoi bisaa rir yaf enmat. Wukun enroon ma, sendir wat
enlek, en it yaf mahawan na wur karatatli uban. Umat wat beranran hirru erdok ma, beranran i
hawang ain, Butri enkai waid.
Butri enba enrat. Enrat bo, en beranran enba rak enli hawuk umat fo naan. Enwat endok
entar nur, enruman. Butri enrat, fo entorak ni yaf. Hawang ni hoan nanar: Omdok, ning hoan enil
wak, o muan afa naa wak. Butri nanar: Ning urang hirfit erhoba ma, utal uhawuk wat yaf,
nanfangwaik kanawun, nangfangwaik yaf. Ko wat i nanar: Fel i omba il, urawuk nur ngowa,
omtaha. Entaha, ni hoan en il rak ma, nanar: Omba ngihen, umat wat o bokli, timba ngihen! Enot
nur nguwa bo, entaha ma, enba.

69
Sar tomtom labo! – Butri enbarak, toran hawang en il endat rak bo, en it Butri enba rak roro
udan ma, nefla norang. Nefla bo, enharang waid, Butri enil rak ni rahan. Edbo toran ensu, endir
Butri ni latubur, enwoo: Butri! Butri wion waid; laswinur enharob tanat rahan rahan, nanar :
Tibloloi raai makson! Hawang en woo wal : Butri ! Butri endok enmoan wat ma, ni tunat nana :
Terasato tanbai timbang lola ! “Edbo umat setan i en ot ni nifan entub fid matan, i bo, enba. Famur
Butri entubur su, nifan endir Butri yan ma enmat.
Sar tomtom labo ! – Butri enmat ma, ni uran hirfit er il. Er it Butri enmat rak ma, er ot entub
atban, rir masuhun laai li rehe, erba ham timur warat wutun tawun, er il fo nit. Edbo erbail fo nit,
umat wat beranran hirru erho Butri ni rahan. Erdir latubur, erher wear hir ren. Butri wion waid.
Hir erho ti rahan, erliik rahan wus, bail Butri entub ni atban. Hir pares ni yalin reein, ernar : Matak
afa ental tebebe ? Afa ental waid. Erpares wal,famehe erit ken nifan endir Butri yan. Ernar: Oh ! afa
rak i en ot i. Edbo eres tawar umat setan ni nifan endir yan ma, Butri enawit il.
Enwait il, Butri nanar we umat hirru i: Im be imhawuk ning urang hirfit, erba timur warat
tutu tawun, ernem fo nit, im nar yaau uwait, fo hir er il ma. Hir erba surtul bo, baeil ni uran refeen
er il fo umat, er il fo noet timur warat,tutu tawun, hob erba wat. Kowat beranran hirru eril do, ernar
we Butri ; Butri ni masuhun laai bo, namnut nashirit. Namnut ma, er ot sundok fid matan. Endok fid
matan, niot timur warat, wutun tawun erma, erba rarat, erheng Butri murun, wahan, arumun bisa,
Butri ni senang wel ruk.
Enrak i.

70
Kidin 10
PUTRI WATREEW DAN WATSIN
DARI KITWAT DI PESISIR TIMUR

Dan beginilah ceritanya!


Seorang laki-laki dari Kei Besar, namanya Watsin (=sauh)35 dari Kilwat di pesisir timur
dulu mempunyai isteri bernama Fodat (= si montok).
Ibu dari Fodat, bernama Koklak (= balsam), adalah isteri seorang suangi, namun Fodat itu
adalah seorang manusia normal.36
Mereka pergi mencari ikan dengan akraw.37 Dalam perjalanan Watsin memperhatikan
bahwa ia telah tinggalkan tombaknya di rumah.
Berkatalah dia: “Fodat, aku telah lupa tombakku; aku kembali dulu untuk mengambilnya”.
Ketika ia sampai di rumah, Koklak, mertuanya, telah berubah menjadi seekor kura-kura;
ia duduk dalam abu api sedang bertelur. Ia menelurkan patatas manis, keladi dan berbagai ubi-
ubian.
Ia masuk, mengambil tombaknya dan pergi lagi, tetapi dalam hati ia putuskan bahwa ia
tidak lagi mau menjadi suami seorang puteri suangi.
Watsin dari Kilwat menangkap ikan amat banyak.
Ia membagi-bagi ikannya itu dan memberi tiap orang bagiannya, tetapi kepada isterinya
ia tidak memberi apa-apa.
Ketika mulai air pasang, mereka pulang dan Fodat pergi melaporkan kejadian tadi kepada
ibunya dan berkata: “Watsin telah membagi ikannya kepada tiap orang kecuali kepada aku”.
Kemudian Fodat masak makanan dan menghidangkan kepada suaminya patatas yang
telah ditelurkan oleh ibunya. Dia sudah masak makanan bagi suaminya, Watsin dari Kilwat, tetapi
dia itu memutuskan untuk tidak memakan apa-apa.
Fodat mengajak dia berkali-kali, tetapi ia tidak mau; dia hanya duduk menyusur
tembakau.
Dan beginilah ceritanya! – Pada malam hari Watsin dari Kilwat mengerahkan kaum
keluarganya untuk berlayar pulang ke Kei Besar.
Dalam pelayarannya itu mereka singgah di Elaar. Di Elaar hiduplah seorang teman
perempuan dari Watsin dari Kilwat.
Ia menyuruh temannya, yang namanya Hanaar (=amat manis), melamar baginya seorang
puteri raja bernama Watreew (=perempuan kalung/ kalung emas) menjadi isterinya.

35 Harafiah“Batu Cina”, ialah sebuah sauh dari kayu yang dijadikan berat dengan sebuah batu besar, seperti
lazimnya dipergunakan oleh para penukar Cina pada kapal-kapal kecil mereka.
36 Orang suangi atau tukang sihir diandaikan berkontak dengan roh-roh jahat. Karena itu tidak dapat
diketahui apa yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang telah bersetubuh dengan seorang suangi:
bahkan boleh jadi ia melahirkan suatu makhluk ngeri atau pun seorang suangi jua.
37 Akraw adalah suatu cara menangkap ikan dengan usaha bersama banyak orang.

71
Watsin dari Kilwat berkata: “Biar engkau tinggal di sini dulu, aku akan mendekati dia lebih
dahulu”.
Ia menempatkan diri di bawah jendela, mengambil sebuah pinang bermutu dan
melemparnya ke dalam; pinang itu mengena Watreew pada payudara kanannya.
Sesudah itu ia menyuruh temannya Hanaar untuk menyampaikan lamarannya
kepadanya.
Watreew setuju dan berkata: “Hanaar, katakan kepadanya bahwa benar-benar kami akan
bersama berlayar ke Seram”.
Hanaar menjawab: “Watreew, lebih baiklah engkau berkata bahwa kamu bersama akan
berlayar ke tembok segi tiga, gunung dekat Banda-Eli itu”.38
Maka Hanaar kembali untuk memberitahukan itu kepada Watsin dari Kilwat.
Pada malam hari Watsin pergi ke Watreew dan tinggal bersamanya sepanjang malam. Ia
menghadiahkan kepada Watreew tujuh benda emas; Watreew memasukkannya ke dalam bakul
ibunya.
Pada pagi hari ibunya itu meraba dalam bakul itu: ia heran karena bakul itu begitu berat.
Maka ia bertanya kepada Fela (= bagaikan sebuah gelang), kakak perempuan Watreew yang tidur
di bawah, sedangkan Watreew tidur di loteng: “Siapa yang memasukkan emas itu ke dalam
bakulku?”
Sahut Fela: “Aku sama sekali tidak tahu”.
Kemudian Watreew turun dari loteng dan kepada dia pun ibunya bertanya: “Siapa telah
menaruh emas itu di dalam bakul ini?”
Sahut Watreew: “Watsin dari Kilwat, yang sementara duduk di loteng, telah menugaskan
daku membawa emas ini kepadamu, ibuku”.
Ibu itu naik ke loteng, di mana duduklah Watsin dari Kilwat, dan dia memberi ibu itu lagi
sebuah sabuk emas.
Dan beginilah ceritanya! – Watsin dari Kilwat bertolak untuk kembali ke Kei Besar dan
untuk mengerahkan semua kaum keluarganya untuk pergi menjemput Watreew.
Ketika ia sudah berangkat, berkatalah Watreew: “Aku pergi mandi di kali”. Sementara dia
mandi di kali, ada burung-burung bangau datang terbang, yang mencungkil kedua belah matanya,
lalu dia mati sama sekali.
Ketika dia sudah mati, gadis-gadis yang mandi bersama dia, berjalan pulang untuk
menyampaikan kabar itu dan mereka berkata: “Burung-burung bangau yang besar itu datang
mencari ikan; Watreew berbaring di Lamogorong: dia sudah mati! Entah pasti begitu? Ya, kami
tahu bahwa itu kebenaran”.
Demikianlah sebanyak dua kali mereka berkeluh-kesah. Tidak jauh dari situ, di laut,
orang-orang Watsin mendayung pada irama genderang-genderang. Salah seorang di antara
mereka mendengar tangisan itu dan berkata: “Apa tangisannya dua orang itu?”
Lalu mereka mendengar bahwa Watreew telah meninggal: burunglah yang
memberitahukannya. Watsin dari Kilwat berbalik, genderang-genderang dibalikkan, bendera-
bendera diturunkan; ia meratap dan terguling-guling di atas pasir pantai sampai ke tempat di
mana terletak jenazah Watreew.

38 Suatu nama berlebihan untuk pesisir timur pulau Kei Besar, di mana tunangannya tinggal.

72
Beginilah ratapan Watsin dari Kilwat:
“Sosok tubuh Watreew langsing bagaikan sebatang pohon pinang,39
Watreew melepaskan rambutnya bagaikan ombak laut yang datang bergulungan ke
pantai.
Bila Watreew tertawa, terlihatlah cawak pada kedua pipinya.
Bila di antara bibirnya giginya terlihat, maka mulutnya bagaikan buah delima yang sudah
terbelah.40
Payudara Watreew berdua bundar bagaikan kotak-kotak kapur dari piring sirih yang
tembaga.41
Kesepuluh jari Watreew adalah lentuk bagaikan pohon sirih Watbel di Kissehui. 42
Bila Watreew melangkah, kedua kakinya bagaikan kaki hias sebuah tempat tidur buatan
Tayando”.43
Ibu mertua Watsin pada gilirannya berkeluh: “Perawakan Watreew langsing bagaikan
pohon pinang! Tetapi Fela akan menggantikannya”.
Watsin dari Kilwat meratap dengan lagu ini: “Ibu, gali sebuah kubur, gali sebuah kubur
yang cukup besar untuk kami berdua: untuk Watreew dan untuk aku”. – Ayah, bacoklah sebuah
keranda, bacoklah sebuah keranda yang cukup besar untuk kami berdua: Watreew dan aku!”
Ibu mertuanya berkeluh lagi: “Watreew melepaskan rambutnya bagaikan ombak laut
yang datang bergulungan ke pantai; tetapi Fela akan menggantikannya”.
Watsin dari Kilwat meratap dengan menyanyikan lagunya: “Ibu, gali sebuah kubur, gali
sebuah kubur yang cukup besar untuk kami berdua: untuk Watreew dan untuk aku”. – Ayah,
bacoklah sebuah keranda, bacoklah sebuah keranda yang cukup besar untuk kami berdua:
Watreew dan aku!”
Ibu mertuanya berkeluh lagi: “Bila Watreew tertawa, terlihatlah cawak pada kedua
pipinya; tetapi Fela akan menggantikannya”.
Watsin dari Kilwat meratap dengan menyanyikan lagunya: “Ibu, gali sebuah kubur, gali
sebuah kubur yang cukup besar untuk kami berdua: untuk Watreew dan untuk aku”. – Ayah,
bacoklah sebuah keranda, bacoklah sebuah keranda yang cukup besar untuk kami berdua:
Watreew dan aku!”
Watsin menolak Fela, dan orang membacok sebuah keranda, sebuah keranda yang besar
sekali; di sebelahnya dialah yang beristirahat dan di sebelahnya beristirahatlah isterinya.

39 Cara Watsin membuka isi hati ini tidak kekurangan perasaan puisi yang berbobot. Pohon pinang
termasuk salah satu palem yang paling indah dan langsing.
40 Bila buah delima yang merah beringas sudah masak dan terpecah, terlihatlah suatu deretan biji yang
hitam legam. Kebiasaan mengunyah sirih pinang membuat gigi ibu-ibu Kei hitam dan bibir merah tua.
41Sekapur sirih main peranan penting dalam kehidupan orang timur. Kepada tamu itu ditawari sebagai
tanda keramah-tamahan. Di Kei sering terdapatlah sebuah piring tembaga besar dengan di atasnya
beberapa kotak bundar berisikan apa yang diperlukan untuk menyediakan sirih pinang itu.
42 Lentuknya jari-jari termasuk salah satu unsur kecantikan terpenting bagi perempuan Kei.
Melengkungkan jari-jari secara indah pun turut menentukan bobot suatu tarian. Pohon sirih mempunyai
buah yang panjang dan bundar dan lentuk.
43 Orang-orang di pulau Tayando pandai mengerjakan kayu bundar. Mereka mengerjakan tempat-tempat
tidur dengan kaki bundar yang langsing dan terukir indah, yang kemudian mereka jual.

73
Ketika mereka berbaring di dalam keranda itu, jenazah-jenazah itu dirawat oleh Fodat,
mantan isterinya. Koklak dan semua kaum keluarga dari Fodat telah datang, dari Ohoibingan dan
Ohoiwaar.
Koklak dan kaum keluarganya pulang ke kampungnya, sambil mendayung pada irama
berbagai lagu-dayung.
Setibanya di situ, orang-orang laki-laki mau memikul keranda ke darat. Tetapi mereka
tidak mampu dan memanggil kawan-kawannya. Tetapi Koklak menertawakan mereka,
mengangkat keranda itu dan memikulnya ke Ohoibingan, Ohoiwaar. Dia pun memasukkan bekal
ke dalamnya berupa boncis, kacang ijo dan jagung.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika pada malam hari Koklak dengan semua kaum
keluarganya sedang tidur, Watsin dari Kilwat membuka keranda; ia menghamburkan boncis,
kacang ijo dan jagung, dan tanpa seorang pun memperhatikannya, ia keluar dari ruangan itu
masuk ke pendopo-dalam.44
Di situ ia berdiri sampai bintang pagi terbit; lalu ia mengangkat pedangnya dan
membunuh Koklak dan semua kaum keluarganya.
Ketika sudah menjadi siang, ia turun dari rumah itu dan mengumumkan ke seluruh
penduduk Ohoibingan: “Bapak-bapak, saudara-saudara, mungkin terdapatlah di antara mereka
yang gugur yang adalah keluargamu, silakan periksalah!”
Watsin dari Kilwat berlayar kembali ke kampungnya dan memberitahukan kepada kaum
keluarganya, supaya mereka pergi menjemput jenazah Watreew.
Mereka pergi mengambil jenazah itu dan membangun sebuah kubur-keluarga di Kilwat.
Watreew dimakamkan dalam kubur-keluarga itu. Tak lama kemudian suaminya pun
meninggal dan mereka berdua beristirahat berdampingan.
Dan ini bukan isapan jempol, melainkan kisah yang benar, yang dengan ini berakhirlah.

---------------------------------

Sar tom-tom labo! – Tomat Yut ain, meman Watsin Kilwat Timur, lain ni hon Fodat. Fodat
ni renan meman Koklak, nafaw tomat howang ain, ne ni yanan Fodat i tomat tunan. Edbo hir erba
ertai akraw. Erba ruk bo, Watsin Kilwat Timur enut ni mes enduk-oba rahan ran. Nanar: Fodat he,
ning mes enoba ma, ulba il sub o, uhawuk. Enba il su ma, Watsin Kilwat yanan te, Koklak, enut fo fin
enduk entaful tilur na kanawun. Entaful enmav, ronan, tuwa, benaw bissa. I endat enho, na ni mes,
enbail rehe ma, ni ran nefan ruk howang bail i ni yanan wat fo hon.
Watsin Kilwat ni wad wuut angledli. Eidbo i enham wu’ut tomat angled bissa rir wang nutun,
bail ni hon i wus. Ruwat ma, eril bo Fodat enba senhul ni renan, nanar: Watsin Kilwat enham wu’ut
we tomat angled bissa, bail jaw waid.
Fomur Fodat enut hon ni wang afa benaw renan entafulful i. I enwaik fo naan ma, Watsin
Kilwat naan waid rehe. Fodat enyangun namris, nefenfen wat, enduk wat naknat atbak.
Sar tom-tom labo! – Dede Watsin Kilwat enuuk ni Yaman, fo erweheil Yut. Erwehe bo, ertua
we Elar fo erhorak ni wat ain wel. Eidbo Watsin Kilwat ni yan wat ain wuk na Elar i. I nesno ni Yan

44Biasanya keranda ditempatkan justru di pendopo-dalam, yang terdapat dalam setiap rumah orang
penting, akan tetapi pada saat itu sedang tidur di situ Koklak dan kaum keluarganya, yang tidak
menghiraukan orang-orang mati itu.

74
wat i, meman Hanar, enhorak Butri ain, meman Watrew, fo hon. Watsin Kilwat nanar: O umduk,
Jaw uba lain, uti naa wak.
Enba ma, endir esniwut, enrik isu mel watu entev, entev ma endir Watrew ni sus kedin mel.
Fomur i nesno wel ni yan wat, meman Hanar, emba enhorak wel. Watrew enturum, nanar: Hanar,
umnar teraruan, itru ithoba Seran. Hanar-nnar: Watrew, umnar: Imru imlek, imlek lutur sil wat
Wadan. Eidbo Hanar enbail ti, nanar we Watsin Kilwat. Dede wat Watsin Kilwat enba hiru Watrew
ertub. Enfing we Watrew ni mas watu fit. Watrew inut na ni renan ni luv.
Hamar esmir ni renan ensik luv, luv elleman ma, enhorak Fela, Watrew an enduk tinan,
Watrew enduk rattan, enhorak: Hiraki enut mas enduk luv i? Fela nanar: Betikai ya’u ukai waid.
Fomur Watrew entubur, ni renan enhorak wel: Hiraki enot mas entub i? Watrew enhawa, nanar:
Watsin Kilwat entub ning rin rat, nesno ya’u utaha mas i su entuk renang o. Ni renan ensebrat,
Watsin Kilwat entub i, na wel mas awat ain.
Sar tom-tom labo! – Watsin Kilwat enbail, enwehe Yut, nanuuk Yaman fo erba erha’uk
Watrew. Enwehe bo, Watrew nanar: Uba un’luruk nah or. Un’luruk nah or, sum enur su, enfikat-bus
matan ma, enmat re. Enmat ma, tomat hiris eluruk, reflail sertul, ernar: Sum ngarnab ertai rir mit,
Watrew enmat Lamgorong roi oh! Kohak betkai, umhorak am wak amkai. Ersikar feli, ersikar faru.
Eidbo tomat Watsin Kilwat hir erwehe ertiwa waawn kassuv, tomat ain endeinar, nanar: Tomat
hirru ernar afa rat! Erdinar Watrew enmat rat, manut nanartul rat, Watsin Kilwat enru,
enfangofang tiwa, entufu bader, fumur enabran enrun enleb ental mit enho Watrew entub.
Watsin Kilwat enrun: Watrew felan enba ensaksak fel isu ngain endidir miun. Watrew
enjarut ni sernil felak rowarat ba entev nguur. Watrew enmalit ni atfofar ngil enggong wahan kedin
ru. Watrew enhihit nifan, ngoin waawn wiar namtor. Watrew ni sus kedin ru waawn Ewui Watbel
rir wit wur-wur. Watrew entail turik jen kedin ru, waawn taban wowos Tejad rir.
Watsin Kilwat ni janan – te enroon wel: Watrew felan enba ensaksak oh fel isu ngain oh!
Fela ensak-hiluk Watrew ni wai oh! Watsin Kilwat enroon hawa wel: Nen, umal kubur, umal enjoon
amru Watrew oh! Mam umhaw boban ablot, boban ablot enjun amru Watrew oh! Ni janan teenrun
wel: Watrew enjarut ni sernil, falak rowarat ba entev nguur oh! Fela ensak hiluk Watrew ni wai oh!
Watsin Kilwat enroon hawa wel: umhaw boban ablot, boban ablot enjoon amru Watrew oh!
Ni janan te enroon wel: Watrew enmalit, ni atfofar ngil, enngong wahan kedin ru oh! Fela ensak
hiluk Watrew ni wai oh! Watsin Kilwat enroon hawa wel: Nen, umal kubur, umal enjoon, amru
Watrew oh! Mam, umhaw boban ablot, boban ablot enjoon amru Watrew oh!
Eidbo Watsin Kilwat nefen Fela bo, erhawik boban ma, boban ablot, ni hon entub on, i entub
on. Ertub bo, fomur ni hon lalainle Fodat enkulik. Koklak enhuv Fodat jenur ental Ohoi Bingan, Ohoi
war edat. Koklak enhuv ni jamanan boban, ersablur na waid, erwehe majik, erwehe titik til, erwehe
wadan, eril rir ohoi. Eidbo tomat abran ersablur boban, ersablur naa waid, erwoo ni jente. Koklak
enfarnehong, ensak-jaik, enlon endok Ohoi Bingan, Ohoi War, enut rir kis nafohot, ngalum, slar.
Sar tom-tom labo! – Dedan Koklak enhuv ni anwarin, bissa itubkin bo, Watsin Kilwat
enwatun boban, enwaruk ngalum, nafohot slar, ensu rin kedin I, engon katleen, hira enkai waid.
Endir sar tejor endat, enreek saruk, enafat fedan Koklak enhuv ni jan war bissa. Woleen watuk
entubur, enwutul tomat Ohoi Bingan bias: Abwarib im, matak reinab hob imbje imfaneek! Watsin
Kilwat enweheil ni ohoi, enba nanar ni anwarin fo erhaawkil ni hon Watrew enildo. Erhaawkil bo,
ertut kubur tum endok Kilwat. Ertut kubur tum bo, Watrew entub, en beranran enmat wel norang
en wat, fo hirru ertub famehe. En I tserit wuk waid ma, berkar tuntunan wuk he, ma hanuk he.

75
11
PUTRI JENUN DAN KOMWAIN

Dan beginilah ceritanya!


Ada seorang miskin yang menceraikan isterinya. Majikannya45 mempersalahkan dia
katanya: “Engkau menceraikan isterimu, rupanya engkau berminat mendapatkan puteri Jenun
menjadi isterimu”.
Si miskin itu merasa terajak olah kata-kata itu, maka ia pergi melamar puteri raja
bernama Jenun itu. Maka siap mereka menuju ke sana dengan sebanyak seratus satu orang; yang
satunya di atas seratus adalah si miskin sendiri.
Bertanyalah orang: “Kamu ke mana?”
Mereka mengelakkan pertanyaan itu dan berkata bahwa mereka hanya pergi ke suatu
pesta tarian.
Ketika sudah sampai di kampung puteri itu, mereka main sepak bola.46 Si miskin
menendang bola, yang lalu lewat jendela masuk ke kamar puteri Jenun dan mengena dia pada
payudara di sebelah kiri.
Lalu mereka pergi melamar dia untuk kawin. Puteri tidak berkeberatan, tetapi orang
tuanya masih ragu-ragu.
Komwain berkata: “Si miskin, engkau tinggal saja di perahu, aku akan ke darat seorang
diri”.
Ia naik ke darat dan masuk rumah puteri.
Pada saat ia masuk, puteri sedang tidur dan seorang perempuan sedang mencari kutu
padanya.
Komwain bertanya: “Adakah puteri tidur?”
Ibu itu menjawab: “Benar, ia tidur”.
Komwain bertanya lagi: “Ibu sementara mencari kutu padanya, tetapi di mana sisirnya?”
Ibu itu berkata: “Sisirnya ada di dalam peti”.
Dan Komwain dengan sembunyi-sembunyi mengambil sisir puteri dari dalam peti itu.
Dan beginilah ceritanya! – Tujuh hari kemudian puteri ingin merias rambutnya dan ia
menangis karena dia tidak menemukan sisirnya. Ayahnya mencari di semua perahu yang
berlabuh di sana. Ia menyelidiki semuanya, tetapi sisir emas itu tidak ditemukannya. Maka ia
berkata: “Aku akan pergi ke perahu Komwain”.
Di perahu Komwain ia menemukan sisir emas itu. Ia mau membeli sisir itu, tetapi
Komwain tidak mau melepaskannya. Ia mendesak, tetapi Komwain berkata: “Jika Bapak

45Dalam bahasa Kei maduan. Orang yang membayar harta kawin untuk seorang lain, menjadi maduannya;
sedangkan yang beruntung itu adalah koi dari maduan itu. Koi itu terikat pada kewajiban-kewajiban
tertentu terhadap maduannya.
46 Sebuah bola kaki Kei adalah sebuah keranjang berbentuk bulat dan dibuat dari rotan yang telah dianyam.

76
memberikan puteri kepada salah satu di antara orang-orang bawahanku menjadi isterinya, maka
aku akan menghadiahkan sisir ini kepadanya untuk menusuknya pada kondenya. 47
Ayah puteri berkata: “Belanga itu sudah masak dan jika engkau mau, engkau dapat
menyenduk: bagaimana mungkin aku akan mencegah engkau untuk makan?”
Si miskin dan puteri kawin, dan ketika datang bulan baru, puteri adalah hamil.
Untuk melengkapi harta kawin, orang masih lagi membawa benda-benda berharga amat
banyak, dan tak lama kemudian mereka berlayar pulang: si miskin, sang puteri dan Komwain,
mereka bertiga.
Dalam perjalanan, puteri berkata: “Aku ingin makan sebuah mangga”.
Maka mereka mengarah ke darat dan si miskin turun ke darat untuk menebang sebatang
pohon mangga yang sedang berbuah. Namun ia tidak berhasil. Tiap kali, setelah hampir saja
pohon itu tumbang, pohon itu kembali menjadi tebal. Ia memanggil Komwain, katanya: “Mari
bantu dulu, aku sendirian tidak dapat menebangnya; pohon ini tiap kali kokoh kembali”.
Komwain pergi bantu dan secara bersama-sama dengan mudah mereka menebang pohon
itu. Ketika mereka masih sedang melakukan itu, turunlah ke dalam perahu itu seorang nenek tua
bernama Kudkudur Jaar; dia turun dari atas tiang perahu itu.
Dia berkata: “Mari, Butri, aku mau mengenakan cincinmu pada jariku”.
Butri takut dan mau menolak, tetapi Kudkudur Jaar berkata: “Kalau ini baik, maka ini baik
bagi kita berdua; kalau ini tidak baik, maka ini akan berlaku untuk aku sendiri”.
Butri takut dan terpaksa memberi cincin itu kepadanya.
Kemudian nenek itu minta kebaya Butri untuk dia memakai. Butri takut dan mau
menolak, tetapi nenek itu berkata: “Kalau ini baik, maka ini baik bagi kita berdua; kalau ini tidak
baik, maka ini akan berlaku untuk aku sendiri”.
Jadi terpaksa Butri melepaskannya baginya.
Kemudian ia minta lagi mengenakan sarong puteri.
Butri mau menolak dan berkata: “Masakan Ibu minta hal demikian! Apakah Ibu mau aku
duduk di sini dengan telanjang bulat?”
Kudkudur Jaar menjawab: “Kalau ini baik, maka ini baik bagi kita berdua; kalau ini tidak
baik, maka ini akan berlaku untuk aku sendiri”.
Butri takut, maka terpaksa memberi sarong itu pun kepadanya.
Kemudian Kudkudur Jaar mencungkil mata puteri, mengguling Butri sampai buritan
perahu, lalu melempar dia ke dalam laut. Rambutnya yang panjang itu tersangkut pada sauh,
tetapi nenek itu menendang dia keluar, sehingga Butri terapung makin jauh dari perahu;
Kudkudur duduk di perahu menggantinya.
Dan beginilah ceritanya! – Si miskin membawa sebuah mangga, yang dengan serta-merta
ia caplok.
Si miskin terkejut dan berpikir: “Jangan-jangan aku sedikit keliru dengan
memperisterikan dia”.
Adapun puteri akhirnya terdampar pada sebuah pulau. Sementara berada di situ,
sementara berbaring di sebuah gundukan pasir, ia mulai sakit beranak dan ia bersumpah: “Jika

47 Sisir berfungsi sekaligus sebagai hiasan.

77
anak ini keturunan raja-raja besar, kasta-tinggi dan bangsawan, hendaknya anak yang akan
kulahirkan berbadan besar; tetapi jika ia keturunan orang budak dan suangi, orang miskin dan
kasta-rendah, hendaknya ia kecil”.
Puteri melahirkan seorang anak yang amat besar, yang dengan cepat bertambah besar
hari demi hari.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika Komwain dan si miskin telah sampai pada kampungnya
mereka mengatur sederetan piring dari rumah keluarga sampai di perahu.
Kemudian mereka bersumpah: “Jika mempelai wanita ini adalah anak dan keturunan
orang kasta-rendah, budak dan hamba, maka hendaknya – bila ia berjalan lewat piring-piring ini
– orang membiarkan piring-piring di belakangnya tetap, tetapi mengangkat piring-piring yang di
depannya; tetapi jika dia anak dan keturunan raja-raja besar dan kasta-tinggi, maka hendaknya –
bila ia berjalan lewat piring-piring ini – orang membiarkan dia berjalan dan setelah ia lewat
hendaknya orang mengangkat piring-piring itu di belakangnya”.
Dia berjalan lewat piring-piring itu dan menginjak semuanya hingga pecah. Cepat orang
mengangkat piring-piring di depannya, karena di belakangnya semua piring itu sudah pecah. Si
miskin berpikir: “Jangan-jangan aku sedikit keliru tentang dia”. Dan dia merasa sangat malu.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika air laut surut sangat jauh, seperti selalu halnya pada
musim timur, berkatalah anak dari puteri: “Ibu, mohon Ibu memotong sebuah busur untukku
untuk memanah ikan”.
Tetapi ibu menjawab: “Aduh, anakku, engkau tahu toh bahwa aku buta, bagaimana
mungkin aku akan memotong sebuah busur untukmu!”
Tetapi anak itu mendesak dan puteri berkata: “Baiklah, kalau begitu, pergi cari bambu
dan daun kelapa.48
Anak itu membawa bambu dan daun kelapa dan ibunya, sekalipun buta, memotong
menurut kemampuannya sebuah busur yang kurang baik. Kemudian ia menggambarkan dalam
pasir sebuah busur dan panah dan bersumpah: “Jika aku anak dan keturunan orang budak dan
kata-rendah, hendaknya gambarku itu tidak bernilai apa-apa; tetapi jika aku anak dan keturunan
raja-raja besar dan kasta-tinggi, maka semoga busur dan panah yang kugambarkan ini diangkat
oleh air pasang dan tinggal terapung”.
Ketika datang air pasang, ternyata busur dan panah terapung. Anak itu cepat
mengangkatnya. Ia langsung pergi mencari ikan dan memanah ikan banyak.
Pagi berikut anak itu kembali mencari ikan lagi dan sangat berhasil; mereka tidak dapat
makan semua ikan itu dan sebagiannya dipanggang ibu.
Kemudian anak itu naik sebuah sampan dan mendayung ke tempat tinggal Kudkudur Jaar
dan Komwain.
Ketika anak puteri tiba di sana, Kudkudur Jaar bertanya kepadanya: “Apa yang kauminta
sebagai gantinya?”
Dia jawab: “Menggantikan ikan aku mau beli sebuah sarong”.
Ia membeli sebuah sarong dan membawanya kepada ibunya, sang puteri.

48Dari tulang keras yang terdapat pada daun kelapa dan daun sagu, anak-anak mengerjakan anak-panah
untuk memanah burung dan ikan kecil. Di ujung bawah, di sebelah menyebelah, dibiarkan sedikit daun
untuk dapat mengarahkan anak panah itu.

78
Kudkudur Jaar dengan rakus menelan ikan yang telah dibelinya itu. Dia sudah biasa
berbuat demikian. Dia seorang pelahap dan bila ia makan, dia sekaligus menelan piring, cawan,
talam dll.
Saudara-saudara perempuan si miskin berkata: “Menurut engkau, isterimu adalah
seorang puteri raja; teteapi pasti dia bukan seorang puteri raja: seorang puteri raja mengangkat
suap-suap kecil dengan ujung jarinya, tetapi Kudkudur Jaar makan dengan rakus.
Si miskin itu malu dan lagi berpikir: “Mungkin toh aku sedikit keliru tentang dia”.
Anak puteri sekali lagi menangkap ikan amat banyak dan pergi lagi untuk menjualnya.
Kudkudur Jaar bertanya: “Apa yang kauminta gantinya?”
Dia jawab: “Menggantikan ikan aku mau beli garam”.
Kudkudur Jaar berkata: “Berilah ikan itu, dan engkau sendiri ambil saja garam dari
tempayan besar di sana”
Ia menggerayang dengan tangan dalam tempayan garam itu dan menemukan di situ mata
ibunya; cepat mata itu diambilnya. Waktu ia pergi, dia menoleh sejenak, dan saudara-saudara
perempuan si miskin berkata: “Hai si miskin! Jangan-jangan Anak muda itu adalah seorang
anakmu: ia begitu mirip dengan engkau”.
Anak itu mengembalikan mata itu kepada ibunya dan ia dapat melihat kembali, dan ia
mengatakan kepada ibunya: “Ibu, kata orang bahwa penampilanku sangat mirip dengan
penampilan si miskin”.
Ibunya menjawab: “Memang benarlah itu: dialah ayahmu. Kudkudur Jaar telah
membuang kita”.
Ketika kemudian anak itu pergi lagi menjual ikan, maka berkatalah si miskin: “Akulah
ayahmu; maukah engkau menjual sesuatu kepada ayahmu sendiri?”
Sahut anak itu: “Bapak bukan ayahku. Seandainya bapak adalah ayahku, tentu saja bapak
akan memelihara aku; tetapi tiada orang peduli akan aku dan ibuku”.
Si miskin berpikir: “Mungkin dalam hal ini pun aku keliru”. Dia merasa susah hati
karenanya dan dia memikir-mikirkan cara apa yang bisa ia pakai untuk melepaskan diri dari
Kudkudur Jaar.
Dan beginilah ceritanya! – Si miskin berkata kepada isterinya, Kudkudur Jaar: “Mari kita
bersama pergi mandi di laut”.
Sementara mandi dan sambil duduk, si miskin mencari kutu pada Kudkudur. Sementara
itu tertidurlah Kudkudur. Maka si miskin memegang kepalanya dan membenamkannya di bawah
permukaan air. Ketika ia telah mati, ia berjalan kembali ke kampung.
Para penduduk kampung ramai-ramai menghela sebuah perahu ke atas jenazah itu
sehingga perutnya terpecah dan berguling keluar semua piring, cawan, pinggan dan pasu yang
pernah ia caplok.
Ketika kemudian anak itu datang lagi di kampung untuk menjual ikan, si miskin mengikuti
dia untuk memata-matai dia.
Ia temukan mereka sementara duduk di sebuah gubuk beratapkan daun. Anak itu sedang
menceritakan kepada ibunya bahwa saudara-saudara perempuan si miskin berkata bahwa ia
begitu mirip dengan si miskin itu, dan mereka berdua sedang menangis.
Ketika si miskin melihat ini, ia sangat terharu; ia melompat masuk dan memeluk mereka
berdua sambil berseru: “Saudara-saudaraku benar: akulah suami dan ayah kamu berdua!”

79
Ia mengambil perahunya yang mereka naiki bertiga. Ketika sampai di kampung, si miskin
naik ke darat dan menyuruh semua kaum perempuan dalam keluarganya untuk membawa
datang piring-piring yang tadinya harus dilewati oleh puteri Jenun.
Mereka mengumpulkan piring-piring itu dan mengurutkannya dari tangga rumah sampai
ke perahu; lagi pula mereka menaruh dua gelas di sebelah-menyebelah dari tangga dan
bersumpah: “Jika perempuan ini adalah anak dan keturunan orang kasta-rendah, suangi, budak
dan hamba, maka hendaknya – bila ia berjalan lewat piring-piring ini – piring-piring di
belakangnya tinggal terpecah dan hendaknya orang mengangkat piring-piring yang di depannya;
tetapi jika dia anak dan keturunan raja-raja besar dan kasta-tinggi, maka hendaknya – bila ia
berjalan lewat piring-piring ini – orang membiarkan dia berjalan dan setelah ia lewat hendaknya
orang angkat piring-piring yang di belakangnya”.
Dia berjalan lewat piring-piring itu dan ternyata semuanya tetap utuh. Dia naik masuk
rumah dan saudara-saudara perempuan si miskin menghidangkan makanan baginya. Dengan
memakai ujung jarinya ia mengambil suap-suap kecil.
Waktu itu menjadi jelas bagi setiap orang, bahwa dia ini sungguh seorang puteri raja.
Mereka mengadakan pesta besar, dan si miskin dan puteri sudah lagi kembali bersatu sebagai
suami-isteri.
Begitulah kisah ini! – Lain tidak ada.

-----------------------------------

Sar tom-tom labo! – Ko kassin ain neskiluk ni hon. Ni maduan Komwain nanar: Muskiluk hom bo,
Wukun umhaawk Butri Djenun hom? Eidbo ko kassin enmeek ma, enba enhorak Butri Djenun. Hir
erba tomat ratut einmehe, rehen I ko kassin i.
Tomat erhorak: Imbye be?
Erweeng bo, erhul tul, hir bail erba ersoi bein.
Eidbo erho ru Butri Djenun ni ohoi, erbein sembat ma, ko kassien enta ma, sembat enho Butri Djenun
ni esniwut endir ni sus kidin balit. Famur erba horak, Butri entarim rehe, bail ni jamanan hub refen.
Komwain nanar: ko kassin, o umduk habo naa wak, jaw mehe uhoro nangan Entubur bo, enho Butri
ni rahat enrat. Enrat, Butri entubkin, ko wat ain endok enhil ni ut.
Komwain enhorak wel: O umdok umris ni ut ma, ni huwa ibe wak?
Kowat i nanar: ni huwa entub kud raan.
Eidbo Komwain enbur rehe Butri huwa.
Sar tom-tom labo! Defit rehen Butri enroon ni huwa fo enreet uun ma, huwa human waid. Ni jaman
enseb tut kaba bissa erloi watroa. Enseb bissa ma, huwa angled, bail enit ken huwa mas waid. Nanar:
Useb Komwain ni habo. Na Komwain ni habo huwa mas naa. Enhaawk enfaha huwa mas I bo,
Komwain I nefen. Nanar daang ma, Komwain nanar: O ma Butri ning koi ain hon, ua huwa mas i
Butri entawak.
Butri Yaman nanar: uran enhe nebtahan ruk, umtutu, umtutu naa yaw at. Jaw ularang fo
muan, ut naa waid.
Falenhe ko kassien hirru Butri rafaw. Rafaw, wuan enwut wel, Butri iwun rok.
Ertuu taba wel wur harta fo angledli bo, mangmang wel odan ko kassin hirru Butri enhuv wel
Komwain fo hirtil reflail. Reflail erho leen. Butri nanar: uhauwk uan faw. Erbilukil fo nangan ma, ko

80
kassin entubur enetan faw wuan naa. Enetan, enetan naa waid, enetan fo kut ruk odan, enut il wel
fo lai.
Eidbo enwoo Komwain: Umdo wak, itru itetan, uetan tok waid, enmel il wat mele!
Enro ma, hirru eretan, eretan naa wat. Hub erduuk eretan, te koptuan ain, meman Kudkudur
Jar, ental afler uban ensu habo raan.
Ensu ma, nanar: Butri ma mu tentanan jaw uhur de? Butri enbobar enhaawk nefen ma, Kudkudur
Jar nanar. Bet I bok, itru did, bet I sin, jaw mehe ning. Feli Butri enbobar ma, na rehe. Enher wel ni
rawit fo enhur. Butri enbobar, enhauk nefen ma, i nanar: Bet i bok. Itru did bet sin, jaw mehe ning.
Enbo butri na rehe. Enher vel butri ni sibo fo nafwaik.
Butri nhauk vel naf’en, nanar: umher aka felbe I, fo udook vat lehen i?
Kudkudur Jar I nanar: bet I book, itru did, bet I sia, ya’au mehe nung.
Edbo butri nbobar mo, narehe vel. I bo kadudur Yar nlelang butri matan, nlebar nsu kaba ni
mur, nvatuk su tahait. Ni morlain namhanga na’a watsin mo ntai vatuk wel mo, butri nba senfof,
kudkudur Yarn tub butri ni wai.
Sar tom-tom labo - kokasian ntaha fau vatu ndo, i nlubok raan mehe wet. Kokasian nbobar mo,
nfangnan, wukun saw el odan! Edbo butri enfok, nfok ro nuhu yanat ain. I ntub wiring ma, i tetan
suhut rok bon tar taroman: betne I rat aknas malbei kenew ndir u-ham wang yanar ubur i, I ntafol
fo laiten: bet i iri hawang, tuktuk bohoor, tuktuk hawak yanar ubur i, ntafol yanan, kutkut wat.
Butri ntafol yanan laiten sus, hamar nmel lai, hamr nmel lai, ngihemli rehe.
Sar tom-tom labo - kumwain hiru ko kasian rdat ruk rir ohoi, er’ot erngodang bias bingan ntal renan
yaman rahan, suntut na’a habo. Erngodang mo, ntaroman: Murbong, kab, lema yanar ubur I, nho I
ro, entengat na’a muur, nfil na’a u: bet rat aknas, melhew kenew yanar ubur i, nho roo, nfil na’a
muur, nasletar na u.
Nasletar nro bo, bingan sian bisaa, ras laan rfill na’a u, sian bissa na’a muur.
I bo, ko kasian nfangnan: matang sian odan mo, nmeak lai.
Sar tom-tom labo! - Met ef ndat rok bo. Butri yanan kot nanar: nen he, umhafik nung temar
ain, fo u ba u fan wuut. Wuut, renan nanar: kot o! Umliik ya’au matang sian bail i, felbe wak umnaar
fo u hawiik mu temar! Edbo yanan nanar-daang wel, butri nanar: felhe sum’ba umhauk vuur nhov
nur roan. Ntaha ma vuur nhof nuur roan, renan nhafik, nhafik liklak wet, matan sian mo, n’ot naa
waid: bet rat aknas, melhel kanew yanar ubur ya’au, uring rubil tamar I, tuk ruat ndo mo nfok. Ruat
ndo mo, nfok rehe, yanan naslaan nataha, nba nfaan vuut, nfan ket fangledli.
Fel meran kut nba nfan vuut vel, ni wad vuut fangledli vel. Hiru ra’an na waid mo, renan nroor foho.
Nroor rok bo, kot ntai ni leb-leb ain, nvehe Kudkudur Yar nhov Komwai rir dukduk. Butri yanan nba
nfed vuut I, nrat umat Kudkudur Yar nhoraak: um faha aka?
I nanar: ureek vuut, ufaha sibo.
Nfaha sibo, ntaha il su renan Butri.
Ko wat Kudkudur Yar naa vuut I, nna dilda kensa wat. I waawn wat I, a’an afa fangledl, naan benaw,
nlibuk nhof bingan bissa, song, bahan, baku, bissa famehe. Ko kasian uraan ranar: umnaar hoam
Butri I ne Butri wahaid Butri bet naan afa, ngis afa dnkot mehe, Kudkudur Yar naan warbenauli
rehe. Ko kasian nmeak ma, nfangnan wel: matak I sa odan.
Butri yanan ni wad vuut fangled wel bo, nba-dat wel nfed.
Kudkudur Yar nhorak: umfaha aka?
Nanar: ufaha masing
Kudkudur Yar nana: ma vuut I do, masing odan um rook , ngus lai ndirdir raoi.

81
Nrook bo, nrook ken renan matan, ntaha rehe, en’il nba fatmurik. Edbo ko kasian uran
nanar: ko kasian he, hira wahan matan waun omu yanan he.
Kut he ntaha il matan we renan, n’ot-il fo book vel. i nanar nen he, umat rhool ya’au wahang
matan waun ko kasian ni wahan matan.
Renan nanar: oho n’aka o yamam tunan rook i: Kudkudur Yar nfatuk it yante i.
Edbi famuur nba wel nfed vuut, ko kasian nanar: o yamam ya’au, felbe umhauk nfed wuuk
afa wel yamam ya’au i?
Kot i nanar: o ya’au yamang waid, bet yamang um piar wuk ya’au I bo hira nfeniknak ya’au
nhov renag waid.
Ko kassian nfangnan: matak sa odan imo, I raan sus nut fo enweeng ni hon howang
Kudkudur Yar i.
Sar tom-tom labo! ko kassian nanar we hoan Kudkudur Yar: itru taba tluruuk naa tahait.
Rdook rluruuk, ko kassian nhol Kukudur ni ut na tahait raan. Ndook nhil ut, Kudkudur ntubkiin.
Ntubkiin bo, ko kassian nsoak uun ntaha-luduk ntub tahait raan. Nmat rehe, nafla il ohoi. Edbo umat
ohoi ratot bisa rsak kaba ndook-ferak ivuun fo nkok. Kok bo, ingan, langar, baku, sahat, jler, song,
veng, bahan, arwak, erwussak bissa fangledli.
Femur kot enma wel fo enfid wu’ut ma, kokasian enba norang enkaneek. Ensu, hiru erdok
sar ain, erreek leboir nantirat. Kot endok enhol we nirenan, ko kassian ni uran ernar i wahan matan
waun kokassian bo, hirru erdok erroon. Ko kassian anleik ma, enfangnanli bo, enohok-ti, enkabil jaw
I yante ru, nanar: urang nanar ken, imru yamab hob jaw! Enhauk ni habo ensu, hir yante tier dok.
Erwehe-rat-ilohoi, Tomat kokassian entubur, nanar, renan uran ohoi nuhu bissa fo restaha bingan,
Butri Djemun ental.
Restaha bingan, ergodang ental rahan utubur suntut habo; erot glas enru wel erdir reet utin
kedin ru bissa bo, entaruman: bet murbong, kab lema, iri howang yanar ubur i, enho enro entengat
namur, enfil na u; bet rat saknas, melhel kanew yanar ubur i, enho enro, erfil na mur, nesletar na u.
Edbo entai, entail bok wat. Enrat rahan, ko kassian uran er’ot benaw i naan, i naan en’ngis
den kotkot wat.
I bo tomat ohoi ratut erkai ruk i Butri tunan ma, erot rumnin lai mat erot hirru ko kassian
rafaw-il wel.
Sar tom-tom labo! – Bail-uk i.

82
Kidin 12
PEREMPUAN SALEH
DAN PEREMPUAN JAHAT

Dan beginilah ceritanya!


Si Jahat dan si Saleh pergi mencari ikan di pantai laut. Si Saleh menangkap (nama-nama
ikan), semuanya ikan-ikan besar dari laut-dalam. Si Jahat menangkap (nama-nama ikan),
semuanya ikan-ikan kecil-kecilan. Ketika air mulai naik, mereka pulang.
Dalam perjalanan si Saleh berkata: “Aduh, si Jahat, engkau mendapat hanya ikan-ikan
kecil sedangkan aku hanyalah ikan besar dari laut-dalam”.
Kemudian mereka bersama berjalan ke dusun. Mereka sampai pada sebuah pohon sukun
yang penuh buah-buah. Si Jahat menyuruh si Saleh: “Panjatkanlah!”
Si Saleh menjawab: “Si Jahat, engkaulah, panjatlah!”
Si Jahat menang atas si Saleh, maka si Saleh memanjat pohon itu.
Waktu memanjat, ia menginjak sebatang hingga patah, dan si Saleh jatuh dari pohon.
Si Jahat mengambil ikan si Saleh itu dan segala yang telah ia dapatkan di pantai. Kemudian
dia memotong payudara si Saleh. Payudara itu ia berikan kepada puteri si Saleh, namanya Diet
seraya berkata bahwa itulah seekor ubur-ubur yang dapat dimakan, asal dulu dibakar dalam abu
hangat.
Puteri bernama Diet itu memasak payudara ibunya, sangkanya itu seekor ikan. Tetapi
payudara itu, sementara mendidih dan mendesus dalam belanga, mengeluh: “Aduh Diet! Aduh
Diet, siapa yang telah menyusui engkau?”
Keluhan itu terdengar tiga kali. Lalu semuanya menjadi jelas bagi Diet dan dia berpikir: si
Jahat telah membunuh ibuku!
Ia pergi kepadanya dan bertanya: “Si Jahat, ibu sendiri sudah sampai di rumah, tetapi di
mana ibuku?”
Si Jahat menjawab: “Nanti dia menyusul, dia masih di dusun di sana”.
Akan tetapi, ketika sesudah dua dan sesudah tiga hari ibunya belum juga pulang, maka
Diet berpikir: tentu saja si Jahat telah membunuh ibuku!”
Dan beginilah ceritanya! – Si Jahat mempunyai seorang anak laki-laki, namanya Bal.
Terjadilah bahwa pada suatu hari anak si Jahat itu duduk bersama Diet.
Diet sedang memasak air dan sementara itu ia menyisir rambutnya; sambil menyisir
rambutnya itu, dengan sengaja ia jatuhkan sisirnya.
Lalu ia berkata: “Bal, mohon angkat sisir itu dulu”.
Sementara Bal mengangkat sisir, Diet mencurahi dia dengan air mendidih dan dengan
cara itu membunuh Bal, untuk membalas dendam atas pembunuhan ibunya.
Lalu ia mengerjakan sebuah busur dan memotong panah dan menempatkan jenazah Bal
di ambang pintu, dengan di tangan sebelah busur itu dan di tangan sebelah sebuah anak panah.
Tangan kanannya memegang busur itu dalam keadaan regang, supaya ia akan menembak
mati ibunya bila ia pulang setelah mencari kayu api.

83
Si Jahat pulang dan berseru: “Bal, keluar dari situ, sebab aku mau melempar kayu ini ke
dalam”.
Tetapi Bal tetap berdiri di tempat dengan busurnya dalam keadaan regang.
Ketika si Jahat melempar masuk kayu api itu, Bal jatuh dan baru waktu itu ia
memperhatikan bahwa Bal itu mati.
Si Jahat masuk dan mencari Diet, tetapi Diet sudah lari untuk menyembunyikan diri.
Si Jahat mengikuti dia, lalu melihat dia duduk di sebuah pohon pandan. Dengan parangnya
ia menebang pohon itu, tetapi Diet melompat keluar dari pohon itu dan melarikan diri.
Si Jahat mengejar Diet lagi. Dia berjalan lewat sebuah tanjung, namun tidak melihat dia;
sesudah tanjung kedua belum juga ia melihatnya; baru lewat tanjung ketiga ia melihat Diet duduk
di sebatang pohon yang tinggi.
Dia melihat bahwa Diet sedang tertawa dengan tak hentinya. Dengan parangnya ia
menebang pohon itu. Tetapi Diet lompat keluar dari pohon itu dan melarikan diri lagi; dia
bersembunyi dalam sebuah gua kecil, yang ia tutup dengan sebuah batu.
Si Jahat mencari, tetapi tidak menemukannya dan ia pulang saja.
Sesudah itu ia pergi membangkit ubi-ubian. Ia membawanya pulang untuk membakarnya
dalam abu hangat. Dia membakarnya, mengupasnya dan kemudian ia membagikannya.
Ia membagikannya antara Bal dan Diet dan berkata: “Bal, makanlah ini!”
Sesudah itu ia berkata: “Diet, makanlah itu!”
Dia membagi-bagi terus dan meletakkan makanan itu ke atas seluruh tubuh Bal, dan
berkata: “Di sini di atas mulutnya, karena ia sudah berbicara teramat banyak”.
Lebih lanjut ia berkata: “Di sini pada matanya, karena matanya ini sudah terlalu sering
melihat-lihat.
Di sini pada telinganya, karena telinganya terlalu sering mendengar.
Di sini pada hidungnya, karena hidungnya terlalu sering mencium.
Di sini pada tangannya, karena tangannya ini terlalu sering mengambil sesuatu.
Di sini pada kakinya, karena kakinya ini terlalu banyak berjalan.
Di sini pada dadanya, karena siang-malam ia telah mengisap terlalu banyak”.
Dan beginilah ceritanya! – Sesudah itu si Jahat pergi mencari orang tuanya. Dia berjalan
keliling seluruh dunia, namun tidak menemukan mereka. Lalu ia pergi ke kerajaan roh-roh halus
dan di situ didapatinya mereka.
Di sana dia mengubahkan kerangka ayahnya menjadi emas dan kerangka ibunya menjadi
batu.
Ia membawanya pulang, tetapi ibunya mengeluh: “Anak, engkau membuat aku kembali
ke dunia ini dalam keadaan sama miskin seperti dulu ketika aku hidup di sini”.
Ayahnya yang kini emas pada gilirannya berkata: “Si Jahat, ubahkanlah aku terlebih
dahulu menjadi rumput”.
Setelah ia mengubahkan dia menjadi rumput, ia menyuruh si Jahat mengubahkan dia
menjadi sebatang pohon.
Setelah menjadi sebatang pohon, ia menyuruh dia mengubahkan dia menjadi batu.
Setelah menjadi batu, ia menyuruh dia mengubahkan dia menjadi seekor ikan.

84
Si Jahat mengubahkan dia menjadi seekor ikan dan kemudian berturut-turut menjadi
semua jenis ikan besar yang hidup dalam laut-dalam.
Berkata lagi ayahnya: “Ubahkanlah aku menjadi payudara perempuan”, dan sesudahnhya
ia menyuruh dia mengubahkan dia lagi menjadi seorang manusia.
Lalu dia mengumpulkan semua ikan untuk menggantikan ikan yang telah dicuri dari si
Saleh dan memberikannya kepada Diet.
Diet berkata: “Aku tidak mau ikan itu, hidupkan kembali si Saleh dulu”.
Lalu dia mengambil payudara itu dan memasangnya kembali pada si Saleh. Dia
mengumpulkan tulang-tulang yang masih terletak di kaki pohon sukun itu; ia menghidupkannya
kembali dan mengembalikan kepada Diet ibunya dengan segala ikannya.
Sesudah itu Diet pun membangkitkan kembali Bal: ia mengatur kembali tulang-tulangnya
dan ia hidup kembali, dan ia mengembalikannya kepada ibunya.
Lalu semua penduduk kampung mengerjakan dua buah rumah untuk mereka berdua.
Sekarang sudah habis.

----------------------------------

Sar tom-tom labo! – Te sin hirru te lulin erba ertai met. Te lulin ni wad bung, lanuran, enaha,
wod, atnir, wuut lehetan, mehe ni wad. Te sin ni wad nging, kalavlav, banaran. Ruwat, hiruerba-il.
Hirru erba-il-do, te lulin nanar: Te sin, mu was bail kot, nging, banaran, yawning wu’ut
lehetan wat.
Fomur hiru erba nangan. Huk ainw uan angled. Te sin nesno te lulin: umseb-rat. Te lulin
nanar: te sin, umseb. Edbo te sin enrehe te lulin ma, te lulin enseb rehe. Enseb bo, entai-hangat huk
ma, te lulin enlek rehe.
Edbo te sin na te lulin ni wu’ut enhov ni wad met inan. Fomur enwur te lulin ni sus. Enwur
ma, na we te lulin yanan Dit, nanar : Ngingain, umtun.
Edbo ni yanan Dit enwaik renan ni sus, enfangnan wu’ut. Enwaik bo, enluur ruk te lulin ni
sus ensisawar uran raan ma, enroon: Dit o, Dit o, hiraki ensus o?
Enroon fatil. Edbo Dit enfangnan ken ruk, nanar: Te sin enfedan ruk nen he.
Enba bo enhorak: Te sin o umil, renang enho be?
Te sin nanar: renam enba mur he, i hob endok wee rat.
Edbo fomur de ru, de til ruk, ni renan endat waid, Dit nanar: Tunan li, te sin enfedan ruk
renang.
Sar tom-tom labo! — Te sin ni yanan ain, meman Bal: edbo te sin yanan hiru Dit erdok. Dit enfangne
hiru wer ma, enhov endok enahai uun, enahai uun, enwatuk ni huwa ensu. Enleksu ma nanar: Bal,
sumhaauk wov. Bal senhaauk bo, Dit enreek wer nengne, enwok-su, enfedan rehe Bal, nanhawaang
ni renan mat-mat.
Enfedan ma, enhafik temar, enrong siwar, enot Bal sunder fid, enot liman ain entaha siwar,
ain entaha temar.
Liman kidin mel enwing temar, fo fomur ni renan enba enhaawk ai, en il en do, enfedan rehe
renan.

85
Te sin en ilbo, nanar: Bal umdir laawk, uyaruk ai, uro.
I ne Bal endir non wat, enwing temar.
Edbo te sin enyaruk ai, Bal enlek rehe ma, enkai, Bal enmat ruk.
Te sin enho enrat, enlihawk Dit ma, Dit nef laruk, enkaf wunin. Te sin nefla norang wel enit
Dit endok Karin ratan. Te sin enrek ni nger, enetan Karin. Dit nesohok su nefla wel. Te sin enlan wel
Dit. Enro lair enrei enit waid; enro wel lain ain enit hob; enru wel lair ain, enit Dit endok ai karatat
ain.
Te sin enlik Dit, enmalit wat. Enhov ni ngir enetan wel ai. Enetan ai, Dit nesohok ensu, nefla
wel, enho enti wan kut ain enrek wat nansir. Te sin enloi hauk, enit waid bo enbail rehe.
Famur enbaro, enal ni benaw, enwar il ni ohoi bo, entun. Entun bo, entun bissa en kuk. Eidbo
entun en kuk, enduk enfuring, bissa enham.
Enham fo Bal, Dit hirru hir, nanar: Bal, muan denja.
Nanar wel: ni matan deni, ni sa enliik.
Ni arun deni, ni sa endenar.
Ni nirun deni, ni sa enhumak.
Ni liman deni, ni sa endok entaha.
Ni jen deni, ni sa enbaba.
Ni sus deni, ni sa endok ensus dedan hamar.
Sar tomtom labo! – Fumur te sin enba enhauk ni renan yaman. Enba jalitnuhu dunyai bissa,
enit renan yaman waid. Famur enrat wel nit ma, enit. Femur enti bo, ni yaman lurin enut il fo mas,
renan enut il fo wat. Entaha il ma, ni renan enron, nanar: Nen he, umat Jaw uba il dunyai kassin bail
Jaw mehe ruk deni. Yaman mas ngangrehi wel, nanar: Te sin, tuk umat il Jaw fo nifar. Eidbo enot il
fo nifar, enyangun wel, fo enot il fo ai. Enot fo ai, enjangun wel, enot il fo wat. Enot fo wat, enyangun
fo wel enot il fo wuut. I bo enot fo wuut, enot fo wait, fo bung enot il wel fo lanuran, fo wuut lehetan
bissa.
Yaman nanar wel: Umwal il fo sus. I bo, nesno wel foe not il fo umat.
Eidbo femur enfil bissa wuut, enwer te lulin ni wuut, na wer Dit.
Dit nanar: ufan wuut enhe, umfangwait te lulin naa wak.
Eidbo entaha wel sus enfadukun na te lulin ni bubur, enfadukun wel ni lurin, entub huk utin,
enfangwait wel i enhov nail wer Dit ni renan enhov ni wuut bissa. Fomur Dit enfangwaik wuk Bal:
enfadukun ni lurin, en wait il ma, n ail wuk we ni renan. Fomur tomato hoi bissa erdad hirru rahan
enru.
Ein ruk he.

86
Kidin 13
RAJA BERISTRI TUJUH

Dan beginilah ceritanya!


Ada seorang raja yang beristeri tujuh orang; tetapi tiada di antara mereka yang punya
anak, kecuali yang paling muda.
Pada suatu ketika raja berangkat untuk suatu perjalanan jauh dan mereka yang berenam
ditugaskan menjaga Watwarin (perempuan yang paling muda) itu.
Tetapi mereka hanya berpura-pura menjaga dia. Pada waktu air surut, mereka bersama-
sama pergi mencari ikan, mereka semua di belakang, sedangkan Watwarin paling depan. Keenam
perempuan itu mendayung perahu, sedangkan Watwarin berdiri di geladak depan untuk tikam
ikan.
Ketika sampai di laut-dalam, Watwarin menikam sebuah batu karang yang begitu berat
sehingga ia tidak dapat mengangkatnya, lalu dia jatuh di laut.
Lalu keenam perempuan itu cepat-cepat mendayung keluar dari tempat itu. Tetapi
Watwarin mengubahkan batu karang itu menjadi sebuah pulau kecil, lalu duduk di atasnya.
Sementara berada di atas pulau kecil itu, ia melahirkan seorang anak laki-laki.
Di samping pondoknya ia menanam sebuah pohon pinang.
Ia mengubahkan anaknya menjadi seekor burung, seekor ayam jantan warna putih, dan
pohon pinang itu bertumbuh menjadi tinggi, dan ayam itu terbang dan berteduh di dalam pohon
itu.
Ayam itu sedang berada di puncak pohon pinang itu, sampai sebuah kapal besi datang
berlabuh di dekat situ. Ayam itu terbang ke sana, duduk di tiang kapal dan berkeluh katanya: “Hai
mualim, nakhoda, apakah kapal emas belum mau datang?”49
Mualim menjawab: “Kapal emas itu masih sementara berpesiar di dekat Jawa”. 50
Ayam itu terbang pulang dan menceritakan kepada ibunya: “Kapal emas itu masih
sementara berpesiar di dekat Jawa”.
Ia terbang lagi ke pohon pinang itu dan sambil mengamat-amati, ia melihat kapal tembaga
datang dan menurunkan sauh.
Ia terbang ke sana dan, sementara duduk di tiang, ia berkeluh katanya: “Hai mualim,
nakhoda, apakah kapal emas belum mau datang?”
Mualim menjawab: “Kapal emas itu masih sementara berpesiar di dekat Jawa”.51
Ayam itu terbang pulang dan memberitahukan kepada ibunya: “Kapal emas itu masih
sementara berpesiar di dekat Jawa”.

49 Bahasa yang umum dipakai di Hindia [Indonesia] adalah bahasa Melayu, dan sungguh mengherankan
dengan betapa cepat orang setempat yang paling sederhana pun dapat mengungkapkan diri dalam bahasa
itu. Percakapan antara ayam dan orang-orang di kapal itu pun dibuat dalam bahasa itu, namun ibu yang
membawakan cerita ini, ternyata tidak seluruhnya menguasai bahasa itu.
50 Lihat catatan sebelumnya.
51 Lihat catatan sebelumnya.

87
Ia pergi duduk lagi di pohon pinang itu, dan dari puncak pohon itu ia melihat kapal
matahari datang.
Ia terbang ke sana dan, sementara duduk di tiang, ia berkeluh katanya: “Hai mualim,
nakhoda, apakah kapal emas belum mau datang?”
Mualim menjawab: “Kapal emas itu masih sementara berpesiar di dekat Jawa”. 52
Ayam itu pergi lagi dan memberitahukan itu kepada ibunya. Kemudian ia melihat kapal
bulan datang.
Ia terbang ke sana dan, sementara duduk di tiang, ia berkeluh katanya: “Hai mualim,
nakhoda, apakah kapal emas belum mau datang?”
Dan kali ini mualim menjawab: “Kapal emas itu sudah dalam perjalanan”.53
Ia terbang pulang dan melapor kepada ibunya: “Ayah dalam perjalanan dan akan segera
tiba”.
Dan beginilah ceritanya! – Ia pergi duduk lagi tinggi di pohon pinang, dan ketika kapal itu
sampai, ia berkeluh katanya: “Hai mualim, nakhoda, apakah kapal emas belum mau datang?”
Ibunya berdiri di pantai. Awak kapal itu mendengar keluh-kesah itu dan berkata: “Orang
yang di pantai itu berkeluh-kesah”.
Ada yang berkata: “Bukan, itulah seekor ayam jantan yang berkokok”.
Ada lain lagi yang berkata: “Bukan! Coba lihat, ada seseorang berdiri di sana”.
Mereka melihat Watwarin berdiri di sana dan mereka turunkan sebuah skoci untuk
menjemput Watwarin dan ayam itu.
Sementara mereka dijemput, berkatalah sang raja: “Aduh, enam yang lain itu telah
menipu aku dan telah mengusir Watwarin yang berdiri di sana”.
Setelah mereka naik kapal itu, ternyata Watwarin dan anaknya berbau busuk. Maka orang
mengambil tiga puluh potong sabun, memandikan mereka dan memasukkan mereke berdua ke
dalam sebuah peti.
Skoci yang tadi itu berlayar ke darat. Keenam isteri raja telah tinggal di rumah, tetapi raja
sudah perintahkan untuk pergi menjemput keenam isterinya itu.
Ia berkata kepada mereka: “Aku membawa bagimu peti berisi pakaian ini”.
Lalu pakaian itu dan juga barang lain dibawa ke darat.
Setibanya di darat, raja membuka peti itu dan berkata: “Silakan amatilah pakaianmu”.
Mereka memandang isi peti dan melihat Watwarin berbaring di situ dan jatuh pingsan
semua; ketika mereka melihat Watwarin dan ayamnya, mereka terkejut dan semuanya pingsan.
Dan beginilah ceritanya! – Keenam perempuan yang telah pingsan menggeletak di pasir;
orang menghela kapal ke darat dan meletakkannya di atas tubuh para perempuan itu. Matahari
bersinar dengan terik di atas mereka yang terlentang dengan gigi tersingkap.
Raja dan isterinya, Watwarin, bersemayam pada dua kursi dan mereka mengubahkan
anak mereka kembali menjadi manusia.
Ia berkata: “Ayah, Ibu, aku akan mengubahkan mereka berenam menjadi manusia lagi”.
Mereka berkata: “Silakan berbuatlah sesuai dengan kehendakmu”.

52 Lihat catatan sebelumnya.


53 Lihat catatan sebelumnya.

88
Ia mengangkat parangnya, pergi ke tempat itu, memotong mereka berbelah dua, lalu
kapal itu meloncat keluar dari badan-badan itu.
Kemudian ia hanya menunjuk saja dengan parangnya pada badan-badan itu dan badan-
badan itu jadi utuh kembali. Lagi sekali ia menunjuk ke situ dan badan-badan itu bergerak. Sekali
lagi ia menunjuk maka mereka membuka matanya. Sekali lagi, dan mereka duduk. Sekali lagi, dan
mereka berjongkok. Sekali lagi dan mereka berdiri. Sekali lagi dan mereka berjalan. Sekali lagi
dan mereka lari.
Salah satu di antara mereka ia tunjuk untuk masak makanan, salah satu untuk menyapu
halaman, salah satu untuk mencuci pakaian, salah satu untuk mengambil air dan kayu api. Mereka
semua menjadi budak-budaknya.
Dan begitulah ceritanya – Dan sekarang sudah habis.

--------------------------------------------------

Sar tom-tom labo! – Toran rat ain, ni hon einfit. Hir bissa yanan waid, bail en warin wat
yanan. Eidbo toran rat enhoba, tomat hirnejen erdok enbatang Wat warin. Erdok enbatang,
erweeng. Met, hir erba ertai met, hir na mur, Watwarin na u. Tomat wat hir nejen erlek wehe habo,
Watwarin nestuk na habo u. Erloi rehe nam, Watwarin enahai ken ir ain, ir elleeman, enwing naa
rehe waid, enlek su tahit. Enlek su tahit, ko wat hirnejen erwehe talik i. I bo Watwarin enot ir i fo
nuhu yanat ain ma, endok.
Endok nuhu yanat i, endok wav ni yanan bran ain. Na ni rahan ruhun enfoi isu me lain. Enot
il ni yanan fo manut, manteran ngir ain. Isu enmel enrat, manut en or rat entub.
Manut endok isu uban, famehe kaba atman endat. Endat manut enor enro endok aflor
enron: ”Dari lamudi, dari batu, kapal masi tida? Dari lamudi, dari batu.”
Striman enhawa, nanar: ”Kapal maih bermain di tanah Jawa.”
Tomat manut enor-su, nanar we ni renan: Toran rat ni kaba mas hob nben na jawa.
Enor- rat wal isu uban, endok, enliik kaba bisa endat wal rak enhilik ni watsin. Enor enro,
endok wal afler, enron: “Dari lamudi, dari bato kapal masu tida?’’
Striman enhava wal nanar: Kaba hob enben na jawah.
Tomat manut enor-su, nanar we ni renan: kaba hob enben na jaw.
Enor- rat wal isu mel uban, endok, en it kaba lar endat.
Tomat manut en or rat wal endok, afler, enron wal: “Dari lamudi, dari bato, kapal masu
tida?’’
Striman enhava, nanar: “Kapal masi bermain di tanah jawah’’.
En or su wal, nanar we ni renan. Femur enliik, en it kaba woan endat. En or enro wal, endok
afler uban, enron: “Dari lamudi, dari bato, kapal masu tida?’’
Edbo striman en hava, nanar: “Kapal masi datang setengah di jalan.”
En or-su, nanar tul we ni renan: jaman lean-ser rak, wukun endat.
Sar tom-tom labo! En or rat wal isu uban, en it kaba endat rak ma enron: “Dari lamudi, dari
bato, kapal masu tida?”

89
Ni renan endir wuk nangan ma, tomat kaba erdenar, nanar: Hira nagan roi enron. Woho
ernar: waid, manut wion ran. Tomat ernar: waid, kashi umat! Edbo hir it wat warin rak, hirtuu
stombarkas, nafla enhauk manut hiru Watwarin.
Nafla enhauk bo, rat nanar: Oh, hirnarken herweang wat, hirdikin Watwarin endir i.
Ero-il erdo, Watwarin hirru janan human sisian. Hirrek sabun udan wutil, hir luruk bisa, er
ot na kler raan. Edbo stombarkas wekat enho nangan, rat ni hoan hirnarken erdok-hoba ohoi. Rat
nenso tomat sun hauk ni hoan hirnarken erdo. I bo nanar: Im war bir bak-baken na kler i. Errek
seling er ot af-afa bakbakean erwar ental kaba enro nangan.
Enro nangan, rat enail kud nanar: Imliik bir bakbakean. Hir liik, hir it Watwarin entub, hir
bisa ras hirit, hir liik Watwarin enhov ni manut, rebriang ma, hir narken ras hirit.
Sar tom-tom labo! Tomat hir narken rashirit bo, hir tub ngoer, hirtod kaba enma, hirsak, entub
bas hir. Ler ental, hirtub ngifan nakninit wat.
Rat hiru ni hoan Watwarin hir dok kader enru, rir janan manut en ot il fo omat.
I nanar: Mam, nen, uba ot tomat rir narken eril fo umat.
Entaha ni bangut kot, enba-ro, enkak, enkak feak, kaba en ohok lauk.
Enrek wal bangut kot-kot, enturuk wat hir ulir, ulir ref kanimun. Enturuk wal faa, tomat
wilur. Enturuk wal faa, erlangar matar. Faa wal, erbatar, erdok, faa wal, erbatar ersang tit. Faa wal,
erdir jaik. Faa wal, hirbatar erba. Faa wal, rafla.
Edbo en ot ain, fo en ot uran, ain enjilin ni latubur, ain entof ni rawit esbo, ain en ot wer ai,
en ot bisa fo ni iri.
Sar tom-tom labo! En rak.

90
Kidin 14
DUA ORANG PEREMPUAN

Dan beginilah ceritanya!


Ada sebuah kampung besar, di mana semua orang terkena penyakit cacar dan mereka
semua mati, semua. Tinggal hanya dua orang perempuan.
Mereka sangat berduka dan tidak meninggalkan rumah mereka.
Ada sebuah kampung lain, yang terlibat dalam perang lawan sebuah kampung yang
berdekatan.
Dua orang laki-laki pergi keluar dari kampungnya itu untuk meminta bantuan orang-
orang sekeluarga.
Begitu mereka sampai juga pada kampung yang telah dikenai cacar. Mereka tiba di sana
tetapi ternyata kampung itu kosong.
Mereka berseru dan minta minum air, tetapi tidak ada orang menjawab. Mereka sampai
di pintu rumah-rumah, tetapi kedua perempuan sedang berkabung dan tiada orang yang
menjawab.
Lalu mereka masuk rumah-rumah dan menemukan kedua perempuan yang sedang
berkeluh-kesah.
Mereka minta minum air dan yang lebih tua pergi menimba air.
Lalu kedua pengunjung berkata: “Semua orang laki-laki di kampung sudah mati, dan tidak
baiklah bahwa kamu, perempuan berdua ini, tinggal sendirian; mari kita kawin.
Kedua perempuan setuju dan mereka kawin. Mereka menempuh malam itu bersama, lalu
pagi-pagi benar orang-orang laki-laki itu pulang untuk pergi bertempur.
Kedua perempuan memberikan mereka bekal untuk perjalanan: makanan dan barang
untuk siapkan kuluman. Mereka memasukkan itu ke dalam kantong sangu makanan dan pergi
bertempur.
Dan beginilah ceritanya!– Kedua kampung bertempur tetapi tidak ada yang menang atas
yang lain, sampai – ketika sudah senja hari – seseorang mengena kedua laki-laki itu dan mereka
gugur.
Dengan sangat heran orang tanya diri apa gerangan menyebabkan gugurnya mereka.54
Mereka menyelidiki tas patrum mereka, kantong sangu makanan mereka, dan ternyata terdapat
alat untuk menyiapkan kuluman di dalamnya.
Orang menduga bahwa ada permainan sihir di situ dan orang bertanya-tanya siapa yang
telah memasukkan alat kuluman itu ke dalam kantong itu.
Dan segera juga menjadi jelas bahwa itu telah dibuat oleh dua perempuan itu.
Mereka berdua tidak menyangkal dan berkata: “Kenapa gerangan kami tidak buat barang
itu? Maklumlah mereka adalah suami kami. Jadi kenapa tidak boleh kami memberi mereka bekal?
Kami tidak mengerti bahwa perbuatan kami itu adalah salah”.

54Perang dipandang sebagai semacam pengadilan ilahi: mereka yang gugur adalah orang yang bersalah,
kecuali jika lewat tindakan sihir pengadilan ilahi itu dicegah.

91
Semua laki-laki itu berunding dan berkata: “Kalau mereka tidak kena sihir, berarti bahwa
mereka pada salah satu cara telah berdosa”. Kata mereka: “Hidupkanlah mereka kembali, untuk
memastikan bagi kami bahwa kamu bukan orang jahat atau orang suangi, melainkan bahwa kamu
orang yang saleh; jika kamu tidak mampu membuat itu, maka kami tahu bahwa kamu telah
menyihiri mereka dan kamu akan mati”.
Dan beginilah ceritanya! – Kedua perempuan dengan cemas bertanya diri dengan daya
apa mereka dapat menghidupkan kembali orang-orang laki-laki itu. Mereka berpikir dan berpikir,
tetapi tidak tahu bagaimana mereka dapat melaksanakan karya itu.
Lalu tertidurlah salah satu dari kedua perempuan itu dan dia bermimpi. Dia bermimpi
bahwa ia menggali di bawah rumah itu dan di situ menemukan jalan keluar.
Setelah bangun dari tidurnya ia pergi menggali di bawah rumah itu, dan ia menggali terus
sampai ia menemukan sebuah gua besar.
Dia masuk gua itu dan berjalan terus, sampai ia mencapai perbatasan dunia-bawah, di
mana terdapatlah pohon linggoa Aru dan batu Lavlav.55
Di situ duduk juga nenek Waharu, yang bertanya: “Apa yang ibu cari?”
Dia berkata: “Saudara perempuanku dan aku sudah putus asa. Suami kami masing-masing
telah gugur dalam perang dan orang tua-tua sudah memutuskan: kalau kami tidak menghidupkan
mereka kembali, kami juga harus mati. Apakah nenek mungkin telah melihat mereka?”
Sahut nenek Waharu: “Memang aku telah melihat mereka. Mereka belum masuk ke dalam
dunia roh-roh halus, mereka masih sementara mandi di kali di sana sebelum masuk ke sini”.
Berkatalah perempuan itu: “Aku mohon kepadamu, aku memeluk kakimu! Bantulah
supaya mereka bisa kembali ke dunia; barangkali nenek mampu berbuat demikian”.
Dia menjawab: “Tinggallah tersembunyi di sini; mereka tidak boleh melihat ibu. Mereka
segera datang. Aku akan mengubahkan mereka menjadi ular, buaya, biawak dan lain-lain, tetapi
jangan menyentuh mereka; akan tetapi begitu kuubahkan mereka menjadi telur, ibu harus segera
mengangkat mereka”.
Ketika datanglah kedua laki-laki itu, nenek Waharu mengubahkan mereka menjadi ular;
ular itu diubahkannya menjadi biawak, biawak menjadi kaki seribu, ular berbisa dan banyak
binatang hina lain, dan akhirnya mereka diubahkannya menjadi dua butir telur.
Ketika mereka sudah diubahkan menjadi telur, dengan cepat perempuan itu
mengangkatnya dan pergi.
Ketika dia sudah kembali, datanglah orang-orang yang sudah mengadili dia; mereka
bertanya apakah mereka telah berhasil melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepada
mereka.
Perempuan itu menjawab: “Berhasilkah? Tidak berhasilkah? Silakan datang melihat dan
saksikanlah!”
Dia mengangkat kedua butir telur itu dan memecahkannya di serambi-dalam, dan kedua
laki-laki itu tampil kembali sebagai manusia yang hidup.
Sesudah itu semua orang mengadakan pesta besar dan sekali lagi mereka kawin.
Demikianlah seluruh kisah ini.

55Pohon dan batu ini adalah tiang perbatasan dunia orang mati, namun hanya untuk lingkup terbatas; di
tempat-tempat lain, dunia orang mati dibayangkan menurut cara berbeda.

92
--------------------

Sar tom-tom labo! Ohoi laai ain, web ental bo, tomat ohoi bisa ermat, bissa famehe. Tomat
vat hiru mehe wat herdok.
Erdok bo, rir masuhun laai, erdok wat rahan raan. Ohoi ain wel, hires ohoi lian herkaftal. Tomat
jante ru erba, fo heruk rir jan-ur bissa. Herba bo, herho wuk ohoi web entaltal i. herho bo ohoi wus.
Erwoo, erher wear hir ren. Hira wion waid. Erho ti, herdir rahan latubur ma, ko wat hiru masuhun
laai, hira enhawa wuk waid.
Erti rehe rahan raan bo, erit tomat wat hiru erdok reron. Erher wear hir ren ma, en jaan enba enlin.
Edbo tomat hir ernar: Tomat ohoi bissa ermat mele, im wat imru imdok felenhe bok waid, bokli
itafaw.
Edbo ko wat hiru ertarim ma, hir rafaw, hirs erdok-tub ma, hamar esmermer
beranran hirru erba wel, fo erkaftal.
Erba bo, ko wat hirru er-ot rir kes benaw enhov isu, naan, ersai na rir hab, erba erbatang.
Sar tomtom labo! Tomat ohoi hiru erkaftal bo, ain enrehe ain waid, hira ni utung waid, famehe ler
wahan rak, mang ertunken tomat hiru ma ermat.
Eidbo tomat rastanuk aka en-ot tomat hiru i. Ersiak bissa sit, hab bissa bo, er-it wuk bukmam na
hab hob naa.
Eidbo erfangnan bud te afa ma, erpares hauk mangbebe wak ersai bukmam na rir hab i.
Eidbo famur eref-ken wuk tomat wat hiru er-ot. Tomat wat i erhauk enfak wunin wuk waid, ernar:
Oho, amot wuk n-aka! Niraan hob am. Amot rir kes waid aka? Amkai mam sa afa waid.
Eidbo tomat bissa rasdov ma, ernar: Bet erbod waid, wukun erwar dos afa. Ernar: Im-ot hiru erwait-
il, amkai im tomat sian waid, im tomat, hawang waid, im tomat tunan: bet im ot naa waid, amkai
rak, im ot hir, imyat wuk he!
Sar tomtom labo! Tomat wat hiru erdok raar sus laai. Erdok erfikir naa, er ot felbe wuk, fo er ot
tomat hiru erwait il. uur suhut rak ma, erfikir-ken waid, er ot naa rehe waid.
I bo, famur tomat wat ain entub kin ma, enmivken afa. Enmiv: enkeek rahan lavlovan, enit-ken fo
en ot naa.
Famur enbatar, ensu rahan lavlovan fo enkeek: Enkeek bo, famehe enkeek-ken vaan lai ain.
Enho-ti, famehe enho nuhu oan ni kanutun, ai ing-jar enhov wat Lavlav erdirdir i.
Tete waharu endok ma, enhorak: Omhauk aka?
Nenar: Amru raab sus laili mele. Hob am ermat na prang ma, teten erhukum, bet am ot erwait-il hir
waid, erfedan wuk am. Wukun am it wuk hir te bebe?
Tete waharu nanar: u-it te. Hir erho-ti nit rir ohoi hob, hir hob erdok refluruk nah hoar ro fo erti.
Nanar: usob o, utaha jeam! Um ot fo eril dunjai-vuk te; wukun om ot na.
Nanar: Omdir omfakwunin deni; batang erliik o waid, wukun erdat-vuk i. Tiok, u ot erwal-il fo rubai,
uwe, buu, te afa te afa, umtaha wahid; tiok, eril fo mantilur wuk, umtaha rehe.
Eidbo hiru erma erdo, tete waharu en ot hirru erwal-il fo ru-bai. Eidbo erwal-il wal fo buu, erwal-il
wal fo eat, fo lahurun, afa sisian angledli bo, famehe famur-mur rehe erwal-il wel fo mantilur. Erwal-
il rak fo mantilur, ko wat i na rehe ma, nefla-il.
Eril ma, tomat teten erdok let ni berkar, eril erdat, enhorak, er ot naa te waid.

93
Tomat wat i nanar: u-ot naa te bebe, imliik fo imkai.
Eidbo entaha mantilur waturu, entev-kok na ni katlean ma, tomat hirru erwait-il wal fo omat.
Famur tomat bissa er ot rumian lai, er ot hir rafaw wal.
Tom bail-rak i.

94
15
DUA ANAK YATIM-PIATU

Dan beginilah ceritanya!


Pernah ada dua anak yaitim-piatu. Orang tua mereka sudah mati. Kedua-duanya adalah
anak-anak laki-laki. Orang tua mereka telah meninggal ketika mereka masih kecil sekali.
Orang tua mereka pernah pinjam sebuah kalung emas, yang adalah milik seluruh
kampung,56 tetapi mereka masih kecil waktu itu dan tidak tahu-menahu tentang itu.
Ketika mereka sudah besar, mereka pergi mencari ikan dengan memakai sebuah obor.
Mereka menikam ikan banyak sekali dan tiap orang ingin membeli ikan dari mereka, dan
mereka membawa piring-piring dan sarong-sarong57 untuk membeli ikan. Tetapi mereka
berkata: “Kami hanya ingin membeli seorang isteri untuk diri kami”. 58
Kemudian mereka pergi lagi mencari ikan dengan memakai sebuah obor dan mereka
menikam ikan amat banyak dan mereka mengerjakan sebuah penggarang untuk mengeringkan
ikan itu.
Di kampung itu ada juga seorang raja yang mempunyai tujuh puteri. Mereka pun datang
mau membeli ikan.
Kedua orang yatim-piatu itu berkata: “Kami tidak butuhkan uang, piring atau sarung,
kami hanya ingin membeli seorang isteri bagi kami masing-masing”.
Maka pulanglah puteri-puteri raja itu dan memberitahukan itu kepada ayah mereka.
Raja sangat marah dan ia menyuruh bahwa lebih pentinglah mereka mengembalikan
emas milik kampung itu.
Raja menyuruh bahwa mereka harus mengembalikan emas itu, tetapi mereka berkata:
“Kami tidak tahu-menahu tentang utang itu”.
Raja merasa jengkel lantaran mereka tidak mengetahui tentang hal itu dan berkata:
“Kalau kamu tidak tahu-menahu tentang emas itu, baiklah kamu pergi dulu ke dunia roh-roh,
meminta informasi pada orang tuamu”.
Dan beginilah ceritanya! – Mereka pergi ke dunia roh-roh halus dan mereka sampai pada
nenek Waharu; dia bertanya kepada mereka: “Ke mana langkahmu?”
Mereka menceritakan semuanya dan mereka katakan bahwa pergi bertanya di mana
emas itu. Lalu berkatalah nenek itu: “Sudah mau gelap; sebaiknya tinggal saja di sini sampai esok”.
Ketika sudah terang, berkatalah nenek Waharu: “Sekarang boleh pergi, tetapi jika di
pinggir jalan kamu melihat air yang sedap dan pelbagai buah yang enak: pepaya, pisang, nanas,

56 Harta yang bernilai tinggi sering milik seluruh kampung atau – lebih sering – milik suatu marga.
57Piring-piring dan sarong-sarong adalah bahan penukar yang lazim dipakai pada perdagangan dengan
tukar-menukar.
58Dalam legenda-legenda belum tentu kebiasaan-kebiasaan Kei yang diceritakan. Kalau di Kei, dalam
urusan adat, seorang anak yatim-piatu diperlakukan seperti anak-anak lain. Bukan ayah, melainkan ketua
marga yang bertanggung jawab atas urusan sekitar perkawinan: mencari seorang isteri yang pantas dan
membayar harta kawin.

95
tebu: awas, jangan makan atau minum itu; sebab jika kamu buat itu, maka kamu akan mati dan
menetap dalam kerajaan roh-roh”.59
Maka pergilah mereka dan melihat segalanya itu: air, pepaya, pisang, tebu, tetapi mereka
takut makan atau minum daripadanya, dan akhirnya tiba di sebuah kampung. Semua penduduk
kampung itu sedang berpesta, memukul genderang dan menari.
Mereka berdua berdiri sambil berkeluh-kesah di luar tembok kampung.
Mereka diperhatikan oleh seorang budak Papua yang pergi membuang sampah.
Dia berjalan kembali dan berseru keliling: “Berhentilah dulu dengan memukul genderang
dan menari dan pergi lihat dua orang yang berdiri berkeluh-kesah di luar tembok!”
Kata orang: “Ah, omong kosong!”
Dia menjawab: “Apa omong-kosong! Aku katakan yang benar!”
Mereka bilang: “Kalau engkau menipu kami, kau akan mati!”
Dia berkata: “Akor!”
Maka orang pergi ke situ dan mereka pula mendenger keluhan kedua bersaudara: “Di
mana gerangan emas itu, supaya kami bisa pulang!”
Mereka mengeluh lebih lanjut: “Nen somboi ini wole nanane nadan mas hiri mas oran,
oran dari negeri!”60
Mereka mengeluh lagi dan lagi, sampai tiga kali, lalu orang tua mereka menjawab.
Mereka mengatakan: “Emas milik kampung itu belum kami kembalikan; karena itu
mereka mengalami kesusahan dan mereka pun mengeluh-kesah: ’Mas ohoitira...’ dst. Berarti:
emas itu ada di rumah di bawah lantai”.
Mereka mengeluh kembali: “Kami menyalami kamu dan minta pamit. ‘Nin minakama...’
dst.
Ketika mereka berkata bahwa memang mereka mau pulang, ibu itu mengeluh: “Ya,
pulanglah kamu berdua; adapun kami, Tuhan sudah memanggil kami datang kepadaNya: ‘Baba
ni kaw...’ dst.
Maka mereka pulang.
Dan beginilah ceritanya! – Pada perjalanan pulang dan singgah pada nenek Waharu, si
nenek mengajak mereka agar hari berikutnya baru mereka pulang.
Maka mereka tinggal bersama nenek itu dan ketika fajar menyingsing mereka kembali ke
dunia. Begitu mereka sampai di depan tembok kampung, maka raja menyuruh mereka membayar
emas itu.
Mereka berkata: “Mengapa begitu tergesa-gesa? Izinkanlah kami terlebih dahulu
mengebas debu kerajaan roh-roh dari kaki kami. Mengapa bapak begitu kejar-mengejar orang!”
Tetapi raja sudah perintahkan dan yang bungsu pergi mencari emas itu. Ia
menemukannya dan mengembalikannya. Tetapi mereka berdua merasa sangat tersinggung
karena cara mereka diperlakukan dan menghilang untuk selamanya.

59Di sini jelas lagi bahwa orang membayangkan dunia roh-roh halus itu pada cara-cara yang sangat
berbeda. Di sini jalan ke situ digambarkan sebagai jalan penuh kenikmatan yang menggodai, sedangkan
dalam cerita-cerita lain jalan itu dilukiskan sebagai jalan penuh hal-hal dahsyat yang menakutkan, yang tak
dapat dilalui manusia.
60 Pengarang tidak kenal bahasa yang dipakai oleh roh-roh ini, jadi tidak dapat menerjemahkannya.

96
Seluruh kampung menangisi kedua yatim-piatu itu.
Sudah habis.

--------------------

Sar tomtom labo! Warwattat hirru bo, renan-yaman ermat bissa. Hirru beranran wat. Renan-
yaman ermat, hir hob kot-kot rehe.
Eidbo renan-yaman erhutang ohoi ratot rir sor mas ain: hir hob kot-kot ma, erkai rehe waid.
Eidbo famehe hir erdat lai rak, erba erfuhu.
Erfuhu bo, er ahai vuut angledli. Tomat bissa erhorak fo erfaha, rerek bingan esbo nanfaha. Eidbo
hir ernar: “Bail amfaha hob”.
Famur erba erfuhu wal, er ahai-ken wal wuut angledli bo, er ot vat nanror wuut.
Rat ain wuk naa ohoi i, yanan wat enfit. Hir erba wuuk fo erfaha wuut.
Erfaha wuut ma, warwattat hirru ernar: “Am feen kubang, bingan, esbo, hir i, bail amhauk watwat
fo am hoab”.
Eidbo rat yanan erba- il rehe, surnartul wer teran rat. Rat raan sian ma, nesnobang hir erhiluk ohoi
ratut ni mas naa wuk.
Rat nesnobang erhiluk mas ma, hir ernar: amkai mam mat na ohoi ratut i waid.
Erkai waid bo, rat i raan sian, nanar: “Imkai mas waid bo, felenhe imbya nit naa wuk, tim horak
renab-yamab im, fo erturuk”.
Sar tomtom labo! Hir erba nit bo, erharang te waharu. Te waharu enhorak: “Imbya be?”
Hir ernartul bissa, hir erba erhorak mas enho odanbebe wuk ma, te waharu nanar: Dedan rak mele,
imtuk hamar wak.
Hamar ruk, te waharu nanar: Imbye, imkai, na ded ngelean imit wear bokbok, kostel, muu, nas, tiev,
bissa: batang men mian wahid; men mian, immiat vuk he, imdok oba vuk nit.
Edbo hir erba, erit bissa wear, kustel, muu, tiev hir i, ma erbobar, ren raan waid, famehe erho wuk
ohoi aein. Tomat ohoi i bissa erdok ermirrin ertiwa erbeen.
Edbo hirru erdok lutur murin ma, rerroon.
Tomat nesjav ain, rir ko wat iri ain, enba envoak beb ma, en it.
Enit ma nefla-il nanar-tul, nanar: Imtalik imtiwa been-ak te!
Imbya imliik hir yante ru erdok erroon lutur murin roi!
Hir ernar: ”Om weang he”.
Nanar: ”Uweang bene! Unar tunan he”.
Ernar: ”Om weang, amfedan o he! ”
Nanar: ”Meski”.
Edbo hir erba, erdinar vuk hiru erroon: Mas endok danbe wak fo amnail am!
Erroon wal: “Nen somboi ini wole nanani nadan mas hiri mas oran, oran dari negeri!”
Edbo erroon faa wal enhov faa wal fo entel ma, rinan-yaman erroon-hava wal.

97
Erroon ma ernar: Am ot mas ohoi ratut, amhiluk hob ma, en-weang hir rir sus ma rerroon: “Mas
ohoitira akoti in baba bisa sarasara mondemasa redemoeli”. Wawan nanar: “Mas entub tomtom
lawo-wan wov”.
Eidbo erroon wal: Imdok, amba-ilak he: “Nin ninakama bali komilaka kowali”.
Nanartul hir er il fo tunan, renan enroon wal, nanar: Duad nena rak am, imbya-il: “Baba ni kaw
namonina, kola ni kaw nomo-baba bali komoroti moeli komoloka”.
Edbo hir erba.
Sar tomtom labo! Erba bo, te waharu entahang wal fo erdok wel fo meran erba-il.
Hires erdok bo, hamar erba-il fo dunyai. Hir er il ma, erdir latubur, rat nesnobang hir erwear mas.
Hir ernar: ”Muslan aka felenhe? Tiok amtatak yeab ngur ental nit. Imot tomat sus ngene fo aka? ”
Rat nesno bo, en warin enba enliik-hauk, enit ken, enwear-il mas we rat ma, famur ermeak, erba
ermam.
Ohoi ratut erroon warwattat hirru.
Ein rask.

98
Kidin 16
KADAL EMAS

Dan beginilah ceritanya!


Ada tujuh orang bersaudara perempuan. Mereka pergi mencari ikan dengan keranjang
mereka. Mereka membalikkan terumbu karang, dan ikan-ikan lari masuk keranjang itu.
Enam bersaudara itu mendapatkan ikan banyak. Yang bungsu, namanya Watwarin,
menangkap hanya seekor kadal. Ia membuang kadal itu kembali ke dalam laut, tetapi kembalilah
dia ke dalam keranjangnya lagi. Sekali lagi ia membuangnya, namun tiap kali ia kembali.
Menjadi air pasang dan kakak-kakaknya memanggil dia katanya: “Marilah, kita akan
menusuk ikan-ikan kita”.
Mereka menuju pantai. Semua kakaknya mendapatkan ikan banyak, tetapi dia sendiri
sama sekali tidak dan ia berkata: “Aku cuma menangkap seekor kadal untuk aku bermain-main
dengannya”.
Dia membawa pulang kadal itu dan malam itu kadal itu berubah menjadi seorang manusia
dan mereka kawin.
Kakak-kakaknya pada malam hari mendengar Watwarin omong-omong dengan kadalnya.
Mereka menamai kadal itu Putera Tuhan.
Kata mereka: “Pada malam hari Putera Tuhan itu mengubahkan diri menjadi seorang
manusia dan mengawini Watwarin”.
Tetapi menjelang pagi, ia berubah kembali menjadi seekor kadal dan berenang di dalam
sebuah pasu. Di malam hari ia kembali berubah menjadi seorang manusia dan kawin dengan
Watwarin. Pada siang hari ia kembali menjadi seekor kadal.
Dan beginilah ceritanya! – Lalu keenam bersaudara itu mulai mengintip-intip mereka.
Yang sulung mengambil tikar dan selimutnya dan meletakkan itu di kaki tangga kamar Watwarin.
Dia memata-matai mereka dan melihat bagaimana kadal itu berubah menjadi seorang manusia.
Mereka semua menamai kadal itu Putera Tuhan61 karena seluruh tubuhnya dibuat dari emas,
emas murni.
Mereka berenam mengatakan kepada Watwarin: “Suami Watwarin adalah Kadal, Putera
Tuhan; tubuhnya dan pakaiannya seluruhnya adalah emas. Dan mereka minta Watwarin supaya
ia berbagi dengan mereka ranjangannya.
Tetapi Watwarin menolak dan berkata: “Putera Tuhan sudah minta kamu terdahulu,
tetapi waktu itu kami tidak mau; sekarang aku pun tidak mau bahwa kita bersama menjadi
isterinya”.
Aduh! Begini: di awal cerita ini aku lupa menceritakan sesuatu, dan sekarang aku ingat
kembali. Waktu mereka sedang mencari ikan, kadal itu telah masuk ke dalam keranjang masing-
masing keenam saudara itu, tetapi mereka merasa jengkel dan telah membuang dia. Waktu itu
sebagai paling akhir ia datang pada Watwarin, dan dia itu telah membawa dia pulang.

61Ibu yang menceritakan kisah ini, memberikan di sini penjelasan tentang nama ini. Namun tidak ada
kaitan apapun juga dengan Tuhan yang mahaesa.

99
Keenam bersaudara cemburu kepadanya dan mereka berkata kepada Watwarin:
“Hancurkanlah sebuah botol menjadi kersik”. Mereka bermaksud mencampur kersik itu dengan
kapur, supaya, bila kadal emas itu menginjaknya, ia akan mendapat luka pada kaki.
Hal itu diperhatikan oleh kadal emas itu, maka ia mau kembali ke kampungnya. Tetapi
sambil menangis, Watwarin mencegah dia pergi.
Maka ia tetap tinggal saja. Tetapi keenam kakak yang cemburu itu berkata kepada
Watwarin: “Asahlah parangmu dan letakkannya di ambang-bawah pintu rumah.
Ia lalu meletakkannya di atas ambang-bawah dan parang itu melukai Putera Tuhan dan
langsung ia kembali ke kampungnya; ia angkat pakaiannya dan pergi.
Dan beginilah ceritanya! – Watwarin sudah menjadi hamil.
Kepergian suaminya sangat menyusahkan hatinya.
Watwarin berkeluh-kesah karena dia dan ia menyusul dia.
Ketika dalam perjalanan, ia melihat kadal emas itu dan mulai berkeluh-kesah.
Kadal emas itu tinggal berdiri. Ketika Watwarin sudah sampai padanya, mereka duduk
saling berdampingan; Watwarin mengistirahatkan kepalanya pada kaki kadal emas itu, dan dia
itu mulai mencari kutu padanya.
Dan inilah nasehat yang ia berikan kepadanya: “Bila aku selesai dengan mencari kutu,
engkau harus segera berdiri; kalau tidak, engkau tidak akan melihat aku lagi”.
Ketika ia sudah selesai dengan mencari kutu, ia memanggil Watwarin. Watwarin tidak
menjawab. Ia meletakkan sebuah batu di bawah kepalanya.
Lalu ia pergi. Ketika tak lama kemudian Watwarin terbangun, ia tidak melihatnya lagi.
Ia mengikuti dia dan sesudah sedikit waktu ia melihat dia, tetapi hanya kepalanya.
Ia memanggil dia dan kadal emas itu tinggal berdiri. Ia menunggui Watwarin, yang
mengistirahatkan lagi kepalanya pada kakinya.
Kadal emas itu mulai lagi mencari kutu dan menasehati dia: “Bila aku sudah selesai dan
memanggil engkau, engkau harus segera berdiri”.
Ia memanggil dia; Watwarin tidak menjawab, maka ia melanjutkan perjalanannya.
Setelah ia pergi, terbangunlah Watwarin. Dia tidak melihat lagi kadal emas itu dan mulai
menyusul dia.
Tak lama kemudian ia melihat dia lagi dan memanggil dia. Mendengar suaranya, kadal
emas tinggal berdiri dan menunggui dia.
Mereka duduk bersama. Watwarin meletakkan lagi kepalanya pada kakinya dan kadal
emas itu mulai lagi mencari kutu pada rambutnya. Ketika ia selesai, kembali ia memanggil dia,
tetapi ia tidak memberi jawaban.
Ia menyisip sepotong kayu di bawah kepala Watwarin dan melanjutkan perjalanannya.
Ketika Watwarin terbangun, ia tidak melihat dia lagi. Dia menyusul dia, tetapi sebuah
sungai menghalangi dia di jalan itu, lagi pula sebuah gunung melintangi dia. Bersumpahlah
Watwarin: “Jika aku anak dan keturunan orang budak dan hamba, maka semoga – sekalipun aku
bersumpah – air tetap dalam dan gunung itu tetap curam, tetapi jika aku puteri dan keturunan
raja-raja besar dan orang kasta-tinggi, semoga gunung menjadi tanah rata dan semoga air
menunjukkan dasar sungai”.

100
Dan tengoklah! Gunung menjadi tanah rata dan hingga jauh di depannya terlihatlah air
surut; lewat tanah kering itu ia melanjutkan perjalanannya.
Dia berjalan selama satu hari dan mendaki sebuah gunung. Masih dalam perjalanan, hari
sudah menjadi malam dan ia didatangi oleh roh-roh, hantu-hantu dan setan-setan.
Dia terlentang di jalan dan roh-roh jahat datang mendekat dan berkata: “Kita akan
mencaplok dia”.
Lalu datanglah dosa62 yang berkata: “Aku akan membunuh dia”.
Namun roh-roh itu tidak menelan dia dan dosa pun tidak membunuh dia.
Hantu-hantu pun datang dan berkata: “Kamilah yang akan membunuh dia”.
Namun hantu-hantu itu tidak membunuhnya.
Akhirnya datanglah Hukum. Dan Hukum 63 bersabda: “Tiada kesalahan apapun padanya.
Pergilah kamu semua! Tinggalkanlah dia!”
Mereka melarikan diri ke segala jurusan dan sang Hukum tetap di jalan untuk menjagai
Watwarin sampai hari menjadi siang. Baru dia pergi.
Ketika ia terbangun dan berdiri, semua pakaiannya telah dirabik dari tubuhnya oleh roh-
roh jahat, para setan dan hantu yang telah berusaha merebut dia. Dia berdiri di situ telanjang
bulat dan ia melingkari tubuhnya dengan rambutnya.
Dan beginilah ceritanya! – Kadal emas sudah mendahului ke kampung. Kepada salah
seorang budak perempuan, namanya Bien, yang sedang bekerja di kebun, ia suruh: “Bien, engkau
tinggal di sini. Jika ada seorang perempuan yang perlu dengan aku, katakanlah kepadanya bahwa
aku belum ada, tetapi layanilah dia baik-baik.
Watwarin sudah sampai di dusun Bien, tetapi dia telanjang bulat. Bien telah menanam
hanya pisang dan hampir tidak ada ubi-ubian. Ketika Bien sementara bekerja di kebunnya,
Watwarin mulai sakit beranak.
Dia panggil: “Bien, Bien, mari dulu!”
Ketika Bien sudah sampai, Watwarin menyatakan kepadanya bahwa ia sakit beranak.
Lalu ia melahirkan seorang anak, seorang anak laki-laki. Dia tidak mempunyai pakaian dan tidak
mempunyai sesuatu pun untuk membaringkan anaknya di atasnya.64 Dia menghanguskan daun
pisang dan membaringkan bayi itu di atasnya.
Watwarin mulai merasa lapar. Tetapi di kebun Bien tidak terdapat ubi-ubian; ada hanya
pisang saja. Dan tidak ada susu padanya untuk menyusui anaknya.
Dia ingin makan sagu dan menyuruh Bien pergi membelinya. Bien berkata bahwa ia tidak
mempunyai uang.

62Kata dos yang dipakai di sini, mempunyai arti yang berbeda-beda. Antara lain dengan kata ini
dimaksudkan “dosa”, tetapi sering lebih khusus dosa percabulan, bahkan kelamin dan juga nafsu untuk
bercabul, seperti menjadi jelas dari ungkapan seperti ini: Dos nit aka enlawur ning afa i? Berarti: roh / hantu
dosa mana telah merusakkan barangku itu? = Siapa gerangan telah merusakkan barangku itu? Dalam
konteks kita di sini, mungkin kita harus mengartikannya sebagai roh / setan percabulan.
63 Hukum atau Duad hukum adalah hukum yang di sini menurut gaya animis juga dipersonifikasikan.
64Tempat buaian seperti di negeri barat tidak dipakai di Kei. Biasanya orang meletakkan kain-kain lama
atau pakaian yang sudah usang di lantai; di atasnyalah bayi diletakkan. Daun pisang yang dihanguskan di
atas api menjadi kendur dan lemas, dan dapat melengkapi kekurangan akan kain-kainan.

101
Watwarin menyuruh Bien pergi ambil tulang daun kelapa. Lalu ia memetik bunga-bunga
dari rerumputan perak,65 yang lalu diuntainya sebagiannya pada tulang daun itu, dan ia
menyuruh Bien untuk – kalau tidak cukup – menambahkan bunga lebih banyak.
Bien memungutnya dan pergi membeli sagu. Lagi Watwarin pesan: “Bien, bila kadal itu
bertanya tentang aku, katakanlah bahwa aku belum tiba”.
Bien membawa bunga-bunga dan tulang-tulang daun itu dalam bakulnya.
Dan beginilah ceritanya! – Bien pergi. dan ketika ia kembali ia berkata kepada Watwarin:
aku sudah membawanya dan mau menguntainya, tetapi mereka bilang bahwa aku sama sekali
tidak tahu caranya itu harus dibuat.
Ketika kemudian pergi lagi, Watwarin menyuruh seekor lalat untuk menyertai dia.
Ia pergi membeli sagu seperti di sana, di Nguur-ablot. Anak-anak sangat mengagumi
bunga-bunga itu dan mengemis pada orang tua mereka untuk membelinya, maka mereka
membelinya dengan sagu.
Bien berjalan lebih jauh daripada hanya kampung ini untuk menawarkan bunga-
bunganya. Ketika dia sampai di kampung itu, seorang anak-angkat dari Putera Tuhan minta-
minta diberi bunga-bunga itu.
Bien berkata: “Sudah habislah tulang-tulang daun dan aku tidak dapat menguntainya.
Tetapi lalat itu datang duduk pada sebuah tulang daun dan berkata: “Pasanglah sebuah bunga di
sini, dan geserkanlah turun; sesudah itu lagi sebuah di sini dan geserkanlah turun dan seterusnya
dari bagian bawah tulang daun itu sampai bagian atas. Dia menguntainya dan ternyata gampang
saja. Ia membeli sagu dan membawanya ke Watwarin.
Ketika kemudian Bien kembali, kadal emas mengambil sepotong rotan dan pukul mati
lalat itu dan berkata kepada Bien: “Sekarang, untaikanlah bunga-bunga!”
Bien berusaha menguntai bunga-bunga, tetapi tidak berhasil, ia sudah tidak tahu lagi
bagaimana membuatnya.
Kadal emas dengan sepotong rotan itu di tangannya memanggil Bien hingga dekat dan
berkata: “Bien, mari dulu, aku mau menanyakan sesuatu kepadamu”.
Bien datang, dan kadal emas bertanya: “Apakah mungkin sudah ada seseorang telah
datang ke dalam kebun ini?”
Sahut Bien: “Tidak, tiada orang telah datang ke kebun”.
Tetapi majikannya, yakni kadal emas itu, berkata: “Kalau begitu, siapa gerangan telah
menguntai bunga-bunga itu, sedangkan engkau sendiri tidak tahu membuatnya?”
Dia berkata: “Lalat itu telah menunjukkannya kepadaku”.
Dia berkata: “Engkau bicara yang benar atau tidak! Kalau nanti aku datang dan ternyata
engkau telah mendustai aku, ketahuilah bahwa aku akan memukul engkau hingga mati”.
Lalu Bien menjadi takut dan mengaku: “Watwarin telah datang”.
Maka ia berkata kepada Bien: “Bien, engkau jalan duluan, aku menyusul”.
Ia mengikutinya. Ia mengambil sebuah sarong dan sebuah kebaya dan mengikut Bien ke
kebun tempat duduklah Watwarin.

65 Kata kubang menunjuk baik pada uang maupun pada sejenis bunga (mirabilis jalappa). Pada
persembahan silih sering dipamerkan bunga-bunga ini. Di Kei, anak-anak juga suka menguntai bunga-
bunga ini pada tulang daun kelapa.

102
Ketika ia sampai di situ, Watwarin duduk sementara menghangatkan diri, tetapi ia merasa
malu karena ia telanjang.
Ia meloncat ke depan dan memeluk isterinya Watwarin itu. Watwarin berseru: “Aduh!
Kadal, bantulah isterimu! Pudenda tua extinguantur!66 Buat apa kamu di sini!”
Dia tidak tahu bahwa dia yang memeluk dia, adalah suaminya, kadal itu.
Kadal emas itu memberikan kepadanya sebuah sarong dan sebuah kebaya, baik sarong
maupun kebaya terbuat dari emas. Dan dia mengenakannya.
Lalu kadal kembali untuk pergi menjemput ayahnya. Para bawahannya disuruhnya untuk
mampir di gubuk Bien, dan ia mengatakan bahwa sesudah tiga hari ia akan mengantar isterinya
masuk sambil memegang tangannya.
Orang memasang piring-piring yang berderetan dari rumah kadal itu sampai ke gubuh
Bien; di bawah tangga rumah itu ditempatkan dua botol karap dan juga dua pada gubuk Bien.
Orang mengambil air dan membasuh tangan dan kaki Watwarin. Ia keluar dari gubuk Bien
dan orang sekali lagi membasuh tangan dan kakinya.
Kemudian bersumpahlah Watwarin: “Jika aku anak dan keturunan orang budak dan
hamba, maka semoga, bila aku berjalan lewat piring-piring ini, orang mengambilnya keluar di
depanku dan membiarkannya dalam keadaan terpecah di belakangku; tetapi jika aku anak dan
keturunan raja-raja besar dan orang kasta-tinggi, semoga, bila aku berjalan lewat piring-piring
ini, orang mengangkat piring-piring itu di belakangku”.
Maka orang meletakkan piring-piring itu di depannya dan mengangkat piring-piring itu
di belakangnya; ia melangkah maju lewat piring-piring itu dengan pantas.
Ketika ia sampai di tangga, orang mengambil air dan membasuh lagi tangan dan kakinya.
Ketika ia memasuki rumah itu, ibu mertuanya sedang menggendung bayinya.
Kadal emas dan Watwarin kawin lagi dan menetap dalam kampung itu.
Demikian kisah ini, dan sekarang sudah habis.

---------------------------

Sar tomtom labo! Tomat wat warin hirfit.


Edbo hirfit erba ertai met, hertaha nger, herwal wat, wuut nafla rho ngiar raan.
Erho-ti bo, tomat hiryaan her ot wad, bail wuut wat. Watwarin bail ni wad kasil. Enwatuk tahit,
engil wat ni nger. Enwatuk wal, engil wat, engil wat mehe.
Ruwat enil-do ma, ini an hiryayaan herwoo nanar: itmir did wuut.
Eidbo hir ro nangan, ni an hiritken rir wuut angled, ini wad wuut human waid bo, nanar: utaha
liklak kasil ain fo otmean.
Otmean, entaha-rat, dede kasil enot-il fo omat. Omat, dede hirru rafaw.
Rafaw ma, kowat hirnarken dede erfatlin Watwarin hirru kasil.

66 Artinya, kemaluanmu harus dipadamkan.

103
Tomat hiryayaan ernar kasil i fo Duad-yanan.
Ernar: Duad-janan dede enot-il fo omat, hirru Watwarin rafaw.
Eidbo faser fel hamar, enil fo kasil, enloi veng raan. Dedan enil wal fo omat, hirru Watwarin rafaw
wal, hamar enot-il wal fo kasil.
Sar tomtom labo! Famur tomat wat hiryayaan hirbatar herkaneak.
En yanan enwar dar-tarngu entub Watwarin ni ret utin. Entub enkaneak tomat kasil enot-il wal
fo omat. Enher kasil i fo Duad-yanan, niran ni olin mas famehe, mas famehe wat.
Hiryayaan ernar we Watwarin: Watwarin ni hoan kasil Duad-yanan, ni ulin bakean masmas wat. I
bo erher Watwarin fo hires hoar.
Watwarin nefeen, nanar: Lalain Duad-yanan enhorak wuk im, mifen wat mehe, famur ya’u wal te
ufeen ites hoan.
We! Oho n’aka, umkai ne utin uhol-yatak udan, ufangnan-ken rakma. Lalain hires erba met, kasil
lain enho wuk Watwarin in ni an rir nger bissa ma, hir raar sian, herwatuk rehe bo, famur wat enho
wuk Watwarin ini, ma i entarim rehe.
Eidbo tomat hir yayaan rafngihir i, ernar we Watwarin: om tev les fo lawun. Hir ernar, fo hir ot
tomat kasil masmas enfamur enot enhov jafar, enrain ma.
Kasil masmas enkai ma, enhauk enba-il ni ohoi. Watwarin entahang, enron.
Entahang, endok. Tomat wat hir yayaan rafngahir, ensib we Watwarin: ”Omraha nger, omot endok
fid”.
Enot endok fid `ma, nger ental tomat Duad-yanan ma, enba-il ni ohoi, na-il ni rawit-serwaw, enil ni
ohoi.
Sar tomtom labo! Famur Watwarin ni iwun.
Ni iwun ma, hoan enba-il rak male, sus lai.
Enba-il, Watwarin enhabalin, famur enba norang.
Enba norang, enti odan, enlik kasil mas-mas enba. Enit, enron.
Enron, kasil masmas endir. Endir Watwarin enherang rak nihoan, hirru ertub ma, Watwarin enloan
kasil masmas ni janan, enhil Watwarin ni ut.
Famur i ensib: ya’u uhil mu ut, uhil waeil, umbatar, waid, umit ya’u waid rak.
Famur enhil wail rak, enher Watwarin, Watwarin wion waid.
Ensak wat enot Watwarin un suntub.
I enba i. Enba, famur Watwarin enbatar, enit wal waid rak.
Nafla norang enti, enliik kasil masmas enba, uun wat.
Enwoo, kasil masmas endir. Endir tiok Watwarin, enloen wal ni janan.
Enloen, kasil masmas enhil Watwarin ni ut, ensib: Tiok, uhil watuk, uher, umbatar.
Enher bo, Watwarin wion waid. Eidbo enba rehe.
Enba, Watwarin enbatar. Enbatar, enit kasil masmas waid rak bo, nafla norang wal.
Enti, enit wal, enwoo, kasil masmas endirtiok i.
Hirru ertub, Watwarin enloan wal ni yanan, kasil masmas enhil ni oet. Enhil en rak, enher wal bo,
wion waid.
Ensak ai ain Watwarin uun entub ma, enba.

104
Enba bo, Watwarin enbatar, enit wal waid rak, enit waid, enba enti, nam ensenggur, wuar endirnut,
Watwarin entairoman: ver Maturbongs, keb-lema janar- ubun ya’u, utai-taroman, nam enloi, wuar
endir bail i; bet rat aknas, melhel kanew, titiok nabnabang yanar-ubun ja’u, wuar namto, nam enot
met entob.
Eidbo famur wuar namto, met entub, enba enho enrat.
Enba leran, enseb woear i enrat. Enba dedan entoeb ded raan, foar setan, nit bissa herdo.
Entoeb froan, tomat fer enma, nanar i naan.
Tomat dos enma, nanar i enfedan.
Far naan waid, dos enfedan waid.
Tomat nit enma, nanar enfedan.
Nit erfedan i waid.
Famehe Hukum inma, Hukum nanar: Ni sa afa waid, imbeil im! Imbelauk!
Erbail rehe, rafla wirwarok; Hukum nanar; Hukum entub ded i fo enbatang Watwarin famehe
hamar bo, enba.
Watwarin enbatar endir, ni rawit-esbo far, setan, nit erdok erkafwer i ma, namsit bissa. Endir wat
lelehen ma, enot ni murun nefwaeik.
Sar tomtom labo! Kasil mas enbail rak ohoi, ensib ni tomat ain enot vee: ko wat i ni iri ain,
meman Bin, ma nanar: Bin omdok i de, betne tomat wat ain endat enhorak ya’u, omnar, ya’u
udat hob ma, bail omher i fob ok.
Watwarin enbati Bin ni dokdok ma, endok wat lelehen. Bin enfoi bail wat mo, enfowoi benaw naa
waid. Enrat, Bin enro vee raan, Watwarin tetan suhut.
Enwo tomat Bin, enwoo: ”Bin omdo!”
Endo, Watwarin nanartul tetan suhut. Endok rahan yanan kot ain, bran, i nafwaik afa waid, ni
kafnut naa waid bo, enhalai muu roan fo kot entub.
Edbo, fomur Watwarin nablafar. Tomat Bin ni vee benaw naa waid, bail wat moo. Ini sus wahan
wuk waid.
I ensak manga naan. I nesno Bin enba enfaha.
Tomat Bin nenar ni kubang naa waid.
Watwarin nesno Bin enot kalbatu. Enot, enes ai kubang foain, tomat Watwarin enmir woho, I nesno
Bin bet entiok, I duan enmir taba wal.
Bin enwar enba enhauk enfaha manga, Watwarin ensib wal i: ”Bin omti, wukun kasil enhorak ya’u,
umnar, ya’u dat I hob”.
Bin enwar ai fuan woho, enmir hob enhov kalbatu woho, enwav na ni hab ain.
Sar tom labo! Bin enro enba il, nanar we Watwarin: om wav rat ti, hir ernar, ukai miir waid.
Eidbo famur inba wal, Watwarin nesno: ”Bo imru imbya”.
Enba enfaha manga fal Nguur bloat wal. Tomat kot endir enliik ai fuan bokbok, enron ai fuan ma,
ini renan jaman errek manga, erfaha.
Bin enba wal fel ohoi i, enhauk wal ni ai fuan. Tomat Bin enrat, duad janan ni janan duan kot ain
enroon fuan.

105
Bin nanar: Mir ain rak. Nanar: ukai umir waid. I bo kabur enor su kal batu, nanar: omsung ain endir
fel deni, omsor su; femur ain fel deni, omsor su wal, feli musluruk wat ental kalbatu ni utin suntut
tutu.
Famur enmir enot naa wat. Enfaha wel manga bo, enil enba su Watwarin endok, entaha manga i
su.
Famur Bin enil wal. Kasil masmas entaha ngain, enbangil fedan kabur, famur enyangun Bin:
”Enmir”.
Bin enot enmir, enot naa waid rak, enkai waid rak.
Kasil masmas entaha u, enwoo weeng Bin, nanar: ”Bin omdo, unar afa ya”.
Enrat, kasil masmas enhorak: Matak hira ain endat rak wee rat?
Bin nanar: ”Waid, hira endat wee iwaid”.
Ne duan teran kasil masmas nanar: Mangbe wuk enmir ai fuan i, amkai waid i?
Nanar: ”Kabur enturuk”.
Nanar: ”Umnar tunan te waid? Urat, omnar weeng, omkai, ubangil fedan o he? ”
Feli Bin enbobar ma, nanar: ”Watwarin endat rak”.
Famur ensib we Bin: ”Bin omsu naa wuk, teok uba norang”.
Enba norang su, entaha sbo ain, rawi ain ensu enba norang Bin, ensu wee Watwarin endok.
Ensu, Watwarin endok nafror ma, enmeek endok wat lelehen.
Tomat ini hoan na sibat ni hoan Watwarin, enro entaha.watwarin enot: yah! Kasil oramwat ma
hoan! Meam enmat! Omho denbe i!
Enkai ni hoan kasil i waid, fo endok ensibat i.
Famur kasil masmas na sbo ain, rawit ain, rabit sbo mas.
Enhoar enhov nafwaik.
Famur kasil enba il, enba enhauk jaman. Nesno parenta enho strat ensu tomat Bin ni sar, nanar,
raftal enba enkabil leman enhauk il ni hoan.
Tomat engodang bingan ental kasil ni rahan suntut Bin ni sar, glas ten inru erdir rat utin inru erdir
Bin ni sar.
Bin ni sar, enot wear, enwurik yean leman.
Famur Watwarin entai taroman: Maturbongs, keb lema janar ubur ya’u, usletar bingan i sian na
mur, erfil na u, nesletar enba bok wat.
Enro rat, hirek wal wear, hirwurik yean liman.
Endat rahan raan, ni renan enwel kakahai. Kasil masmas hirru Watwarin rafaw wal, hirdok ni ohoi.
Sar tomtom, ain rak i.

106
Kidin 17
RAJA DAN ISTRINYA WATWARIN

Dan beginilah ceritanya!


Pernah hiduplah seorang raja dan isterinya bernama Watwarin.
Raja itu berniat berangkat untuk perjalanan jauh ketika isterinya dalam keadaan hamil.
Kepada orang-orangnya ia perintahkan: “Jagalah isteriku baik-baik. Jika ia melahirkan
seorang anak perempuan, sekalipun ia membawa matahari pada punggungnya dan bulan pada
dadanya, namun: bunuhlah dia; akan tetapi jika ia melahirkan seorang anak laki-laki, sekalipun
ia cacat badannya, besarkanlah dia.67
Sesudah waktu yang lama, ketika musim barat sudah mendekat, ratu itu melahirkan
seorang anak perempuan yang sangat cantik. Ibu itu merasa amat sayang akan bayinya itu dan
mencari bantuan pada ibu-ibu yang sedang menganyam pada Gapura Tuhan.68
Ia pesan kepada semua penduduk kampung dan juga kepada kucing-kucing, anjing-anjing
dan semua ayam: “Jangan lapor kepada raja bahwa aku sementara duduk menganyam bersama
ibu-ibu di Gapura Tuhan: aku akan menyembunyikan anakku”.
Demikianlah ia telah memperingati semua manusia, kucing, anjing dan ayam, tetapi ia
telah lupa memperingati kutu-kutu pasir.
Dan beginilah ceritanya!
Ia telah lupa kutu-kutu pasir dan ketika raja pulang dan kapalnya masih berlabu, kutu-
kutu pasir itu cepat berlari ke situ dan memberitahukan kepada raja: “Tuan raja, isterimu telah
melahirkan seorang anak perempuan, tetapi ia menyembunyikannya di sana”.
Raja perintahkan seorang awak: “Pergi beritahukan kepada isteriku bahwa ia harus
membawa anak itu ke sini, supaya aku dapat menenggelamkannya di sana, di laut yang dalam.
Jika dia menolak, aku berlayar lagi keluar dari sini dan tidak mau dia lagi sebagai isteriku”.
Tetapi isterinya itu melarikan diri naik ke sebuah gunung yang tinggi.
Ketika ia sedang mendaki gunung itu, ia tinggal berdiri dan berkeluh katanya: “Butri,
anakku yang satu-satunya, ya anakku sendiri! Butri….69
Ia naik lebih jauh sedikit, tinggal berdiri lagi dan mengeluh katanya: “Butri, anakku yang
satu-satunya, ya anakku sendiri! Butri….
Ia naik makin tinggi dan akhirnya ia sampai di puncak gunung itu. Di sana ia mengeluh
lagi katanya: “Butri, anakku yang satu-satunya, ya anakku sendiri! Butri….
Raja itu menggantung tikar yang tadinya ia pakai untuk tidur dan menunggui Watwarin
turun dari gunung Tuhan; ia mendengar bunyi-bunyian di puncak gunung.

67Sekalipun orang Kei pada umumnya sangat memperhatikan dan mencintai anak-anaknya, namun yang
terpenting bagi mereka ialah seorang yang meneruskan nama keluarga.
68Bagiku tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan Gapura Tuhan. Memang di Kei Besar ada sebuah cela
gunung yang dinamai Gapura Tuhan atau Gapura Matahari.
69 Di
sini Watwarin memakai suatu bahasa yang tidak kukenal; hal ini sebetulnya mengherankan, karena ia
digambarkan sebagai seorang perempuan Kei.

107
Watwarin, selain si kecil, anaknya, tadinya membawa naik juga seekor kucing dan dua
anak laki-laki, yang adalah budak-budaknya, namanya Skiwi dan Skawil.
Kucing itu membawa bekal dalam sebuah pinggan yang berpenutup.
Bersama mereka Watwarin turun. Sementara mereka turun dari gunung, ia menasehati
kedua budaknya yang kecil itu katanya: “Hidup atau mati: tetap jagalah anak kecil ini, jangan
tinggalkan dia”.
Ketika dia sudah turun sampai di kaki gunung, dia berseru kepada raja: “Mari datang lihat
anakmu; aku siap untuk membuangnya, namun datang amatilah dia dulu”.
Raja datang melihat dan ia memperhatikan bahwa gadis kecil itu sangat cantik, dan
karena rasa sayang dan cinta, ia sudah tidak mau lagi membunuh dia.
Tetapi isterinya marah sekali dan berkata: “Kalau begitu, mengapa engkau mau mengusik
aku dengan begitu hebat? Tadinya engkau perintahkan: ‘Jika dia seorang anak perempuan,
bunuhlah dia, tetapi jika dia seorang anak laki-laki, besarkanlah dia’. Nah, aku pergi dan akan
membunuh dia”.
Raja tidak mau itu terjadi, tetapi dengan percuma ia mencoba mencegah dia. Isterinya
sangat marah dan nekad membunuh anak itu.
Lalu raja menahan kedua budak kecil dari anak itu. Skiwi dan Skawil adalah anak-anak
laki-laki, dan dia membutuhkan tenaga orang laki-laki dan karena itu ia memegang mereka kuat-
kuat.
Dan beginilah ceritanya!– Watwarin mengerjakan sebuah peti dan memasukkan ke
dalamnya anak itu dengan kucing dan pinggan berisikan makanan, lalu ia menuju ke laut dalam
untuk menenggelamkan semuanya di situ.
Maka ia menenggelamkan semuanya dan bersumpah: Butri, jika kedua orang tuamu
adalah keturunan budak, hamba dan kasta-rendah, maka biar apa yang kulempar ke dalam laut
ini terapung jauh dari sini seperti sebuah batu apung atau gaba-gaba;70 tetapi jika kami berdua
adalah keturunan raja-raja besar, orang petinggi dan orang kasta-atas, maka hendaklah apa yang
kulempar ke dalam laut ini, tenggelam bagaikan sebuah batu hitam yang berat. 71
Lalu peti itu jatuh ke dalam air dan turun ke dasar laut yang dalam itu. Dengan demikian
ia sekaligus mengaku bahwa raja itu adalah seorang yang saleh. 72
Dan beginilah ceritanya!– Raja itu sangat sedih karena isterinya telah membunuh seorang
gadis kecil yang begitu cantik, anaknya sendiri, dan ia berlayar pergi lagi.
Ia berlayar pergi lagi, dan ketika di laut-dalam, ia sampai di atas tempat di mana
terletaklah Butri; tiba-tiba angin reda, tiada angin sedikit pun; orang tidak dapat berlayar terus
dan perahu tinggal terapung di situ.
Semua orang di perahu itu mulai mengantuk dan tertidurlah; hanya kedua budak kecil,
Skiwi dan Skawil, yang duduk di bagian depan dan di bagian belakang, tetap menjaga.

70Sepotong gaba-gaba yang terapung di laut, biasanya dipakai sebagai simbol untuk sesuatu yang tidak
berharga.
71Jenis batu yang berat dan berwarna hitam jarang ditemui di Kei; karena itu sebuah batu yang demikian
dianggap sebagai semacam batu keramat, dan barangkali karena itu sering disebut dalam sumpahan dan
pengadilan ilahi.
72Tentu di sini tidak dimaksudkan kesalehan moral. Patokan untuk menilai baik-buruknya seseorang di
Kei kiranya cukup nyata dari kata-kata sumpahan tadi.

108
Perahu itu sama sekali tidak bergerak, dan air laut yang begitu tenang itu, sepenuhnya
transparan, dan tiba-tiba mereka melihat majikannya itu muncul dari kedalaman laut.
Mereka berdua berseru: “He! He! Siapa itu ya! Benar, majikan kita!”
Berkatalah perempuan itu: “Ya, aku ini; siapa bisa datang di sini selain aku! Aku telah
datang karena aku tahu bahwa kamu ada di sini”.
Untuk kedua anak itu telah dibawanya sepinggan tertutup penuh makanan.
Setelah mereka makan, ia kembali dan membawa lagi sepinggan dengan makanan; ia
pesan anak-anak untuk membawa pinggan itu supaya dengan itu di negeri asing mereka dapat
membeli sebuah kalung emas.
Ketika anak-anak selesai makan, Butri ingin kembali ke tempat tinggalnya, tetapi anak-
anak bertanya kepadanya: “Hai majikan kami, perempuan sudah mau pergi, tetapi apa yang harus
kami buat untuk mendapat angin?”
Perempuan itu menjawab: “Berdirilah seorang di perahu bagian depan dan seorang di
bagian belakang dan panggillah angin utara dan selatan”.
Anak-anak memanggilnya, tetapi ketika Butri pergi ia masih menasehati mereka katanya:
“Jika kamu mau menjual pinggan berisi makanan ini, maka jangan menjualnya di tengah negeri
asing ini, melainkan di perbatasan. Tawarkannya di perbatasan negeri asing itu kepada seorang
yang sedang duduk di ambang pintu, dan aku mengira bahwa ia akan membayarnya dengan
sebuah kalung emas”.
Berkatalah kedua anak itu: “Baiklah!”
Lalu Butri menyelam dan kembali ke tempat tinggalya.
Kedua anak itu memanggil angin utara dan angin selatan, lalu berlayar keluar dari tempat
itu.
Sesampainya di tempat tujuan mereka, mereka mengalami menurut apa yang sudah
dinyatakan kepada mereka. Mereka menawarkan pinggannya sambil menjelajahi seluruh negeri
asing itu, tetapi mereka tidak berhasil untuk menukarnya dengan emas. Tetapi ketika mereka
sampai di perbatasan, mereka berhasil mendapat mas ganti pinggan itu.
Mereka melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk di pintu rumah, dan mereka itu
membelinya dengan membayarnya dengan sebuah kalung emas.
Ketika sudah menjadi musim barat, mereka berada di tempat tinggal kedua bapak itu.
Kemudian mereka berlayar pulang ke negerinya, tetapi tengah perjalanan angin lagi reda.
Mereka sampai di laut-dalam, tepat di atas tempat tinggal Butri, dan seluruh awak perahu
tertidur; hanya kedua anak itu, yang berdiri di bagian depan dan bagian belakang perahu itu,
tetap bangun.
Sementara perahu terapung di situ, majikan mereka muncal lagi dari laut, sambil
membawa makanan untuk mereka berdua. Kedua anak berseru lagi: “Hé! Hé! Siapa itu ya! Benar,
majikan kita!”
Berkatalah majikan mereka: “Benar, ini majikanmu. Siapa mengetahui bahwa kamu di sini
selain dia!”
Ia memberikan makanan itu kepada mereka dan mereka menghabisi semuanya. Lalu
mereka berkata: Perempuan, di seluruh negeri orang asing, kami tidak berhasil menjual
pingganmu itu, tetapi di perbatasan duduklah dua orang laki-laki di pintu rumah dan merekalah
yang membelinya”.

109
Lalu mereka menyerahkan emas itu kepadanya, dan Butri menyelam lagi.
Kedua anak kecil itu masih berseru: “Hai majikan kami, engkau sekarang sudah mau pergi,
tetapi apa yang harus kami perbuat untuk mendapat angin sehingga dapat berlayar kembali ke
Kei?”
Majikan mereka menjawab: “Berdirilah di bagian depan dan di bagian belakang dan
panggillah angin utara dan selatan”.
Setelah ia pergi, kedua anak itu memanggil angin utara dan angin selatan, dan segera ada
hembusan angin dan mereka melanjutkan pelayarannya.
Terbangunlah seluruh awak perahu dan mereka berlayar kembali ke Kei.
Dan wanita itu tertinggal sendirian jauh di laut.
Dan beginilah ceritanya! – Bapak yang dengan emas telah membeli pinggan dari kedua
anak itu, pergi berdiri di tempat di mana bertemu air surut dan air pasang dan bersumpah: “Jika
Butri adalah anak dan keturunan dari budak-budak dan hamba-hamba, kasta-rendah dan orang
suangi, maka biar air laut itu tetap dalam, seperti sekarang ini; akan tetapi jika Butri adalah anak
dan keturunan raja-raja besar, kasta-atas dan orang kaya-raya, semoga air surut mendahului aku
dan air pasang mengikuti aku”.
Demikianlah sumpahnya, dan air surut terbentang lurus ke depan mulai dari negeri asing
itu sampai di Kei.
Ia mengikuti pantai yang sudah menjadi kering dan akhirnya tiba pada tempat tinggal
Butri. Sebuah tembok mengelilingi tempat tinggal Butri ini pada keempat seginya.
Seraya berdiri di halaman rumah ia berseru: “Hé!”
Ia melihat di situ terbaringlah seekor kucing dan berkata: “Pus, aku minta minum air
sedikit”.
Kucing itu memasuki rumah dan berkata: “Hai majikanku, di sana ada seseorang yang
minta minum air”.
Majikannya berkata: “Aduh, pus, bagaimana mungkin bahwa ada seorang datang minta
air minum, mengingat kita sendirian saja di sini”.
Kucing menuang air ke dalam sebuah siput kelapa.73
Dengan kecewa bapak itu bertanya: “Pus yang manis, entah ada apa antara engkau dan
aku, sehingga engkau mau membuat aku minum air dari sebuah siput di luar sini saja?”
Kucing itu kembali ke rumah itu dengan membawa air itu dan berkata: “Hai majikan,
majikanku, bapak itu bertanya ada apa antara kita dan dia, sehingga kita mau membuat dia
minum air dari sebuah siput di luar situ”.
Majikannya itu berkata: “Tuanglah air itu ke dalam cawan ini”.
Dia membawa cawan itu, dan bapak yang tadinya berdiri di tengah halaman rumah itu,
datang mendekat dan berdiri pada tangga.
Seraya ia berdiri di sana dan sementara kucing menyerahkan kepadanya air itu dalam
sebuah cawan, ia tidak mau meminumnya dan dengan kecewa ia berkata: “Pus, entah ada apa
antara engkau dan aku, sehingga engkau mau membuat aku minum air di luar sini saja?”

73Siput kelapa atau cymbium armatum banyak terdapat di Kei dan sering dipakai untuk mengeluarkan air
dari sampan, dipakai juga sebagai penutup di atas tempayan dan juga sebagai cawan untuk minum.

110
Kucing itu masuk lagi dengan membawa cawan itu dan berkata: “Hai majikan, majikanku,
bapak itu bertanya ada apa antara kita dan dia, sehingga kita mau membuat dia minum dari
sebuah cawan”.
Majikannya menerka katanya: “Tuanglah air itu ke dalam sebuah tempurung yang indah”.
Bapak itu datang naik tangga dan berkata: “Pus, entah ada apa antara engkau dan aku,
sehingga engkau mau membuat aku minum dari sebuah tempurung?”
Kucing itu membuang air itu dan pergi memberitahukannya kepada majikannya.
Berkatalah majikannya: “Sajikanlah air itu dalam sebuah gelas”.
Kucing itu membawa gelas itu, lalu bapak itu masuk rumah itu dan minum air itu sampai
gelas kosong.
Dan beginilah ceritanya!– Lalu Butri menyuruh kucing pergi memetik selembar daun sirih
yang buruk dan sebuah pinang yang liar dan juga selembar daun sirih halus dan sebuah pinang
yang sedap.
Di bagian-bawah dari kotak sirih, Butri letakkan pinang yang sedap dan daun sirih yang
halus, di atasnya diletakkannya daun sirih yang buruk dan pinang yang liar. Lalu ia bersumpah:
“Jika orang ini adalah seorang anak dan keturunan orang budak dan hamba, biar dia mengulum
sirih yang buruk dengan pinang liar ini; tetapi jika ia anak dan keturunan orang raja besar, kasta-
tinggi dan orang petinggi, biar dia mengambil pinang yang sedap dengan sirih yang halus.
Dan ketika ia mengambil sebuah kumulan, ia menyingkirkan pinang liar itu dan
mengambil yang sedap.
Maka dengan begitu Butri diteguhkan dalam pendapatnya yaitu bahwa dia itu seorang
yang baik.74
Kemudian bapak itu bertanya: “Tidakkah perempuan mengenal aku?”
Sahut Butri: “Aku tidak mengenal bapak”.
Dia berkata lagi: “Jika perempuan tidak mengenal aku, maka ketahuilah bahwa emas yang
amat berharga, yang telah dibeli oleh dua anak laki-laki dengan memberi sepinggan makanan itu,
bahwa akulah yang telah memberi itu kepadamu. Dan sekarang aku datang meminta perempuan
menjadi isteriku”.
Segera sesudahnya ia mengubahkan seluruh kediaman itu, termasuk semua perabot
Butri, kucing dan juga keempat tembok itu, menjadi sebutir telur.
Lalu ia bersumpah: “Jika Butri ini adalah puteri dan keturunan orang budak dan hamba,
maka semoga, pada saat kami bertolak, di laut tetap air pasang; tetapi jika dia puteri dan
keturunan orang raja besar dan kasta-tinggi, maka semoga air surut terbentang di hadapan kita
dan air pasang mengikuti kita hingga kita sampai di negeri kita di perasingan”.
Dan air surut terbentang jauh hingga negeri asing itu.
Bersama Butri ia berjalan lewat tanah kering itu. Ketika bapak itu sampai pada
kampungnya, ia memecahkan telur itu, lalu kucing, perabot rumah dan semua yang lain muncul
kembali, dan mereka kawin.
Dan demikianlah kisah ini. – Sudah habis.

74Tentu di sini tidak dimaksudkan kesalehan moral. Patokan untuk menilai baik-buruknya seseorang di
Kei kiranya cukup nyata dari kata-kata sumpahan tadi.

111
Sar tom-tom labo! Rat ain ni hoan watwarin. Rat enhauk enhoba ma, ni hoan iwun rak. Edbo rat
ensib ni umat bissa: Imbatang ning hoan fo bok: bet endok-wav janan wat, ler na tetan won na
yaran. im vedan rehe i; bet endok wat janan abran, meski sisian imfangwait.
Famur amnanat wel, enfaser rak warwarat, rat ni hoan endok wav ni yanan wat bokbok. Ni renan
nafngarun, enba endok enhov tomat wat endok Duadni fid, erdok refhid. Ensib we tomat ohoi bissa
enhov wel sit, yahau, manut bisa: batang imnartul we toran rat wahid yaaw udok enhov tomat wat.
Duad ni fid ufhid; uba ufakwunin ning yanan. Ensib bisa we tomat, sit, yahaw, manut hir i, bail
kanavun utin, ensib talik .
Sar tom-tom labo! – Kanawun utin ensib-talik bo, ni hoan teran enil, hob enloi watroa, kanawun
entun enlurut dilda, nefla nanartul we rat: Teran rat, hoam endok rahan rok ni yanan wat ain ma,
endok infakwunin rat.
Edbo rat ensib ni umat: timbwa sumnartul hoang entahasu yanan wat i, fo uluduk na tahit na
nuhutil roi; bet i nafen utaha uhoba il wel, ufen rak i fo hoang.
Edbo ni hoan nafla vuar karatatli. Nafla rak karatat wuk odan, endir ma enroon: “Butri mehewain
yaawning yanan. Butri mayang-mayang omu bapa suda datang, bolyara datang bolu santi di tiwa
bolo santor toro ikan gerajawal”.
Enrat vel odan, endir wel enroon wel woon vekatla.
Fomur enrat wel, enrat vuar uban rehe, enroon wel: Butri mehewain yauwningyanan “dibuang-
dibuang taruh kain di sini, di sini. Butulai disin-disin moloin”.
Famur rat enlilak atban, entiok ental Duad ensu, endenar nesnetar na Duadni uban rat. Edbo famur
watwarin enrek tomat kot ain, ni yanan rok i enhov sit ain enhov ni iri baranran kot enru, memar
Skiwi, Skawil. Sit enwar benau na bingan ngutun ensir. Entaha ma ensu. Hires hir ba su, watwarin
ensib ni iri kot Skiwi-Skawil: kot envait te imhov, enmat te imhov; imbyatalik i wahid. Famur ensu
tenan hoan nesno toran rat, umdo omliik yanam, uba uwatuk rok i; omdo umleik lain naa wak.
Rat endo inliik ma, enlik yanan wat i bokbok li, nafngaruan, enfangnan, enhauk enfedan waid. Ni
hoan ni setanli bo, nanar: omweang yau sus bail i fo usu i; lain omnar: wat, umfedan; berenran,
omfangwait, utal uba ya, ufedan rehe i.
Rat nefen, enhauk wel entahang, entahang na waid. Ni hoan ni setanli, enhauk wat enfedan. Edbo
rat entahang kot ni iri kot hiru. Skiwi, Skiwil bereran ma, ni tangean berenran bo, entaha koek hir
rehe.
Sar tomtom labo! Watwarin enot ni kod ain, sunfot Butri naa enhov ni sit ain enhov ni kes banau
ngutun, enba sunluduk na nuhu lehetan roi. Enluduk ma entaroman: betne amru kabwatan kablema
yanab i, Butri o, yaau uluduk afa i, famur enfok waan watfoer kabar; betfel amru rat aknas, akpitan,
mel halaai, kasil – sedangar hira yanab Butri o, jau uluduk afa i, enho won waawn wat met enludur.
Famur enlek su, enludur. Falne enkai, rat wuk i tomat bok.
Sar tomtom labo! – Rat nimasuhun laai labo, enhoan enfedan ni yanan wat bok-bok ma, enhoba wel.
Enhoba, enro lihitan. Liken tomat tomat Butri endok ratan i, in ot niot wel waid rok, nuhu nablin
rehe, nefla naa waid, hebo enloi non wat.
Enflaoeb bisa tomat habo raan, bissa ertubkin, bail iri kot hiru Skiwi, Skiwil erdok habo u mur,
erbatar. Erloi non wat bo, tahit nablin, erliik samang wat, hir erliik duan te endat, enrat rak ental
tahit raan.
Edbo hiru ernar: Im duab te endat, falbe hira lian endat i? Yaau ukai im bo udat.
Edbo endat entaha benau bingan nngutun hiru kot-kot ertaha senfit na wutun nanfaha mas
bokboken.

112
Raan bisa rak afa, enil fo ni ohoi, tomat kot hiru ernar wel: Duab-te, umbwail rak i, omot valbe niot
endo?
Duad te nanar: imdir ain habo u, ain habo mur, imher Waduar foarwahan.
Tomat kot enher i, tomat butri enba il, ensib wel ver tomat kot hiru: bet ne imfid benau ngutun i,
imfid naa mav raan yali wahid, bail imfid na mav wahan. Imhorak tomat ain na mav wahan en tub
ni fid ratan, uras enfaha, enreek mas bokbokken nanfaha.
Kot hiru ernar: Ey!.
I bo Butri nakludu, enho-il su niohoi. Kot hiru erher Waduar Foarwahan ma, niot, hir refla. Erbas,
woun ensibsib,erba ehawil bissa, erfidkenningutun na mas waid naa mav raan yalit bissa. Famehe
eril fo mav wahan, erfid rir ngutun na mas. Erit tomat hiru ertub rir fid ratan, erfaha na mas
bokboken.
Edbo warwarat wel rak ertub hiru erdok-dok. Reflail fo rir ohoi bo, refla, tahit nablin wel. Erho
lahitan, liken Butri endok, erho ba, tomat haboo raan ertobkin bisa wel rak. Hiru, kot erdir habo u
mur, ermehe wat erbatar.
Erloi bo, duan te endat wel i rat, entaha wel banau hiru raan. Edbo kot hiru ernar wel. Do! Do! Hiraki
won Duabte o? Duante nanar: Duabte endat , waid aka mangbe wak enkai fo umdat wuk i oh?
Na bisa banau bo raan bisa, raan bisa ernar wel: Duabte, amofeed bissa na mav raan yalit bissa omu
ngutun waid, bail na wahan, rahan ain, tomat hiru ertub fid ratan, erfaha.
Famur ra ni mas, Butri ensu, nakluduk wel i. Kot hir ernar: Duabte, umbwa il rok i, omot falebe fo
niot endat , fo amaflail fi aiwav.
Duadte nanar : imru imdir habo u mur, imher Waduar Foarwahan.
Enbail, hirru erher wel Waduar Foarwahan, Niot endo ma, refla. Tomat habo raan bisa erbatar,
refla il fo Aiwav. Famur tomat wat imehe endok tahit raan wuv.
Sar tomtom labo! – Famur tomat enfaha mas, tomat kot erfid ngutun wer i, endat endir ruwat met
wahan, endir ma entaroman: Betfel murbong, kab-lema, iri-howang yanar –ubor hira. Hira Butri,
jaw uba i, ruwat nasluruk waawn wel wuk i; betne rat aknas, melhel-kanew, kasir –sedengar hira
yanar –ubor Butri o, yaau uba i, met na u, ruwat na mur.
Entaroman bo, miet nasluruk ental mav ensu Aiwav i.
Enba met enad. Enba ti , endir Butri ni latubur. Lutur kofak enveva Butri ni ohoi.
Endir latubur i, enot: Oi!
Enit sit entub, nanar: sit ma wear odan, yaau uwen.
Sit nefla rat rahan raan , nanar: Duangte, ko ain enher wear i nen.
Duadte nanar: Do! Do! Sit, itru itdok ohoi i, mangbe enher war i nen he?
Edbo sit enlin wear na sellin.
Tomat baranran nanar: Kot sit, omu aka na yaau, omlin wear na sellin, fo yaau uen na tanat i?
Sit entaha il ti duan te, nanar: Duangte, duangte, i nanar it did aka na i, itot wear na sellin, entoeak
i na tanat i.
Duadte nanar: omot wear na kub-kub i. Enot ro, beranran endo reet utin, laein endir woma raan.
Endir ret utin, sit entanang wear na kub-kub, nefen wel nen, nanar: Do do! Sit, omfikir omu aka na
yaau, uen wear na tanat i?
Edbo sit entaha il kob-kob, nanar: Duangte, duangte, tomat i nanar itdid aka na i, itot wear na kub-
kub i nen.
Duante nanar: umot na taw bok-bok ain.

113
Tomat i entaido wel, enrat reet ma, nefen wel nen , nanar: Sit omu aka na yaau, umlin wear na taw,
yaau uwen?
Edbo sit envoak wel wear, enba sunartul wel wer duante.
Duante nanar: omlin na glas naaa wak.
Sit ertaha wel glas endo, beranran enti rahan raan ma, nen rehe.
Sar tom-tom labo! – edbo famur Butri nesno sit enro enngis naan lawt wan enhov isu watan watu,
enhov val nan narnar enhov isu mel watu.
Butri enot lain isu mel enhov naan narnar na bawm tenan ; famur isu watan enhov lawt na ratan. I
bo Butri entaroman: bet mubong, kab-lema, yanar-ubur i enmam isu watan enhov lawt i; bet Rat
aknas, melhel-kanew, dir u hamwang janar- ubur i, enmam isu mel enhov naan narnar, entub tenan
i.
Edbo enmam, isu watan envatuk, entaha isu mel, enmam.
Butri efikirken rak; Tomat bok hira.
Famur enhorak: omkai yaau te waid?
Butri nanar: ukai o waid.
Inanana: bet umkai yaau waid, mas bokbok kot erfaha na ngutun banau i, yaau ufed ver o. Haran i
uma, uhauk o fo hoang.
Edbo famur enut ohoi bisa, butri ni woenwan na rahan bissa, enhov sit, enhov lutur kofak bissa fo
mantilur watu.
Famur wel entaroman: bert murbong, kab-lema, janar–ubur Butri i, amba i, ruwat nasluruk wat
waawn i; bet rat aknas melhel-kanew janar-ubur Butri i, amba i met na u, ruwat na mur, fameha
ensu mav roi.
Edbo met famehe enro mav roi.
Hirru butri erho enro. Erdat rak beranran ri ohoi. Intiv-kok mantilur ma, sit enhov Butri ni won-wan
afafa bissa enwossakil wel ma, hiru Butri rafaw.
Sar tom-tom labo! – en rok.

114
Kidin 18
PUTRA RAJA YANG BODOH

Dan beginilah ceritanya!


Ada seorang raja agung yang mempunyai tujuh orang putera. Enam di antara mereka
sangat pintar, tetapi yang bungsu adalah anak bodoh.
Karena itu raja itu membagi-bagi emasnya, harta bendanya dan barang pusaka di antara
mereka berenam, sedangkan si bungsu, yang bodoh itu, tidak mendapat apa-apa.
Dan beginilah ceritanya! –Anak itu duduk merenung-renung: “Astaga! Bahkan oleh
ayahku sendiri pun aku diremehkan. Kukira, kalau aku tidak menerima apa-apa, aku akan
dipermainkan di mana-mana dan itu memang sial benar!”
Maka anak itu pergi menemui ayahnya dan berkata: “Bapa!”
Sahut raja: “Ada apa?”
Ia berkata: “Bapa, jangan marah, tetapi aku mau meminta sesuatu kepada Bapa”.
Raja berkata: “Entah aku akan marah atau tidak, baiklah bicaralah, supaya aku tahu
apakah maksudmu akan kukabulkan atau tidak; katakanlah!”
Anak itu berkata: “Begini, Bapa, keenam kakakku sudah mengenal segala sesuatu yang
terdapat di dunia; apalagi mereka tahu segala-galanya tentang hukum dan kebijaksanaan. Hanya
aku inilah orang yang bodoh; aku tidak tahu-menahu tentang hukum dan kebijaksanaan; aku
tidak mengenal apa-apa. Karena itu Bapa sudah membagi-bagi emas dan harta kekayaan Bapa di
antara mereka yang berenam, dan hanya aku sendirilah yang tidak menerima apa-apa. Karena itu
aku minta kepada Bapa, berilah kepada aku pun uang sedikit”.
Kata raja itu: “Bodok kamu! Mau dipakai untuk apa uang itu!”
Justru karena aku bodoh, berilah aku uang sedikit, supaya aku dapat pergi belajar dan
mengenal kebijaksanaan seperti kakak-kakakku”.
Dan beginilah ceritanya! –Raja memberikan kepadanya sedikit uang supaya ia dapat pergi
belajar.
Kampung raja itu terletak di pedalaman, seperti Rumadien di sana. Ibu anak itu
menyiapkan bekal baginya dan anak yang bodoh itu berangkat untuk belajar.
Setelah ia berjalan beberapa lama, ia sampai di sebuah kampung seperti kampung Namar.
Seseorang melihat anak itu datang dan bertanya: “Engkau ke mana?”
Sahut anak itu: “Aku datang ke sini.”
Tanya orang itu: “Kau datang buat apa di kampung kami?”
Anak itu menjawab: “Keenam kakak laki-lakiku sudah mengetahui segala-galanya. Hanya
aku sendiri yang bodoh dan karena itu aku mau pergi belajar, untuk belajar juga hukum dan
kebijaksanaan dll.”
Kata orang itu: “Nah, mari ikut aku dan aku akan mengajarkan kepadamu sedikit
kebijaksanaan”.
Anak itu mengikuti orang itu masuk ke rumahnya. Dia itu meletakkan sebuah tikar di
lantai supaya anak itu duduk di atasnya, lalu berkata: “Anakku, begini: jika sewaktu-waktu

115
bertemu dengan orang yang sementara bertengkar, jangan tinggal mendengarkan mereka, jangan
tinggal menonton mereka, supaya kemudian engkau tidak akan dipanggil sebagai saksi dan harus
melaporkan segalanya, karena itu salah”.75
Bapak itu diam dan anak itu bertanya: “Apakah Bapak masih mau ajar aku kebijaksanaan
lebih banyak atau cuma ini saja?”
Sahut bapak itu: “Cuma ini saja”.
Maka anak itu memberikan kepadanya setengah gulden76 sebagai ucapan terima kasih
dan berkata: “Selamat tinggal, aku mau melanjutkan perjalananku”.
Dan beginilah ceritanya! – Anak itu berjalan terus. Sesudah berjalan selama beberapa
waktu, ia sampai sebuah kampung seperti Nguurafruan (= pantai pasir tengah). Kepala kampung
melihat anak yang tak dikenal itu masuk kampungnya dan bertanya kepadanya: “Engkau dari
mana?”
Anak itu menjawab: “Aku datang ke sini dari kampungku”.
Bertanyalah kepala kampung: “Engkau datang buat apa di sini?”
Anak itu berkata: “Aku bersusah hati bahwa hanya aku sendiri yang bodoh, sedangkan
keenam kakak laki-lakiku mengetahui segala sesuatu. Karena itu aku mengembara untuk
mempelajari banyak hal”.
Kata kepala kampung: “Jika demikian halnya, maka mari, ikut bersama aku”.
Maka anak itu mengikuti kepala kampung, yang membentangkan sebuah tikar baginya
untuk duduk di atasnya. Lalu berkatalah kepala kampung: “Anakku, ketahuilah, bila mendengar
seseorang memfitnah atau mengumpat, maka jangan tinggal bersama dia, dan jangan
menceritakan itu terus kepada orang lain: itu tidak baik”.
Kepala kampung itu diam dan anak itu bertanya: “Bapak kepala kampung, Bapak diam;
karenanya boleh aku mengatakan sesuatu?”
Kepala kampung berkata: “Katakanlah!”
Berkatalah lagi anak itu: “Bapak kepala kampung, hanya ini sajakah yang Bapak ajarkan
kepadaku, atau Bapak masih akan mengajar aku lebih lagi?”
Kata kepala kampung: “Tidak, hanya itu saja”.
Anak itu memberikan satu gulden sebagai ucapan terima kasih.
Dan beginilah ceritanya! – Anak itu berjalan terus makin jauh hingga dia lagi sampai
sebuah kampung, seperti Ohoideer di sana.
Seorang laki-laki melihat dia datang dan bertanya: “Hai, Anak muda, kau ke mana?”
Anak itu menjawab katanya: “Aku pergi ke mana aku pergi dan aku tidak menghiraukan
entah ke mana, asal saja aku bisa belajar. Keenam kakak laki-lakiku semua sangat pintar, cuma
aku sendiri yang bodoh dan karena itu aku dalam perjalanan untuk juga belajar apa-apa”.
Kata orang itu: “Kalau begitu, mari ikut aku dan aku akan mengajar sesuatu kepadamu”.
Bersama-sama mereka masuk rumahnya dan ia berkata: “Anakku, boleh jadi bahwa
engkau melihat orang berdosa yaitu bercabul; dalam hal ini, jagalah agar engkau tidak

75Memang melapor atau menceritakan dosa atau perbuatan jahat orang lain dipandang sebagai salah atau
dosa, kecuali jika orang sendiri menderita rugi karena perbuatan jahat itu.
76 Gulden ialah mata uang Belanda yang dipakai waktu itu.

116
memberitahukan itu kepada orang lain, karena, kalau begitu, engkau sendiri pun terlibat dalam
kejahatan itu”.
Bapak itu diam, dan anak itu bertanya: “Bapak, mungkin Bapak masih mau mengajar
sesuatu lain kepadaku atau hanya ini saja?”
Sahut orang itu: “Hanya itu saja yang mau kuajar kepadamu”.
Anak itu memberi orang itu dua gulden sebagai ucapan terima kasih, lalu melanjutkan
perjalanannya.
Dan beginilah ceritanya! – Anak itu berjalan terus dan masih lebih jauh lagi, seperti
sampai di Gelanit di sana. Ada seorang laki-laki yang melihat dia datang dan bertanya: “Hai anak,
engkau ke mana?”
Jawab anak itu: “Aku mau pergi belajar. Maklumlah, keenam kakak laki-lakiku
mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu; cuma aku ini bodoh, dan aku kuatir bahwa
kemudian hari aku sering mendapat malu karenanya”.
Kata orang itu: “Kalau begitu, ayo, mari ikut bersama aku dan aku pun akan mengajar
sesuatu kepadamu. Bersama mereka masuk rumahnya, dia membentangkan sebuah tikar, di
atasnya mereka duduk bersama, dan ia berkata: “Anakku, jika engkau mendengar orang
bertengkar, jagalah: jangan campur dalam masalah itu, jangan tinggal mendengar, supaya
kemudian mereka tidak memanggil engkau sebagai saksi, karena memang itu salah”.
Orang itu diam dan anak itu berkata: “Pak, ini saja, ataukah Bapak masih mau
menambahkan lagi sesuatu?”
Bapak itu berkata: “Hanya itu yang mau kuajar kepadamu”.
Sesudah itu anak itu memberi tiga gulden kepadanya sebagai imbalan dan melanjutkan
perjalanannya.
Dan beginilah ceritanya! – Anak itu berjalan terus, dan, seraya masih memikir-mikirkan
apa yang bapak tadi ajar kepadanya, ia berseru: “Astagenaga! Bapak ini telah ajarkan kepadaku
hal yang sama seperti yang diajar oleh bapak yang pertama. Betul ya! Tetapi kalau begitu, tentu
saja aku sudah belajar seluruh kebijaksanaan, dan aku bisa pulang”.
Dan anak itu pergi, dan ia berjalan sampai ia mencapai kampungnya sendiri lagi.
Ayahnya melihat puteranya yang bodoh itu pulang dan bertanya kepadanya: “Kau dari
mana? Kau sudah kembali cepat jua!”
Sahut anak itu: “Aduhai! Aku menjelajahi seluruh negeri!”
Raja bertanya: “Ke mana semua uangmu?”
Jawab anak itu: “Uangku? Nah, sudah habis semuanya!”
Berkatalah raja: “Ah kau bodoh! Apa yang telah kaulakukan sehingga memboros begitu
banyak uang dalam waktu begitu singkat?”
Sahut anak itu: “Tetapi aku sama sekali tidak memboros uang itu. Aku pergi belajar. Dan
aku harus membayar para pengajarku”.
Tetapi raja itu marah dan berkata lagi: “Kau, anak yang tak berguna, semoga kau dijemput
oleh maut! Begitu bodok, dan dengan begitu tolol memboros uangku: sudah lagi begitu kentaralah
kebodohanmu! Bodok sekali! Kau kuusir untuk selamanya!”
Dan raja mengumpulkan putera-puteranya supaya mereka mengusir adik bungsu mereka
yang bodoh itu.

117
Dan beginilah ceritanya!– Di malam hari anak itu putus asa; ia berjalan sambil menangis.
Makin jauh ia pergi dan akhirnya, seraya masih menangis, ia tiba di sebuah kampung.
Di kampung itu pun ada seorang raja, dan ketika ia memperhatikan anak yang begitu
menangis, ia bertanya kepadanya: “Hai anak, kenapa kau menangis?”
Tetapi anak itu diam dan menangis terus.
Bertanya lagi raja itu: “Apakah ada seseorang yang telah memukul engkau? Atau engkau
kecurian barang sesuatu? Katakanlah!”
Tetapi anak itu tetap menangis dengan tak henti-hentinya. Sekali lagi raja bertanya
dengan nada yang ramah: “Nah, jangan takut; katakan kepadaku, mengapa engkau begitu
menangis! Mungkin ayahmu dan saudara-saudaramu telah mengusir engkau?”
Jawab anak itu: “Ya, itu sudah! Bapak raja, karena Bapak menyuruh aku, maka aku akan
menceritakan semuanya kepada Bapak. Begini, keenam kakak laki-lakiku tahu segala-sesuatu,
cuma aku ini seorang yang bodoh. Karena itu pun ayah pun membagi-bagi segala emas dan harta
benda dan apa saja antara mereka berenam dan aku tidak mendapat apa-apa. Lalu aku berkata
kepada ayahku: ‘Bapa, berikanlah kepadaku juga uang sedikit untuk pergi belajar, supaya aku pun
dapat mengetahui sesuatu’.
Aku diberi uang dan pergi. Aku berjalan keliling di seluruh negeri, sampai habislah
uangku, lalu aku pulang.
Tetapi ayahku marah sekali karena uang sudah habis dan ia mengusir aku”.
Adapun raja itu tidak mempunyai anak dan dia hidup saja dengan isterinya karena dia itu
mandul, dan ia berkata: “Anakku, aku mengusul begini: jika engkau tidak berkeberatan, aku
menjadikan engkau anakku, untuk kemudian juga engkau menggantikan aku”.
Anak itu menjawab: “Bapak raja, inilah yang Bapak katakan, dan tidak pentinglah entah
itu sesuai keinginanku atau tidak; apa yang mau kukatakan, aku, si yatim-piatu yang malang ini;
Bapak raja, jika Bapak bersabda, aku ini hanya dapat mentaati”.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika anak itu tinggal bersama raja itu, raja itu pada suatu hari
berkata: “Mari, kita akan membeli seekor babi untuk dihidangkan kepada rakyat”.
Lalu mereka berangkat bersama dan mampir di banyak kampung, namun tidak berhasil
membeli seekor babi di mana pun.
Setelah tiba kembali di rumah, penuh keringat, raja berkata: “Mari kita pergi mandi dulu”.
Mereka pergi mandi pada sebuah mata air di hutan dan melihat di situ seekor babi hutan
besar. Raja cepat angkat busur-panahnya dan menembaki babi itu, tetapi babi itu belum mati
sepenuhnya. Raja berseru: “Hai anak, parangku tertinggal di rumah. Ayo, cepat ke sana untuk
mengambilnya; parang itu tergantung di samping tempat tidurku, cepat!”
Dengan cepat anak itu berlari ke rumah itu, ia memanjat masuk dan –demikian kisahnya–
ia melihat seseorang berbaring di tempat tidur bersama isteri raja.
Mereka berdua terkejut, tetapi anak itu pun kaget dan mundur; ia tinggal berdiri di muka
rumah sampai orang itu pergi.
Ketika ia melihat orang itu pergi, ia masuk lagi rumah dari pintu belakang untuk
mengangkat parang itu.
Lalu ia lari kembali ke hutan, di mana raja menantikan dia.

118
Raja bermuka muram dan berkata: “Mengapa engkau begitu lama baru kembali,
sementara aku sedang menunggui engkau di sini begitu lama! Apakah engkau menderita
gangguan kaki tebal?”
Anak itu menjawab: “Aku masih kecil, namun aku berlari secepat kemampuanku, tetapi
aku kehabisan nafas dan karena itu mungkin makan waktu lama sedikit”.
Setelah raja membunuh babi itu, ia berkata: “Pergi panggil orang untuk membawa pulang
babi itu. Aku terdesak waktu, aku pulang duluan”.
Dan beginilah ceritanya!– Ketika raja sampai di rumah, isterinya duduk menangis dengan
tak hentinya. Pikirnya: “Aduh, aduh! Aku harus mati; tentu saja anak itu sudah menceritakan
perbuatanku kepada raja; dan dia datang membunuh aku”.
Karena itu ia menangis, dan raja bertanya: “Ada apa gerangan engkau duduk menangis?”
Lalu berpikirlah isterinya: “Ah! Mungkin dia belum menceritakan itu, dan baiklah aku
akan menuduh dia terlebih dahulu, supaya kemudian raja tidak percaya dia”. Maka dia menjawab:
“Biarkan aku menangis saja; lebih baik aku tidak menceritakannya”.
Berkatalah raja: “Katakan, aku mau tahu. Apakah ada orang berbuat jahat terhadapmu?”
Ibu itu menjawab: “Jahat atau tidak jahat, pokoknya aku tidak berani mengatakannya,
karena itu pun mungkin tidak baik; biar saja”.
Raja mendesak: “Baik atau jahat, ceritakan!”
Ibu itu berkata: “Karena engkau memerintahkannya, bagaimana mungkin aku melawan!
Nah, ketahuilah, bahwa anak yang telah kauangkat menjadi anakmu sendiri adalah seorang yang
kurang ajar. Jika engkau merasa sangat senang dengan dia, maka jangan peduli akan
penghinaannya terhadap aku, dan aku akan pulang ke kampungku sendiri; aku merasa terlalu
terhina daripada aku menetap di sini”.
Berkatalah raja: “Nah, esok engkau akan menyaksikan apakah anak itu mendapat
hukuman yang pantas tidaknya”.
Ketika pada hari berikut fajar menyingsing, raja membangunkan anak itu dan berkata:
“Anak muda, aku mau minta engkau membawa suatu pesan kepada orang; kau bersediakah?”
Jawab anak itu: “Bersediakah, tidak bersediakah, Bapa, pokoknya: jika Bapa menyuruh
aku berbuat sesuatu, maka – sekalipun menyebabkan aku mati pun – bagaimana aku dapat
menolak!”
Kata raja: “Nah, aku akan menulis sepucuk surat, dan pasti engkau tidak berkeberatan
membawa surat itu ke kepala kampung Hiluk, ya?”
Dalam surat itu raja menulis kepada kepala kampung Hiluk: “Adapun anak yang
mengantar surat ini kepadamu, bunuhlah dia; demikianlah keputusan pengadilan”.
Dan beginilah ceritanya: “Anak itu pergi dan ketika ia sudah berjalan selama beberapa
waktu, ia melihat seorang yang sementara menutup pondoknya dengan atap. Dia itu bertanya
kepadanya: “Engkau ke mana?”
Anak itu menjawab: “Bapak raja menyuruh aku membawa surat ini kepada kepala
kampung Hiluk”.
Bapak itu berekata: “Aduh, engkau masih kecil dan engkau sudah jalan jauh, pasti engkau
lelah. Mari beristirahat sejenak. Coba beri aku atap itu dulu, lalu aku akan memberi engkau makan
dan minum”.

119
Anak itu menjawab: “Lelah tidaknya, aku meneruskan perjalananku untuk mengantar
surat ini ke kepala kampung itu; raja sudah pesan begitu dan aku kuatir, jangan-jangan aku
terlambat”.
Jawab kembali bapak itu: “Tidak mengapa! Tunggu, aku akan suruh salah seorang
bawahanku untuk mengantar surat ini kepada kepala kampung itu dengan tak tertunda”.
Ketika anak itu sudah makan dan minum, dia pun pergi ke kepala kampung Hiluk dan
bertanya apakah surat itu sudah disampaikan kepadanya.
Jawab kepala kampung itu: “Tentang surat itu aku ketahui, dan apa yang raja mintakan,
sudah terlaksana. Tunggu, aku akan menulis jawabannya: nanti engkau boleh membawanya
kepada Bapak raja”.
Ketika raja membaca surat kepala kampung itu, dia bingung sekali dan menggumam:
“Asta! Apa itu? Kepala kampung itu menulis bahwa apa yang kutulis itu, sudah terlaksana;
padahal, anak itu masih hidup!”
Raja sama sekali tidak mengerti.
Dan beginilah ceritanya! – Seperti esok raja berkata lagi: “Hai, Anak muda, mohon bawa
surat ini kepada kepala kampung Debuut.
Dalam surat itu kepala Debuut pun diperintahkan melaksanakan hukuman mati terhadap
orang yang membawa surat itu, karena demikianlah keputusan pengadilan.
Ketika ia sudah dekat kampung itu, ia melihat beberapa orang sementara pemiri sebuah
kebun.
Mereka melihat anak itu datang dan bertanya: “Hai, si kecil, engkau ke mana?”
Anak itu menjawab: “Aku membawa surat bapak raja kepada kepala kampung”.
Orang-orang itu berkata: “Engkau masih kecil, dan hari ini begitu panas, dan engkau
sudah jalan begitu jauh, pasti engkau lelah. Mari beristirahatlah sejenak dan kami akan memberi
engkau makan dan minum sedikit”.
Anak itu berkata: “Lelah tidaknya, aku berjalan terus, karena aku kuatir bahwa surat itu
akan tiba terlambat”.
Salah satu dari mereka berkata: “Aku akan atur supaya surat ini segera dibawa kepada
raja di tangan seorang anak laki-laki”.
Lalu anak itu membawa surat itu kepada kepala kampung.
Kepala kampung mengumpulkan semua rakyatnya untuk membunuh orang itu dan ia
mati seturut perintah raja.
Ketika anak itu selesai makan dan minum, ia pun menyusul ke Debuut dan bertanya
kepada kepala kampung: “Apakah Bapak sudah menerima surat itu?”
Jawab kepala kampung: “Benar, aku sudah menerimanya; tunggu, aku akan menulis
sepangkal surat supaya raja tahu bahwa permohonannya telah dipenuhi”.
Ketika anak itu sudah pulang lagi, raja berpikir: “Apa itu lagi! Kepala kampung menulis
bahwa pembawa surat itu telah dibunuhnya, namun anak itu tetap hidup!”
Dan beginilah ceritanya! – Seperti lusa berkatalah raja: “Aku akan menulis lagi sepucuk
surat, yang harus kauantar ke kepala kampung Hangur, ya”. Dan ia perintahkan lagi: “Bapak
kepala kampung, dengan tak ragu-ragu laksanakanlah hukuman mati terhadap anak yang
membawa surat ini; demikianlah keputusan pengadilan”.

120
Setelah anak itu berjalan cukup lama ia melihat orang yang sementara menguburkan
seorang mati. Mereka melihat anak itu datang dan bertanya: “Hai, Anak muda, kau ke mana?”
Jawablah anak itu: “Aku sedang membawa sebuah surat dari raja kepada kepala
kampung”.
Berkatalah orang itu: “Engkau masih kecil, dan engkau sudah jalan jauh: pasti engkau
lelah; mari beristirahat sejenak”.
Sahut anak itu: “Lelah tidaknya, aku kuatir nanti surat ini akan terlambat; lebih baiklah
aku berjalan terus saja”.
Kata mereka: “Sudah mau gelap dan telah meninggal seseorang. Roh-roh halus dan hantu-
hantu berkeliaran. Tunggu sampai kami telah menguburkan orang mati ini, lalu engkau dapat
makan dan minum dan esok pagi-pagi buta engkau bisa melanjutkan perjalananmu. Adapun surat
itu, akan kusuruh seorang anak laki-laki membawanya segera ke kepala kampung”.
Anak itu membawa surat itu kepada kepala kampung dan kepala kampung
mengumpulkan orang-orangnya dan membunuh dia.
Setelah anak itu makan dan minum, ia berkata: “Sekalipun sudah gelap, aku mau berjalan
terus untuk bertanya kepada kepala kampung apakah ia sudah menerima surat itu”.
Jawablah kepala kampung itu: “Benar, aku sudah menerima surat itu; tunggu, aku akan
menjawab surat itu, supaya raja mengetahui bahwa perintahnya itu telah terpenuhi”.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika raja melihat anak yang telah membawa surat kepala
kampung Hangur, ia sangat heran dan berpikir: “Apakah benar-benar semua kepala kampung
mempermainkan aku?” Ia berseru: “Anak muda, ke mari dulu, aku mau menanyakan sesuatu
kepadamu, dan aku akan berterus-terang saja. Begini, sudah tiga kali aku menyuruh engkau
membawa sebuah surat kepada salah satu di antara para kepala kampung yang adalah
bawahanku; di dalamnya aku menyuruh mereka membunuh engkau. Mereka semua telah
menjawabkan suratku dengan menyatakan bahwa permohonanku telah terpenuhi; nah,
bagaimana mungkin engkau masih hidup?”
Lalu anak itu menceritakan segala yang telah terjadi dan bertanya: “Tapi, Bapa, mengapa
engkau mau membunuh aku? Aku tidak tahu-menahu tentang suatu kesalahn yang telah
kulakukan”.
Kata raja: “Jika engkau tidak bersalah, maka jelaskanlah perkara ini; katakanlah siapa
yang benar-benar bersalah; kalau tidak, engkau akan mati”.
Jawab anak itu: “Aduhai, aduhai! Aku tidak melihat jalan keluar; kalau aku bicara, maka
itu salah: demikianlah guruku telah mengajar aku. Tetapi kalau aku diam, engkau akan
membunuh aku. Apa gerangan harus kubuat?”
Berkatalah raja: “Bicaralah! Ayo bicaralah! Perkara ini sudah telah mengakibatkan terlalu
banyak kesusahan dan telah merenggut nyawa dari tiga orang”.
Anak itu berkata: “Bapa, aku mohon, bersabarlah tiga hari; lagi tiga hari akan muncul dia
yang telah bersalah”.
Ketika raja bangun pada hari ketiga, ada seseorang berdiri di depan pintu rumahnya. Anak
itu mengenal kembali orang itu dan berkata: “Bapa, inilah orang yang telah bersalah itu!”
Raja memanggil semua orang laki-laki dari kampung berkumpul untuk berunding tentang
masalah itu, dan ketika mereka semua terkumpul, ia memanggil juga isterinya. Setelah dia datang,

121
ia menarik dia hingga dekat pada orang yang bersalah itu dan berkata: “Silakan, mulai sekarang
inilah suamimu; aku akan membuat kamu tinggal bersama selama-lamanya”.
Dan beginilah ceritanya! – Raja menyuruh seluruh rakyatnya menguburkan mereka
bersama dalam keranda yang sama, perempuan itu di bawah dan laki-laki itu di atas.
Di sini berakhirlah kisah ini.

---------------------------

Sar tom-tom labo! – Toran rat lai ain ini yanan enfit. Yanan hirnean hirkai wuk afa, bail
enwarin i bod-bod. Fel –uk he we hir neyan bissa toran rat enham wuk ni mas, ni woer harta, ni
pussak bisa fo hirbatang fo bok; enwarin i bod-dod mehe, i waid, imehe wat wus mehe.
Sar tom-tom labi – Kot i endok enfangnan: ye! Ning yaman wel te enot bod enhov yaau, uras, udok
wus bail i, u yoat mal laili bo, fel-uk he susuuk he.
Edbo en kot i enbe-ti yaman, nanar : mam e!
Rat nanar: akahe?
Nanar: Mam batang, raam sian enhov yaau wahid, uhauk unar berkar kot ain wer o.
Rat inanar: Raangsian te, raangbook te, sumhol rehe, fo ukaiak; uterim te, utarim waid te, hangoer
omhol.
Kot i nanar: Mam e, kasse aang hir bissa erkai li afa dunyai bisa, aturan wel te, erkai er ot; bail yaau
mehe ubod mele, aturan te, afa te afa, ukai bissa waid. Felak i umham bissa wuk mas wuarharta,
wer hir neye, bail yaau mehe wus mele; fel-uk he yaau uhauk uher wuk, ma kubang odan yaau utam.
Rat nanar: O bod bail i, omhauk wel entam kubang fo ka?
Kot nanar: Miski bod tenu! Ma kubang odnat te fo ubar ngur naa wak fo-la udir wuk atura afa wown
wuk ang hir.

Sar tom-tom labo! – Teran rat na wuk kubang we kot i, enbarngur. Rat ni ohoi endok wuk
nangan fel Rumdian roi. Edbo kot i renan enot rak ni kes, kot bodbod i enba rehe fo enadir afa.
Enba amnanat rak odan, enho ohoi ain fel namar.
Tomat ain enit kot i endat enhorak : ombwa be he ro?
Kot i nanar: yaau uba won rok i.
Tomat i nanar: O umdat mam ohoi i omot aka?
Kot i nanar: ang hir neyan bissa erkai mut afa bo, bail yaau mehe wat ubod, fel –ak iuhauk ubarngur,
fo ukai wuk aturan afa.
Tomat i nanar: fel i omdatak, uturuk aturan wer o he.
Kot inba norang tomat i, enrat ni rahan, i enot bissa dar indok ma, nanar: Kot o omkai, kasse, matak
umit umat erkafrehe, omdok umdenar wahid, omdok umtukun wahid, fo batang leran tomat ertaha
o fo saksi wahid, fo umhol berkar i; dos.
Tomat endok enmoan rak, kot in horak: wukun umturuk berkar aturan lian wel te, bail –uk i?
Tomat nanar: bail-uk i.

122
Fel enhe kot enreek roebi kidin nan reang tomat i, nanar: omdok, yaau uba wel.
Tomat inanar: uhauk, umbwa wel.

Sar tom-tom labo! – kot inba wel. Enba wel amnanatak odan, enho wel ohoi ain, fel ngur –
afrunan. Rang kaya i enit kot mav i enma ni ohoi ma, enhorak: O omtal be he ro?
Kot i nanar: yaau ental ning ohoi, udo rak i.
Orang kay nanar: omdo deni fo aka?
Kot i nanar: Yaau rangsussuk he: ang hie neyan erkai bissa afa ma, yaau mehe ubod mele, yaau uba
wel ubarngur , fo uadir wuk afa.
Orang kaya nanar: Bet fel i, umdo wak te.
Feli kot enba norang orang kaya, enot bisa ni dar sundok, orang kaya nanar: Kot, umakai, likfel
omdenar tomat erdok enerferat hira, nanar-livlawur mang, umdok enhov hir wahid. Um hol yal
berka ri wahid: dos.
Orang kaya endok enmoan, rak, kot enhorak: orang kaya, umdok moam rak he, feli yaau unar afa
de?
Orang kaya nanar: Omnar.
Kot nanar: orang kaya, umnar bailak it te, matak omenar berkar lian wel?
Orang kaya nanar: Waid bailak i.
Kot enreek wel rubi wan, na wer orang kaya, nanreang i waide.

Sar tom-tom labo! – feli kot enba wel, enba wel, famehe enho wel ohoi ain fel Ohoider wuv.
Tomat ain enit kot i endat ma, enhorak: Kot e, umbwa be?
Kot i nanar: Uba, ulan, uba teno,! Uba oan te oan, farne uadir afa wak te. Omkai ang hi neyan bissa
pintar bo, yaau mehe wak bodbod mele, fel –uk he yaau uba wat fo oerbangoer .
Tomat inanar: Falhe, umdo wak te, uturuk afa wer o he.
Hirru erba rat rak tomat rir rahan, inanar: kot ya, omkai woekoen leran omit tomat rir dos, erot
ningrehi teran , batang umhol wahid; waid leran umwar wuk dos i he.
Tomat indok enmoan rak, kot enhorak: Teran e.., umnartul afa leen wel te, bail uk i?
Toma i nanar: yaau unar bailuk ya.
Felhe kot enreek wel kubang robi wan ro, enreang wel tomat i, enba wel.

Sar tom-tom labo – kot i enba wel, enba wel fel Gelanit iwil. Tomat ain enir wuk kot endat
ma nanar: kot o, umbwa be heo?
Kot i nanar: yaau uhauk uebarngoer he, omkai ang hir neyan hirkai tut afa bo, beilak yaau ubod
mele, uras leran oemeek lai he.
Toma i nanar: fel i umdatak te, yaau wel te uturuk afa wer ohe. Hiru errat wel tomat ini rahan bo,
enot bissa dar hir erdok, i nanar: Kot ya, betne umdenar umat hir kafehe batang umhov berkar i
wahid, foleran ertaha o fo saksi wahid: I dos.
Tomat i endok enmoan ruk, kot i nanar; Teran he baeil uk i te, matak umtaba lian wel?
Tomat i nanar: uturuk afa baiuk ya.
Fel ak he kot enreek wel kubang robi wan ti, nanrenag tomat i wel bo, enba.

123
Sar tom-tom labo! – kot inba wel, hob endok enfikir na afani, tomat enturuk wer i, nanar:
Weh , deni inturuk wel afa waawn wuk en laile he. Uho waid aka ! fel en he, uras ukai tut rak afa
aturan bissa he, utal ubail rehe o.
I bo kot enba wel, enba wel vamehe enil ni ohoi.
Ni yaman enit rak kot bodbod enil ma, enhorak: O umtal denbe, umil wel he?
Kot i nanar: Yow! Ubayal nuhu met bissa.
Rat nanar: Mu kubang ibe wak?
Kit i nanar: Ning kubang? Nih! Kubang en bisa rak.
Rat nanar: ye! Kot bodbod, umot ka fel en i? Umwatuk ken sasa wel kobang town i?
Kot i nanar: uwatuk, uwatuk be ne? Urbarngur bail i! U reang ning gur waid aka!
Rat ransian ma nanar: Duad naan kot nit sadka o! Kot mutan baeil i, umlawur liklak nung kubang
bo: mu bodbod enwosak woleen ental deni ma, teok utahabuwang rehe kot sisian o.
Felakhe toran rat enhauk ni yanan bissa fo hir erdikin –watuk en warin bod-bod i.

Sar tomtom labo! – Dede kot i ran sus bail be o! Enba enroon wat bo. I bo, enba, enba
amnanat wel, famehe enho ohoi ain, bail hob in roon wat.
Na ohoi i rat ain wuk ma, enit kot enroon bail i, enhorak: Kot o, umroon aka bail i?
Ma kot endok enmoan wat, enroon wat mehe.
Edbo rat enhorak wel: matak mang erbangil o te? Matak hira enbor mu afa te? Omnartul tno!
Kot indok enroon wat mele. Fel he rat vion bilbilan ma, enhorak faa wel: batang ombobaw wahid;
omnar wat, umroon aka bail i? Wukun yamang am erdikin –watuk o bo?
Kot i nanar: I rok ya. Toran rat o musno ma, miski urnatul rehe. Omkai ang hir neyan erkai bissa
wuk afa bo, bail yaau mehe wat ubod. Feli yamang enham wuk ni mas, woer-harta, afa-afa bisa wer
hir neyan bissa, yaau mehe eat wus. Edbo unar yamang: Mam, ma kubang odan-ak te fo oerbarngoer
naa wak, fo ukaiwuk afa mele.
Uteeng kobang, uba rehe bo, ubayal nuhu met i bisa famehe kubang en, ubail rehe.
Edbo yamang raangsian laai wel kubang en ma, endikin watuk rehe yaau nele, enot udo won rak
ya.
Edbo rat i ni yanan hoeman waid i, enhov en wat hiru mehe, ni hoan nfangnan m nanar: Kot o. Unat
afa ya, bet mu suk utuud osak yanang, tiok famur umhiluk, umdir wel ning wai.
Kot i nanar: feli toran rat. O umnar afa, ning suk te, ning suk waid te, yaau wattat kasian bail i mele,
uot falbe fo uliing wel afa bo, rat umnar, yaau ukai bail uturut wat.

Sar tom-tom labo! – kot i endok rak enhov rat bo, leran rat i nanar: omdo wak taba itaha
wav ain fo itmirrin tomat. Hirru erba ma, erho wuk ohoi angled ne, erfahaken wav waid.
Eil rir ohoi ma , raebret rehe ma, rat nanar: itaba itluruk naa wak. Hir erba erluruk na wear na
nangan, hir erit wav uur laai ain.
Rat i nsalan in es ni temar rubil, enfan ken wuk wav i, ma en mat rehe hob. Rat inanar: kot e nung
nger ndok oba rahan roi, mufla sumhauk musngalik: enloi ning atban ruhun he, mufla ngihen ak te!
Edbo kot nafla naan mehe wat endar rahan e, enseb rat rahan ma, sar tomtom labo! En it hira ain
entub enhov rat ni hoan na atban i.

124
I bo, hirru bissa erdok nakritan rehe bo, bail kot i enbobar ma, ensakmur rehe, endok entiok naa
rahan latubur en leen en tubur naa wak.
I enit rak bo, i nefla nefla rahan tav, enrat wel ma fo entaha ngir.
Entaha ma, neflail nangan roi, rat endok entiok i.
Rat wahan eleman lai ma, nanar: Aka enot o umbwa mang-mang bail i, udook uteek entak esmerla,
matak kamam elleman te bebe!
Kot nanar: Yaau kot bo, ureek wuuk ning kuwat, ufla mele, ma nang ket bo, enut jaw wuk mang-
mang oden he.
Edbo rat enavat–fedan bissa rak wav, nanar: Ombwa umkuk tomat engled wak, imsablur wav i enti
ohi. Yaau uil-uk ya, uslan il.

Sar tom-tom labo! – Rat enil rak ni rahan bo, ni hoan endok enroon wat. I enfangnan: Yow !
um ot akahe: kot i tunan enhol rak ning sa wer hoang bo, wukun enfedan rak yau he.
Feli endok enroon wat, rat nanar: Umdok umroon aka bail i?
Ni hoam enfikir wel: ah, wukun nanar hob bo, felhe ukalak i lain, fo lan famur rat enwat i waihid.
Nanar: Uroon waid aka miski, uhol waid i .
Rat nanar: umhol teno! Fo ukai wuk te, wukun mang erot sa te bebe?
Hoan i nanar: Sa wel te, sa waid, ain te ain te ubobar wat unar. Wukun dos wel mele, udok fel en he.
Rat nanar: Bok te sian, hangur omhol rehe.
Ko wat i nanar: Felhe o musno mele, likfel ning lawan naa. Um kai kot i, umtood sak yanam, kot i
enkai aturan ainmehe wuk waid. Bet wukun umhaawk enfangnan lai kot i, umwav ning meet waid,
utal uba il ro fo ning ohoi ; waid, uras udok umeeak laaili rak de.
Rat i nanar: Teok meran- ak, umkai kot i enras-ken te bebe.
Narak wak rat enuak kot i nanar: Mam Ya, usno inan afa odan, omu suk wuk umbwa te waid?
Kot i nanar: Ning suk te ning suk waid te, mam o musno afa, miski umat naa afa ran i, falbe wak
yaau ufen?
Rat nanar : Fel en he, umtiok, uot surat kot ain, o umataha ti tiok orang kaya hilloek de?
Rat intulis na surat i ensib orang kaya Hiluk: kot i entaha ti surat i ver o, miski omfedan: ni hukum
waoon rak i.

Sar tomtom labo! – Kot i enba ma, enho rak ded lean, tomat endok entirat ni sar, enhorak
ombwa be?
Kot i nanar: Toran rat nesno utaha surat tiok orang kaya Hiluk.
Tomat i nanar: O kot mele, ombwa roro rak, jam nafre bom um dok odanak te, omtaha sak rafat,
tiok uot wer o min, benau o muan.
Kot i nanar: Ubre te be, uslanak utaha surat surat i wer orang kaya, rat nesno, mang-mang, ubobar.
Tomat i nanar: Deni sus waid, tiok, usno ning ko ain entaha nasluruk surat i ti orang kaya roi.
Edbo kot i niin naan rot-uk afa, enba ti euk harang orang kaya ni dok-dok, enhorak, surat enharang
i rak te hob.
Orang kaya nanar: Surat ukai rak, afa rat maksud naa, adjat ruk, umtuk, ubalas wel rat ni surat,
umtaha ti toran rat.

125
Edbo toran rat en it wel orang kay ni surat enkai enfikir waid ruk ma, nanar: ye! aka wel en he?
Orang kaya nanar: afa yaau usno adjat bissa rok, falbe kot i enwait bail i?
I bo ma, rat enkikai waid.

Sar tom-tom labo! – Edbo fel meran toran rat nanar wel; kot ya, omtaha wel surat ain tek
orang kaya Debut.
Naa surat i wel rat neso orang kaya Debut hira entaha ti surat wer i, meski enfedan rehe, ni hukum
rak i.
Edbo kot i enkai surat i ni maksud waid bo, enba wel.
Enba famehe enbo leen ser ak, en joat wel tomat erdok rafnge rir wee.
Tomat hir erit kot i enma, erhorak: Kot ee, umbwa behe?
Kot i nanar: Utaha surat ain, toran rat enot teek orang kaya.
Toma hir ernar: O kot mele, ler lai bo, ombwa roro rak he, eukun yam nafre, um dok odan-ak te,
amot wear o men, benau o muan.
Kot i nanar: Uba wel te, uba rehe, ubobar ental surat i, wukun mangmans, sus.
Tomat ain nanar: Omdo wak te, tek usno wel ko aini entaha usrat i nasluruk enho orang kaya wov.
Eidbo ko intaha surat ti oran kaya
Orang kaya ennuk ni umat bissa, nesno erfedan ko i ma, enmat, rat nesno.
Kot i neen naan rot ruk afa, enba wuk Debut, enhorak orang kaya: Surat enharang o te hob?
Orang kaya nanar: Oho, enharang rak, umtiok, uot surat tek toran rat, fo enkai, maksud naa surat i
ajad bissa rak.
Edbo kot i enil wel ni ohoi, rat enfikir wel: afa aka woon wel i? Orang kaya nanar enfedan rak ko ain
entaha ti ning surat, kot i enwait bail i!

Sar tomtom labo! – Leran fel rafru, rat nanar: Kot ya, uot wel surat ain, umtaha tiok Orang
kaya Hangur de. Nesno wel: orang kaya, teok kot entaha usrat i ti o, miski omfedan rehe: ni hukum
ra i.
Edbo kot i enba wel roro odan, enyoat tomat erdok entiwak nit. Hir erit kot enma, erhorak,: kot o
umbwa be?
Kot i nanar: utaha surat ain, toran rat en ot tiok oran kaya.
Tomat hir ernar: Kot bo, ombwa roro rak, metak yam nefre umdok odan ka te.
Kot i nanar: Ubre te be, ubobar matak surat i magmang, hangur uba rehe.
Toamat hir enar: dedan nak he tomat ain enmat, foar nit erba, umdok, amtiwak nit naa wak, men
muan afa, meran narak wak umbwa. Surat, tiok, usno ko ain enwar nasluruk ti orang kaya wil.
Edbo ko i entaha surat ti orang kaya, orang kaya enhauk ni umat bo erfedan ko i.
Kot wel, nin naan rotuk afa nanar: Miski dedan wel, utal uba reha ya, uhoran, surat enharang rak
orag kaya te hob.
Orang kaya nanar: Ohauk o, surat utarim rak, teok uot surat wel nanbas rat ni, fo inkai, afa i nesno
adjad bissa rak.

126
Sar tom-tom labo! – Rat en it wel kot i entaha orang kaya hangur ni surat endok enfarmehe
rehe afa i, enfangnan: matak orang kaya hir i bissa erhauk erweat lek enhov yau te be? Nanar: Mam,
umdo wak te, uhorak afa ya, wahan uhorak fee wat. Ka ser fa tel rak usno umtaha surat tek orang
kaya ning parinta ain fo lan usno brin erfedan o mele. Hir bissa erbas wuk ning surat, ernar maksud
na surat i adjad bissa rak, falbe umot fo umwait bail i?
Kot i enhol bissa berkar ni waawn, nanar: Mam, utin aka wak umhauk umfedan yau? Ukai ning sa
ava waid i?
Rat i nanar: Bet mu sa waid, miski umat berkar i fo wolwwn; umturuk mangbe rir sa wak, waid,
ufedan rehe o he.
Kot i nanar: Jow! Fel i berkar i enweang yaau sus wel he: uhol, wukun dos, ning gurgur enturuk yaau
aturan wown i waid; ufakwunin, omfedan wel yau mele, itot falbe oh?
Rat nanar: omhol, omhol teno! Omkai berkar i enweang rak sus bail i: ko hirtel ermatak na berkar
raan i.
Kot i nanar: Mam tebe, mam usob o, umsabar leran til wel, raftil-uk hira ni sa enwosak.
Raftil rawitunak, rat enbatar, ko ain en rat rak fid matan, kot enefken rak, nanar: Mam he ko sa rok
he.
Edbo rat enuuk umat ohoi bisa fo rasdov ; hir nem bissa rak, nesno ni hoan wel enma. Enma rak
enweri we sa ni wahan, nanar: umliik mu hoan en mur rak ya, tiok, uot imru imtub non famehe eak
he.
Sar tom-tom labo! – Rat neso ni umat bissa, ertiwak na boban ainmehe hirru bissa, en wat na wowan,
enberenran na ratan.
Tom ni wahan ruk ya.

127
19
KISAH SIPUT GURDI

Dan begini ceritanya!


Pada suatu hari terjadilah bahwa seorang perempuan mau melahirkan, akan tetapi
daripada melahirkan seorang anak, ia melahirkan sebuah siput gurdi.
Perempuan itu mengamat-amati siput itu, barang begitu konyol, yang tidak berguna
untuk apa pun juga, maka dia membuangnya di pantai saja.
Akan tetapi ibu dari perempuan tadi kebetulan pergi mencari binatang kerang; dia
melihat siput gurdi itu dan pikir: “Sebuah siput tetap sebuah siput, namun kukira bahwa siput
gurdi ini, yang telah dilahirkan oleh seorang perempuan, adalah sesuatu yang sangat khusus”.
Maka ia mengangkat siput itu untuk membesarkannya sebagai anaknya sendiri. Ia
membawa dia pulang, membalutnya dalam kain lampin dan membaringkannya untuk tidur.
Dan begini ceritanya! – Mula-mula siput gurdi itu amat kecil, tetapi sedikit demi sedikit ia
menjadi makin besar.
Pada suatu hari siput gurdi itu berkata kepada ibunya (yakni perempuan yang
membesarkannya): “Ibu, kerjakanlah bagiku sebuah busur dan beberapa anak panah kecil sebab
aku mau menembaki ikan”.
Ibu itu menjawab: “Aduh, betapa engkau merengek-rengek! Malah kau tidak mempunyai
tangan dan kaki, dan hanya tahu berguling-guling di atas selimutmu. Kau mau dapat busur dan
panah? Jangan harap!”
Siput gurdi itu diam, namun tak lama kemudian ia berkata lagi: “Ibu, kerjakanlah bagiku
sebuah busur dan beberapa panah kecil untuk kutembaki ikan”.
Ibu itu menjawab: “Aduh, kau, barang konyol, engkau tidak mempunyai tangan dan kaki.
Bagaimana engkau dapat menembaki ikan? Tidak mungkin!”
Si kecil diam, tetapi tak lama kemudian ia mulai menangis tak henti-hentinya.
Ibu itu bertanya kepadanya: “Hai si kecil, mengapa menangis terus-menerus?”
Si kecil menjawab: “Ibu tidak mau membuat busur dan panah untuk aku; buatlah itu,
supaya aku dapat pergi menembaki ikan!”
Kata lagi ibu itu: “Aduh, si kecil, betapa engkau merengek-rengek! Malah kau tidak
mempunyai tangan dan kaki. Tinggal berbaring saja di atas selimutmu itu”.
Akan tetapi si kecil mendesak terus, dan akhirnya ibu itu mengerjakan sebuah busur dan
panah baginya.
Berkatalah si siput gurdi: “Ibu, sekarang Ibu sudah mengerjakan busur dan panah kecil
bagiku; nah, sekarang bawalah semua itu ke pinggir gundukan pasir di sana; aku akan menyusul
untuk mengangkatnya”.
Dan beginilah ceritanya! – Si kecil pergi mencari ikan di dekat pantai. Ketika ia sudah
sampai di gundukan pasir itu, ia menanggalkan siputnya, yang ia biarkan tinggal di situ dan
mengangkat busur dan panah. Ia menembak dan mengena ikan-ikan tak terhitung banyaknya.

128
Astaga! Ia menyeret pada tali untaiannya banyak sapi laut, ikan pari, hiu dll. dll., amat banyak
sekali.
Si kecil mau pulang. Ia membiarkan tali untaiannya, busur dan panah di gundukan pasir
itu dan mengenakan kembali siputnya.
Ketika sampai di rumah, ia berkata: “Ibu, pergilah ke gundukan pasir di sana, dan hela tali
untaianku dengan semua ikan itu ke rumah untuk memanggangnya”.
Berkatalah perempuan itu: “Maut boleh menjemput engkau, siput gurdi yang bodoh! Mau
beromong kosong apa kepadaku! Semoga roh-roh halus membawa pergi tali untaianmu!”77
Kata anak itu: “Ibu, bagaimana mungkin aku akan mengibuli Ibu! Sungguh benar, dan hari
ini Ibu akan sakit punggung karena menghela ikan-ikan besar!”
Jawab ibu itu: “Engkau terlalu melebih-lebihkan”.
Si kecil bertahan katanya: “Demi tanah kita!”78
Pikirlah ibu itu: “Jangan-jangan anak itu bicara benarkah? Sebaiknya aku pergi
menyelidikinya dulu”.
Dan beginilah ceritanya! – Ibu itu melihat tali untaian anak itu terletak di atas gundukan
pasir itu. Astagenaga! Betapa banyak ikan: sapi laut, ikan hiu, ikan pari: teramat banyak, dan
semua besar-besar!
Dia nyaris berhasil menghela semua ikan itu. Ia mengerjakan sebuah penggarang besar
dan siang-malam ia sibuk memanggang ikan.
Dan sesudahnya hal ini sering terulang.
Anak itu berkembang menjadi makin tinggi badannya dan pada suatu hari ia berkata
kepada perempuan itu: “Ibu, sekarang aku sudah dewasa, aku mau pergi mencari seorang isteri
bagi diriku”.
Berkatalah perempuan itu: “Aduh! Kamu, siput gurdi! Engkau tidak punyai tangan dan
kaki, tidak punya telinga, dan wajah pun tidak. Kau hanya berguling-guling pada selimutmu.
Rencanamu itu pasti akan gagal”.
Tetapi anak itu berkata: “Ibu, namun aku pergi. Aku sudah menyuruh seorang untuk
berkonsultasi pada Nasib dan pratanda adalah mujur: pasti Ibu akan berhasil”.
Ibu itu menjelajahi seluruh negeri dan pantai, namun di mana-mana ia melamar dengan
percuma. Pada menceritakan kisah siput gurdi itu, semua orang menertawakan dia dan berkata:
“Adapun kawin dengan sebuah siput gurdi, tak beranilah kami membuat itu”.
Akhirnya ia sampai di sebuah kampung besar, di mana tinggal seorang raja yang
mempunyai tujuh orang puteri. Berkatalah ibu itu: “Tuan raja, aku sudah membesarkan sebuah
siput gurdi, dan sekarang dia mau kawin. Karena itu aku mau meminta kepadamu, tuan raja,
apakah bapak berkenan memberikan kepadanya salah satu di antara ketujuh puterimu menjadi
isterinya”.
Menjawab raja itu: “Bagaimana mungkin ibu meminta barang begini! Betulkah sebuah
siput gurdi mau mengawini seorang perempuan?”

77Kehidupan roh-roh atau arwah-arwah di alam baka dibayangkan sangat mirip dengan hidup di dunia,
tetapi murung dan sedih. Segala yang di dunia kurang bernilai, dipandang masih cukup baik untuk mereka.
78 Segala sesuatu dianggap berjiwa, jadi juga tanah yang didiami; roh tanah tentu saja adalah roh yang agung

dan karena itu sering dipanggil sebagai saksi dan penjamin pada sumpahan.

129
Sahut ibu itu: “Aku akan menceritakan riwayatnya dan segala karyanya, lalu silakan
Bapak putuskan”.
Maka dia bercerita, tetapi raja tertawa dengan tak henti-hentinya.
Dan beginilah ceritanya! – Raja lalu berkata: “Mari kita mendengarkan dulu puteri-
puteriku sendiri. Biar mereka sendiri mengatakan apakah mereka setuju tidaknya”.
Dia menanyakan mereka dan enam di antara mereka menolak dengan tegas, tetapi yang
bungsu, namanya Watwarin, berkata: “Aku tidak punya pendapat secara pribadi, biar ayahku
mengambil keputusan: sekalipun yang menjadi suami adalah cuma sebuah siput gurdi, untuk aku
boleh saja”.
Lalu raja bertanya: “Apakah engkau mampu membayar harta kawin bagi puteriku? Pada
kedelapan tiang rumahku delapan potong emas besar dan di dalam ruangan depan empat guci
penuh emas”.
Jawab anak itu: “Aku mampu. Esok pagi sudah akan diselesaikan. Tetapi jika pada malam
ini terjadi guruh dan petir serta gempa bumi, maka jangan takut”.
Ketika pagi berikutnya raja bangun, ia melihat tergantunglah pada kedelapan tiang utama
rumahnya delapan potong emas, dan di dalam ruangan depan ada empat guci penuh emas, dan di
samping itu masih ada lagi dua meriam besar.
Ibu itu lalu meletakkan siput gurdi di atas sebuah sarong baru dekat pada Watwarin dan
membuat mereka kawin.
Pada malam hari Watwarin membawa suaminya, siput gurdi itu, ke dalam kamarnya, dan
orang-orang serumah mendengar bahwa mereka di dalam kamar Watwarin saling mengisahkan
ceritera-ceritera.
Raja, isterinya dan semua anak mereka sangat keheranan tentang itu dan selanjutnya
setiap malam mereka mencoba mengintip, namun mereka tidak dapat melihat apa-apa dan hanya
mendengar saja suara manusia. Dan pada pagi hari mereka hanya melihat siput gurdi itu terletak
di situ.
Mereka bertanya-tanya kepada Watwarin, tetapi dia tidak menyatakan apa pun.
Lalu raja memakai muslihat. Ia mengumpulkan semua orang bawahannya untuk bersama
pergi ke sebuah kampung lain sebagai kunjungan persahabatan.79 Maka semua orang ke luar dari
kampung dan Watwarin pun ikut.
Istri raja berpura-pura ikut pula, tetapi ia bersembunyi dalam rumah dan tetap mengintai
siput gurdi itu.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika semua orang sudah pergi, ibu itu melihat bahwa siput
gurdi itu menanggalkan siputnya dan mengenakan pakaian indah: ia memakai celana, sepatu dan
jas serta topi; dan tengoklah, segala pakaiannya itu terdiri atas emas murni. Ia naik kuda dan
pergi.
Ketika ia telah dekat pada kampung itu, anak-anak yang sedang bermain di pantai,
melihat dia datang. Mereka pergi dan berseru keliling kampung: “Hai! Ada lagi seorang tuan besar
sementara datang!”

79Harafiah: membuat adat Kei. Pada kesempatan itu orang saling memberi hadiah, terutama berdasarkan
relasi yang terjalin antara kedua belah pihak karena adat perkawinan.

130
Semua orang dewasa, yang semuanya sementara pukul genderang, menyanyi dan menari,
jadi kaget; mereka langsung berhenti menari untuk pergi melihat orang itu.
Sementara itu siput gurdi itu sudah sampai di batas kampung; ia sudah ikat kudanya dan
sedang menunggu mereka datang.
Orang-orang ketakutan, dan mereka menggap tuan itu sebagai seorang utusan Tuhan.80
Mereka menawarkan kepadanya sekapur sirih: daun sirih yang sangat halus, pinang yang
bermutu dan pinang yang memukau.
Tetapi siput gurdi itu tidak mau menerimanya.
Kemudian datanglah Watwarin dan dia menawarkan kepadanya sekapur sirih dan daun
sirih yang jelek dan pinang liar; namun dari dia itu ia menerimanya, lalu ia mengulum.
Semua orang itu sama sekali tidak mengerti itu dan berkata: “Hai utusan Tuhan, maafkan
kami, tetapi mohon tuan menjelaskan apa yang membuat tuan menolak sirih pinang halus yang
kami tawarkan, sedangkan yang jelek tuan terima”.
Akan tetapi siput gurdi itu diam, ia naik kudanya dan pulang.
Adapun raja dan semua orang bawahannya pun pulang ke kampung mereka.
Dan beginilah ceritanya! – Siput gurdilah yang pertama sampai di rumah; ia
menanggalkan pakaiannya yang mahal itu dan mau mengenakan lagi siputnya; tetapi ia tidak
dapat menemukan kembali siputnya itu.
Maklumlah, ketika ratu melihat siput gurdi, yang mengenakan pakaian begitu indah dan
menaiki kudanya, ia melihat juga siputnya terletak di atas tempat tidurnya. Dia mengambil siput
itu, dengan sebuah batu mengancurkannya lalu menghamburkannya di laut.
Siput gurdi meraba-raba sekitarnya mencari siputnya, namun tidak menemukannya. Lalu
ia duduk menangis karena hilangnya siputnya itu; ia menggigil dan gementar pada seluruh
badannya dan rupanya sudah mendekati ajalnya.
Ratu itu terkejut karenanya dan ia memasak sebuah labu air lalu memandikan siput gurdi
itu dengan air rebusannya.81
Ketika ia sedang sibuk dengan urusan itu, tibalah juga raja dengan seluruh rakyatnya. Lalu
mereka semua pun memasak labu air sebagai obat untuk memandikan siput gurdi itu. Berkali-
kali ia dimandikan mereka, dan perlahan-lahan ia sehat kembali dan selanjutnya untuk selama-
lamanya menjadi seorang manusia.
Lalu semua puteri raja menginginkan siput gurdi itu menjadi suaminya, tetapi Watwarin
berkata: “Jangan harap! Tadinya kamu meremehkan dia, dan aku – sekalipun dia memang tidak
berarti apa-apa – telah menerima dia. Tetapi setelah ia menjadi seorang laki-laki yang begitu
mantap, ketahuilah bahwa sudah lama kami telah kawin; Tuhan sudah mengetahuinya82 dan tak
seorang pun dapat memutuskan perkawinan itu”.
Di sini berakhirlah kisah ini.

80 Dalam teks asli (dalam bahasa Kei) di sini dipakai kata nabi. Pemakaian kata itu dipengaruhi oleh agama
Islam. Dari diri sendiri orang Kei tidak mengenal orang-orang utusan Allah.
81Air rebusan dari labu air (cucurbita maxima Duch) dipergunakan untuk pembasuhan medis pada
beberapa penyakit.
82Setiap perkawinan yang sudah terlaksana, harus disahkan jika mungkin. Hal ini diungkapkan dengan
kata-kata ini: bahwa Tuhan sudah mengetahuinya, dan tak seorang pun dapat memutuskannya.

131
------------------------------

Sar tomtom labo! – Leran faa ko wat ain endok wav bo, ma sak ni yanan entafol kotafler ain.
Ko wat endok enliik kotafler i, afa wolten bail i, enmeek lai ma, enwatuk met ratan.
Edbo ko wat ini renan enba entai met, enit wuk kotafler i bo, nanar: Kot woown kot mele, ne
yaau uras kotafler i, ko wat ain entafol i, woown wuk kot engled waid.
Fel en he enreek euk kotafler i fo entood sak yanan. Enwavti ni rahan ma, enwev bissa na kafnuut
ma, enot suntub.
Sar tomtom labo! – Lain kotafler i kot senin rehe bo, mangmang i enmel wuk fo lai odan.
Edbo leran kotafler i nanar we ni renan, (ko wat entuud i waid) nanar: Nen e, omot nung
temar ain enhov ning siwar woho, fo lan uba wuk ufan wuut.
Ko wat i nanar: Ah! Kot e, omnar aka fel en he! Yam-limam naa wak te! Bail omdok neslebar
na kavnut raan i ! falbe umhawuk umher temar enhow siwar? Yow! Entub wahid e!
Kotafler endook enmoan wat ma, sirsir wel i nanar: Nen e, umot nung temar hoe siwar-ak
te, fo lan uba euk ufan wuut teno!
Ko wat i nanar: Niyo! Kot e, yamlimam naa waid male, falbe wak omot omfan wuut? Entub wahid
he!
Kot endok enmoan wel ma, amnanat odan wel i endok enroon wat. Ko wat enhorak: Kot e, umroon
aka tatawn i?
Kot i nanar: om ot nung temar enhov siwar-wuk waid mele, omot-ak te, fo ufan wuk wuut, itan o.
Ko wat i nanar: Ah, kot ya! Omweang yaau sus wel fo aka? Yamlimam waid i, omtub wat mu kafnuut
tenu.
Bail kot i enroon-taang wat mele, fel en i ko wat i enot rehe ni temar siwar bessa.
Kotafler i nanar: Nen e, omot nung temar siwar jad bessa rak, umwar ti suntub nuut roi wahan, uba
norang utaha.

Sar tomtom labo! – kotafler enba wuk entai met, enho rak noet, enkoi-watuk ni biboen enot
suntub, entaha ni temar enhow siwar. Enfaan ma, Ow ! enfaan-ken wuut arik be! Yow! Entood ni
mir; roin, seru, far, anaha, bis bissa engledli rehe sus.
Edbo kotafler enil bo, enot bissa ni mir ni temar siwar entob wel nuut ele, entai wel ni biboen.
Enrat wel ni rahan, nanar: Nen e, omsu nuet wov, sumtood ning mir fo umror.
Ko wat i nanar: Nen e, falbe wak umhauk wal umweang yaau? Nit rir wang mu mir wov!
Kot i nanar: Nen e, falbe wak nung bran uweang wel o he? Unar tuanan he, leri tetam enmat na wad
ya!
Edbo ko wat i enfangnan: wukun kot i nanar ken wuk te bebe, feli miski uba rehe, uleik yaung.

Sar tomtom labo! – Ko wat i enit kot ni mir entub noet roi, astaganaga! Mir bail be oh! Roin,
far, yeu, seru, anaha, wuut famehe o lalai wat.
Entood, wukun entood na waid. Enot bissa ni wad laili, hamar dedan faknawan endok wat enroor
wuut. Edbo famur engled lai wown wat i. Fel i kot i enmel lai ruk ma, sumbwa umhauk ko wat ain fo
ning hoan.

132
Ko wat i nanar: Ah! Kotafler o! Yamlimam, arum, waham-matam naa waid i bo, bail umdok wat
muslebar na kafnut bo; entub wahid he!
Kot i nanar: nen e, ombwa rehe, usib rak mang erot dn-dan bok ma, omot, omot naa wat.
Edbo ko wat i enba yal nuhu-met bissa, enher naa waid mele. Enhol kotafler ni tom ma, tomat bissa
erdok enmalit wat,
ernar: kotafler mele, ma ambobar.
Edbo enho wal ohoi laai ain, rat ain endok wuk , ni yanan wat ainfit. Ko wat i nanar: toran rat, utood
ning kotafler ain, enhauk nafaw bo, fel en he uhauk uher ental toran rat o, betne umtarim bol, ma
mu yanam wat ain fo ni hoan.
Rat i nanar: Ah! Omher aka fal enhe? Falebe kotafler enhauk nafaw kowat ain?
Ko wat i nanar: Umtiok, uhol kot i ni tom wak, ni utut bisa fo omkai wak, omleeng.
Endok enhol ma, rat enmalit nasluruk wat.

Sar tomtom labo! – Rat nanar: Itkai tal ning yanan hir mehe naa wak. Hira interim te waid
te, ental wat rir suk-suk.
Edbo inhorak, hirneyan bissa refenfen wat, bail watwarin nanar: Yaau ukai unar afa waid, yamang
enleng wat, kotafler ma hoang liklak wel te utarim.
Edbo rat enhorak: Mu baran wuk, omvear kowat ni wilin: ning rahan lir ain how mas teen ainwaw,
na nig kaleean ngus mas ainfak.
Kot nanar: Ning bran. Omtiok meran esmer wak fo uot; bet matak dedan i nafdud te roer, batang,
ombobar wahid.
Edbo narak rat enbatar enliik bissa ni lir, mas ten ainwaw, ni ngus mas ainfak erdir ni katlean,
enhow ni kasber lalai ainru wel.

Fel he kot wat enot kotafler suntub esbo wait bokli enot suntub serser rak watwarin, enot
hiru rafau.
Edbo dedan watwarin enwar ni hoan kotafler entub ni rein raan ma, tomat lian erdenar hiru erdok
erhol tom watwarin ni rein raan.
Rat hires ni hoan yanan bissa erdok erfarnehe rehe bo, nutun dedan erdok ma, erit hira waid, bail
erdenar wat tomat wior. Emer wel erit bail kotafler entub.
Erhorak wuk watwarin ma, bail endok enmoan at.
Edbo rat enot ni adil. Enuuk ni parintah bissa fo erba erraat aturan Eiwav naa ohoi leen ain. Fel he
tomat bissa erba. Watwarin wel enba wuk. Rat hoan enweangi enba wuk bo, endook enkafunin
rahan raan, endok ankaneak kotafler i.

Sar tomtom labo! – hir erba wail rak, ko wat i enit kotafler enlok ni boban ma, enreet bisa
bokbokli, antai ni sarwaw, ni sepat, enhoar ni rawit jas, nakroe ni toppi, ah! Ni bakbakean mas
famehewat. Entai ni ledyaran ma nafla.
Eidbo enho leen ser rak ohoi, tomat kot erdok natmean na met ratan i, erit lain. Hir refla, erhotul:
Hira lai ain enma wel rak he!
Tomat lai bissa erdok ertiwa ersikar, ersoi be, erbobar; ertalik rehe fo erba erliik.
Edbo kotafler enho rak ohoi wahan, enkeet bissa rak ni lenjaran, endir entiok wat hir.

133
Tomat erbobar, erliik kot i wown Duad nabi, ertaha bissa bukmam maneran bokli: naan narnar, isu
mel enhov isu mari.
Bail kotafler nafen enmam afa.
Edbo famur watwarin enot wuk bukmam sisian: naan kolkol, isu watan ma, entam rehe fo enmam.
Tomat engled erkai erfikir afa wown i waid, ernar: Duad nabi amsob o. Umat bissa bukmam bok-
bok ummam, o mufeen wat mehe, bukmam sisian falbe wak omtarim?
Ma kotafler endok enmam wat, entai wel ni ledyaran ma, nefla-il.
Rat wuk enhov ni parinta bissa nefla il wuk ni ohoi.

Sar tom-tom labo! – Kotafler enho lain ma, enlok wel ni bakean bok-bok enhauk entai wel
ni biboen ma, biboen enit waid rak. Omakai, rat hoan enit kot enreet bail i, entai ni ledyaran, enit ni
biboen entub kafnut raan, na rehe mele, enreek wat, entev lawur bissa, enwaruk na tahit.
Edbo kotafler endok enrama-hikhauk ni biboen ma, enit waid. Entub wat enroon ni biboen, ni ulin
nangne nerdidin bissa mele, wukun emat he.
Edbo rat hoan enbobar ma, enwaik lam enreek lam wahan nanluruk kotafler i.
Hob endok enot wat, rat enhov ni parinta bisssa enil wuk ohoi. Hir bissa wel erwaik lam fo aroan
nanluruk kot i. Erluruk namris, kot enwait ma, endok ngit fo umat.
Edbo famur rat yanan hir bissa erhauk kotafler fo hoan, ne watwarin nanar: waid he, lain imis bisa
imsalngit i, yau miski hoang liklak wel te utarim rehe. Fel he enil rak fo tamat bok-bok, yaau ames
amfau amnanat rak, Duad enkai rak, hira enwir-hitil naa rak waid.
Tom en rak he.

134
20
SI MISKIN

Dan beginilah ceritanya!


Pernah ada seorang raja besar. Kampungnya di pesisir laut, tetapi sejumlah rakyatnya,
dan juga seorang miskin, tinggal di pegunungan.83
Raja itu membangun sebuah kapal. Ketika kapal sudah siap, ia mengutus seorang ke
pegunungan untuk memberitahukan kepada si miskin bahwa ia harus turun dari gunung, karena
dia mau dijadikannya kapten pada kapal itu.
Si miskin enggan menerima tugas itu, tetapi raja mendesak terus, sehingga akhirnya ia
setuju.
Si miskin berkata: “Kalau memang harus terjadi begitu, maka aku pun ingin meminta
sesuatu”.
Raja berkata: “Minta apa pun juga, silakan sebutkan”.
Lalu si miskin minta sebagai awak kapal tujuh bayi kecil lengkap dengan ketujuh kain
lampinnya dan juga tujuh tempurung dengan minuman.
Si miskin bertolak dan berlayar jauh dan makin jauh, jauh sekali, sampai ketujuh bayi itu
sudah menjadi besar. Lalu ia berlabuh pada sebuah pulau yang namanya tanah kuningan.
Di pulau itu segala-galanya dibuat dari kuningan. Ia menurunkan sauh dan turun ke darat.
Para penduduk berkata: “Kalau bapak mau muat kuningan, silakan ambil sesuka hatimu”.
Maka si miskin berkata kepada orang-orangnya: “Segala yang kamu pikul di punggung,
menjadi milikmu; segala yang kamu hela atau jinjing, menjadi hak raja”.
Dan beginilah ceritanya! – Ia melanjutkan pelayarannya, sampai ia mencapai sebuah
pulau yang namanya tanah perak. Di pulau itu segala-galanya dibuat dari perak.
Si miskin membawa sedikit kuningan untuk membeli perak.
Para penduduk berkata: “Jangan, mari jangan kita berdagang, melainkan saling memberi
hadiah; bapak sudah memberi kami kuningan, bapak boleh ambil perak sesuka hatimu”.
Maka si miskin berkata kepada orang-orangnya: “Segala yang kamu pikul di punggung,
menjadi milikmu; segala yang kamu hela atau jinjing, menjadi hak raja”.
Dan beginilah ceritanya! – Ia mengangkat sauh dan melanjutkan pelayarannya. Beberapa
waktu kemudian ia sampai sebuah negeri yanga namanya tanah emas.
Tanah itu – aduh! – seluruhnya berwarna kuning: segalanya dibuat dari emas murni. Si
miskin naik lagi ke darat dan membawa sebagian peraknya untuk membeli emas.
Tetapi para penduduk berkata: “Jangan, mari jangan kita berdagang, melainkan hanya
saling memberi hadiah; bapak sudah memberi kami perak, sekarang bapak boleh ambil emas
sesuka hatimu”.

83Hampir semua kampung di Kei letaknya di pantai laut. Kadang-kadang orang-orang yang tinggal di
pedalaman diremehkan seakan-akan mereka adalah orang hutan yang ketinggalan.

135
Si miskin berkata lagi kepada orang-orangnya: “Segala emas yang kamu pikul di
punggung, menjadi milikmu; tetapi segala yang kamu hela atau jinjing, menjadi hak raja”.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika si miskin telah memuat kapalnya penuh dengan emas,
ia membentangkan layar lagi dan melanjutkan pelayarannya.
Beberapa waktu kemudian ia sampai suatu negeri yang namanya tanah tukang. Di negeri
ini semua penduduk adalah orang tukang.
Si miskin naik ke darat dan bertanya kepada seorang tukang: “Kalau aku tugaskan bapak
dengan suatu karya, maka bersedialah bapak untuk mengerjakannya?”
Tukang itu menjawab: “Tergantunglah; mohon ceritakan dulu apa karyanya”.
Si miskin berkata: “Membuat seluruh kapalku menjadi emas, bapak sanggupkah?”
Sahut tukang itu: “Benar, aku sanggup membuat itu”.
Ia memborong pekerjaan itu dan tiga bulan sesudahnya, sudah siaplah kapal emas itu.
Dan ketika sudah siap, si miskin mau pulang ke negerinya.
Kata tukang itu: “Awas, nanti waktu berlayar, jangan terlalu rapat pada tanjung di sana.
Kalau terlalu dekat, kamu semua akan mati. Maklumlah, di bawah batu karang yang miring itu
terdapat sarang seekor ular raksasa.
Akan tetapi si miskin tidak menghiraukannya. Ia berlayar melewati tanjung itu dan sama
sekali tidak melihat seekor ular raksasa. Malahan ia naik ke darat dan ia sampai sebuah kampung
yang penduduk-penduduknya hanya perempuan melulu. Adapun yang laki-laki hanya beberapa
orang tua-tua yang bodoh dan sudah usang. Di situ ia pun bertemu dengan seorang perempuan
yang namanya Butri. Ia bertanya kepadanya: “Di mana tinggallah ular raksasa itu?”
Jawab Butri: “Ular raksasa itu sudah berubah menjadi seorang manusia dan dia
sementara ke luar untuk urusan adat; lusa ia pulang”.
Si miskin minta dia juga air untuk diminum. Butri membawa sebuah siput penuh air dan
menyerahkannya kepadanya.
Si miskin terima siput itu, tetapi dengan serta merta memegang juga tangan Butri dan
minta kepadanya: “Maukah engkau menjadi isteriku?”
Butri menjawab: “Aku suka sekali, tetapi jika engkau membawa pribadiku pergi, maka
akan dimaklumi oleh seluruh kampung, dan itu dapat menyebabkan susah bagi kita; tetapi
tunggu, aku akan memberi sebutir telur kepadamu”.
Lalu Butri masuk rumahnya, mengunci pintu dan tinggal tersembunyi di dalam. Ia
berubah menjadi sebutir telur. Si miskin angkat telur itu dan cepat kembali ke kapalnya. Di sana
ia menyembunyikan telur itu dalam sebuah peti, lalu ia membentangkan layar dan bertolak.
Dan begini ceritanya! – Ketika kapal itu dalam pelayaran, telur itu berubah kembali
menjadi seorang manusia.
Dua hari kemudian pulanglah ular raksasa beserta isterinya. Sesudah dia berada di sana
selama beberapa waktu, ia belum juga melihat Butri; pikirnya: “Mungkin dia ada di dalam
kamarnya dan ia berseru: “Héé! Butri! Bawa air supaya aku minum!”
Tidak ada jawaban. Ia mencari di seluruh rumah, namun tidak menemukan Butri. Ia
bertanya kepada orang lain: “Di mana Butri gerangan?”
Tiada orang yang tahu.
Ia bertanya lagi: “Mungkin ada orang datang ke kampung di sini?”

136
Mereka menjawab: “Ya, si miskin telah datang di sini”.
Maka sudah jelas baginya: “Tentu saja si miskin telah menculik dia”.
Dan ular raksasa itu meledak dalam amarah besar, bagian-dalam badannya mendidih, dia
berdiri tegak bagaikan sebuah tiang kapal. Ia melihat kapal si miskin yang sementara berlayar di
kejauhan; dia meloncat masuk laut dan merenang menyusul kapal itu. Seraya terlentang di laut,
ia mirip dengan sebuah pulau.
Ketika si miskin melihat dia, dia amat terkejut dan berseru: “Aduhai, habislah kita!”
Ular itu sudah membuka moncongnya dan sudah sangat dekat. Lalu Butri bertanya:
“Apakah engkau membawa gaba-gaba?”
Si miskin menjawab: “Bawa”.
Butri berkata: :Mari, berilah kepadaku”.
Dia mengangkat gaba-gaba itu dan membuangnya di laut. Gaba-gaba itu berubah menjadi
seekor ikan paus dan mulai bertempur dengan ular itu; mereka bergulat, ikan paus itu
menyembur air ke udara, laut itu mendidih, namun akhirnya ia dikalahkan dan dibunuh oleh ular
itu.
Ular itu mengejar mereka lagi dan Butri bertanya: “Apakah engkau membawa tangkai
kelapa?”
Jawab si miskin: “Bawa”.
Butri membuang sebuah tangkai kelapa di laut, dan tangkai itu berubah menjadi seekor
buaya. Buaya itu menyerang ular itu dan berdua bertempur di laut, tetapi akhirnya buaya pun
dibunuh oleh ular itu.
Ketika ular sudah lagi datang mendekat, Butri bertanya: “Apakah engkau membawa
tempurung-tempurung?”
Sahut si miskin: “Bawa”.
Butri membuang sebuah tempurung di laut dan ini berubah menjadi seekor polip. Empat
dari lengan penangkap memegang ular itu pada bagian atas, pada kepalanya, dan empat
memegangnya pada bagian bawah. Ular tidak bisa lagi membuka moncongnya. Tetapi akhirnya
dengan mengerahkan segala tenaganya, ia mencabik polip itu dan mengejar lagi kapal itu.
Dia sudah mendekat lagi dan membuka lebar-lebar moncongnya untuk mencaplok kapal
itu. Pada saat itu Butri mengambil jamur dengan minyak, melemparkannya ke dalam moncong
ular itu dan menyalakannya. Minyak dengan jamur itu menyala tinggi, dan api itu membunuh ular
itu.
Maka akhirnya mereka aman lagi dan melanjutkan pelayarannya.
Dan beginilah ceritanya! – Pagi-pagi buta mereka mendekati kampung mereka. Kapal
emas itu menyala merah dalam sinar matahari. Raja sendiri datang menonton, tetapi ia tidak
mengenal kembali kapalnya sendiri.
Ketika si miskin telah jatuhkan sauh, Butri kembali mengubahkan dirinya menjadi sebutir
telur. Si miskin menyembunyikan telur itu di dalam petinya.
Ketika ia sampai di darat, ia terlebih dahulu naik lereng menuju rumahnya untuk
membawa petinya ke situ. Sesudahnya baru ia pergi ke rumah raja dan berkata: “Bapak raja,
Bapak telah mengangkat aku menjadi kapten pada kapalmu. Nah, kapal sudah kembali, dan jika
berkenan, mohon Bapak datang meninjau apakah semuanya menurut kehendakmu tidaknya”.

137
Jawab raja: “Engkau hanyalah kapten pada sebuah kapal milikku; entah baik atau tidak
baik, itu menjadi tanggunganku”. Tetapi ketika raja datang untuk meninjau dan melihat bahwa
kapalnya terdiri atas emas murni, dia sangat bergembira karenanya.
Pada malam itu Butri berubah lagi menjadi seorang manusia dan ia tinggal bersama
dengan si miskin. Tetapi hamba-hamba raja mengintai mereka dan kaget ketika mereka melihat
Butri.
Pagi hari mereka pergi memberitahukannya kepada raja: “Aduh! Kami telah melihat isteri
si miskin; aduh! aduh! aduh! Pantaslah kami semua malu tersipu-sipu; para isteri dan ibu-ibu
kami hanyalah budak-budak yang hina dibandingkan dengan isteri si miskin; agaknya hanya dia
sendirian dari kasta-tinggi. Wajahnya putih bagaikan kertas; rambut yang berombak itu begitu
panjang… Kami tidak berani memandang dia, mata kami silau karenanya.
Dan beginilah ceritanya! – Hati raja terbakar karena cemburu akan si miskin lantaran
isterinya itu; ia mau memperdayakan dia dan berpura-pura sakit perut. Ia menyuruh si miskin
untuk pergi mencari obat herbal yang terdapat dalam gua yang dalam, yang penuh bermacam-
macam ular berbisa.
Si miskin pulang dan duduk tersedan-sedan.
Tanya Butri: “Kenapa duduk murung-murung begitu?”
Si miskin menjawab: “Ah, Butri, hari ini aku harus mati. Raja menyuruh aku pergi mencari
obat herbal di gua di sana. Siapa gerangan dapat menghadapi itu?”
Butri berkata: “Jangan takut, pergi saja, bawalah saja cincin jariku dan engkau akan dapat
menunaikan tugas itu dengan mudah”.
Si miskin terima cincin dari Butri dan pergi mengambil obat herbal itu; ternyata mudah
sekali dan ia membawanya kepada raja.
Raja marah karena ternyata si miskin masih hidup; dia memikirkan tipu daya lain dan
berkata: “Obat yang baru saja kauambil tidak membawa hasil; cari obat lain!”
Si miskin menjawab: “Bapak raja, cukuplah Bapak memberi perintah saja dan aku akan
mencarinya”.
Raja berkata: “Ada sebuah pohon yang tidak mempunyai cabang-cabang dan yang begitu
tinggi sehingga ia mengena awan-awan. Panjatkan pohon itu dan petiklah suatu jenis obat herbal
yang bertumbuh di puncak pohon itu”.
Butri berkata kepada suaminya: “Jangan takut, ambil lagi cincinku; tetapi pada saat
memanjat pohon itu, jagalah supaya jangan memandang ke bawah, arahkan pandangan hanya ke
atas. Sebab di puncak gunung itu berdiamlah roh dari seorang adik perempuanku; jika engkau
menunjukkan kepadanya cincinku, dia akan senyum kepadamu dan memberi engkau obat itu”.
Si miskin memanjat naik pohon itu dan mengangkat tinggi-tinggi cincin itu. Ia melihat
seorang perempuan yang sangat cantik; ketika dia mengenal kembali cincin kakaknya, ia senyum
kepada si miskin.
Si miskin bertanya kepadanya: “Aku amat mengasihi dikau, apakah engkau mengasihi aku
juga?”
Perempuan itu menjawab: “Engkau sudah mengawini kakakku; alangkah baiknya engkau
mengambil kami berdua menjadi isterimu”.
Ia menyerahkan obat itu kepada si miskin dan melompat dari tempat tinggi itu sampai ke
tanah. Si miskin pun turun dari pohon dengan membawa obat untuk raja.

138
Dan beginilah cerita! – Pada malam hari para utusan raja mengintai lagi si miskin; kali ini
mereka melihat juga adik perempuan Butri, yang tidak kalah kecantikannya.
Pagi-pagi buta mereka pergi memberitahukan hal ini kepada raja: “Aduh, dengarlah, si
miskin kini beristeri dua orang perempuan yang begitu cantik; kami semua amat malu: apa
gerangan harus kami perbuat?”
Raja pun amat cemburu kepada si miskin.
Nah, semua rakyatnya, laki-laki dan perempuan, menggali sebuah perigi yang amat dalam,
dan memperkuatnya itu dengan batu-batu; perigi itu begitu dalam sehingga dasar pun tidak dapat
dilihat.
Lalu raja memberi perintah ini kepada si miskin: “Aku tidak tertolong dengan obat yang
baru-baru diambil. Ambil obat lain dari dalam perigi itu; selamilah ke bawah air dan carilah”.
Si miskin pulang ke rumahnya dan sambil menangis ia melapor kepada kedua isterinya:
“Sesudah hari ini kita tidak akan berjumpa lagi”.
Tetapi si adik berkata: “Pasti berjumpa! Kita akan berhasil asal engkau membawa
cincinku. Orang akan mengikat seutas tali dan sebuah batu besar pada tubuhmu; lalu mereka akan
berkata: ‘Nah, selamilah’, tetapi itu penipuan belaka; mereka mau menenggelamkan engkau;
tetapi pada saat mereka melepaskan atau memotong tali itu, mulailah langsung menggali di dasar
perigi”.
Semua orang kampung itu mengikat pinggangnya dengan seutas tali panjang dan sebuah
batu berat, lalu menurunkan dia ke dalam perigi itu.
Ketika si miskin itu sudah diturunkan ke dalam perigi itu, mereka melepaskan tali itu dan
melempar batu-batu besar ke dalam perigi itu untuk membunuh si miskin, hingga perigi
tertimbuni sampai penuh.
Lalu orang berpikir: “Sekarang tentu saja si miskin mati. Mereka semua mulai memukul
genderang dan menari dan merayakan pesta selama seminggu. Raja mentraktir rakyatnya karena
sekarang ia akan mengawini kedua puteri itu.
Dan beginilah ceritanya! – Setelah orang melepaskan tali, si miskin mulai menggali di
dasar, bahkan begitu lama sehingga ia akhirnya sampai dekat sebuah kampung.
Sementara ia duduk di situ, dekat sumur, ia melihat dua orang perempuan datang; mereka
memikul periuk-periuk untuk timba air. Ia bertanya kepada mereka: “Kalian ke mana?”
Mereka menjawab: “Kami akan menimba air untuk memasak obat-obatan”.
Ia bertanya kepada mereka: “Untuk apa kamu mau memasak obat itu?”
Sahut mereka: “Untuk membunuh seorang perempuan yang hamil; dia sakit beranak,
tetapi tidak dapat melahirkan anaknya. Adat nujum menetapkan bahwa kami harus membunuh
dia untuk mengambil anak itu dari rahimnya, supaya anak itu hidup”.84
Si miskin berkata: “Jangan tergesa-gesa membunuh ibu itu; aku akan memberikan obat
kepadanya dan menyelamatkan baik ibu dan anak itu”.

84Pandangan ini menyimpang dari pendapat orang Kei. Kebiasaan di Kei ialah bahwa seorang perempuan
hamil yang dalam bahaya maut, harus dibunuh untuk menghindarkan bahwa ia akan menjadi seorang
suangi yang akan membahayakan kehidupan orang sekitarnya.

139
Jawablah kedua perempuan itu: “Kami mohon kepadamu, jika Bapak sanggup membuat
itu, Bapak tidak akan berangkat dengan tangan kosong, sebaliknya, kami akan membalas jasa
Bapak dengan limpah”.
Maka mereka pergi ke kampung; si miskin siapkan obatnya, menggosok perut ibu dengan
obat itu dan muncullah anak itu, dan ibu dan anak tetap hidup dua-duanya.
Para penduduk kampung berkata: “Amat besarlah jasa Bapak untuk kami; mohon Bapak
melihat keliling di kampung kami apakah ada sesuatu yang Bapak butuhkan, lalu kami akan
memberikannya kepada Bapak sebagai balas jasa”.
Si miskin menjawab: “Aku tidak butuhkan imbalan; aku telah membantu kamu, sekarang
aku mohon kamu membantu aku dengan menunjuk jalan yang harus kutempuh untuk pulang ke
kampungku”.
Lalu semua orang dari seluruh kampung mengantar si miskin ke luar untuk kembali ke
kampungnya sendiri: para perempuan di depan, kaum laki-laki di belakang. Ketika mereka
mendekati kampung, terdengarlah bunyi genderang dan lagu-lagu dari khalayak ramai yang
sedang menari.
Sesampai di kampung, ternyata kampung, yang letaknya di pesisir laut, kosong total. Raja
bersama seluruh rakyatnya telah mendaki bukit dan merayakan pesta dalam rumah si miskin.
Di situ pun duduklah raja di samping kedua puteri, tetapi mereka belum kawin.
Ketika si miskin melihat itu, ia memberontak dengan seluruh dirinya dan ia amat marah.
Ketika raja dan rakyatnya melihat si miskin itu datang, mereka tinggal berdiri di situ
dengan malu dan terkejut.
Si miskin melangkah maju menuju mereka dan berkata: “Raja, sudah cukuplah
permainanmu dengan aku; sekarang giliranku!”
Begitu saja kata-katanya dan seluruh kumpulan orang lari tercerai-berai.
Si miskin dan kedua puteri itu lalu berdoa selama tiga hari.85 Sesudah tiga hari itu raja dan
semua penganutnya telah mati.
Sesudah itu si miskin hidup dalam damai bersama kedua puteri itu.
Di sini berakhirlah kisah ini.

--------------------------

Sar tomtom labo! – Rat lai ain, ni ohoi endok kwok tahait, bail ni umat woho, enhov ko kasian
ain wuk erdok ilun rat.
Eidbo rat i endok endad ni habo. Habo ajat wail ruk, i ensib hira ain enrat ilun roi, enher ko
kasian ensu, foe nut i enkod na ni habo.
Ko kasian enbobar bo, ma rat nanar-daang wat, feli enturun rehe.
Ko kasian i nanar: Bet fel en he, yaau uhauk wuk uher afa.
Rat nanar: Afa te afa, umnar.
Feli ko kasian enher fo ni mantros nah abo I kakahai ainfit, enhov rir kafnuut ainfit enhov taw
aron ainfit.

85 Di sini pun nyatalah pengaruh agama Islam, karena orang Kei yang kafir tidak mengenal hari-hari doa.

140
Eidbo ko kassian nefla. Nefla amnanat sus, famehe kakahai ermel bisa fo lai ruk. I bo entaha-
ken ruk ohoi ain, meman ohoi bis.
Na ohoi i bis famehe wat. Feli enhilik ahor, entubur nangan.
Tomat ohoi duan eranar: Bir suk, imlon wuk bis woho, imtaha norang bir suksuk wat.
Feli ko kasian nanar we ni umat: Afafa bisa imwav, imbir; imtud te imwiwit, rat ni.
Sar tomtom labo! – Nefla wel famehe enho wel ohoi ain, meman ohoi perah. Na ohoi i afa bisa
perah.
Ohoi duan ernar: wahid, itut dagam wahid, itefjan wat, imtu ruk bis wer am, fel-ak i perah afa
bir suk, imtaha wat norang wat bir suksuk.
Fel en he ko kasian nanar we ni umat: Afafa imwar, imbir; afa imtud te imwivit, rat ni.
Sar tomtom labo! – Enfair wel ahor, nefla wel. Amnanat wel odan enho ohoi ain meman ohoi sak
mas.
Ohoi i, dede! Endok wulwul wat, afafa bisa mas bokbok famehe wat. Ko kasian entubur wel
nangan, enreek wel ni woho nanfaha mas wul-wul.
Eidbo ohoi duan ernar: Wahid, itut dagam wahid-ak te, bail itut wat aturan Eiwav. Imtu ruk
perah wer am, im wel te imtaha wat mas ental bir suksuk.
Eidbo ko kasian ensib wel ni umat bisa: Mas imwav, imbir; imtud te imwiwit, rat ini.
Sar tomtom labo! – Enmuwat ruk mas famehe habo ran, ko kasian ensak wel lar, nefla wel.
Amnanat wel odan enho wel ohoi ain, meman ohoi tukan. Na ohoi i tomat bisa tukan femehe
wat.
Ko kasian entubur wuk nangan, enhorak tomat tukan ain: Yaau uher o fo umdad ning urat ain,
umtarim wuk te wahid?
Tukan i nanar: Utarim te bebe, umnar wak.
Ko kasian nanar: Umat ning habo bisa mas wat, umras mu bran wuk te wahid?
Tukan i nanar: ning brang wuk.
I enmengak bo, na wuan til habo mas ajad bisa ruk. Ajad bisa ruk, ko kasian enhauk nefla-il vel
fo ni ohoi.
Tomat tukan i nanar: Batang, umfareit wahid lair tutu kas’roi; imho sir, immit bisa he: imkai,
tut wowan i rubai laiten ain ni ohoi.
Eidbo ko kasian enfanak wuk waid, nefla-jal ruk lair, enit rubai waid. Feli entubur wuk nangan,
enho ohoi ain, tomat wat famehe wat, berbran bail sisian ain te ru wat. Enit wuk ko wat ain meman
Butri, enhorak: Rubai lai ibe?
Butri nanar: Rubai enil ruk fo umat, enba enut aturan Aiwav, rafru wak enil.
Eidbo ko kasian enhar wel wer i nin. Butri entaha selin ain endo, entanan we ko kasian.
Ko kasian na jer, entaha-bas wuk Butri liman, enhorak: Matak mu suk wuk yaau hong o te?
Butri nanar: Ning suk wuk, betne umtaha ning arumun, tomat ohoi ratut bisa erkai, sus, umtuk
ua mantilur watu umtam.
Eidbo Butri enil-rat ni rahan ma, entuwang fid, endok enfakwunin rain raan. Enil fo mantilur.
Ko kasian na rehe, neslan enil ni habo, enfakwunin mantilur i na kler raan, ensak lar ma, nefla.
Sar tomtom labo! Habo nefla ruk bo, mantilur enil ruk fo umat.
I bo de ru ruk rubai lai hirru ni hon eril ruk rir ohoi. Erdok amnanat ruk odan, enit Butri waid,
enfangnan: Matak endok rain raan ma, enwo: Butri ya, ma wer yauu uin.
Hira enhawa waid.
Ensik bisa rahan, enit Butri waid Enhorak wel tomat leen: Butri enho wuk ohoi i?
Hir ernar: Ko kasian enho wuk.
Fel en he enfangnan-ken ruk: Tunanli, ko kasian enbor.
Eidbo rubai lai i raan sian laili rehe, ni iwun nefruak rehe, endir nabnair fel afler. Enit habo ko
kasian ni nefla ruk roro roi ma, enhoksu tahit, nanang wat norang, entub laili, beil nuhu yanat ain.
I bo ko kasian en it wuk ma, en bubar, nenar: dedo, it mat rak he. Rubai enlang rak wovan, en
ma serser li rak he. Butri en hurak: kabar naa te waid?
Ko kasian nenar: naa he.
Butri nenar: Mna en dat

141
Ed bo rna kabar envatuk su tahit. Kabar en il fo lor-ngurwan, hir ru rkaftal, rkaslebak, lor-
ngurwan en loi nekfinur wat, tahit enluur ma, mangmang rubai enrehe i ma, nmat.
Ed bo rubai enlan wal hir, Butri enhurak: Tanglaman naa te waid?
Ko kasian nenar: naa he.
Butri envatuk wal tanglaman nsu tahit en il fo uwe. Edbo uwe entaha kuuk rubai, hir ru rkaftal
wal naa tahit raan ma, mangmang rubai en fidan wuk uwe.
Rubai enho ser vilak, Butri enhurak wal: il naa te waid?
Ko kasian nenar: naa he.
Butri en vatuk su tahit il wuk, en il fo krit. Edbo krit ni fakir enfak rtaha kuuk rubai uun naa
rattan, enfak wal naa tinan. Rubai enlang wovan na waid rak, famehe mangmang wal udan enreek
ni kovat, en wer viak rehe krit ma en lan wal habo.
En ma serser rak, enlang wal rak wovan, matak enlubuk rak habo. I bo Butri ntaha barit enhov
ngu nvatuk su rubai nguen raan, en tev wal yaf na’a. Barit enhov ngu en urun laai li, en ot rubai
nmat.
Fel’i rir senang rak, hir refla wal.
Sar tomtom labo!—Rewitun hir rma serser rak rir ohoi. Ler ntal habo vul-vul wat. Rat val te en
it habo en ma en efken fo i ni waid rak.
Ed bo, Ko kasian enhilik bisa rak ahor, Butri en il val fo mantilur. Ko kasian en kawunin i naa ni
kud raan.
Entubur nangan, en leen enba sluruk ti enrat ni rahan ilun ratan, envar rat ni kud. Fomur wal
entubur su rat ni rahan, nenar: Rat, om’ot yaau ankod na mu habo la bo, fel ed he habo en il rak, o
mu suk, o mbua su mliik habo bok te sian te belah.
Rat nenar: O ankod naa habo yaau ning, en il bok te ning en il sian te ning. Ed bo rat en su en ba
nliik habo, en it habo mas famehe wat i ni mayuun li.
Dedan Butri en il wal fo umat ma, hir ru Ko kasian ertub. Bail Rat ni umat erdok er kaneak. Ed
bo er it Butri hir rastanuk rehe. Smermer hir bas u rhol tul ve teran Rat: Yow! Am it ko kasian ni
hoan ain, ah!ah!ah! am fikir am mehe bisa laai li: renab hob am bisa i’ri sisian, ko kasian mehe ni
hoan mel-mel tunan. Ni wahan matan endok bail rkas; morlain ablot, am bubar mliik, matab am
nesbubar.
Sar tomtom la bo!-- Rat nefngahir laai li ko kasian ni hoan ma, en ot ni adil, en weang ni ivun
suhut. I nesno ko kasian en hauk ni eroan naa vaan ngelaman li ain, har, rubai sisian bisa rir wai.
Ko kasian en il rat ni rahan, endok wahan aleman wat.
Butri nenar: O mdok raam sus aka bail i?
Ko kasian nenar: Butri, O mkai, yaau ler i u mat rak he: Rat nesno U ba U hauk eroan naa vaan
ran i, mangbe dunyai bisa ni tahan?
Butri nenar: O mbubar wahid, o mbwa rehe, bail o mtaha ning tantan I, o m’ot naa vat, enhan
wat.
Ed bo ko kasian entaha Butri ni tantan, enhauk eroan, en ot naa vat, en taha su ve teran Rat.
13. Ed bo Rat raan sian ko kasian en vait, en taba weang wal nenar: eroan o mhauk leran I, en
tok waid mele, o mhauk lian wal.
Ko kasian nenar: Rat nesno wat, u ba u hauk.
Rat nenar: Ai ain ulin wat, karatat li enba sun tut naa matam, rat o mseb, o mhauk eroan ain,
entub rattan.
Butri nenar wal ve ni hoan: o mbubar wahid, o mtaha val ning tantan, o mseb rat, batang o
mtumur wahid, bail o mtekdat wat. O mkai ning warin ain ni ngmaan endok ai ratan I; o mturuk
tantan ver i, en malit ver o, na eroan o mtaha.
Ed bo, ko kasian en seb rat, en sak tantan. En it walk o vat bok li ain, en efken tantan ni aan ni,
en malit wat.

142
Ko kasian enhurak i: yaau ning suk li o he; o mu o mu suk wuk yaau tee d he?
En wat i nenar: o mtaha rak aang fo hoam bo, meski o mtaha am ru bisa.
Ed bo entanang eroan ve ko kasian i, enhov ental wuswus en ohok su tanat. Ko kasian en seb su
wuk, entaha wal eroan enteuk teran rat.
Sar tomtom la bo!—Dedan rat ni parint erdok rkeneak walk o kasian i he. Erkeneak ma, er it
wal Butri ni warin vuk, felan bokbokli, wawun vuk ni aan.
Revitun erhol ver rat: ah! Ko kasian ni hoan bokli enru rak mele: it meak laai lib o, it ot falbe oh?
Rat wal te nefngahir laai li vel ko kasian i.
Ed bo ni parint vatvat beranran bisa erker wear ain ngalaman li enhov ertut bisa wat naa
wahan, hira en it tanat naa tinan waid rak.
I bo rat nesno vel ko kasian, nenar: eroan leran I la, en tok waid mele, o mhauk lian wal naa
wear raan i, mus ew na wear raan o mliik hauk.
Ko kasian en il rat ni rahan, en roon, nenar ve ni hoan enru bisa: Ler i, ain en it ain waid rak.
Ed bo, en warin nenar: waid, yaau ning bran; o mtaha wat ning tantan. O mkai mang ertev warat
na erumum e rot val vat laai watu naa, ernar: fel en he o mus ew naa vat, hir erweang, erhauk wat
erluduk o he; bet ne hir ertalik te erhitil warat, o mreek mu kuwat, um afat tanat.
Ed bo tomat ohoi ratut bisa ertev warat laai naa ko kasian towan, enhov erkeat warat laai naa
er reet en su wear raan i.
Ko kasian ensu rak wear raan I, ertaha talik rehe warat, ertev bisa vat laai nanfidan ko kasian
i, famehe er ot bisa wear fo reen.
Fel en he hir er fangnan: ler i ko kasian enmat tunan li rak. Ed bo hir bisa rdok ersubihan, e rot
rir vuam ar laai, erdad kanimun; rat enmirrin, I nfaw Butri hir ru bisa.
16. Sar tomtom la bo!—Ko kasian i tomat ertaha talik warat en afat tanat bo, en afat viak rehe
ma, en dok leen ser wuk ohoi ain.
Ed bo ko kasian en dok den i, wear ratan i, en it ko war enru ental ohoi enrat, ervar ni ub, fo rlaik
wear. I enhurak: im bya be?
Hir ernar: am laik wear fo am vaik eroan.
I nenar: im vaik eroan fo aka?
Hir ernar: eroan fo am fidan kovat ain, ivun rak, tetan suhut rak bo, ma ni saftet wat entofol na
waid. Feldan i nesno rak am fidan wat i, fo amsiik ivun fo laan kot I envait.
Ko kasian nenar: batang muslaan mfidan kovat i waid: u ot eroan na u fangvaik hir ru bisa, ning
bran wuk he.
Kovat hir ernar: U sob o, um ot naa, o vus vuk waid, am kai am reeng wuk o.
Ed bo hir rba su ohoi, ko kasian i en ot ni eroan, en sor kovat ni ivun ni kakahai envusak, renan
enhov ni yanan kot bisa ervait.
Tomat ohoi duan ernar: o m’ot am bok lib o, fel I o mliik afa te afa mu suk na mam ohoi, um tam
wat fo rereyang.
17. Ko kasian nenar: rereyang entub wahin I, u tuung im bo im tuung wal yaau, im turuk ded fo
u il ning ohoi. Fel i tomat ohoi ratut bisa erdoeak ko kasian en il ni ohoi, vatvat naa u branbran naa
mur. Hir erho lean ser rak ohoi, hir rdenar rak tiva ngoan, tomat ersikar, ersoi been.
Hir er ti rak ohoi, ohoi endok wirin, i vus. Rat enhov ni parint bisa er rat ilun ratan, er ot ni
rumnien lain a ko kasian ni rahan.
Rat hires Butri erdok, bail rfau na fob.
Ko kasian en it, ivun nevreak, raan sian laai li.
Rat enhov ni umat bisa er it walk o kasian en wusak, rdok bisa vuan ensinan wat, erbubar.
Ko kasian en ho ti nenar: Rat o he, um adir yaau yoan rak, tek yaau adir wal o.
I nenar bail i, tomat vangled refla wirwaruk bisa.

143
Ko kasian hires Butri hir ru erdok resbur leran entel. Na leran entel i rat enhov ni umat bisa
ermat.
Ko kasian enhov ni Butri enru fomur erdok rir senang wat.
Tom wahan nak i.

144
21
MANUSIA SETENGAH

Dan beginilah ceritanya!


Pada suatu hari ada seorang perempuan yang mau mengeringkan kacang hijau dan
buncis.
Ketika dia sudah meletakkannya pada nyiru, ia membawanya ke luar untuk menjadi
kering.
Baru saja ia membawanya ke luar, mulailah hujan turun.
Maka cepat dimasukkannya lagi nyiru-nyiru itu, tetapi begitu dimasukkannya, matahari
bersinar kembali.
Dia membawa nyiru-nyiru itu ke luar lagi, tetapi baru saja semuanya itu ada di luar, hujan
mulai turun lagi. Dia merasa jengkel dan membawa masuk lagi nyiru-nyirunya.
Ketika semuanya telah dimasukkannya, matahari bersinar lagi dan dia bersungut,
katanya: “Astaga! Rupanya hari ini Tuhan mau membagi atas dua bagian seorang manusia!”
Lagi ia membawa ke luar nyiru-nyirunya untuk mengeringkan buncis dan kacang hijau,
tetapi baru saja ia meletakkan semua itu, lalu terjadi hujan lebat.
Sekarang dia sudah marah sekali dan bersungut, katanya: “Ya Tuhanku! Sungguh maukah
engkau pada hari ini membelah seorang manusia menjadi dua?”
Dia membawa masuk lagi nyiru-nyirunya, dan segera berhentilah hujan. Tetapi saat itu
dia seperti mau jadi gila dan ia berkata: “Cukup sudah! Rupanya hari ini Tuhan mau membagi-
dua seorang manusia”.
Dan beginlah ceritanya!
Tak lama kemudian ibu itu melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi dia cuma manusia-
setengah: mempunyai hanya setengah wajah, satu lengan tangan dan satu kaki, setengah tubuh,
pokoknya segalanya hanya setengah. Ibu itu merasa malu karena anaknya itu cuma manusia-
setengah, maka ia menyembunyikannya dalam rumah.
Ketika anak sudah menjadi seorang bocah, maka pada suatu hari ia berkata kepada
ibunya: “Ibu, mohon kerjakanlah bagiku busur dan panah untuk memburu burung”.
Ibu itu menjawab: “Aduh! Sampai sekarang engkau belum pernah ke luar rumah; engkau
hanya setengah manusia, dan bila orang melihat engkau, maka engkau akan mereka tertawakan.
Kau mau apa dengan busur dan panah! Tidak boleh!
Tetapi Anak muda itu berkata lagi: “Aduh, Ibu, kerjakanlah sebuah busur dan panah
bagiku!”
Sahut ibunya: “Memang bisa kalau seandainya engkau seorang manusia lengkap, tetapi
engkau hanya separuh manusia; jadi sama sekali tidak bisa!”
Kata Anak muda itu: “Nah, Ibu, buatlah daku busur dan panah, maka aku akan mencari
separuhku yang lain”.

145
Maka akhirnya ibunya mengerjakan busur dan panah-panah kecil baginya, selain itu juga
sebuah tongkat untuk perjalanan dan ia sediakan juga bekal, supaya ia pergi mencari setengahnya
yang lain.
Ketika Anak muda itu pamit, ia sepakat dengan ibunya: “Kalau aku tidak bisa sampai pada
Tuhan Allah untuk meminta setengahku yang lain, maka Ibu tidak akan melihat aku lagi, hidup
atau mati; tetapi jika aku menemukan setengahku yang lain, maka aku akan kembali”.
Dan beginilah ceritanya! –Manusia-setengah itu sudah berjalan cukup jauh, seperti hingga
Satheen di sana, lalu ia sampai sebuah kampung. Salah seorang melihat dia datang dan bertanya
kepadanya: “Hai, manusia-setengah, engkau ke mana?”
Anak muda itu menjawab: “Aku pergi ke Tuhan Allah untuk meminta diberikan setengah
badanku yang lain”.
Bertanyalah bapak itu: “Kalau engkau sudah sampai pada Tuhan Allah, aku mohon engkau
minta juga sesuatu untuk aku”.
Bertanyalah dia: “Apa yang mau Bapak minta?”
Bapak itu berkata: “Begini. Terus-menerus aku harus pulang pergi untuk menimba air;
bila aku haus, air sudah habis lagi dan aku harus lagi pergi timba air, dan aku tidak ada waktu
untuk membuat apa-apa yang lain”.
Jawablah anak muda itu: “Tunggu sampai aku kembali; bila aku sudah sampai pada Allah,
aku akan bertanya kepadanya tentang itu”.
Si manusia-setengah berjalan terus dan datang lagi dalam sebuah kampung seperti Faan.
Ia melihat seorang sedang menyadap tuak, tinggi di sebatang pohon kelapa. Dia itu bertanya
kepadanya: “Hai, manusia setengah, engkau ke mana?”
Ia berkata: “Aku pergi ke tempat kediaman Tuhan Allah hendak meminta pertengahanku
yang lain”.
Berkata orang itu: “Bila engkau sudah sampai di sana, maukah engkau juga meminta
sesuatu untuk aku?”
Dia berkata: “Katakanlah, apa yang mau kauminta?”
Orang itu berkata: “Begini; aku di sini sedang menyadap tuak, tetapi tuak itu ke luar
dengan begitu perlahan-lahan, sehingga aku harus tetap tinggal di pohon dan tidak mempunyai
waktu untuk membuat apa-apa yang lain. Mohon bertanyalah apa yang harus kubuat supaya aku
mendapat kelegaan sedikit”.
Anak muda itu berkata: “Tunggu saja sampai aku kembali; bila aku sampai pada Allah,
maka akan kutanyakan”.
Ia berjalan lebih lanjut dan masih lebih lanjut lagi dan tiba di sebuah kampung seperti
Hangur. Ketika ia sampai dekat kampung itu, ada anak-anak yang melihat dia dan menertawakan
dia, seraya berteriak: “ Mari lihat, ada apa-apa yang baru: seorang yang hanya mempunyai
setengah badan!”
Anak muda itu malu dan bertanya: “Ada seorang raja di kampung ini?”
Mereka menjawab: “Ada”.
Ketika Anak muda itu masuk rumah raja, maka dia itu bertanya kepadanya: “Engkau ke
mana?”
Jawab Anak muda itu: “Aku mau pergi ke Tuhan Allah untuk meminta pertengahanku
yang lain”.

146
Maka ejeklah raja itu: “Astaga, kau manusia-setengah, bahkan anak-anak menertawakan
engkau. Apa yang mau kauperbuat pada Tuhan Allah yang agung itu?”
Sahut Anak muda itu: “Teman-temanku sudah menimbun ejekan-ejekan hingga sampai
pada Allah, dan sekarang aku mau juga pergi meminta pertengahanku yang lain. Aku tidak mau
tetap menjadi seorang aneh begini!”
Berkatalah raja: “Nah, kalau begitu, tinggallah di sini dalam rumahku, dan malam ini akan
kau melihatnya”.
Dan sungguh, pada malam hari Tuhan Allah menampakkan diri dan bertanya: “Hai
manusia setengah, apa yang mau kauminta?”
Ia menjawab: “Aku mau minta setengah badanku yang lain, karena kalau aku tetap begini,
maka tiap orang menertawakan aku, dan aku malu sekali karenanya”.
Tuhan Allah bertanya: “Bagaimana bisa terjadi bahwa engkau hanya manusia-setengah?”
Anak muda itu menjawab: “Aku tidak tahu; aku tidak tahu ke manakah setengah badanku
yang lain. Aku hanya tahu bahwa ibuku melahirkan aku dalam keadaan ini”.
Jawab Tuhan Allah: “Ya, aku tahu segalanya itu. Berbaliklah dulu, supaya aku dapat
menambahkan setengah badanmu yang lain, agar engkau menjadi lengkap. Tetapi bila engkau
sudah tiba kembali di rumah, katakanlah kepada ibumu, bahwa –jika sekali kali ia berbicara
seperti yang telah dikatakannya itu–ia akan mengalami hal yang lebih buruk pada badannya
sendiri”.
Ketika Tuhan Allah telah melengkapi manusia-setengah itu, ia bertanya: “Mungkin masih
ada sesuatu lain yang mau kausampaikan?”
Anak muda itu menjawab: “Ya, aku masih mau lagi menanyakan sesuatu”, yaitu apa yang
ditugaskan kepadanya oleh dua orang itu. Sesudah itu ia pulang.
Dalam perjalanannya pulang itu ia bertemu dengan orang yang sementara menyadap
tuak dan yang masih tetap duduk tinggi di pohon. Dia itu bertanya: “Bagaimana berita tentang
masalahku?”
Anak muda itu berkata: “Kau orang bodoh. Allah berkata bahwa engkau harus
menggantung di situ sebuah tabung, yang dapat diturunkan pada pagi hari dan malam hari”.
Setelah pergi lebih jauh, ia bertemu dengan orang yang dengan tak henti-hentinya
menimba air. Dia pun bertanya: “Apa yang Tuhan yang agung mengatakan tentang masalahku?”
Anak muda itu menjawab: “Kau orang bodoh. Siapa gerangan bilang bahwa engkau harus
timba air dengan memakai sebuah siput yang begitu kecil? Ambillah sebuah periuk dan timbalah
pada pagi hari dan malam hari yang secukupnya untuk sepanjang hari”.
Dia jawab: “Engkau benar, aku mengerti”.
Dan dengan cara itu si manusia-setengah menjadi manusia lengkap; ia kembali kepada
ibunya dan mereka tetap tinggal bersama.
Dan begitulah ceritanya, tetapi sekarang sudah habis.

-----------------------------

Sar tomtom la bo!—Leran kovat ain enhauk enwarik ngafohot, tangun, lav bisa.
Ed bo en tu’u bisa rak naa sifat i, en taha su ental ni rahan fo enwarik. En taha su ma doot.

147
I enreek il wal ni sifat bisa, enrat wal ni rahan. Enrat ma, ler laai wal.
Ed bo en taha su wal ni sifat. En taha su ma, kensasa doot wal. Raan sian rak ma, en taha il wal
ni sifat rat ni rahan.
En taha rat wal, ler en ngatil wal fo ler laai wal, nenar: Ye! Duang o, ler i vukun um hauk um ot
tomat netviak fo kidin ru rehe mele!
Ed bo en taha su wal ni sifat fo en warik ngafohot, lav, tangun bisa bo, kensa en taha su, kensa
doot wal.
Ni sitan laai rak ma, nenar: Duang o, ler i vukun um hauk um afhangir hira ni dos mele!
En taha rat wal ni sifat ti rahan raan, nebter wal rak. Bail i raan sian laai rak ma, nenar: entub
waid i bo, duang vukun ler i um hauk um ot tomat enviak kidin ru mele!
Sar tomtom la bo!—mangmang wuk waid kovat ii endok rahan ni yanan beranran ain ma, kot
i kidin mehe wat mele, wahan matan kidin mehe wat, yan liman kidin mehe wat, erumun kidin mehe
wat, bisa kidin mehe wat. I ni renan en meak ni yanan kidin mehe wat bo, en kavunin naa rahan
raan.
Ed bo kot ii en mel rak fo karatat udan bo, leran nenar ve ni renan: nen he, um ot ning timar
enhov siwar, fo u ba u watar manut.
Ni renan nenar: Yoh! Famehe ler i um tubur tanat hob mele, o kidin mehe wat bo, mang er it o,
vukun er malit o he. Timar siwar nih! Entub waid he.
Ma kot i nenar wal: Nen, um ot te no, ma timar siwar u taha wuk te.
Renan nenar: o tomat kanimun ak te, bail o tomat un wat bo, en tub waid i.
Ed bo kot i nenar wal: Nen, bet fel en he ning timar siwar um ot rehe, fo u ba u liik hauk ning
kidin.
I bo ni renan en ot bisa timar enhov siwar enhov ni leet ain wal enhov ni kes bisa fo ko kidkidin
en ba en liik hauk ni kidin.
Kot en ba nenar ve ni renan: bet ne u ba harang tuhan Duad, fo u her ning kidin waid, u vait te
u mat te, u il waid rak; bet ne u it ning kidin, yaau u il wal.
Sar tomtom la bo!—ko kidkidin en ba rak fel Sathean roi, en ho rak ohoi ain. Tomat ain en it i
en ma rak en hurak: ko kidkidin, o mbwa ho be?
Kot i nenar: u ba harang tuhan Duad, u liik hauk ning kidin.
Tomat i nenar: fel en he bet um harang tuhan Duad, um nar ning berkar ain wal de?
Nenar ne: mu berkar aka wal?
Tomat i nenar: Kes’ya, yaau u ba ro rat wat fo u liik wear kensa, u bro, u uen vatuk, u liik, u liik
wat, u han fo u ot udandan waid.
Kot i nenar: um tek u il wak, u harang, u her.
Ed bo kot kidkidin en ba wal, en ho wal ohoi ain sar Faan. En it tomat ain endok nekfinur naa
nur uban. En hurak wal: Euy! Kot kidkidin o mbwa be?
Nenar: u ba harang tuhan Duad ni dok-dok, fo u her ning kidin.
Tomat i nenar: fel en he bet um harang, um nar ning berkar udan wal de?
Nenar: um hol na wak.
Nenar ne: kes’ya, yaau ukfinur tuat ensar mangmang li rehe mele, u dok wat nur uban, u han fo
u ingat ning urat ain waid rehe. Um hurak yaau u ot falbe wak, fo u dok ning senang udan ak te.
Nenar: o mtek, u il wak, u harang, u hurak.
Ed bo kot en ba wal, famehe en ho wal ohoi ain sar Hangur. En ho ser-ser rak, tomat kot er it ko
kidin en ma, ermalit er vo’o: im liik afa haling ya, hira ain ulin kidin mehe wat.
Kot i en meak ma, en hurak: Rat naa ohoi i naa wuk te waid?

148
Hir ernar: naa wuk.
Kot i enrat Rat ni rahan, Rat en hurak: O mbwa be?
Kot i nenar: u hauk u ba tuhan Duad fo u her ning kidin.
Rat i nenar: Diyoh! Kot kidkidin o, kot hir resngan rak o bo, felbe wak um hauk um mbwa harang
tuhan laai Duad?
Kot i nenar: ning koko beben en ot ning mal en harang rak tuhan Duad, yaau u hauk u ba wuk
fo u her rehe ning kidin. Yaau tomat haling rehe fel i yaau u feen rak.
Rat i nenar: fel en he um dok ning rahan den ii, um tek, dedan uk um it.
I bo dedan rak tuhan Duad enwusak, en hurak ko kidkidin, um hauk mnar akahe?
I nenar: u hauk u her ning kidin, niraan yaau fel I tomat er hauk ermalit wat yaau ma, u meak.
Tuhan Duad enhurak: afa aka en ot o kidkidin fel waun he?
Kot i nenar: bet kikai! Yaau u kai ning kidin endok denbe yaau u kikai waid, bail u kai, ning renan
entofol yaau waun rak i.
Tuhan Duad nenar: oho ne’ka, u kai rak fel I umdok umfatmurik wak, fo u rudrai mu kidin enhov
wal fo kanimun; bail o um il fo mu ohoi, umsib ve renam, bet ne fomur i nenar wal afa sisian waun
leran i la, i enkai, i en yoat ni siksa enli wal na i mehe ni rumun.
Ed bo tuhan Duad en ot il vel rak ko kidkidin fo umat kanimun, enhurak: um nar wal afa te waid
rak?
Kot i nenar: oho, u nar afa udan wal, tomat hir ru ersib waid. I bo en wal il rehe.
En il ma, leen en it wal tomat endok rekfinur, endok wat nuur uban. Enhurak: ning berkar felbe?
Kot i nenar: o bod mele; Duad nenar, um ot kawowar enloi naa wak, um tek smer lervav um taha
su.
En ba wal, en it tomat vat enlaik wear. I wal te enhurak wuk: ning berkar tuhan laai nenar felbe?
Kot i nenar: O bod mele! Hiraki nesno um laik wat wear naa sellin kot ain? Um vav ub wak te fo
esmer lerwav um laik femehe wat fo en yoan leran ain.
Nenar: o mnar ken, u kai rak. Fomur ko kidkidin en il rak fo kanimun bo, en il wal ve ni renan fo
hir ru erdok.
Sar tomtom la bo! Ma en rak.

149
22
BAAT DAN NENYAI

Dan beginilah ceritanya!


Pernah hiduplah seorang gadis, namanya Nenyai, yang mempunyai tujuh saudara laki-
laki. Dan ada seorang laki-laki, bernama Baat, yang mempunyai tujuh saudara perempuan. Baat
yang masih muda itu mengasihi Nenyai itu. Ia mengenakan pakaiannya yang bagus, tujuh jas dan
celana, dan berkata: “Mari kita pergi menari-nari dalam kampung Nenyai”.
Perempuan yang masih muda itu duduk dalam rumah dan melihat pemuda itu berdiri di
alun-alun kampung. Pemuda itu kemudian pulang, tetapi pada malam hari ia pergi lagi ke
kampung gadis itu.
Gadis itu tidur di loteng dan pemuda itu menempatkan sebuah tangga pada dinding
rumah dan melihat gadis itu duduk di situ; ia memberikan kepadanya sebuah cincin jari dan
sebuah gelang emas dan berkata: “Terimalah cincin dan gelang emas ini dan jadilah isteriku”.
Gadis itu setuju, tetapi menyembunyikan perkara itu sampai ia menjadi hamil.
Waktu itu pemuda itu memasukkan kerisnya pada ikat pinggangnya dan pergi lagi ke
kampung gadis itu; ia masuk rumah itu dan memanjat ke tempat gadis itu berada. Tetapi kerisnya
jatuh dari sarungnya, mengena gadis itu pada matanya dan ia meninggal.
Dan beginilah ceritanya! – Pemuda itu menangisi dia, lalu melarikan diri. Gadis itu tetap
terlentang di situ, sampai jenazahnya sudah mau membusuk. Baru waktu itu ayah dan saudara-
saudaranya menemukan dia dan mereka berkata: “Aduh! Baat telah membunuh saudari kita!”
Mereka menyuruh marinyo pergi menjemput Baat. Mereka mengadakan interogasi
dengan Baat, dan Baat mengaku: “Akulah yang telah membunuh dia. Hari ini pun akan kukerjakan
keranda kami berdua, karena aku mau dikuburkan bersama dia: begitu besarlah kesedihanku,
aku meratapi perempuan itu dengan segenap hati”.
Dan benar, Baat meninggal dan bersama isterinya ia masuk kerajaan roh-roh halus. Raja
yang tinggal di sana berkata: “Hari ini pun aku mau kawin dengan Nenyai”.
Baat menangis, tetapi raja memerintahkan tiga ratus di antara hamba-hambanya untuk
memaksa Baat untuk menceraikan isterinya. Baat melawan, tetapi raja pesan pada orang-
orangnya: “Jika kamu tidak melaksanakan tugas itu, maka kamu akan kutenggelamkan dalam
laut”.
Perempuan itu menangis dan mencium wajah Baat, serta tangannya dan kakinya.
Dan beginilah ceritanya! – Si laki-laki mencium isterinya sebelum isterinya itu pergi.
Ketika isterinya sudah hampir sampai ke rumah raja, ia kembali lagi, mencium dia dan berbisik
kepadanya: “Di sini lensoku,86 ambillah, lalu carilah tiga gunung, dan ubahkanlah lenso itu
menjadi sebuah jalan untuk kembali ke bumi; lensoku ini akan meratakan gunung-gunung itu;
pergilah!”

86Lenso di Kei hanya dipakai oleh nyonya-nyonya penting, sering dibawa di tangan dan hanya bertujuan
dekoratif atau sebagai atribut penari.

150
Si laki membuat apa yang telah ditugaskan kepadanya oleh isterinya; ia meninggalkan
tempat itu dan berjalan sampai ia mencapai perbatasan antara orang-orang yang mati dan
mereka yang hidup.
Anak-anak yang sedang bermain di pantai laut, melihat dia datang dan pergi
memberitahukannya kepada raja.
Raja perintahkan: “Suruhlah orang itu datang ke mari”.
Setelah Baat datang, bersabdalah raja: “Jika engkau ingin memperisterikan salah seorang
di antara puteri-puteriku, silakan pilihlah”.
Baat memilih salah satunya, namun keenam yang lebih tua, tidak mau; hanya yang
bungsu, Watwarin namanya, setuju.
Keenam kakaknya menjadi cemburu dan mereka pesan: “Bunuhlah suamimu itu”.
Watwarin takut akan mereka dan membunuh Baat, yang jatuh ke dalam air.
Tetapi raja itu marah, ia memberkati Baat dan dia itu hidup kembali.
Tetapi Baat berkata: “Perempuan itu telah membunuh aku; lebih baiklah aku pulang saja”.
Ia pergi, tetapi Watwarin mengikutinya. Mereka berjalan bersama sampai pada sebuah
tanjung mereka kembali ke bumi.
Ketika mereka sampai di kampung, orang-orang sementara meratapi Baat dan Nenyai,
tetapi ayam-ayam jantan berkokok: “Tengoklah! Di sana datanglah Baat dan Nenyai!” Itu keliru,
tetapi Watwarin sangat mirip dengan Nenyai.
Orang-orang di kampung berkata: “Bunuhlah ayam-ayam itu! Kenapa berkokok begini!”87
Akan tetapi anjing-anjing juga menggonggong: “Baat dan Nenyai sudah kembali, wuf!
wuf!”
Orang-orang yang ada di kampung berkata: “Bunuhlah anjing-anjing itu!”
Lalu ada orang lain datang di kampung, yang berseru: “Baat dan Nenyai sudah kembali!”
Tetapi saudara-saudara laki-laki Nenyai berteriak: “Bunuhlah juga orang-orang itu!
Untuk apa berteriak begini di kampung!
Akhirnya datanglah Baat dan Watwarin. Semua orang keluar dari rumah-rumah mereka,
mereka memukul genderang-genderang dan merayakan pesta. Laki-laki dan perempuan itu
kawin dan tinggal bersama di situ.
Demikianlah kisah ini! Sudah habis.

----------------------------

Sar tomtom la bo!-- Tomat vat ain meman Nenyai, ni uran enfit; tomat beranran ain meman
Bat, ni uran enfit wal. En bran ni suk en vat ma i enfakret ni bakbekean ravit-serwaw enfit, i nenar:
It taba ensu naa tomat Nenyai ni ohoi.

87Seperti sudah kita perhatikan pada beberapa cerita lain, sama sekali tidak pantas menyebutkan nama
orang yang sementara diratapi.

151
Ed bo tomat vat endok rahan raan, enliik a’bran enba il ni ohoi ma, dedan nefla ma wal en vat
ni ohoi.
Ed bo kovat entub a’raan rat, a’bran en fello ret, enseb, enliik kovat endok, na tantan enhov mas
ver ii, nenar: um tam tantan enhov a mas i fo yaau ning hoan o.
Kovat i enturun. Endok enfakleak, famehe ni ivun.
Fomur a’bran ensilik saribat, enba wal tomat vat ni ohoi, enrat rahan, enseb kovat ni tubtub. Ed
bo ni saribat enlek talik su, ental tomat vat ni matan ma, enmat rehe.
Sar tomtom la bo!-- a’bran enron ma nefla. Kovat entub famehe enfaser rak enbitan. Fomur ni
yaman uran erperes, nenar: Oh! Bat enhauk enfidan did urad.
Ed bo hir resno tomat marin enba enhauk tomat Bat. Hir erhurak Bat, Bat enmengak: yaau u
fidan. Ler ii u ot ning buban enhov tomat vat i ni niraan u hauk am mes am tub kubur, yaau raang
sus laai li, ning masuhun laai li kovat i.
Ed bo Bat enmat nurang wal ni hoan, hir ru er ro nit rir ohoi. Rat endok ohoi enhe nenar: Ler ii
yaau u hauk Nenyai fo hoang.
Bat enron ma, rat nesno ni umat rat il fo rpaksa Bat enlepas ni hoan. Bat entahang, rat nesno
wal: bet im ot waid, wear tahit enfidan im bisa.
Vat enron, enhumak a’bran ni wahan matan, yan liman bisa.
Sar tomtom la bo!—a’bran enhumak wal envat fomur envat enrat, enfaser rak tomat rat ni
rahan, enba il enhumak wal a’bran ma nesnib: yaau n ail ning lap ver o, um taha; fomur um liik
wuar entel, um ngodang, um ot fo ded enba il dunyai: lap enngodang wuar hirtel fo tanat hermes; o
mbwa.
Ed bo beranran en ot norang envat ni snibnib ma, enba il famehe enho nit vavain kanutun.
Tomat kot erdok erben naa tahit, er it Bat en ma, er natul ver rat.
Ed bo rat nesno: umhauk tomat ii endat.
Bat endat rak i, rat nenar: bet mu suk ning yanan vat ain fo hoam, muslek.
Bat neslek. Vat hir neyan i nef en li, bail enwarin, meman Vatwarin i ni suk ma, enturun.
Vatwarin ni aan hir refen nefngahir, ernar: su mfidan rehe hoam.
Ed bo vatwarin enbubar hir ma enfidan rehe Bat enlek su wear raan. Enmat ma tomat rat raan
sian enberkat i, famehe Bat envait il wal.
Ed bo Bat I nenar: kovat i enfidan yaau mele, u lan u bail.
I nefla, vatwarin nefla norang. Hir ru refla, famehe ervusak dunyai, na lair tutu ain.
Hir erro ohoi, tomat erdok enlubang habalin tomat Bat hir ru Nenyai ma, hiv enkekew: Bat
Nenyai ervusak rak he yoh! I niraan vatwarin wahan waun Nenyai wahan wade.
Tomat erdok ohoi ernar: um fidan manut i! niraan aka en ot wuun vaan uk i?
Ed bo yahau naku’u: Bat Nenyai ervusak velak bo!bo!
Tomat erdok ohoi resno: Om fidan yahau i!
Fomur tomat lian ervusak ohoi ernar: Bat Nenyai ervusak rak oh!
I ne Nenyai ni uran en vo’o: om fidan wuk tomat i; en ot vuen laai aka na ohoi i?
I bo Bat vatwarin ervusak. Tomat bisa ertubur rahan, ertev tiva, e rot rumnien; vat baran erfaw,
erdok.
Sar tomtom! En rak.
Kidin 23
KISAH GIGI-EMAS DARI OHOILEAN

152
Dan beginilah ceritanya!
Di Waatohoirin hiduplah seorang laki-laki bernama Kabluk-nilawar. Ia ingin kawin, tetapi
ia tidak mau kawin dengan seorang gadis pun selain dengan Gigi-emas dari Ohoileën: dia itu yang
diinginkannya sebagai isteri.
Seorang perempuan bernama Kabokar-awr telah mendengar bahwa Kabluk-nilawar
jatuh cinta kepada Gigi-emas; dia mengangkat bakulnya dan pergi ke Ohoileën.
Setibanya di kampung itu ia minta Gigi-emas: “Hai Gigi-emas, berilah aku minum air
sedikit”.
Gigi-emas menuangkan air ke dalam sebuah siput dan menawarkannya kepadanya.
Setelah Kabokar minum, ia naik tangga rumah dan berkata: “Bukalah pintu”.
Gigi-emas membuka pintu dan Kabokar berkata: “Mari kita bersama jalan-jalan ke
Waatohoirin. Kabluk-nilawar jatuh cinta padamu”.
Gigi-emas ke luar dari rumah dan melarikan diri bersama dengan nenek itu. Mereka
sampai di sungai besar dan harus menyeberangi sambil berenang. Ketika mereka sudah turun ke
dalam air, nenek Kabobar itu bergaya-gaya bagaikan seorang setan yang jahat: dia mau tukar kulit
putih Gigi-emas dengan kulitnya sendiri; ia pun mau menggantikan rambut keritingnya dengan
rambut panjang dan indah dari Gigi-emas; dia mau mengenakan kebayanya, cincinnya dan segala
emasnya, tambah lagi sarongnya yang mahal. Gigi-emas mencoba menolak, tetapi nenek Kabokar
memaksa dia dengan kekuatan yang kasar.
Ketika mereka sampai di Waatohoirin, Gigi-emas menangis. Mereka didatangi oleh anak-
anak yang ingin melihat kedua perempuan itu, lalu mereka pergi memberitahukannya kepada
Kabluk-nilawar.
Ketujuh saudara perempuan Kabluk meletakkan piring-piring berderet sampai tempat di
mana berdirilah Gigi-emas dan bersumpah: “Jika sungguh-sungguh engkau adalah Gigi-emas,
maka jalanlah lewat piring-piring ini dan semoga semuanya tetap utuh; jika engkau bukan Gigi-
emas, semoga semuanya pecah pada saat engkau menginjaknya”.
Dan tengoklah! Nenek Kabobar menginjak piring-piring itu dan piring-piring itu pecah.
Semua orang berteriak: “Aduh! Dia itu bukan Gigi-emas! Minggirlah, jangan berjalan di
atas piring-piring, karena engkau memecahkan semuanya!”
Nenek Kabokar berjalan ke rumah Kabluk, dan Kabluk duduk di situ dengan penuh
kebingungan. Nenek Kabokar berkata kepadanya: “Budakku ini sebaiknya tidur saja di sudut
serambi”. Yang dimaksudkannya ialah Gigi-emas.
Datanglah ibu-ibu dan mereka meletakkan hidangan makanan ke dalam bakul Kabokar.
Kabluk pergi dan masuk ke hutan. Ketika Kabokar melihat bahwa Kabluk telah pergi, ia
mencaplok semua makanan itu dan sekaligus juga bakul itu. Maka perutnya menjadi besar, tetapi
dia berpura-pura hamil dan berkata kepada suaminya: “Aku sudah hamil; apakah engkau
mengaku daku sebagai issterimu atau tidak?”
Kabluk duduk saja dengan diam.
Lalu terjadilah bahwa anak-anak telah mengikat potongan-potongan kecil dari buah
kelapa pada tulang-tulang daun-daunan. Seorang bapak yang sudah tua mengambil salah satunya

153
dan memakai itu untuk main-main dengan seekor kucing kecil. Kucing itu bermain-main. Gigi-
emas mengamat-amati itu dan mulai tertawa. Ketika ia tertawa, maka kentaralah gigi emasnya.
Semua anak melarikan diri dengan terkejut, dan orang-orang dewasa berkata: “Aduh! Dia
inilah Gigi-emas! Bukan yang di sana! Dia itu telah mencuri rupa Gigi-emas!”
Lalu Kabobar perintahkan suaminya: “Biar budakku bersama seorang bapak yang sudah
tua dan seorang ibu yang sudah tua juga, menetap di taman rumahmu”.
Ketika Gigi-emas tinggal di taman itu, maka pada suatu hari datanglah dua ekor burung
kecil: seekor parkit warna merah dan seekor parkit berwarna-warni; mereka melihat bahwa Gigi-
emas duduk menangis di bawah sebuah pohon pisang; mereka berseru: “Gigi-emas dari
Ohoileën!”
Berserulah Gigi-emas: “Halo!”
Bertanyalah burung-burung itu: “Gigi-emas, engkaulah itukah?”
Jawab Gigi-emas: “Memang, aku Gigi-emas!”
Kemudian Gigi-emas pesan kepada mereka: “Pergi terbang dan ambillah air dari sebuah
mata air, yang namanya mata air Batu. Bawalah ke mari, supaya aku dapat membasuh tubuh
menjadi bersih seluruhnya”.
Burung-burung iu mengambil air dan Gigi-emas membasuh tubuhnya hingga bersih
seluruhnya. Ketika bapak yang sudah tua itu datang dan melihat betapa putih kulit Gigi-emas dan
betapa indah pakaiannya, ia menyembunyikan dia di dalam gubuknya.
Pada suatu hari Kabluk datang mencari kau api dan melihat betapa cantiklah Gigi-emas
itu. Maka ia minta penjelasan kepada orang-orang yang sudah tua; mereka itu berkata: “Dia yang
di sana bukannya Gigi-emas yang benar; dia yang di sini adalah Gigi-emas yang benar”.
Kabluk pulang dan berkata kepada Kabokar: “Mari kita bersama pergi mandi”.
Perempuan itu lalu parut kelapa88 untuk mencuci rambutnya dan si laki-laki itu mengasah
pedangnya dan berkata: “Mari kita pergi”.
Mereka pergi; perempuan turun ke dalam air untuk mandi, dan ketika ia menyisir
rambutnya dan matanya tertudung dengannya, maka Kabluk memenggal kepalanya; kemudian ia
membelah perutnya, dan di situ ia melihat bakul-bakul, tempurung-tempurung dan piring-piring,
tetapi sama sekali tidak ada seorang anak.
Ia kembali ke kampung dan orang-orang di kampung bertanya kepadanya: “Di mana
isterimu?”
Kabluk menjawab: “Yang ini bukanlah isteriku, melainkan dia yang di sana”.
Maka orang memanggil Gigi-emas. Ketujuh saudara perempuan mengatur piring-piring
dan bersumpah: “Jika engkaulah Gigi-emas yang benar, piring-piring ini akan tetap utuh bila
engkau berjalan di atasnya”.
Ia lalu berjalan di atas piring-piring itu, yang semuanya tetap utuh, sampai ia mencapai
rumah itu. Kemudian mereka kawin dan tinggal bersama.
Demikianlah kisah ini, yang dengan ini berakhirlah.

88Garukan kelapa dibawa setiap perempuan Kei dalam tempurung bila pergi mandi. Ditambahkan sedikit
air, lalu diperas sehingga menghasilkan air kelapa; dengannya rambut dicuci supaya tetap halus dan
mengkilap.

154
--------------------------------

Sar tomtom la bo!—Ko baran ain ni meman Kabluk- Nilawar, endok Wat-Ohoirin. Enhauk hoan
ma, tomat vat bisa I nefen, bail I enhauk wat Nifmas Ohoileen fo ni hoan.
Kovat ain, meman te Kabokar-awr endinar Kabluk –nilawar nefsehek Nifmas, I envav ni yafar,
enba su Ohoileen.
I envusak ohoi, enher Nifmas: Nifmas euy! Umlin wear udan yaau uein.
I bo Nifmas enlin wear naa sellin, en ot war ensu.
Te kabokar-awr nen bisa rak enrat rehe rahan nenar wal: um vatun fid.
Nifmas en il fid, te Kabokar nenar: o mwa, it ru taba fo Vat-Ohoirin, Kabluk-nilawar ni biat o he.
I bo Nifmas entubur nefla enhov te betuan i. Famehe errat Hoarlaai hir ersu rnang. Hir ersu hoar
raan te Kabokar waun setan sian enhauk enlalin Nifmas, entam Nifmas ni morlain bokbok, enhauk
wal enhur ni tantan, ni rawit, ni mas bisa, enhov ental wal ni sbo liblab. Nifmas enhauk nefen bo, te
Kabokar en paksa i sisianli.
Ed bo errat vat-Ohoirin, Nifmas enron. Tomat kot bisa erhamuning tomat vat hir ru ernatul wer
Kabluk Nilawar.
Kabluk ni uran enfit ergodang bingan erro-tut Nifmas endirdir i ma, ersuban: Bet Nifmas o rak
i, su mtai bingan i, kanimun; bet Nifmas o waid, su mtai, bingan namkidik.
Ed bo te Kabokar-awr entail bingan, namkidik.
Tomat bisa ernar: Oh! Nifmas i waid! Su mbwa soin, um leet bingan wahid, o mtai bingan sian
rak he!
Te Kabokar enro Kabluk ni rahan, Kabluk endok enmoan wat.
Te Kabokar enweang nenar: Hangur ning iri wat ii entub tet soin i. I nenar Nifmas waid.
Tomat vat-vat erdat e rot benau naa te Kabokar ni yafar. Kabluk enba nangan. Te Kabokar
enliik Kabluk enba rak, ii enlubuk benau, yafar bisa. I bo ivun leten ma, enweang I nefngalubur rak
bo, nenar ve ni hoan: yaau ivung rak he; o mkai yaau mu hoan te waid i?
Tomat Kabluk endok enmoan wat.
Ed bo kot e rot kelbatu er reek enhov nur ihin. Teran betuan ain entaha enweat sit yanan.
Sit yanan enben, Nifmas enliik ma, enmalit. Enmalit, ni ngifan mas ervusak.
Kot-kot bisa erfitik huba, enhov tomat bisa ernar: Oh! Nifmas i rak te he! Enroi i waid! Te
Kabokar enhauk enbor ni ulin!
Ed bo te Kabokar nesno ve i ni hoan: o mot ning iri vat endok mu we’e enhov mu iri teran betuan
ain enhov te betuan ain wal.
Ed bo Nifmas endok we’e, leran manut enru, silit ain, ser ain er or ma, er liik tomat Nifmas endok
enron na mu’u ni diw, enher: Nifmas Ohoileen.
Nifmas en ot: Oiy!
Manut er her: Nifmas, o wuk he?
Nifmas nenar: yaau rak i.
Nifmas ensib wal: im ti mur, su mna wear naa wear ain meman Wearmatan-Vat; fomur om var
il endat wear I fo u luruk ning ulin fo bokli.
Manut erlaik wear ma, Nifmas enluruk ni ulin fo bokli wal. Ed bo teran betuan envusak, enliik
Nifmas ni ulin ngiar, ni bakbekean bokli, enfakleak Nifmas na ni rahan.
Ed bo leran fa’a Kabluk enhawik ai, enliik Nifmas ni afafa bok-bok wat, enhurak tomat nebtu hir
ru. Tomat hir ru ernar: tomat Nifmas en roi waid tomat Nifmas tunan I rak te he.

155
Kabluk enba il enro natul vet e Kabokar –awr: it taba it luruk.
Tomat vat entar nur fo ni fer-fer, a’bran enraha esbad, nenar: it ba!
Erba, kovat enba ti wear, enluruk famehe endok en ahai murun, ni murun enser matan, Kabluk
en afat ni uun, fomur enviak ni ivun enliik yafar, ta’au, bingan ental! Ni ivun envusak bo, yanan rehe
waid.
Enba il fo ohoi, tomato hoi erhurak: mu nenkot i be?
Kabluk nenar: nen kot enhe waid; nen kot i roi.
Ed bo tomat erhauk Nifmas. Kabluk ni uran enfit ergodang wal bingan, ersuban wal: bet Nifmas
o rak te he, su mtai bingan, i kanimun.
Ed bo entail bingan, kanimun, enleet bingan famehe enro rahan. I bo vat baran rafau erdok.
Sar tomtom! En rak he.

156
Kidin 24
KISAH BENUAS

Dan beginilah ceritanya!


Pada suatu hari Benuas pergi memancing dan ia mendapatkan amat banyak ikan. Semua
orang di kampung bertanya kepadanya: “Apa gerangan yang kaupakai sebagai umpan?” Hal yang
sama pula ditanyakan kepadanya oleh dua orang bersaudara laki-laki.
Benuas menjawab: “Aku memakai kue sebagai umpan. Kamu pun buatlah begitu”.
Ketika mereka berdua pergi mengail, Benuas pun berjalan ke situ sambil berjalan dalam
air; ia menyelam dalam laut, dan pada saat mereka membuang umpan, ia memakannya. Dan pada
saat mereka mengangkat kail, ternyata tiada ikan sama sekali.
Yang bungsu bertanya: “Umpan belum digigit?”
Kakaknya menjawab: “Memang umpan digigit, tetapi aku tidak jadi tangkap seekor ikan
pun; ikan itu cuma makan saja umpan itu”.
Si bungsu membuang lagi talinya, tetapi tidak menangkap seekor ikan pun, sampai
akhirnya segala umpannya habis.
Mereka berdua pulang dan pagi hari Benuas bertanya kepada mereka: “Kamu akan
mengail lagi malam ini?”
Mereka menjawab: “Tentu saja. Isteri kami masing-masing sudah menggerutu bahwa
sama sekali tidak ada ikan”.
Benuas masuk lagi dalam air dan menyelam dalam air laut dan mengintip-intip di mana
terapunglah sampan mereka. Dan lagi ia mengambil umpan dan memakannya, sampai akhirnya
ia menggigit kail dan kelabakan di laut.
Kata si bungsu: “Hai kakak, aku sudah tangkap seekor ikan yang mantap sekali”.
Kakaknya berkata: “Tahan baik-baik dan tarik dia dengan hati-hati”.
Ketika Benuas menggelepar di laut berkatalah si bungsu: “Ya Tuhan, ini sungguh seekor
ikan raksasa! Betapa kita beruntung. Runcingkanlah tongkat-dayungmu untuk menikam dia!”
Mereka menghela hingga perlahan-lahan ia muncul dari permukaan air, baru mereka
memperhatikan rambut Benuas. Berserulah si kakak: “Tunggu! Tunggu! Ini bukan seekor ikan!
Mereka menarik terus dan akhirnya muncullah si Benuas”.
Si bungsu berteriak: “Semoga maut menjemput engkau, Benuas! Jadi engkaukah yang
selalu mencuri dan makan umpan kami?”
Dan segera juga ia mau menghabisi Benuas.
Benuas memohon dengan sangat: “Aku mohon, jangan membunuh aku begitu saja.
Izinkankah aku masuk ke sampan dulu dan duduk di tengahnya”.
Ketika ia sudah naik sampan itu ia memberi nasehat ini: “Runcingkanlah sekarang kedua
tongkat-dayungmu. Si bungsu harus berdiri di bagian belakang sampan dan kakaknya di bagian
depan. Lalu tikamlah aku serentak, supaya dalam sekejap mata aku langsung mati”.

157
Pada saat mereka berdua menikam, Benuas tunduk dan jatuh memepet di dasar sampan.
Tombak dari si sulung menikam adiknya, dan tombak si bungsu menikam kakaknya dan matilah
mereka berdua.
Benuas pulang untuk tidur. Ketika di pagi hari anak-anak pergi bermain di pantai, mereka
melihat kedua jenazah yang terapung dan mendekat sampai telentang pada batas air surut dan
air pasang.
Mereka pergi memberitahukan ini kepada bapak raja. Raja mengumpulkan semua
penduduk kampung dan bertanya: “Mungkin ada di antara kamu yang telah membunuh dua
orang itu?”
Tetapi mereka semuanya mengingkar. Lalu raja perintahkan marinyo supaya ia
membawa datang si Benuas. Benuas berdiri dan pergi ke rumah raja.
Raja memeriksa Benuas, tetapi dia berkata: “Aduh, bapak raja, Bapak mengira bahwa aku
seorang diri sanggup membunuh dua orang? Aku melihat mereka berdua sedang menikam ikan.
Mereka mulai berkelahi, meruncingkan tongkat-tongkat mereka menjadi tombak, lalu saling
menikam sehingga mati”.
Raja memutuskan: “Benuas, engkau benar. Engkau seorang diri tak mungkin dapat
membunuh dua orang; tentu mereka telah berkelahi”.
Tak lama kemudian raja meminang seorang perempuan dari kampung Krawa menjadi
isterinya dan mau pergi bayar harta kawin.
Benuas menyuruh orang Krawa memasak tulang-tulang orang mati untuk disajikan
kepada rakyat raja.
Ketika orang duduk makan, mereka mengecap rasa mayat, maka mereka mual dan mulai
memaki orang Krawa.
Tetapi orang Krawa berkata: “Benuas telah suruh kami berbuat begitu”.
Orang mencari Benuas, tetapi dia sudah melarikan diri pulang dan tak kelihatan di mana
pun.
Berkatalah raja: “Mari kita pulang”.
Lalu raja menyuruh seluruh rakyatnya menangkap Benuas.
Semua orang dari kampung itu mencari dan mengejar dia. Mereka menangkap dia,
membelenggunya pada kaki-tangannya dan mengikat dia pada sebatang pohon.
Pada malam hari raja menyuruh marinyo mengumumkan di seluruh kampung bahwa
semua orang laki-laki hari berikut harus potong persediaan besar kayu api untuk membakar dan
memusnahkan Benuas.
Ketika Benuas berdiri terikat pada pohon, lewatlah seorang bapak yang sudah tua, yang
tonjol pada punggungnya dan jalan sambil tunduk; dia bertanya: “Mengapa orang mengikat kamu
begini?”
Benuas menjawab: “Ya, opa, orang mengikat aku karena dulu aku jalan tunduk seperti
bapak. Sekarang orang sudah ikat aku sehingga badanku menjadi tegak. Tunggu saja, nanti
mereka datang melepaskan daku”.
Bapak yang sudah tua itu bertanya: “Astaga! Jadi dulu punggungmu sama tonjol seperti
punggungku ini?”
Jawab Benuas: “Demi negeri kita! Silakan lepaskan aku dulu”.

158
Bapak itu melepaskan dia dan Benuas berkata: “Tunggu, mari aku mengikat Bapak hingga
jadi lurus juga, sehingga sesudahnya Bapak berjalan sama tegak seperti aku”.
Benuas mengikat dia lalu pergi.
Pagi-pagi raja menyuruh tiga puluh orang laki-laki dengan tiga puluh kapak memotong
kayu api dan menyalakannya. Lalu ia menyuruh mengambil Benuas. Ketika orang mau
melepaskan dia dari pohon itu, si tua itu berteriak dan menjerit: “Terkutuklah kamu! Bukan aku!
Benuas telah memperdayakan aku!”
Raja berkata: “Ya, ya, aku sudah mengenal engkau sebagai pendusta besar. Sudah
cukuplah segala dusta dan penipuanmu. Kau ini Benuas!”
Orang menunukan api besar dan tak lama kemudian bapak yang tua itu sudah mati.
Beberapa saat sesudahnya Benuas berjalan ke luar dari rumahnya dan berkata: “Ini dia!
Kamu tidak berhasil membunuh aku!”
Semua orang kaget dan bertanya: “Hai Benuas, bagaimana ini mungkin?” (yakni, bahwa
engkau masih hidup).
Benuas menjawab: “Aku cerdik, aku orang lihai!”
Berkatalah mereka: “Cobailah kepandaianmu atas kami, supaya kami menjadi kebal
seperti engkau.89
Sahut Benuas: “Baiklah”.
Lalu ia mengikat lima orang laki-laki, meletakkan mereka di atas timbunan kayu, dan
menyalakan kayu itu. Api itu berkobar tinggi dan membakar mereka sama sekali.
Raja menjadi marah dan berkata: “Engkau menipu kami, engkau membunuh rakyatku”.
Benuas membela diri dengan berkata: “Aku tidak membunuh mereka, tetapi mereka tidak
berbuat seperti aku berbuat”.
Beberapa waktu kemudian terjadilah bahwa Benuas memfitnah raja. Raja
memerintahkan kepada marinyo: “Pergi menyatakan kepada Benuas bahwa mulai sekarang ia
tidak lagi boleh tinggal di negeri ini”.
Jawab Benuas: “Baiklah, lagi sepuluh hari aku berlayar pergi”.
Ia mengerjakan sebuah layar dan sebuah tiang dan juga sebuah kemudi. Ia menempatkan
tiang di atas bubungan rumahnya, ia mengikat kemudi pada bagian belakang rumahnya, dan
menaikkan layar, tetapi perahu itu tidak mau berlayar.
Sesudah sepuluh hari bertanyalah raja: “Sudah lewatlah sepuluh hari; di mana
perahumu?”
Benuas menjawab: “Perahuku ada di sini, tetapi tidak jadi berlayar”.
Berkatalah raja: “Waktunya sudah cukup; aku akan memberi denda kepadamu”.
Benuas mengeluh katanya: “Sayangilah aku, aku seorang miskin. Aku akan memperbaiki
hidupku, aku sungguh menyesal”.
Kata raja: “Nah, baiklah, aku menyayangi engkau”.

89Dalam teks asli dipakai kata berkat. Orang Kei yang kafir mengartikan istilah itu sebagai diperlengkapi
dengan kuasa adikodrati. Dalam cerita ini orang anggap Benuas mempunyai kuasa itu sehingga ia,
walaupun baru saja dibakar, namun berdiri di hadapan mereka dalam keadaan hidup.

159
Benuas pergi dan memperdayakan ayahnya dengan berkata: “Bapa, raja telah mendendai
aku seratus gulden.
Jawab ayahnya: “Ah! Aku tidak mempunyai uang sedikit pun; aku cuma mempunyai
sepotong emas: ambil itu saja. Nilai emas itu sebesar dua ratus gulden; pergilah ke seorang Cina
untuk menukarnya”.
Benuas pergi ke kampung orang Cina itu dan bertanya: “Di mana tempat tinggal orang
Cina yang kaya itu?”
Seorang Cina menjawab: “Rumahnya ada di sana”.
Benuas pergi ke sana, tetapi pada mendekati toko orang Cina itu, ia berpura-pura bahwa
ia bisu-tuli.
Orang Cina itu bertanya: “Apa yang mau kau beli dari aku?”
Benuas tidak menjawab.
Orang Cina itu bertanya: “Engkau dari mana?”
Benuas diam.
Orang Cina itu bertanya lagi: “Namamu siapa?”
Ia diam terus, sampai ia memperhatikan isteri orang Cina itu yang duduk menjahit. Lalu
ia menunjukkan emasnya itu.
Orang Cina itu menunjukkan kepadanya meriam-meriam, sarong-sarong dan berbagai
barang lain, tetapi semua itu dia tolak, dan akhirnya ia menunjuk pada perempuan itu. Orang Cina
itu setuju dan menerima emas itu.
Benuas tidur bersama perempuan itu. Ketika pagi hari ia melihat orang Cina itu, ia
berkata: “Aku telah berpura-pura bisu-tuli, tetapi aku sama sekali tidak bisu-tuli. Aku cuma
berikhtiar menodai isterimu”.
Orang Cina itu malu sekali dan memohon: “Jangan menceritakan ini kepada orang lain,
maka aku akan membayar engkau bila diamkan itu”.
Benuas berkata: “Beri aku lima ratus gulden, maka aku tidak akan menceritakan bahwa
aku telah menodai isterimu”.
Orang Cina itu memberikan uang itu dan Benuas pulang dan membayar dendanya kepada
raja.
Beberapa waktu kemudian seseorang menculik seorang perempuan yang bersama
suaminya tinggal di daerah pegunungan.
Bapak itu, ketika mencari isterinya, datang dalam kampung raja dan mengenal kembali
orang yang telah menculik isterinya.
Ia mendakwa dia pada raja. Dia memeriksa perkara itu, tetapi yang terdakwa itu
menyangkal, maka raja berkata: “Pak, mungkin Bapak dapat menyebut orang-orang saksi?”
Orang itu menjawab: “Aku tidak dapat menyebut saksi-saksi”.
Berkatalah raja: “Ini masalah terbelit, sulit dipecahkan. Aku tidak tahu mau membuat
keputusan apa. Panggillah Benuas ke sini!”
Benuas datang, raja menjelaskan perkara baginya, lalu bertanya: “Benuas, apa yang
kaupikirkan tentang masalah ini?”
Jawab Benuas: “Pada hematku baik si laki maupun perempuan itu harus masuk penjara”.

160
,Maka mereka dikurung dalam penjara selama tiga hari; lalu Benuas membuka pintu dan
memeriksa tahi perempuan itu dan memberitahukan keputusannya: “Pak, engkau benar. Tahi
perempuan itu hanyalah daun yang telah dicernakan, jadi ternyata dia seorang hutan”.
Semua orang akui: “Keputusan itu tepat. Benuas, engkau seorang yang sangat cerdik.
Apakah engkau juga sanggup mengembalikan ibumu dari kerajaan orang mati?”
Sahut Benuas: “Tentu, aku sanggup membuat itu”.
Benuas masuk ke hutan dan bertemu di sana dengan seorang nenek tua yang tinggal
sendirian di situ. Benuas berkata kepadanya: “Mari datang bersamaku, mulai sekarang aku akan
menjaga ibu”. Tetapi bila raja menanyakan sesuatu padamu, ibu harus berpura-pura tidak tahu
bicara”.
Ia mengangkat nenek itu pada punggungnya dan membawa dia ke pantai, lalu membawa
dia langsung ke rumah raja. Raja bertanya: “Hai, nenek, apakah engkau datang dari kerajaan
orang mati?”
Nenek itu diam.
Raja bertanya kepada Benuas: “Sungguh benarkah apa yang kaukatan, yaitu bahwa ibu ini
datang dari kerajaan orang mati?”
Benuas menjawab: “Aku sumpah! Dia berasal dari kerajaan orang mati. Tetapi di dalam
kerajaan orang mati itu kelakuannya jelek dan karena itu para roh halus telah membuat dia
menjadi bisu”.
Ketika nenek itu mendengar bahwa Benuas memfitnahkan dia, ia menjadi marah dan
berkata: “Astaga! Kau mau memfitnah aku ya! Tuan raja, si Benuas itu adalah pembohong besar.
Aku sama sekali tidak pernah masuk kerajaan orang mati; jadi bagaimana mungkin kelakuanku
di situ jelek!”
Raja menjawab: “Nenek benar: Benuas itu seorang pembohong besar. Tetapi, Benuas,
engkau telah mengatakan bahwa nenek ini adalah ibumu, jadi selanjutnya engkau harus menjagai
dia”.
Benuas pulang. Kemudian pada bulan baru, raja mau mengadakan pesta besar, dan ia
perintahkan supaya diumumkan bahwa semua orang harus membuat sumbangan; dari Benuas
dituntut sumbangan berupa dua puluh ekor ternak.
Benuas masuk ke pedalaman, ke suatu tempat di mana tinggallah banyak orang primitif
dan berkata: “Raja menugaskan aku mengundang kamu untuk datang merayakan pesta di pantai.
Pada pesta itu kamu harus berbuat seakan-akan kamu adalah ternak. Aku akan mengantar kamu
dan kamu harus menguak seperti sapi atau mendengkur seperti babi dan menggeletak di tanah”.
Orang-orang hutan itu setuju dan Benuas mengantar tiga ratus orang ke rumah raja. Ia
mengikat mereka dan suruh mereka untuk menggeletakkan diri dekat tangga rumah raja.
Raja kaget dan bertanya: “Kenapa engkau membawa semua orang ke sini? Apakah kau
kira bahwa aku makan manusia?”
Benuas menjawab: “Semua orang hutan itu sama saja dengan hewan; mereka tidak tahu
apa-apa”.
Kata raja: “Baik juga, semua tiga ratus orang itu untuk aku!”
Lalu raja mengumpulkan semua rakyatnya dan berkata: “Benuas telah mempercayakan
kepadaku tiga ratus manusia ini, dan aku mau menjadikan mereka kapten”.

161
Semua orang menjawab: “Sungguh, Benuas itu adalah seorang cerdik; kami semua
setuju”.
Keesokan harinya, pada pagi hari, mulailah pesta itu, tetapi kisah ini sudah habis.

-------------------

Sar tom labo: Umat Benuas nba naswarut enving wuut fangledli. Umat ohoi bisa rahorak:
um ot aka fo mu faan i? Umat hir ya’an endro nhorak fel i.
Benuas nhava nanar: “Ya’au ot elo enhiluk nung faan. Im ot vel woon i.
Umat rba raswaruk, Benuas enlurut enti, nasew tahit raan, famehe umat rhilik faan mo naan. Umat
rving alihin wuut human waid.
Ko warin nhorak: “Wuut naan te hob?”
Ko yaan nhava: “Wuut naan rok he mo, ya’au uviing ken hob, naan wet faan”
Ko warin nhilik vel enviing wuut vuk waid, famehe ni faan een bisa.
Umat hiru r’il bo samer-mer Benuas nhorak: “De’i im ba bis warut welte waid?”
Hira naar: “…..”
Eidbo Benuas enlurut nasew tahait vel, enli’ik raw enloi. Enhilik vel umat rir faan mo naan famehe
enkik ken alihin. Enkik ken alihin, nastakil na’a tahit.
Ko warin nanar: “Ko ya’an ya’au uwaeng ruk wuut lai …..”
Ko ya’an nanar: “Um taha, um viing fo bok”
Edbo Benuas nafla tahit raan, ko warin nanar: “Duang ee! Did wang wuut la’ai rok he! Did rejeki
rok he, um dinik mu leat fo um ahai”.
Rafair femehe endat tahit ringin, endat rali’ik Benuas murun, ko ya’an nanar: “Teek, teek, wuut
waid!” Hir rafair vel bo, Benuas nvosak.
Ko warin nanar: “Nit ni wang Benuas o! Um weang, um lavur mam benau de?”
Edbo nahaauk nafat Benuas uun.
Benuas nanar: “U sob o um fedan vel i wahaid! Teek ya’au rat u dook bir rau faruan”
I ndrat nasnib: “Im dinik leat endru, ko warin um diir rau muur, ko ya’aan naa rau u bo, imru bihai
famehe fo rok i”
Umat hiru rahai, Benuas naskuba enlek rau raan. Ko ya’an ni yook nahai ken ko warin, ko warin ni
yook nahai ken wel ko ya’an mo hiru rmat.
Benuas nafla il ntub famehe samer, umat kot rbeen naa tahit, ra’it umat hiru, rir nit rafook do, ratub
ruat-met wahan.
Hir rafla su ranar tuul ver rat. Rat na’uuk umat ohoi bisa mo nahorak: “Yang im hira aen rafedan
umat hiru i?”
Umat bisa rangnwaak. Ed bo rat nasno marin nahaak Benuas. Benuas nabatar, naba ti rat ni rahan.
Rat na horak vel Benuas mo I nanar: “Rat ya, um fikir ya’au nung bran fo ufat umat hiru de ? de’i
ya’au iit umat hiru rahai wuut mo, rafurin-fakreke, radinik rir leat fo yook bo, ain nahai ain ”
Rat nanar: “Benuas um naar ken. O mehe mu-bran fo um fedan umat hiru waid: tunanli umat hiru
rafurin-fakrehe ”.

162
Femur leran fa’a vel toran rat nhorak ko vat ain ntal ohoi Krawa ma, nhauk nba ….vat vilin.
Edbo Benuas nasno umat Krawa fo rwaik nit lurin nan faan rat ni perinta.
Umat rdok raan afa erfalarang nit laran, rasalngit mo rhauk raar sian lai how umat Krawa bisa.
Edbo hir ranaar: Benuas nasno.
Mang rahauk Benuas, Benuas nafla il ro ohoi, nafosak rok waid.
Rat nanar: “It ba il”
Femur rat nasno ni rayat bisa fo rtaha Benuas.
Umat ohoi bisa rli’ik hauk ralaan, ratahaken rakeak ni yean-liman bisa rakeak noon na’a ai utin
ain.
Dedan rat nasno marin nvo’o tul naa ohoi bisa fo meran rakak bisa ai hong-hong vangledli fo ratun
rehe Benuas
Benuas ndir na ai utin I, enit toran boton ain ni tetaan nabru’ut nba nsoak wat mo nhorak: “Mang
rakeak o fel i fo aka?”
Benuas nanar: “Toran ya rakeak ya’au fel i, niraan lalean ya’au uba sosuak woon vuuk o i bo ma
rakeak falo vel ya’au. Teek odan naa wak radat fo rahaing wel ya’au”.
Toran i nanar: “Um ba sosuak won wuuk ya’au de?”
Benuas nanar: “Noho rok i ! um hain nung bahivun naa wak” toran nahain mo, Benuas nanar: “Teek
ya’au uro-falo vel o, fo umba mublo vel woon vuuk ya’au he”. Benuas nakeak non umat i mo nafla.
Famehe hamar rat nasno ni umat wuttel, saav-wuttel rakak ai, nfaar yaf naa tenan, femur nasno
umat rahauk Benuas ndat, rahaauk rhain naa ai utin, toran betuan nwo’o, nakair: “Tet ya’au! Ya’au
waid i! Benuas nweang ya’au he!”
Rat nanar: “u kai rok o fo umat waswasil, um fit-futar afa fangled mo o rook he” edbo umat rfaar
yaf laten li mo mang-mang vuuk waid, toran betuan i nmat. Edbo Benuas ntal ni rahan ntubuur mo
nanar: “im ot tuk fo bi fedan naa ya’au waid”. Umat bisa rfaarnehe, rahoraak: “Benuas umot falbe
oh?” Benuas nanar: “Ya’au umat pintar, ya’au nung adil”. Edbo umat ranar: “Umat sukat wuuk am
woon o, fo am slamat woon wuuk o”. Benuas nanar: “ohoo”.
Edbo nro kuuk umat hirlim, n’ot hiratub mo, nfar yaaf, yaaf ngatil lai mo, na’awun nfedan rehe umat
hir i.
Raat raan sian, mo nanar: “Umweang am, um fedan nung umat”
Benuas nahava: “Ya’au u fedan waid, umat raot norang ya’au nung u ot waid”
Famurmur leraan fa’a wel, Benuas nang rihi faraha rat meman. Rat nasnobang ni marin: “Su mba
umnaar tul wel Benuas: ntal leer’i um dook tanat I waid rok”
Benuas nanar: “Book, teek dewut ya’au ufla”.
Edbo not ni laar hof ni afler nahafiik ni uwilin. Nfalo ni afler nadir rahan talvunan n’ot ni uwelin
naa rahan taav, nasak laar, nfairlaar, i nafla naa waid.
De wut rat nhorak: “De wut yoan rok, mu habo odan be?”
Benuas nahava: “Nung habo rok i mo, nafla naa waid”
Rat nanar: “Ler’i um yoat denda”
Benuas nanar: “U sob o, ya’au umat kasian, ya’au ub lerok : uwab rok nung tabob”
Rat nanar: “Book vuuk, u sayang vel o”.
Benuas nba-il nhuak yama, nanar: “Mam o, rat ndenda ya’au fo uvear rubi-ratut”

163
Yaman nanar: ”Ye! Ya’au nung kubang human waid wuuk: bail nung suksuk mas wuan, umtaha
rehe. Mas i ntub rubi-ratru, su mba umtukar naaa umat sin”
Edbo Benuas nbaaro umat sin ni ohoi, nhorak. Sin sadengar ndook denbe? Sin ain nanar: ”I ndok
wel”
Benuas nbaanti nfaser rok sin nit ok, nweang I umat bod-bod.
Sin nahorak: ”Um faha nung afa aka?”
Benuas ndook nmuan wet.
Sin nahorak: ”O ohoi be?”
I bail nmuan wet.
Sin nahorak wel: ”O memam aka i?”
I’nmuan et, famehe na’it sin hoan ndook nafhoar mo, i nataha sak ni suksuk mas.
Sin nana sad-sad, sebo, afa fangled, i nafeen bisa, femehe naturuk hoan. Sin naturuun, natam suksuk
mas.
Benuas ndook tub how hoan, hamar rok, i nali’ik umat sin i nanar: “Ya’au uweang ya’au bod: ya’au
bod waid rehe, ya’au u hauk wet ufarahak o hoam”
Sin nmeak laai, naheer: “um hool tuul wahaid, ya’au urang o”
Benuas nanar: “Um vear rubi-ratlim ve ya’au, ya’au u deang ufarahak o hoam waid.”
Sin nafear rehe bo, i nbail ohoi, nfear ni denda ve toran rat.
Mananat odan wel hira ain nboor umat vat ain ndook hof hoan wuar rattan
Nbaran nli’ik hauk hoan, nsu rat ni ohoi, na’ef ken wuk ko baran ain ntu’u hoan.
I nafkalaak we rat. Rat napares. Ko I nangwuak mo rat nahorak: ”Toran, mu saksi naa wuuk te
waid?”
Toran i nanar: ”Nung saksi naa waid”
Rat nanar: “Perkaar I wusiin la’ai, naweang sus, uputus naa waid: Umhauk Benuas ndat”
Benuas nwosak, rat nhool perkar ni raan felbebe wuk mo, nhorak: ”Benuas mu kai felbe?”
Benuas nanar: “Ya’au nung kai, um tutup wet bran-ran bisa naa rahaan dedan”
Edbo ntutup leran tel, famur Benuas nvatun fid nparees te en naksi, nanar: ”Toran o ken, ko vat ni
te ai ron bisa, i umat yaat”
Umat bisa ranaar: ”I wak hukum nabloli, Benuas umat adil li, vukun mubran li wuk, um taha’il
renam ntal nit ?”
Benuas nanaar: ”Ya’au nung bran vuuk”
Edbo Benuas nba nangan, nba-ken tebtuan buton ain, i mehe ndook wet. Benuas nanaar: “Um ba
how ya’au, ya’au piar o, vel rat nrat nahorak o, o weem wahaid. Edbo nvav tebtuan i nsu tahait,
nasluruk nba ti rat ni rahaan rat nhorak: “Te o umtal nit e?” tebtuan veen waid. Rat nhorak Benuas:
“um naar afa fo tunan, tebtuan i ntal nit te waid?” Benuas nhafa: “Nahorok I, ntal nit tee. Tebtuan i
ndook nit, tebtuan i ndook nit naot sian mo nit ra’ot i veen waid rok”. Tebtuan i ndenar Benuas enar-
fenan vuuk i nafruak ma nanar:”um horak ya’au fo faka? Toran rat, um kai Benuasi i nwasili, ya’au
u oho nit rehe waid, felbe u ot sian na’a nit rir ohoi vuk?” Rat nanar: Tebtuan umnar ken, Benuas
umat waswasilli………….?
Benuas nbail ti ni rahaan. Famur waun envut rok, rat nhauk na’ot rumnain la’ai ain, nvatuk ti umat
bisa rastaha lim, Benuas lim sab vuliru.

164
Edbo Benuas nba nagan enro umart fangled radok, i nanar: “Rat nasib ya’au u hauk im fo im ot
rumnain naa tahait, bail im hiluk sab, ya’au u tod im, im ot veeb waun vav te sab-tee, im tub wat
tanat ratan.”
Umat ratarim, Benuas ntod umat ratii, nba ro rat ni rahan, en-aik umat bisa rtaub rat ni reet utin.
Rat nastanuk, nhorak: “Niraan aka um hauk umat tavun i? um hauk ya’au uan umat e?”
Benuas nanar: ”Umat hir I waun binatang, rkai rfikir afa waid.” Rat nanar: “ bok vuk ya’au nung
untung umat ra il bisa”
Famur rat en-uuk ni umat kasil wut bisa nana: “Benuas enot nung untung umat rafil I, u haauk u
sak i fo kapitan”
Umat bisa ranar: “Benuas umat pintar li tunan, am turut li bisa”
Samer-mer rumnain ndir mo, tom ain rok.

165
BAGIAN II

166
Kidin 25
SEJARAH DESA NGILNGOF

Di zaman dulu, banyak tahun lalu, letaknya kampung kita bukan di pesisir laut. Mula-mula
letaknya di Ohoi-tum90, kemudian di Ohoi-reinan91 dan kemudian di Ohoi-Idar.
Dahulu kala Idar merupakan sebuah bukit, sama seperti kedua bukit di sana.92 Salah satu
dari kampung-kampung itu letaknya di atas puncak bukit itu. Kampung itu besar sekali. Ya, semua
kampung Kei Besar dan Kei Kecil dijumlahkan bersama, masih kalah besarnya.
Dalam kampung itu hiduplah seorang perempuan yang sudah tua, namanya nenek Idar.
Nenek Idar mempunyai kekuatan sihir, dan kampung tempat ia tinggal itu namanya kampung
Idar.
Tetapi banyak penduduk kampung itu bertindak tidak baik terhadap nenek itu. Setelah
mencari ikan, orang melempar siput-siput kosong dan tulang ikan di bawah kolong rumah nenek
Idar. Habis mandi, orang menggantungkan sarong-sarong basah di halaman rumah nenek Idar
sampai kering.
Mula-mula dia bertabah saja dan mencukupkan diri dengan bertengkar mulut dengan
mereka, tetapi orang tidak menghiraukan. Kemudian ia memaki-maki mereka, tetapi orang tidak
perduli.
Pada suatu hari banyak orang pergi mencari ikan; setelah pulang, mereka membakar
segala yang mereka tangkap di atas api, dan melempar semua siput dan tulang di atas halaman
nenek Idar.
Ketika itu memang nenek Idar sangat marah, dan ia akan balas. Dia mengambil parangnya
dan pergi ke tempat tanah rendah, di situ ia memotong bambu dan menjadikannya sengat-sengat
kaki.93 Sengat-sengat itu dibawanya dan ditanamnya keliling seluruh kampung, sehingga tidak
ada orang dapat melarikan diri.
Kemudian ia bersumpah: “Jika aku anak dan keturunan orang budak dan orang kasta-
rendah, orang hamba dan suangi, semoga kampung ini – sekalipun disumpahi – tetap seperti
adanya; tetapi jika aku anak dan keturunan orang-orang raja dan orang kasta-tinggi, semoga –
atas sumpahanku – tenggelamlah seluruh kampung ini dengan kesembilan ribu sembilan ratus
sembilan puluh sembilan manusianya”.

90Ohoi-tom, berarti kampung legenda, ialah tempat dari mana berasallah legenda tentang lahirnya suku
dan marga. Kemudian nama itu dikaitkan dengan sebuah kampung berbenteng, sesuai dengan situasi
semua kampung di Kei dahulu kala, karena sering ada perselisihan antara kampung dengan kampung
sehingga selalu orang harus siaga akan serangan kampung lain.
91 Ohoi-reinan berarti kampung ibu.
92 Keduabukit itu, yang tingginya lebih dari 100 meter, bersama dengan bukit dekat kampung Gelanit (114
meter) adalah titik tertinggi di Kei Kecil.
93 Sengat-sengat kaki itu adalah potongan-potongan bambu kecil yang diruncingkan. Dengan ujung runcing
itu ke atas, bambu itu ditanam di tanah, lalu diutup dengan rerumputan. Sengat-sengat itu amat tajam dan
tak jarang bahkan tembus kaki bila diinjak.

167
Dan terjadilah! Seluruh kampung dengan rumah-rumahnya serta pohon-pohonnya dan
juga dengan bukit itu sendiri dengan serta-merta tenggelam bersama dengan kesembilan ribu
sembilan ratus sembilan puluh sembilan manusianya.
Segalanya tenggelam, dan menggantikan bukit itu, terbentuk sebuah danau besar,
namanya danau Ablel. Anak-anak kecil berubah menjadi burung air, yang memang terdapat di
danau Ablel. Mereka berseru bagaikan orang yang menangis atau orang yang mau menghibur
anak-anak yang menangis. Mereka tidak boleh dibunuh, karena tadinya mereka manusia dan
nenek moyang kita.
Ketika menjelang malam banyak orang kembali dari kebun-kebunnya, nenek Idar
bertanya kepada mereka: “Kamu ke mana?”
Mereka menjawab: “Nah, tentu, ke kampung kami”.
Kata nenek Idar: “Silakan jalan terus, tetapi hari ini kamu tidak akan sampai”.
Mereka sama sekali tidak mengerti dan berjalan terus saja. Tetapi ketika mereka sampai
di lokasi kampungnya, mereka hanya melihat danau yang besar itu dan mendengar bebek-bebek
kecil menangis-nangis.
Pada menyaksikan itu mereka terkejut dan lari tercerai-berai. Ada yang menetap di
kampung berbenteng Reng-maas, ada lain yang lari ke Kelmanut; ada juga yang begitu takut
sehingga mereka meninggalkan negeri itu: mereka lari ke laut, naik sampan-sampan mereka dan
pergi; siang malam mereka dayung sampai akhirnya mereka tiba di Goram, di mana mereka
menetap. Sampai sekarang tinggallah di sana orang sekeluarga kita, dan kampungnya pun
bernama Ngilngof.
Kemudian berangkat juga nenek Idar, karena rumahnya sendiri telah tenggelam juga. Dia
berangkat bersama anjingnya, dan mereka berjalan dan berjalan terus. Setelah mereka sudah
berjalan jauh, perjalanan mereka terhambat karena sebuah batu karang yang tinggi.
Tetapi nenek Idar pandai sihir; ia menyumpahi batu karang itu dan menendangnya, lalu
batu itu terbelah dua; dan terlihatlah sebuah jalan serap, melaluinya nenek Idris dapat
melanjutkan perjalanannya. Bekas kakinya masih terlihat pada batu itu. Dan sejak waktu itu
lorong itu disebut lorong Idris.
Nenek Idris berjalan terus, lalu sampai sebuah tempat di mana tanah rendah. Anjingnya
sudah lelah dan berbaring di situ.
Karena itu tempat itu disebut tanah Lelah.
Ia berjalan terus lagi dan tiba pada sebuah tempat lain di mana tanah rendah. Anjingnya
haus dan memeking dengan tak hentinya. Nenek Ida menamai tempat itu tanah Meking.
Lebih lanjut – sesudah waktu yang lama – mereka sampai dekat kampung Gelanit. Di
sekitar itu ia tiba pada sebuah mata air.
Nenek Idar haus dan ingin minum. Dia membungkuk untuk mencedok air, lalu sisir
bambunya jatuh ke dalam air.94 Ia terkejut dan berseru: “Aduh, sisirku!” – Karena itu orang sejak
waktu itu menyebut mata air itu mata air Sisir.
Kemudian ia berjalan terus hingga sampai di laut.
Sementara itu nenek Idar mulai merasa lapar dan ingin masak boncis dan kacang hijau
yang telah ia bawa sebagai bekal.

94 Sisir bambu, yang biasanya terhias dengan siput-siput mutiara kecil, selalu dibawa pada konde.

168
Maka ia pergi ke laut untuk mencuci buncis dan kacang hijau itu, tetapi bakulnya jatuh
dan semua makanan itu jatuh di laut dan menghilang. Nenek Idar ucapkan sumpah dan semua
boncis dan kacang berubah menjadi ikan mukro.95
Lalu nenek Idar berjalan terus lagi. Dia berjalan sampai perbatasan Gelanit dan Letman
dan tiba lagi pada sebuah mata air.
Nenek Idar sudah berjalan amat jauh; ia lelah dan ingin mandi di dalam air ini. Tetapi
setelah ia turun ke dalam air dan duduk, maka dengan tiba-tiba ia mati. Tubuhnhya berubah
menjadi sebuah batu karang besar, yang sampai sekarang masih terdapat di tempat itu; tetapi
hanya kepalanya kelihatan di atas permukaan air.
Orang-orang Ngilngof sudah lari tercerai-berai, dan beberapa di antara mereka telah
menetap di Kelmanut. Di kampung Kelmanut hiduplah seorang perempuan yang sudah tua, yang
sangat pandai berbuat sihir; namanya nenek Kelmanut.
Pada suatu hari nenek Kelmanut pergi mencari binatang siput dan ia melihat ada sesuatu
terletak dalam lumpur laut. Ia menggaruk-garuk dan menemukan seekor ngobang (sejenis
binatang lunak tanpa kerangka). Dia mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam bakulnya.
Setelah pulang ke rumahnya, ia memasak segala yang telah ia tangkap itu dalam sebuah
kuali yang dibuat dari tanah liat, lalu pergi tidur. Ketika pagi berikut nenek Kelmanut bangun, ia
melihat bahwa ngobangnya sudah berubah menjadi seorang manusia.
Nenek Kelmanut telah menemukan dia dalam lumpur laut dan karena itu menamai dia
Tomel (cacing laut).96 Nenek Kelmanut membesarkan Tomel bagaikan dia anaknya sendiri.
Ketika si Tomel kecil itu sudah menjadi dewasa, nenek Kelmanut ingin mencari seorang
isteri baginya.
Pada waktu itu hiduplah di Tetoôt seorang puteri, anak dari raja Tetoôt, yang sangat elok.
Amat banyak orang yang melihat puteri Butri itu, terpesona karena kecantikannya dan
ingin membeli dia menjadi mempelainya, tetapi raja menuntut harta kawin demikian tinggi,
sehingga tak ada orang mampu membayarnya.
Tetapi nenek Kelmanut nekad membeli Butri sebagai isteri bagi Tomel. Dia memuat dua
perahu penuh dengan meriam-meriam, senapan-senapan, emas dan pelbagai harta benda yang
amat bernilai.
Mereka berlayar ke Tetoôt, memamerkan semua harta itu dan berunding lama sekali,
namun raja berpendapat bahwa semua itu belum cukup untuk membeli Butri, dan ia menolak
melepaskan dia.
Maka mereka berlayar pulang dan sekali lagi mengumpulkan banyak barang berharga
dan memuat sebuah perahu dengannya untuk melengkapi harta kawin itu. Dengan membawa itu
semua, nenek Kelmanut bersama Tomel sendiri berlayar lagi ke Tetoôt.

95 Ikan mukro adalahsejenis ikan sangat kecil yang dalam kawanan-kawanan besar dan pada waktu-waktu
tertentu dan di tempat-tempat tertentu muncul di dekat pantai, di mana dengan mudah dapat ditangkap
dengan jaring pencedok.
96“Cacing laut”: nama itu mungkin bagi kita kurang sesuai dengan fakta bahwa dia seorang anak ajaib.
Namun dalam bahasa Kei tomel adalah sangat istimewa: “-mel” itu berarti termasuk kasta-tinggi.

169
Lalu raja setuju bahwa mereka akan kawin, tetapi ia berkata: “Aku sering berlayar ke
Dulah; aku mohon, berilah kepadaku di tanahmu di situ sebuah tempat istirahat musafir, sebuah
tempat untuk menaruh kaki-api97 untuk memasak makanan”.
Orang-orang Ngilngof berunding lagi dan berkata: “Tuan raja, Tomel dan Butri kini sudah
kawin, maka memandang bapak sebagai bapa kami sekalian: karena itu seluruh tanah Ohoiwur
menjadi sekaligus tanahmu. Seluruh petuanan kami adalah juga petuananmu”.
Sesudah itu orang bersiap untuk mengantar Butri dan kembali dengannya ke kampung
mereka. Tetapi raja merasa teramat sedih dan masih menahan puterinya.
Maka Tomel tinggal sendirian dengan Butri, sedangkan semua yang lain pulang ke
kampungnya. Kemudian lagi sekali mereka membawa emas untuk jemput Butri, tetapi raja masih
saja tahan dia, sampai akhirnya Butri meninggal dan Tomel pulang ke kampungnya seorang diri
dan meratapi isterinya.
Dan karena itu kita tidak pernah mendapatkan Butri dan karena itu tanah Ohoiwur
dengan tak terbagi, tetap milik kita.98

----------------------------

Lalain mananat li rok, mam ohoi ndok I waid. i ndok wel ohoi-tom, ndok wel ohoi-renan, adok wel
Ohoi-Idar.
Laleanli Idar wur ain wuk waun wuk wuur nru wel. Ohoi ain I ndok vuuk vuur ratan i. Ohoi i la’ai
tenli. Oh! Umat yuut nuhu roa bisa femehe nharang vuuk ohoi I waid.
Edbo naa ohpoi I kovat betuan vuk, i meman tete Idar. Edbi tete Idar ini berkat la’ai. Ohoi I vuuk
meman Ohoi Idar.
Edbo Ohoi duan hir vangled ra ot tete Idar sisian li. Hir raba ratai met, hir fatuk wad buin nhov vuut
lurin tete Idar ni lov-lovan. Hir ba luruk, hir fakloi vat rir sibo kabohan naa tete ni latubur.
Lalain ndook nasabar wet mo, ngoak wat ni sian mo, hir waat waid. Famur nkar-fenan wel mo,
rwaat vuuk waid
Edbo leran faa wel, hir vangled li rba wel rba tamet vel mo, hir-il rdo ratuun bisa rir wad met mo,
her voak wel buin bisa naa tete Idar ni latubur.
Edbo tete Idar raan sian lair ok, n’ot hir raras. i ntaha nger bo, nba su tur, n’afat wuur, ndinik taar
fangledli. Ntaha sunfoi taar i bisa, nveva bisa Ohoi, fo hir rafla naa waid.
Famuur ntar-taroman: betne murbung lim, iri hawang, yanar, ubur ya’au, utar-taroman, ohoi
ndook bail i: betne rat aknas melhel kanew yanar, ubur vuuk ya’au utar-taroman, ler i ohoi nhov
umat rivun-siu, rat-siu, wuut-siu, umat siu rluduk na den i.
Edbo ohoi bisa, rahan, ai, vuur vel namludur bisa, nhoov umat rivun-siu, rat-siu, vuut-siu, umat siu
rmant famehe.
Rluduk bisa mo, wear laai, meman wear Ablel inhiluk rok vuur ni waai. Umat kakahai rval il vuk fo
manwear rloi wear Ablel waid. hir weer waun mang raroon wat nhov rakluur: umat rfedan manut
i fulik vuuk ni raan lalain hir umat vuuk, am yamab-aab wuuk.
Edbo leer wahan rak umat vangled rtal nangan il rdo tete Idar nhorak:”im ba be?”

97Kuali atau belanga ditempatkan di atas tiga kaki dari tanah liat. Suatu tempat untuk menempatkan kaki-
kaki itu menunjuk pada suatu tempat singgahan yang dimiliki pada tanah orang lain.
98 Akan tetapi
pihak yang lain menyatakan bahwa Butri dilepaskan dengan sepantasnya dan bahwa karena
itu mereka mempunyai hak atas tanah Ohoiwur.

170
Hi ranar:”am il mam ohoi waid”
Tete Idar nanar:”im ba ma, ler i im ba harang vuuk waid, hir rkai rfikir waid bo, hir rba rehe. Rba
ma, rhoti ohoi ni wai, r’it wat wear lai nloi nhof rdenar manut raroon, r’it mo rbobar li hir laf la wir
waruk bisa. Voho rsu ndook ohoi-Tom Reng-Mas, voho rdook Kelmanut, voho rbobar li rdook habat
rok waid , hir rafla su tahait, rtai ni rau-habo bisa rfehe dedan hamar rvehe wet, famehe mananat
wel rho Ngoran mo, rdook. Femehe ler Ii mam asa wuuk, rir ohoi vuuk meman Ngolgof.
Edbo famuur tete Idar welt e nba vuuk niraan nirahaan namluduk vuuk. Hiru ni yahau rba, rba
nasluruk wet, rba ma, rba rok roro odan, suntut naa wat la’ai karatatli.
Bisa mo, tete Idar ni berkat laai mo, ntaroman wat, famuur ntal wat i, wat viak rehe fo ded, tete Idar
nho ti, ni yean wain hob ntub wat vov e. ded i famur ntheer wet fo ded-idar.
Edbo tete Idar nba vel, nba nho taur mo, ni yahau namnut rok mo suntub wet.
Fel i tete Idar nheer taur I fo taur-nut
Bisa mo, nba roro wel odan, nho vel taur ain wel. Nho ma, ni yahau nambro, nakair wat fel i tete
Idar nheer taur I fo taur-air
Edbo famuur nba vel femehe roro li, famehe Gelanit leen sir ruk. Leen sir ruk mo, nba ken vuuk wair
ain. Edbo tete Idar nabro rok mo, nhauk nen waer. Nhauk non mo, nkuruk fo nteek wear mo, ni hua
temar nleek su wear i. enleek su mo, nabriang mo nanar:”eh! Hua-fel hir famuur umat rheer wear i
fo wear- hua”.
Bisa mo nba wel ntubur tahait. Famuur tete Idar nablafar rok, nhauk n’ot uran yaf i ntaha fo ni laf
nhoof ngafohot.
Edbo nba du tahait fo nvurik lav hof ngafohot, ntaha talik ni bis, ntaha foak bisa naa tahait i. tete
Idar ntaroman wel mo, laav ngafohot n’il bisa fo makro.
Famuur tete Idar nba wel. Nba wel femehe Gelanit hires Letman kanutun, nba ken wel wair ain. Tete
Idar nba roro li rok mo, namnut nhof nluruk naa wear wuuk i. nsu wear mo, sundook nmat rehe, ni
arumun n’il fo vat la’ai ain, hoob ntub wear i, bail uun mehe wak nfosak woleaan.
Edbo umat Ngilgof hir rafla wir-waruk bisa, hir voo nrba rdook vuuk kelmanut. Na Kelmanut
tebtuan ain ni berkat lai na’a vuk, I meman te Kelmanu.
Edbo fa a vuuk te Kelmanut nba ntai met, n’it ava ntub bonat raan. Nkeer mo, nkeer keen gobang
ain. Ntaha yaik nhilik su ni yafar. N’il-do, nfaik bisa ni wad met naa uran, mo suntub.
Edbo samer-mer te Kelmanut nbatar, n’it ngobang nval il rok fo umat.
Te Kelmanut n’it naa bonat mo, nheer i fo tumel. Te Kelmanut ntood kot tumel i fo sak yanan.
Edbo kot tumel ndat la’ai rok te Kelmanut nhauk nhorak kovat ain fo hoan.
Te wat i na Tetoat umat butri ain, rat Tetoat yanan mo, ni fellan bokbokli.
Umat vangled r’it Butri i, rliik waun baok-baok, rhauk rok rfaha mo, toran rat nheer enan la’ai li
mo, hira ni bran vuuk waid.
Edbo te Kelmanut nhauk wet nfaha butri n’i fo Tumel hoan. Hir rhamaat habo la’ai enru, rloan bisa
kasber, sad-sad, mas, vuur harta bao-bao wet faheme raan.
Rliik rat Tetoat, rtuu bisa vuur-harta, hir rasdov bloat li mo, rat ntibang nharang butri enan hob,
hob ntahang wet.
Enbo rli’ik il su mo, r’ot harta fangledli fel fo rtaba habo raan vel. Famuur te Kelmanut nhoof umat
Tumel vuuk hiir liik il rat wel.
Edbo famuur rat ntarim fo hira fau rok mo, nanar vel. Ya’au vangled lai, uvehe vuk do, um ot nung
tanat udan, tanan niwai naa bir nuhu fo u ot nung uran yaf.

171
Ngilgof hir rasdow wel bo, rnaar:”toran rat, Tumel hiru butri rafau rok bo am liik o rok fo saar mam
yaman-aan mo, tanat ohoi vuur kanimun bisa o mu vuuk vaheme wet. Nuhu bisa mam, bisa did.”
Famuur rhauk rdook rok butri fo rvehe il rir ohoi mo, rat entahang wet, famehe mang-mang wel
butri nmat mo Tulemal ngain mehe wat, n’il ni ohoi mo nroon hoan.
Fel i am tam butri wuuk waid mo, mam nuhu Ohoi-Wuur ndook nablo wet fo amahe mam.

172
Kidin 26
SEJARAH DESA HAAR

Dan begini sejarahnya!


Hiduplah di Haar sepasang suami-isteri. Si laki-laki, dari keluarga Ralus, bernama Sef,
sedangkan perempuan itu namanya Watwarin.
Pada suatu kesempatan bapak itu pergi untuk pangkur sagu; perempuan itu hamil dan
tinggal di rumah.
Menjelang malam bapak itu pulang dan membawa sagu yang sudah dibakar bersamaan
dengan obor-obornya. Sesampai di rumah, ia menggantung sagu itu, taruh obor-obornya dan
pergi mencari ikan.
Ia tidak menangkap apa-apa selain seekor kepiting. Ia makan hanya supit-supitnya,
badannya ia simpan.
Hari berikutnya ia pergi lagi pangkur sagu. Ketika malam hari ia tiba di rumah, ia
menggantung lagi sagunya bersama dengan sisa kepiting itu dan pergi mencari ikan lagi.
Akan tetapi isterinya yang hamil itu tetap di tempat tidur dan merasa lapar sekali. Dia
mengambil sagu itu dan makan sebagiannya. Ketika suaminya pulang, ia mengambil obor-
obornya dan sagunya yang sudah dibakar itu.
Ketika ia memperhatikan bahwa sagu itu sudah sangat berkurang, ia mengerti bahwa
isterinya telah makan sebagiannya, dan ia sangat memarahi dia.
Dan beginilah sejarahnya! – Pagi hari ia mengerjakan sebuah papan-berbaring99 dan ia
menaruh di situ sebuah keranjang dengan makanan. Lalu ia memegang isterinya, membaringkan
dia dan memenggal jari tangan dan jari kakinya. Sesudah itu ia memikul dia ke luar, meletakkan
dia di atas papan itu dan menendang papan itu ke dalam laut, supaya tinggal terkatung-katung
jauh dari tempat itu.
Papan itu sudah jauh sekali dari pantai, dan perempuan itu dapat melihat tanah Papua.
Watwarin menjadi takut dan bersumpah: “Ya Tuhan, jika aku anak dan keturunan orang budak
dan kasta-rendah, hamba-hamba dan orang suangi, semoga aku terapung jauh dari sini dan tidak
lagi bertemu dengan ketujuh saudara laki-lakiku yang dalam perjalanan ke Tanimbar; tetapi
kalau sebaliknya aku anak dan keturunan raja-raja besar dan kasta-tinggi, maka semoga aku
pulang ke kampungku dan bertemu kembali dengan mereka”.
Demikianlah sumpahnya, dan ketika sudah menjadi siang, ia sudah kembali ke Wair.
Dengan tangannya yang tidak berjari itu dia melempar keranjangnya ke darat lalu ia merangkak
pada lutut dan sikunya ke pantai dan tinggal berbaring di tengah-tengah rumput.
Dan beginilah sejarahnya! – Sementara ia terlentang di tengah rumput itu, ia mulai sakit
beranak. Ia duduk di bawah sebatang pohon dan melahirkan seorang anak laki-laki.

99Papan-berbaring, tood, adalah sebuah papan yang harus dipakai selama beberapa hari oleh seorang
perempuan yang baru saja melahirkan. Dia dibaringkan di depan api.

173
Anak itu bertumbuh siang-malam, siang-malam, dan ketika ia sudah menjadi seorang
bocah, ia menjadi biasa dengan busur-panah.
Ia menembaki belalang dan cecak dan membawanya kepada ibunya. Kata ibunya: “Aduh!
Belalang dan cecak kita tidak makan. Buanglah!”
Ia membuangnya dan pergi berburu lagi. Ia menembaki burung-burung kecil, walet,
burung madu dan bermacam-macam burung yang amat kecil dan membawanya kepada ibunya.
Tetapi ibunya berkata: “Burung-burung itu terlalu kecil dan tidak cocok untuk dimakan”.
Kemudian ia pergi lagi dan menembaki burung merpati hutan, burung tekukur dan
burung kakatua dan membawanya kepada ibunya.
Ibunya berkata: “Burung kakatua tidak dapat dimakan, tetapi merpati hutan dan burung
tekukur enak dimakan”.
Dan beginilah sejarahnhya! – Ketika kemudian anak itu pergi berburu lagi, ia pergi ke
mata air: di sana terdapat banyak burung merpati.
Ketujuh saudara laki-laki ibunya pun baru saja datang dari tanah asing dan tiba di sana.
Anak itu mengamat-amati mereka dengan saksama dan memperhatikan bahwa mereka
serupa dengan ibunya. Apakah mungkin mereka adalah paman-pamannya? Ia tidak tahu dan
menerka-nerka.
Ia kembali ke ibunya dan menceritakan kepadanya: “Ada tujuh orang laki-laki sedang
mandi dalam air di sana. Mereka serupa dengan ibu dan lafal mereka pun seperti lafal ibu.
Tidakkah mereka itu paman-pamanku?”
Ibunya berkata: “Kembalilah ke sana, mandi juga; engkau harus berenang dan menyelam,
berenang dan menyelam sampai mencapai mereka, laku engkau harus memberitahukan kepada
mereka segala yang telah kita alami”.
Setelah mendengar tugas ini, anak pergi mandi. Ia berenang dan menyelam, berenang dan
menyelam, hinggga ia sampai pada yang sulung; dia itu memperhatikannya dan bertanya:
“Engkau dari keluarga siapa?”
Ia menjawab: “Ibuku bernama Watwarin dan nama ayahku adalah Sef. Tetapi Sef berbuat
jahat terhadap ibuku: ia telah memenggal jari tangan dan jari kakinya, dan sekarang dia duduk di
sana di tengah rumput”.
Mereka mengenal dia kembali dan pamannya yang tertua memeluk dia dan mencium dia
dan mereka bertujuh berbuat begitu pula. Pada melihat anak itu, mereka teringat akan wajah dan
perawakan saudarinya, yang sangat mereka cintai.
Kemudian ketujuh bersaudara itu memotong tujuh tongkat, menjahit atap dan
membangun sebuah gubuk. Mereka hadiahkan juga tujuh sarong, tujuh kebaya, tujuh parang,
tujuh periuk berisi air, tujuh ribu kue sagu, dan segugus bambu kanari.100 Mereka menimbun sagu
supaya saudari mereka memakannya bila saja ia lapar. Mereka memasukkan sebuah tangkai daun
papaya ke dalam periuk air, supaya dengan mudah ia dapat mengisap airnya.
Lalu ketujuh saudara Watwarin berlayar pulang untuk bertemu kembali dengan anak-
isterinya masing-masing.

100Bambu seruas dibelah menjadi irisan-irisan tipis yang tetap bersatu; pada setiap irisan ditusuk sebuah
kanari.

174
Dan beginilah sejarahnya! – Ketika kemudian anak itu pergi lagi menembaki burung
merpati, ia sampai pada mata air sungai itu. Di situ ia melihat seorang ibu yang sudah tua yang
sudah siapkan kelapa-kelapa yang telah diparut dan sementara membakar patatas manis dan ubi-
ubian lain.
Anak muda itu bertanya: “Ibu, apa yang Ibu buat di sini?”
Nenek itu menjawab: “Aku sedang menyiapkan makanan untuk ketujuh anak Allah yang
sedikit lagi akan turun”.
Tanya anak itu lagi: “Ibu, mana dari ketujuh anak Allah paling favorit bagi Ibu?”
Nenek itu menjawab: “Yang bungsu sangat indah sosok badannya. Tunggu, bila sebentar
mereka turun, ambillah dan sembunyikanlah pakaiannya, supaya ia menjadi isterimu”.
Sementara mereka masih omong-omong di sana, terdengarlah bunyi nyaring: “Juuh! Jooh!
Phoe!” Dan turunlah mereka; sebuah tempat tidur diturunkan dari surga dan mereka duduk di
atasnya.
Mereka turun dari tempat tidur itu, meletakkan pakaiannya di bawah sebatang pohon dan
pergi mandi.
Setelah mereka mandi, nenek itu membawa datang kelapa yang diparut itu untuk
merapihkan rambutnya.
Sesudah merapihkan rambutnya masing-masing, mereka mengenakan lagi pakaiannya;
tetapi Watwarin berdiri sambil menangis karena ia tidak menemukan pakaiannya; Anak muda
itu sudah menyembunyikannya.
Enam yang lain sudah mengenakan pakaiannya dan nenek itu menghidangkan makanan
bagi mereka. Dia panggil juga Watwarin untuk datang ikut makan.
Mereka berenam makan, tetapi yang bungsu tidak mau makan dan duduk menangis saja.
Dan beginilah sejarahnya! – Sehabis makan, mereka sepakat begini: “Ibu, engkaulah yang
bersama Watwarin mencari pakaian itu; sementara itu kami akan naik dan melaporkannya
kepada bapak kami Kler”. Ayah mereka namanya Kler.
Mereka menaiki tempat tidur itu; tempat tidur itu lalu diangkat dan mereka naik lagi ke
surga.
Setelah mereka pergi, berkatalah nenek itu: “Ayo, makan sedikit, lalu kita akan mencari
bersama-sama”.
Tetapi dia merasa malu karena ia duduk di situ dalam keadaan telanjang dan ia tidak mau
makan. Maka muncullah Anak muda itu dan bertanya: “Kau kehilangan barang apa?”
Watwarin malu dan amat sedih dan tidak mau menjawab.
Anak itu bertanya lagi: “Kau kehilangan apa?”
Watwarin diam dan duduk saja menangis-nangis.
Anak itu bertanya sekali lagi: “Kau kehilangan apa?”
Watwarin berkata: “Kau tenggorak! Aku kehilangan pakaianku, karena itu aku menangis
dan aku tidak suka berbicara”.
Anak muda itu berkata kepada nenek itu: “Seandainya ia menunjukkan sikap yang baik
terhadapku, kami bisa mencarinya bersama-sama”.
Sahut nenek: “Memang, coba sedikit ramah seorang kepada yang lain dan pergilah
mencari bersama-sama”.

175
Berkatalah gadis itu: “Kalau begitu, mari kita mencari bersama dan jika engkau
menemukan pakaianku itu, aku siap menjadi isterimu”.
Maka mereka pergi bersama-sama dan untuk Anak muda itu tidak sukar
menemukannhya, karena dia sendirilah yang telah menyembunyikannya. Mereka kembali dan
Watwarin sangat senang. Nenek itu memberi makan kepada mereka berdua dan mereka
kawin.101
Dan beginilah sejarahnya! – Tujuh hari kemudian kembalilah kenam saudara perempuan
dan mereka melihat bahwa kedua orang itu sudah kawin. Mereka berenam marah, dan mereka
mengejek: “Pada setandan pisang, sisir yang pertama masak adalah sisir yang tertua; tetapi pada
tandan ini justru yang paling muda yang pertama masak”.
Mereka mandi dan sesudahnya mereka makan, tetapi yang bungsu hanya duduk nonton
saja. Kemudian mereka naik kembali ke surga untuk memberitahukannya kepada ayah mereka.
Berkatalah ayah mereka: “Aduh, datuk-datuk yang manis! Pada setandan pisang, sisir
yang tertua menjadi masak sebagai yang pertama, tetapi pada tandan ini yang bungsulah yang
pertama masak”.
Allah bersabda: “Biar terjadi begitu; dia sekarang bertempat tinggal di bumi, mari kita
mengadakan hubungan keluarga dengan para penduduk bumi”.
Kler pesan: “Bila kamu turun lagi, katakanlah kepada mereka bahwa mereka ikut naik ke
sini, tetapi mereka harus tinggalkan ibu itu di bawah”.
Tujuh hari kemudian mereka turun lagi dan menjemput kedua orang itu untuk ikut naik
ke surga.
Ketika mereka tiba di atas, Allah bersabda: “Jika kamu nanti turun lagi, anyamlah sehelai
daun kelapa dan persembahkanlah itu dalam rumah; ambillah juga tiga kue sagu, seekor ikan dan
sebuah kue nasi kecil dan susunlah itu semua pada kaki daun itu, dan bila ada orang yang sakit,
ia akan sembuh”.
Inilah asal mula persembahan kita.
Anak itu memberikan sebuah mata uang emas untuk isteri Kler, namanya Bien te Mutan
(= ibu Awan), yang adalah ibu dari Ngaas-ngiv maas.
Di surga itu nama Watwarin menjadi Ngaas-ngiv maas dan di bumi namanya Watwarin.
Ketika ia kembali ke bumi, Allah memberikan kepada mereka empat mata uang emas:
yang satu namanya Ensi, satu yang lain namanya Ngiryaan, satu yang namanya Sabkuk song dan
satu yang bernama Bormaat yang halus.102 Sesudah itu Allah menurunkan tempat tidur itu.
Dan beginilah sejarahnya! – Ketika mereka berdua yang baru kawin itu tiba kembali di
bumi, mereka pergi mengunjungi ibu mereka.
Setelah sampai padanya, Anak muda itu menyuruh orang memetik dua pasang kelapa
muda; airnya dituangkannya ke dalam sebuah belanga yang ada di atas api, ia pun menambah
sagu, memasaknya menjadi bubur dan menyedoknya ke dalam sebuah pasu. Ketika sudah
mendingin, bubur itu menjadi kental. Watwarin meletakkannya ke atas tangan mertuanya hingga
melekat.

101Dalam kehidupan sehari-hari suami dan isteri tidak biasa makan bersama. Hanya pada kesempatan
pengresmian suatu perkawinan mereka makan bersama sebagai salah satu acara yang tidak boleh dilewati.
102 Potong-potong emas yang disimpan sebagai barang pusaka, di Kei sering diberi nama masing-masing.

176
Lalu ia menyuruh dia: “Mohon pegang parang ini”.
Dia angkat parang itu dan dapat memegangnya.
Watwarin katakan: “Angkat parang itu dan potonglah sesuatu dengannya”.
Dia mau memotong, tetapi parang itu jatuh dari tangannya; dia belum mampu.
Watwarin mengobati dia lagi sekali dan berkata: “Coba lagi memotong sesuatu”.
Maka jadi! Tangan sudah menjadi kuat.
Lalu kakinya diobatinya pada cara yang sama. Kakinya menyembuh juga. Lalu ia berkata
kepada suaminya: “Gambarkanlah sebuah kapal di sana, di pantai, lalu kita bertiga akan berlayar”.
Ketika ia selesai menggambar perahu itu, Watwarin mengucap sumpah, dan pada waktu
air pasang, perahu terangkat dan terapung bebas.
Ketika masih air pasang, mereka naik perahu itu. Perahu melaju dalam air dan bertolaklah
mereka. Mereka berlayar sampai terlihatlah Papua, lalu mereka kembali dan menurunkan sauh
di depan kampung Haar.
Mereka berlabuh di depan Haar, dan orang Haar itu berkata: “Ada perahu sementara
berlabuh, dan dia yang telah memenggal jari-jari isterinya, telah pergi untuk membikin obor-
obor. – Mereka jengkel, karena dia – dalam jabatannya sebagai kepala kampung – tidak mau
membuat perjanjian perdagangan.103
Sef berkata: “Aku harus mengerjakan obor-obor”.
Orang marah karena Sef tidak mau membicarakan perjanjian perdagangan. Tetapi putera
Sef juga marah dan dia membuat air pasang menggenangi tanah Haar dan menghalaukan ayahnya
bersama sebidang tanah, sehingga – disaksikan oleh orang-orang yang lain – mereka melaju
keluar di atas air laut.
Lalu Sef perintahkan ketujuh saudara isterinya: “Pergi beritahukan kepada anakku bahwa
ia boleh memandang aku sebagai sepotong kayu dari kapal yang telah karam, bahwa ia boleh
menginjak aku supaya lewat aku ia sampai ke darat, bahwa ia boleh menjadikan aku budaknya,
asal saja ia membiarkan aku tetap hidup”.
Selanjutnya Watwarin bersama suaminya serta para bawahannya berdiam di bagian
selatan kampung Haar, dalam sebuah kampung yang namanya Hiluk.
Dan beginilah sejarahnya! – Kemudian hari di Hiluk terdapat amat banyak penduduk,
namun pada suatu saat mereka tercerai-berai. Hal ini disebabkan oleh seekor ikan paus.
Naiklah seekor ikan paus besar dari dalam laut dalam, ia tembus di bawah tanah, sampai
kepalanya muncul di atas tanah di tengah kampung itu. Orang dewasa semuanya ada di kebun
dan semua anak-anak dicaploknya.
Ketika orang pulang dari kebun-kebun mereka, mereka tidak lagi melihat anak-anak
mereka, maka mereka amat bersedih hati dan duduk menangis dengan tak henti-hentinya.
Tak lama kemudian kaum laki-laki mulai mengintai, dan tujuh hari sesudahnya ikan paus
menunjukkan diri lagi. Terbanyak di antara orang-orang itu terkejut pada melihat ikan itu muncul
dan melarikan diri ke segala jurusan: laki-laki maupun perempuan lari ke hutan.
Ada seorang perempuan, namanya Booitiem, yang hamil; waktu itu sisirnya jatuh dan dia
membungkuk untuk mengangkat sisir itu; sementara itu yang lain sudah lari jauh ke muka. Maka

103Bila tibalah sebuah perahu atau kapal dengan barang dagangan, kepala desa yang bersangkutan harus
dulu membicarakan perjanjian perdagangan dengan si pedagang.

177
selanjutnya ia lari seorang diri, hanya didampingi oleh anjingnya, namanya Watsiling. Anjing itu
pun hamil.
Pada suatau saat mereka berdua terlentang di samping lorong yang mereka ikut itu. Di
situ Booitiem melahirkan seorang anak dan anjingnya pun melahirkan seekor anjing kecil. Tidak
tersedialah air untuk memandikan anak itu; anak itu diberi nama Booimaas.
Dia membersihkan dirinya dengan daun-daun.
Bagi anjing pun tidak ada air, tetapi dia pergi cari dan menemukannya.
Anjing itu, dengan moncong penuh air, kembali dan memandikan anjing kecil itu dengan
air itu. Perempuan itu duduk memperhatikan bagaimana anak anjing itu dimandikan. Dia
tinggalkan anaknya di samping anak anjing itu dan mengikuti anjing.
Dia melihat anjing itu isi mulutnya penuh dengan air pada sebuah mata air, yang namanya
mata air Gua. Sesudah itu anjing itu kembali dan tinggal berdiri di samping lorong itu, supaya
Booitiem bisa turun ke mata air.
Booitiem turun dan mandi, kemudian dia ambil parangnya dan memotong sebatang
bambu untuk diisi dengan air supaya bisa memandikan anaknya.
Tujuh hari kemudian ikan paus itu muncul kembali di dalam kampung Hiluk dan
selanjutnya setiap tujuh hari dia datang. Sampai akhirnya orang-orang laki-laki berdiri siap, dan
ketika kepalanya muncul di tengah kampung, mereka semua meloncat menyerang dia,
membunuh dia dan membelah dia. Ekornya jatuh ke tempat yang dalam, tetapi kepala dan
sebagian tubuhnya ketinggalan. Tulang-tulangnya masih tertinggal di tempat itu.104
Sesudah itu semua orang yang telah melarikan diri tidak terlalu jauh, kembali ke
kampungnya; tetapi ada juga yang telah berlari hingga jauh sekali, dan beberapa di antara mereka
peregi berdiam di Kei Kecil, dan kampung mereka bernama juga Hiluk.

-------------------------------------

Sar tumtum labo ! Har Wat Baran hirru erdok Berenran fam Ralus, meman Saf, en Wat meman
Watwarin.
Edbo beran enba enfaw er, en wat iwun ruk ma, enduk ohoi. Hon, enut enhuv ni hu. Enil ohoi endo
enwaw ni kown, enut ni hu sentub, enba entai miet.
Ental miet, bail enfedan wat sefmom ni tantanan. Naan wat ni tantanan, ni tumun enut sentub.
Fomur hamar wel, enba wel enfaw er. Enfaw ma, ler wav enil wel endo enfaklai wel ni kown enhuv
sefmom rehen i, famur enba wel entai miet.
Edbo ni hon iwun ruk entub ma, neblafar lai ruk ma, na ni kown ma naan. Naan, ai hon enil do entuu
ni hu enhuv ni manga levlev.
Entaha su ma, enleik i denkot ruk. Enkai ruk ni hon naan ma, i raan sian enhov ni hon
Sar tomtom labo ! Raan sien ma, hamar enut tood enut ngutun enhov kis sendok wuk tood. Fomur
ni hon entaha non, enut sentub, enafat bissa ni yan liman tanan. Fomur entood ni hon enwarsu,
entuu na tood, entai senfof.
Edbo tood i enba enludur fo ablot ruk, en wat enleik ruk Nesyaf riri nuhu. Edbo Watwarin enboobar
ruk ma, entaroman: Duang o, fel murbong, kab lema, iri howang yanar ubur yaw, uba ufof

104 Memang di dekat kampung Haar terdapatlah sebagian kerangka dari seekor binatang laut raksasa.

178
fameheruk i, ning urang hir fit, erhoba Atnebar Mav, yaw uit ruk waid; Bet rat aknas, mel hel kanew
Yanar ubur wuk yaw, uil urat wel ning ohoi, uit wel hir.
Entaroman ma, hamar lai wel enfok il endo Wair. I endo ni limkawun entaha tuak ni ngutun
enwatuk ti nangan, fomur i enkuruk neslebar wat na ni yan liman tuut enho sentub way nifar raan.
Sar tumtum labo ! endok nifar raan ma, nitetan suhut ruk, enduk ngav ni diw ain ma, enduk wav ni
yanan abran ain.
Yanan kot enmel, dei hamar enmel, dei hamar enmel, dei hamar enmel, sawat lai ruk edan, entaha
temar atwar kutkut.
Entaha temar ma, enba enfan sasehe, kabin entaha tiok ni renan. Ni renan nanar: Yoh ! kabin sasehe
hira naan waid ! Umwatuk.
Entaha watuk ma, enba wel, enba wel enfan manut salolor, susnav, manut kotkotsin wat, entaha ni
renan.
Edbo ni renan nanar: Manut kotsin ma, itaan bok waid.
I bo fomur enba wel, enfan taruut, kamuun, kanar entaha tiul ni renan.
Ni renan nanar; Kanar itaan waid; itaan bail wat taruut kamuun bekbok.
Sar tumtum labo ! Fomur kot i enba wel enfan ni manut ma, enho ti wer, manut angled.
I bo ni renan uran hirfit ental mav erdo ruk ni.
Kot enleik tuung wat hir, enit wahar matar waawn ni renan. Ini mimin ruk i tebe ? I enkai wuk waid,
enduk enfikir haawk Wat.
Edbo nefla il wat, enba senhol wel ni renan nanar: Tomat hirfit resnawng na wer ie wil, wahar matar
fel te o, mumur wel fel te o. Ning mimin ruk i te be ?
Ni renan nanar: Umbwa ti wel, ubwa wuk musnawng, umnang, musaw, umnang, musaw, famehe
umbo sir ruk, umhul bissa dit tum wer hir.
Ensib ma, ni yanan enba wel nesnawng. Nesnawng ma nanang, nasew, nanang, nasew, famehe enho
sir ruk en yan , ma enit. Tomat i enhora: Kot en be o ?
I nanar: Renang Watwarin, Yamang Sef, ma Sef enot renang sisiam, enafat neil en liman tanan enot
senfof ma, enduk nifar raan wil.
Edbo hir erefken ruk ma, ni yaman ait ensak enwil enhumak, hirfit nutun bissa. Erit kot i, erit rir
uran wahan matan felan bissa ma, efangnan laili.
Fomur uran berenran hirfit erut ai hanga enfit, erhimat enhuv rafat, erot rahan kot ain, ertuu wel
esbo enfit, rawit enfit, nger enfit, wer ub enfit, manga riwun fit, erut wel wuren enmir uwar, manga
ergodangna rahan fo rir uran neblafar, naan. Erot kustel ran ngain endir ub, fo endok entu wat wer.
Fomur Watwarin ni uran hirfit refla wel, erba erleik yanar hor.
Sar tumtum labo ! Famur yanar kot i enba wel enfan manut, enho ti hor matan. Enho ti ma, enit te
betuan ain endok enbatang ni ngu ferfer enhov endok neflewan en, enmav, ronan.
Kot enhorak : Tete omut aka i ?
Betuan i nanar : Uot wer benaw tiok duad yanan hirfit wukun ersu i.
Ko i nanar : tete duad yanat hirfit en be mu suksuk ?
Betuan i nanar : En warin wak felan bokbok. Tiok ertubur su wak, umtaha ni rawit esbo, umbwa
ummfakleak, fo o hom.
Edbo hob endok nangrehi, mumur laai. Juh ! joh ! poh ! Ertubur su ruk. Atban ental lanit ertuk, erdok.

179
Ertubur atban, er ot rawit esbo entub ai utin ma, erluruk.
Erluruk bissa ruk, te betuan en ot ngu, ferfer ensu fo erahai uur.
Erahai uun, ereet ik wel, bail en warin enit ken ni rawit esbo ruk waid, endook enroon neil ruk, te
betuan waat. Kot enfakleak ruk.
Hirneyan eraat ne il ruk, te betuan entuu ruk wer benaw hir raan. I enher wuk Watwarin fo, naan
wuk afa.
Hirneyan raan afa, en warin nefeen ak naan afa, endok enroon wat.
Sar tumtum labo ! Hir raan neilruk afa, hirneyan ersib: Tete, imru Watwarin imdok, imlei haawk
rawit esbo nan wak, amba il, amhol we teran Kler. Hir yanar meman teran Kler uk i.
Erdok wel atban, erfair il wel ruk enrat lanit rat.
Erba rat ma, tete i nanar: O memam afa wak, itru itba haawk.
Enmeak endok wat luluhun ma, nefen rehe naan afa. Fomur kot i enwosak wolun, enhorak : O
umhaawk mu aka ?
Watwarin enmeak enhov wel ni masuhun lai ma, wion rehe waid.
Kot enhorak faa wel : O umhaawk mu aka ?
Watwarin wion waid, endok enroon wat.
Kot i enhorak wel : O umhaawk mu aka ?
Watwarin nanar : Umat matmat ! uhaawk rawit esbo, raang sus bail i, wiong waid.
Kot i nanar: Lik fel en ot yaw bok, miski itru itlei haawk bo.
Tete i nanar : Oho mele imwiob bok ak, fo imru imlei haawk teno !
Ko wat nanar : itru it haawk fo umit ken, yaw o hom.
Erba ma, kot enfakleak ma, enit wat. eril er do Watwarin ni mayun ruk ma, tete en ot hirru raan afa
famehe ma, hirru rafaw.
Sar tumtum labo ! Rafit hirneyan er su il wel ruk. Erit hirru rafaw ruk. Hirneyan raar sier, ernar :
Dein funun wowar lain ental tee yan ; dein fuun en i wowar lain ental te warin.
Edbo hir resnawng, fomur erdok raan afa, en warin endok nentukun wat. fomur erat wel Duad, ernar
sak we yamar.
Rir yamar nanar: Oh ! Ait, ait ! Dein funun wowarlain ental tee yan, dein funun ini wowar lain ental
tee warin.
Duad i nanar : Afa wak he, endok bum, it is itut yan ur mangohoi.ker ensib : Tiok imsu wel, imsib
errat, erwatuk wat renan.
Raffit ensu wel, erhaawk yan te hirru fo errat wuk lanit.
Errat, duad nanar : Imil imsu, imtun nuur ron, imsob na rahan, imma manga matan til, fo ain, kokat
absek kot ain, enrat enfatlakar ni diw, tomat ulin sesuhut, namseher ruk.
Dit sobsob utin ruki.
Kot i en ot mas ain tiok kler hon, meman Bin te Mutan, Ngasngivmas renan.
Watwarin na lanit meman Ngasngiv mas, na bum memab Watwarin.
Eril su bum, Duad en ot mas enfak, ain meman Bormathalus. Enhov Duad enhilik rir atban ensu.
Sar tumtum labo ! kot wat berenran hirru eril su bum, erba erleik ni renan te.

180
Edbo enti, nesno umat enahai nuur ngowr bukun ru, en ot ni wahan na uran endok yaf. Enluur ruk,
enhur enhov manga enwaik fo bubur, entuu na feng. Entub fo ngaridin ma, wusin. Watwarin en ot
na ni renan te liman i, ebuuk non fo kanimun.
En ot ma, enyangun : Oumtaha yawng ngir i.
Entaha, entaha naa wat.
Nesno wel : Umtaha wel ngir umafat afa.
Enafat ma, ngir enlek, i enot naa hob.
Edbo Watwarin enot naa ruk, liman wusin wel ruk.
Fomur enot yan waawn wel i. I bok wel wuk. Bak ruk ma, nesno berenran : Umring kaba na miet wil,
fo it yante til ithoba.
Enring bissa ma, Watwarin entaroman ma, ruwat enil endo habo enloi ruk.
Ruwat hir eryait na kaba, kaba ensoa ma, refla. Refla ersu erliik Nesyav, refla il erdat, kaba erloi
nam Har.
Erloi Har ma, Har ernar : Kaba enloi ma, ko enfee hon liman en ot wel hu. Hir rar siar, tomat teten
ma, nefeen wukenba entet wil.
Tomat sef nanar : U ot ning hu ke mo !
Tomat rar siar, tomat Sef nefeen enho lain fo entet wil. Edbo kot Sef Yanan i raan sian wuk ma, en
ot ruwat en ho tanat Har, enes watuk ni yaman enhov nuhu en kot, endok enfok, tomat leen erdok
erliik.
Edbo fomur tomat Sef nesno ni hon ni uran enfit : Imbya, imnar we kot i, enliik yaw sar ai enfok,
enlet yaw, enho ohoi, en ot yaw fo ni umat iri, farne uwait.
Fomur Watwarin en hov ni hon enhov ni umat erdok Har soinrat ohoi ain meman hiluk.
Sar tumtum labo ! Edbo fomur ohoi Hiluk tomat avledil wuk ma, fomur erba ham wel. Yaran lai enot
i.
Yaran lai ental lehetan endat, enho nuhu wowan, uun enwusak na ohoi raan ma, tomat lai erba bissa
ruk nangan i tomat ko i naan bissa.
Edbo hir ental nangan eril do, erit ko ruk waid, rir masuhun laili, erdok eroon wat.
Fomur tomat beran erdok erkukang ma, raffit yaran lai enwusak wel ruk. Enwusak welma, hir kedin
lai erbobar, refla wirwaruk wat; tomat berenran bissa, refla bissa nangan.
Tomat wat ain, memaqn Boitim, iwum lai ruk ma,ni hua enlek ensuk na ni hua ma, tomat lian bissa
refla talik i. Hirru ni yahau wat ain, meman Watsiling refla. Yahau wel te iwun lai wuk.
Hirru ertub ded lain. Ertub ma, Boitim endok wav ni yanan ain, ni yahau entaful wuk ni yanan ain.
Entaful ma, wer nanluruk ni yanan naa waid.
Yanan en ot Boimas wat ai ran nanahai ni la.
Yahau ni wer nan wuk waid ma, enba enlihauk, enba ken wuk.
Yahau enmomang war wer, enil su, en ot ni yanan nesnawng. Ko wat enliik tuang wat yahau yanan
nesnawng. En ot wuk Boimas hirru yahau ertub , enba norang yahau.
Enleik yahau enmomang wer na wer ain meman wer Wan. Fomur enrat endir felak ded murin, fa
Boitim ensu.
Boitim ensu, nesnawng, fomur enba nangan, entaha ni ngiv, enafat ngunit nanlek wer, fo ni yanan
nesnawng.

181
Edbo raffit yaran enwosak na ohoi Hiluk ri; raffit enwosak, raffit enwosak. Famehe fomur tomat
erkukang ma, enreek wel uun na ohoi affruan, hir bissa erohok ti ma, erfedan, erafatwiak. Ni turtur
emleik il su ma,ni uun enhov rumun on erdok. Ni lurin hub wil.
Fomur tomat erdok roro waid, eril bissa erdok ni ohooi; tomat woho refla roroli, woho erdok wuk
Nuhu roa, rir ohoi wuk Hiluk.

182
Kidin 27
SEJARAH DESA HIAN

Dan beginilah sejarahnya!


Dahulu kala hiduplah di surga yang jauh di sana tiga orang bersaudara laki-laki bersama
kedua saudara perempuan mereka. Adapun nama-nama para laki-laki itu ialah: yang sulung
namanya Hian, yang tengah namanya Tongil, sedangkan yang bungsu bernama Parpara. Yang
lebih tua dari kedua perempuan bernama Dit-il dan yang lebih muda namanya Maaslang.
Pada suatu hari yang bungsu, yang bernama Parpara, ingin pergi mengail di awan-awan,
tetapi karena ia sendiri tidak mempunyai sebuah mata kail, ia mengambil kail yang adalah milik
kakak sulungnya, lalu pergi.
Ketika baitnya digigit ikan, dia mau menariknya ke darat, tetapi ikan membuat talinya
putus, dan hilanglah mata kailnya.
Ketika ia pulang, kakaknya Hian marah sekali. Ia menyuruh adiknya pergi mencari kail
itu.
Parpara kembali dan terus-menerus menyelam ke dalam awan-awan. Setelah ia telah
menyelam sudah lama, maka belum juga ia menemukan apa-apa.
Akhirnya datanglah renang seekor ikan, seekor kilboban (sejenis ikan kecil) dan ketika ia
memperhatikan bahwa Parpara menyelam-nyelam dengan tak hentinya, dia bertanya: “Apa
gerangan kaucari?”
Dia menjawab: “Aku mencari sebuah mata kail. Aku telah mengambil kail milik kakakku,
tetapi ikan itu memutuskan taliku dan dengan demikian aku juga kehilangan mata kailku.
Kakakku Hian amat marah dan ia menyuruh aku mencarinya. Tetapi kukira bahwa aku tidak akan
berhasil”.
Berkatalah kilboban itu: “Oh! Kalau begitu, memang sudah aku perkirakan”.
Bertanyalah Parpara: “Apa yang kauperkirakan?”
Sahut kilboban itu: “Nah, ada seekor kerkirit (sejenis ikan besar) yang sepanjang malam
tidak jadi beristirahat, dia berdeham terus-menerus; ada sesuatu yang menikam dia dalam
kerongkongannya. Dan kuduga bahwa itulah mata kailmu. Mari kita ke sana”.
Mereka pergi ke tempat tinggal kerkirit, yang sedang berdeham dengan tak hentinya.
Kilboban menyuruh kerkirit menganga selebar mungkin. Lalu ia renang masuk ke dalam
moncong itu dan mencabut kail itu.
Dia mengembalikan mata kail itu kepada Parpara. Lalu bertanyalah si kilboban: “Nah, apa
balas jasa bagiku?”
Dia menjawab: “Balas jasa? Balas jasa apa? Aku tidak mempunyai apa-apa untuk memberi
sebagai imbalan. Tetapi tunggu, aku akan memberi kepadamu sebotol minyak, yang harus
kauminum sampai habis; kalau kemudian engkau digoreng dan dimakan, engkau akan sangat
berlemak”.
Kiboban minum minyak itu, dan sejak waktu itu, bila orang menggorengnya, ia sedap
untuk dimakan karena lemaknya.

183
Parpara mengembalikan kail itu kepada kakaknya, tetapi ia juga marah kepadanya,
karena dia telah menyebabkan begitu banyak susah baginya. Dan Parpara pada gilirannya
berikhtiar memperdayakannya.
Ketika pada suatu hari Hian sedang tidur, Parpara mengambil tabung tuaknya dan
menggantungnya tepat di atas tikar di mana Hian tidur, dengan maksud supaya, bila ia bangun
dan duduk tegak, ia membuat tabung itu jatuh.
Ketika tak lama kemudian Hian terbangun, ia kena tabung itu dengan kepalanya; tabung
itu jatuh dan semua tuak terbuang.
Lalu Parpara pun marah sekali dan menuntut bahwa kakaknya mengumpulkan kembali
tuah yang tercurah itu.
Hian takut dan mulai menggali dalam pasir. Ia menggali dan menggali, namun tidak
setetes pun ditemukannya kembali.
Adiknya menegur dia dan berkata: “Engkau sudah menggali dalam sekali, silakan gali
terus.
Dan beginilah sejarahnya! – Ia menggali terus-menerus, sampai akhirnya ia telah
menggali menembus tanah mereka di surga di sana.
Dia sudah menggali tembus dan dia duduk berpikir-pikir entah ada apa di bawah sana.
Maka mereka pergi memotong sulur-suluran, mengikat salah seekor anjing padanya dan
menurunkannya.
Mereka mengulur tali itu sampai anjing dapat berdiri pada kakinya. Sesudah itu mereka
mengerek anjing itu kembali dan melihat bahwa ada pasir melekat pada kakinya; kesimpulan
yang mereka tarik ialah bahwa agaknya di bawah sana juga ada tanah.
Dan beginilah sejarahnya! –Ketika mereka mengetahui bahwa di bawah sana ada juga
tanah, mereka berunding apakah mereka pun akan turun ke sana.
Mereka mengikat tali itu baik-baik, lalu turunlah terlebih dahulu kaum laki-laki, disusul
oleh para perempuan. Tetapi sedang mereka turun, angin membuat sarong mereka terangkat,
lalu para laki-laki menengadah ke atas dan tertawa, mulierum pudenda videntes.105
Para perempuan itu merasa malu karenanya dan naik kembali ke surga.
Dan beginilah sejarahnya! –Mereka mendarat di bumi tidak jauh dari kampung Mastur.
Tetapi manusia yang ada di bumi itu mengira bahwa mereka itu barangkali orang nakal, yang
telah Allah usir dari surga.
Maka mereka yang dari surga menganjurkan begini: “Mari kita menyerahkan kepada
Tuhan untuk memutuskannya. Marilah kita mengadakan taruhan. Jika kami menang, maka kamu
harus tarik kesimpulan bahwa kami berasal dari surga; kalau kami kalah, kamu harus
menyimpulkan bahwa kami adalah orang nakal dan kamu boleh mengusir kami”.
Maka mereka bertaruh dengan menarik bambu.
Mereka pergi ke hutan, memotong bambu dan menjadi sepakat: “Siapa sebagai yang
pertama sampai di pantai, dialah yang menang.
Para penduduk bumi menghela bambu-bambu sambil memegangnya pada bagian atas,
sehingga dengan carang-carangnya tersangkut pada semua pohon dan orang tidak jadi maju.

105 Karena mereka melihat kemaluan mereka.

184
Para penghuni surga sebaliknya menghela bambu-bambu itu dalam keadaan terbalik,
yaitu dengan memegangnya pada bagian bawah, dan dengan cara itu mudah dihela.
Mereka sampai di pantai sebagai yang pertama dan membalikkan bambu-bambu itu,
sehingga terletak dengan ujungnya ke arah laut.
Maka merekalah yang telah menang.
Lalu para penghuni surga berkata: “Kami mengusulkan untuk bertaruh lagi satu kali,
yakni kami akan mencoba merintangi bahwa terjadi air pasang”.
Saat itu air sementara naik dan para penghuni surga berkata: “Silakan kamu coba sebagai
pertama”.
Para penduduk bumi mengangkat dayung-dayung mereka dan coba mencegah air laut itu
datang; tetapi segala usaha mereka percuma: air pasang makin naik; mereka sakit punggung
karenanya dan tidak membuat kemajuan sedikit pun.
Ketika sudah dekat saat air akan surut, para penghuni surga berkata: “Mari kami
mencobanya”.
Mereka merintangi air dan ternyata air mulai turun, merintangi air dan air turun dan tak
lama kemudian sebagian pantai telah menjadi kering, jadi sudah lagi mereka menang.
Dan beginilah sejarahnya! –Para penduduk bumi sudah menyadari bahwa mereka yang
lain itu pun adalah orang yang baik, dan karena itu mereka memberikan juga orang-orang
perempuan mereka untuk dikawini. Mereka kawin dan mendapat tujuh anak laki-laki.
Mereka tinggal bersama, dan pada suatu hari mereka telah menyembelih seekor babi.
Mereka memasak babi itu, dan setelah mereka makan habis dagingnya, sarinya diminum oleh
beberapa orang, sedang yang lain tidak mendapat apa-apa.
Hal itu membuat mereka jadi jengkel, mereka tercerai dan terpencar pada banyak
kampung.

--------------------

Sar tumtum labo Lalainla lanit rat tomat hirtil erdok enhov rir uran wat enru. Berenran
memar, en yan meman Hian, matwan meman Tongil, en warin meman Parpara. En wat memar, en
yan meman Dit il, en warin meman Mas lang.
Edbo faa wuk en en warin meman Parpara enhawk enba neswarut naa mutan ma, ni ellehin naa
waid bo, entaha wat an inibo, enba.
Enba bo, wuut naan ruk ma, enhawk enwing ruk ma ni isir wuut enwir hitil ma, ellehin enba enmam
ruk.
Enba il bo ni an Hian raan sian laili. Raan sian ma, nesno wel ni warin, sunba enhawk il ni ellehin.
Edbo Parpara enba wel ma, endok nasew wat na mutan ima, nasew angled lai ruk ma, enit ken hub.
Edbo fomur wuut ain, kilboban ain, nanang endo ma, enit Parpara endok nasew watma, enhorak :
Umhawk mu aka he ?
I nanar: umhawk ellehin waid aka ! utaha ang ni ellehin ma, wuut enwir hitli ning isir ma, ellehin
enmam rehe. Ang Hian raan sian ma, nesno uhawk il mele. I bo uras hira en ot naa waid.
Kilboban i nanar: Oh ! bet fel en yaw ufikir ken rukn he.

185
Parpara i nanar : Umfikir ken aka ?
Kilboban nanar : Umkai kerkirit lai ain, de kanimun i entub ni senang afa waid, entub enkoho wat,
afa endok hanga ni lelan.
Uras omu ellehin ruk i. Itaba ti naa wak.
Erba ti kerkirit ni dukduk ma, hob endok enkoho wat.edbo kilboban enyangun kerkirit fo enlang
wowan laili. Enlang wowan ma, kilboban nanang ti ni ngum raan, enens watuk wel ellehin.
Enes ma, na il we tomat Parpara. Na il ma, killboban nanar: Umreang yaw aka?
I nanar: Ureang o, ureang o felbe? Ni+ng afa aanreng o naa waid. I bo, tiok, ua ngu budu o min,
fomur tomat ertun, o, naan o minatli.
Edbo kilboban nin ngu ma, fomur tomat ertun, raan bokli, minatli.
Na il ni an ni ellehin ma, Parpara wel te raan sian wel ni an wuk, enweang i sus bail i. I be, Parpara
en ot wuki ni adil.
Faa wuk, tomat Hian entubkien, entaha ni sul maa, enfakloi Hian ni dar ratan, fo bet enbatar endok,
enot ni sul i enlek.
Enloi ma, mangmang tomat Hian enbatar, ni uun enken wuk sul ma, enlek enhov ni tuat natwuk
bisa famehe.
Edbo tomat Parpara raan sian lai wuk ma, nesno ni an enfiluk wel ni toat.
Edbo tomat Hian enbobar ma, enker nguur. Enker, enker ma enit ken denkot wuk waid ruk.
Ni warin nanar : enho ensu ngaleman ruk, umker ria tenu.
Sar tumtum labo enker wel famehe mangmang wel enker samang ruk rir nuhu lanit rat.
Enker samang ruk ma, endok enfikir haawk wat, aka naa tenan wil. Edbo erba erhitil warat ablotli
erkeet ni yahau ain naa, erhilik su.
Erhilik.
Erhilik su, famehe endok ruk. Endok ruk ma, fomur erfair rat wel. Erfair wel ma, erliik wuk nguur
esbuuk bissa yahau yan liman ma, erkai ruk tenan i nuhu nein naa wuk.
Sar tumtum labo erkai ruk nuhu na tenan i wuk ma, hir rasdov, fo hir ersu wuk.
Hir erkeet non warat ma, lain berenran hirtil ersu. Fomur enwat ersu wel. Ersu ma, niot enheng rir
esbo ma, berenran ertok dat, erir meet ma, ermalit.
Edbo tomat wat ermeak ma, errat wel lanit.
Sar tumtum labo sar tutum labo ersu ruk bum ma, sirsir ruk ohoi mastur. Ersu ma, tomat bum
erfukur wukun Duad enwatuk hirma, wukun tomat sian.
Edbo fomur hir ernar : Bet fel en he, itut kensa. Itistar bet am ken, imkai am tomat bok ; bet am sa,
imkai am tomat sian, miski imtaha buwang am wel.
Edbo hir restar. Hir ernar, ittod ngunit.
Erba nangan ma, erafat bissa ngunit enhov ernar : hira ensu lain tahit, i ken.
Edbo tomat erwir wat ngunit uban ma, ngunit endok hanga wat ai bissa, ertood, ertood naa waid.
Tomat lanit erwir hulik wat, ertaha ngunit utin, ertood, ertood naa wat.
Hir ersu lain tahit ma, ertaha wal wel ngunit, fo uban sentut tahit.
Edbo hir ken ruk.
Fomur tomat lanit ernar : Feli amnar wel de, fo itistar faaa wel.
I bo erot rir kuwatfo ertahang ruwat.

186
Edbo ruwat hob ertaha wehe, erwehe watuk tahit, erwehe, ruwat endo wat, erwehe, ruwat endo
wat, tetar hir ermat bissa ruk, hir erot denkot naa wuk waid.
Fomur ruwat wukun enbubu ruk ma, hir lanit ernar : am naa wak.
Edbo hir erwehe, ruwat ensuk, erwehe, ruwat ensuk, famehe miat ablot ruk odan, hir ken, ken wat.
Sar tumtum labo ! Fomur tomat bum eref ken ruk hir tomat bok wuk. Tomat bok ma, hir rafaw wuk
tomat wat ohoi i. Hir rafaw ma, hir ynar enfit.
Hiris erdok ma, faa wuk hir erfedan wav ain. Erwaik wav ma, naan bissa ru ihin, tomat ain te ru
mehe rin bissa wahan, hir angled wus wat.
Hir wus ma, ermeak ma, erba ham erdok wirwaruk ohoi angled.

187
Kidin 28
SEJARAH MATA RUMAH WALERUBUN

Kami, orang Waler-ubun, berasal dari Mekah.


Setelah datang ke sini dari Mekah,106 kami terlebih dahulu tinggal di Banda. Tetapi orang-
orang Belanda mengusir kami dari situ.
Mereka mengusir kami; kami mengungsi dan mulai menetap di Goram (salah satu dari
gugusan pulau-pulau Seram) di sebuah kampung yang namanya Kalakat.
Kemudian kami berangkat dari situ dan mencari tanah atau daratan di mana kami dapat
menetap.
Lalu kami sampai di sini dan sejak waktu itu untuk selamanya tinggal di Uwat.
Sebuah cabang mata rumah kami, cabang Sakmul, tinggal di Fer.

-----------------------------------

Am Waler ubun am entav mek.


Entav Mek amil endo amdok Wadan. I bo tomat Avlad ertai watuk am.
Ertai watuk ma, amufla amdok Ngoran ohoi ain meman Kalakat.
Fomur amhoba wel amhaawk mam tanat mam nuhu ain, amdok.
Fomur amtaha ken nuhu ruk eni ma, amdok ngit ruk Uwat.
Mam rahan teran ain wel, rahan Sakmul, endok Fer.
29
SEJARAH DESA HOLLAT

Dan begini ceritanya!


Di zaman dulu-dulu – tidak ada orang yang tahu berapa banyak tahun lalu – ada dua
marga tinggal di Hollat. Yang satu namanya Rayaan sedangkan yang lain namanya anak-anak
Oluk.
Asal usul marga Rayaan sudah kulupa. Marga anak-anak Oluk berasal dan pohon pinang.
Kemudian bertambahlah marga Sil-ubun; mereka datang dari tanah asing. Mula-mula mereka
tinggal di teluk Mabis di Ngufiet, sampai mereka berperang di Kei Kecil melawan seluruh ratskap
Faan.

106 Walaupun berasal dari pusat agama Islam, semua orang Waler-ubun telah menjadi kafir, dan telah
diintegrasikan dalam masyarakat Kei; hal ini berlainan dengan sejumlah orang Banda lain, yang melarikan
diri dari tekanan VOC, mendirikan dua kampung di Kei, dan hingga kini berdikari dengan tetap
mempertahankan bahasanya dan agamanya (Islam) sendiri.

188
Orang Faan itu membunuh banyak orang. Orang-orang Sil-ubun mau melarikan diri.
Pejuang Ngufiet pun mau lari. Karena itu mereka berdalih katanya: “Kami bertolak untuk pergi
menjual periuk dan belanga di Ohoi-wirien”.
Para penduduk Ohoi-wirien minta supaya satu belan107 menetap di kampungnya. Tentang
usulan itu orang berunding sepanjang malam, dan ketika menjadi siang, mereka sepakat; karena
itu mereka yang selanjutnya menetap di situ disebut marga-Siang.
Tuan-tan108 Hollat, yaitu Serngil-mas dari marga Rayaan, minta juga satu belan. Marga Sil-
ubun menetap di sana.
Dan pejuang dari Ngufiet pergi ke Watlaar dan menetap di sana.
Ada seorang laki-laki bernama Telelai yang dengan ketiga puluh anjingnya pergi berburu
di Ohoibingan. Ia membunuh empat ekor babi. Ia pulang dan ayahnya membakar babi-babi itu.
Keesokan harinya, di pagi hari, ia keluar lagi untuk berburu dan ia sampai suatu tempat
dalam hutan yang namanya Nifarfenmaav. Ia mendengar anjing-anjingnya menyalak pada pintu
sebuah celah bukit batu, yang namanya Ohoideer Waatkokil. Di dasar jurang itu ternyata ada
manusia bertempat tinggal.
Ia turun ke dalam jurang itu dan orang-orang di situ menganggap kulitnya amat putih. Ia pukul
anjing-anjingnya dan mereka lari. Telelai oleh orang di situ dinamai Ome.
Mereka itu sementara makan patatas yang masih mentah dan ia bertanya kepada mereka:
“Apakah kamu selalu memakan itu dalam keadaan mentah?”
Jawab mereka: “Benar, kami sudah biasa begitu”.
Kata Telelai: “Tetapi tidak enak kalau makan begitu; mari, aku akan membuat api”.
Ia mengambil penggosok apinya109 dan menggosok sampai api itu mulai membara. Orang-
orang duduk menonton dengan penuh minat.
Ketika muncullah nyala api, ia taruh kayu di atasnya, membuat api menyala lebih besar
dan minta macam-macam ubi-ubian, dan ketika itu semua masak, ia memberikannya kepada
ketiga puluh orang itu untuk dimakan. Kata mereka: “Itu amat lezat!”
Ketika Telelai mau berangkat, ia berkata: “Mari kita jalan”.
Tetapi orang-orang itu tiap kali jatuh waktu berjalan.110 Mereka sudah berjalan sepanjang
hari dan belum juga mereka sampai di pantai. Ketika menjadi gelap, mereka membaringkan diri
dan ia pesan: “Tinggallah berbaring di sini, aku melanjutkan perjalanan sampai di rumah”.

107Sebuah belan adalah sebenarnya sebuah perahu yang dipakai pada pesta-pesta; seluruh kampung
adalah pemiliknya. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk satu atau lebih dari satu ikatan marga bersama
kepalanya, termasuk secara khusus juga di kampung-kampung yang agak besar, para kepala bawahan
bersama orang-orangnya.
108 Tuan-tan adalah orang yang mengurus tanah milik kampung. Di Kei, milik pribadi tidak dikenal: seluruh
tanah itu adalah milik bersama, dan tuan-tan adalah pengurusnya.
109 Penggosok Kei adalah seiris bambu. Pada sisi bulat dibuat sebuah takuk yang tembus. Di sisi cekung
diletakkan sedikit serbuk dari bambu itu dan juga sedikit jamur yang mudah menyala. Dengan seiris bambu
lain orang menggosok dengan cepat dan kuat lewat takuk itu. Karena pemanasan itu serbuk dan jamur
perlahan-lahan mulai membara; lalu dengan menghembusinya dengan nafas, serbuk itu dengan mudah
mulai menyala.
110Orang-orang di-bawah-tanah itu tidak biasa berjalan di atas permukaan bumi, apalagi di daerah
pegunungan itu. Menyoloklah bahwa pencerita ini sangat epiliptis dalam gaya ceritanya; terpaksa – demi

189
Ketika ia sampai di rumah, ayahnya bertanya: “Telelai, tidakkah hari ini engkau telah
menembaki seekor babi?”
Sahut Telelai: “Bapa, hari ini aku tidak berhasil mendapatkan seekor babi”.
Pagi berikutnya ia keluar lagi dan menyuruh orang mengikutinya. Mereka mengikutinya
dan berjalan terus sampai malam, namun belum juga mereka sampai ke pantai.
Ketika sampai di rumah, ayahnya marah karena ia belum juga membawa seekor babi.
Maka Telelai menjelaskan: “Itu disebabkan karena anjing-anjingku telah sesat jalan”.
Pagi berikutnya ia jalan lagi. Orang-orang itu mengikutinya sampai di Ohoirin. Pada senja
hari ia berpesan kepada mereka: “Tinggallah tidur di sini, esok pagi aku akan membunyikan
sesuatu (pada mendengar bunyi itu mereka bisa pergi ke tempat bunyi itu).
Di pagi hari itu ia pergi menyadap tuak, memukul tabung tuaknya dan turun dari pohon.
Ia pergi ke orang-orang itu dan bertanya: “Tidakah kamu mendengar bunyi itu?”
Sahut mereka: “Kami tidak dengar”.
Mereka berjalan terus sampai mereka tiba di Waat-Jef. Ia pesan: “Esok aku akan lagi pukul
tabung tuakku; pada mendengarnya kamu harus datang ke kampung.
Ketika ia sampai di rumah, ia menyatakan kepada isterinya: “Masaklah makanan, karena
aku telah bertemu dengan beberapa orang”.
Bertanyalah isterinya: “Mereka berapa banyak?”
Jawabnya: “Tiga puluh orang”.
Ketika air sudah surut di masa kemarau itu, mereka turun dari gunung dan tiba di
kampung. Telelai memberikan mereka makanan dan pakaian. Sesudah itu mereka menari.
Orang-orang itu bertanya: “Di mana harus kami tinggal?”
Telelai menjawab: “Tinggallah di sini, di Waat-Jef”.
Maka mereka tinggal di situ, sampai mereka sudah biasa tinggal di permukaan tanah.
Sesudah itu mereka berpencar: ada yang tinggal di Ohoi-laar dan ada yang tinggal di Watroa-tum-
avlur.
Sar tumtum labo! Amnanatli oh! hira enkai enriking ni yaid waid, fam enru hirdok Hollat.
Fam ain nin meman Rayan, fam ain wel, meman Ulukyanan.
Fam Rayan ni utin unglufang ruk. Fam Ulukyanan ni utin ental isu mel, Fam Sil ubun Ental mav
enwusak fomur. Lain endok lon Mabis na Ngufit rat, sawat hiris Fan riwun na Nuhuroa hirtkaftal.
Tomat Fan riwun erfedan tomat avled. Tomat silubun hirhaawk refla. Enkod Ngufit enhaawk nefla
wuk. Famehe erweeng, hirnartul: Amwehe amfid uran ub na Ohoi Wirin.
Ohoi duan, fam Melnguhar erher belan ain endok oba Ohoi wirin. Tomat rasdov dedan, famehe
hamar berkar ajat; erher tomat erdok oba fo fam hamar.
Na Hollat Tuan tan meman Serngil mas, fam Rayan, enher wel belan ain. Fam silubun endok.
Famehe enkod Ngufit enti Watlar, endok ohoi wil.
Edbo tomat ain, meman Telelai, ni yahau avlur til, enba nestena Ohoibingan. Enfedan wav enfak,
enab il endo, ini yaman entun wav.
Edbo esmiran enba wel, enba enro, enrat nangan meman Nifaren mav. Endenar yahau enreik naa
wan ain ni ngoin, ni meman Ohoider Watkokil. Tomat erdok wan ni tenan.

jelasnya jalannya cerita – aku menambahkan beberapa kata dalam terjemahan ini di mana terasa paling
perlu.

190
I enba enti, hirliik tomat i ningierli. I enbangil ental yahau, yahau refla. Edbo tomat erher Telelai fo
ait.
I enhorak tomat erdok naan enmav mat : immian afa bir bias waawn wuk i te?
Tomat ernar: Oho am bias waawn wuk i.
Telelai nanar: Itaan waawn i sian, tiok yaw u ot yaf naa wak.
Entaha ni sur yaf ma ensur famehe yaf enngatil. Tomat erdok erliik tuang wat.
Famehe yaf lai, en ot ental ai, ai enfar, enher benaw, en enmav bissa. I entun benawnaw i bissa,
famehe nebtahan, tomat wutil hir raan. Hir hir ernar: Benaw bokli.
Telelai enba, enyangun: Itaba !
Tomat erba, erlek avledli, erba leran kanimun, erwosak tahit hob. Famehe dedan ertub i ensib: Imtub
yaw uba il.
I endat ohoi, ni yaman enhorak: Telelai, umbwa leri, umyoat wav te waid?
Telelai nanar: Mam, yawning wad wav leri waid.
Esmir wel i enba wel, enyangun tomat fo erhov. Erhov, erba wel famehe dedan, erba harang tahit
hob.
Telelai erba il ohoi, ni yaman raan sian, ni wad wav hob. Telelai, enbas i: Niraan ning yahau hir
resho.
Esmir enba wel. tomat erhov wel, famehe ohoirin. Edbo erfasir dean ma, i nesnib : Imdok deni, meran
esmir yaw u ot afa ain ngun.
Tomat rawitun enseb tuat, enbibik entubur il ensu. Enba enro enhorak: Imdenar afa ain ngoon, te
waid i?
Tomat erwaha: Amdenar waid.
Hir erba wel, famehe erdo Wat yef. I nesnib : Meran ismer yaw u ot wel ning kawowar ngoon,
imdenar, imsu ohoi.
I nefla il endo, nesno ni hon: umut uran, yaw uit tomat woho.
Ini hon enhorak: Tomat hongan be?
I nanar; tomat wut til.
Edbo miet if ruk tomat erdo erlengan erdat ohoi. Telelai entuung hir ental benaw bakean. Fomur
tomat erulang ersoi.
Tomat erher: Amdok be?
Telelai nanar: Imdok ohoi Wat yef i.
Edbo hir erdok, famehe rir bias erdok tanat. Fomur erdok ham, woho erdok Ohoi lar, woho Wat roa
tum avlur

191
30
SEJARAH TUAL

Raja Tual dahulu kala tidak tinggal di Tual. Pun pula Tual dulu bukan nama sebuah negeri.
Dahulu kala ia tinggal di sebuah pulau namanya Bali. Ia melarikan diri dari Bali. Apa
alasannya ia lari dari situ, aku tidak tahu.
Jadi ia melarikan diri dari sana dan perahunya tiba di sana, dekat Duma. Perahu itu sampai
di sana dan kandas di sana dan ia menamai tempat itu tempat Sandar. 111
Di sana ia tinggal di atas petuanan kampung Taar. Kemudian ia pindah lagi dan pergi
tinggal di tempat di mana tempatnya sekarang.
Pada suatu hari raja pergi menikam ikan. Ia menikam seekor sapi laut yang besar. Sapi
laut yang ia tikam itu, mempunyai hanya satu ambing.
Pada hari itu juga meninggallah di kampungnya itu seorang perempuan, dan perempuan
itu pun mempunyai juga ahnya satu ambing. Perempuan itu adalah warga marga Reyaar.
Kematian ibu itu membuat orang jadi marah; mereka berkata: “Raja itu bukanlah seorang
yang saleh; dengan menikam sapi laut itu, ia telah menikam roh hidup 112 ibu itu dan
menyebabkan kematiannya”.
Mereka marah dan pergi menyampaikan keluhannya pada kaum keluarga mereka di
Dulah.
Raja pun sangat malu113 dan mereka mengadakan perang.
Raja minta orang Taar untuk datang membantu, tetapi mereka menolak.
Ia berkata: “Kamu, yang adalah orang-orang bawahanku, menolak. Nah, aku akan minta
orang-orang Hangur”.
Beberapa orang Hangur gugur dalam peperangan itu.
Lalu berkatalah raja: “Dari bangsamu pun ada yang gugur dalam perang ini, maka sebagai
gantinya terimalah negeri Sat-er”.
Karena itu kami tidak tahu lain selain bahwa Sat-er adalah termasuk petuanan Hangur.

------------------------

Rat tua lain endok tun wuk waid. Tua lain nuhu meman wuk waid

111Sandar dalam bahasa Kei ialah tua. Kemudian hari tempat itu pun menjadi tempat sandar untuk kapal-
kapal KPM (Koninklijke Pakketvaart Maatschappij), membuat nama yang diberi itu benar-benar tepat. Oleh
orang setempat namanya bukan Tual, melainkan Tua.
112 Orang Kei pun membedakan roh kehidupan dan daya berpikir, atau membedakan animus dan anima.
113Menuduh orang telah melakukan sihir, apalagi bila yang tertuduh dari kasta-atas, adalah penghinaan
terbesar yang dapat dilontarkan kepada seseorang.

192
Lalain endok nuhu yanat ain, meman Bal. Endok Bal ma nefla. Nefla utin akaka wak, ukikai wuk
waid.
Nefla ma, ni habo entua enfasir Dumar rat. Habo entua ma, endok ruk denrat ma. Enher ni ohoi wuk
fo Tua.
Edbo endok tomat Tar rir tanat ma. Fomur i nefyait wel ma, ensu wel ohoi endokdok ruk i.
Faa wuk rat Tua enba enwehe lin. Enwehe ma, en ahai ruen lai ain. Enahai ma, ruen i ni sus kidin
mehe wat.
Edbo leran wuk i na ni ohoi ko wat ain enmat ma, ko wat i ni sus kidin mehe wat wuk. Tomat wat i
fam Reyar.
Enmat ma, hir raar siar, ernar : Rat i tomat bok waid, enahai roin i, enahai ruk ko wat i ni angmaan
ma, en ot i enmat.
Raar siar ma, erba sentul rir asa endok Du.
Edbo rat enmeak lai wuk ma, hiris reprang.
Erprang ma, rat enher tomat Tar ma, refen.
Refen ma, nanar : Imdenar wuk ental yaw ma, im mifen, fel enhe, uher tomat Hangur.
Hangur hir woho ermat wuk na prang i.
Edbo rat nanar : Imbir umat ermat wuk na prang eni ma, fel he tanat Sat er imin.
Fomur amukai tanat Sat er bail Hngur rir.

193
31
SEJARAH MARGA LEFAAN
DAN MARGA RETOB

Dan beginilah ceritanya!


Para Lefan dan para Retob merupakan dua marga. Mereka telah datang dari tanah asing,
yaitu dari Bali dan Lombok.
Mereka tiba di sini dengan kapal mereka. Dari Bali mereka berlayar ke Tanimbar.
Setibanya di Tanimbar, mereka kehilangan sebuah tikar. Dan satu tikar lagi kehilangan di Hangur.
Mereka menyesal karena tikar-tikar itu yang telah mereka lupa dan berlayar kembali
untuk mengambilnya.
Ketika mereka berlayar kembali untuk mengambil tikar mereka itu, kapal mereka melaju
terus dengan tak hentinya, berlayar lurus terus, melintasi daratan pun, terus-menerus sampai
sudah menjadi siang penuh, baru kandas.
Kapal itu berubah menjadi sebuah batu karang besar yang masih terdapat di sana. 114
Mereka berada di Satheen, tetapi karena di sana tidak ada mata air, mereke berpindah ke
Hangur.
Kedua marga ini adalah pemilik tanah Hangur; merekalah yang pertama tinggal di situ.
Kami, marga Renyaan, baru datang kemudian.
Kami tinggal dulu di Mastur; terjadilah bahwa kami berselisih mengenai air rebusan
seekor babi, lalu kami pergi mencari suatu lokasi lain untuk berdiam di situ.
Orang-orang Hangur bertanya: “Kamu ke mana?”
Kami menjawab: “Kami dalam perjalanan ke Dulan untuk mencari sebidang tanah untuk
menetap di situ”.
Kata mereka: “Jangan! Lebih baik tinggal di sini. Di sini ada oposum, babi, ikan dan ubi-
ubian dengan selimpahnya untuk dimakan”.
Dan karena itu kami sekarang tinggal di sini.

--------------------

Sar tumtum labo ! Fam Lefan enhov Retob fam enru. Hir ental mav erdat Bal enhov Lombok.
Hir ertalrir kaba ain. Ental Bal erdat, refla errat fa erba fo on Atnebar mav rat.
Errat Atnebar ma, erwatuk rir dab ain. Erwatuk ain wel na Hangur.
Edbo nangruan ni dab ma nanglufan ma, enil su ma, enhaawk.

114 Kampung Satheen letaknya pada sebuah teluk yang luas dengan pintu masuk yang sempit: ialah selokan
yang digali oleh kapal legendaris itu. Di dalam teluk itu terdapatlah sebuah pulau karang kecil yang
berbentuk sebuah kapal, ialah kapal yang telah membatu itu.

194
Enhaawk dab, enil enrat ma, ni kaba nefla, nefla wat. nefla nesluruk, enlehew bissa wuk nuhu,
neflala nesluruk wat famehe hamar lai ma, endok.
Endok ma, kaba enil fo wat lai ain, hob endok wil.
Hir erdok Sathean rat ma, wer naa waid ma, fomur eril ersu erdok wel Hangur.
Fam hiru ruk i Hangur duar he, hir erdok lain tanat Hangur. Am Renyan amho fomurmur.
Am lain amdok Mastur ma, amkafrehe wav wahan ma, amba amhaawk mam tanat on fo amdok.
Hangur hir erhorak : Imbya be ?
Amnar ; Amsu du wov fo amhaawk tanat on fo amdok.
Hir ernar : Wahid ! Imdok deni wak. Deni modar, wav, wuut, benaw fo mian avledli.
Edbo fel eni amdok ruk i.

195
32
PERANG LORLIM DAN URSIUW115

Dahulu kala terjadilah bahwa para Ursiuw cemburu terhadap para Lorlim, maka mereka
berperang.
Untuk perang itu, para penduduk Wadan-il menyiapkan dua belan besar.116 Di
pertengahan belan-belan itu mereka membangun sebuah tembok.117
Nama-nama kedua belan itu adalah Duang dan Tamaav.
Desas-desus tentang itu tersebar luas dan semua Lurlima terkejut. Mereka takut dan pergi
ke Fer-Angier, meminta bantuan mereka.
Tetapi di Lair-Ohoiliem tinggallah seorang perempuan yang sangat mahir dalam ilmu
sihir, namanya ibu Sitloban. Ibu Sitloban adalah moyang raja Faan. Marganya dulu juga tinggal di
Lair-ohoiliem, tetapi karena di sana tidak ada marga yang sama kastanya untuk kawin dengannya,
mereka berpindah ke Hangur. Sama halnya dengan raja Ibra.
Berkatalah ibu Sitloban: “Kalau kamu tidak berani, aku berani. Dayungkanlah aku
duluan”.
Mereka menantikan majunya musuh di Nguur-wowu. Lokasinya Elraan, tetapi Elraan
waktu itu belum menjadi sebuah kampung dan orang menyebut tempat itu Nguur-wowu.
Di situ mereka terkatung-katung dan mereka mengerjakan dayung-dayung dengan
memakai piring-piring. Sementara mereka mengerjakan dayung-dayung itu, sang imam berkata:
“Esok mereka datang”.118
Ibu Sitloban berkata: “Bukan, malam ini mereka akan datang dan aku akan paling depan”.
Dengan sebuah perahu dia berlayar duluan. Ia berdiri di bagian depan perahu itu, dan
menari-nari.
Mereka bertemu di dekat gundukan pasir. Ibu Sitloban membawa tombak dan pedang.
Ketika dia sampai pada mereka, dia mengangkat tombaknya dan sebagai yang pertama membuat
sodokan.

115 Kurang lebih seluruh penduduk Pulau-pulau. Kei termasuk salah satu dari kedua persekutuan ini.
Pertempuran laut antara para Lorlim dan para Ursiuw ini merupakan peperangan terpenting yang
dilaporkan dalam sejarah Kei. Sebuah monumen membantu orang untuk tetap teringat akan peristiwa itu,
yaitu: di dekat kampung Ohoideer-tawun terdapatlah sebuah dinding bukit batu yang panjang dan tinggi.
Di dalamnya terdapat beberapa gua yang adalah tempat tinggal roh-roh halus. Pada dinding batu itu dapat
dilihat lukisan-lukisan primitif yang menggambarkan pertempuran laut itu, tergambar di situ – kata orang
– oleh roh-roh itu.
116Sebuah belan adalah sebuah perahu panjang dan rendah, yang dipakai untuk pesta-pesta tetapi juga
sebagai kapal perang. Dalam hal itu perahu-perahu itu diperkuat dengan bambu. Sebagai awak perahu itu
– secara kiasan – ditentukan seorang kepala desa dengan bawahan-bawahannya.
Dahulu kala semua kampung berbenteng. Orang-orang Wadan-il, alias orang Banda, ternyata ingin
117

mendirikan sebuah tembok juga pada belan.


118Pada kesempatan penting ini, tentu saja sang imam telah meramal nasib mereka berdasarkan lokasi
bintang-bintang atau telah mempergunakan ilmu nujum. Hal ini dibuat pada setiap situasi penting.

196
Ia menusuk seorang sehingga mati. Yang lain melihat darah orang yang gugur itu
mengalir, maka mereka terkejut dan melompat ke samping; karenanya belan itu miring dan
terbalik.
Belan itu sudah karam dan kain kepala serta sabuk kemaluan para pejuang terapung dan
oleh arus dibawa ke Kei Kecil.
Belan yang karam itu berubah menjadi sebuah gundukan pasir, yang karenanya dinamai
gundukan Duang.
Setelah membunuh mereka semua, ia kembali sambil menari dan menyanyi: “Huré!
Seperti orang-orang Papua aku sedang tertambat pada pantai Ficus. Di situ aku menunggui Duang
dan Tamaav untuk menenggelamkan Sing-singrai119 dan Duang”.
Setelah kembali ke Lair-ohoilim dia menyanyikan sebuah lagu. Inilah lagu semua kaum
Lurlima dan kaum Ursiw. Mereka menyanyikannya sebagai ngel.120
Pembukaan: “Aduh Watba!121 Gigi ikan hiu telah mencabinya. Ikan paus sudah kenyang
dengan pejuang-pejuang Ngaad. Dengan melintas daratan aku sampai di Wab lewat gunung Tir”.
Kedua (Ia bernyanyi tentang orang Dulah): “Manislaad, Beloe dan Hadad 122 telah
kutenggelamkan bagaikan suatu rantai sepanjang tujuh depa: dengarlah dermaga Ngilwowo!
(=dermaga dekat Dulah, ialah kampung mereka yang telah kalah)”.
Ketiga: “Ngabal123 kembali ke Mas-rum (= Tual), oh kaum Lurlima, kalian adalah teman-
teman seperjuanganku!”
Keempat: “Toba-wis dan Ibu Iljo124 di Top-Tabaas (=Elraan) telah kujadikan gemilang
bagaikan emas merah”.
Kelima: “Dengan seluruh rakyatku kutawarkan damai kepada bumi dan kepada Allah
(sebagai saksi), damai, tenang bagaikan sirop gula.125 Laher dan Hawal126 telah menawar sirop
gula itu kepada mulutmu”.

119 Nama dari sebuah belan pihak lawan.


120 Ngel itu adalah suatu nyanyian yang diperdengarkan di malam hari pada kesempatan-kesempatan
tertentu untuk mencegah pengaruh-pengaruh jahat.
121 Nama dari sebuah belan pihak lawan.
122 Nama-nama kepala-kepala kampung di Dulah.
123Ngabal adalah roh pelindung agung para Lurlima. Dia pun berasal dari Bali. Kata Ngabal adalah
penyatuan dari Nganga dan Bal : tombak Bali.
124 Nama-nama belan Tual (Lorlim).
125Berbeda dengan laut yang tadinya bergelora oleh peperangan, ia membandingkan damai dengan
permukaan yang tak beriak dari sirop yang lengket dan hampir tidak bisa digerakkan. Di Kei, sirop itu
dimasak dengan memakai sagero atau tuak.
126 Nama-nama belan dari Wir.

197
Keenam: “Aku telah membongkar pintu; di belakang pintu itu Womarbal127 dari kaum
Ursiwa menyimpan lusuwak-nya.128 Fomur dan Sakmaas,129 kini air matamu mengalir.
Ketujuh: “Aku telah kembali untuk memenggal kepriaan para pejuangmu serta
membuangnya. Akaar130 pun telah kubuang; dia (sambil meminta ampun) bergantung pada
tengkuk raja yang naik Sarlat.131
Kedelapan: “ Kuulangi: Singsingrai dan Duang telah kutenggelamkan. Ikan-ikan hiu
merabiknya di Walauw yang dangkal itu dan kain-kain kepala terapung ke Kei Besar dan ke Kei
Kecil”.
Kesembilan (dengan memukul genderang dengan lebih cepat): Di sana, di bagian Barat
Laut, orang mengangkat jimat. (Genderang dipukul dengan lebih cepat). Di sana, di bagian Barat
Laut, orang menaikkan patung yang terdapat di Saarken 132. Tetapi aku menginjak-injak ikan-ikan
hiu dan harta-harta emas”.133
Kesepuluh: “Dalam amarahnya ia telah menghancurkan Kot-il Morwaav.134 Api menjalar
ke kampung yang besar itu. Kudatang dan kuhancurkan benteng Kot-il dan Morwaav. Dan itulah
sepuluh”.135
Sesudah itu orang membawa persembahan dan berdamai kembali satu sama lain.

--------------------

Amnanatli ruk ma, tomat Ursiw refhangir tomat Lorlim ma hiris erprang. Hiris erprang ma,
tomat Wadan il ereet rir belan lai enru. Ertut wuk lutur ain na belan raan.
Rir belan enru memar belan Duang enhov belan Tamav.
Edbo iwar enho enrat ruk ma, tomat Lorlim bissa erbobar.
Erbobar ma, erba errat sentul Fer Angir hir.
Fer Angir wel te ernar wuk hirir bran waid.

127 Nama belan dari Danar.


128 Lusuwak adalah sebuah kotak atau bakul amat kecil di dalamnya tersimpan sepotong emas, yang sebagai

jimat dibawa serta dalam pertempuran untuk melindungi orang terhadap senjata musuh. Maksud teks ini
ialah bahwa ia sudah melumpuhkan jimat dengan seakan-akan mendobrak tempat di mana tersimpan, lalu
menghancurkannya atau membawa pergi. Oleh sebab itu sekarang pihak lawan menangisi banyak orang
mati.
129 Nama-nama belan dari Wain.
130 Nama belan pihak lawan.
131 Nama belan Nirun.
132 Kampung dekat Nirun.
133Dengan ikan hiu dimaksudkan di sini pelawan-pelawan yang andal di laut. Dengan harta emas
dimaksudkan para bangsawan yang telah gugur.
134 Ialah benteng-benteng Wadan-Il alias Banda Eli.
135Kidung ini merupakan suatu contoh yang cukup baik dari puisi Kei kuno. Disebabkan susunan kalimat
yang sangat eleptis, banyaknya kata-kata kuno dan kata-kata yang telah dipersingkat dan nama-nama dan
sindiran-sindiran tertentu, maka amat sukarlah untuk memahami seluruh isinya. Hanya dengan bantuan
beberapa orang Kei yang sudah tua, telah ku berhasil menerjemahkannya. Juga sebagian besar orang Kei
asli dewasa ini tidak mengerti lagi kidung-kidung seperti ini.

198
Edbo na Ler Ohoilim ko wat ain ni berkat lai, meman te Sitloban.
Te Sitloban rat Fan ni nisin ruk he. Ini fam lain endok Ler Ohilim ma, ni asa fo rafaw naa waid ma,
hir refyait, erba erdok Hangur. Rat Ibra waawn wel i.
Edbo te Sitloban nanar : Imbir bran waid, yawning bran, inwehe yaw na u wak.
I bo, erloi entiok hir naa Nguur wuwu. I elran ruk ruk i ma, ohoi na hob, erher wat fo nguur wowu.
Erloi ma, er ot bingan fo wehen. Erot wehen ma, leb nanar : Tiok meran erdat.
Te Sitloban nanar: Waid, ler wahan ruk erdat; tiok yaw na u.
Erloi habo ain, i na u. Na u, endir enben wat na habo u.
Na habo u, ensang hir na mitin. Entaha nganga ain enhov serul ain. Edbo erwehe ro, na nganga
enahai lain.
Enahai ma, enfedan tomat. Enfedan ma, erit lar, erbobar ma, nevroak bissa, belan namlikit lai ma,
namduu.
Namduu ma, rir rikrikat, heman bissa efok nuhu roa roi.
Belan namduu ma, enil fo mitin, fomur ither i fo mitin Duang.
Enfedan bissa, enil endo enben ensikar : Heheyo! sar Nisyav uloi Nguur wowu. Uloi tiok Duang,
Tamav, fo dat uduu Singsingrai Duang.
Enil enrat Ler ohoilim, en ot wawar ain. Ursiw bissa, Lorlim bissa wawar enmehe ruk i. Ertaha
waawn rir ngelngel.
Na utin: Sayang watba nif rok yaw ; lor iwun Ngad. Ba ro fee Wab uwar Tir.
Fo enru: (enahek wel Du hir): Manislad Belu Hadad. Manislad Belu Hadad duk rew el ahair fid, nam
Ngilwowo.
Fo entel: Ngabal ro endir il Mas rum uus serangai Kofan enwut.
Fo enfak Toba wis, Ilyo renan, ros mas wui na Top Tabas.
Fo enlim Sak amin na bum Allah ning riwun. Min fel ngu nas.
Laher hawal fel Lorlim na fo ngoin nas.
Fo eneyan: Tal wat kot. Kot Womarbal ursiw bir lu suwak.
Luum endit Fomur Sakmas
Fo enfit: uhai Sakmas senfee lur ni mo suswai. Suswai wel Akar enloi lelan rat. Lolann sarlat.
Fo enwow: ubas wel : udu Sing singrai, Duang. Yaw enharut na miat walau fo lestar enfok fo enhel
yu Leengda.
Fo ensiw; (Enyaruk ris) Watmar wuv sing. (Yaruk ris): Watmar wuv. Ensak lurmes endok Sarken.
Utai ngong yaw lursibang mas.
Fo enwut: Enlawur tur Kot il Morwav. Yaf enrat ohoi lai.
Uro uraha kot, Kot il Morwav: fo wut.
Fomur tomat enseb ruk ma, enot il fo bok.

199
33
SEJARAH DESA OHOILILIR

Dan beginilah ceritanya!


Dahulu kala di tanah Ohoililir belum ada manusia. Pada suatu ketika raja Fabrait
melarikan diri dari Banda, karena orang Banda telah mengadakan perang lawan VOC.
Raja Fabrait lalu datang tinggal di Ohoililier, sedangkan kaum kerabatnya pergi menetap
di Kei Besar, yakini di Banda Elat dan di Banda Eli.
Ketika raja Fabrait tinggal di Ohoililir ia kawin dengan seorang perempuan bernama
Bunga Tembakau; dia saudara dari Warsai dan Warsok dari Ohoideer.
Raja Fabrait mempunyai tujuh orang putera dan tujuh orang puteri.
Ketika raja Fabrait sudah lama tinggal di situ, datanglah dari Raharing di Kei Besar marga
Letsoin dan meminta raja Fabrait untuk tinggal bersama dia di tempat itu.
Mereka kawin dengan budak-budak raja dan mereka menjadi rakyat raja Ohoililir.
Kemudian hari raja menjadi sangat tegas terhadap rakyatnya, lalu orang-orang Letsoin
berunding tentang hal itu, lalu membunuh raja bersama ketujuh puteranya; para puterinya tidak
dibunuh karena mereka sudah dikawini.
Jadi kaum Letsoin membunuh raja, dan ketika dia dalam sakrat maut, ia bersumpah:
“Allah hakim, Larwul136 Ngabal, pandanglah aku, raja Fabrait; jika aku anak atau keturunan atau
berasal dari budak-budak dan hamba-hamba, maka semoga aku dibunuh oleh kaum Letsoin dan
mati serta menghilang untuk selamanya; tetapi jika aku anak dan keturunan orang pembesar, dir-
u137 dan mitu-duan138, maka semoga Allah mengatur bahwa kelak datanglah di sini seorang yang
akan menggantikan keturunan keluargaku di tempat ini”.
Dan beginilah ceritanya!
Raja bersama ketujuh puteranya sudah mati, dan dua hari kemudian ada seorang
perempuan bernama Tarkaw, pergi menikam ikan. Ia melihat seekor ikan terumbu karang. Ia
menikam ke arah itu, tetapi tidak melihatnya lagi. Gantinya ia menemukan sebuah siput
nautilus.139
Dia membuang siput itu dan kembali mencari ikan terumbu itu, tetapi ikan itu tidak lagi
dilihatnya; bahkan siput nautilus itu muncul lagi.
Sekali lagi ia membuang siput itu, namun siput itu kembali lagi. Lalu ia membawa dia
pulang.
Dia masuk rumah raja dan angkat sebuah parang untuk menghancurkan siput itu. Tetapi
ketika ia memukulnya, maka ada darah mengalir keluar dari siput itu. Ibu itu terkejut dan

136 Larwul adalah roh pelindung agung bagi para Lurlima.


137 Dir-u adalah seorang pejabat tinggi dalam masyarakat Kei.
138 Mitu-duan adalah semacam imam kafir.
139 Siput nautilus dalam bahasa Kei disebut lilir. Jadi kampung Ohoililier berarti kampung Siput Nautilus.

200
meletakkannya ke dalam sebuah cawan, dan ketika pagi berikutnya bintang pagi menyinari siput
nautilus itu, ia berubah menjadi seorang bocah laki-laki kecil.
Si kecil itu menangis dengan tak hentinya dan ibu itu mau meminabobokkannya, katanya:
“Mari diamlah; bulan itu penjagamu”.
Tetapi si kecil menangis terus-menerus. Lalu ia mengatakan: “Tenanglah, bulan itu
budakmu”.
Segera si kecil diam.
Dan beginilah ceritanya! – Anak itu namanya Famel. Ketika ia sudah menjadi dewasa, ia
diangkat menjadi raja untuk menggantikan raja Fabrait, sebab setiap orang beranggapan bahwa
anak ini telah muncul akibat sumpah raja.
Isteri raja Famel pun berasal dari Ohoideer; namanya Dit-koran, dia puteri Warsai dan
Warok.
Raja Famel pada gilirannya pun sangat tegas untuk rakyatnya, dan semua orang Letsoin
melarikan diri.
Tinggal saja raja Famel dengan budak-budaknya. Para kepala dari ke-Lima Kampung
menganjurkan supaya ia pergi menetap di Ohoideer. Para kepala itu ialah orang-kaya Ohoideer,
orang-kaya Gelanit, orang-kaya Kolseer, kepala soa Ohoileen dan kepala soa Bal-tanleen.
Maka raja Famel pergi menetap di Ohoideer dan ia mempunyai seorang putera bernama
Fakod, Fakod mempunyai seorang putera bernama Leet, Leet mempunyai seorang putera
bernama Lais, Lais mempunyai seorang putera bernama Tukan, Tukan mempunyai seorang
putera bernama Karis, Karis mempunyai seorang putera bernama Teima dari marga Koran.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika raja Famel masih berkuasa di Ohoililier, pada suatu hari
ia menyuruh puteranya untuk mengangkat keranjang ikan.140 Ia pergi, tetapi terdampar di pulau
Tayando.
Raja memerintahkan rakyatnya di kelima kampung itu bertolak untuk menjemput
puteranya dari sana. Rakyatnya di kelima Kampung itu tidak besar jumlahnya, bahkan tidak
cukup sebagai awak untuk mendayung sebuah belan.
Karena itu raja meminta bantuan orang-kaya Hangur, raja Faan, orang-kaya Hiluk, orang-
kaya Ngilngof dan kepala soa Rahawarin dari Ohoideertutu.
Mereka mendayung belan itu dan tiba di Tayando untuk menjemput putera raja. Tetapi
dia itu merasa malu untuk ikut pulang dan berkata: “Setiap orang menyebarkan berita bahwa
putera raja tidak tahu mengangkat sebuah bubu”.
Mereka mendesak, tetapi putera raja itu menjadi marah dan ia menyuruh keseratus lima
puluh orang itu membaringkan diri di pantai sebagai balok-balok gulungan; dia sendiri duduk di
belan itu dan dengan cara itu belan itu dihela ke laut. Belan itu meremukkan dan membunuh
keseratus lima puluh orang itu semuanya.
Lalu semua penduduk dari kelima kampung itu mau menyatakan perang kepada raja
Famel, karena puteranya telah membunuh begitu banyak orang sekampung mereka. Lalu raja
memberikan kepada semua orang yang teman-teman sekampungnya telah gugur di Tayando, hak

140Keranjang ikan berupa sebuah keranjang besar yang dianyam dari irisan-irisan bambu dengan tempat
masuk seperti sebuah bubu. Keranjang itu ditaruh di dasar laut dan ditudungi dengan batu-batu karang.
Ikan-ikan yang suka berlindung di lubang-lubang batu karang itu, sering anggap bubu itu sebagai lubang
batu karang, sehingga tertangkap. Sambil menyelam orang akan mengangkat keranjang itu.

201
atas seluruh petuanannya. Bila mereka datang di petuanan Ohoililir, mereka dapat bertindak
seperti pada petuanannya sendiri dan mengambil dan membawa pergi sesuka hati.
Ketika raja menyerahkan tanah miliknya itu kepada para kepala itu, ia berdiri terarah ke
Timur Laut dalam kampung berbenteng Bal-Seran dan ia berkata: “Hai kalian bangsa, dengarlah!
Najun ada di sebelah kiriku: dari Najun di sana sampai Waat-habo, dan di sebelah kananku sampai
Waat-hanaar: ambillah segalanya menurut kehendakmu. Karena arus laut telah menyeret pergi
dari seratus lima puluh rang laki-laki itu badannya dan jiwanya, rambut dan kukunya, yang kini
berserakan di Ngubil-taw-karfiel, di Wair dan Ngilngof, di gundukan pasir siput Nautilus dan di
gundukan pasir yang baru. Dan bila air pasang membawa mereka pergi lagi, mereka tinggal
terlentang di pantai Fiet Sawee Tangar, Nge-maas, Temam Jeew dan Ohoi-wain”.
Demikianlah asal-usul hak yang dinikmati para penduduk ke-Lima Kampung itu atas
petuanan Ohoililir.

--------------------------------

Sar tomtom labo! – Lalaeinle tanat Ohoililir tomat naa hoeb. Wakbo rat Fabrait ental Wu’ar –
Wadan nefla, niraan Kompani hiris tomat Wu’ar – Wadan er praang.
Wakbo rat Fabrait endat endok tanat Ohoililir ne an warin erdat erdok Yut, Ohoi Wadan-Elat
enhov Wadan-El.
Eidbo rat Fabrait endok tanat Ohoililir, nafaw tomat wat ain, meman Atbakfurun, Warsai
Warsok uran ental Ohoider.
Rat Fabrait yanan bran ainfit, yanan wat ainfit.
Rat Fabrait endok amnanat ruk ma, tomat fam Letsoin ertal ohoi Rahareng ental Yut erdo, erher
we rat Fabrait fo hiris erdok.
Wakbo hir rafaw enhov rat ni iri ma, hir Letsoin erdenar parinta ental rat Ohoililir.
Fomur rat en’ot ni parinta ngarehenli ma, Letsoin hir rasdov ma erfedan rat enhov ni yanan
bran hirfit; yanan wat waid, niraan hirfit bissa rafaw ruk.
Letsoin erfedan rat ma, rat en’ot fo enmat ruk, entaroman : Duad Hukum, Larwul, Ngabal,
umdok umlok rat Fabrait yaw, bet tomat rein iri te kab-yat yanar ubur te rir asa-bangsa re yaw,
Letsoin erfedan yaw i, umat enhov umam famehe; Ine betfel helai-kwas ne dir-u mituduan yanar
ubur yaw, leran wak Duad en’ot tomat ain ensu endir-hili’ik yaw ning fam na dunyai i.
Sar tomtom labo! – Rat enhov ni yanan hirfit ermat bo, ni leran ainru linan ko wat ain meman
Tarkaw enba entai met. Enit ngam ain; ensik ngam, enit-ken waid ruk, bail ensik-ken wat lilir ain.
Enwatuk lilir, ensik wel ngam ma, enit-ken ngam waid ruk, lilir en’il wat mehe endo.
Enwatuk faa wel ma, lilir en’il wel faa, i entaha rehe.
Enrat rat ni rahan. Enreek ngir nanmee. Eidbo enmee lilir, lar enwussak ental lilir raan. Eidbo
kowat enbobar, en’ot lilir endok bingan kubkub raan ma, rawitun tewat telyor enyeb-ken lilir i, lilir
enwalin fo koet bran ain.
Koet enroon ma, kowat enher i nanar: Duam-te wuan bo, ummoon.
I ne koet enroon wat. Nanar wel : Mu iri wuan bo, ummoon. Wakbo koet enmoon wat.
Sar tomtom labo! – Eidbo koet i meman Famel. Enmel fo lai, hir ersak i fo rat fo enlalin rat
Fabrait, niraan tomat bissa erkai, koet i enwussak ental rat ni taroman i.

202
Rat Famel hoon ental wel Ohoider, Warsoi Warok yanan, meman Dit-koran.
Rat Famel en’ot ni rayat ngarehen wel ma, Letsoin bissa hir refla.
Rat Famel imehe endok enhov ni rein iri ma, kapalla ohoi-lim erher i fo endok Ohoider. Kapalla
hir i: orang-kaya Ohoider, orang-kaya Kelanit, orang-kaya Kolser, soa Ohoileen enhov soa Bal-
Tanleen.
I bo rat Famel endok Ohoider, ni yanan ain meman Fakod. Fakod yanan ain, meman Leet. Leet
yanan ain, meman Lais. Lais yanan ain, meman Tukan. Tukan yanan ain, meman Karis. Karis ni
yanan ain, meman Teimar, fam Koran.
Sar-tomtom labo! – Rat Famel hoeb enparinta tanat Ohoililir. Leran faa nesno ni yanan ain,
enhol wuv. Enhol wuv, enfok-ro Tehyad.
Eidbo rat nesno ni parinta ohoi-lim erwehe, erhauk-il yanan. Parinta ohoi-lim tomat denkoet
ma, yoon belan waid.
I bo rat enher tuung ental kapalla orang-kaya Hangur, rat Fan, orang-kaya Ohoiluk, orang-kaya
ngilngof, soa Rahawarin, ental Ohoider-tutu.
Erwehe belan, erro Tehyad, fo erhauk-il rat ni yanan. Eidbo rat yanaan enmeek en’il nanar:
Tomat bissa erhoel-tul, rat yanan enkai enhoel wuv waid.
Hir erher-daang wel, ma rat yanan raan sien nesno tomat ratut wutlim ertub met ratan fo luan,
i wak endok belan raan mang ertod-ro enloi taheit. Eidbo belan endok-fedan tomat hir ratut wutlim
bissa.
Eidbo tomat ohoi-lim bissa erhauk erprang enhov rat Famel i, utin ni yanan enfedan rir umat
arik i. I bo rat Famel na hasil na ni nuhu bissa wer tomat hir bissa rir umat ermat na Tehyad. Bet
erho tanat Ohoililir, erlawur wat nuhu enhe waun wat rir nuhu fatnim wuk, ra ertaha wat afa bissa
norang wat rir suk-suk mehe.
Rat enturun ni nuhu we kapalla hir i endir enhang Badmar na ohoi-lutur Bal-seran, wakbo
nanar: Loer im bissa, Najoen ruk yaw na halang kedin balid ental Najoen rat wahan Wat-habo, ne
kedin mel rat wahan Wat-hanar ma norang bir suk. Hor met entai-watuk ratut wutlim rir badan
nyaw, murur kukur ro nakhanga na Ngubil-taw-karfil Wair, Ngof, met lilir met wait. Ne hor ruwat
entai en’il endo nathanga na met Fit Sawe Tangar, Ngemas. Teman-Yew, Ohoi-wain.
Tomat ohoi-lim rir hak na tanat Ohoililir ni utin ruk he.

203
34
SEJARAH DESA OHOILILIR
(Versi yang lain)

Dan beginilah ceritanya!


Pada suatu hari sedorang perempuan pergi mencari binatang-binatang siput. Lalu
ditemukannya sebuah siput nautilus.
Ia memang menemukannya namun tidak membutuhkannya dan membiarkan siput itu
tetap di situ saja.
Seperti esok, ia pergi lagi mencari binatang-binatang siput dan sudah lagi ia melihat siput
nautilus itu. Dia menggerutu lagi: “Semoga siput nautilus itu dijemput oleh maut!” Dan ia tidak
mau membawanya. Tetapi hal itu diceritakannya kepada ibunya dan ibunya itu berkata: “Awas,
jangan berbuat demikian; jika esok engkau melihat lagi siput yang sama, haruslah engkau
membawanya pulang”.
Seperti esok ia pergi lagi mencari binatang-binatang siput dan ia melihat lagi siput yang
sama. Maka ia mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam bakulnya.
Kemudian segala hasil tangkapan dimasukkannya ke dalam sebuah belanga dan
menaruhnya di atas api. Setelah belanga itu ditempatkan di atas api, ia pergi tidur.
Ketika pagi berikutnya ia bangun, terdengarlah sepertinya ada seorang anak kecil sedang
menangis. Berkatalah dia: “Ah! Anak siapa yang begitu menangis!”
Ia pergi menyelidiki belanga itu dan melihat bahwa siput nautilus itu telah berubah
menjadi seorang manusia. Tentu itulah anak yang tadinya menangis.
Tetapi si kecil menangis-nangis terus dan seorang ibu yang sudah tua mengobati dia
dengan nujumnya. Kemudian ia berkata: “Jagalah anak ini baik-baik; maklumlah dia kelahiran
agung; kelak ia menjadi seorang raja besar”.
Sejak saat itu anak itu tenang.
Dan beginilah ceritanya! – Ketika anak itu sudah menjadi dewasa, ia diangkat menjadi
raja. Dan setelah menjadi raja, ia menamai kampungnya Ohoililir (artinya kampung Siput
Nautilus). Tetapi raja itu menekankan rakyatnya. Bila ia menyuruh mereka pergi berburu, ia mau
supaya mereka hanya membawa babi-babi yang hidup, yang sudah mati dia tidak mau.
Dan bila ia menyuruh mereka pergi mencari ikan baginya, ia hanya mau mendapat ikan
yang hidup, yang sudah mati dia tidak mau.
Maka dengan demikian ia menyebabkan banyak kesusahan bagi rakyatnya; mereka tidak
senang dan berikhtiar membunuh dia.
Dan beginilah ceritanya!
Pada suatu hari raja menyuruh mereka mengerjakan sebuah perahu baginya. Ketika
mereka sedang mengerjakan perahu itu, maka pada suatu saat raja pergi melihat karya itu. Lalu
salah seorang di antara rakyatnya mengatakan: “Tuan raja, coba tengoklah papan di sebelah lunas
itu: apakah sudah terpasang baik atau tidak”.
Maka raja membungkuk untuk melihat. Lalu orang itu angkat palu kayunya dan dengan
palu itu memukul raja pada kepalanya, dan dia mati.

204
Raja sudah mati, lalu mereka semua takut dan mereka melarikan diri sambil membawa
serta roh pelindung mereka yaitu Lumwaad.141
Mereka lari ke raja Rumadien dan minta kepadanya sebidang tanah untuk membangun
sebuah kampung dan bertempat tinggal di situ.
Raja Rumadien waktu itu belum tinggal di Rumadien, tetapi ia masih tinggal di sana, di
Tadwo, di mana Ngabalnya masih tinggal sampai sekarang.142
Raja Rumadien berkata: “Aku tidak tahu apakah permintaan itu akan kukabulkan, karena
seluruh rakyatku takut akan roh pelindungmu Lumwaad, yang – katanya – sangat jahat”.
Karena itu mereka menempatkan Lumwaad di tengah hutan di petuanan Rumadien.
Lalu berkatalah raja: “Rajamu sudah mati; jika kamu bersedia menjadi takluk kepadaku,
kamu boleh juga tinggal di petuananku”.
Lalu raja Rumadien memberi mereka tanah Debut untuk bertempat tinggal di situ.

---------------------------------

Sar tomtom Labo! – Faa tomat wat ain enba entai met. Entai met ma, enit-ken lilir ain.
Enit ma, nefenfen ma, entub wat.
Eidbo fel meran wel enba wel entai met. Enba ma, enit wel lilir i; nanar: Duad naan lilir i mele!
Ma nefenfen wat.
I bo enba sentul we ni renan. Ni renan nanar: Batang um’ot fel en he wahaid, bet meran-ak
umbwa-ken wel lilir en i, umtaha rehe.
Eidbo fel meran wel, enba wel entai met ma, enit wel lilir en’il. Enit ma, enreek ma, enhilik na ni
jafar.
Eidbo en’ot bissa ni wad met, entu’u na uran, en’ot su ndok jaf. Endok jaf ma, entub.
Entub, esmir enbatar, endeinar waun hira ni kakahai enroon. I nanar : Ah ! mangbe ni kakahai
enroon bail i ?
Eidbo enba enleik ni uran ma, enit ni lilir en’il ruk fo umat. I kakahai wekat ruk i.
Eidbo koet ni ngaroon lai ma, te betuan ain en’ot dan. En’ot dan na, nanar : Umbatang koet i fo
bok; umkai tomat bok, leran i rat lai wuk. Fomur koet I enmoon wat.
Sar tomtom labo! – Koet in endat lai ruk, ersak i wuk fo rat. I rat ma, enher wuk ni ohoi fo Ohoi-
lilir.
Eidbo fomur rat I enyangun ni rayat sisienli. I nesno hir erba neste, bail enhauk wat wav wawain,
wav matmat I nefen.
Nesno wel hir erba enhauk wuut i naan, bail enhauk wat wuut wawain, wuut matmat i nefen.
I bo enweeng wat ni umat rir sus lai ma, hir raar sier, erhauk bail wat erfedan rir rat.

141 Roh pelindung alias mitu tinggal dalam sebuah batu karang atau dalam sebatang pohon atau dalam suatu

benda lain seperti misalnhya sepotong emas atau sebuah gong dll.
142Ngabal adalah roh pelindung agung bagi para Lorlim. Ia tinggal di setiap kampung di mana tinggal
seorang raja dari pihak Lorlim. Ia tinggal dalam sebuah pohon ficus. Saudara laki-laki tertua dari raja
menjadi imam dari Ngabal.

205
Sar tomtom labo! – Leran wel rat i nesno ni umat endad ni habo ain. Habo erdok er’ot ma, rat
enba enhamoning,
Enhamoning ma, ni umat ain nanar: Teran rat, umleik ai lohor naa wak, umleik fel i bok te sien.
Eidbo rat ensu fo enleik. Ensu ma, tomat i enreek ni waw ma entev rat uun ma, enmat.
Enmat, tomat hir bissa erbobar. Erbobar ma hir refla bissa kanimun enhov ertaha wel rir mitu
meman Lumwad.
Hir refla, erba senhoel we rat Rumadian, fo erher rat Rumadian ni tanat odan fo er’ot rir ohoi fo
erdok.
Eidbo rat Rumadian endok Rumadian hoeb, hoeb endok Tadworat, ni Ngabal ni ohoi hoeb wil.
Rat Rumadian nanar: Utarim te be, ma ning umat bissa erbobar ental bir mitu, matak en’ot
tomat angled bo?
Eidbo er’ot Lumwad endok yat raan na Rumadian rir nuhu i. Fomur rat nanar. Bir rat enmat
ruk bo, fel en he bet imdenar wat ental yaw, miski imdok wuk ning tanat, ajat.
Fomur rat Rumadian na wer hir tanat Debuut rat, fo hir erdok.

206
35
SEJARAH MARGA MATURAN

Seorang perempuan pergi mencari binatang-binatang siput dan ia menemukan sebuah


siput (terodactylus) dan memasukkannya ke dalam bakulnya.
Setelah tiba di rumah, ia memasukkan hasil penangkapannya ke dalam sebuah belanga
dan menaruhnya di atas api untuk dimasak isinya.
Ketika belanga itu sudah ditempatkan di atas api, perempuan itu pergi tidur. Ketika
kemudian ia terbangun, ternyata siput itu sudah berubah menjadi seorang manusia.
Ibu itu membesarkan si kecil bagaikan anaknya sendiri. Ketika ia sudah menjadi besar, ia
pun menjadi moyang sebuah marga, yakni marga Maturan (artinya, manusia Cerek atau manusia
Belanga).

--------------------------

Ko wat ain enba entai met. Entai met, enit ngiang ain, enhilik na ni yafar.
En’il ni rahan, en’ot ni wad met na uran ain, en’ot sundok yaf, fo enwaik.
Uran endok yaf ma, ko wat i entub. Entub, fomur enbatar wel, ni nging en’il ruk fo umat ain.
Eidbo ko wat i entod koet i sar ni yanan. Endat lai ruk, i wuk fam ain ni utin. Fam i tomat
Maturan.

207
36
SEJARAH MARGA WAATRATAN
DAN MARGA OHOIWUTUN

Orang Waatratan dan Ohoiwutun berasal dari sebuah siput tridaena. Siput tridaena itu
pernah muncul dari laut, lalu menerobos di bawah tanah sampai mencapai sebuah mata air.
Siput tridaena itu buka diri dan tampillah dua bocah laki-laki. Satunya duduk di atas
sebuah batu dan disebut sebagai moyang orang-orang Waatratan (= Op de steen).
Yang lain duduk di sebelah utara dan menjadi moyang orang-orang Ohoiwutun (artinya
orang Kampung utara).

-----------------------

Watratan enhov Ohoiwutun ental wada ain. Wada i ental taheit endo, enhov wel tanat wowan,
famehe enloi wer ain.
Eidbo wada i neswatun ma, tomat koet ainru erwussak. Erwussak ma ain endok wat ratan, i
Watratan utin ruk i.
Ain endok kedin wutun bo, i wak Ohoiwutun rir utin.

208
37
SEJARAH HAYEEW

Dahulu kala bertempat tinggallah di Hayeew seorang laki-laki dari Tetoôt, namanya
Kaleen. Pada suatu hari isterinya sedang membakar kue-kue kecil.
Sementara ia membakar kue-kue itu, berdirilah di pintu rumah seorang dari Nguur-
affruan bernama Kades, sedang menyisir rambutnya.
Perempuan itu menjadi marah karena orang itu sementara menyisir rambutnya di situ
dan berkata: “Di mana kesopananmu? Engkau berdiri di situ seraya menyisir rambutmu sedang
aku membakar kue-kue!”
Sahut Kades: “Bagaimana mungkin jatuhlah kotoran di atas kue-kuemu itu? Maklumlah
angin meniup kotoran itu ke luar”.
Kata perempuan itu: “Semoga maut menjemput seorang yang kurang ajar begini!”
Kades: “Apa masalahnya kalau kue-kuemu menjadi kotor, karena sudah kelihatan seperti
tahi oposum”.
Kata-kata itu membuat perempuan itu merasa sangat terhina dan dia pergi melaporkan
itu kepada suaminya. Lalu mereka bersama berlayar ke Tayando untuk melaporkan hal itu
kepada kaum keluarganya di situ.
Orang-orang Tayando memperhitungkan penghinaan terhadap perempuan itu sebagai
penghinaan terhadap mereka semua; maka mereka mengemaskan dua perahu dan bertolak.
Ketika mereka sampai di Ngaf, terlihat ada tiga puluh orang dari Nguur-affruan sementara
mencari ikan. Berserulah orang Tayando itu: “Kalian siapa?”
Mereka menjawab: “Kami dari Ngilngof”.
Orang Tayando berseru kembali: “Cepat, kalau tidak, kamu akan celaka! Orang Papua
dalam perjalanan ke sini!”
Pada memperhatikan bahwa mereka hanya memakai sampan-sampan saja, maka orang
Tayando menipu mereka lebih lanjut dengan berkata: “Mari cepat! Tinggalkan saja sampan-
sampan itu; mari kita bersama-sama melarikan diri dengan perahu-perahu kami yang besar ini
demi menyelamatkan hidup kita”.
Maka mereka mendayung ke perahu-perahu yang besar itu dan menaikinya.
Dengan segera juga orang-orang Tayando menangkap mereka, membelenggu mereka
pada kaki-tangannya dan berlayar terus. Mereka berlayar ke Tetoôt dan menyuruh marinyo
untuk memberitahukan kepada orang Ngilngof, bahwa, kalau tidak menebus orang-orangnya ini,
mereka akan dijadikannya budak-budak.
Orang-orang Ngilngof lalu berlayar ke situ dengan membawa tiga puluh potong emas
untuk menebus mereka. Tetapi orang Tayando, selain itu, menuntut diberi juga pulau kami
Hayeew.
Dahulu kala orang-orang Ngilngof masih bodoh, maka mereka setuju. Tetapi dewasa ini
kami lebih pintar dan kami sama sekali tidak menyetujuinya.

209
-------------------

Amnanatli ruk tomat Tetoot ain, meman Kalen, endok Hajew. Eidbo faa ni hoon endok en’ot eloe.
En’ot eloe, tomat Nguur-afruan ain, meman Kades, endir fid, enhuwa murun.
Enhuwa murun ma, ko wat i raan sien ma, nanar: Um’ot aka fel en he, udok uut eloe, umhawa
murum?
Kades i nanar: Felbe wak kotor enhov mu eloe, ni’ot enheng-su murin bail i!
Ko wat i nanar: Nit entod hira enkai aturan ainmehe wuk waid.
Kades i nanar: Miski kotor wel na mu eloe, eloe waun wuk medar ten.
Eidbo ko wat i enmeek lai ma, enba sentul ni hoon. Fomur hirru refla erba nanartul rir asa endok
Tehyad.
Eidbo tomat Tehyad erwar wuk ko wat ni meet ma, erreek habo enru ma refla-rat. Hir errat ruk
Ngaf, tomat Nguur-afruan woho, hir wuttil, ertai met. Hir erwoo. Imbe oh!.
Hir erhawa: Am Ngilngof oh!
Hir ernar: Misnalik waid, immiet ruk he! Nesyaw hir erdat ruk.
Eidbo hir bail ertai wat rir raw koet ma, tomat Tehyad erweeng wel hir, ernar: Immie ngihen-
ak imwatuk raw, ittai habo lai fo itwait.
Hir erwehe-ti habo lai ma, er-rat.
Er-rat ma tomat Tehyad ertaha-kuuk hir, errafuk bissa yer limar hir, ma refla. Refla-rat Tetoot
ma, resno marin enba sentul tomat Ngilngof, bet hir ertiwut rir umat waid, hir er’ot fo rir iri.
Eidbo tomat Ngilngof erwehe-rat, erloon mas susuk wuttil, nan tiwut. Nantiwut ma, tomat
Tehyad erhauk fo ertam mam nuhu yanat Hajew enhov wel.
Eidbo lain tomat Ngilngof hoeb erbod ma, erturun rehe. Bail am fomur amkai ruk enfikir odan
ma, amufen ruk.

210
38
KISAH PENYU RAKSASA143

Dan beginilah ceritanya!


Dahulu kala kampung Ohoideer-tutu tidak letaknya seperti dewasa ini; laut meluas sejauh
gua itu (artinya sebuah gua yang sedikit ke arah pedalaman).
Waktu itu tinggallah di Ohoideer seorang laki-laki bernama Towi, yang mempunyai
seorang puteri namanya Boimaas. Boimaas membiakkan seekor lanuran (sejenis ikan).
Pada suatu hari Boimaas sementara menampi beras, tetapi angin timur-laut
menghembusi beras itu sehingga beras dan juga nyiru itu dibawa pergi oleh angin itu. Nyiru itu
terkatung-katung ke arah Kei Besar dan berubah menjadi sebuah pulau, namanya pulau Ifat. 144
Ketika pada malam hari ayahnya tiba di rumah, ia melihat puterinya duduk menangis
dengan tersedu-sedan. Dia bertanya: “Mengapa duduk menangis begini!”
Jawabnya: “Aku menangis karena angin telah meniup pergi beras dan nyiruku”.
Maka Towi mau menghukum angin timur-laut. Ia naik perahunya dan mendayung sambil
mencari dia, namun tidak ditemukannya. Ia mendayung terus, sampai di Papua, namun tidak
menemukannya.
Di Papua, ia melihat seorang Papua dan dia pun dimarahinya; ia bertanya kepadanya:
“Mengapa engkau membuang beras dan nyiru puteriku?”
Orang Papua itu menjawab: “Bagaimana bapak dapat bicara begitu! Aku malah tidak
mengenal bapak, maka bagaimana mungkin aku telah membuang beras dan nyiru puterimu?”
Berkatalah Towi: “Kalau begitu, mari kita mengadakan taruhan, supaya aku tahu apakah
engkau telah bersalah atau tidak”.
Mereka memilih angin-angin. Orang Papua itu mendapat angin utara, Towi mendapat
angin selatan. Mereka masing-masing naik perahunya sendiri, turunkan sauh dan berlabuh pada
arus laut. Sebagai sauh Towi memakai seekor hun (sejenis ikan), sebagai tali sauh sebuah polip,
sebagai alat timba seekor landak laut, sebagai katrol seekor elang laut, sebagai tiang seekor bisuk
(sejenis ikan panjang), sebagai tali pengulur seekor ular, sebagai tongkat-dayung sebuah batu dan
sebagai kemudi seekor ikan ceper.
Dan begini ceritanya! – Terlebih dahulu turunlah angin utara, ialah angin orang Papua itu.
Angin itu melempar jauh-jauh perahu Towi. Berserulah Towi: “Hai landak laut, apakah kau bisa
keluarkan air ini semua?”
Sahut landak itu: “Tentu saja, seperlunya selama dua atau tiga hari berturut-turut”.
Angin utara bertiup dengan segenap tenaganya, laut bergelora, ombak-ombak naik tinggi,
perahu tergenang air, namun landak itu tiap kali menghirup semua air itu dan memuntahkannya
ke dalam laut, sehingga angin utara tidak berhasil menenggelamkan perahu Towi.

143 Penyu raksasa: dermatchelys coriacea.


144 Nyiru: Sifat sedangkan pulau di teluk Elat namanya Ifat.

211
Dan beginilah ceritanya! – Kemudian turunlah angin selatan dari Towi. Angin selatan
dengan segenap tenaganya menghantam perahu orang Papua itu. Perahu itu dengan segera juga
penuh air dan orang Papua itu memohon ampun kepada Towi. Kata Towi: “Baiklah, tetapi gantilah
harga nyiruku”.
Orang Papua bertanya: “Apa cara pembayarannya: dengan uang atau dengan emas?”
Sahut Towi: “Aku tidak mau menerima apa pun daripadamu selain benda yang sedang
melongo dan menguap di sana”.
Berkatalah orang Papua itu: “Benda yang terapung di sana dan sementara melongo dan
menguap ialah penyu raksasaku. Jika bapak suka, bapak boleh mendapatkannya”.
Towi berkata: “Aku tidak mau barang apa pun selain penyu raksasa itu. Tetapi dengan
cara apa aku bisa mengangkutnya ke kampungku?”
Orang Papua itu menjawab: “Bila bapak pergi, maka berilah isyarat dengan sebuah tikar,
lalu ia akan mengikuti bapak dengan spontan”.
Maka Towi mengangkat tikarnya dan memberi isyarat, lalu penyu raksasa itu
mengikutinya sambil renang. Lalu ia naikkan layar dan bertolak. Sesampai di kampung Defur ia
bertanya: “Maukah kamu bahwa benda ini tinggal dekat kampungmu dan menjadi milik kita
bersama?”
Tetapi orang-orang Defur tidak mau.
Towi memberi isyarat kepada penyunya dan melanjutkan pelayarannya, lalu tiba di Faan.
Kepada orang-orang Faan pun ia bertanya: “Maukah kamu bahwa benda ini tinggal dekat
kampungmu dan menjadi milik kita bersama?”
Orang Faan berunding lama sekali, tetapi ternyata penyu raksasa itu tidak mau mereka
terima. Tetapi Towi tinggalkan di situ alas dari pinggan kuningannya untuk mengikrarkan
persahabatan antara kesepuluh dan ketujuh Kampung.145 Mereka mengikrarkan persekutuan tee-
bel:146 bila mereka datang ke kampung pihak yang lain, mereka boleh mengambil sirih, kelapa dan
ayam sesuka hati mereka, hanya kaum perempuan harus mereka hormati dan hanya boleh dibeli
seperti telah ditetapkan oleh Allah-Matahari-Bulan.
Dan beginilah ceritanya! – Towi melanjutkan pelayarannya dan tiba di Ohoideer-tawun.
Ia bertanya lagi: “Maukah kamu bahwa benda ini tinggal dekat kampungmu dan menjadi milik
kita bersama?”
Tetapi orang Ohoideer pun tidak berniat memilikinya.
Lebih jauh lagi pelayarannya, dan ia tiba di Ngilngof. Ia menawarkan lagi, tetapi juga orang
Ngilngof tidak mau menerimanya.
Lalu ia sampai di Tetoôt dan bertanya lagi. Tetapi orang Tetoôt pun tidak mau
memilikinya. Di situ ia memeras sebuah kelapa dan membuang ampasnya. Ampas itu berubah
menjadi sebuah pulau, namanya Nuur-nguwa (= ampas kelapa).
Setibanya di Ohoira ia membuang sekapur sirihnya yang sudah dikulumnya ke laut, lalu
kapur sirihnya itu berubah menjadi sekawanan ikan kecil.

145Nufit ialah Tujuh-Kampung yang termasuk Ursiw, sedangkan Ohoiwut, ialah Sepuluh-Kampung yang
termasuk Lorlim.
146 Persekutuan itu terdapat juga di banyak pulau lain.

212
Di Wab ia membuang tabung bambunya dan piring kayunya. Tabung bambu itu menjadi
hidup dan berubah menjadi kursi-kursi bambu, yang bertumbuh pada mata air Wab, sedangkan
piring kayu itu berubah menjadi sebuah batu karang, dinamai batu karang piring.
Ia meneruskan pelayarannya dan tiba di Somlain; di situ ia merebus ikan. Ia membuang
sisik ikan dan sisik itu berubah menjadi sejenis ikan. Ia menganjurkan kepada raja Somlain,
supaya dia menjaga baik-baik jenis ikan itu; ia memperoleh hak warisan pada jenis ikan itu. 147
Ia melanjutkan pelayarannya, dan ketika ia sudah sampai kampungnya sendiri ia pun
membuang tongkat dayungnya, yang berubah menjadi sebuah batu karang besar, yang terdapat
dekat tanjung Arat.
Dan beginilah ceritanya! – Setibanya di kampung Tobai, ia bertanya: “Maukah kamu
bahwa benda ini tinggal dekat kampungmu dan menjadi milik kita bersama?”
Tobai setuju, dan Towi membawa penyu raksasanya sampai dekat tanjung Arat Abawan;
di Abawan ia menimbun sebuah tembok sehingga penyu itu tidak dapat melarikan diri.
Di Madwair Towi tinggalkan juga penutup pinggan kuningannya untuk mengikrarkan
persahabatan antara ketujuh kampung dan kesepuluh kampung.
Ia mendayung terus dan membuang sekapur sirih yang sudah dikulumnya hingga menjadi
sebuah lubang dalam bukit batu Doan. Sesudah itu ia menetap di pantai pasir Ohoideer,
sedangkan Tobai bertempat tinggal di Madwair.
Beberapa waktu kemudian Towi dan Tobi berunding bersama. Tanya Tobai: “Dengan cara
apa kita dapat menikam penyu-penyu raksasa lain?”
Towi menjawab: “Kita harus memakai kulit gaba-gaba sebagai cempuling, sumsum gaba-
gaba sebagai pegangan cempuling dan alang-alang sebagai tali pengulur, supaya kita melukai
mereka dengan tidak terlalu parah.
Demikianlah dibuatnya. Tetapi mereka tidak menangkap apa-apa. Tempuling itu tiap kali
meleset pada kulit.
Tetapi Towi memperhatikan bahwa Tobai memakai sebuah cempuling besi. Lalu Towi
pun mengerjakan sebuah cempuling besi tetapi mengajak temannya: “Tobai, hati-hati, jangan-
jangan sampai engkau menikam pemimpin penyu-penyu raksasa itu”.
Tetapi Tobai tidak menghiraukan. Maka penyu raksasa itu menjadi marah; ia mendobrak
tembok itu dan sambil melarikan diri ke arah laut ia berteriak: “Aku pergi! Selanjutnya hanya
orang Nufiet akan menikam aku. Aku tidak akan tinggal lagi di tempat-tempat dangkal, melainkan
hanya di laut yang dalam ialah Rodbobo, Bungsowil dan Ngon Tanbaav.
Tobai marah dan pergi menikam ikan lanoran milik Towi, tetapi tombaknya meleset pada
ekor pemimpin ikan-ikan lanoran dan mereka melarikan diri semuanya, sedangkan pemimpin
berteriak: “Selanjutnya aku tinggal dekat pesisir laut dan di laut yang dalam, dan semua orang
boleh menikam aku sesuka hati”.

147 Banyak kampung menganggap mempunyai hak eksklusip atas jenis ikan tertentu, yang dalam marga
diteruskan turun-temurun: ialah ikan warisan mereka. Latar belakangnya barangkali ialah bahwa
beberapa jenis ikan perantau menunjukkan diri pada waktu-waktu tertentu di tempat-tempat tertentu di
pesisir laut. Dengan cara itu jenis ikan itu menjadi “ikan warisan” dari penduduk desa yang adalah pemilik
pesisir itu. Kemudian hari hak itu ditegaskan lewat salah satu legenda. Dari cerita yang sedang kita baca
ini, menjadi kentara juga betapa masyarakat setempat condong menciptakan dongeng-dongeng tentang
segala di alam sekeliling yang menyolok bagi mereka.

213
Maka Towi sangat sedih dan terpukul, ia meninggalkan Ohoideer dan pergi tinggal di Mun,
dan di sana, di Kei Besar, ia meninggal.

-----------------------

Sar tomtom labo! – Laeinle ohoi Ohoider-tutu endok waun ler i waid; taheit enloi famehe wan.
Tewat i na Ohoider tomat ain, meman Towi, ni yanan wat ain, meman Boimas. Eidbo Boimas
enfan wuk ni lanuran ain.
Leran Boimas entaf kekat ma, ni’ot watmar lai enheng watuk ni kokat enhov wuk ni sifat. Eidbo
ni sifat enfok enti Yut, en’ot il fo nuhuyanat ain meman Ifat.
Ler wahan ni yaman ental nangan en’il endat, enleik ni yanan endok enroon wat, ma enhorak:
Umdok umroon ak bail i?
I nanar : Uroon ning kokat enhov ning sifat ni’ot enwatuk.
Eidbo Towi enhauk ensiksa ni’ot madmar. Entai ni habo enweheti, enleik-hauk ma, enit rehe
waid. Enwehe famehe ensu Koviai, enit rehe waid.
Na nuhu Koviai enit tomat Koviai ain ma, i raan sien wuk enhov i ma enhorak: Umwatuk yanang
sifat enhov kokat fo aka?
Tomat Koviai i nanar: Umnar aka fel en he? Yaw ukai o waid rehe, felbe wak uwatuk omu yanan
ni sifat enhov ni kokat?
Towi nanar: Fel i itesnit, fo ukai o sa te waid.
Eidbo hirru erham ni’ot: Koviai ni ni’ot madmar, Towi ni ni’ot tarenan. Hirru ertai habo uru,
erhilik watsin, erloi watroa. Towi ni watsin hun, ni watsin-lilan akrit, ni enit-waha ngis, ni loel loes,
ni afler bisuk, ni lilan waraan rubai, ni leet wat, ni ulin lavlav.
Sar tomtom labo! – Koviai ni ni’ot madmar entubur lain, entai-watuk Towi ni habo. Towi nanar:
Ngis mu bran umit waha te waid?
Ngis i nanar: ning branli, miski de ru til wel te ning bran.
Madmar enba ni kuwat laili ma, taheit enluur laili ma, bobowat karatatli, habo nihin sien ma,
ngis bail nin naftuhut-watuk wat waha, madmar endo Towi ni habo naa waid.
Sar tomtom labo! – Fomur Towi ni ni’ot taranan enwussak wel. Ni’ot taranan enba ni kuwatli
wel ental Koviai ni habo. Habo enluduk su-loi ma, Koviai enher bok ental otmat Towi. Towi nanar:
Felhe umwer ning sifat.
Koviai i nanar: Ua aka fo uwer, kubang te mas?
Towi nanar: Ufen mu afa avled, bail uhauk mu afa enter kamomot roi.
Koviai nanar: Afa lai enter kamomot roi, ning tabob he; bet umseek ning afa i, miski umtam.
Towi nanar: Ning suk bail wat tabob enhe ma u’ot felbe wak fo enhov yaw fo ning ohoi?
Koviai nanar: umro, umtaha dab nanaf, nefla norang wat o he.
Eidbo Towi entaha ni dab ma enaf, tabob enma nanang norang wat i ma, nefla. Nefla, enho lain
Defur, enhorak: Bir suk afa i enloi bir ohoi fo itru did, te waid?
Eidbo Defur hir refen.
Towi enaf wel ni tabob ma, nefla wel enho Faan. Enhorak wel tomat Faan: Bir suk afa i enloi bir
ohoi fo itru did, te waid?

214
Hir erdok rasdov ablotli ma, tabob Faan wel te refen bo Towi na ni tenan bes endok oba Faan,
fo Ohoiwut hiris Nuhufit refyan: er’ot ni tee-bel: ain enhov ain ni ohoi, er’ahai isu, nuur, manut,
norang wat rir suksuk, bail wat batang er’ot liklak wahaid, erfaha norang aturan, waun Duad Ler-
wuan nesno.
Sar tomtom labo! – Towi enwehe wel, enho Ohoider-tawun. I enhorak wel: Bir suk ning afa i
enloi bir ohoi fo itru did, te waid?
Eidbo Ohoider te refen wuk.
Enwehe wel, endat Ngilngof, enhorak wel ma, Ngilngof hir refen wuk.
Endat Tetoot, enhorak wel. Tetoot te refen wuk. Eidbo enroman nuur, enwatuk ni nguwa, en’ot
fo nuhu yanat Nuur-nguwa.
Endat Ohoira, enwatuk ni boir su taheit, boir en’ot il fo serseran. Endat Wab, enwatuk ni ewan
enhov ni bahan. Ni ewan enwait, en’ot fo teimar, endir wer Wab ratan. Ni bahan en’ot fo Wat-bahan.
Enleek wel, endat Somlain, enwaeik ni wuut. Enwaeik wuut, enwatuk wuut iin ma, wuut iin en’ot
fo ngam. Ensib we rat Somlain fo enbatang ni wuut i fel i wussak.
Enleek wel enho Ohoirin, na ni luv we tomat Ohoirin.
Enleek wel ma, enho leen sir ruk ni ohoi, enwatuk wel ni leet, leet endir fo wat ain, enfasier lair
Arat.
Sar tomtom labo! – Enma Tobai ni ohoi ma, enhora: Ning afa i enloi mu ohoi fo itru did, mu suk
te waid?
Tobai entarim ma, Towi en’ot ni tabob enloi lair Arat Abawan, en’ot lutur naa Abawan fo tabob
nefla naa waid.
I bo Towi en’ot wuk ni luv ngutun endok Madwair, fo Nufit hiris Ohoiwut refyan.
Enwehe wel, enwatuk ni atbak nguwa, entev-lehew tuun Doan. Fomur endok Ohoider ni wirin,
Tobai endok Madwair.
Eidbo fomur Towi hirru Tobai rasdov. Tobai enhorak: It’ot felbe fo it’ahai tabob leen wel?
Towi nanar: It’ot kabar ulin fo tarkihin; kabar ihin fo horan ngaein enhov ri fo ni tal, fo lan
enfamnga lai wahaid.
Er’ot ma, er’ahai-tok waid, ental-wangar wat.
Eidbo Towi enkaneek Tobai en’ot horan atman. Towi en’ot tarkihin atman wuk ma, ensib: Tobai,
batang um’ahai tabob tenjan wahaid. Tabob tenjan yedyed kalkeen, kormatan na tetan.
I bo Tobai enfedul waid. Eidbo tabob raan sien ma, nefla-lawur lutur, nefla roa, enwoo: Uba ruk
ya, fomur Nufit mehe er’ahai yaw, uloi wuk met ruk waid, bail nuhutil, Rod bobo, Bung sowil, Ngon
tanbav.
Tobai raan sien enba en’ahai Towi ni lanoran. Enahai, enahai-sudu lanoran tenjan weilan ma,
refla bissa, lanoran tenjan enwoo: Uba ruk ya, udok taheit met nuhutil bissa, tomat bissa ental rir
suk er’ahai yaw.
I bo Towi raan sus ni masloin ma, nefyait ental Ohoider enba endok Mun ma, enmat na Yut.

215
39
KISAH PADI

Dan begini ceritanya!


Ada seseorang laki-laki bernama Letwir, yang pergi berburu dengan membawa juga
anjingnya. Dalam pemburuan itu, anjingnya itu jatuh ke dalam sebuah jurang.
Ia mengikuti anjing itu dan turun juga ke dalamnya. Seorang perempuan yang sudah tua
berdiri di kebunnya. Setelah tiba di dunia-bawah-tanah ia memperhatikan perempuan itu dan
bertanya: “Nenek, adakah nenek telah melihat suatu benda milikku lewat di sini?”
Bertanyalah nenek itu: “Suatu benda, suatu benda…, benda apa?”
Sahut Letwir: “Jadi, tiada suatu benda milikku lewat di sini?”
Tanya nenek itu: “Benda apa gerangan! Coba sebutkan, supaya aku tahu!”
Lalu berkatalah Letwir: “Apakah nenek melihat anjingku lewat di sini?”
Nenek itu menjawab: “Benar, aku telah melihat seekor anjing merah lewat di sini”.
Maka Letwir mau mengikuti anjingnya, tetapi nenek itu menahan dia, supaya ia makan
sedikit terlebih dahulu.
Ia menghidangkan baginya ubi-ubian tetapi dalam keadaan mentah, dan dia berkata
bahwa ia tidak dapat memakannya.
Lalu ia menyajikan kepadanya beras merah dan beras putih, tetapi dalam keadaan
mentah, dan ia mengatakan bahwa ia tidak dapat makan itu.
Bertanyalah nenek itu: “Aduh, makanan begitu mantap, bagaimana mungkin bapak tidak
dapat memakannya?”
Sahut Letwir: “Memang makanan itu baik sekali dan di dunia-atas kami tidak
mengenalnya. Bolehkah aku membeli sedikit?”
Tanya nenek itu: “Bapak mau membelinya dengan apa?”
Berkatalah dia: “Tunggu, aku akan memberikan kepadamu sesuatu yang baik sekali”.
Maka ia mengambil penggosok apinya dan membikin api. Kemudian ia memasak nasi,
yang mereka makan bersama, dan nasi yang telah dimasak itu sangat dinikmatinya.
Demikianlah mereka sudah makan bersama, lalu mereka kawin.
Sesudah itu mereka meletakkan api itu pada sebuah pemanggang dan pergi mencari ikan.
Sementara mencari ikan, mereka melihat rumah mereka sedang terbakar dengan nyala api besar.
Ketika rumah mereka tengah terbakar, semua orang bawah-tanah berseru: “Tengoklah!
Betapa indah benda yang berdiri di atas rumah pasangan Letwir itu!”
Mereka tidak mengenal benda itu, dan mereka semua bergegas ke sana untuk mengambil
sedikit dari barang itu.
Memang mereka tidak mengenal api dan justru karena itu Letwir memperkenalkannya
kepada mereka.

216
Dan beginilah ceritanya! – Letwir dengan isterinya tinggal bersama, tetapi Letwir ingin
pulang ke kampungnya Wir-Warbut.
Maka mereka berangkat bersama, tetapi ketika mereka sampai pada perbatasan dunia-
bawah dan dunia-atas, mereka mulai bertengkar. Letwir berkata: “Hai, nenek, engkau duluan”.
Kata perempuan itu: “Jangan. Engkau dulu”.
Letwir berkata lagi: “Tidak. Engkau duluan”.
Akhirnya Letwir menang dan perempuan itu berjalan di depan. Dia mendaki tebing itu
dan menarik diri naik pada akar tunjang sebuah pohon ficus, yang tergantung di jurang.
Perempuan itu tetap di depan dan Letwir menengadah dan mulai tertawa katanya:
“Engkau tergantung di situ bagaikan monyet di tengah dahan itu”.148
Maka perempuan itu merasa dipermalukan, dan mereka sudah lagi mulai bertengkar.
Perempuan itu mau kembali saja ke dunia-bawah. Tetapi si laki itu tidak mau: dia mau pulang ke
kampungnya, lalu mereka bercerai.
Ketika mereka berpisah, perempuan itu menuntut: “Kembalikan kepadaku berasku”.
Letwir menolak. Ia berpegang kuat pada beras itu, tetapi perempuan merenggutnya
daripadanya. Letwir memasukkannya ke dalam sarongnya, tetapi perempuan itu mengambilnya.
Ia menekannya di bawah ketiaknya, tetapi perempuan mengambilnya. Ia memasukkannya ke
dalam hidungnya,149 dan dari situ perempuan itu tidak lagi dapat merenggutnya dan dia
pertahankan dua butir beras: sebuah yang warna putih dan sebuah yang warna merah.
Perempuan itu merasa malu dan pulang.
Setelah Letwir pulang ke kampungnya Wir-Warbut, ia membuka di bawah sebuah pohon
sebuah kebun kecil sekali, dan menanam di situ kedua butir beras itu.
Beras itu menghasilkan dua bulir padi. Ia menyimpannya, dan dalam musim hujan ia
menaburnya lagi, dan kemudian ia mendapat padi makin banyak.
Ia membawa pulang padi itu dan membuka sebuah kebun besar dan menaburinya. Maka
ia memperoleh padi banyak sekali, padi merah dan padi putih.
Ia membawa itu semua masuk ke dalam rumahnya dan menempatkan di situ semua
padinya: yang merah di samping pintu dan yang putih pada dinding belakang.150
Lalu datanglah orang. Mereka datang untuk melihat padi itu. Letwir menjual kepada
mereka hanya padi merah untuk ditumbuk. Padi putih dibiarkannya.
Dan beginilah ceritanya. Padi merah itu marah dan pergi dengan membawa karungnya.
Dengan membawa karungnya ia pergi. Padi putih bersedih hati karenanya dan berseru seraya
menangis: “Kakak padi merah, kakak padi merah, tunggui aku!”

148 Harafiah:
Video in ramo furcato opossulum pendentem, indicans se intra crura mulieris pudenda videre (ia
dapat melihat kemaluannya).
149Harafiah: Abscondit in preputio, mulier denuo arripit, abscondit in scroto, inde arripere non valebat (ia
menyembunyikannya di dalam penis, lalu perempuan itu mengambilnya dari situ; kemudian dalam
skrotum: dari situ perempuan itu tidak dapat mengambilnya).
150Sudah lebih dahulu kami jelaskan bahwa pada rapat-rapat para pemuka duduk pada dinding belakang
sedangkan orang-orang biasa duduk pada pintu masuk. Demikian di sini, dengan penunjukan tempat itu
pula, dinyatakan keunggulan beras putih daripada beras merah. Tetapi di Kei ditanamkan hanya padi
merah, yaitu pada sawah kering.

217
Padi merah tinggal berdiri dan berkata: “Bagaimana bisa terjadi bahwa orang
membiarkan engkau berdiri di situ saja, sedangkan aku dengan seenaknya diberikan kepada
orang dan dimakan? Engkau dibiarkan berdiri di situ sedangkan aku sekarang pergi ke tanjung
panjang di sana”.
Lalu ia pergi ke Tanjung Jabri, tetapi dalam perjalanan karung itu terobek. Ketika
karungnya terobek, ia sudah sampai di Nguur-Walek. Sebagian beras itu naik ke luar dari karung
dan berubah menjadi pohon sagu, yang terdapat di sana di pesisir laut. Pohon-pohon sagu itu
muncul di sana dengan sendirinya, tidak ada orang yang telah menanamnya.
Ia melanjutkan perjalanannya dan tiba di tanjung panjang.
Dan beginilah ceritanya! – Dia sampai pada sebuah kebun milik seorang perempuan yang
sudah siap untuk ditanami. Di situ tersebarlah beras itu.
Pada saat ibu itu datang, padi itu sudah berkecambah. Berkatalah ibu itu: “Astaga! Baru
saja belum ada rumput apa-apa di kebunku!”
Dia membungkuk untuk menyiangi dan mencabut semuanya. Tetapi baru saja ia pergi,
maka padi sudah berdiri tegak lagi.
Ketika di pagi hari ibu itu datang lagi, padi sudah bertumbuh lagi. Ibu tidak mencabutnya,
melainkan membiarkannya. Maka padi itu tetap dan menjadi matang.
Ia meminta orang datang memanen padi itu. Sesudah panen itu ia menumbuknya.
Kemudian ia membuat kucingnya makan dari beras itu. Kucing itu makan dan tidak mati.
Lalu ia membuat anjing-anjingnya memakannya. Anjing-anjing itu makan dan tidak mati.
Kemudian ia membuat budak-budaknya makan. Mereka makan dan tidak mati. Akhirnya
ia sendiri makan sedikit beras itu. Dia makan dan berkata: “Ini baru beras!”
Dan lebih lanjut ia berkata: “Hari ini Allah telah membantu aku dan membuat aku
menemukan sesuatu yang sangat berharga”.
Orang-orang di Wir mendengar itu dan datang minta dikembalikan beras itu. Tetapi
mereka memintanya dengan percuma.
Dan kisah ini sudah habis.

--------------------------

Sar tomtom labo! – Tomat ain, meman Letwir, enhov ni yahav enba neste. Enba-rat, ni yahaw
enlek, enho long ensu.
Ensu, enseb-norang ensu. Ensu, te ain endir ni we’e. Ensu ruk lengwav i, enit te betuan i ma,
enhorak: Te, umit ning afa ain enho ded enro i, te waid?
Te i nanar: Afa te afa, omu afa aka wak?
Letwir nanar: Oho te, ning afa ain enho enro ded eni te waid?
Te i nanar: Omu afa aka wak te! Umnar ni meman ak te, fo ukai.
Eidbo Letmir nanar: Umit ning yahaw enho ded eni te waid?
Te i nanar: Yaw oeit yahaw wul ain enho wuk ded i.

218
Eidma Letwir enhauk wel enba-norang ni yahaw ma, tete i entahang fo en’ot benaw naa wak, i
naan.
Entu’u ronan ma, ronan mat, i nanar enkai naan waid.
Entu’u wel kokat wulwul enhov kokat ningier ma, mat, i nanar enkai naan waid.
Te i nanar: Benaw bok bail i, felbe wak umkai moan waid?
Letwir i nanar: Benaw eni bokli, na lengrat naa wuk waid. Yaw ufaha ning odan bo?
Te i nanar: Ma aka umfaha?
I nanar: Teek uut omu afa bok-bok ain.
Eidbo entaha ni sur-yaf ain ma, en’ot yaf. En’ot yaf ma, enwaik kokat hirru raan; kokat wawaik
raan bokli.
Hirru raan ma, erhon.
Bissa en’ot yaf endok ngof ain ma, erba entai met. Ertai met ma, erleik ni rahan yaf enwov lai
ruk.
Yaf naan weil rir rahan, tomat lengwav bissa ernar: Ohwe! Afa bok ain enho ruk Letwir wat
beran hirru rahan.
Erkai waid ma, erferlan bissa fo ertaha. Erkai waid ma, fomur Letwir enturuk wer hir wuk.
Sar tomtom labo! – Letwir wat beran ru erdok. Erdok, Letwir enhauk en’il ni ohoi Wir-Werbut.
Eidbo hirru erba. Erba, erdat ruk ded leen long wahan, hirru erfoer. Letwir nanar: Te o na u
En wat nanar: Waid, o na u
Letwir nanar: Waid, o na u
Eidma, Letwir nanar, nanar naa, te na u. Eidbo enseb-rat leen, enloi ai war, wowu war nakloi
ensu lengwav i.
Eidbo te i na u, Letwir entok-dat, enmalit, nanar: Te, marwul ain endok ai-hanga leen.
Nanar ma, en wat enmeek ma hirru erfoer wel. En wat enhauk en’il lengwav. En beran nefen,
enhauk wat en’il ni ohoi ma, erba-ham.
Erba-ham, en wat nanar: Ma-il ning kokat i do.
Letwir nefen. Nefen, entaha-non, te na-il. Enkeb-non ma, te na-il. Enkabil ma, te na-il.
Enmomang non, te na-il. Eidbo en’ot enkasa ni wehin, te na-il. Eidbo en’ot sendok kaman, te na-il
ruk waid. Ni kokat matan ru, wulwul matan, ngier matan.
Te enmeek, en’il ruk.
Letwir en’il ni ohoi, enba-il fo Wir Werbut ma, en’ot ni we’e koet senin ain na ai deinan, enhawai
ni kotan matan ru.
Kokat wuan burun ru. Eidbo enkulik. Kulik ma, warat enhawai wel. I bo fomur ni kokat angled
ruk odan.
Enwar-ti ni ohoi, nefnge we’e lai ain, enhawai. I bo kokat angled laili ruk, kokat wul woho, ngier
woho.
Enwar-ti ni rahan, kokat angled en’oet endir. Endir, kokat wul endir fid, kokat ngier endir
tawowan.
Eidbo tomat erdat. Tomat erdat erleik kokat. Eidbo Letwir na wat wulwul tomat erfaha, ertev.
Kokat ngier erdir wat.

219
Eidbo, sar tomtom labo! – Kokat wul raan sien. Raan sien ma, enba enhov bis. Enhov ni bis ma,
enba. Kokat ngier enfangnan ma, enroon-norang. Kokwul ang! Kokwul ang, umteek wat yaw!
Kokwul endir, nanar: Felbe umdir kanimun, yaw i, tomat erdat, bail er’ot wat ensu fo raan. O
umdir kanimun wat ma, yaw uba ruk fo lair ablolot wuv.
I bo enba fo lair Yabri. Enba ma, ni bis namratat. Namratat, enho ruk Ngur-walek. Eidbo kokat
woho enwok ensuk-il fo er wil, endirdir met ratan wil. Er wil harub wat, hira enfofoi waid.
Eidbo enba ensu lair ablot.
Sar tomtom labo! – Ensu, te ain ni we’e entub ihin wat. Eidbo kokat i nefyas naa.
Te enba endat, nameit weil ruk. Te i nanar: Oh! Ning wee nifar naa waid ile!
Ensok ma enringin, enyait weil. Enba ma, kokat endir-il wel.
Hamar te endat, erdat wel ruk. Enyait waid, endir wat. Eidbo endir wat ma, endat wuan.
Enher tomat rafhungar. Eidma rafhungar weil, en’ot ma entev.
Entev ma, en’ot fo sit raan. Sit raan, sit ermat waid. Eidbo en’ot fo yahaw raan. Yahaw raan,
yahaw ermat waid.
Eidbo en’ot wel fo ni umat raan. Ni umat raan, ermat wait. Fomur i duan naan wuk. Duan naan
ma, nanar: Kokat i ruk i!.
Eidma i nanar: Ler Duad entuung yaw en’ot yaw uleik afa bok anin.
Eidbo Wir erdeinar, ersu, erher-il. Erher ma, erher naa waid.
Eidbo tom en.

220

Anda mungkin juga menyukai