Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat kita mudah untuk mengakses berbagai macam informasi
dari belahan dunia lain melalui berbagai macam media. Kita dapat berkomunikasi sekaligus dapat belajar mengenai
Jika kita mau belajar akan budaya orang lain tentu lah tak ada soal jika kita juga mau belajar akan budaya daerah
kita masing-masing. Sebagai seorang anak bangsa yang lahir di sebuah pulau kecil di tenggara Indonesia, yakni
pulau flores, saya merasa perlu untuk mengangkat sebuah postingan bertemakan budaya dari tanah kelahiran saya.
Bahasan dalam postingan kali ini mengulas tentang tahapan perkawinan dalam adat Sikka. Berikut ulasannya yang
Salah satu suku di NTT terdapat peradaban suku Sikka, berikut ini tersaji upacara pernikahannya, sebagai bentuk
kepedulian bangsa dalam melestarikan suku budaya dalam konteks perkawinan. Agar nilai nilai luhur budaya dapat
menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara
kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun
temurun).
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut Naruk
Artinya:
Setiap wanita mempunayi nilai, punyai harga, sedangkan sarung dan bajunya juga
Ine io me tondo
Artinya:
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu
maka pihak klen penerima wanita (Ata lai) harus membayar sejumlah belis (mahar/mas
kawin) kepada klen pemberi wanita (ata dua) sesudah itu baru dinyatakan perkawinan
semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu
disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual
anak/saudari). Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila (belis cincin kawin); Djarang
sakang (pemberian kuda); wua taa wa gete (Sirih Pinang dan bagian belis yang paling
besar dan mahal); inat rakong (belis lelah untuk mama); bala lubung, (belis jasa untuk
Keluarga dari pihak laki-laki tengah bersiap-siap membawakan belis/mahar menuju ke kediaman pihak wanita
(2) Perkawinan
Sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh
raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara
perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara
Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa wai nora lai, jadilah kamu istri dan suami
gea weu (eung) miu ara pranggang, makanlah kamu nasi ini
dadi baa wai nora lai, agar jadilah kamu suami dan isteri
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua
mempelai.
Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun
proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor.
(1) Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh
(2) A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara
(3) Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue
(4) Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima
(5) Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi
kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan
(6) Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari
Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum