Anda di halaman 1dari 10

Budaya dan Ragam Tradisi di Kabupaten Sikka

06/03/12 OTIS

Budaya dan Ragam Tradisi di Kabupaten Sikka


Kabupaten Sikka menyimpan begitu banyak ragam budaya,tradisi,bahasa dan peninggalan-
peninggalan masa lampau yang mempunyai nilai peradaban yang tak ternilai.Memang banyak
masyarakat dinegara kita yang belum mengetahui karena memang informasi seperti ini bisa dibilang
jarang ditemui.
Sedikit informasi tentang keragaman budaya,bahasa yang khas dan unik dari kabupaten Sikka bisa
dibaca disini…

- Kepercayaan purba –.> Tuhan, Dewa Matahari-Bulan


- Mo’ang Allessu
* Don Alessu Ximenes da Silva, peletak Agama Katolik di Kerajaan Sikka-Krowe

Bahasa dan Etnik


* Sikka Krowe – Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Sikka, Kelompok etnis yang
mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sikka yang terdiri dari sub etnis Sikka Lela,Nita Koting,
Nelle-Baluele, Habi-lli-Wetakara, Bola-Wolunwalu,Dorang-Halehebing.

* Sikka Muhan – Bahasa digunakan adalah Bahasa Muhan, Kelompok etnis Tana Ai yang
mendiami wilayah sekitar Kringa dan Werang. Penganut sistem kekerabatan matrilinear.
* Muhan mendiami bagian timur Kabupaten Sikka, sekitar perbatasan dengan Kab. Flores

Timur atau sering disebut Muhang Jawa.* Lio – Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Lio,
Mayarakat etnis Lio mendiami bagaian
barat Kab. Sikka dan terdiri dari beberapa sub etnis seperti Mblengu, Mego, Nualolo, dan Bu.
* Palue – Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Palue,Kelompok etnis yang mendiami pulau Palue
antara lain sub-etnis Nge: Lajangawawi, Lajakarapau, Suria, Kimalaja, Cinde, Pima dan Uwi Muri.
* Tidung – Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bajo, Kelompok etnis Kidong Bajo berasal dari
Sulawesi selatan yang mendiami pulau-pulau sekitar Teluk Maumere dan sepanjang Pantai Utara
(Magepanda, Alok, Kewapante, Waigete, Talibura)
Adat upacara

• 2 ritual siklus tahunan, yakni:


- Musim tanam (Wulang Leleng) dan
- Musim panen (Wulang Dereng)

• 3 siklus daur hidup (Hu’erHoreng Ata Bi’ang), yakni:


- Kelahiran (Wua DetAE Doda), terdiri dari 8 ritual, mulai dari pemberian nama hingga
penyunatan

- Pernikahan (Lema Lepo ‘Rawit Woga), termasuk ritual yang paling rumit terdiri dari 11 ritual, mulai
dari ritual meminang hingga ritual mengantar istri ke pihak keluarga
suami. Adat mas kawin (belis) menurut para ahli dan sejarahwan berasal dari perintah
Ratu Dona Inez dan Ratu Dona Maria Du’a Lise Ximenes da Silva pada awal abad ke 17, guna
mengangkat harkat kaum wanita di Kerajaan Sikka.

- Kematian (Huer Hereng Ata Mateng Potat), terdiri dari 7 ritual, mulai dari ritual
pembawaan kain, lilin hingga ritual minggu pertama dan ketujuh.

Seni tradisi:
• Seni tari terdiri dari:
- Tari Upacara Ritual, berkaitan dengan kelahiran, tanam padi, hingga giring perahu.
- Tari Perang, berkaitan dengan ritual sebelum perang hingga tari kemenangan perang.
- Tari Pergaulan, seperti pesta panen, perkawinan hingga tarian yang diwarisi dari
kebudayaan Portugis seperti Tari Bobu yang merupakan drama tari kehidupan Yesus.

• Musik tradisional di Sikka sangat diwarnai oleh musik perkusi pukul yang disebut gong waning,
namun alat musik lainnya juga cukup komplit, mulai dari alat perkusi pukul dari metal dan bambu,
perkusi kulit (gendang), musik tiup, alat musik petik hingga gesek.

• Tradisi Tenun ikat, dimana tenun ikat tidak hanya menghasilkan tekstil semata, namun setiap motif
tenun ikat selalu punya makna simbolis, bahkan pada jaman kerajaan juga menjadi penanda status
adat dan sosial.

Benda Pusaka Budaya

Budaya Sikka sangat kaya dengan barang-barang pusaka budaya, baik yang asli dari
kerajaan Sikka sebelum Portugis datang maupun sesudah Portugis datang. Benda pusaka
budaya antara lain: benda peninggalan pra-sejarah (tempayan dongson, replika perahu perak Dobo),
benda-benda peninggalan kebesaran kerajaan disebut Regalia, patung keagamaan(patung Bayi
Yesus, Watu Cruz)

WANITA DAN ADAT PERKAWINAN DI SIKKA


WANITA DAN ADAT PERKAWINAN DI SIKKA

Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat
dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang,
Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan
berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun
temurun.

Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut
Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.
Unkapannya antara lain :
- Dua naha nora ling, nora weling
- Loning dua utang ling labu weling
- Dadi ata lai naha letto -wotter

Artinya:
Setiap wanita mempunayi nilai, punyai harga, sedangkan sarung dan bajunya juga
mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap lelaki harus membayar.

Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe
Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang.

Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh
karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis
kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh
prosesnya syah.

Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang


matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.

Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan


yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:

(1) Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari
pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari
kuda atau tea winet (menjual anak/saudari)
Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang,
(pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat
rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka
yang menyiapkan pesta).

(2) Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya


diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah
semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata
pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:

Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri
lai, dan suami
lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga
gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.

Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada
kedua mempelai .

Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun
proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor.

Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:

(1) Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh
orang tua masing-masing bersama dengan keluarga
(2) A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin
secara bersama-sama dengan keluarga

(3) Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue
tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta.

(4) Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga


penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin.

(5) Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam
diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age
gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan

(6) Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari
Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum
semerbak bagi kedua pengantin.http://www.sikkakab.go.id/seni-dan-budaya/pernak-
pernik-budaya/wanita-dan-budaya-sikka.html

Belis, Penghargaan bagi Kaum Perempuan


dalam Adat Sikka
Cyril - 8 Mar 2017 - 12:49

1.167

Share

RABU, 8 MARET 2017

MAUMERE — Belis atau mahar dalam perkawinan bagi masyarakat


di Provinsi NTT khususnya di Kabupaten Sikka merupakan sebuah
bentuk penghargaan kepada kaum perempuan. Di Sikka sendiri,
sejak zaman kerajaan sekitar abad ke-16, saat Kerajaan Sikka
dipimpin oleh dua ratu, yakni Dona Maria dan Dona
Inez, keduanya mulai menetapkan pemberlakuan belis.
Pakaian adat Sikka yang sering dikenakan para perempuan dan lelaki di Sikka.

Dalam adat dan budaya masyarakat Sikka, belis berupa pemberian


yang harus dilakukan pihak keluarga lelaki kepada keluarga
perempuan berupa barang seperti emas, uang, gading dan kuda.
Jumlahnya pun sesuai kesepakatan pembicaran dua keluarga besar
dalam pertemuan yang dinamakan Plage Wae Ara Matang, yaitu
duduk bersila dan saling berhadapan untuk membicarakan besarnya
belis pernikahan, termasuk menentukan jenis serta jumlah belis
yang diminta atau disebut taser.

Besarnya belis bisa ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenjang


pendidikan, kedudukan dalam keluarga, latar belakang keluarga,
pekerjaan dan lainnya. Namun, belis yang diajukan oleh pihak
perempuan bisa ditawar oleh perwakilan pihak laki-laki yang disebut
sebagai delegasi adat hingga diperoleh sebuah kesepakatan.
Bukan Transaksi Ekonomi
Oscar Mandalangi Parera, budayawan dan sejarawan Sikka, saat
ditemui Cendana News di rumahnya Rabu (8/3/2017), berbicara
banyak tentang belis. Dirinya mengapresiasi kedua ratu yang
memerintah di Sikka saat itu yang menetapkan belis karena melihat
kaum perempuan ditelantarkan dan disengsarakan sehingga sejak
saat itu keduanya menetapkan adanya belis.

BACA JUGA

Majukan Kebudayaan Daerah, Flotim Tetapkan 10 Objek

2 Sep 2018

Kampung Adat Nggela, Mosaik Jaman Megalitik

19 Agu 2018

“Nenek moyang kita sejak dahulu sudah memberikan penghargaan


kepada kaum perempuan dengan pemberlakukan belis ini agar
kaum lelaki tidak bersikap semena-mena terhadap perempuan,”
sebutnya.

Sebelum hukum positif dan hukum agama ada, kata Oscar, hukum
adat sudah lebih dahulu ada untuk menjaga keseimbangan hidup.
Kalau perempuan lebih banyak daripada laki-laki, maka satu orang
lelaki bisa memiliki lebih dari seorang istri sehingga terjadi
kekerasan dalam rumah tangga.

Tapi, lanjutnya, bila perempuan kurang, maka terjadi perkelahian


antarkaum lelaki memperebutkan kaum wanita.Oleh karena itu,
perempuan harus dilindungi walaupun dia lemah, sebab dia
menentukan kehidupan manusia yang akan datang.

Maria Dua Sina, seorang perempuan Sikka yang ditemui berjualan


di Pasar Tingkat Maumere, saat ditanya Cendana News soal belis
menyebutkan, dewasa ini makna belis sering dianggap remeh dan
lebih dianggap sebagai sebuah pembayaran dari lelaki kepada
perempuan yang akan dijadikan istri.

BACA JUGA

Blanko KTP Elektronik di Sikka Habis

4 Sep 2018

NTT Minta, Kapal Roro Kembali Berlabuh di Laurens Say

4 Sep 2018

“Perempuan tidak boleh diperlakukan seperti barang yang dijual di


pasar sehingga belis lebih dianggap sebagai pembayaran bagi kaum
perempuan, itu tidak benar,” sesalnya.

Sebagai kaum perempuan, dirinya tidak ingin pemberian belis oleh


generasi saat ini dianggap sebagai transaksi ekonomi, bukan sebagi
sebuah arti penting penghormatan kepada kaum perempuan di
Sikka.

“Mungkin karena sekarang sudah modern jadi orang selalu menilai


sesuatu dengan uang sehingga belis pun dianggap sebagi transaksi
jual beli seperti di pasar,” protesnya.

BACA JUGA

Pimpinan DPR Bicara Kewenangan DPD Soal Irman Gusman…

19 Sep 2016

Pelindo Nunukan Bantah Bebankan Rp1,5 Juta

6 Jan 2018

Lima Makna Belis


Belis atau mahar perkawinan, menurut Oscar, sejak zaman nenek
moyang sudah dibuat agar harga diri perempuan dilindungi. Sebab,
belis diberikan karena, pertama, perempuan melahirkan manusia,
harus dihormati, dan dihargai sehingga dalam bahasa Sikka
disebut Ling Weling, harga yang terlalu tinggi bagi seorang wanita
atau tidak bisa dibeli.

“Sehingga adanya belis itu hanya untuk mengatakan bahwa laki-laki


jangan menganggap remeh kaum perempuan, hanya performa saja,
sebuah wujud penghargaan,” terangnya.

Dalam bahasa Sikka, kata Oscar, dikatakan Ribang Nopok Koli


Tokar. Artinya, kita bayar belis tanpa batas. Misalnya kuda sebagai
belis dalam masyarakat Sikka, pihak perempuan meminta harus
dibawa 20 ekor tapi kalau ada 5 ekor bisa diberikan dulu sementara
sisanya diberikan pelan-pelan atau mencicil, tidak seperti membeli
barang yang ditawar harganya dan langsung dibayar kontan.

Makna belis yang kedua, bebernya, menjaga dan melindungi hak


laki-laki untuk membawa kaum perempuan sehingga bila sudah
membayar belis, maka perempuan sudah bisa dibawa masuk ke
suku laki-laki dan anak-anak nantinya akan masuk ke suku sang
suami.

“Belis juga bermakna menghindari poligami, menekan poligami


sehingga mau istri dua belisnya besar, mau Gowa Pani atau
menghamili perempuan di luar nikah maka dendanya juga besar.
Karena selain harus memberikan denda bagi perempuan juga
kepada anak yang sedang dikandung atau dilahirkan,” bebernya.

Pesan yang terkandung dalam belis juga, lanjut Oscar, yakni


mempersatukan dua keluarga, keluarga perempuan dan lelaki,
sehingga erat sekali persatuannya. Sementara yang kelima, adanya
belis akan menumbuhkan semangat gotong royong seperti saat ada
pesta dan kedukaan, keluarga dari istri atau suami datang,
membawa apa saja sesuai kemampuan.
“Di sinilah makna gotong royong itu terjadi, akibat adanya belis dan
perkawinan yang mempersatukan dua keluarga. Tapi saat ini belis
sudah melenceng, belis dikatakan sebagai alat untuk membeli
perempuan,” ungkapnya. Yang terpenting, papar mantan
mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, nilai dan harga
belisnya itu. Perempuan harus dihormati sebab perempuan
mengetahui sedikit tapi dia mengerti lebih banyak dari lelaki.

Oscar mencontohkan, saat berbicara adat, yang duduk berbicara


hanya kaum lelaki. Tapi sang istri di belakang ruangan juga
mengontrol dan bilamana sang suami berbicara salah, maka dia
akan memanggil ke belakang dan menegur.

Oscar Mandalangi Parera, budayawan dan sejarawan asal Sikka.

“Perempuan memiliki fungsi menjaga laki-laki, bicara dan


berperilaku harus benar sehingga peran belis sangat penting agar
mendudukkan perempuan pada tempatnya, menjunjung tinggi
harkat dan martabat perempuan,” pungkas Oscar.

Jurnalis: Ebed de

Anda mungkin juga menyukai