Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rumusan Masalah


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki aneka
ragam budaya. Keanekaragaman budaya Indonesia itu tersebar di seluruh tanah air
bagaikan butir-butir permata yang tak ternilai harganya. Karena kebudayaan daerah
merupakan indentitas dari suatu suku bangsa dan juga sebagai landasan pembangunan
budaya nasional, maka selaku warga yang cinta pada negara, selayaknyalah kita
selalu berusaha untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa kita. Tetapi akhir-
akhir ini terlihat adanya pergeseran nilai budaya akibat adanya animo masyarakat
yang menganggap segala sesuatu yang datang dari luar lebih baik daripada yang ada
dalam negeri. Hal itu menyebabkan budaya luar itu dapat dengan mudah menggeser
kedudukan budaya daerah. Selain itu orang-orang tua yang ahli mengenai adat-
istiadat sudah mulai langka dan buku-buku yang membicarakan budaya daerah yang
ada di seluruh Indonesia belum begitu banyak,khususnya kebudayaan Aceh Barat
Daya, sehingga dikhawatirkan kebudayaan itu akan punah dan tidak dapat dikenal
lagi oleh generasi penerus.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis terinspirasi untuk menuangkan
tulisan kedalam bentuk makalah mengenai “Modernisasi Adat Pernikahan Aceh Barat
Daya”, dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui adat asli pernikahan Aceh
Barat Daya dan dapat melestarikanya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana adat pernikahan asli Aceh Barat Daya ?
2. Bagaimana pengaruh Modernisasi terhadap adat pernikahan Aceh Barat Daya ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Adat Pernikahan Asli Blangpidie, Aceh Barat Daya


Peta budaya Aceh Barat Daya adalah wilayah pesisir bagian barat propinsi
yakni Aceh Barat Daya dengan ibu kotanya Blangpidie. Blangpidie, di masa lalu
menjadi Bandar yang cukup ramai didatangi oleh para niagawan mancanegara.
Mereka membawa serta aneka keterampilan serta kebiasaan yang memperkaya
budaya setempat sehingga tampil sebagaimana dewasa ini dikenal dengan gaya Aceh
Barat Daya. Oleh Karena itu masyarakat Aceh Barat Daya memiliki ciri khas
tersendiri dalam ungkapan budayanya dibandingkan dengan kawasan Aceh lainnya.
Pendudukan Belanda atas wilayah kerajaan Aceh tidak membahayakan
struktur adat secara keseluruhan. Misalnya pernyataan adat dalam bentuk upacara
perkawinan di Aceh sama sekali tidak ada pengaruh Belanda (dalam bentuk
kebudayaan Aceh Barat Daya). Tidak ada dari unsur-unsur upacara perkawinan yang
mencontoh model upacara perkawinan Belanda. Adat upacara perkawinan di Aceh
sampai dengan berakhirnya pernerintahan Belanda masih utuh sebagai adat dan
upacara perkawinan tradisional.
Perkawinan adalah pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita,
membina keluarga sejahtera dan bahagia sesuai dengan ketentuan agama islam dan
adat istiadat dalam masyarakat. Bentuk-bentuk upacara perkawinan antara satu
daerah dengan daerah yang lain tidaklah sama. Pada umumnya orang – orang
menggunakan adat dan tata cara perkawinan yang sesuai dengan daerah asalnya
masing-masing. Dalam adat pernikahan Aceh Barat Daya, juga memiliki beberapa
perbedaan dengan adat di daerah Aceh lainnya. Hal ini disebabkan karena setiap
daerah memiliki ciri khas masing-masing dalam pelaksanaan adat istiadatnya.

2.1.1 Persiapan dan Pembukaan Upacara Perkawinan


a. Jak Keumalen/ cah Roet
Jak Keumalen/ Cah Roet ini ada dua cara, yaitu:
1. Langsung dilakukan oleh orang tua atau keluarga
2. Theulangke dilakukan dengan menggunakan utusan khusus.

2
Maksud Jak Cah Roet adalah sebagai tahapan pertama dalam menjajaki atau
merintis jalan. Biasanya beberapa orang dari pihak keluarga calan mempelai putri,
datang bersilaturrahmi sambil memperhatikan calon mempelai putri, suasana rumah
dan tingkah laku keluarga tersebut. Pada kesempatan ini, calon pihak mempelai pria
juga tidak lupa membawakan bungong jaroe atau bingkisan yang berupa makanan.
Setelah adanya pendekatan, keluarga calon mempelai pria/ linto baro akan
menanyakan apakah putrinya sudah ada yang punya atau belum. Apabila mendapat
jawaban dan sambutan baik dari pihak dara baro, maka dilanjutkan dengan jak lake
(jak ba ranub).
Upacara itu terjadi disebabkan pada masa lampau hubungan atau komunikasi
antara wanita dan pria khususnya antara remaja berlainan jenis kelamin dianggap
tabu, hubungan mereka sangat terbatas (tidak sebebas hubungan remaja masa kini,
sejak pertengahan abad 19). Selain itu peranan orang tua terhadap anaknya sangat
dominan (over protektif) sehingga dalam memilih jodoh pun menjadi tanggung jawab
orang tua masing-masing remaja, baik pria maupun wanita.
b. Jak Lake Jok Theulangke/ Jak Ba Ranub (Meminang)
Dalam acara ini orang tua pihak Linto (Mempelai Pria) memberi theulangke
(utusan) dengan membawa sirih, kue-kue dan lain-lain. Pada theulangke, pihak linto
sudah mulai mengemukakan hasratnya kepada putri yang dimaksud. Apakah pihak
putrid menerima, akan dijawab “insya Allah” dan pihak keluarga serta puteri yang
bersangkutan akan melakukan musyawarah. Jika hasil musyawarah tersebut “tidak
diterima” oleh pihak keluarga atau pihak puteri, maka mereka akan menjawab,
dengan alasan-alasan yang baik atau dengan bahasa isyarat “hana get lumpo/ mimpi
yang kurang baik”. Sebaliknya jika “diterima” oleh pihak keluarga puteri, akan
dilanjutkan dengan “Jak ba tanda”.
Di kalangan orang tua masa lampau masih banyak yang percaya pada hal-hal
yang berbau mistik, seperti adanya makna dari mimpi dan percaya pada kekuatan-
kekuatan alam. Kepercayaan itu dipengaruhi oleh ajaran agama islam yang kadang
kala masih membaur dengan ajaran animism atau kepercayaan yang di anut oleh
nenek moyang kita zaman prasejarah, sehingga dalam menentukan pinangan diterima
atau tidak, juga masih dipengaruhi oleh kepercayaan tersebut.
3
c. Jak Ba tanda/ Bawa Tanda
Maksud dari “jak ba tanda” adalah memperkuat (tanda jadi). Biasanya pada
upacara ini pihak calon linto membawa sirih lengkap dengan macam-macam bahan
makanan kaleng, seperangkat pakaian yang dinamakan “lapek tanda” dan perhiasan
dari emas sesuai dengan kemampuan calon linto baro. Ba tanda” ini di tempatkan
didalam “talam/ dalong” yang dihias dengan bunga kertas, kemudian tempat-tempat
itu di kosongkan dan di isi dengan kue-kue sebagai “balah hidang” oleh keluarga
mempelai putri. Acara balah hiding ini biasanya dilaksanakannya bias langsung atau
setelah beberapa hari kemudian.
Dalam upacara ini sekaligus dibicarakan hari, tanggal pernikahan, jeulame (mas
kawin), peng angoh (uang hangus), jumlah rombongan pihak linto serta jumlah
undangan. Dalam adat Aceh Barat Daya, Jika dalam kesepakatan tersebut pihak calon
mempelai wanita membatalkan ikatan tersebut maka pihak calon mempelai wanita
berkawajiban membayar 2 kali lipat dan jika pihak calon mempelai pria yang
membatalkan maka tanda pengikat tersebut juga harus membayar 2 kali lipat.

2.1.2 Upacara Peresmian Perkawinan


Upacara peresmian perkawinan, merupakan upacara yang paling puncak dalam
rangkaian adat dan upacara perkawinan. Peresmian perkawinan yang sudah lama
ditunggu-tunggu dan dipersiapkan, kini tiba saatnya. Selam tenggang waktu tersebut,
kedua belah pihak meempersiapkan diri masing-masing secara individu maupun
secara kekeluargaan. Masing-masing pihak tidak akan meremehkan upacara besar itu.
Sebagaimana dalam upacara peresmian perkawinan, dalam upacara pelaksanaan
perkawinan di tiap-tiap daerah adat Aceh mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khas
itu terlihat dalam berbagai aspek, antara lain dalam soal-soal makanan, hiasan
pelaminan, menyambut pengantin laki-laki dan sebagainya.
Namun pernikahan seperti dalam hukum Islam sudah menjadi syarat mutlak,
bila belum dipersandingkan, pernikahan itu dianggap masih belum sempurna. Pada
upacara persemian perkawinan lebih dititik beratkan pada materi-materi yang
diperlukan, meliputi peralatan dan keuangan. Upacara peresmian perkawinan akan
dilakukan apabila kedua belah pihak (suami-istri) sudah 13 menyepakati waktu

4
tertentu melalui perantara. Waktu dipilih disesuaikan pula dengan hari bulan tertentu,
yang menurut anggapan orang Aceh lebih baik.
Pemilihan waktu terbaik, dikaitkan pula dengan ekonomi. Artinya orang Aceh
memilih waktu bila panen sudah berakhir dan hasilnya sudah ada di rumah, dengan
maksud meringankan pembiayaan pihak-pihak yang bersangkutan, karena sistem
turun ke sawah masih setahun sekali di Aceh, maka waktu yang dipikir untuk
mengadakan peresmian perkawinan adalah sekitar bulan April dan Mei tahun Masehi,
atau sekitar bulan Rabi’ul awwal bulan Hijriyyah. Pada saat-saat tersebut hasil panen
sudah berada di berandang rumah (kepuk padi). Untuk mengadakan pesta perkawinan
dilakukan di dua tempat (calon suami dan calon istri) sedangkan khusu untuk malam
”mempelai” atau ”bersanding dua” diadakan di rumah mempelai wanita (rumah si
gadis). Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah :
a. Mekeurija (pesta menyambut linto ke tempat dara baro) disertai dengan pembuatan
tenda (jambo/seung) dengan system bergotong royong.
Peudap jambo, atau pasang tarun pada adat perkawinan di jawa, dibuat
kurang dari tujuh hari sebelum pesta diadakan. Dikerjakan oleh pemuda kampong
(kaum pria). Bila sudah selesai dipeusijuk (di tepung tawar) bersama cawan pingan
(peralatan makan). Jambo ini didirikan dihalaman rumah sebagai tempat menerima
tamu, biasanya untuk tamu pria, sedangkan untuk tamu wanita biasanya di terima
di rumah. Untuk besan terdekat disediakan tempat khusus dan hidangannya telah
tersedia di tikar atau permandani.
b. Peulaminan (Pelaminan)
Saat itu di dalam rumah juga dihias dengan tabing atau tabir pada dinding
tempat menerima tamu. Untuk tempat duduk pengantin dibuat pelaminan yang
terdiridari:
o Tabeng (Tirai)
o Ayue-ayue di tempatkan diatas/ depan pelaminan
o Boh keulembu, hiasan ini berupa binatang-binatang.
o Kasho Duk, tilam persegi emapat untuk duduk yang di lapisi dengan tika
meusujoe (tikar bersulam benang emas/ kasab).
o Dan lain-alian sulaman khas aceh untuk keindahan yang tidak terikat.

5
Pada zaman dahulu, pelaminan dibuat dari kayu berbentuk tempat tidur dan
berukuran single bad, serta dihias dengan kain tile (seperti kelambu) atau kain
yang diberi hiasan, boleh juga kain brukat. Warna dasarnya kuning, merah dan
hijau atau violet. Kain hiasan berkasap dibuat secara tradisional daerah Aceh.
Masing-masing kain yang terdiri dari berbagai warna yang berukuran 2,25 m yang
terdiri dari 7 (tujuh) macam warna. Pada bagian kiri dan kanan pelaminan
memiliki warna yang sama simetris. Kain-kain tersebut, bagian depannya ditarik
kesamping kiri dan kanan dengan menggunakan kait kelambu yang terbuat dari
emas atau perak. Sehingga terlihat seperti pintu berlapis 7 (tujuh) Pinto Tujoh.
Pada bagian atas pelaminan (kiri, kanan dan depan) dilapisi dengan ayu-
ayu 9kain berbentuk riak-riak yang bersulam emas). Kain-kain yang ada
disamping kiri-kanan juga dibentuk seperti bagian depan (berbentuk fitrasye
jendela). Setelah itu, di seluruh pelaminan disematkan hiasan-biasan berupa kipas,
ayam, kepiting, atau hiasan lainnya sesuai dengan seni masing-masing perias. Alas
tempat duduk diberi tilam dan dilapisi dengan sarung tilam berkasab (tika
meusujoe) dan dilengkapi dengan sepasang bantai 9bantal) sadeu (banta sandaran),
kaso duek (tilam duduk); sedangkan di samping kiri dan kanannya dihiasi dengan
bantai meutampok (bantal bertampuk emas/perak) dan masing-masing berjumlah
ganjil.
Pada dinding-dinding sekitar pelaminan diberi “tabing” (tabir/ tirai) dan
dibagian atasnya diberi kain langit-langit. Pada lantai di sekitar pelaminan
dibentangkan permandani. Dari mulai pintu masuk sampai ke pelaminan di
bentangkan kain titi. Pada zaman dahulu, kain titi berwarna kuning hanya
digunakan oleh kaum bangsawan saja, tetapi zaman sekarang dapat dipat oleh
semua orang yang menghendakinya. Setelah itu, di bagian depan pelaminan diberi
sepasang dalong kiri dan kanan berisi seunijuek, yang terdiri dari:
o Beulukat dengan tumpo (ketan kuning dan tumpo/inti sari)
o On seunijuek (Daun cocor bebek)
o On Gaca (Daun Pacar/ Inai)
o Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma/ berakar kokoh)

6
o On Seuke Pulot (Daun Pandan)
o Manek Mano dan lain-lain dengan jumlah ganjil.
o Breuh Padee/ Kunyet (beras Padi Kunyit)
o Bungong Rampou (bunga rampai)
o Ie Lammangkong (Air dalam mangkok)
o Barang Meuh (Barang Emas).
Pada sisi kana nada dalam piring besar, di tempatkan dalam dalong yang telah
dialasi ceradi 9 alas dalong berumbai). Kemudia ketan itu dihias atasnya dengan U
mirah (Kelapa gongseng Merah). U mirah yang menjadi hiasan tersebut dapat berupa
bunga atau gambar apa saja yang disukai. Kemudian dalong tersebut ditutup dengan
sangee (tudung saji) dan diatasnya di tutup lagi dengan seuhap (kain penutup dengan
sulaman kasab).
c. Malam Peugaca (Malam Berinai)
Arti dari malam peugaca adalah malam berinai menjelang Wo linto. Dalam
upacara ini juga diadakan peusijuek calon dara baro (mempelai wanita), dan
peusijuek gaca, bate mupeh (batu giling). Maksud dari peusijuek adalah memberi dan
menerima restu, serta mengharapkan keselamatan atas segala peristiwa yang telah dan
akan terjadi. Persediaan dan Makna:
o Breuh Pade (Beras Padi) Melambangkan Kemakmuran
o Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma berakar kokoh) melambangkan kehidupan
yang mendapat kemudahan dan kokoh dalam mepertahankan hidupnya.
o On Gaca (daun pacar/ inai) melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara
sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga.
o On Seunijuek (daun cocor bebek) melambangkan kesejukan.
o Buluekat kuneng (Ketan Kuning) Melambangkan kesuburan, kedamaian dan
menonjol dalam kehidupan.
o On Murong (daun kelor) lambing penangkal ilmu hitam.
o On Manek Mano sebagai pelengkap dan memeriahkan suasana.
Seluruh daun-daun diikat menjadi satu atau dua ikat dan ditempatkan dalam
mangkok besar yang berisi air. Bunga rampai, beras, padi ditempatkan dalam piring

7
kecil. Kemudian mangkok dan piring di letakkan didalam dalong dan ditutup dengan
tudung saji, lalu ditutup dengan seuhap (kain segi empat bersulam emas atau perak
dipakai untuk menutupi tudung saji). Daun pacar yang sudah di lepas dari tangkainya,
ditempatkan dalam piring besar didalam dalong lain. Batu giling diletakkan pada
“tika meusujo”dan dialas kain.
Upacara peugaca ini biasanya dilaksankan pada malam hari selama 3-7 malam,
semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias didalam dalong pada tika
meusujo (tikar kerawang khas Aceh). Busana yang dikenakan oleh dara baro pada
upacara malam peugaca tidak terikat dan terus berganti-ganti dari malam pertama
hingga malam ketujuh. Upacara Peusijuk dipimpin oleh “Nek Maja” (sesepuh adat),
dan dimulai oleh orang tua/ibu calon “dara baro”, kemudian diikuti oleh keluarga
terdekat, pada saat peusijuk dimulai, dalam tempat yang berisi air seunijuk
dimasukkan emas sebagai lambing kemuliaan yang tidak pernah luntur. Peusijuek ini
ditujukan kepada calon dara baro, batu giling, daun pacar dan hadirin yang ada di
sekitarnya juga diberikan percikan air seunijuk (tempung tawar).
Calon dara baro, didudukkan di tilam bersulam kasap, di sebelah kiri dan
kanannya diletakkan dalong berisi seunijuk dan bu leukat (tepung tawar dan ketan),
dibagian depannya diletakkan dalong berisi daun pacar dan bate seumeupeh (batu
giling). Kaki dara baro dialasi dengan daun pisang muda. Beras padi ditaburkan/
disebarkan ke samping dara baro, demikian pula halnya dengan bunga rampai dan air
seunijuek. Seumunya ini dimulai dari telapak tangan mengintari badan menuju keatas
kepala. Setelah itu calon dara baro diberi uang sebagai hadiah, kemudian bersujud
mencium tangan yang melakukan peusijuek dan dibalas dengan ciuman kasih saying
pada dahi lalu peusijuek bate dan gaca.
Selesai peusijuk, barulah daun pacar digiling oleh ibu calon dara baro dan
keluarga terdekat secara bergantian. Demikian pula memberi daun pacar yang telah
digiling itu pada calon dara baro secara bergantian dan disempurnakan oleh ahlinya
(ibu rias). Upacara peusijuk biasanya dilaksanakan pagi hari, dengan harapan
kehidupan terus menanjak dan murah rezeki. Upacara peusijuek dilaksanakan dengan
harapan agar mempelai mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada saat itu

8
biasanya diadakan malam kesenian untuk hiburan mereka yang sedang bekerja untuk
persiapan pesta.
d. Peumano Dara Baro
Sebelum memasuki upacara peumano juga dilakukan peusijuek (tepung tawar)
terlebih dahulu dan beberapa hari sebelumnya dara baro (mempelai wanita) sudah
dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Upacara Peumano (memandikan),
baik calon mempelai wanita maupun mempelai pria dimandikan oleh orang tua adat
yang taat, orang tua mempelai dan sanak keluarga terdekat dari kedua orang tuanya
dalam jumlah yang ganjil. Dalam upacara mandi dibacakan doa-doa bersuci, agar
calon mempelai bersih lahir dan batin dalam memasuki jenjang perkawainan.
Mempelai dipayungi, diantara orang tuanya dan sanak saudara terdekat yang
dipimpin oleh orang tua adat sampai ke tempat pemandian sambil membaca salawat
nabi Muhammad SAW. Karena diantara pengiring tersebut ada yang pandai
berpantun, maka ada acara bersyair. Acara itu merupakan acara spontanitas yang
dapat menambah khitmatnya suasana pemandian. Syairnya berisi puji-pujian pada
keluarga dan nasehat untuk mempelai sesuai dengan kondisi saat itu.
Upacara peumano dara baro, dimasa lampau dilaksankan penuh khidmat dan
mempunyai makna sangat sakral. Dahulu pelaksanaan upacara ini hanya untuk
kalangan keluarga terdekat saja dan hanya dilakukan oleh kaum bangsawan. Tetapi
sekarang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.
Pada saat upacara pemano dara baro, di sertai dengan tari pho yang merupakan
tarian asli Aceh Barat Daya. Adapun perlengkapan yang diperlukan:
o Sebuah guci yang berisi air
o Jeruk purut yang sudah diracik
o Bunga rampai (bunga setaman)
o Sebotol minyak wangi
o Gayung mandi (Batee ie)
o Handuk (Seunalen)
o Ija Seunalen (kain untuk bersalin/basahan)

9
Guci yang telah berisi air dimasukkan jeruk purut, bunga rampai dan minyak
wangi. Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat, dimulai dengan orang tua mempelai
dan diikuti oleh keluarga terdekat. Caranya adalah dengan menyiramkan segayung air
ramuan tersebut mulai dari atas kepala, ke bahu (pundak) sebelah kanan dan kiri
hingga rata keseluruh badan dan kaki yang dilakukan secra bergantian oleh ibu-ibu
saja. Boleh diikut sertakan ayah kandungnya.
e. Wo linto (mempelai pria pulang ke rumah mempelai putri)
Upacara wo linto merupakan puncak acara yang dinanti nantikan, karena
upacara ini merupakan upacara peyambutan linto baro (mempelai pria) yang diantar
ke rumah orang tua dara baro (mempelai putri). Dalam upacara ini, dara baro
(mempelai wanita) sudah dirias dan memakai busana pengantin Aceh lengkap dengan
sanggul cak-cengnya. Sebelum bersanding, mempelai wanita dibimbing oleh
peunganjo (orang yang mendampingi) menghadap kedua orang tua untuk semah
ureung chik (sungkem kepada kedua orang tua) kemudian baru dibawa oleh
peunganjo untuk didudukkan dipelaminan menunggu mempelai pria dan rombongan
tiba.
Begitu pula halnya linto baro (mempelai pria), setelah berpakaian pengantin
lengkap, melakukan seumah ureung chik (sungkem kepada kedua orang tua) untuk
mendapatkan restu barulah rombongan peutren linto (pengantar mempelai pria)
berangkat ke rumah dara baro. Hal ini dilakukan karena pada masa lampau, kedua
orang tua linto baro tidak menghadiri upacara wo linto tersebut.
Dalam upacara ini rombongan linto baro dari jauh atau perbatasan kampung
(desa) sudah meuseulaweut (bersalawat kepada Nabi Muhmmad SAW) sambil
berjalan mendekati rumah dara baro. Sedangkan pihak dara baro menjemput
rombongan linto baro kurang lebih 500 meter dari rumah dara baro. Kemudian pihak
linto baro dan pihak dara baro melakukan seumapa (berbalas pantun). Jika pihak
mempelai pria kalah dalam berbalas pantun, maka acara selanjutnya tidak dapat
dilanjutkan. Tetapi jika pihak mempelai pria dapat memenangkan acara berbalas
pantun, maka dilanjutkan dengan upacara tukar-menukar sirih yang melakukan
adalah dua orang tua (sesepuh) dari kedua belah pihak.

10
Sesampainya di pintu gerbang, mereka disambut dengan geulumbong (silat)
lalu dilakukan tukar menukar sirih. Kemudian pengantin pria dipersilahkan masuk
melalui kain yang telah dibentangkan untuk dipertemukan dengan calon mempelai
wanita, setelah itu dilakukan acara injak telor dan membasuh kaki pengantin pria, Hal
itu melambangkan bahwa untuk memasuki jenjang rumah tangga harus dalam
keadaan suci lahir batin. lalu pengantin wanita menyalami pengantin pria kemudian
keduanya bersanding di pelaminan. Setelah itu kedua mempelai dibimbing kembali
ke pelaminan untuk dipeusijeuk oleh keluarga secara bergantian, mulai dari pihak
dara baro kepada linto baro dengan memberikan uang atau barang yang
mempeusijuek harus ganjil.
Dalam upacara wo linto ini pihak linto baro membawa beberapa perangkat
untuk dara baro dan juga makanan kaleng, kopi, teh, susu, gula, kue-kue, buah-
buahan, sabun mandi, bibit tanaman, seperti : bibit tebu, bibit kelapa (u bijeh), u
teulason dan lain-lain sesuai dengan kemampuan linto baro. Peunuewo (bawaan linto
baro) dibalas oleh pihak dara baro dengan memberikan makanan berupa kue-kue adat
dan lain-lain yang telah dihias dalam dalong (balas hidang).
f. Tueng Dara Baro (Mengundang Mempelai Puteri)
Upacara tueng dara baro adalah upacara mengundang dara baro beserta
rombongan ke rumah mertua (orang tua linto baro). Upacara ini dilaksanakan pada
hari ketujuh setelah upacara wo linto. Pada upacara ini dara baro yang diiringi satu
atau dua orang peunganjo (orang tua yang mendampingi) dan rombongan datang
dengan membawa kue-kue yang ditempatkan dalam dalong yang telah dihias dan
ditutup dengan suhab (kain penutup sange/tudung saji yang disulam dengan benang
kasab/emas). Pada upacara ini, cara penyambutannya sama seperti pada upacara wo
linto, hanya pada upacara tueng dara baro tidak ada berbalas pantun dan cuci kaki.
Dalam adat Aceh Barat Daya, bila keluarga wanita berasal dari keluarga
terpandang/mampu dia akan ditandu di atas kursi yang telah dihias. Di pintu masuk
halaman, rombongan disambut dengan upacara tukar-menukar sirih oleh para orang
tua kedua belah pihak. Dara baro disambut oleh keluarga linto baro dengan
memayungi dan membimbingnya menuju rumah linto baro. Tiba di tangga pintu

11
masuk rumah, rombongan ditaburi breuh pade (beras padi), bungong rampo (bunga
rampai), on seunijeuk (daun-daun sebagai tepung tawar).
Dara baro dipersilahkan menuju tempat istimewa yang telah disediakan, lalu
ibu linto baro melakukan tepung tawar dan dara baro pun bersujud kepada orang tua
linto baro. Orang tua linto baro memegang tangan dara baro dan membimbingnya
mengarah suatu tempat untuk mengambil perhiasan yang berada di dalam air
kembang di suatu wadah khusus. Perhiasan tersebut diserahkan oleh dara baro kepada
ibu mertuanya untuk dipakaikan kepada dara baro. Biasanya perhiasan terdiri dari
kalung, gelang atau cincin emas sesuai dengan kemampuan pihak linto baro.
Sesampai di rumah orang tuanya, dara baro dan rombongan disambut dengan upacara
jamuan makan bersama, maka selesailah upacara adat perkawinan Aceh.

2.2 Pengaruh Modernisasi Terhadap Adat Perkawinan di Blangpidie


Dalam adat dan upacara perkawinannya, pengaruh luar lebih banyak diterima
setelah kemerdekaan, karena kesatuan sosial dan pemerintah yang tersentralisasi dan
lancarnya komunikasi antar daerah, diantaranya yaitu :
1. Dalam memilih jodoh, orang tua sudah memberi kebebasan kepada anak-anaknya
untuk menentukan jodohnya sendiri.
2. Malam meugaca tak lagi dilakukan selama 7 malam, tapi sekarang hanya
dilakukan 2 atau 3 malam.
3. Dalam hal jinamee, banyaknya jinamee tergantung kesanggupan dari mempelai
prianya.
4. Cara menghias pelaminan tidak terlalu terikat, karena terus berkembang dan
kreasinya sesuai seni masing-masing perias asalkan tidak meninggalkan ciri-ciri
khasnya
5. Pakaian upacara dan hiasan-hiasan rumah tampak mengalami perubahan. Dalam
upacara pernikahan sekarang sudah ada tambahan menggunakan baju pengantik
seloyor, yang digunakan setelah memakai pakaian adat aceh. Dimasa kini
walaupun masih ada aspresiasi dari masyarakat , khususnya terhadap para
pemegang gelar kebangsawanan atau jabatan masa lalu, pelapisan sosial berikut-
tata busananya sudah amat jarang ditemui. Busana yang menonjol dewasa ini

12
adalah yang dikenakan pada upacara adat perkawinan, khususnya akibat
munculnya kembali apresiasi terhadap budaya asli daerah.
6. Bentuk penyajian makanan bagi rombongan pengantin dilakukan secara ala
France (cara Perancis).
7. Dikota Blangpidie upacara pernikahan tak lagi dilakukan dirumah, tapi sudah
dilakukan di gedung-gedung. Hal ini disebabkan karena masyarakat mulai
menyukai hal-hal yang bersifat instan, hingga makanan pun sudah memakai sistem
catering.
Pengaruh modernisasi bertambah efektif melanda daerah Aceh sekitar jangka 5
tahun terakhir ini, di samping faktor komunikasi, juga masuknya unsur-unsur
teknologi modern ke daerah ini, salah faktor yang ditimbulkan adalah bertambahnya
adat istiadat perkawinan mulai dari penentuan maskawin sampai dengan acara pesta.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada prinsipnya daerah Aceh bagian pesisir, adat dan kebudayaannya secara
umum hampir sama, namun dalam upacara adat perkawinan masih terdapat aneka
ragam/macam dan corak yang disesuaikan dengan selera serta pengaruh seni
masyarakat setempat yang membaur dengan daerah yang berdekatan.
Simbol-simbol dalam upacara perkawinan masyarakat Aceh memiliki makna
sendiri sebagai implementasi ajaran dalam perkawinan adat. Simbol-simbol tersebut
tak hanya sekedar ajaran moral bagi kedua mempelai agar dapat menjalankan
kehidupan rumah tangga yang baik sesuai dengan apa yang dicita-citakan serta
menggambarkan pandangan hidup masyarakat terhadap hubungan dengan Tuhan dan
antar sesama manusia.
Pengaruh modernisasi bertambah efektif melanda daerah Aceh sekitar jangka
5 tahun terakhir ini, di samping faktor komunikasi, juga masuknya unsur-unsur
teknologi modern ke daerah ini. Hal ini menyebabkan banyaknya perubahan-
perubahan dalam adat pernikahan di Aceh. Sehingga masyarakat Aceh dominan lebih
menyukai perubahan tersebut karena cenderung lebih efetif dan instan.

3.2 Saran
1. Kita sebagai generasi muda, hendaknya menjaga dan melestarikan budaya asli
kita, karena budayalah yang menjadi identitas kita.
2. Arus globalisasi tidak semua cocok dengan budaya kita, jadi kita harus memilah
arus globalisasi tersebut, agar budaya kita tidak hilang

14
DAFTAR PUSTAKA

Sufi,Rusdi. 2002. Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Dinas Kebudayaan Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam: Banda Aceh

Ismail, Badruzzaman, Adat Pernikahan etnis-etnis Aceh.Indatu Bookstore: Banda


Aceh

15
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya lah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada
waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
sekolah. Makalah yang kami susun berjudul “Modernisasi Adat Pernikahan Aceh
Barat Daya Daya”. Dengan membuat tugas ini kami berharap untuk mampu
memahami tentang salah satu sumber hukum dalam islam hadits.
Kami sadar, sebagai seorang penuntut ilmu yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami,
semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi manfaat tersendiri bagi teman-
teman sekalian.

Susoh, 25 Desember 2017


Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

1
1.1 Rumusan Masalah
1
1.2 Rumusan Masalah
1

BAB II PEMBAHASAN
2
2.1 Adat Pernikahan Asli Blangpidie, Aceh Barat Daya
2
2.1.1 Persiapan dan Pembukaan Upacara Perkawinan
3
2.1.2 Upacara Peresmian Perkawinan
4
2.2 Pengaruh Modernisasi Terhadap Adat Perkawinan
di Blangpidie
.....................................................................................................
.....................................................................................................
12

BAB IIIPENUTUP
.....................................................................................................
.....................................................................................................
14
3.1 Kesimpulan
.....................................................................................................
.....................................................................................................
14
3.2 Saran
.....................................................................................................
.....................................................................................................
15
ii
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................................
.....................................................................................................
16

iii
MODERNISASI ADAT PERNIKAHAN
ACEH BARAT DAYA

DI
S
U
S
U
N

TIA FAUZIA

FAKULTAS JKASDHFJKASDHF
ASDFAHSDFJKHASDJF
DARUSSALAM BANDA ACEH
TAHUN 2017

Anda mungkin juga menyukai