Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEJARAH KEBUDAYAAN
ACEH BARAT DAYA
DI

Oleh

NAMA: ASILA RISKA FAZIRA


KELAS : XI KC 2

NAMA GURU: NURSANI S.PD

SMK NEGERI 2 LHOKSEUMAWE


KOTA LHOKSEUMAWE
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Berbicara tentang Budaya Aceh memang tak habis-habisnya dan tak akan
pernah selesai sampai kapanpun. Topik yang satu ini memang menarik untuk
dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala
hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi,selama manusia
itu ada selama itu pula persoalan budaya akan terus dibicarakan.
Budaya aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adapt
istiadatnya sangat berkaitan dengan islam. Kebiasaan-kebiasaanyang berlaku
dalam masyarakat aceh tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Budaya
yang islam ini kita harapkan dapat tercermin dalam semua tingkah laku dan
kehidupan orang aceh. 
Budaya aceh mempunyai prinsip yang disebut adab dan agama itu tidak
ubahnya seperti zat dan sifat yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: dari segi
berbusana, idealnya busana aceh sangat sederhana yakni busana yang menutup
aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya aceh bagi anak laki-
laki yang memakai anting disebut tidak waras (pungoe) karena anting itu adalah
perhiasan bagi wanita. 
Demikian pula halnya budaya Aceh, budaya yang terdapat didaerah yang
pernah dilanda konflik dan Tsunami 26 Desember 2004  lalu. Dua peristiwa besar
yang melanda Nanggroe Aceh Darusalam telah mencatat banyak sejarah. 

1.2.Rumusan Masalah 
1. Bagaimana sesungguhnya Budaya Kabupaten Aceh Barat Daya ?
2. Bagaimana letak geografis Kabupaten Aceh Barat Daya?
3. Bagaimana Adat Perkawinan, Turun tanah dan Kematian Budaya
Kabupaten Aceh Barat Daya?
4. Bagaimana Pakaian adat, makanan Khas, dan Lambang daerah Kabupaten
Aceh Barat Daya?
1.3.Tujuan
Untuk mengetahui sejauh mana Budaya Kabupaten Aceh Barat Daya
mengalami perubahan,dan pandangan masyarakat Aceh Barat Daya.  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka
ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan
perayaan. Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu: Suku Aceh, Suku
Gayo, Suku Alas dan Tamiang 
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan
pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan
terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh
gaya kebudayaan Minangkabau.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra,
nyanyian, arian, musik dan adat istiadat. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain
semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya,
banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk
obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini
karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau
binatang sebagai ragam hias.
Aceh Barat Daya adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia.
Kabupaten ini resmi berdiri setelah disahkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2002. Aceh Barat Daya atau yang sering disingkat
"ABDYA" merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Pemekaran
Kabupaten ini bukanlah merupakan akibat dari reformasi pada tahun 1998.
Meskipun perubahan pemerintahan nasional saat itu mempercepat pemekaran
tersebut, namun wacana untuk pemekaran itu sendiri sudah berkembang sejak
sekitar tahun 1960-an. Kabupaten ini memiliki banyak sebutan di antaranya:
Tanoh Breuh Sigupai, Bumoe Teungku Peukan, Bumi Persada, Tanoh Mano
Pucok, Bumi Cerana, Alue Malem Dewa dan sebagainya.
Penduduk Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya pernah menjadi
sasaran serangan kapal perang Amerika Serikat. Potomac, nama kapal perang ini,
membawa lebih dari 300 prajurit. Dikirim atas perintah Presiden Andrew Jackson
sebagai bentuk hukuman bagi penduduk Kuala Batee yang pernah merampas
kargo milik kapal dagang Amerika Serikat bernama Friendship. Penduduk Kuala
Batee menyerang kapal tersebut karena merasa muak terhadap para pedagang
Amerika Serikat yang suka mencurangi timbangan. Kargo yang dirampas bernilai
sekitar mencapai 50.000 dollar Amerika Serikat. Salah satu muatannya adalah
lada dan opium. Dalam serangan ini lebih dari 450 penduduk Kuala Batee tewas,
sedangkan Amerika Serikat hanya kehilangan dua nyawa prajuitnya dan belasan
lainnya terluka.

2.2 Letak Geografis


1. Luas Wilayah
Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan salah satu dari 23
Kabupaten/Kota yang berada di wilayah administrasi Provinsi Aceh. B erada
di bagian barat Provinsi Aceh yang menghubungkan lintasan koridor barat
dengan berbatasan langsung laut lepas (Samudera Hindia), menjadi hilirdari
sungai-sungai besar serta mempunyai topografi yang sangat fluktuatif, mulai
dari datar (pantai) sampai bergelombang (gunung dan perbukitan).
Secara geografis Kabupaten Aceh Barat Daya terletak pada 96034’57”–
970 09’ 19” Bujur Timur dan 3034’24”-40 05’37” Lintang Utara. Secara
administrasi Kabupaten Aceh Barat Daya memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut :
 Sebelah Utara : Kabupaten Gayo Lues;
 Sebelah Selatan : Samudera Hindia;
 Sebelah Barat : Kabupaten Nagan Raya; dan
 Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Selatan.
Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukotanya Blangpidie memiliki
luas wilayah sebesar 1.882,05 Km2 atau 188.205,02 Ha, terbagi menjadi 9
Kecamatan, 23 Mukim, dan 152 Gampong.

2.3. Adat Perkawinan


Rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Aceh Barat daya terdiri dari
beberapa tahap yang sama seperti sebagian kabupaten aceh lainnya seperti
berikut;
1. Jak ba ranup ( antar sirih )
Jak ba ranup merupakan prosesi paling awal sebelum pernikahan.
Tujuannya adalah meminang dan mendapat kesepakatan dari kedua
keluarga. Jak ba ranup disebut juga lamaran, yang dimulai ketika pihak
mempelai pria membawa seserahan berupa sirih, kue, dan lain-lain.
Prosesi ini akan berlanjut ketika calon mempelai wanita yang diberi
kesempatan menjawab, bahwa ia bersedia untuk menikah dengan calon
mempelai pria.
2. Jak ba tanda ( antar tanda)
Jak ba tanda sama artinya dengan bertunangan, dan merupakan
kelanjutan dari meminang. Pada prosesi ini keluarga calon pengantin pria
datang lagi ke kediaman calon mempelai wanita sembari membahas
pernikahan, jumlah mahar, waktu pelaksanaan pernikahan, serta jumlah
tamu undangan. Selain itu calon mempelai pria membawa seserahan
berupa ketan kuning, buah-buahan, seperangkat pakaian, dan perhiasan
sesuai kemampuan keluarga pria. Menurut Arby, (1980:6), dalam
bukunya yang berjudul Upacara Perkawinan Adat Aceh, menjelaskan
maksud dari upacara tersebut yaitu
“ Untuk memperkuat tanda jadi, biasanya calon mempelai pria
membawa sirih lengkap, dengan macam-macam bahan makanan kaleng,
seperangkat pakaian yang dinamakan lapek tanda dan perhiasan dari emas
sesuai kemampuan calon mempelai pria.”
3. Boh gaca (memakai inai) / malam inai
Malam inai atau malam boh gaca adalah malam menjelang pesta
pernikahan yang terdiri dari upacara peusijuek (pemberian tepung tawar)
kepada dara baroe dan peusijuek gaca, serta batee meupeh (batu giling
yang berarti memberi dan menerima restu serta mengharapkan
keselamatan. Prosesi ini diadakan dengan harapan untuk mendapatkan
kebahagiaan pada kedua mempelai dan dimudahkan rezekinya. Acara boh
gaca biasanya dilaksanakan sampai tiga malam berturut-turut.
4. Ijab Kabul
Upacara adat nikah ijab Kabul merupakan syarat mutlak sahnya
perkawinan menurut agama Islam. Sebelum akad nikah dilakukan,
teungku kadhi menanyakan keadaan calon kedua mempelai, apakah
keduanya sudah bersedia untuk menikah. Serta pertanyaan-pertanyaan
yang menyangkut soal rumah tangga dan peribadatan. Sebelum akad
nikah di mulai, Tengku Kadhi sebagai petugas Kuakec, beserta ahli waris
pihak laki-laki, memeriksa mahar/jeulamee (maskawin), yang diserahkan
oleh yang mewakili, yaitu orang tua ahli waris pihak mempelai pria.
Bersama mahar (jeulamee), diserahkan bermacam bawaan baik berupa
pakaian, makanan, maupun alat-alat kosmetik lainnya, yang dibungkus
rapi dalam talam bertutup seuhap(kain penutup motif aceh).
Biasanya lafaz nikah dilaksanakan dalam bahasa Aceh “ulon tuan
peu nikah aneuk lon (apabila ayah perempuan yang menikahkan)….(nama
mempelai wanita), ngon gata ….(nama mempelai pria), ngon meuh…..
(jumlah mahar yang telah di sepakati). Dan mempelai pria menjawab
dengan jawaban : “ ulon teurimong nikah ngon kawennya …(nama
mempelai wanita), ngon meuh …. (jumlah mahar) mayam, tunai. Ada
beberapa lafaz yang disepakati dan berbeda-beda, disesuaikan dengan
kesepakatan dan adat istiadat setempat.
5. Tueng Linto Baroe/woe Linto
Prosesi ini merupakan salah satu upacara yang paling dinantikan,
karena merupakan acara puncak penyambutan linto baroe, dan diantar ke
rumah dara baroe. Menurut Arby (1989 :16) menjelaskan dalam bukunya
yang berjudul upacara perkawinan adat Aceh, maksud dari upacara ini
adalah sebagai berikut :
“ Dalam upacara ini mempelai wanita sudah dirias dan memakai
busana adat Aceh lengkap dengan sanggul dan cak cengnya (sunting).
Sebelum bersanding, mempelai wanita dibimbing menghadap kedua
orang tua untuk melakukan sungkem kepada kedua orang tua, kemudian
baru di dudukkan di pelaminan menunggu mempelai pria dan rombongan
tiba. Begitu juga dengan linto baroe, setelah berpakaian lengkap
melakukan sungkem kepada kedua orang tua untuk mendapatkan restu
barulah berangkat ke rumah mempelai wanita”.
Mempelai pria dan rombongan dipersilahkan masuk dan diserahkan
kepada orang tua adat dari pihak wanita. Lalu mempelai pria di payungi
dua orang tetua adat dari pihak wanita, dan selanjutnya dibimbing untuk
rah gaki (membasuh kaki). Hal ini merupakan perlambang bahwa untuk
memasuki rumah tangga harus dalam keadaan suci lahir dan batin.
Mempelai wanita yang duduk menanti mempelai pria kemudian
dibimbing untuk menyambut mempelai pria dengan melakukan seumah
(sungkem) kepada mempelai pria, sebagai tanda hormat dan penuh
pengabdian. Dalam upacara penyambutan linto baroe, biasanya diiringi
dengan tarian ranup lampuan (tarian penyambutan tamu dalam adat
masyarakat Aceh) dan berbalas pantun.
6. Tueng dara baroe (mengundang mempelai wanita)
Upacara tueng dara baro merupakan prosesi mengundang mempelai
wanita beserta rombongan ke rumah mertua (orang tua linto baroe).
Upacara ini biasanya dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah upacara woe
linto. Pada upacara ini dara baroe di iringi satu atau dua orang tua adat,
dan membawa kue-kue khas Aceh yang ditempatkan dalam talam/dalong
yang telah di hiasi dan ditutup dengan seuhap (kain penutup sange/tudung
saji yang disulam dengan benang emas/kasab.
Tiba di gerbang, dara baroe di sambut dengan taburan breuh padee
(beras padi), bunga rampai (bungong rampoe) dan on seuneujeuk (daun
untuk tepung tawar).
2.4 Adat Turun Tanah Masyarakat Melayu Aceh Barat Daya

Sebagaimana masyarakat suku lainnya di Indonesia, masyarakat Aceh Barat


Daya, mempercayai bahwa turun tanah adalah salah satu upacara tradisional yang
sangat erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu seseorang.
Upacara berlangsung khidmat, tidak hanya melibatkan para kerabat dari
ibunda dan ayahanda sang bayi saja, tetapi juga dihadiri oleh para tetangga dan
handai taulan serta warga masyarakat sekitar.
Upacara juga dihadiri oleh orang-orang yang terpandang, dan dihadiri alim
ulama yang memimpin jalannya marhabanan, sekaligus mendo'akan bayi yang
akan diturun-tanahkan. Upacara turun tanah bayi disebut dengan menyangke
rambut bayi disertai dengan acara cukur rambut, pemberian nama, kenduri, dan
marhaban.
Kemudian, bayi diayun dalam ayunan seirama dengan irama marhaban.
Selanjutnya, anggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan oleh salah
seorang anggota keluarga untuk dibawa keliling anggota marhaban tadi. 
"Rambut digunting kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda terukir
yang telah disediakan dalam talam. Pengguntingan rambut dilakukan oleh anggota
marhaban secara bergiliran. Pengguntingan rambut diselesaikan oleh bidan dan
dilanjutkan dengan acara jejak tanah bayi," terangnya.
Pada upacara tradisional tersebut, sebagai orang tua, turut menyampaikan
do'a agar sang buah hati mereka, agar kelak bisa mandiri, bertanggung jawab,
murah rezki selain itu bisa berbakti kepada kedua orang tua, berguna bagi agama,
bangsa dan negara.
Untuk diketahui, jika dicermati secara seksama, upacara turun tanah
menurut adat Aceh Barat Daya di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, baik di dunia maupun akhirat. Nilai-
nilai itu, antara lain kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu
halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi.
Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang
pisang atau batang tebu.
Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai
ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan
pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan,"Mudahlah
rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama.

2.5. Pakaian Adat Aceh Barat Daya


Nama pakaian adat Aceh adalah Ulee Balang. Seperti pakaian adat pada
umumnya, pakaian adat Aceh menunjukkan ke-khasan adat istiadat yang
diterapkan di Daerah Istimewa Aceh. Ciri khas khusus yang dimiliki oleh pakaian
adat Aceh ini merupakan salah satu hal penting yang membedakannya dengan
pakaian adat lainnya.
Pakaian Tradisional Aceh Barat Daya yang kini sering di tampilkan pada
acara adat perkawinan telah banyak mengalami modifikasi. Sehingga terkadang
menutupi  ciri asliannya. Sangat di sayangkan jika identitas ciri leluhur aceh
hilang begitu saja. Meskipun kita berada pada masa zaman yang serba modern,
namun kehidupan masa lalu adalah jati diri yang tidak boleh di lupakan begitu
saja. Agar generasi masa kini tidak mudah terbawa arus budaya luar yang
terkadang jauh dari syariat agama.
Dalam penggunaan pakaian Tradisional kelompok etnis Aceh
sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pakaian sehari-hari dengan pakain adat
resmi. Perbedaan hanya terdapat pada perlengkapan dan cara memakainya.
Bagi anak laki-laki tampil dalam bentuk pakaian tradisional ia memakai
celana baju dan daster. Mereka memakai celana (seluar) yang berukuran panjang,
baju teluk belanga, kain samping (kain sarung) serta memakai daster atau
(tengkulok) bentuk anak-anak berbeda dengan yang di pakai oleh orang dewasa.
Bagi anak-anak dasternya tidak begitu runcing dan juga ada sedikit tekuk. Selain
itu bagi pakaian anak-anak tidak memakai ikat pinggang.
Pakaian yang di kenakan oleh pemuda dan orang tua etnik aceh
mempunyai bentuk yang sama dengan pakaian anak-anak. Mereka memakai
celana (seluar) yang berukuran panjang agak longgar, dengan pinggang besar ,
begitu juga paha dan kaki lebih longgar.
Baju yang di kenakan berbentuk teluk belanga mempunyai ciri leher kerah
bulat (kecak musang) berbadan longgar serta tangan panjang dan longgar. Setelah
memakai celana dan baju selanjutnya dilapisi dengan kain sarung yang di gulung
setinggi lutut.
Tata cara pemakaian kain di sesuaikan dengan status sosial. Untuk
golongan para raja dan datuk-datuk  memakai kain samping tingginya sampai
lutut. Sedangkan bagi rakyat biasa tinggi kain samping hingga batas betis.
Perlengkapan lainnya yang di gunakan adalah berupa aksesoris tali
pinggang  diatas pulungan kain samping dan di lengkapi sebuah senjata tradisinal
Tamiang yang bernama Tumbuk lada.
Tumbuk lada ini sejenis pisau dengan gagang bermotif kepala burung atau
di sebut juga dengan lekuk segi enam. Daster dan tengkulok adalah bagian akhir
dari pakaian yang di pakai di kepala. Dsater setelah di bentuk menjadi runcing
keatas.
Apabila seseorang ingin menghadiri acara adat penggunaan kain sarung di
lipit tapi dalam penggunaan sehari-hari kain sarung di gulung atau di lipat. Pada
masa lampau biasanya kain di beri sulaman atau hiasan seroji dengan motif awan
berarak atau pucuk rebung (tumpal) kain tersebut merupakan kain tekat(kain
songket). Bagi bangsawan pada kaki celana bertekat(sulaman). Motif awan
berararak kini dalam upaya pelestaraian yang dipelopori oleh Dr. Syntia. S.T, MM
Selaku ketua Dekranasda Aceh Tamiang. Upaya pelestaraian dilaksanakan dengan
cara melakukan pameran-pameran, peragaan/demontrasi, selebaran, poster,
majalah, internet. 
Pakaian bagi wanita anak-anak maupun dewasa pada prinsipnya mereka
mengenakan busana yang sama yaitu baju panjang, kain, dan selendang.
Perlengkapan aksesoris pakaian wanita perhiasan, perhiasan seperti; mahkota,
kembang goyang, atau sanggul goyang, bros, kalung dll sebagai pekengkap.
Tidak hanya bentuk pakaian yang menjadi kekhasan dari pakaian adat
Tamiang. Warna juga memiliki makna tersendiri bagi para pemakainya.
Penggunaan pakaian warna kuning di peruntukkan untuk kaum para bangsawan
atau raja-raja. Sedangkan warna hitam di peruntukkan untuk para datuk-datuk.
Untuk rakyat biasa menggunakan pakaian yang di gunakan adalah pakaian
bewarna selain kuning dan hitam. 

2.6. Makanan Khas


Mie Kocok, Mie berwarna kuning dan putih dimasak menggunakan
adonan berupa gayung dari aluminium bertangkai kayu. Disebut mie kocok
karena prosesnya dikocok-kocok selama beberapa detik dalam air mendidih
sebelum dihidangkan. Mie ini umum ditemukan di Provinsi Aceh, termasuk di
daerah lain di Indonesia. Akan tetapi, Mie kocok ala Abdya, menurut banyak
kalangan, memiliki cita rasa berbeda dengan yang lain.
Pada 1960, Said Idrus (alm) pernah merantau ke Negeri Cina membuka
warung di deretan pertokoaan kontruksi kayu di Jalan Selamat, Kota Blangpidie.
Toko tersebut diberi label “Warung Muslim”. Selain menyediakan minuman kopi,
menu khas di warung itu disebut mie kuning dan mie putih yang dikenal dengan
sebutan mie kocok.
Era 60-an, di Kota Blangpidie (saat itu masih wilayah Aceh Selatan), ada
tiga warung menyediakan mie kocok: Warung Muslim, Warung Sayangan dan
Warung Japaris. Dua lainnya milik warga Tionghoa. Warung Muslim milik Said
Idrus terus berkembang dan membuka cabang di Losmen Muslim, Jalan At-
Taqwa, Blangpidie. Kemudian, warung tersebut dikelola oleh salah seorang
putranya, Said Tantawi. Mi kocok Warung Muslim di lantai dasar Losmen
Muslim, masih bertahan hingga saat ini. Kini, gerai tersebut dikelola Said Muswir
(putra Said Tantawi atau cucu dari almarhum Said Idrus).

2.7 Lambang

2.8 Tempat Wisata


Kabupaten Aceh Barat daya saat ini memiliki beberapa Objek Daerah
Tujuan Wisata (ODTW) yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh
Barat Daya seperti wisata alam, wisata cagar budaya dan situs sejarah sampai
wisata minat khusus seperti hiking dan arung jeram. Sampai tahun 2012 belum
tercatat wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung ke berbagai pelosok
Aceh Barat Daya. Di antara jenis wisata yang menonjol adalah wisata minat
khusus hiking. Untuk mendukung kegiatan wisata tersebut terdapat pula 7
hotel/losmen yang tersebar di Kabupaten Aceh Barat Daya khususnya di Kota
Blangpidie. Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan objek wisata yang
terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya.
1. Lembah Sabil
 Pemandian Krueng Baru
2. Manggeng
 Pantai Wisata Ujong Ketapang
 Teupin Batee
 Taman Laut Ujung Manggeng
 Pantai Ujung Manggeng
 Pasir Butiran Lhok Pawoh
3. Tangan-Tangan
 Pantai Wisata Aron Tumpang
 Pantai Wisata Blang Padang
 Kuburan Batee Meuculek
 Air Terjun Alue Kareng
 Mon Jeue
4. Blangpidie
 Pemandian Krueng Susoh
 Kolam Tgk. Malem
 Batee Permata
 Pemandian Kolam Putroe Hijau
 Gunong Cot Keummeunyan
 Panorama Gunong dan Irigasi Mata Ie
 MakamT. Awee Geutah
 Makam T. Peukan
 Makam Tgk. Dilubuk
 Makam Tgk. Sirah Panyang
 Makam T. Ben Mahmud
 Makam Syeh Mahmud
5. Susoh
 Pasir Putih Pantai Cemara Indah
 Kuala Katung
 Pantai Wisata Nelayan
 Pasir Ujong Keutapang
 Pulau Gosong
 Taman Laut Ujong Serangga
6. Kuala Batee
 Pantai Wisata Lama Tuha
 Situs Kerajaan Kuala Batee
 Taman Laut Lama Tuha
 Pemandian Air Terjun
 Panton Cut
 Pantai Lama Muda
 Situs Peninggalan Bersejarah Portugis
 Makam Tgk. Djakfar Lailon
7. Babahrot
 Krung Babahrot
 Wisata Perkebunan
 Raja Malaka
 Krueng Seumayam
 Perkebunan Sawit
8. Setia
 Kolam Renang Drien Payeh
 Wisata Alam Alue Siusen-Alue Kuyuen
 Wisata Alam Krueng Suak
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka
ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan
perayaan. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian,
kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-
nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk
tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan,
bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya.
Fenomena syariat Islam di Aceh hari ini cendrung mengarah kepada
pendistorsian syariat itu sendiri. Di satu sisi budaya masyarakat Aceh adalah
budaya yang sangat mendukung pelaksanaan syariat Islam, tapi pada prosesnya
mengalami hambatan di tingkatan atas, yaitu elite-elite politik yang cenderung
menjadikan syariat Islam itu sebagai komoditas politik yang berorientasi pada
kekuasaan. Indikasinya ditandai dengan lambannya proses pembuatan kanun-
kanun (UU).

3.2. Kritik dan Saran


Maka dari itu kita harus memahami faham tentang adapt dan budaya kita.
Kita juga harus memahami seberapa penting adat, budaya  bagi kehidupan
masyarakat, guna tercapai hidup yang lebih baik, sebagaimana orang-orang
sebelum kita kita menjaga adapt budaya, maka dari itu marilah sama-sana kita
menjaganya. 
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita, agar kita lebih memahami
dan mengerti permasalahan Adat dan Kebudayaan Aceh.
DAFTAR PUSTAKA

http://destririfhani.blogspot.com/2011/03/adat-dan-budaya-aceh.html 

http://maswardy07.blogspot.com/2011/05/adat-dan-budaya-aceh-sangat-bangat-
tapi.html

Thaib,Rosita.2008.SINTAKSI. Banda aceh :Universitas syah kuala.

Anda mungkin juga menyukai