Beranda | Berita | Opini | Artikel | Sejarah Melayu | Budaya Melayu | Sastra Melayu | Tokoh Melayu | Peneliti Melayu | Penghargaan Kamus Melayu | Ensiklopedi Melayu | Agenda | Direktori | Pautan | Forum | Resensi Buku | Perpustakaan | Koleksi | Kedai Komentar Tamu | Tentang Kami | Kerjasama | Hubungi Kami | Donasi | Peta Situs Bahasa Indonesia | English | Franais | Thailand | Filipino | Nederlands | Italiano | Arabic | Deutsch | Espaol | Burmese | Khmer
Jumat, 22 November 2013 | Sabtu, 18 Muharam 1435 H Search
Advanced Search
Pengunjung Online : 2.134 Hari ini : 12.172 Kemarin : 34.903 Minggu kemarin : 202.277
Budaya Melayu
Beranda > Budaya Melayu > Upacara Adat > Upacara Lingkaran Hidup > Upacara Perkawinan > Varian Adat Perkawinan Melayu > Upacara Adat Perkawinan Ureung Aceh
Bulan kemarin : 1.464.971 Anda pengunjung ke 96.086.132 Sejak 01 Muharam 1428 ( 20 Januari 2007 )
Upacara perkawinan merupakan salah satu rangkaian upacara yang dilaksanakan dalam siklus kehidupan orang Aceh. 1. Asal-usul Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakat Aceh. Perkawinan
merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis. Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan. Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan motif biologis karena menganggapnya tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran masyarakat. Perkawinan akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma adat dan agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk mengawinkan anaknya, bila anaknya sudah sampai waktunya (kematangan seksual) yang dalam bahasa Aceh disebut tro umu (T. Syamsuddin et. al, 1978/1979: 40-42). Selain kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan hidup bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerja sama dengan keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat mereka dalam mengasuh rumah tangga. Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua kelompok adat di Aceh. 2. Peralatan dan Bahan-bahan Upacara Ada beberapa peralatan yang harus disediakan dalam upacara perkawinan adat Aceh yang digunakan
1/7
a:3:{s:3:
11/23/13
Ada beberapa peralatan yang harus disediakan dalam upacara perkawinan adat Aceh yang digunakan pada waktu melamar, upacara menjelang peresmian perkawinan, dan upacara peresmian perkawinan. Peralatan ini disediakan oleh kedua belah pihak, yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Bahan dan peralatan yang dibutuhkan, yaitu: a. Mas Kawin
Mas kawin (jenamee) merupakan sejumlah uang yang harus diserahkan pihak pengantin laki-laki (linto baro) kepada pihak pengantin perempuan (dara baro) sesuai ketentuan agama dan adat-istiadat. b. Uang Hangus Uang hangus yaitu uang tanda ikat diserahkan oleh pihak laki-laki bersamaan dengan penyerahan mas kawin. Jumlah uang ditetapkan secara musyawarah pada saat linto baro melamar. c. Makanan, Pakaian, dan Perhiasan Beberapa jenis makanan diperlukan pada waktu pelaksanaan upacara mengantar tanda. Beberapa jenis makanan yang diperlukan dalam upacara, misalnya ketan kuning, bolu, dodol, dan makanan untuk jamuan pesta. Selain itu, peralatan yang harus dibutuhkan seperangkat pakaian lengkap ditambah peralatan mandi, dan berbagai perhiasan. 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penentuan waktu upacara peresmian perkawinan (resepsi) dilakukan oleh linto baro dan dara baro melalui perantara. Penentuan waktu berdasarkan pada hari dan bulan yang dianggap baik oleh masyarakat Aceh dan kemampuan ekonomi kedua pihak. Biasanya upacara peresmian perkawinan dilaksanakan setelah masa panen agar tidak membebani pihak-pihak yang bersangkutan. Pesta perkawinan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di rumah orangtua linto baro dan orangtua d ara baro. Namun, upacara bersanding dua dilaksanakan di rumah mempelai perempuan. 4. Tahapan dan Proses Upacara Ada beberapa tahapan dalam upacara perkawinan Aceh sejak persiapan hingga setelah perkawinan. Tahapan-tahapan tersebut mempunyai tata cara masing-masing. Menurut Cut Intan Elly Arby (1989: 5-6), beberapa tahap perkawinan adat Aceh adalah: a. Persiapan Menuju Perkawinan Jak Keum alen Jak Keumalen artinya mencari calon istri/suami. Jak Keumalen dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan langsung oleh orangtua laki-laki; atau, kedua, dilakukan oleh utusan khusus. Maksud Jak Keumalen ialah menjajaki kehidupan keluarga calon pengantin. Biasanya beberapa orang dari pihak mempelai pria datang bersilaturahmi sambil memperhatikan calon mempelai perempuan, suasana rumah, dan perilaku keluarga tersebut. Setelah kunjungan, keluarga calon mempelai pria bertanya kepada pihak orangtua perempuan, apakah putrinya sudah mempunyai calon suami. Bila sambutannya baik dan jawaban ya, tahapan selanjutnya adalah Jak Ba Ranub. Jak Keumalen dilakukan karena pada silam hubungan laki-laki dan perempuan adalah tabu. Selain peran orang tua yang begitu dominan terhadap anak, termasuk urusan jodoh. Jak Ba Ranub Setelah melewati tahap Jak Keumalen , berikutnya adalah upacara Jak Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini, orangtua linto baro mengirim utusan untuk membawa sirih, kue, dan lain-lain ke keluarga dara baro. Melalui utusan tersebut, keluarga linto baro mengungkapkan maksud mereka pada dara baro. Bila ia menerima, keluarga dara baro kemudian melakukan musyawarah. Bila seluruh keluarga menyetujui, proses selanjutnya adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau ternyata keluarga dara baro tidak setuju, keluarga dara baro akan menjawab dengan alasan dan cara yang baik. Jak Ba Tanda Jak Ba Tanda adalah upacara memperkuat tanda jadi. Pihak calon pengantin laki-laki akan membawa sirih lengkap dengan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang disebut lapek tanda, dan perhiasan emas. Barang-barang tersebut ditaruh dalam talam atau dalong yang dihias sedemikian rupa. Di rumah dara baro, talam tersebut dikosongkan kemudian diisi kue-kue sebagai balasan dari keluarga dara baro. Pembahasan mas kawin (jeulamei), uang hangus (peng angoh ), rencana hari dan tanggal pernikahan, serta jumlah undangan dan jumlah rombongan pihak pengantin laki-laki dilakukan pada upacara ini. b.Upacara Menjelang Perkawinan Sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, ada beberapa upacara yang mendahuluinya, di antaranya:
2/7
11/23/13
Upacara Peumano Sumber: C ut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p. 15A.
Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang sakral, sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu, upacara ini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan tersebut terlihat misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat, yaitu tarian Pho. Di atas telah disinggung mengenai syair yang dibawakan pada waktu Upacara Peumano. Berikut adalah contoh syair yang dilantunkan pada waktu upacara itu:
3/7
11/23/13
4/7
11/23/13
Setelah memasuki pintu gerbang, linto baro diserahkan kepada orang tua adat dari pihak dara baro. Mempelai laki-laki dipayungi oleh satu atau dua pemuda dari pihak dara baro dan mereka akan beriringan menuju rumah dara baro. Sebelum masuk rumah, linto baro dibimbing pendamping (peunganjo) untuk membasuh kaki. Hal ini bermakna, untuk memasuki jenjang rumah tangga harus suci lahir dan batin. Sementara dara baro sudah duduk menanti di pelaminan. Ia kemudian dibimbing seorang ibu pendamping (peunganjo) untuk menyambut linto baro dan melakukan sungkem kepada mempelai pria. Ini merupakan tanda hormat dan pengabdian. Linto baro menerima sambutan dara baro dengan penuh kasih sayang, lalu menggenggam tangan dara baro sambil menyelipkan amplop yang berisi uang yang melambangkan tanggung jawab untuk menafkahi sang istri.
Pasangan pengantin meminta doa restu kepada orangtua Sumber foto: C ut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p. 27A.
Setelah itu, kedua mempelai disandingkan sebentar di pelaminan sebelum dibimbing menuju suatu tempat khusus untuk bersujud kepada kedua orangtua mempelai. Prosesi dimulai dari dara baro bersujud kepada orangtua kemudian kepada kedua mertua. Linto baro mengikuti apa yang dilakukan mempelai wanita. Lalu mereka dibimbing ke pelaminan untuk di-peusijuek oleh keluarga. Mulai dari keluarga linto baro yang memberikan uang dan barang berharga lainnya. Begitu juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga yang melakukan peusijuek tidak boleh genap. Setelah pelaksanaan upacara selesai, linto baro langsung pulang ke rumahnya. Setelah hari ke tiga atau ke tujuh barulah linto baro diantar kembali ke rumah dara baro untuk melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe) atau ketujuh (peutujoh ). Upacara ini diawali dengan penanaman bibit kelapa yang dilakukan oleh woe linto bersama dara baro. Selanjutnya, linto baro melakukan sujud kepada mertua dan diberi pakaian ganti, cincin emas, dan lain-lain. Pihak woe into juga membawa beberapa perangkat untuk dara baro yang berupa makanan kaleng, kopi, teh, susu, dan berbagai perlengkapan dapur yang lain. Selain itu, juga membawa beberapa bibit tanaman seperti bibit kelapa, bibit tebu, dan sebagainya sesuai kemampuan keluarga wo linto. d. Upacara Setelah Perkawinan Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara, yaitu Tueng Dara Baro. Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara untuk mengundang dara baro beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara ini dilaksanakan pada tujuh hari setelah upacara wo linto. Pada waktu upacara ini, dara baro diarak menuju rumah pengantin laki-laki dengan didampingi dua pengunganjo. Rombongan pengantin perempuan ini juga membawa makanan dan kue-kue. Cara penyambutan upacara ini hampir sama dengan upacara wo linto, tapi tanpa prosesi berbalas pantun dan cuci kaki. Sampai di pintu masuk, rombongan akan disambut keluarga laki-laki. Orangtua kedua belah pihak kemudian melakukan tukar-menukar sirih. Di pintu masuk rumah, rombongan ditaburi beras (breuh padi), bunga rampai, dan daun-daun sebagai tepung tawar (on seunijuk). Setelah dara baro duduk di tempat yang telah disediakan, ibu linto baro melakukan tepung tawar yang dilanjutkan dara baro bersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua linto baro kemudian menyerahkan perhiasan yang ditaruh di dalam air kembang dalam suatu wadah khusus. Pada upacara ini, dara baro menginap di rumah orangtua linto baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh
5/7
11/23/13
Upacara Tueng Dara Baro Sumber foto: C ut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p. 18A.
5. Nilai-nilai Upacara perkawinan yang digelar oleh masyarakat Aceh mengandung berbagai nilai yang baik untuk dilestarikan. Beberapa nilai yang terkandung dalam upacara adat tersebut adalah: a. Nilai Tradisi Upacara adat yang dilaksanakan dalam perkawinan bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu bentuk pelestarian tradisi. Rangkaian upacara tersebut mengandung simbol dan makna tertentu yang mewakili cara mereka memandang dunia dan kehidupan di dalamnya. Sebagian orang, terutama yang bukan bagian dari budaya itu, mungkin akan beranggapan bahwa rangkaian upacara adat di Aceh rumit dan panjang. Namun, tentu saja, tidak begitu menurut masyarakat penganut kebudayaan itu. b. Nilai Religi Pengaruh Islam pada kebudayaan Aceh sangat kuat. Hal ini tercermin dalam pandangan dan perilaku dalam kehidupan. Perkawinan merupakan salah satu ajaran dalam Islam. Sehingga melaksanakannya adalah ibadah. Implementasi nilai-nilai ajaran agama dalam membangun keluarga yang baik (sakinah) dapat dilakukan melalui perkawinan. Selain itu, perkawinan juga menjadi sarana untuk mengimplementasikan nilai Islam dalam membina hubungan antarsanak kerabat. c. Nilai Sosial Perkawinan mengandung fungsi sosial, yaitu sebagai suatu cara di mana ikatan antara laki-laki dan perempuan diakui oleh masyarakat. Selain itu, salah satu tujuan perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk memperluas kaum kerabat dan mempererat hubungan yang sudah ada. Di beberapa daerah tujuan ini berbeda-beda. Di Aceh Tamiang tujuan perkawinan adalah untuk memperluas sistem perkauman yang disebut suku sakat kaum biak, sedangkan bagi masyarakat Gayo tujuan perkawinan adalah untuk memperkuat sistem kemargaan yang disebut belah atau merge. 6. Penutup Upacara adat mengandung berbagai makna yang nilai-nilainya dapat kita petik pada masa sekarang. Begitu pula dengan nilai-nilai dalam rangkaian upacara adat perkawinan masyarakat Aceh. Selain mengandung makna pelestarian tradisi, upacara adat masyarakat Aceh mengandung nilai kearifan lokal. (Mujibur Rohman/bdy/15/12-2010) Sumber Foto: Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p. cover. Referensi Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani. T. Syamsuddin et. Al. 1978/1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh.
Kembali ke atas
6/7
11/23/13
Kembali ke atas
Email Password
Beranda | Berita | Opini | Artikel | Sejarah Melayu | Budaya Melayu | Sastra Melayu | Tokoh Melayu | Peneliti Melayu | Penghargaan Kamus Melayu | Ensiklopedi Melayu | Agenda | Direktori | Pautan | Forum | Resensi Buku | Perpustakaan | Koleksi | Kedai Komentar Tamu | Tentang Kami | Kerjasama | Hubungi Kami | Donasi | Peta Situs
7/7