PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan
dan dijadikan sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara
identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara
seremonialnya atau dinamakan dengan kenduri. Sekarang ini upacara yang
tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah upacara turun ke
sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak
pertama, dan upacara kematian. Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan
karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat.
Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, serta
dipatuhi. Pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Mate aneuk meupat jeurat,
mate adat pat tamita. Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak
berada dalam posisi yang sama pentingnya, apabila anak yang meninggal
masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita
tidak tahu ke mana mesti mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan
wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat yang telah
memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan
kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan
masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku
sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh
masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila
pada satu momen kita tidak menjalankan adat atau upacara yang telah
ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat
terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat
Aceh.
Dalam makalah ini penulis ingin memaparkan upacara yang
dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama.
Dimulai dari masa kehamilan sang ibu, kelahiran si jabang bayi, dan upacaraupacara setelah kelahiran bayi dalam masyarakat Aceh.
B. Rumusan Masalah
Dari sekian banyaknya macam suku di Indonesia yang sangat menarik
untuk di ketahui bermacam ragam budaya khas yang dimilkinya. Salah satunya
yaitu Aceh yang memilki banyak daya tarik budayanya. Pada makalah ini yang
akan dibahas adalah tentang Upacara Perkawinan Adat Aceh, Upacara Lahir
Adat Aceh dan Upacara meninggal Adat Aceh.
C. Tujuan Penelitian
Dari makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil yaitu ; kita
dapat mengetahui bagaimana tata Upacara Perkawinan Adat Aceh, Upacara
Lahir Adat Aceh dan Upacara meninggal Adat Aceh, dan macam-macamnya
serta apa-apa saja nilai-nilai yang terdapat dalam pernikahan tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
1. Asal-usul
Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan
masyarakat Aceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam kehidupan
seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap perkawinan sebagai
sesuatu yang sakral dalam hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh
mengatur upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat Aceh bukan proses
ritual belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna
filosofis.
Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas
seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan.
Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan motif biologis
karena menganggapnya tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran
masyarakat. Perkawinan akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma
adat dan agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di
pihak lain, norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk
mengawinkan anaknya, bila anaknya sudah sampai waktunya (kematangan
seksual) yang dalam bahasa Aceh disebut tro umu (T. Syamsuddin et. al,
1978/1979: 40-42).
Selain kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi secara sosial.
Pasangan yang baru saja menikah akan hidup bersama dalam satu ikatan, dan
ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga
baru tersebut dituntut untuk bekerja sama dengan keluarga saudara mereka,
kadang juga keluarga sanak kerabat mereka dalam mengasuh rumah tangga.
Prinsip-prinsip tersebut berlaku di semua kelompok adat di Aceh.
2. Peralatan dan Bahan-bahan Upacara
Ada beberapa peralatan yang harus disediakan dalam upacara perkawinan
adat Aceh yang digunakan pada waktu melamar, upacara menjelang peresmian
perkawinan, dan upacara peresmian perkawinan. Peralatan ini disediakan oleh
kedua belah pihak, yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Bahan dan
peralatan yang dibutuhkan, yaitu:
a. Mas Kawin
Mas kawin (jenamee) merupakan sejumlah uang yang harus diserahkan
pihak pengantin laki-laki (linto baro) kepada pihak pengantin perempuan
(dara baro) sesuai ketentuan agama dan adat-istiadat
b. Uang Hangus
Uang hangus yaitu uang tanda ikat diserahkan oleh pihak laki-laki
bersamaan dengan penyerahan mas kawin. Jumlah uang ditetapkan secara
musyawarah pada saat linto baro melamar
c. Makanan, Pakaian, dan Perhiasan
Beberapa jenis makanan diperlukan pada waktu pelaksanaan upacara
mengantar tanda. Beberapa jenis makanan yang diperlukan dalam upacara,
misalnya ketan kuning, bolu, dodol, dan makanan untuk jamuan pesta.
Selain itu, peralatan yang harus dibutuhkan seperangkat pakaian lengkap
ditambah peralatan mandi, dan berbagai perhiasan.
3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penentuan waktu upacara peresmian perkawinan (resepsi) dilakukan oleh
linto baro dan dara baro melalui perantara. Penentuan waktu berdasarkan pada
hari dan bulan yang dianggap baik oleh masyarakat Aceh dan kemampuan
ekonomi kedua pihak. Biasanya upacara peresmian perkawinan dilaksanakan
setelah masa panen agar tidak membebani pihak-pihak yang bersangkutan.
Pesta perkawinan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di rumah orangtua
linto baro dan orangtua dara baro. Namun, upacara bersanding dua
dilaksanakan di rumah mempelai perempuan.
Jak Ba Ranub
Setelah melewati tahap Jak Keumalen, berikutnya adalah upacara
Jak Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini,
orangtua linto baro mengirim utusan untuk membawa sirih, kue, dan
lain-lain ke keluarga dara baro. Melalui utusan tersebut, keluarga linto
baro mengungkapkan maksud mereka pada dara baro. Bila ia menerima,
keluarga dara baro kemudian melakukan musyawarah. Bila seluruh
keluarga menyetujui, proses selanjutnya adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau
ternyata keluarga dara baro tidak setuju, keluarga dara baro akan
masalah.
Upacara Peumano
Peumano Dara Baro artinya memandikan calon mempelai
perempuan. Sebelum masuk pada Upacara peumano, biasanya juga
dilakukan peusijuk. Upacara peumano mengandung makna bahwa calon
dara baro sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus.
Namun, upacara ini bukan hanya untuk mempelai perempuan saja. Calon
pengantin laki-laki juga menjalani Upacara peumano.
Calon mempelai, baik perempuan maupun laki-laki, dimandikan
oleh orangtua mereka, tetua adat yang taat, dan beberapa keluarga
terdekat. Jumlah mereka harus ganjil. Selama upacara, calon pengantin
dibacakan doa-doa agar menjelang perkawinan mereka dalam keadaan
suci lahir dan batin. Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan diarak
menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat dan kadangkadang diselingi lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan
kepada keluarga atau nasihat bagi mempelai.
Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang
sakral, sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu,
upacara ini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti
oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda antara
daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan tersebut terlihat
misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat, yaitu tarian
Pho.
Di atas telah disinggung mengenai syair yang dibawakan pada waktu
Upacara Peumano.
Berikut adalah contoh syair yang dilantunkan pada waktu upacara itu:
Treun tajak manoe
Dara Baro treun
Oh lheuh manoe
Lakee seu naleu
Iya nyang la en
Seunalen manoe
Wahe putroe aneuk metuah
Gata lon seurah
Ta tinggai po ma
Meunyo tajak
Bek tuwor kamo
Trep-trep beutawo
Tajingeuk po ma
Artinya:
Turunlah kita mandi
Mempelai putri turunlah
Kita pergi mandi
Sesudah mandi
Minta salinan
Kain yang lain
Salinan mandi
Wahai putri Ananda yang beruntung
Dikau kuserahkan
Meninggalkan Bunda
Kalau pergi
Jangan lupakan kami
Sekali-kali pulanglah
Melihat Bunda
Khatam Quran
Upacara ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan calon
pengantin adalah orang yang shalihah. Upacara Khatam Quan ini
menjadi bukti betapa kuat agama Islam mewarnai kebudayaan Aceh.
Bagi masyarakat Aceh, agama merupakan faktor penting dalam jodoh
dan perkawinan.
Upacara ini dipimpin oleh seorang guru ngaji setempat.
Pelaksanaan upacara diawali dengan pembacaan doa-doa keselamatan.
Sebelum membaca ayat terakhir dalam Quran, pengantin perempuan
disuapi ketan dan tumpo yang telah tersedia. Setelah upacara selesai,
calon dara baro menyalami dan mengucapkan terima kasih serta
meminta maaf atas kesalahan yang ia lakukan. Pada kesempatan itu, ia
juga meminta restu kepada guru ngajinya.
oleh keluarga. Mulai dari keluarga linto baro yang memberikan uang dan
barang berharga lainnya. Begitu juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga
yang melakukan peusijuek tidak boleh genap.
Setelah pelaksanaan upacara selesai, linto baro langsung pulang ke
rumahnya. Setelah hari ke tiga atau ke tujuh barulah linto baro diantar kembali
ke rumah dara baro untuk melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe) atau
ketujuh (peutujoh). Upacara ini diawali dengan penanaman bibit kelapa yang
dilakukan oleh woe linto bersama dara baro. Selanjutnya, linto baro
melakukan sujud kepada mertua dan diberi pakaian ganti, cincin emas, dan
lain-lain.
Pihak woe into juga membawa beberapa perangkat untuk dara baro yang
berupa makanan kaleng, kopi, teh, susu, dan berbagai perlengkapan dapur yang
lain. Selain itu, juga membawa beberapa bibit tanaman seperti bibit kelapa,
bibit tebu, dan sebagainya sesuai kemampuan keluarga wo linto.
d. Upacara Setelah Perkawinan
Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara, yaitu Tueng Dara
Baro. Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara untuk mengundang dara
baro beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara ini dilaksanakan pada
tujuh hari setelah upacara wo linto. Pada waktu upacara ini, dara baro diarak
menuju rumah pengantin laki-laki dengan didampingi dua pengunganjo.
Rombongan pengantin perempuan ini juga membawa makanan dan kue-kue.
Cara penyambutan upacara ini hampir sama dengan upacara wo linto, tapi
tanpa prosesi berbalas pantun dan cuci kaki.
Sampai di pintu masuk, rombongan akan disambut keluarga laki-laki.
Orangtua kedua belah pihak kemudian melakukan tukar-menukar sirih. Di
pintu masuk rumah, rombongan ditaburi beras (breuh padi), bunga rampai, dan
daun-daun sebagai tepung tawar (on seunijuk). Setelah dara baro duduk di
tempat yang telah disediakan, ibu linto baro melakukan tepung tawar yang
dilanjutkan dara baro bersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua linto
11
5. Nilai-nilai
Upacara perkawinan yang digelar oleh masyarakat Aceh mengandung
berbagai nilai yang baik untuk dilestarikan. Beberapa nilai yang terkandung
dalam upacara adat tersebut adalah:
a. Nilai Tradisi
Upacara adat yang dilaksanakan dalam perkawinan bagi masyarakat
Aceh merupakan salah satu bentuk pelestarian tradisi. Rangkaian upacara
tersebut mengandung simbol dan makna tertentu yang mewakili cara
mereka memandang dunia dan kehidupan di dalamnya. Sebagian orang,
terutama yang bukan bagian dari budaya itu, mungkin akan beranggapan
bahwa rangkaian upacara adat di Aceh rumit dan panjang. Namun, tentu
saja, tidak begitu menurut masyarakat penganut kebudayaan itu.
b. Nilai Religi
Pengaruh Islam pada kebudayaan Aceh sangat kuat. Hal ini tercermin
dalam pandangan dan perilaku dalam kehidupan. Perkawinan merupakan
salah satu ajaran dalam Islam. Sehingga melaksanakannya adalah ibadah.
Implementasi nilai-nilai ajaran agama dalam membangun keluarga yang
baik (sakinah) dapat dilakukan melalui perkawinan. Selain itu, perkawinan
juga menjadi sarana untuk mengimplementasikan nilai Islam dalam
membina hubungan antarsanak kerabat.
c. Nilai Sosial
Perkawinan mengandung fungsi sosial, yaitu sebagai suatu cara di
mana ikatan antara laki-laki dan perempuan diakui oleh masyarakat. Selain
itu, salah satu tujuan perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk
12
kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang
kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada
juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja.
Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada
yang mengantar satu idang kecil saja dan ada pula yang mengantar sampai
lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan
bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa
perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan
makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil
harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat. Dalam ilmu
kesehatan pun memang dianjurkan untuk kebutuhan gizi bayi yang
dikandungnya. Apabila itu tidak dituruti maka berakibat buruk pada anak
yang dikandungnya, istilah bahasa Aceh roe ie babah (ngeces). Upacara
bawa nasi suatu kewajiban adat yang harus dilakukan, sampai saat sekarang
masih berlangsung dalam masyarakat.
Lain halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh
Selatan terdapat adat bi bu bideun (memberi nasi untuk ibu bidan),
maksudnya seorang anak menikaah dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7
bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan ibu bidan untuk membantu
proses kelahirannya. Mertua menyediakan sirih setapak (bahan-bahan sirih),
pakaian sesalin (satu setel), dan uang ala kadarnya. Bahan-bahan yang
disebut peunulang ini akan diberikan kepada bideun sebagai tanda
penyerahan tanggung jawab untuk merawat kelahiran bayi. Mertua
menyerahkan menantunya kepada bidan. Penyerahan ini diiringi dengan
ucapan nyoe udep matee aneuk lon, lon pulang lam jaroe gata (hidup mati
anak saya, saya serahkan dalam asuhan saudara). Lalu bidan mengucapkan
bak geutanyoe useuha umu bak Tuhan (kita berusaha, umur pada Tuhan).
Berdasarkan perubahan zaman yang terus menyesuaikan adat ba bu ini
ada hal-hal yang memang disesuaikan seperti pemberian mertua kepada
bidan yang sekarang banyak diganti dengan pemberian mentah berupa uang
saja. Kemudian banyak yang sudah menggunakan bidan rumah sakit bukan
14
lagi bidan kampung tetapi tradisi ba bu bideun tetap ada karena tugas bidan
kampung mencuci kain darah ibu dan bayi serta memandikan nifas si ibu
pada hari ke-44.
b. Pantangan
Seorang istri yang sedang mengalami masa hamil dalam masyarakat
Aceh, maka ia pun mulai memasuki masa berbagai pantangan. Pantanganpantangan yang harus ditempuhnya antara lain adalah duduk di ujung
tangga (ule reunyeun), berada di luar rumah pada senja dan malam hari,
melangkahi
kuburan-kuburan,
datang
ke
tempat-tempat
suram,
15
c. Meuramien
Upacara meuramien (makan bersama) dara bar yang sudah hamil di
tempat-tempat tamasya merupakan kebiasaan yang terdapat dalam
masyarakat Aceh. Dara bar kerapkali diajak makan bersama dipinggirpinggir laut ataupun di tempat-tempat yang berpemandangan indah dengan
tujuan supaya ia tidak kesepian duduk termenung memikirkan saat berat
ketika bersalin pada bulan-bulan yang akan datang. Karena melahirkan
dianggap sebagai pekerjaan sabung nyawa (sabng nyawong) maka dara
bar mendapat santunan yng manja dari sanak keluarganya.
16
17
melaksanakan salat. Bayi dipangku dengan menghadap kiblat lalu azan atau
qamat dibacakan dengan suara nyaring dan merdu agar bayi itu nyaring dan
merdu pula suaranya. Ada anggapan yang menyatakan bahwa jika bayi itu
tidak menangis ketika mendengar azan atau qamat berarti ia akan
mendengar nasihat-nasihat oarang tua nanti serta taat pada agama.
Pemilihan orang yang membaca azan atau qamat mempunyai arti tertentu
yang sangat berarti bagi si bayi karena kelak anak itu akn meniru sifat dan
kedudukan seperti orang yang membacakan azan atau qamat tadi.
c. Tanom Adoe
Setelah melahirkan, adoe/placenta/ari-ari/kakak harus ditanam. Apabila
dibuang sembarangan, kakak itu akan diganggu oleh bermacam-macam
hewan yang mengakibatkan bayi sakit perut dan menimbulkan berbagai
macam penyakit.
Adoe yang lahir bersama bayi tadi dibersihkan oleh bidan lalu
dimasukkan dalam sebuah kant (periuk) yang terbuat dari tanah liat.
Kemudian dibubuhi zat asam garam dan abu dapur supaya adoe dapat
kering dan tidak membusuk. Dalam buku Adat Istiadat Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh disebutkan bahwa dalam periuk adoe tersebut juga
dibubuhi aneka warna bunga-bunga dan wangi-wangian sebagai simbolik
agar bayi tadi tahu kepada kebersihan dan kecantikan. Setelah dibubuhi
berbagai keperluan tadi, kant tersebut ditanam oleh bidan. Adoe dari bayi
laki-laki ditanam di bawah seurayueng (cucuran atap) dan adoe dari bayi
perempuan ditanam di bawah tangga. Tempat penanaman ini dikaitkan
hubungannya dengan kedudukan laki-laki sebagai pencari nafkah dan
perempuan sebagai ratu rumah tangga.
18
19
pekerjaan yang salah selalu ditegur dengan kata-kata lagee ureung hana
jibalek ate manok (seperti oarang yang tidak dipecicap dengan hati ayam).
Terakhir setelah peucicap dengan manisan dan hati ayam, kemudian
diperlihatkan surat Yasin dan rencong pada aneuk manyak yang bertujuan
agar kelak ia menjadi anak yang taat pada agama serta menjadi anak yang
berani mempertahankan kebenaran dan berani melawan kejahatan.
c. Akikah
Masyarakat Aceh menganggap upacara akikah merupakan adat yang
berkaitan dengan agama. Bagi orang-orang yang mampu, upacara
dilangsungkan dengan menyembelih kerbau atau kambing sedangkan bagi
yang kurang mampu akan menyembelih kambing saja. Hewan yang
disembelih adalah jantan, tidak boleh betina. Tradisi ini berlaku turuntemurun. Daging hewan harus habis dimakan pada hari kenduri itu. kalau
masih ada sisanya daging itu dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan
tetangga.
Pada saat akan dilangsungkan upacara, ayah si bayi menyerahkan
hewan sembelihan itu dan seluruh bahan keperluan kenduri kepada
Teungku Sagoe dan Geuchik. Mereka yang akan memanggil pemuda
gampong sebagai tenaga pekerja dalam upacara. Kemudian hewan
disembelih oleh Teungku, lalu dimasak bersama-sama dan makan pula
bersama-sama.
d. Peutrn Aneuk Manyak
Peutrn Aneuk Manyak merupakan upacara turun tanah bayi yang
pelaksanaannya berbeda-beda di setiap daerah. Turun tanah bayi pada
masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir bersamaan
dengan upacara cukur rambut, pemberian nama, dan akikah. Lain halnya
pada masyarakat Aneuk Jamee, turun tanah bayi disebut dengan turun ka
aie yang dilakukan pada hari keempat puluh empat bersamaan dengan
cukur rambut, pemberian nama, dan kadang-kadang pula disertai dengan
acara hadiah. Dahulu turun tanah bayi dilakukan setelah bayi berumur satu
sampai dua tahun. Terlebih bila anak itu anak pertama karena upacara
untuk anak pertama pasti lebih besar.
20
Pada hari upacara ini bayi digendong oleh seorang yang terpandang,
baik perangai dan budi pekerti. Orang yang menggendong memakai
pakaian yang bagus-bagus. Bayi beserta orang yang menggendong
ditudungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada tiap
seginya. Lalu di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tidak takut
terhadap suara petir. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu
tanah dan yang lain menampi beras bila anak itu perempuan sebagai
simbolik agar anak perempuan tersebut kelak menjadi orang yang rajin.
Jika anak itu laki-laki maka salah seorang keluarga akan bergegas
mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu sebagai
simbolik kesatriaan. Kemudian si anak ditegakkan di atas tanah, Teungku
Sagoe menyebut sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuujoh. Disambung
dengan ucapan lagee bumoe nyoe teutap, meunan beuteutap pendirian
gata (seperti kukuhnya bumi ini, maka demikianlah pendirianmu harus
tetap). Setelah itu, anak tersebut dibawa berkeliling rumah atau mesjid
sampai bayi itu dibawa pulang kembali dengan mengucapkan salam
setibanya di rumah.
Pada masyarakat Gayo sebelum bayi diturunkan melalui tangga, terlebih
dulu Imam beserta peserta upacara membaca doa untuk keselamatan agar
bayi panjang umur, mudah rezeki, beriman, dan beragama. Kemudian bayi
dipangku oleh seorang ralik (kerabat perempuan dari pihak ibu bayi)
sambil melekatkan pulut kuning di telinga bayi, mengoles manisan lebah
di bibir bayi dengan mengucapkan mudahlah rezekimu, taat dan beriman
serta berguna bagi agama. Setelah itu, bayi dipangku oleh semua peserta
upacara secara bergantian dengan mengucapkan ucapan yang sama hingga
selesai. Lalu barulah bayi dibawa turun tanah ke tempat pemandian atau
sungai untuk dimandikan dengan upacara tertentu.
Pada masyarakat Tamiang, turun tanah bayi disebut dengan menyangke
rambut budak disertai dengan acara cukur rambut, pemberian nama,
21
kenduri, dan marhaban. Bayi diayun dalam ayunan seirama dengan irama
marhaban. Kemudian anggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan
oleh seorang anggota keluarga untuk dibawa keliling anggota marhaban
tadi. Rambut digunting kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda
terukir yang telah disediakan dalam talam. Pengguntingan rambut
dilakukan oleh anggota marhaban secara bergiliran. Pengguntingan rambut
diselesaikan oleh bidan dan dilanjutkan dengan acara jejak tanah bayi.
e. Peutrn Dapu
Upacara Peutrn Dapu (turun dapur) dilakukan pada hari ke empat
puluh empat setelah melahirkan. Cara-caranya sesuai dengan ajaran agama
Islam. Pada hari tersebut, sanak keluarga dan tetangga berkumpul untuk
turut membantu penyelenggaraan kenduri.
Ibu mertua yang datang bersama-sama sanak keluarganya untuk
peusijuk menantunya yang telah mengeluarkan darah dari tubuhnya
membawa bahan-bahan seperti ketan kuning (bu leukat kunng), ayam
panggang (manok panggang), beras padi bercampur beras kunyit (breuh
pad, breuh kunng), penganan (tumpoe), daun sidingin (n sisijuek),
segenggam rumput padi (naleung sambo), sejenis dedaunan (n manekmanoe), dan tepung tawar (teupong tabeu). Secara adat resam yang lazim
menepung tawari (peusijuk) menantunya dengan bahan-bahan yang
dibawa sendiri kemudian diikuti oleh hadirin. Setelah upacara mandi dan
menepung tawari selesai, ibu mertua mempersembahkan kepada
menantunya satu setel pakaian dan sesetel pula untuk besannya sebagai
hibah atas segala jerih payah selama ia merawat menantu dan cucunya.
Setelah melewati berbagai upacara di atas, ada tradisi lain yang
mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh yaitu tradisi
membuai anak dengan nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syairsyair agama, dan sajak-sajak yang menggelorakan semangat. Sejak masih
dalam buaian anak sudah ditempa dengan lagu-lagu perjuangan dan
dipupuk dengan kisah-kisah ajaran agama sehingga sudah selayaknya bila
22
dewasa ia akan menjadi orang-orang berani dan satria serta memiliki rasa
tanggung jawab terhadap agama.
Sebagian sajak-sajak buaian yang populer yang dikutip dari buku Adat
Resam Aceh adalah sebagai berikut:
D ku da idang
Geulayang ka puth taloe
O manyak cut, rayeuk beureujang
Jak tulng prang bila nanggroe
D ida idang
Bak keutapang di teungoh nanggroe
Oh rayeuk gata hai ule balang
Jak bantu prang raja nanggroe
Jak ku dd, jak ku dd
Boh tulo ngon boh cempala
Oh rayeuk gata hai teungku lint
Jak cok jud dalam ngaza
...
Diterjemahkan oleh Talsya sebagai berikut.
Tidur, tidurlah anakku sayang
Layang-layang putus talinya
Wahai kasihku intan cemerlang
Bantulah perang bila dewasa
Tidur-tidurlah putraku sayang
Pohon rindang di bukit sana
Bila usiamu dewasa nanti
Sembahkan bakti di medan jihad
Tidur, tidurlah intanku sayang
23
24
25
1. Mandi Jenazah
26
27
Apabila mayat sudah dimadikan, kafan pun sudah disiapkan. Bagi orang
yang mampu kain kafan itu sampai tujuh lapisan, dan bagi yang biasa hanya
sampai tiga lapis saja. Kafan itu terdiri atas baju, celana, dan kain pinggang,
kemudian ditambah dengan tiga buah bantal yang diisi dengan daun belimbing.
Bantal itu diletakkan di kepala, pinggang dan di bagian lutut. Bantal itu
berfungsi sebagai penahan agar mayat dalam keureunda tidak goyang atau
terbalik.
Bentuk atau model kafan yang dipotong itu, tidak dijahit seperti menjahit
celana biasa, melainkan dengan cara membentuk saja menyerupai celana, baju
dan kain pinggang dengan cara memotong dengan gunting pada ujungnya,
kemudian dikoyak dengan tangan. Pengoyakan dengan tangan itu memang
suatu kebiasaan membuat kafan bukan berarti tidak dapat dipotong dengan
gunting. Setelah kafan dikenakan pada tubuh mayat, lalu diikat dengan tali.
Tali pengikat itu khusus dirobek dari pinggiran kain kafan tadi, bukan dengan
tali lain.
3. Salat Jenazah
Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan, seterusnya mayat itu
dimasukkan ke dalam keureunda (peti mayat). Keureunda yang telah berisi
mayat, kemudian dibungkus dengan kain panjang. Setelah peti mayat itu
dibungkus dengan kain, lalu peti mayat itu diusung bersama-sama ke meunasah
atau mesjid untuk disalatkan, apabila jauh dengan meunasah atau mesjid, akan
disalatkan di rumah. Anggota pengusung itu biasanya oleh kaum kerabat dari
orang yang meninggal. Selain itu, dibantu pula oleh warga gampong,
sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.
Setelah sampai ke mesjid atau ke meunasah, mayat diletakkan di muka
sekali dengan posisi kepala mayat ke sebelah utara dan kaki ke sebelah selatan.
Acara shalat jenazah dipimpin oleh teungku imeum dan diikuti oleh para
jamaah lainnya. Kadang-kadang oleh teungku menanyakan terlebih dahulu
pada keluarga yang meninggal, kalau ada di antara anggota keluarga itu untuk
28
29
Selanjutnya, di atas kuburan disiram dengan air campur bunga dan jeruk
purut oleh teungku sebanyak tiga kali dari posisi kepala ke kaki. Penyiraman
itu dilakukan sebagai isyarat bahwa mayat itu sangat haus dan perlu diberi
minum, dan isyarat lain sebagai komando untuk membangunkan roh agar si
mati tahu bahwa ia telah mati. Kemudian teungku menyuruh hadirin untuk
duduk berdekatan atau berkeliling kuburan, lalu teungku membaca doa talkin.
Kemudian teungku membaca talkin, lalu teungku melanjutkan dengan
membaca doa selamat dan penutupan atas penguburan mayat dan kepada
hadirin diminta untuk menadahkan tangan ke atas sambil menyebut dengan
sahutan amiin. Setelah itu mereka pun pulan ke rumah masing-masing.
Setelah selesai acara penguburan mayat, keluarga yang ditinggalkan biasanya
menyiapkan suatu tempat khusus yang dihiasi dengan belbagai perangkat tidur
yang diperuntukkan kepada roh orang yang sudah meninggal. Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal itu masih
kembali dan mengunjungi rumahnya, sehingga perlu disiapkan tempat seperti
itu sebagai perlambang juga bahwa ia telah meninggal.
a. Geumunjong
Suatu kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi
masyarakat, apabila seseorang meninggal, maka orang lain akan berkunjung
ke rumah orang yang meninggal tersebut. Hal itu dilkakukan sebagai rasa
kebersamaan dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang
yang terkena musibah.
Dalam kunjungan tersebut, biasanya orang memberi uang, atau beras
menurut
kemampuan
masing-masing. Acara
geumunjong
itu
juga
30
b. Kenduri
Setelah selesai upacara penguburan mulai dari hari pertama sampai
dengan hari keenam mayat dalam kuburan, upacara-upacara yang dapat
digolongkan besar tidak diadakan. Dalam waktu-waktu itu acara hanya
sekedar dilakukan untuk memberi makan seorang atau beberapa orang
pengikut teungku yang melakukan samadiah setelah salat maghrib selama
enam hari. Pemberian makan itu dilakukan sebagai ganti memberikan
makan kepada orang yang telah meninggal, karena sebelum hari ketujuh
dianggap roh orang mati itu masih tetap di rumah, bersama keluarganya.
Adakalanya dalam waktu-waktu sebelum hari ketujuh itu diadakan pula
samadiah, tergantung permintaan dari keluarga yang meninggal. Pada
malam pertama sering dihidangkan dengan ie bu puteh (air nasi putih)
semacam dodol yang putih warnanya dibuat dari tepung. Pada malam ketiga
dengan kue pampi (kue bugis), malam keempat dengan cingkhui sejenis
lontong, dan malam kelima dengan kue putro manou (tepung bentuk bulat).
Sebelum kenduri ketujuh tiba, keluarga yang meninggal sudah tampak
sibuk menyediakan persiapan-persiapan. Persiapan itu dapat dibagi atas dua
macam, yaitu persiapan ringan berupa kue-kue dan persiapan untuk makan.
Apabila kenduri tujuh dilakukan secara besar terutama bagi orang yang
mampu biasanya ia menyembelih kambing bahkan kerbau pada siang
harinya. Apabila pada hari ketujuh itu tidak dilakukan upacara kenduri,
masyarakat banyak membincang bahwa seakan-akan keluarga orang yang
meninggal tidak menghiraukan orang yang sudah meninggal bahkan
dianggap sama seperti hewan yang mati.
Pada malam yang ketujuh semua kerabat dan tetangga yang berdekatan
datang menghadiri upacara malam ketujuh. Para kerabat biasanya membawa
bahan-bahan mentah berupa beras, kelapa, dan sayur-sayuran, gula, uang,
dan lainnya. Kerabat biasanya sudah terlebih dahulu datang sebelum malam
ketujuh, untuk membantu pelaksanaan upacara. Sedangkan tetangga dan
31
masyarakat lainnya membawa aneka kue bagi perempuan dan gula oleh
orang laki-laki.
Setelah semua tamu datang, teungku mulai memimpin upacara yang
didahului dengan samadiah. Biasanya upacara itu berlangsung dalam waktu
yang lama samapai dua atau tiga jam. Semua peserta turut mengikuti
pembacaan samadiah. Mula-mula dibaca oleh teungku, kemudian diikuti
oleh peserta. Peserta mengikuti upacara itu dengan penuh khidmat sambil
mengharapkan agar pembacaan samadiah diterima oleh Allah dan berpahala,
juga dapat mengampuni dosa-dosa yang pernah diperbuat selama yang
meninggal masih hidup di dunia.
Setelah pembacaan samadiah selesai, upacara dilanjutkan dengan acara
makan kenduri. Adakalanya makan kenduri itu dilakukan sebelum
pembacaan samadiah, hal itu tergantung kepada kesepakatan antara tamu
dengan keluarga orang yang meninggal. Kalau acara makan kenduri
diadakan sebelum pembacaan samadiah, maka setelah pembacaan samadiah
disajikan dengan acara minum dan makan kue-kue.
Selesai acara pembacaan samadiah, acara terus dilangsungkan dengan
pembacaan Alquran. Peserta terdiri atas orang-orang yang sanggup
membaca Alquran dengan lafal dan irama yang baik. Acara dipimpin oleh
teungku, setelah teungku membaca pertama, kemudian diikuti oleh peserta
lainnya yang duduk di sebelah kanan teungku, dan terus bergiliran menurut
tempat duduk. Posisi duduk biasanya melingkar maka acara pembacaan pun
terus berlingkar hingga selesai acara. Adakalanya, pembacaan ayat Alquran
terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan samadiah.
Apabila acara pembacaan Alquran sudah selesai, maka teungku
menutup acara dengan pembacaan doa. Para peserta lainnya menadah
tangan ke atas sambil menyebutkan amiiin. Ketika pembacaan doa hampir
selesai, salah seorang anggota keluarga bangun memberikan sedekah,
32
33