Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (diri sendiri dan orang lain)
Secara umum, para ulama membagi kaidah fiqih menjadi dua, yaitu:
1. Lima Kaidah Besar, atau biasa disebut Al-Qowaidul Khomastul Kubro. Lima
kaidah ini merupakan kaidah pokok yang paling dasar. Biasanya kaidah-kaidah
fiqih yang lain bermuara pada kaidah-kaidah fiqih ini. Lima kaidah ini adalah:
)
Sesungguhnya suatu amalan tergantung pada niatnya (
)
)
2. Kaidah yang selain dari lima kaidah besar tadi. Kaidah-kaidah ini biasanya
merupakan turunan dari lima kaidah besar yang telah disebutkan sebelumnya.
Kaidah fiqih ini memberikan banyak manfaat jika kita pelajari, antara lain:
1. Membantu kita dalam mengingat dan membedakan banyak permasalahan
yang serupa dalam ilmu fiqih.
2. Memudahkan kita dalam menemukan hukum suatu kasus atau
permasalahan yang tidak termaktub secara khusus dalam nash-nash
Alquran dan sunnah.
3. Susunan kalimat kaidah fiqih yang singkat dan padat, menjadikan kita
mudah untuk menghapalnya.
4. Kaidah fiqih dengan ciri khasnya: keluasan makna dan objektifitas,
menjadikannya sebagai patokan hukum yang bisa diterapkan pada banyak
Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya mubah.
Tentu saja penggunaan kaidah ini tidak pada tempatnya, karena kita mengetahui
ada kaidah lain yang membatasi mengenai ibadah, yaitu:
"Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi (alias terlarang, sampai
ada dalil yang memerintahkannya."
Demikan uraian ringkas mengenai kaidah fiqih, semoga dapat menjadi dasar bagi
kita untuk terus belajar mengenai kaidah dalam syariat Islam yang mulia ini.
II. Kaidah Manfaat dan Mafsadat
Syariat tidak memerintahkan kecuali sebuah kemaslahatan murni atau yang rojih
Dan tidak melarang kecuali yang murni sebuah mafsadat atau yang rojih
Makna Kaidah
Asy-Syari adalah pembuat syariat, yaitu Allah Subhaanahu wa Taala, baik
langsung dari al-Quran ataupun lewat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam
dalam sunnah beliau. Karena sunnah beliau pun pada dasarnya adalah wahyu dari
Allah Subhaanahu wa Taala. Sebagaimana firman-Nya:
( )
.
Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu (al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (an-Najm : 3-4)
Dalam kajian kali ini akan lebih banyak digunakan istilah maslahat dan mafsadat.
Maslahat artinya adalah kemanfaatan, dan mafsadat merupakan lawan katanya.
Perkataan mafsadat sering juga dituliskan dengan istilah madhorot.
Kholishoh adalah murni sebuah kemaslahatan, tanpa ada unsur mafsadat dan
madhorot sedikit pun. Begitu pula sesuatu yang mengandung sebuah mafsadat
yang murni tanpa ada maslahat sedikit pun.
Rojihah adalah sebuah kemaslahatan yang masih mengandung sedikit mafsadat,
namun maslahatnya jauh lebih besar. Begitu pula sebaliknya, sebuah mafsadat
yang sedikit mengandung kemaslahatan namun mafsadatnya jauh lebih besar.
Jadi, makna kaidah ini adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Taala dan Rasul-Nya
tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah
kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikit pun atau sebuah maslahat
besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Allah Subhaanahu wa
Taala dan Rasul-Nya tidak akan melarang sesuatu kecuali apabila mengandung
mafsadat murni tanpa ada kemaslahatan sedikit pun atau sebuah mafsadat besar
meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan.
Kaidah ini merupakan akhlak seorang muslim pada Allah Subhaanahu wa Taala,
di mana kita harus selalu berprasangka baik kepada pencipta kita. Prasangka baik
ini diwujudkan dengan meyakini bahwa setiap yang diperintahkan kepada kita
adalah bermanfaat dan setiap yang dilarang kepada kita adalah tidak bermanfaat.
Dalil Kaidah
Banyak sekali dalil dari al Quran dan as sunnah yang menunjukkan atas kaidah
ini. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama. Diantara yang menunjukkan atas
kaidah ini adalah:
Firman Allah Subhaanahu wa Taala:
()
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran. (an-Nahl: 90)
Pada ayat ini Allah Subhaanahu wa Taala memerintah dan melarang.
Perhatikanlah yang diperintahkan Allah, semuanya adalah sesuatu yang
mengandung kemaslahatan. Juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya
mengandung mafsadat (kerusakan).
Semua perintah serta larangan dalam al-Quran dan sunnah pun demikian. Tidak
ada satu pun perintah melainkan pasti mengandung maslahat dan sebaliknya tidak
ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat.
Di antara sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam yang menunjukkan atas
hal ini adalah:
: )
Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. alBukhori dalam Adab Mufrod: 273, al-Hakim: 2/613, Ahmad: 2/318. Lihat ashShohihah: 45)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam adalah untuk membawa dan menyempurnakan kemuliaan akhlak.
Sedangkan kesempurnaan akhlak tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (al-Baqoroh: 216)
Namun, bagi yang diberi taufiq oleh Allah Subhaanahu wa Taala untuk
menjalankannya niscaya akan mendapatkan banyak sekali keutamaan dunia
maupun akhirat atau salah satu dari keduanya. Allah Subhaanahu wa Taala
memerintahkan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam untuk berkata kepada
orang-orang kafir:
Katakanlah: Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu
dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan
menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan
tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu
bersamamu. (at-Taubah : 52)
Keempat: Mafsadat rojih.
Contohnya khomr (minuman keras) dan perjudian. Allah Subhaanahu wa Taala
berfirman:
Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya. (al-Baqoroh : 219)
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Taala kemudian melarangnya secara
mutlak sebagaimana dalam firman-Nya:
Apabila seekor lalat jatuh ke dalam gelas salah seorang dari kalian, maka
celupkanlah lalat itu lalu angkatlah (buanglah) karena pada salah satu sayapnya
terdapat penyakit dan pada sayap satunya terdapat obat. [Shahh al-Bukhr, bb
Idz Waqoa adz-Dzubb f Syarbi Ahadikum, XI:99, hadts no. 3073]
Barangkali, hadits ini sulit diterima oleh akal kita. Namun apakah kemudian
karena tidak sesuai dengan akal, kemudian kita tidak menerimanya? Demi Allah,
tidak! Misalkan, kita kemudian membaca suatu keterangan dari sebuah jurnal
kesehatan yang sangat terkemuka, yang membenarkan isi dari hadits ini,
kemudian kita baru ikut membenarkannya? Berarti kita lebih percaya kepada
keterangan dari ilmuwan (makhluk) dibanding keterangan dari pencipta. Ini tentu
sangat jauh dari akhlak seorang muslim.
Barangkali masih banyak keterangan yang masih belum sesuai dengan akal kita.
Namun sikap kita adalah harus menerima segala keterangan tersebut. Apabila
memang di kemudian hari ada pembuktian ilmiah yang membuktikannya, hal
tersebut akan menguatkan kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan juga
larangan-Nya. Ingat, hanya sebagai penguat bukan sebagai patokan.
Seorang muslim harus selalu menerima dan membenarkan setiap keterangan yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hadits tadi hanyalah salah satu contohnya.
Karena kita meyakini bahwa tiap yang diperintahkan kepada kita pasti
bermanfaat, dan yang dilarang kepada kita itu tidak bermanfaat. Ini adalah kaidah
yang harus selalu diulang dan ditanamkan kepada diri kita masing-masing.
Apabila Maslahat dan Mafsadat Berbenturan
Masalah ini tidak lepas dari tiga kemungkinan:
Kemungkinan Pertama:
Benturan antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin keduanya dikerjakan.
Solusinya, kerjakanlah maslahat yang lebih besar meskipun dengan meninggalkan
yang lebih kecil.
Contoh dari kemungkinan ini adalah jika saat kita masuk ke dalam masjid,
kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid (yang hukumnya sunnah). Dan saat
itu juga, iqomah berkumandang tanda shalat fardhu berjamaah akan dimulai.
Karena shalat fardhu itu hukumnya wajib, maka kita harus memilih untuk
meninggalkan yang sunnah untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar
(shalat berjamaah). Kita memilih untuk menghentikan sholat tahiyatul masjid dan
melaksanakan shalat berjamaah.
Contoh lain adalah saat Shalat Jumat. Kita sampai di masjid pada saat adzan
berkumandang. Kita mengetahui bahwa mendengar dan menjawab adzan
hukumnya sunnah. Namun shalat tahiyatul masjid saat Shalat Jumat adalah
wajib. Dan mendengarkan khutbah juga hukumnya wajib. Demi mendapatkan
kedua kewajiban tersebut, kita harus meninggalkan maslahat lain yang lebih kecil
(mendengar dan menjawab adzan). Sehingga kita harus memilih langsung shalat
tahiyatul masjid dan kemudian duduk.
Kemungkinan Kedua:
Benturan antara dua mafsadat yang tidak mungkin keduanya ditinggalkan.
Solusinya, tinggalkanlah mafsadat yang lebih besar meskipun dengan
mengerjakan mafsadat yang lebih kecil.
Contoh dari kasus ini adalah, misal kita berada di tengah hutan dan dalam kondisi
yang sangat lapar, di mana jika kita tidak makan maka akan mati. Di hadapan kita
ada bangkai kambing dan bangkai babi yang keduanya haram dimakan-. Namun
walau sama-sama haram, kita harus melihat bahwa kambing, secara zatnya
(lidzatihi) itu halal. Namun haram karena sebab yang lain (lighairihi), karena
tidak disembelih atas nama Allah. Sedangkan babi, itu haram secara zatnya.
Sehingga pada saat tersebut, kita memilih untuk makan bangkai kambing itu,
secukupnya.
Kemungkinan Ketiga:
Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan
kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang
terjadi maka secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka
menghindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan
tersebut.
2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang
akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada
menghindari mafsadatnya.
3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu
menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang
ada. Berdasarkan kaidah umum:
(Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah
maslahat).
Wallaahu alam. Semoga kajian ini bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk
penyusun sendiri.
(Disusun oleh Fikri, di Athen 234, 23 September 2011, 2.20 PM)
Sumber dan rujukan:
1. Latar Belakang
Setiap pebuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseoang pasti mempunyai
tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang
dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat.
Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang
mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia
melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alatalat belajarnya. Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut
1.
1)
Al quran
wur(#q7n@%!$#tbqt`Bbr!$#(#q7us!$##Jr
tt/5O=3y79xx.$Yy
e@39>pB&Ogn=uHxNO4n<)Nkh5uOg_DOgm7t^
s$yJ/(#qR%x.tbq=yJt
1)
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima
hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan
waris kepada wanita yang dicerai bain, jika suami mencerainya dalam keadaan
sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan
warisan
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut
1. Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzariah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarah adalah semata-mata produk akal
dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para ulama karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran
yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
1. Surat Al-Anam ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa
pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja,
bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan
menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah,
maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
2. Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu
menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga
menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki
bagi perempuan itu menjadi terlarang.[4]
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah
mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zariah dari
sunnah adalah:
1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang
munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara
demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara
lari bergabung bersama musuh.
4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa
mengakibatkan kesulitan manusia.[5]
Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar
tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari
zakat
daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati
oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa
kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh
dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2)
Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzariah menjadi 4 macam:
Dzariah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali
lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu
gelap.
Dzariah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya
menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat
yang sedang mencari musuhnya.
-
BAB III
KESIMPULAN
jika
2. Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum
sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka
sarananyapun haram.
3. Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan
kemaslahatan seperti yang diajarkan syariah, maka wasilah hukumnya
boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan,
walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
Ibid., juz8, hal 93.
Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam kitab
digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat).
Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu dzarai,(Riyad;Daru al Fadilah),26.
Djaazuli, H.A, Ilmu Fiqih., hal. 99
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I.,
http://abdurrahman.heck.in/makalah-tentang-saddu-al-dzariah.xhtml
http://ridaingz.wordpress.com/2012/07/19/saddu-al-dzariah-dalam-hukum-islam/
http://rumah-dakwah-indonesia.blogspot.com/2013/11/makalah-al-dzariahpengertian-kedudukan.html
http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/saddu-al-dzariah/#_ftn1
dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul
karya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarai.[6]
Pada awalnya, kata adz-adzariah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang
pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang
diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi,
kata adz-dzariah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan
(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan
ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzariah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu).[10] Menurut
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan
atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11]
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]
lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini
dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq. Begitu pula Imam asySyathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya alMuwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzariah sebagai metode
istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang
lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika
beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau
sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzariah) kepada tindakan
mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah
kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal
air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzariah oleh mazhab Hanafi
adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si
wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar,
dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki.
Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu
merupakan sadd adz-dzariah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan,
yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan
kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzariah adalah transaksi-transaksi
jual beli berjangka atau kredit (buyu al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3
tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai
transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena
keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak
showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga
Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali
dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya,
transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp.
150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan
seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.
Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzariah dalam pelarangan
tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi
kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
[17]
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,
misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan
adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang
tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir allafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-
dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri,
bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adzdzariah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub
pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzariah dalam
pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adzdzariah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
Konsep sadd adz-dzariah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau
tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh
nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang
jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat
dari nash yang jelas atau ijma. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd
adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi
dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam
keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi
dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzariah) bagi wanita
untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang
lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd
adz-dzariah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak
kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di
kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat
pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat
mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzariah dalam menetapkan berbagai
hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd
adz-dzariah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada
prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua
perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa
berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan
syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang
mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah
yang akurat, maka sadd adz-dzariah adalah sebuah metode hukum yang perlu
dilakukan.
Dengan sadd adz-dzariah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu
yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri.
Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa
pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim
li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun
perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih)
tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan
dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali
kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzariah, Elliwarti Maliki,
seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo,
menganggap bahwa sadd adz-dzariah merupakan metode istinbath hukum
yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di
kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan
ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam
mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adzdzariah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan
pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di
masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur
dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi
sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzariah-nya, namun
orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd
adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbathnya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi
kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzariah menimbulkan sikap
defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
mencaci
Tuhan
yang
diyakini
oleh
orang
suatu
bentuk
pelarangan
terhadap
sesuatu
Rasulullah
SAW.
Mereka
menggunakannya
2. Sunah
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya. Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut
tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai
dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.[25]
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzariah adalah:
.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).[26]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini
E. MACAM-MACAM ADZ-DZARIAH
Dilihat
dari
aspek
akibat
yang
timbulkan,
Ibnu
al-Qayyim
2.
Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan
(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya
daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci
maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan
yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asySyatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3.
az-Zuhaili
membedakan
antara
adz-dzariah
dengan
G. FATHU ADZ-DZARIAH
Kebalikan dari sadd adz-dzariah adalah fath adz-dzariah. Hal ini
karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzariah. Dalam mazhab Maliki
dan Hambali, adz-dzariah memang ada yang dilarang dan ada yang
dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab
Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adzdzariah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu,
maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
I.
PENUTUP
Sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum
dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa
digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar alMarifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1998).
[2]
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (alMurtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam
Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[3]
[4]
Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan
al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[5]
[7]
[8] Al-Qarafi,
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[9]
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[10]
Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital
al-Marji al-Akbar., op. cit.
[13]
[14] Abd
[17]
[18]
Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul alIhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[19]
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[20]
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi arRazi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[22]
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
[23]
[25]
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[26]
[27]
[28]
Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah., op. cit.; asy-Syathibi, al-Muwafat., op. cit., juz 2, hal. 390.
[29]
[30]
[31] Al-Qarafi,
Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim alJauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit
[32]
Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880.
Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri.
[34]
Quranic Studies
Home
About
Site Map
Al-Dzarah:
Memahami Konsep Sadd al-Dzarah dan Fath al-Dzarah
Abstrak
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarah, baik
dalam pengertian Fath al-Dzarah maupun Sadd al-Dzarah, diharapkan
tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat
akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan
penalaran hukum al-Dzarah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi
terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
al-dzariah dan fath al-dzariah. Metode sadd al-dzariah merupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam
yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd al-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. Pengertian Sad al-Dzarah
1. Secara Etimologis
Kata sadd al-dzarah ( ) merupakan bentuk frase (idhfah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan al-dzarah (). Secara etimologis, kata assadd ( )merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1]
Sedangkan al-dzarah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (waslah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak dari
al-dzariah ( )adalah adz-dzari ().[4] Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqh al-Fushl f Ulm al-Ushl karya al-Qarafi,[5]
istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzari.[6]
Pada awalnya, kata al-dzarah digunakan untuk onta yang digunakan orang Arab
dalam berburu. Si onta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati
binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping onta agar
tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika onta sudah dekat dengan binatang
yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut
Ibn al-Arabi, kata al-dzarah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap
segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologis
Menurut al-Qarafi, sadd al-dzarah bermakna memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut al-
Syaukani, al-dzarah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhr).[9]
Dalam karyanya al-Muwfaqt, al-Syathibi menyatakan bahwa sadd al-dzarah
adalah menolak sesuatu yang boleh (jiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamn).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd aldzarah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti alSyathibi dan al-Syaukani mempersempit al-dzarah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan aldzarah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya aldzarah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzarah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut pada halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzarah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
C. Kedudukan Sadd al-Dzarah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd aldzarah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbth
al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd aldzarah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam
karyanya Anwr al-Burq fi Anw al-Furq. Begitu pula Imam al-Syathibi (w.
790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwfaqt.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd al-dzarah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (al-dzarah) kepada tindakan mencegah untuk
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzarah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd al-dzarah oleh mazhab Hanafi adalah tentang
wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang
untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang
mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam
keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd aldzarah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan
perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini
terhadap metode sadd al-dzarah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka
atau kredit (buy al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya
sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp.
150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya
sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia
pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil
itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena
terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli
tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara
tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak
bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun
mereka menolak menggunakan sadd al-dzarah dalam pelarangan tersebut.
Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum
jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya
yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzarah-nya, namun orang yang
menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzarah tentu
masih bisa dikaji kembali bagaimana thuruq al-istinbth (prosedur-prosedur
penalaran)-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali.
Sedangkan tudingan bahwa sadd al-dzarah menimbulkan sikap defensif, tentu
perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
D. Dasar Hukum Sadd al-Dzarah
1. Al-Quran
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. alAnm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah aldzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini
oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu
terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd al-dzariah).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
Rin, tetapi katakanlah: Unzhurn, dan Dengarlah. Dan bagi orangorang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata r in ( )berarti: Sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini
terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek
dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata r
in ( )sebagai bentuk isim fil dari masdar kata runah ( )yang berarti
bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW
mengganti kata rin yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurn yang juga
berarti sama dengan rin. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat
ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarah.[23]
2. As-Sunnah
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd al-dzarah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih
dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan
hukum dalam konteks sadd al-dzariah.[25]
3. Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarah
adalah:
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(mashlahah).[26]
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini.
Karena itulah, sadd al-dzarah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd al-dzarah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Alm al-Mwqin:
Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.[27]
E. Macam-macam al-Dzarah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan aldzarah menjadi empat macam, yaitu:[28]
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti
menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya
mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk
dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul
keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau
dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai
perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya
menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang
perempuan boleh dikawini (at-tahll). Contoh lain adalah
melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan
muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan
(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi
meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada
kebaikan (mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci
maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan
mengkritik pemimpin yang lalim.
dzarah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini
diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzarah
adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzarah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath aldzarah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzarah adalah menetapkan
hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik
dalam bentuk membolehkan (ibhah), menganjurkan (istihb), maupun
mewajibkan (jb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath al-dzarah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jumat adalah
wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan
perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang
diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha
menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan
yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarah
(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya.
Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan
perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath al-dzarah tidak mendapat porsi yang banyak di
kalangan ahli Ushl al-Fiqh (Usul Fikih). Hal itu karena fath al-dzarah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzarah. Sementara sadd al-dzarah
sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbth hukm
(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan
ulama Syafiiyyah, masalah sadd al-dzarah dan fath al-dzarah masuk dalam
bab penerapan kaedah:
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka
hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari
suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah
satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd
al-dzarah dan fath al-dzarah. Apa yang dimaksudkan al-dzarah oleh ulama
Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafii adalah sekadar muqaddimah.
H. Cara Menentukan al-Dzarah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa
menjadi sarana (al-dzarah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka
secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk
melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan
berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.
Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang
hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah
karena sekadar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu
harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan
tujuan pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina
keluarga yang langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada
motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali
terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau
mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah
pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa
yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat
hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap
pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu
harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
I. Penutup
Sadd al-dzarah dan fath al-dzarah adalah suatu perangkat (metode penalaran)
hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar
bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.
Daftar Pustaka
A. Buku
[1]
[3]
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini (alMurtadha al-Zabidi), Tj al-Ars f Jawhir al-Qms, juz I, hal. 5219 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.
[4]
[5]
Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan alQurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[6]
Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, dalam
al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
[7]
[8]
[9]
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[10]
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), alMuwfaqat f Ushl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[11]
Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, juz VII, hal. 249 dalam al-Marja alAkbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
[14]
Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[16]
[18]
[19]
Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Ahkm f Ushl alIhkm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz VI, hal. 179-189.
[20]
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Mahalli bi al-tsr, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hal. 378.
[21]
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi alRazi, Maftih al-Ghaib (Tafsr al-Rziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah alSymilah, versi 2.09.
[23]
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm
al-Qurn, juz II, hal. 56 dalam ibid.
[24]
[26]
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybh wa an-Nazhir, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[27]
[28]
[29]
Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq, juz VI, hal. 319 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqt., juz II, hal. 390.
[30]
[31]
Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., juz III, hal. 46; dan Ibn alQayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 104.
[32]
[33]
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzaraI kata jama dari dzariah
berarti jalan. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah
menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan(1).
Yang dimaksud dengan saddu al-dzariah ialah
kerusakan,
maka
hendaklah
perbuatan
yang
baik
itu
dzariah berarti menutup jalan. Menurut istilah Ulama Ushul Fiqih bahwa
yang dimaksud dengan dzuriah ialah
Artinya masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan
untuk melakukan perbuatan yang dilating(3).
1.
Lihat Drs. Moh RifaI, Ushul Fiqih (Semarang; Wicaksana, 1984) hal : 69
2.
3.
Lihat Drs. Hm. Suparta, Fiqih (Semarang : PT Toha Putra, 2004) hal : 128
2)
C. Kehujjahan Al-Dzariah
Berpegang pada dzariah dan memberinya hokum yang sama dengan
hokum yang dihasilkannya, didasarkan, baik pada Al-Quran maupun AsSunah.
1) Didalam Al-Quran terdapat larangan memaki berhala dengan firman Allah
:
4.
b.
c.
Nabi melarang orang yang member sedekah untuk membeli apa yang
disedekahkannya,
karena
dzariahdari
terikatnya
kaum
faqir
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam
yang memakai saddu dzariah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap
bahwa saddu dzariah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal
selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara. Imam Malik di
dalam mempergunakan saddu dzariah sama dengan mempergunakan masalih
mursalah dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah
seorang ulama ulung dibidang ushul dari mazhab Maliki.
2)
3)
Ulama Hanafiyyah, syafiiyah, dan syiah menerima saddu dzariah sebagai dalil
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam
yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat Jumat dan berjalan
menunaikan ibadah haji(5).
Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzariah ini merupakandasar
dalam fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha. Tetapi mereka hanya
berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzariah, sedang
Imam SyafiI dan Imam Abu Hanifah tidak seperti merekawalaupun mereka
tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai
dalil yang berdiri sendiri. Menurut Imam SyafiI dan Imam Abu Hanifah,
dzariah ini termasuk kedalam dasar yang sudah mereka tetapkan, yaitu qiyas
menurut Imam SyafiI dan istihsan menurut Imam Hanafi.
Berpegang kepada dzariah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang
yang tenggelam didalamnya bias saja melarang perbuatan yang sebenarnya
mubah, mundub bahkan wajib, karena khawatir terjerumus dalam jurang
kedzaliman. Oleh karena itu,
5.
b.
semacam
ini
untuk
menutup
jalan
agar
jangan
sampai
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1)
2) Objek Al-Dzariah ditinjau dari segi akibatnya dibagi menjadi empat yaitu:
a.
d.
3)
4) Contoh Al-Dzariah:
e.
Permainan judi
f.
g.
h.
B. SARAN-SARAN
1) Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat
meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan
2)
Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada
diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan
MAKALAH
SADDU DZARIAH
Oleh :
FAIDAH QURANIYAH
(2012791102039)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul SADDU
DZARIAH.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Seluruh teman-teman yang telah banyak membantu
dalam penulisan, dan kami khususkan kepada Bapak Dosen Pembimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini.Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Sidoarjo, 1 September
2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama
lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini adalah:
1. Dapat mengetahui apa itu saddu dzariah
2. Dapat mengetahui dasar hukum saddu dzariah
3. Dapat mengetahui macam macam saddu dzariah
4. Dapat mengetahui pandangan ulama tentang saddu dzariah
D. Metode Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
awalnya,
kata
adz-adzariah
dipergunakan
untuk
unta
yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu
agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung
di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah
dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya.
Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi, kata adz-dzariah kemudian digunakan
sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang
lain.
2. Secara Terminologi
sesuatu yang menjadikan lantaran kepada yang lain yang dilarang karena
mengandung kerusakan.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asySyaukani, adz-dzariah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya
dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (almahzhur).
, ,, .
perantara yang dengan kenyataannya halal tetapi kadang-kadang mengarah pada
keharaman, maka hal itu dilarang.
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adzdzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan
kepada sesuatu yang dilarang (mamnu). Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan atau menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim alJauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang
maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-
dzariah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adzdzariah yang pada awalnya memang dilarang.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzariah
adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan
lain yang dilarang.
ygr't
%!$#
(#qYtB#u
(#q9q)s?$
Muhammad):
"Raa'ina",
tetapi
Katakanlah:
"Unzhurna",
dan
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.
Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang
lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu
tua lelaki tersebut.
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli
fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk
penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.
3. Kaidah fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adzdzariah adalah:
.
1) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Saddul Adz Dzariah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2.
Macam-macam Saddul Adz Dzariah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-harinya.
3.
Dasar hukum Saddul Adz Dzariah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah,
kaidah fiqh, sampai logika.
4.
5.
Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh
kasus Saddul Adz Dzariah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
B. Saran saran
1. Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat
meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan.
2. Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada
diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
2. Ibid., juz8, hal 93.
3. Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam kitab
digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat).
4. 42 , , , ,
5. 58 , ,
6.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
7.
8. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
9. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam alQuran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
10. Al-Khudhri, Tarikh at-Tasyri al-Islami, hlm 118.
11. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih alMukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
12. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
13. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
14. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 166.
. Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
. Ibid., juz8, hal 93.
. Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam
kitab digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat)
. 42 , , , ,
. 58 , ,
. Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi),
alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.
. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
. Al-Khudhri, Tarikh at-Tasyri al-Islami, hlm 118.
. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah
al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih alMukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 166.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
sadd adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah merupakan upaya preventif agar
tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang
sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
Wahbah
az-Zuhaili
membedakan
antara
adz-dzariah
dengan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saddu al-Dzariah
Secara lughawi (bahasa),
setiap sesuatu yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu lainnya.[1]
jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau manawi, baik atau
buruk.[2]
Secara isthilah
sesuatu yang menjadikan lantaran kepada yang lain yang dilarang karena
mengandung kerusakan.[3]
, ,,
.
perantara yang dengan kenyataannya halal tetapi kadang-kadang mengarah pada
keharaman, maka hal itu dilarang.[4]
Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata
dzariah itu didahului dengan saddu yang artinya menutup maksudnya
adalah menutup jalan terjadinya kerusakan.
B. Macam-Macam Saddul Dzariat
Ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.
dari
aspek
akibat
yang
timbulkan,
Ibnu
al-Qayyim
1.
(108 : )
Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.
: )
(104
Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzariah
adalah:
.
.d
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).\
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan
di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah,
sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami,
karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
e.
Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-Mqin: Ketika
Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala
jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala
jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan
yang telah ditetapkan.
2)
Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.
Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk
membuat khamr.
3) Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada
tingkat tinggi. Ulama berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang
haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
keharamannya.
Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4)
Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini
hukumnya diperbolehkan.
Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Saddul Adz Dzariah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2.
Macam-macam Saddul Adz Dzariah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-harinya.
3.
dasar hukum Saddul Adz Dzariah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah,
kaidah fiqh, sampai logika.
4.
5.
Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh
kasus Saddul Adz Dzariah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
Daftar Pustaka
, , .
, , .
, .
, .
, , , ,.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
166.
pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang
diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi,
kata adz-dzariah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan
(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan
ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzariah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu).[10] Menurut
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan
atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11]
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan
Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzariah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping
itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzariah yang pada
150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan
seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.
Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzariah dalam pelarangan
tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi
kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
[17]
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,
misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan
adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang
tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir allafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adzdzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri,
bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adzdzariah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub
mencaci
Tuhan
yang
diyakini
oleh
orang
suatu
bentuk
pelarangan
terhadap
sesuatu
Rasulullah
SAW.
Mereka
menggunakannya
2. Sunah
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya. Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut
tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai
dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.[25]
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzariah adalah:
.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).[26]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini
juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur
mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan,
maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan
E. MACAM-MACAM ADZ-DZARIAH
Dilihat
dari
aspek
akibat
yang
timbulkan,
Ibnu
al-Qayyim
2.
az-Zuhaili
membedakan
antara
adz-dzariah
dengan
G. FATHU ADZ-DZARIAH
Kebalikan dari sadd adz-dzariah adalah fath adz-dzariah. Hal ini
karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzariah. Dalam mazhab Maliki
dan Hambali, adz-dzariah memang ada yang dilarang dan ada yang
dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab
Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adzdzariah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adzdzariah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau
perintah itu disebut fath adz-dzariah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzariah adalah
menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan
(istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu,
maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
I.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar alMarifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1998).
______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh,
(Beirut: Dar al-Marifah, tt).
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih al-Mukhtashar,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).
[2]
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (alMurtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam
Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[3]
[4]
Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan
al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[5]
[7]
[8] Al-Qarafi,
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[9]
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[10]
Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital
al-Marji al-Akbar., op. cit.
[13]
[14] Abd
[17]
[18]
Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul alIhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[19]
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[20]
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi arRazi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[22]
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
[23]
[25]
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[26]
[27]
[28]
Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah., op. cit.; asy-Syathibi, al-Muwafat., op. cit., juz 2, hal. 390.
[29]
[30]
[31] Al-Qarafi,
Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim alJauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit
[32]
Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880.
Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri.
[34]
Quranic Studies
Home
About
Site Map
Al-Dzarah:
Memahami Konsep Sadd al-Dzarah dan Fath al-Dzarah
Abstrak
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarah, baik
dalam pengertian Fath al-Dzarah maupun Sadd al-Dzarah, diharapkan
tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat
akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan
penalaran hukum al-Dzarah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi
terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
al-dzariah dan fath al-dzariah. Metode sadd al-dzariah merupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam
yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti alSyathibi dan al-Syaukani mempersempit al-dzarah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan aldzarah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya aldzarah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzarah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut pada halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzarah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
C. Kedudukan Sadd al-Dzarah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd aldzarah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbth
al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd aldzarah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam
karyanya Anwr al-Burq fi Anw al-Furq. Begitu pula Imam al-Syathibi (w.
790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwfaqt.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal.
Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya,
adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah
bagaimana lafal (al-lafzh) dalam akad (al-aqd), bukan niat dan maksud si penjual
yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarah adalah semata-mata produk akal
dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zhahiri, bahkan
menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd al-dzariah dalam
kitabnya al-Ahkm f Ushl al-Ihkm. Ia menempatkan sub pembahasan tentang
penolakannya terhadap sadd al-dzarah dalam pembahasan tentang al-ihtiyth
(kehati-hatian dalam beragama). Sadd al-dzarah lebih merupakan anjuran untuk
bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir
pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd al-dzarah tidak bisa berfungsi untuk
menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya
bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas
diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash
lain yang jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang
kuat dari nash yang jelas atau ijm. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzarah
adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras
hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan
itu akan bisa menjadi jalan (al-dzarah) bagi wanita untuk sekadar mendapatkan
warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu
Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan
adalah sesuatu yang halal.[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-dzarah,
namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat
mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus,
yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak
menggunakan sadd al-dzarah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd al-dzarah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih
dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan
hukum dalam konteks sadd al-dzariah.[25]
3. Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarah
adalah:
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(mashlahah).[26]
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini.
Karena itulah, sadd al-dzarah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd al-dzarah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Alm al-Mwqin:
Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.[27]
E. Macam-macam al-Dzarah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan aldzarah menjadi empat macam, yaitu:[28]
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan
kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras
yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan
(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka
hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari
suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah
satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd
al-dzarah dan fath al-dzarah. Apa yang dimaksudkan al-dzarah oleh ulama
Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafii adalah sekadar muqaddimah.
H. Cara Menentukan al-Dzarah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa
menjadi sarana (al-dzarah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka
secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekadar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu
harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang
diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan
beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian
hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke
kas negara oleh pihak KPK.
I. Penutup
Sadd al-dzarah dan fath al-dzarah adalah suatu perangkat (metode penalaran)
hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar
bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.
Daftar Pustaka
A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubb fi Syarh al-Kitb,
Beirut: Dar al-Marifah, 1997.
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkm fi Ushl al-Ihkm,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
______, al-Mahalli bi al-tsr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1996.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwfaqt f
Ushl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Marifah, tt.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybh wa al-Nazhir, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt.
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jmi ash-Shahh alMukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisn al-Arab,
Beirut: Dar Shadir, tt.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, Bandung: PT. Al-Maarif, 1986.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1997.
Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
B. Program Komputer (Kitab Digital)
Al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
Al-Maktabah al-Symilah, versi 2.09.
[3]
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini (alMurtadha al-Zabidi), Tj al-Ars f Jawhir al-Qms, juz I, hal. 5219 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.
[4]
[5]
Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan alQurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[6]
Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, dalam
al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
[7]
[8]
[9]
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[10]
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), alMuwfaqat f Ushl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[11]
Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, juz VII, hal. 249 dalam al-Marja alAkbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
[14]
[15]
Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[16]
[18]
[19]
Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Ahkm f Ushl alIhkm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz VI, hal. 179-189.
[20]
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Mahalli bi al-tsr, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hal. 378.
[21]
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi alRazi, Maftih al-Ghaib (Tafsr al-Rziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah alSymilah, versi 2.09.
[23]
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm
al-Qurn, juz II, hal. 56 dalam ibid.
[24]
[26]
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybh wa an-Nazhir, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[27]
[28]
[29]
Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq, juz VI, hal. 319 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqt., juz II, hal. 390.
[30]
[31]
Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., juz III, hal. 46; dan Ibn alQayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 104.
[32]
[33]