Anda di halaman 1dari 128

I.

Sekilas mengenai Kaidah Fiqih


Barangkali kita sering mendengar istilah kaidah fiqih dalam kehidupan kita
sehari-hari. Pada dasarnya, kaidah fiqih adalah kaidah dalam memahami ilmu
fiqih. Ilmu fiqih yang kita maksud ini meliputi bagaimana kita beribadah pada
Allah Subhaanahu wa Taala, bagaimana membedakan yang halal dan haram,
bagaimana cara bermuamalat sesama manusia, dan lain sebagainya. Melalui ilmu
fiqih ini pula kita mengetahui bahwa Islam itu sudah sempurna dan juga mengatur
segala urusan manusia dalam segala sendi kehidupannya.
Karena perkara dalam fiqih ini menyangkut halal atau haram, dan juga sah atau
tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan, sehingga ilmu ini cukup perlu
mendapatkan perhatian yang khusus. Salah satunya adalah dengan mempelajari
kaidah-kaidah dalam ilmu fiqih.
Perlu kita ketahui bahwa ada dua macam kaidah dalam memahami ilmu fiqih,
yaitu:
1. Kaidah yang berhubungan dengan dalil; maksudnya adalah bagaimana cara
memahami dan mengambil faedah dari sebuah dalil (yang kemudian dikenal
dengan istilah ilmu ushul fiqh). Kaidah ini biasanya disebut dengan ilmukaidah
ushul fiqih. Kaidah ini wajib dikuasai oleh para fuqoha (ahli fiqih). Sehingga tidak
sembarang orang bisa mengambil faedah dari sebuah dalil. Contoh yang paling
mahir dalam menggunakan kaidah ini adalah para imam Mazhab yang empat.
Sehingga mereka semua rahimahumullah- sampai masing-masing memiliki
mazhab fiqih dengan pengikut yang banyak.
Contoh kaidah ini, misalnya: , yaitu sebuah perintah pada asalnya
adalah wajib (hingga ada dalil lain yang memalingkannya).
2. Kaidah yang berhubungan langsung dengan amal perbuatan hamba; yang
kemudian disebut dengan ilmu qowaid fiqhiyyah atau kaidah fiqih. Kaidah inilah
yang akan pelajari salahsatunya pada pertemuan kali ini.
Kaidah fiqih ini jumlahnya ada cukup banyak dan tidak ada bilangan tertentu.
Tiap kitab yang membahas mengenai kaidah-kaidah ini biasanya memberikan
jumlah kaidah yang berbeda. Namun asalkan kaidah-kaidah tersebut berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah yang shahih, maka kaidah tersebut dapat kita gunakan.
Redaksi dari kaidah ini dapat berupa kutipan dari nash, atau juga dapat berupa
redaksi baru yang terangkum dari dalil-dalil yang mendasarinya. Contoh kaidah
yang berasal dari nash, misalnya:

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (diri sendiri dan orang lain)
Secara umum, para ulama membagi kaidah fiqih menjadi dua, yaitu:
1. Lima Kaidah Besar, atau biasa disebut Al-Qowaidul Khomastul Kubro. Lima
kaidah ini merupakan kaidah pokok yang paling dasar. Biasanya kaidah-kaidah
fiqih yang lain bermuara pada kaidah-kaidah fiqih ini. Lima kaidah ini adalah:

)
Sesungguhnya suatu amalan tergantung pada niatnya (

Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan (

Kesulitan membawa kemudahan (


Adat dapat menjadi patokan hukum (

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (

)
)

2. Kaidah yang selain dari lima kaidah besar tadi. Kaidah-kaidah ini biasanya
merupakan turunan dari lima kaidah besar yang telah disebutkan sebelumnya.
Kaidah fiqih ini memberikan banyak manfaat jika kita pelajari, antara lain:
1. Membantu kita dalam mengingat dan membedakan banyak permasalahan
yang serupa dalam ilmu fiqih.
2. Memudahkan kita dalam menemukan hukum suatu kasus atau
permasalahan yang tidak termaktub secara khusus dalam nash-nash
Alquran dan sunnah.
3. Susunan kalimat kaidah fiqih yang singkat dan padat, menjadikan kita
mudah untuk menghapalnya.
4. Kaidah fiqih dengan ciri khasnya: keluasan makna dan objektifitas,
menjadikannya sebagai patokan hukum yang bisa diterapkan pada banyak

permasalahan dengan tidak terpancang pada individu ataupun


permasalahan tertentu.
Kaidah fiqih menjadi penting untuk dipelajari dan juga mendapatkan perhatian
khusus. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena yang terjadi di masyarakat
kita:
1. Fenomena banyaknya orang yang tidak memahami kaidah-kaidah dasar dalam
memahami fiqih Islam padahal masalah ini selalu mereka dapatkan setiap harinya.
Contohnya : banyaknya pertanyaan seputar apakah seseorang yang sudah
berwudlu lalu dia ragu-ragu, apakah sudah batal ataukah belum, maka apakah dia
wajib mengulangi wudlunya ataukah tidak? begitu juga tentang seseorang yang
selesai kecing lalu merasa ragu-ragu apakah dia meneteskan air kencing lagi
ataukah tidak ? padahal masalah semacam ini sangat jelas tercakup dalam sebuah
kaedah fiqih :

"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan."


2. Banyaknya orang yang menggunakan sebuah kaedah fiqih tidak pada
tempatnya.
Ambil contoh, tatkala ada seseorang yang menambahi sebuah ibadah dengan cara
yang tidak ada contohnya, lalu ada orang lain yang melarangnya, maka dengan
serta merta dia akan mengatakan : Tunjukkan kepada kami sebuah dalil yang
melarangnya, karena kami hanya melakukannya karena cinta pada Allah, dan juga
mengikuti kaidah fiqih yang masyhur yaitu :


Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya mubah.
Tentu saja penggunaan kaidah ini tidak pada tempatnya, karena kita mengetahui
ada kaidah lain yang membatasi mengenai ibadah, yaitu:

"Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi (alias terlarang, sampai
ada dalil yang memerintahkannya."
Demikan uraian ringkas mengenai kaidah fiqih, semoga dapat menjadi dasar bagi
kita untuk terus belajar mengenai kaidah dalam syariat Islam yang mulia ini.
II. Kaidah Manfaat dan Mafsadat






Syariat tidak memerintahkan kecuali sebuah kemaslahatan murni atau yang rojih
Dan tidak melarang kecuali yang murni sebuah mafsadat atau yang rojih
Makna Kaidah
Asy-Syari adalah pembuat syariat, yaitu Allah Subhaanahu wa Taala, baik
langsung dari al-Quran ataupun lewat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam
dalam sunnah beliau. Karena sunnah beliau pun pada dasarnya adalah wahyu dari
Allah Subhaanahu wa Taala. Sebagaimana firman-Nya:


( )
.
Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu (al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (an-Najm : 3-4)
Dalam kajian kali ini akan lebih banyak digunakan istilah maslahat dan mafsadat.
Maslahat artinya adalah kemanfaatan, dan mafsadat merupakan lawan katanya.
Perkataan mafsadat sering juga dituliskan dengan istilah madhorot.
Kholishoh adalah murni sebuah kemaslahatan, tanpa ada unsur mafsadat dan
madhorot sedikit pun. Begitu pula sesuatu yang mengandung sebuah mafsadat
yang murni tanpa ada maslahat sedikit pun.
Rojihah adalah sebuah kemaslahatan yang masih mengandung sedikit mafsadat,
namun maslahatnya jauh lebih besar. Begitu pula sebaliknya, sebuah mafsadat
yang sedikit mengandung kemaslahatan namun mafsadatnya jauh lebih besar.
Jadi, makna kaidah ini adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Taala dan Rasul-Nya
tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah
kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikit pun atau sebuah maslahat
besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Allah Subhaanahu wa
Taala dan Rasul-Nya tidak akan melarang sesuatu kecuali apabila mengandung
mafsadat murni tanpa ada kemaslahatan sedikit pun atau sebuah mafsadat besar
meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan.
Kaidah ini merupakan akhlak seorang muslim pada Allah Subhaanahu wa Taala,

di mana kita harus selalu berprasangka baik kepada pencipta kita. Prasangka baik
ini diwujudkan dengan meyakini bahwa setiap yang diperintahkan kepada kita
adalah bermanfaat dan setiap yang dilarang kepada kita adalah tidak bermanfaat.
Dalil Kaidah
Banyak sekali dalil dari al Quran dan as sunnah yang menunjukkan atas kaidah
ini. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama. Diantara yang menunjukkan atas
kaidah ini adalah:
Firman Allah Subhaanahu wa Taala:



()

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran. (an-Nahl: 90)
Pada ayat ini Allah Subhaanahu wa Taala memerintah dan melarang.
Perhatikanlah yang diperintahkan Allah, semuanya adalah sesuatu yang
mengandung kemaslahatan. Juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya
mengandung mafsadat (kerusakan).
Semua perintah serta larangan dalam al-Quran dan sunnah pun demikian. Tidak
ada satu pun perintah melainkan pasti mengandung maslahat dan sebaliknya tidak
ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat.
Di antara sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam yang menunjukkan atas
hal ini adalah:

: )

Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. alBukhori dalam Adab Mufrod: 273, al-Hakim: 2/613, Ahmad: 2/318. Lihat ashShohihah: 45)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam adalah untuk membawa dan menyempurnakan kemuliaan akhlak.
Sedangkan kesempurnaan akhlak tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya

kemaslahatan dan hilangnya mafsadat.


Dalil-dalil lainnya masih banyak. Oleh karena itu, para ulama sepakat atas hal ini.
Bahkan mayoritas ulama menegaskan bahwa syariat ini dibangun atas dasar
kaidah ini dan semua hukum serta cabang-cabangnya kembali pada kaidah dasar
ini. Ini adalah dasar yang mencakup semua syariat Islam, tidak ada yang
tertinggal sedikit pun baik yang berhubungan dengan masalah ushul (pokok)
maupun furu (cabang), baik yang berhubungan dengan hak Allah ataupun hak
makhluk.
Macam-Macam Maslahat dan Mafsadat
Kalau dicermati, maka kaidah ini mencakup empat hal:
Pertama: Maslahat murni.
Contohnya iman kepada Allah serta mentauhidkan-Nya. Ini adalah sebuah
kemaslahatan murni bagi hati, jiwa, bahkan badan baik untuk dunia maupun
akhirat.
Kedua: Mafsadat murni.
Contohnya kemusyrikan dan kekafiran. Ini adalah mafsadat murni baik untuk
kehidupan dunia maupun akhirat baik bagi jiwa maupun badan. Namun, perlu
diingat, maslahat dan mafsadat yang dimaksud dalam kaidah ini adalah maslahat
dan mafsadat dalam tinjauan syari.
Ketiga: Maslahat rojih.
Contohnya jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir. Banyak maslahat besar
yang diraih dengan berjuang membela agama Allah Subhaanahu wa Taala untuk
menghancurkan kekuatan kafir. Namun, banyaknya keutamaan ini terkadang
mengandung beberapa mafsadat dalam kehidupan dunia seseorang. Oleh karena
itu, terkadang jiwa agak berat untuk menjalankannya. Allah Subhaanahu wa
Taala berfirman:





Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan

boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (al-Baqoroh: 216)
Namun, bagi yang diberi taufiq oleh Allah Subhaanahu wa Taala untuk
menjalankannya niscaya akan mendapatkan banyak sekali keutamaan dunia
maupun akhirat atau salah satu dari keduanya. Allah Subhaanahu wa Taala
memerintahkan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam untuk berkata kepada
orang-orang kafir:


Katakanlah: Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu
dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan
menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan
tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu
bersamamu. (at-Taubah : 52)
Keempat: Mafsadat rojih.
Contohnya khomr (minuman keras) dan perjudian. Allah Subhaanahu wa Taala
berfirman:




Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya. (al-Baqoroh : 219)
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Taala kemudian melarangnya secara
mutlak sebagaimana dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (al-Maidah : 90)
Faedah yang Dapat diambil dari Kaidah
Kaidah ini mengajarkan kita untuk selalu mencintai syariat dan berprasangka
baik pada pembuat syariat yang mulia ini. Kita harus mencintai tiap hal yang
diperintahkan kepada kita dan membenci tiap perkara yang dilarang kepada kita.
Hal ini dengan terus meyakini bahwa setiap yang kita diperintahkan kita pasti
bermanfaat, dan setiap yang dilarang pasti tidak bermanfaat.
Jangan sampai kita hanya menerima syariat yang hanya sesuai dengan akal kita.
Apalagi sampai mendahulukan akal kita dalam menerima syariat. Kita harus
meyakini bahwa akal kita terbatas. Sehingga semua syariat yang sampai kita
(yang benar-benar berasal dari Allah dan Rasul-Nya), harus kita terima walaupun
masih belum sesuai dengan akal kita.
Kita harus mengingat perkataan yang mulia dari Ali bin Abi Thalib
Radhiyallaahuanhu: Andaikata agama itu cukup dengan rayu (akal), maka
bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya.
Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengusap
bagian atas khuf-nya. (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam AlTalkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini
shahih). Mengapa kita justru tidak mengusap bagian bawah khuf yang lebih
berpotensi kotor? Hal ini karena kita beragama karena mengikuti syariat dari
Allah Subhaanahu wa Taala, bukan karena mengikuti akal dan hawa nafsu kita.
Sebagai contoh, jika sampai kepada kita keterangan yang belum sesuai dengan
akal kita seperti hadits berikut ini:




Apabila seekor lalat jatuh ke dalam gelas salah seorang dari kalian, maka
celupkanlah lalat itu lalu angkatlah (buanglah) karena pada salah satu sayapnya
terdapat penyakit dan pada sayap satunya terdapat obat. [Shahh al-Bukhr, bb
Idz Waqoa adz-Dzubb f Syarbi Ahadikum, XI:99, hadts no. 3073]
Barangkali, hadits ini sulit diterima oleh akal kita. Namun apakah kemudian

karena tidak sesuai dengan akal, kemudian kita tidak menerimanya? Demi Allah,
tidak! Misalkan, kita kemudian membaca suatu keterangan dari sebuah jurnal
kesehatan yang sangat terkemuka, yang membenarkan isi dari hadits ini,
kemudian kita baru ikut membenarkannya? Berarti kita lebih percaya kepada
keterangan dari ilmuwan (makhluk) dibanding keterangan dari pencipta. Ini tentu
sangat jauh dari akhlak seorang muslim.
Barangkali masih banyak keterangan yang masih belum sesuai dengan akal kita.
Namun sikap kita adalah harus menerima segala keterangan tersebut. Apabila
memang di kemudian hari ada pembuktian ilmiah yang membuktikannya, hal
tersebut akan menguatkan kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan juga
larangan-Nya. Ingat, hanya sebagai penguat bukan sebagai patokan.
Seorang muslim harus selalu menerima dan membenarkan setiap keterangan yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hadits tadi hanyalah salah satu contohnya.
Karena kita meyakini bahwa tiap yang diperintahkan kepada kita pasti
bermanfaat, dan yang dilarang kepada kita itu tidak bermanfaat. Ini adalah kaidah
yang harus selalu diulang dan ditanamkan kepada diri kita masing-masing.
Apabila Maslahat dan Mafsadat Berbenturan
Masalah ini tidak lepas dari tiga kemungkinan:
Kemungkinan Pertama:
Benturan antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin keduanya dikerjakan.
Solusinya, kerjakanlah maslahat yang lebih besar meskipun dengan meninggalkan
yang lebih kecil.
Contoh dari kemungkinan ini adalah jika saat kita masuk ke dalam masjid,
kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid (yang hukumnya sunnah). Dan saat
itu juga, iqomah berkumandang tanda shalat fardhu berjamaah akan dimulai.
Karena shalat fardhu itu hukumnya wajib, maka kita harus memilih untuk
meninggalkan yang sunnah untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar
(shalat berjamaah). Kita memilih untuk menghentikan sholat tahiyatul masjid dan
melaksanakan shalat berjamaah.
Contoh lain adalah saat Shalat Jumat. Kita sampai di masjid pada saat adzan
berkumandang. Kita mengetahui bahwa mendengar dan menjawab adzan
hukumnya sunnah. Namun shalat tahiyatul masjid saat Shalat Jumat adalah
wajib. Dan mendengarkan khutbah juga hukumnya wajib. Demi mendapatkan
kedua kewajiban tersebut, kita harus meninggalkan maslahat lain yang lebih kecil
(mendengar dan menjawab adzan). Sehingga kita harus memilih langsung shalat
tahiyatul masjid dan kemudian duduk.

Kemungkinan Kedua:
Benturan antara dua mafsadat yang tidak mungkin keduanya ditinggalkan.
Solusinya, tinggalkanlah mafsadat yang lebih besar meskipun dengan
mengerjakan mafsadat yang lebih kecil.
Contoh dari kasus ini adalah, misal kita berada di tengah hutan dan dalam kondisi
yang sangat lapar, di mana jika kita tidak makan maka akan mati. Di hadapan kita
ada bangkai kambing dan bangkai babi yang keduanya haram dimakan-. Namun
walau sama-sama haram, kita harus melihat bahwa kambing, secara zatnya
(lidzatihi) itu halal. Namun haram karena sebab yang lain (lighairihi), karena
tidak disembelih atas nama Allah. Sedangkan babi, itu haram secara zatnya.
Sehingga pada saat tersebut, kita memilih untuk makan bangkai kambing itu,
secukupnya.
Kemungkinan Ketiga:
Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan
kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang
terjadi maka secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka
menghindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan
tersebut.
2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang
akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada
menghindari mafsadatnya.
3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu
menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang
ada. Berdasarkan kaidah umum:


(Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah
maslahat).
Wallaahu alam. Semoga kajian ini bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk
penyusun sendiri.
(Disusun oleh Fikri, di Athen 234, 23 September 2011, 2.20 PM)
Sumber dan rujukan:

1. Qowaidul Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami,


Ahmad Sabiq bin Abu Yusuf, Pustaka Al-Furqon.
2. Gerbang menuju Ilmu Kaidah Fiqih,
http://addariny.wordpress.com/2009/05/28/pintunya-ilmu-kaidah-fikih/
3. Kaidah Manfaat dan Mafsadat, http://www.alfurqon.co.id/kaidah-manfaatdan-mafsadat/
4. Ketika Agama telah Mengharamkan http://muslim.or.id/fiqh-danmuamalah/ketika-agama-telah-mengharamkan.html
5. Ceramah Lima Kaidah Besar Fiqih http://us.kajian.net/kajianaudio/Ceramah/Abu%20Ubaidah%20Yusuf%20As-Sidawi/Lima
%20Kaidah%20Besar%20Ushul%20Fiqih%20(Kajian%20di%20Lombok)
6. Ceramah Kaidah-Kaidah ilmu Fiqih http://us.kajian.net/kajianaudio/Ceramah/Ahmad%20Sabiq/Kaidah-Kaidah%20Ushul%20Fiqh
%20(Kajian%20di%20Lombok)/

MAKALAH USHUL FIQH SADDU DZARIAH


Posted on 16 Juli 2014 by hurie
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Setiap pebuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseoang pasti mempunyai
tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang
dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat.
Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang
mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia
melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alatalat belajarnya. Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut

Contoh pebuatan pendahuluan yang sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu.


wudhu adalah perantara melakukan shalat, namun kewajiban wudhu itu sendiri
telah diatur hukumnya oleh al-Quran. Jelas dalam hal ini antara wudhu
(perantara) dan shalat yang menjadi perbuatan pokok hukumnya sama-sama
wajib. Contoh lain yaitu Berzina. Berzina adalah perbuatan yang dilarang,
sedangkan perbuatan yang mendahuluinya adalah berkhalwat yang hukumnya
sudah ditentukan dalam al-Quran. Jadi antara zina yang menjadi perbuatan pokok
dengan khalwat yang menjadi perbuatan perantara hukumnya sama-sama haram.
Sedangkan contoh perbuatan pendahuluan yang tidak ditetapkan hukumnya
adalah kewajiban menuntut ilmu itu diwajibkan tetapi perbuatan perantara seperti
mendirikan sekolah dan mencari guru itu tidak ada dalil hukumnya secara
langsung. Dapatkah mendirikan sekolah dan oencari guru itu wajib sebagaimana
wajibnya menuntut!ilmu?. Contoh lain adalah membunuh tanpa hak merupakan
perbuatan haram yang harus dijauhi, tetapi untuk menghindar dari membunh
tanpa hak umpamanya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapatkah
memiliki senjata dikatakan hukumnya haram sebagaimana haramnya membunh
tanpa hak yang menjadi perbuatan pokok?. Berangkat dari kegelisahan inilah
maka penulis ingin membahas mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas
kontek hukumnya yang dalam makalah ini disebut dengan Dzariah. Fiqh
merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip
tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode
tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zariah (az-Zariah).
Oleh karena itu zariah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari kemudaratan.
1. Rumusan Masalah
2. Pengertian Saddu Dzariah
3. Dasar Hukum Saddu Dzariah
4. Kedudukan Saddu Dzariah sebagai sumber hokum
5. Objek Saddu Dzariah
6. Pengelompokan Saddu Dzariah
7. Contoh Saddu Dzariah
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Saddu Dzariah


2. Secara Etimologi
Kata sadd adz-dzariah ( ) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd ()dan adz-dzariah (). Secara etimologis, kata assadd ()merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.
Sedangkan adz-dzariah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak
dari adz-dzariah ( )adalah adz-dzarai (). Karena itulah, dalam
beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya alQarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarai.
Saddu Dzarai berasal dari kata sadd dan zarai. Sadd artinya menutup atau
menyumbat, sedangkan zarai artinya pengantara
Dzariah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa kepada
yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi Ibn Qayyim alJauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzariah kepada
sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang bertujuan
kepada yang dianjurkan.[1] Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzariah lebih
baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzariah itu mengandung dua
pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk
dilaksanakan (fath al-dzariah).
Pada awalnya, kata adz-adzariah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa
mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di
samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat
dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena
itulah, menurut Ibn al-Arabi, kata adz-dzariah kemudian digunakan sebagai
metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2. Secara terminologi
Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzariah itu ada kalanya
dilarang yang disebut Saddus Dzariah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan
diwajibkan yang disebut fath ad-dzariah. Seperti meninggalkan segala aktivitas
untuk melaksanakan shalat jumat yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah AlJuhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa
meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzariah tetapi
dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan

Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan kerusakan


(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asySyaukani, adz-dzariah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya
dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (almahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adzdzariah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adzdzariah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzariah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.[2]
Kesimpulannya adalah bahwa Dzariah merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/
cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara
yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara
yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib[3]
Contohnya:
Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita yang menghantarkan
kepada perbuatan zina juga merupakan haram
shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan
untuk melaksanakan shalat jumat wajib pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzariah adalah
menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

1.

Dasar hukum saddu dzariah

1)

Al quran

wur(#q7n@%!$#tbqt`Bbr!$#(#q7us!$##Jr
tt/5O=3y79xx.$Yy
e@39>pB&Ogn=uHxNO4n<)Nkh5uOg_DOgm7t^
s$yJ/(#qR%x.tbq=yJt

Artinya Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al anam:
108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adzdzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini
oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu
terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd adz-dzariah).
$ygrt%!$#(#qYtB#uw(#q9q)s?$uZu(#q9q
%ur$tRR$#(#qyJ$#ur3x6=9ur>#xtO9r&
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): Raaina, tetapi Katakanlah: Unzhurna, dan dengarlah. dan
bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap
dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ina ( )berarti: Sudilah kiranya
kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata
raainan ()sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ruunah()yang
berarti bodoh atau tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raaina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna
yang juga berarti sama dengan raaina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzariah.
2). As sunnah

1)
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima
hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan
waris kepada wanita yang dicerai bain, jika suami mencerainya dalam keadaan
sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan
warisan

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut
1. Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzariah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarah adalah semata-mata produk akal
dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.

Masalah ini menjadi perhatian para ulama karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran
yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
1. Surat Al-Anam ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa
pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja,
bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan
menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah,
maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
2. Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu
menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga
menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki
bagi perempuan itu menjadi terlarang.[4]
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah
mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zariah dari
sunnah adalah:
1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang
munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara
demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara
lari bergabung bersama musuh.
4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa
mengakibatkan kesulitan manusia.[5]
Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar
tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari
zakat

1. Objek Saddu Al-Dzariah


Pada dasranya yang menjadi objek dzariah adalah semua perbuatan ditinjau dari
segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1) Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali
sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan
masuk rumah jatuh kedalamnya.
2) Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan
yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar.
Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak
diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini,
dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzariah)
adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin,
sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin.
Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat
khamar, hukumnya haram.
4) Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai
tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi
riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam
Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.

1. Pengelompokan Saddu Dzariah


Dzariah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:
1)
Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi
dzariah menjadi 4 yaitu:
Dzariah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya,
minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak
keturunan.
Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun
ditujukan untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah
muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
Dzariah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan,
namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar

daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati
oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa
kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh
dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2)
Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzariah menjadi 4 macam:
Dzariah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali
lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu
gelap.
Dzariah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya
menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat
yang sedang mencari musuhnya.
-

Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.

Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan,


tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu
yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari
riba, umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000 dengan
hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga rp 800.000
tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah
ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A. Jual beli seperti ini
dikenal dengan bai al-ainah atau baiul ajal.
1. Contoh Saddu Al-Dzariah

Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk


minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan
itu dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini
untuk menutup jalan agar jangan sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk,
dan pezina.

BAB III
KESIMPULAN

Saddu Al-Dzariah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan


kerusakan.
Dzariah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang
halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang
haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal
hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang
wajib maka hukumnyapun wajib.
Banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan kearah saddu al-zariah
menarik perhatian para ulama contoh: Surat Al-Anam ayat 108 yang artinya:
Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan
memushi tanpa pengetahuan. dan Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah
perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi didalamnya. Juga terdapat dalam hadis nabi Muhammad S.A.W.
contohnya yaitu Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh
orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya dan Nabi
melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa
mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
Objek Al-Dzariah ditinjau dari segi akibatnya dibagi menjadi empat yaitu:
- Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya
- Perbuatan yang jarang menimbulkan kerusakan/bahaya
- Perbuatan yang berdasarkan dugaan yang kuat akan menimbulkan bahaya
- Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum kuat timbul
kerusakan itu
Contoh Al-Dzariah:
- Permainan judi
- Minum minuman keras
- Melihat aurat orang lain
- Anggur dibuat minuman khamar
Untuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan,
dalam saddu al-zariah, ada tiga hal yang perlu dipehatikan:

1. Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan


tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.

jika

2. Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum
sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka
sarananyapun haram.
3. Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan
kemaslahatan seperti yang diajarkan syariah, maka wasilah hukumnya
boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan,
walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.

Dapat disimpulkan bahwa dalam saddu al-zaiah penetapan hukumnya selalu


menekankan pada keutamaan manfaat dan menghindari kemufsadatan. Hal ini
untuk mengantisispasi sikap hidup yang tidak terpuji ditengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
Ibid., juz8, hal 93.
Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam kitab
digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat).
Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu dzarai,(Riyad;Daru al Fadilah),26.
Djaazuli, H.A, Ilmu Fiqih., hal. 99
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I.,
http://abdurrahman.heck.in/makalah-tentang-saddu-al-dzariah.xhtml
http://ridaingz.wordpress.com/2012/07/19/saddu-al-dzariah-dalam-hukum-islam/

http://rumah-dakwah-indonesia.blogspot.com/2013/11/makalah-al-dzariahpengertian-kedudukan.html
http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/saddu-al-dzariah/#_ftn1

[1] Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III, hal. 147


[2] Syeikh islam ibnu taimiyyh, saddu dzarai,(Riyad;Daru al Fadilah),26.
[3] Djaazuli, H.A, Ilmu Fiqih., hal. 99
[4] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I., hal. 164.

[5] SyafeI Rahman, Ilmu., hal. 132.

Sadd az-Dzariah dan Fath adz-Dzariah


A. PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai
teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut
berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin
kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak
dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama
adalah sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah
merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan
dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan

khazanah intelektual Islam yang sepanjang pengetahuan penulistidak


dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki
sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang
sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang
sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti
bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena
memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan
yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut.
Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah.
Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi
sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adzdzariah.

B. PENGERTIAN SADDU DZARIAH


1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzariah ( ) merupakan bentuk frase
(idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan adz-dzariah (
). Secara etimologis, kata as-sadd ( )merupakan kata benda
abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd tersebut berarti menutup
sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1] Sedangkan adzdzariah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak
dari adz-dzariah ( )adalah adz-dzarai ().[4] Karena itulah,

dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul
karya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarai.[6]
Pada awalnya, kata adz-adzariah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang
pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang
diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi,
kata adz-dzariah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan
(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan
ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzariah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu).[10] Menurut
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan
atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11]
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian


ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan
Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzariah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping
itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzariah yang pada
awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adzdzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

C. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARIAH


Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd
adz-dzariah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum
(istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya,
sadd adz-dzariah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima
sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para
ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam
berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan

lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini
dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq. Begitu pula Imam asySyathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya alMuwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzariah sebagai metode
istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang
lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika
beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau
sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzariah) kepada tindakan
mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah
kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal
air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzariah oleh mazhab Hanafi
adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si
wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar,
dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki.
Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu
merupakan sadd adz-dzariah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan,
yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan
kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzariah adalah transaksi-transaksi
jual beli berjangka atau kredit (buyu al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3
tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai
transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena
keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak

showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga
Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali
dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya,
transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp.
150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan
seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.
Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzariah dalam pelarangan
tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi
kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
[17]
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,
misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan
adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang
tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir allafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-

dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri,
bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adzdzariah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub
pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzariah dalam
pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adzdzariah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
Konsep sadd adz-dzariah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau
tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh
nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang
jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat
dari nash yang jelas atau ijma. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd
adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi
dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam
keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi
dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzariah) bagi wanita
untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang
lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd
adz-dzariah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak
kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di

kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat
pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat
mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzariah dalam menetapkan berbagai
hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd
adz-dzariah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada
prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua
perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa
berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan
syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang
mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah
yang akurat, maka sadd adz-dzariah adalah sebuah metode hukum yang perlu
dilakukan.
Dengan sadd adz-dzariah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu
yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri.
Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa
pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim
li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun
perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih)
tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan
dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali
kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzariah, Elliwarti Maliki,
seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo,
menganggap bahwa sadd adz-dzariah merupakan metode istinbath hukum
yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di
kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan
ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam

mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adzdzariah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan
pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di
masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur
dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi
sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzariah-nya, namun
orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd
adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbathnya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi
kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzariah menimbulkan sikap
defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.

D. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARIAH


1. Alquran
wur (#q7n@ %!$# tbqt `B br !$# (#q7us
!$# #Jrt t/ 5O= 3 y79xx. $Yy e@39 >pB&
Ogn=uHx NO 4n<) Nkh5u Og_D Ogm7t^s
$yJ/ (#qR%x. tbq=yJt

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki
Allah
dengan
melampaui
batas
tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. alAnam: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan


agama lain adalah adz-dzariah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas

mencaci

Tuhan

yang

diyakini

oleh

orang

sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci


maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzariah).
ygrt %!$# (#qYtB#u w (#q9q)s? $uZu (#q9q$
%ur $tRR$# (#qyJ$#ur 3 x6=9ur >#xt
O9r&

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan


(kepada Muhammad): Raaina, tetapi katakanlah:
Unzhurna, dan Dengarlah. Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami


adanya

suatu

bentuk

pelarangan

terhadap

sesuatu

perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak


negatif yang akan terjadi. Kata raa ina ( )berarti:
Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para
sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang
Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina

Rasulullah

SAW.

Mereka

menggunakannya

dengan maksud kata raainan ( )sebagai bentuk isim fail


dari masdar kata ruunah ( )yang berarti bodoh atau
tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat
Nabi SAW mengganti kata raaina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama
dengan raaina. Dari latar belakang dan pemahaman

demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari


sadd adz-dzariah.[23]

2. Sunah







Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya. Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut
tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai
dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.[25]

3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzariah adalah:

.










Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).[26]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini

juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur


mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan,
maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan
kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu
perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan
Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-Mqin: Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.[27]

E. MACAM-MACAM ADZ-DZARIAH
Dilihat

dari

aspek

akibat

yang

timbulkan,

Ibnu

al-Qayyim

mengklasifikasikan adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu:[28]


1.

Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan


kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras
yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.

2.

Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan


(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk
terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan
yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil).

Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan
(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya
daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci
maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan
yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asySyatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.

3.

Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,


seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]

F. PERBEDAAN ADZ-DZARIAH DENGAN MUQADDIMAH


Wahbah

az-Zuhaili

membedakan

antara

adz-dzariah

dengan

muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana


tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah
laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, adz-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia
sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang
menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri
sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan
suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum
tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan
sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji.
Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.

G. FATHU ADZ-DZARIAH
Kebalikan dari sadd adz-dzariah adalah fath adz-dzariah. Hal ini
karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzariah. Dalam mazhab Maliki
dan Hambali, adz-dzariah memang ada yang dilarang dan ada yang
dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab
Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adzdzariah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-

dzariah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau


perintah itu disebut fath adz-dzariah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzariah adalah
menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan
(istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.
Contoh dari fath adz-dzariah adalah bahwa jika mengerjakan shalat
Jumat adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan
meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah
sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana
untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan
menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun adzdzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi
tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat
keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang
banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-dzariah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzariah. Sementara sadd adzdzariah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath
hukm. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama
Syafiiyyah, masalah sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah masuk dalam
bab penerapan kaidah:

Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu,
maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]

Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah


(pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini
pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama
terhadap kedudukan sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Apa yang
dimaksudkan adz-dzariah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi
ulama Syafii adalah sekedar muqaddimah.

H. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH


Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena
ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang
dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu
harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang

diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan


beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian
hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke
kas negara oleh pihak KPK.

I.

PENUTUP
Sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum
dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa
digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar alMarifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1998).

______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).


Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh,
(Beirut: Dar al-Marifah, tt).

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt).


Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt).
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih al-Mukhtashar,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab,


(Beirut: Dar Shadir, tt).
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami,
(Bandung: PT. Al-Maarif, 1986).
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

B. Program Komputer (Kitab Digital)


al-Marji al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt)
al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab,


(Beirut: Dar Shadir, tt), juz 3, hal. 207.
[1]

[2]

Ibid., juz 8, hal. 93.

Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (alMurtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam
Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[3]

[4]

Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit.

Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan
al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[5]

Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul,


dalam Kitab Digital al-Marji al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li
Kumbiutar, tt).
[6]

[7]

Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit

[8] Al-Qarafi,

Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, loc. cit.

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[9]

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[10]

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam:


Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986), hal. 347.
[11]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.
[12]

Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital
al-Marji al-Akbar., op. cit.
[13]

[14] Abd

al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab,


(Beirut: Dar al-Marifah, 1997), juz 1, hal. 465.
Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen,
Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[15]

Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr,


1986), hal. 892-893.
[16]

[17]

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, loc. cit.

[18]

Ibid. hal. 889, 893, dan 899.

Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul alIhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[19]

Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[20]

Lihat, Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Marah Perspektif Perempuan dalam


http://www.fatayat.or.id.
[21]

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi arRazi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[22]

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
[23]

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih


al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
[24]

[25]

Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[26]

[27]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit.

[28]

Ibid., hal. 104.

Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah., op. cit.; asy-Syathibi, al-Muwafat., op. cit., juz 2, hal. 390.
[29]

[30]

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 875.

[31] Al-Qarafi,

Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim alJauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit
[32]

Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., ibid.

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith,


(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358.
[33]

Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880.
Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri.
[34]

Quranic Studies

Home

About

Site Map

Al-Dzarah: Memahami Konsep Sadd al-Dzarah


dan Fath al-Dzarah
Muhsin Hariyanto Fikih, Fikih Kontemporer, Ushul Fiqh-FAI-UMY 29
September 2011

Al-Dzarah:
Memahami Konsep Sadd al-Dzarah dan Fath al-Dzarah
Abstrak
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarah, baik
dalam pengertian Fath al-Dzarah maupun Sadd al-Dzarah, diharapkan
tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat
akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan
penalaran hukum al-Dzarah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi
terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
al-dzariah dan fath al-dzariah. Metode sadd al-dzariah merupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam
yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.

Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd al-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. Pengertian Sad al-Dzarah
1. Secara Etimologis
Kata sadd al-dzarah ( ) merupakan bentuk frase (idhfah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan al-dzarah (). Secara etimologis, kata assadd ( )merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1]
Sedangkan al-dzarah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (waslah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak dari
al-dzariah ( )adalah adz-dzari ().[4] Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqh al-Fushl f Ulm al-Ushl karya al-Qarafi,[5]
istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzari.[6]
Pada awalnya, kata al-dzarah digunakan untuk onta yang digunakan orang Arab
dalam berburu. Si onta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati
binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping onta agar
tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika onta sudah dekat dengan binatang
yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut
Ibn al-Arabi, kata al-dzarah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap
segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologis
Menurut al-Qarafi, sadd al-dzarah bermakna memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut al-

Syaukani, al-dzarah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhr).[9]
Dalam karyanya al-Muwfaqt, al-Syathibi menyatakan bahwa sadd al-dzarah
adalah menolak sesuatu yang boleh (jiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamn).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd aldzarah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti alSyathibi dan al-Syaukani mempersempit al-dzarah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan aldzarah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya aldzarah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzarah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut pada halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzarah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
C. Kedudukan Sadd al-Dzarah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd aldzarah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbth
al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd aldzarah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam

karyanya Anwr al-Burq fi Anw al-Furq. Begitu pula Imam al-Syathibi (w.
790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwfaqt.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd al-dzarah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (al-dzarah) kepada tindakan mencegah untuk
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzarah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd al-dzarah oleh mazhab Hanafi adalah tentang
wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang
untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang
mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam
keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd aldzarah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan
perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini
terhadap metode sadd al-dzarah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka
atau kredit (buy al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya
sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp.
150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya
sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia
pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil
itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena
terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli
tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara
tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak
bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun
mereka menolak menggunakan sadd al-dzarah dalam pelarangan tersebut.
Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum
jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual

kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut


karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang
dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah
(fsid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.[17]
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal.
Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya,
adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah
bagaimana lafal (al-lafzh) dalam akad (al-aqd), bukan niat dan maksud si penjual
yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarah adalah semata-mata produk akal
dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zhahiri, bahkan
menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd al-dzariah dalam
kitabnya al-Ahkm f Ushl al-Ihkm. Ia menempatkan sub pembahasan tentang
penolakannya terhadap sadd al-dzarah dalam pembahasan tentang al-ihtiyth
(kehati-hatian dalam beragama). Sadd al-dzarah lebih merupakan anjuran untuk
bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir
pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd al-dzarah tidak bisa berfungsi untuk
menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya
bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas
diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash
lain yang jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang
kuat dari nash yang jelas atau ijm. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzarah
adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras
hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan
itu akan bisa menjadi jalan (al-dzarah) bagi wanita untuk sekadar mendapatkan
warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu
Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas

halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan


adalah sesuatu yang halal.[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-dzarah,
namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat
mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus,
yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak
menggunakan sadd al-dzarah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd al-dzarah,
hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang
kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus
diputuskan berdasarkan zhhir (fenomena) al-nash (teks) dan zhahir (fenomena)
al-fil (perbuatan). Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada makna
tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justeru bisa
mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashlahah.
Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati
penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd al-dzarah adalah sebuah metode
hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd al-dzarah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelasjelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab al-Zhahiri. Namun agar tidak
disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
al-dzarah adalah karena faktor eksternal (tahrm li ghairih). Secara substansial,
perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap
dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu
menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut
sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd al-dzarah, Elliwarti Maliki, seorang doktor
wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd
al-dzarah merupakan metode istinbth (penalaran) hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam.
Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat
sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk
fikih dengan berdasarkan sadd al-dzarah cenderung menjadi bias gender. Sadd
al-dzarah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk
berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi
mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[21]

Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya
yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzarah-nya, namun orang yang
menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzarah tentu
masih bisa dikaji kembali bagaimana thuruq al-istinbth (prosedur-prosedur
penalaran)-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali.
Sedangkan tudingan bahwa sadd al-dzarah menimbulkan sikap defensif, tentu
perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
D. Dasar Hukum Sadd al-Dzarah
1. Al-Quran


Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. alAnm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah aldzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini
oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu
terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd al-dzariah).


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
Rin, tetapi katakanlah: Unzhurn, dan Dengarlah. Dan bagi orangorang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata r in ( )berarti: Sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini

terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek
dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata r
in ( )sebagai bentuk isim fil dari masdar kata runah ( )yang berarti
bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW
mengganti kata rin yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurn yang juga
berarti sama dengan rin. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat
ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarah.[23]
2. As-Sunnah



Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd al-dzarah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih
dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan
hukum dalam konteks sadd al-dzariah.[25]
3. Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarah
adalah:


Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(mashlahah).[26]
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini.
Karena itulah, sadd al-dzarah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd al-dzarah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.

4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Alm al-Mwqin:
Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.[27]
E. Macam-macam al-Dzarah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan aldzarah menjadi empat macam, yaitu:[28]
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti
menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya
mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk
dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul
keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau
dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai
perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya
menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang
perempuan boleh dikawini (at-tahll). Contoh lain adalah
melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan
muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan
(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi
meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada
kebaikan (mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci
maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan
mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syathibi


membagi al-dzarah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun
bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang
diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada
kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan
tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki
berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras
bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci
maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui
bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa
menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena
khawatir ada unsur riba.[29]

F. Perbedaan al-Dzarah dengan Muqaddimah


Wahbah al-Zuhaili membedakan antara al-dzarah dengan muqaddimah. Beliau
mengilustrasikan bahwa al-dzarah adalah laksana tangga yang menghubungkan
ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari
tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, al-dzarah dititikberatkan kepada bahwa ia sekadar sarana dan
jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia
bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan
muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum
yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah
merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan
yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan
kewajiban.
G. Fath al-Dzarah
Kebalikan dari sadd al-dzarah adalah fath al-dzarah. Hal ini karena titik tolak
yang digunakan adalah al-dzarah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, al-

dzarah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini
diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzarah
adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzarah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath aldzarah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzarah adalah menetapkan
hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik
dalam bentuk membolehkan (ibhah), menganjurkan (istihb), maupun
mewajibkan (jb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath al-dzarah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jumat adalah
wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan
perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang
diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha
menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan
yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarah
(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya.
Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan
perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath al-dzarah tidak mendapat porsi yang banyak di
kalangan ahli Ushl al-Fiqh (Usul Fikih). Hal itu karena fath al-dzarah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzarah. Sementara sadd al-dzarah
sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbth hukm
(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan
ulama Syafiiyyah, masalah sadd al-dzarah dan fath al-dzarah masuk dalam
bab penerapan kaedah:



Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka
hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari
suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah
satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd

al-dzarah dan fath al-dzarah. Apa yang dimaksudkan al-dzarah oleh ulama
Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafii adalah sekadar muqaddimah.
H. Cara Menentukan al-Dzarah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa
menjadi sarana (al-dzarah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka
secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk
melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan
berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.
Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang
hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah
karena sekadar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu
harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan
tujuan pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina
keluarga yang langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada
motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali
terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau
mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah
pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa
yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat
hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap
pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu
harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.

I. Penutup
Sadd al-dzarah dan fath al-dzarah adalah suatu perangkat (metode penalaran)
hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar
bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.
Daftar Pustaka
A. Buku

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubb fi Syarh al-Kitb,


Beirut: Dar al-Marifah, 1997.
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkm fi Ushl al-Ihkm,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
______, al-Mahalli bi al-tsr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1996.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwfaqt f
Ushl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Marifah, tt.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybh wa al-Nazhir, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt.
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jmi ash-Shahh alMukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisn al-Arab,
Beirut: Dar Shadir, tt.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, Bandung: PT. Al-Maarif, 1986.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1997.
Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
B. Program Komputer (Kitab Digital)
Al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
Al-Maktabah al-Symilah, versi 2.09.

(Dikutip dan diselaraskan dari makalah yang dimuat dalam


http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/)

[1]

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisn


al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), juz III, hal. 207.
[2]

Ibid., juz VIII, hal. 93.

[3]

Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini (alMurtadha al-Zabidi), Tj al-Ars f Jawhir al-Qms, juz I, hal. 5219 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.
[4]

Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, hal. 93.

[5]

Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan alQurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[6]

Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, dalam
al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
[7]

Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, hal. 93.

[8]

Al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, loc. cit.

[9]

Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[10]

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), alMuwfaqat f Ushl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[11]

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam:


Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986), hal. 347.
[12]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, 1996), juz II, hal. 103.
[13]

Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, juz VII, hal. 249 dalam al-Marja alAkbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.

[14]

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubb fi Syarh al-Kitb,


(Beirut: Dar al-Marifah, 1997), juz I, hal. 465.
[15]

Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[16]

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, (Damaskus: Dar al-Fikr,


1986), hal. 892-893.
[17]

Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, hal. 892-893.

[18]

Ibid. hal. 889, 893, dan 899.

[19]

Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Ahkm f Ushl alIhkm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz VI, hal. 179-189.
[20]

Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Mahalli bi al-tsr, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hal. 378.
[21]

Lihat, Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Marah Perspektif Perempuan dalam


http://www.fatayat.or.id.
[22]

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi alRazi, Maftih al-Ghaib (Tafsr al-Rziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah alSymilah, versi 2.09.
[23]

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm
al-Qurn, juz II, hal. 56 dalam ibid.
[24]

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jufi, al-Jmi ash-Shahh


al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz V, hal. 2228.
[25]

Al-Syathibi, al-Muwfaqt, juz II, hal. 360.

[26]

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybh wa an-Nazhir, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[27]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 103.

[28]

Ibid., hal. 104.

[29]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq, juz VI, hal. 319 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqt., juz II, hal. 390.
[30]

Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy., op. cit., hal. 875.

[31]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., juz III, hal. 46; dan Ibn alQayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 104.
[32]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., hal. 46..

[33]

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, (Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz VII, hal. 358.
[34]

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy., hal. 879-880. (Contoh


kasus pada poin kedua dari penulis sendiri).

Makalah tentang Saddu Al-dzariah


Diposting oleh abdurrahman pada 18:33, 30-Mar-13
Di: makalah ushul fiqh
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-dzariah merupakan larangan yang wajib kita tinggalkan karena


menyumbat jalan yang menuju kerusakan. Oleh sebab itu, apabila ada
perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, hendaklah
dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan.
Kalau perbuatan itu dipastikan kebiasaan yang sangat kecil, maka
kebiasaan kecil akan mendatangkan yang lebih besar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan Saddu Al-dzariah
2) Apa saja objek Saddu Al-dzariah
3) Bagaimana kehujjahan Saddu Al-dzariah dalam hukum islam
4) Apa saja contoh Saddu Al-dzariah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saddu Al-Dzariah

Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzaraI kata jama dari dzariah
berarti jalan. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah
menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan(1).
Yang dimaksud dengan saddu al-dzariah ialah

Artinya mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau


menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.
Maksudnya ialah menyumbat segala sesuatu yang akam menjadi jalan
menuju kerusakan.
Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan
terjadinya

kerusakan,

maka

hendaklah

perbuatan

yang

baik

itu

dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan(2).


Kata

jamak dari kata

artinya jalan. Saddu ak-

dzariah berarti menutup jalan. Menurut istilah Ulama Ushul Fiqih bahwa
yang dimaksud dengan dzuriah ialah

Artinya masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan
untuk melakukan perbuatan yang dilating(3).

1.

Lihat Drs. Moh RifaI, Ushul Fiqih (Semarang; Wicaksana, 1984) hal : 69

2.

Lihat Ahmad Najieh, Fiqih (Jakarta : Pustaka, 1985) hal : 187

3.

Lihat Drs. Hm. Suparta, Fiqih (Semarang : PT Toha Putra, 2004) hal : 128

B. Objek Saddu Al-Dzariah

Pada dasranya yang menjadi objek dzariah adalah semua perbuatan


ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)

Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti


menggali sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat
orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.

2)

Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual


makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun
akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang
terjadi)

3) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak


diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini,
dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu
dzariah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan
sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali

menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah,


menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4) Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum
mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang
menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat
initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan
yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
haram(4).

C. Kehujjahan Al-Dzariah
Berpegang pada dzariah dan memberinya hokum yang sama dengan
hokum yang dihasilkannya, didasarkan, baik pada Al-Quran maupun AsSunah.
1) Didalam Al-Quran terdapat larangan memaki berhala dengan firman Allah
:

Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakana Raina


tetapi katakanlah perhatikan dan dengarlah. (QS. Al-Baqarah: 104)

4.

Lihat Ahmad Najieh, Fiqih (Jakarta : Pustaka, 1985) hal : 188-189

Larangan tersebut disebabkan oleh Yahudimenggunakan kata-kata raina


itu untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkannya untuk
menutup peluang (saddu dzariah) dari makian mereka terhadap Nabi.
2) Dalam sunah Rasul, banyak sekali hadits Beliau, diantaranya:
a.

Nabi berusaha untuk tidak membunuh orang munafik, pada saat


mereka terus mengumbar fitnah dikalangan kaum muslimin. Hal ini
disebabkan dzariah, yaitu jika mereka dibunuh akan dikatakan bahwa
Nabi Muhammah membunuh sahabatnya.

b.

Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari yang


berhutang kepadanya untuk mencegah terjadinya riba.

c.

Nabi melarang orang yang member sedekah untuk membeli apa yang
disedekahkannya,

karena

dzariahdari

terikatnya

kaum

faqir

mengembalikannya dengan harga yang buruk/murah dari pasaran.


Tentng kehujjahan Saddu Dzariah ada beberapa pendapat:
1)

Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam
yang memakai saddu dzariah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap
bahwa saddu dzariah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal
selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara. Imam Malik di
dalam mempergunakan saddu dzariah sama dengan mempergunakan masalih
mursalah dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah
seorang ulama ulung dibidang ushul dari mazhab Maliki.

2)

Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan saddu dzariah merupakan


satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di dalam
saddu dzariah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).

3)

Ulama Hanafiyyah, syafiiyah, dan syiah menerima saddu dzariah sebagai dalil
dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam

Asy-Syafii, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan


musafir, untuk meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat
Zhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan diam-diam
mengerjakan shalat Zhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan
shalat Jumat. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang tidak berpuasa
karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang tidak mengetahui
udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain adalah, Imam Asy-SyafiI
mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak berhakmendapatkan harta
warisan dari yang ia bunuh, karena apabila ia diberi warisan, maka anak akan
berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan.
4) Imam Al-Qarafi mengatakan:

Artinya: sesungguhnya dzariah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya.


Karena dzariah dimakruhkan, disunahkan, dan dimudahkan. Dzariah adalah
wasilah, sebagaimana dzariah yang haram diharamkan dan wasilah kepada

yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat Jumat dan berjalan
menunaikan ibadah haji(5).
Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzariah ini merupakandasar
dalam fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha. Tetapi mereka hanya
berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzariah, sedang
Imam SyafiI dan Imam Abu Hanifah tidak seperti merekawalaupun mereka
tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai
dalil yang berdiri sendiri. Menurut Imam SyafiI dan Imam Abu Hanifah,
dzariah ini termasuk kedalam dasar yang sudah mereka tetapkan, yaitu qiyas
menurut Imam SyafiI dan istihsan menurut Imam Hanafi.
Berpegang kepada dzariah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang
yang tenggelam didalamnya bias saja melarang perbuatan yang sebenarnya
mubah, mundub bahkan wajib, karena khawatir terjerumus dalam jurang
kedzaliman. Oleh karena itu,

5.

Lihat Ahmad Najieh, Fiqih (Jakarta: Pustaka 1985) hal: 188

Ibnu Arabi di dalam kitabnya Ahkamul Quran mengaitkan keharaman karena


dzariah, maka tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas dan
bukan pula dengan dzariah. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan
perwalian harta anak yatim karena takut dikhawatirkan walinya bertindak
dzalim.

Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua dasar:


a.

Dzariahitu dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang


disebutkan nash. Namun dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang
disebutkan nash. Wajib menutup dzariah pada yang membawa kerusakan
disebabkan kerusakan itu diketahui nash. Sebaliknya, wajib membuka dzariah
pada yang membawa kebolehan disebabkan kemaslahatan itu diketahui nash. Hal
ini karena masalah atau mafsadah yang diketahui dengan nash adalah diyakini,
maka dzariah disini ditujukan untuk tunduk kepada nash.

b.

Segala urusan yang berhubungan dengan amanat menurut hukum syariatnya


tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang
diakibatkan oleh menutup dzariah lebih banyak dari pada bahaya yang bisa
dihindarkan dengan meninggalkan dzariah itu. Sekiranya ditinggalkan perwalian
terhadap anak yatim karena menutup dzariah, akan berakibat tersia-sianya urusan
anak yatim. Jika kesaksian ditolak karena menutupi dzariah mengakibatkan
terjadinya kedustaan saksi, sehingga banyak hak yang akan tersia-sia.
Dengan demikian, maka mukallaf wajib benar-benar mengetahui akan
bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan dzariah. Mereka pun harus
menarjihkan di antara keduanya, kenudian harus mengambil mana yang rajih
(unggul)

D. Contoh Saddu Al-Dzariah

Melarang perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum


seteguk minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat
perempuan itu dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan.
Larangan

semacam

ini

untuk

menutup

jalan

muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.

agar

jangan

sampai

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1)

Saddu Al-Dzariah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan


kerusakan.

2) Objek Al-Dzariah ditinjau dari segi akibatnya dibagi menjadi empat yaitu:
a.

Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya

b. Perbuatan yang jarang menimbulkan kerusakan/bahaya


c.

Perbuatan yang berdasarkan dugaan yang kuat akan menimbulkan


bahaya

d.

Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum


kuat timbul kerusakan itu

3)

Kehujjahan Saddu Al-Dzariah dalam hukum Islam yaitu dilarang memaki


berhala, karena makian tersebut untuk memaki Nabi.

4) Contoh Al-Dzariah:
e.

Permainan judi

f.

Minum minuman keras

g.

Melihat aurat orang lain

h.

Anggur dibuat minuman khamar

B. SARAN-SARAN
1) Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat
meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan
2)

Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada
diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan

MAKALAH
SADDU DZARIAH
Oleh :
FAIDAH QURANIYAH
(2012791102039)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KHOZINY
BUDURAN - SIDOARJO
2013 - 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul SADDU
DZARIAH.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Seluruh teman-teman yang telah banyak membantu
dalam penulisan, dan kami khususkan kepada Bapak Dosen Pembimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini.Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Sidoarjo, 1 September
2013

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama
lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang

kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan


diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan saddu dzariah?
2. Apa dasar hukum saddu dzariah?
3. Apa saja macam - macam saddu dzariah?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang saddu dzariah?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini adalah:
1. Dapat mengetahui apa itu saddu dzariah
2. Dapat mengetahui dasar hukum saddu dzariah
3. Dapat mengetahui macam macam saddu dzariah
4. Dapat mengetahui pandangan ulama tentang saddu dzariah

D. Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penulisan yaitu mendiskripsikan masalah, maka dalam


makalah ini penulis menggunakan metode study teks (studi keperpustakaan) yang
merupakan kegiatan penelusuran dan menelaah literatur, yang melacak informasi
dari buku, majalah, koran, intenet yang sangat diperlukan sebagai survei terhadap
data yang sudah ada.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian saddu dzariah


1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzariah ( ) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan adz-dzariah (). Secara etimologis,
kata as-sadd ( )merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata
as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun
lobang. Sedangkan adz-dzariah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk
jamak dari adz-dzariah ( )adalah adz-dzarai (). Karena itulah, dalam
beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya alQarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarai.
Pada

awalnya,

kata

adz-adzariah

dipergunakan

untuk

unta

yang

dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu
agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung
di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah
dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya.
Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi, kata adz-dzariah kemudian digunakan
sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang
lain.
2. Secara Terminologi


sesuatu yang menjadikan lantaran kepada yang lain yang dilarang karena
mengandung kerusakan.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asySyaukani, adz-dzariah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya
dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (almahzhur).
, ,, .
perantara yang dengan kenyataannya halal tetapi kadang-kadang mengarah pada
keharaman, maka hal itu dilarang.
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adzdzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan
kepada sesuatu yang dilarang (mamnu). Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan atau menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim alJauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang
maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-

dzariah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adzdzariah yang pada awalnya memang dilarang.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzariah
adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan
lain yang dilarang.

B. Dasar hukum saddu dzariah


1. Al quran

wur (#q7n@ %!$# tbqt `B br !$#


(#q7us !$# #Jrt t/ 5O= 3
y79xx. $Yy e@39 >pB& Ogn=uHx NO
4n<) Nkh5u Og_D Ogm7t^s $yJ/
(#qR%x. tbq=yJt
Artinya Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al
anam: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah
adz-dzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang,
yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense,
orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang
diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci
maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan
tindakan preventif (sadd adz-dzariah).

ygr't

%!$#

(#qYtB#u

(#q9q)s?$

$uZu (#q9q%ur $tRR$# (#qyJ$#ur 3


x6=9ur >#xt O9r&
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada

Muhammad):

"Raa'ina",

tetapi

Katakanlah:

"Unzhurna",

dan

"dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al


baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap
dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ina ( )berarti: Sudilah kiranya
kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata
raainan ( )sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ruunah ( )yang
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raaina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna
yang juga berarti sama dengan raaina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzariah.
2. As sunnah
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima
hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.

Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan


waris kepada wanita yang dicerai bain, jika suami mencerainya dalam keadaan
sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan
warisan.






Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.
Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang
lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu
tua lelaki tersebut.
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli
fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk
penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.
3. Kaidah fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adzdzariah adalah:
.

Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan


(maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena
itulah, sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya
ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-Mqin: Ketika
Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala
jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala
jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan
yang telah ditetapkan.
C. Macam macam saddu dzariah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan
adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu:
1)

Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan


(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa
mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal
usul keturunan.

2) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab),


namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan
(mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang
perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli
dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan
terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik.
4)

Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa


menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang
dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi
membagi adz-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:

1) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.

3)

Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti


memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba.

D. Pandangan ulama tentang saddu dzariah


Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzariah ini merupakan dasar dalam
fiqih islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha, tetapi mereka hanya berbeda
dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.ah,
sedangkan Imam SyafiI dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka
berdua terakhir tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya
sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut SyafiI dan Abu Hanifah, dzariah ini
masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut
Hanafi.
Berpegang pada dzariah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Quran
mengaitkan keharaman karena dzari;ah itu apabila yang diharamkan karena saddu
dzariah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzariah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta
anak yatim karena takut dzalimnya wali.

Dengan demikian, maka mukallaf wajib mengetahui benar didalam menggunakan


dzariah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya.
Merekapun harus mentarjihkan diantara keduanya kemudian harus mengambil
mana yang rajih (unggul).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

Saddul Adz Dzariah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

2.

Macam-macam Saddul Adz Dzariah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-harinya.

3.

Dasar hukum Saddul Adz Dzariah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah,
kaidah fiqh, sampai logika.

4.

Pandangan para Ulama terhadap mengenai Saddul Adz Dzariah berbeda-beda.


Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.ah, sedangkan
Imam SyafiI dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya
sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut SyafiI dan Abu Hanifah, dzariah ini
masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut
Hanafi.

5.

Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh
kasus Saddul Adz Dzariah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.

B. Saran saran
1. Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat
meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan.
2. Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada
diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
2. Ibid., juz8, hal 93.
3. Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam kitab
digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat).
4. 42 , , , ,
5. 58 , ,
6.

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.

7.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.

8. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
9. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam alQuran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
10. Al-Khudhri, Tarikh at-Tasyri al-Islami, hlm 118.
11. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih alMukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
12. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.

13. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
14. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 166.
. Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), juz 3, hal 207.
. Ibid., juz8, hal 93.
. Syihab ad-din abu al Abbas al Qarafi, tanqih al fushul fi ilm al ushul,dalam
kitab digital al marji alakbar li at turats al islami, (syirkah al aris al kumbiurat)
. 42 , , , ,
. 58 , ,
. Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi),

alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.
. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
. Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
. Al-Khudhri, Tarikh at-Tasyri al-Islami, hlm 118.
. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah

al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih alMukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
. Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 166.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,

baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
sadd adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah merupakan upaya preventif agar
tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang
sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain
Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
Wahbah

az-Zuhaili

membedakan

antara

adz-dzariah

dengan

muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga


yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi
yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan demikian, adz-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar
sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi
tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri.
Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu
perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu.

Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak


terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan sesuatu
perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji
sendiri merupakan kewajiban.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Saddul Dzariah?
2. Apa dasar hukum Saddul Dzariah?
3. Apa saja macam Saddul Dzariah?
4. Bagaimana pandangan para ulama tentang saddul Dzariah?
5. Bagaimana contoh penerapan Saddul Dzariah dalam kehidupan sehari-hari?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saddu al-Dzariah
Secara lughawi (bahasa),


setiap sesuatu yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu lainnya.[1]


jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau manawi, baik atau
buruk.[2]
Secara isthilah


sesuatu yang menjadikan lantaran kepada yang lain yang dilarang karena
mengandung kerusakan.[3]

, ,,
.
perantara yang dengan kenyataannya halal tetapi kadang-kadang mengarah pada
keharaman, maka hal itu dilarang.[4]
Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata
dzariah itu didahului dengan saddu yang artinya menutup maksudnya
adalah menutup jalan terjadinya kerusakan.
B. Macam-Macam Saddul Dzariat
Ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.

Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti


memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba
Dilihat

dari

aspek

akibat

yang

timbulkan,

mengklasifikasikan adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu:

Ibnu

al-Qayyim

1.

Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan


(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa
mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal
usul keturunan.

2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab),


namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan
(mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang
perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli
dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan
terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik.
4.

Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa


menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang
dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.

C. Dasar-dasar Saddu al-Dzariah


a. Al-Quran.


(108 : )

Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.

: )
(104

Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakana (kepada


Muhammad) raaina tetapi katakanlah undzurna dan dengarlah. Dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
b. As-Sunnah.
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah
terjadinya keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang
menerima hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan
waris kepada wanita yang dicerai bain, jika suami mencerainya dalam keadaan
sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan
warisan.[5]
c.

Kaidah Fikih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzariah
adalah:
.
.d
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).\
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan
di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah,
sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami,
karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
e.

Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-Mqin: Ketika
Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala
jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala

jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan
yang telah ditetapkan.

D. Pandangan para Ulama


Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzariah ini merupakan dasar
dalam fiqih islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha, tetapi mereka hanya
berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.ah,
sedangkan Imam SyafiI dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka
berdua terakhir tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya
sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut SyafiI dan Abu Hanifah, dzariah ini
masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut
Hanafi.[6]
Berpegang pada dzariah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Quran
mengaitkan keharaman karena dzari;ah itu apabila yang diharamkan karena saddu
dzariah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzariah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta
anak yatim karena takut dzalimnya wali.
Dengan demikian, maka mukallaf wajib mengetahui benar didalam
menggunakan dzariah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya
meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan diantara keduanya kemudian
harus mengambil mana yang rajih (unggul).
E. Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1)

Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka


hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama.

Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.

2)

Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.
Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk
membuat khamr.

3) Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada
tingkat tinggi. Ulama berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang
haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
keharamannya.
Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4)

Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini
hukumnya diperbolehkan.
Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.[7]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.

Saddul Adz Dzariah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

2.

Macam-macam Saddul Adz Dzariah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-harinya.

3.

dasar hukum Saddul Adz Dzariah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah,
kaidah fiqh, sampai logika.

4.

Pandangan para Ulama terhadap mengenai Saddul Adz Dzariah berbeda-beda.


Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.ah, sedangkan
Imam SyafiI dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzariah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya
sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut SyafiI dan Abu Hanifah, dzariah ini
masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut
Hanafi.

5.

Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh
kasus Saddul Adz Dzariah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.

Daftar Pustaka

, , .
, , .
, .
, .
, , , ,.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.


Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syariah. Jakarta: Robbani Press
[1] 566 , , ,
[2] Amir syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana , 2008), 398.
[3] 42 , , , ,
[4] 58 , ,
[5] Al-Khudhri, Tarikh at-Tasyri al-Islami, hlm 118.
[6] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
[7] Ibid., 59-60.

166.

Sadd az-Dzariah dan Fath adz-Dzariah


A. PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai
teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut
berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin
kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak
dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama
adalah sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Metode sadd adz-dzariah
merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan
dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan
khazanah intelektual Islam yang sepanjang pengetahuan penulistidak
dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki
sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang
sedemikian banyak.

Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang


sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti
bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena
memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan
yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut.
Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzariah.
Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi
sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adzdzariah.

B. PENGERTIAN SADDU DZARIAH


1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzariah ( ) merupakan bentuk frase
(idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan adz-dzariah (
). Secara etimologis, kata as-sadd ( )merupakan kata benda
abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd tersebut berarti menutup
sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1] Sedangkan adzdzariah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak
dari adz-dzariah ( )adalah adz-dzarai ().[4] Karena itulah,
dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul
karya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzarai.[6]
Pada awalnya, kata adz-adzariah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang
pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang

pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang
diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang
pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi,
kata adz-dzariah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzariah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan
(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan
ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzariah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd
adz-dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu).[10] Menurut
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan
atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11]
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan
Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzariah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping
itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzariah yang pada

awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim


tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adzdzariah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

C. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARIAH


Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd
adz-dzariah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum
(istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya,
sadd adz-dzariah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima
sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para
ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam
berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan
lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini
dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq. Begitu pula Imam asySyathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya alMuwafaqat.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode


dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzariah sebagai metode
istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang
lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika
beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau
sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzariah) kepada tindakan
mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah
kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal
air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzariah oleh mazhab Hanafi
adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si
wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar,
dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki.
Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu
merupakan sadd adz-dzariah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan,
yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan
kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzariah adalah transaksi-transaksi
jual beli berjangka atau kredit (buyu al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3
tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai
transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena
keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak
showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga
Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali
dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya,
transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp.

150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan
seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.
Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzariah dalam pelarangan
tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki
barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi
kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
[17]
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,
misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan
adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang
tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir allafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adzdzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri,
bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adzdzariah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub

pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzariah dalam


pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adzdzariah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
Konsep sadd adz-dzariah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau
tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh
nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang
jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat
dari nash yang jelas atau ijma. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd
adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi
dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam
keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi
dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzariah) bagi wanita
untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang
lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd
adz-dzariah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak
kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di
kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat
pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat
mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzariah dalam menetapkan berbagai
hukum tertentu.

Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd


adz-dzariah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada
prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua
perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa
berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan
syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang
mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah
yang akurat, maka sadd adz-dzariah adalah sebuah metode hukum yang perlu
dilakukan.
Dengan sadd adz-dzariah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu
yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri.
Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa
pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim
li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun
perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih)
tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan
dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali
kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzariah, Elliwarti Maliki,
seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo,
menganggap bahwa sadd adz-dzariah merupakan metode istinbath hukum
yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di
kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan
ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam
mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adzdzariah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan
pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di
masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur
dengan lelaki yang bukan mahram.[21]

Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi


sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzariah-nya, namun
orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd
adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbathnya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi
kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzariah menimbulkan sikap
defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.

D. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARIAH


1. Alquran
wur (#q7n@ %!$# tbqt `B br !$# (#q7us
!$# #Jrt t/ 5O= 3 y79xx. $Yy e@39 >pB&
Ogn=uHx NO 4n<) Nkh5u Og_D Ogm7t^s
$yJ/ (#qR%x. tbq=yJt

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki
Allah
dengan
melampaui
batas
tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. alAnam: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan


agama lain adalah adz-dzariah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas

mencaci

Tuhan

yang

diyakini

oleh

orang

sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci

maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama


lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzariah).
ygrt %!$# (#qYtB#u w (#q9q)s? $uZu (#q9q$
%ur $tRR$# (#qyJ$#ur 3 x6=9ur >#xt
O9r&

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan


(kepada Muhammad): Raaina, tetapi katakanlah:
Unzhurna, dan Dengarlah. Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami


adanya

suatu

bentuk

pelarangan

terhadap

sesuatu

perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak


negatif yang akan terjadi. Kata raa ina ( )berarti:
Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para
sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang
Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina

Rasulullah

SAW.

Mereka

menggunakannya

dengan maksud kata raainan ( )sebagai bentuk isim fail


dari masdar kata ruunah ( )yang berarti bodoh atau
tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat
Nabi SAW mengganti kata raaina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama
dengan raaina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari
sadd adz-dzariah.[23]

2. Sunah







Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya. Beliau kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep sadd adz-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut
tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai
dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzariah.[25]

3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzariah adalah:

.










Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).[26]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini
juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzariah terdapat unsur
mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan,
maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan

kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu


perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan
Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-Mqin: Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.[27]

E. MACAM-MACAM ADZ-DZARIAH
Dilihat

dari

aspek

akibat

yang

timbulkan,

Ibnu

al-Qayyim

mengklasifikasikan adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu:[28]


1.

Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan


kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras
yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.

2.

Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan


(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk
terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan
yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil).
Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.

3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja


untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan
(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya

daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci


maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan
yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asySyatibi membagi adz-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3.

Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,


seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]

F. PERBEDAAN ADZ-DZARIAH DENGAN MUQADDIMAH


Wahbah

az-Zuhaili

membedakan

antara

adz-dzariah

dengan

muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana

tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah


laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, adz-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia
sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang
menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri
sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan
suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum
tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan
sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji.
Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.

G. FATHU ADZ-DZARIAH
Kebalikan dari sadd adz-dzariah adalah fath adz-dzariah. Hal ini
karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzariah. Dalam mazhab Maliki
dan Hambali, adz-dzariah memang ada yang dilarang dan ada yang
dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab
Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adzdzariah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adzdzariah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau
perintah itu disebut fath adz-dzariah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzariah adalah
menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan
(istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.

Contoh dari fath adz-dzariah adalah bahwa jika mengerjakan shalat


Jumat adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan
meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah
sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana
untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan
menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun adzdzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi
tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat
keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang
banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-dzariah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzariah. Sementara sadd adzdzariah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath
hukm. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama
Syafiiyyah, masalah sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah masuk dalam
bab penerapan kaidah:




Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu,
maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]

Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah


(pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini
pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama
terhadap kedudukan sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Apa yang
dimaksudkan adz-dzariah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi
ulama Syafii adalah sekedar muqaddimah.

H. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH


Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena
ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang
dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu
harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang
diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan
beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian
hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke
kas negara oleh pihak KPK.

I.

PENUTUP

Sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum


dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa
digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar alMarifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1998).
______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh,
(Beirut: Dar al-Marifah, tt).

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt).


Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt).

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih al-Mukhtashar,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab,


(Beirut: Dar Shadir, tt).
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami,
(Bandung: PT. Al-Maarif, 1986).
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

B. Program Komputer (Kitab Digital)


al-Marji al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt)
al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab,


(Beirut: Dar Shadir, tt), juz 3, hal. 207.
[1]

[2]

Ibid., juz 8, hal. 93.

Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (alMurtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam
Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[3]

[4]

Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit.

Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan
al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[5]

Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul,


dalam Kitab Digital al-Marji al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li
Kumbiutar, tt).
[6]

[7]

Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit

[8] Al-Qarafi,

Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, loc. cit.

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[9]

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), alMuwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[10]

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam:


Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986), hal. 347.
[11]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.
[12]

Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital
al-Marji al-Akbar., op. cit.
[13]

[14] Abd

al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab,


(Beirut: Dar al-Marifah, 1997), juz 1, hal. 465.
Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen,
Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[15]

Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr,


1986), hal. 892-893.
[16]

[17]

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, loc. cit.

[18]

Ibid. hal. 889, 893, dan 899.

Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul alIhkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[19]

Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[20]

Lihat, Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Marah Perspektif Perempuan dalam


http://www.fatayat.or.id.
[21]

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi arRazi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital alMaktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[22]

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam
al-Quran, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
[23]

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih


al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
[24]

[25]

Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[26]

[27]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit.

[28]

Ibid., hal. 104.

Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab
Digital al-Maktabah., op. cit.; asy-Syathibi, al-Muwafat., op. cit., juz 2, hal. 390.
[29]

[30]

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 875.

[31] Al-Qarafi,

Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim alJauziyyah, Alam al-Muqiin, loc. cit
[32]

Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., ibid.

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith,


(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358.
[33]

Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880.
Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri.
[34]

Quranic Studies

Home

About

Site Map

Al-Dzarah: Memahami Konsep Sadd al-Dzarah


dan Fath al-Dzarah
Muhsin Hariyanto Fikih, Fikih Kontemporer, Ushul Fiqh-FAI-UMY 29
September 2011

Al-Dzarah:
Memahami Konsep Sadd al-Dzarah dan Fath al-Dzarah
Abstrak
Tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan/atau
menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani nalar al-Dzarah, baik
dalam pengertian Fath al-Dzarah maupun Sadd al-Dzarah, diharapkan
tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat
akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan
penalaran hukum al-Dzarah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi
terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w..
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
al-dzariah dan fath al-dzariah. Metode sadd al-dzariah merupakan upaya
preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode
hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam
yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan

menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan


diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd al-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. Pengertian Sad al-Dzarah
1. Secara Etimologis
Kata sadd al-dzarah ( ) merupakan bentuk frase (idhfah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd ( ) dan al-dzarah (). Secara etimologis, kata assadd ( )merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari . Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1]
Sedangkan al-dzarah ( )merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (waslah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak dari
al-dzariah ( )adalah adz-dzari ().[4] Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqh al-Fushl f Ulm al-Ushl karya al-Qarafi,[5]
istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzari.[6]
Pada awalnya, kata al-dzarah digunakan untuk onta yang digunakan orang Arab
dalam berburu. Si onta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati
binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping onta agar
tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika onta sudah dekat dengan binatang
yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut
Ibn al-Arabi, kata al-dzarah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap
segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologis
Menurut al-Qarafi, sadd al-dzarah bermakna memotong jalan kerusakan
(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu
perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut alSyaukani, al-dzarah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhr).[9]

Dalam karyanya al-Muwfaqt, al-Syathibi menyatakan bahwa sadd al-dzarah


adalah menolak sesuatu yang boleh (jiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamn).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd aldzarah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
[12]

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti alSyathibi dan al-Syaukani mempersempit al-dzarah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan aldzarah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya aldzarah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzarah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut pada halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzarah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
C. Kedudukan Sadd al-Dzarah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd aldzarah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbth
al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd aldzarah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam
karyanya Anwr al-Burq fi Anw al-Furq. Begitu pula Imam al-Syathibi (w.
790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwfaqt.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam


menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus
Imam Syafii menggunakan sadd al-dzarah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (al-dzarah) kepada tindakan mencegah untuk
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzarah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd al-dzarah oleh mazhab Hanafi adalah tentang
wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang
untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang
mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam
keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd aldzarah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan
perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini
terhadap metode sadd al-dzarah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka
atau kredit (buy al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya
sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp.
150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya
sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia
pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil
itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena
terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli
tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara
tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak
bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun
mereka menolak menggunakan sadd al-dzarah dalam pelarangan tersebut.
Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum
jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual
kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut
karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang
dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah
(fsid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.[17]

Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal.
Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya,
adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah
bagaimana lafal (al-lafzh) dalam akad (al-aqd), bukan niat dan maksud si penjual
yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan
terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam
tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarah adalah semata-mata produk akal
dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zhahiri, bahkan
menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd al-dzariah dalam
kitabnya al-Ahkm f Ushl al-Ihkm. Ia menempatkan sub pembahasan tentang
penolakannya terhadap sadd al-dzarah dalam pembahasan tentang al-ihtiyth
(kehati-hatian dalam beragama). Sadd al-dzarah lebih merupakan anjuran untuk
bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir
pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd al-dzarah tidak bisa berfungsi untuk
menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya
bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas
diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash
lain yang jelas atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang
kuat dari nash yang jelas atau ijm. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan
semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzarah
adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras
hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan
itu akan bisa menjadi jalan (al-dzarah) bagi wanita untuk sekadar mendapatkan
warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu
Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan
adalah sesuatu yang halal.[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-dzarah,
namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat
mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus,
yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak
menggunakan sadd al-dzarah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.

Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd al-dzarah,


hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang
kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus
diputuskan berdasarkan zhhir (fenomena) al-nash (teks) dan zhahir (fenomena)
al-fil (perbuatan). Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada makna
tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justeru bisa
mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashlahah.
Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati
penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd al-dzarah adalah sebuah metode
hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd al-dzarah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelasjelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab al-Zhahiri. Namun agar tidak
disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
al-dzarah adalah karena faktor eksternal (tahrm li ghairih). Secara substansial,
perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap
dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu
menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut
sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd al-dzarah, Elliwarti Maliki, seorang doktor
wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd
al-dzarah merupakan metode istinbth (penalaran) hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam.
Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat
sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk
fikih dengan berdasarkan sadd al-dzarah cenderung menjadi bias gender. Sadd
al-dzarah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk
berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi
mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya
yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzarah-nya, namun orang yang
menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzarah tentu
masih bisa dikaji kembali bagaimana thuruq al-istinbth (prosedur-prosedur
penalaran)-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali.
Sedangkan tudingan bahwa sadd al-dzarah menimbulkan sikap defensif, tentu
perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
D. Dasar Hukum Sadd al-Dzarah
1. Al-Quran

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain


Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. alAnm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah aldzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini
oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu
terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (sadd al-dzariah).


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
Rin, tetapi katakanlah: Unzhurn, dan Dengarlah. Dan bagi orangorang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata r in ( )berarti: Sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini
terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek
dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata r
in ( )sebagai bentuk isim fil dari masdar kata runah ( )yang berarti
bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW
mengganti kata rin yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurn yang juga
berarti sama dengan rin. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat
ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarah.[23]
2. As-Sunnah



Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau
kemudian ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya? Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut.[24]

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd al-dzarah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih
dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan
hukum dalam konteks sadd al-dzariah.[25]
3. Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarah
adalah:


Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(mashlahah).[26]
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini.
Karena itulah, sadd al-dzarah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd al-dzarah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia
juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab Alm al-Mwqin:
Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.[27]
E. Macam-macam al-Dzarah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan aldzarah menjadi empat macam, yaitu:[28]
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan
kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras
yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan
(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk

terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan


yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahll).
Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan
(mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya
daripada kebaikan (mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci
maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih
besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan
yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syathibi
membagi al-dzarah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]
F. Perbedaan al-Dzarah dengan Muqaddimah
Wahbah al-Zuhaili membedakan antara al-dzarah dengan muqaddimah. Beliau
mengilustrasikan bahwa al-dzarah adalah laksana tangga yang menghubungkan
ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari
tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, al-dzarah dititikberatkan kepada bahwa ia sekadar sarana dan
jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia

bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan


muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum
yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah
merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan
yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan
kewajiban.
G. Fath al-Dzarah
Kebalikan dari sadd al-dzarah adalah fath al-dzarah. Hal ini karena titik tolak
yang digunakan adalah al-dzarah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, aldzarah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini
diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzarah
adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzarah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath aldzarah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzarah adalah menetapkan
hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik
dalam bentuk membolehkan (ibhah), menganjurkan (istihb), maupun
mewajibkan (jb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath al-dzarah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jumat adalah
wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan
perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang
diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha
menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan
yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarah
(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya.
Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan
perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath al-dzarah tidak mendapat porsi yang banyak di
kalangan ahli Ushl al-Fiqh (Usul Fikih). Hal itu karena fath al-dzarah hanyalah
hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzarah. Sementara sadd al-dzarah
sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbth hukm
(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan
ulama Syafiiyyah, masalah sadd al-dzarah dan fath al-dzarah masuk dalam
bab penerapan kaedah:


Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka
hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari
suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah
satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd
al-dzarah dan fath al-dzarah. Apa yang dimaksudkan al-dzarah oleh ulama
Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafii adalah sekadar muqaddimah.
H. Cara Menentukan al-Dzarah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa
menjadi sarana (al-dzarah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka
secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekadar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu
harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang
diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan
beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian
hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke
kas negara oleh pihak KPK.
I. Penutup
Sadd al-dzarah dan fath al-dzarah adalah suatu perangkat (metode penalaran)
hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan
rambu-rambu syara (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar
bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan
kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak
menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi
kepentingan kelompok dan pribadinya.

Daftar Pustaka
A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubb fi Syarh al-Kitb,
Beirut: Dar al-Marifah, 1997.
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkm fi Ushl al-Ihkm,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
______, al-Mahalli bi al-tsr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1996.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwfaqt f
Ushl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Marifah, tt.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybh wa al-Nazhir, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt.
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jmi ash-Shahh alMukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisn al-Arab,
Beirut: Dar Shadir, tt.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh
Islami, Bandung: PT. Al-Maarif, 1986.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1997.
Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
B. Program Komputer (Kitab Digital)
Al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
Al-Maktabah al-Symilah, versi 2.09.

(Dikutip dan diselaraskan dari makalah yang dimuat dalam


http://racheedus.wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/)
[1]

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisn al-Arab,


(Beirut: Dar Shadir, tt), juz III, hal. 207.
[2]

Ibid., juz VIII, hal. 93.

[3]

Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Razzaq al-Husaini (alMurtadha al-Zabidi), Tj al-Ars f Jawhir al-Qms, juz I, hal. 5219 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.
[4]

Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, hal. 93.

[5]

Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan alQurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan alQarafi.
[6]

Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, dalam
al-Marja al-Akbar li at-Turts al-Islmiy, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
[7]

Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, hal. 93.

[8]

Al-Qarafi, Tanqh al-Fushl f Ilm al-Ushl, loc. cit.

[9]

Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyd al-Fuhl f Tahqq al-Haqq min Ilm alUshl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[10]

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), alMuwfaqat f Ushl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Marifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257258.
[11]

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam:


Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986), hal. 347.
[12]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, (Beirut: Dar al-Kutub


al-Ilmiyyah, 1996), juz II, hal. 103.
[13]

Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Umm, juz VII, hal. 249 dalam al-Marja alAkbar li at-Turts al-Islmiy, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.
[14]

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubb fi Syarh al-Kitb,


(Beirut: Dar al-Marifah, 1997), juz I, hal. 465.

[15]

Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[16]

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, (Damaskus: Dar al-Fikr,


1986), hal. 892-893.
[17]

Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy, hal. 892-893.

[18]

Ibid. hal. 889, 893, dan 899.

[19]

Lihat, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Ahkm f Ushl alIhkm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz VI, hal. 179-189.
[20]

Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Zhahiri, al-Mahalli bi al-tsr, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hal. 378.
[21]

Lihat, Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Marah Perspektif Perempuan dalam


http://www.fatayat.or.id.
[22]

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi alRazi, Maftih al-Ghaib (Tafsr al-Rziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah alSymilah, versi 2.09.
[23]

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm
al-Qurn, juz II, hal. 56 dalam ibid.
[24]

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jufi, al-Jmi ash-Shahh


al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz V, hal. 2228.
[25]

Al-Syathibi, al-Muwfaqt, juz II, hal. 360.

[26]

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybh wa an-Nazhir, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, tt), hal. 176.
[27]

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 103.

[28]

Ibid., hal. 104.

[29]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq, juz VI, hal. 319 dalam alMaktabah al-Symilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqt., juz II, hal. 390.
[30]

Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy., op. cit., hal. 875.

[31]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., juz III, hal. 46; dan Ibn alQayyim al-Jauziyyah, Alm al-Muwqin, hal. 104.

[32]

Al-Qarafi, Anwr al-Burq fi Anw al-Furq., hal. 46..

[33]

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhth, (Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz VII, hal. 358.
[34]

Lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islmiy., hal. 879-880. (Contoh


kasus pada poin kedua dari penulis sendiri).
Tags:

Anda mungkin juga menyukai