Anda di halaman 1dari 11

HUKUM SEWA MENYEWA TANAH DALAM ISLAM

MISRA
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Darul Da’wa wal Irsyad Polewali Mandar

Abstrak
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, juga
senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah yang sering dilakukan
diantaranya jual beli, pinjam – meminjam, sewa – menyewa, dan lain sebagainya. Dalam
menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang
pada Al-Qur’an dan hadis sebagai dasarnya.

Salah satu bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sewa – menyewa. Sewa –
menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari
hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum,
dasar hukum, rukun, syarat, serta hal-hal yang diperdebatkan oleh ulama tentang sewa – menyewa
agar manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa – menyewa yang sering dilakukan dalam
kehidupannya.
A. PENDAHULUAN

Sewa – menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Al-Ijarah”, menurut pengertian hukum
Islam sewa – menyewa diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian”. Dari pengertian ini terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa – menyewa itu adalah
pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali.
Dengan perkataan lain dengan peristiwa sewa – menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari
benda yang disewakan terasebut dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti rumah,
kendaraan, tanah dan sebagainya. Di dalam istilah Hukum Islam orang yang menyewakan disebut
dengan “mu’ajjir”, sedangkan orang menyewa disebut dengan “musta’jir”, barang yang disewakan
diistilahkan dengan “ma’jur” dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut
disebut dengan “ajaran atau ujroh”. [1]

Sewa – menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, adalah merupakan perjanjian yang bersifat
konsesual, perjanjian ini merupakan kekuatan hukum yaitu pada saat sewa – menyewa berlangsung,
dan apabila akad sudah berlangsung maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk
menyerahkan barang kepada pihak penyewa, dan dengan diserahkannya manfaat barang atau benda
maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya.[2] Adapun dasar hukum
dari sewa menyewa ini dapat dilihat ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-
Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al-Baqarah: 233).[3]

Pengertian lain dari sewa – menyewa, secara etimologis kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti
‘iwadhu (pengganti). Oleh karena itu, tsawab (pahala) disebut juga dengan ajru (upah). Dalam syari’at
Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
kompensasi. Kalau dalam kitab-kitab fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa”
maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami
dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu
dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan
bendanya.[4]

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sewa – menyewa adalah suatu perjanjian atau
kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atas manfaat dari
benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Jika melihat makna ijarah
sebagai pemberian imbalan atas suatu manfaat, maka secara garis besar ijarah itu terdiri atas:

1) Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain seperti rumah, pakaian, dan lain-
lain. Jenis ini mengarah pada sewa – menyewa.

2) Pemberian imbalan akibat suatu pekerjaan yang dilakukan oleh nafs, seperti pelayan. Jenis ini
lebih tertuju pada upah mengupah.

Dan kedua jenis ini menunjukan bahwa perburuhan pun termasuk ke dalam bidang ijarah.[5]

Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda – beda, antara lain sebagai
berikut :
Menurut Hanafiyah sewa – menyewa adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
Menurut Malikiyah sewa – menyewa adalah nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat
manusiawi dan untuk sebagian yang dapat di pindahkan.
Menurut Al-syarbini al-khatib: sewa – menyewa adalah pemilikan manfaat dengan adanya imbalan
dan syarat.
Menurut Syafi’iyah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu
dengan ada imbalannya.[6]

Untuk sahnya sewa – menyewa, pertama kali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan
perjanjian sewa – menyewa tersebut, yaitu apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat
perjanjian pada umumnya. Unsur yang terpenting diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap
bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang
buruk (berakal). Imam Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi yaitu dewasa (balig),
perjanjian sewa – menyewa yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa menurut mereka adalah
tidak sah, walaupun mereka sudah berkemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk.[7]

Sedangkan untuk sahnya perjanjian sewa – menyewa harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa – menyewa, maksudnya kalau didalam
perjanjian sewa – menyewa itu terdapat unsur pemaksaan maka sewa – menyewa itu tidak sah.
Ketentuan ini sejalan dengan surat An-Nisa’ ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara
kamu. Sdan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’: 29).
[8]

Harus jelas dan terang mengenai obyek yang diperjanjikan, obyek yang sewa – menyewa yaitu
barang yang dipersewakan disaksikan sendiri termasuk juga masa sewa (lama waktu sewa –
menyewa berlangsung) dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.
Obyek sewa – menyewa dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya. Maksudnya kegunaan
barang yang barang disewakan itu harus jelas, dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan
peruntukannya (kegunaan) barang tersebut, bila barang itu tidak dapat digunakan sebagaimana yang
diperjanjikan maka perjanjian sewa – menyewa itu dapat dibatalkan.
Obyek sewa menyewa dapat diserahkan, maksudnya barang yang diperjanjikan dalam sewa –
menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan, dan oleh karena itu kendaraan
yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai
obyek perjanjian sewa – menyewa, sebab barang yang demikian tidak dapat mendatangkan
kegunaan bagi pihak penyewa.
Kemanfaatan obyek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama, perjanjian sewa –
menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama adalah tidak
sah dan tidak wajib untuk ditinggalkan, misalnya perjanjian sewa – menyewa rumah, yang mana
rumah itu digunakan untuk kegiatan prostitusi, atau menjual minuman keras serta tempat perjudian,
demikian juga memberikan uang kepada tukang ramal.[9]
Adapun syarat-syarat sewa – menyewa adalah sebagai berikut :

1) Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridha.
2) Barang atau sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat
dinikmati oleh yang menyewa dan kadarnya jelas.
3) Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny: Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar tunai atau
angsuran.
4) Yang menyewakan adalah pemilik barang sewae.
5) Ada kerelaan kedua belah pihak yang menyewakan dan penyewa yang digambarkan apa adanya
ijab Kabul.
6) Yang disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya
7) Manfaat yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’.
8) Berapa lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas.
9) Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang ditentukan berapa besarnya.
10) Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan
ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.[10]

Sedangkan rukun sewa – menyewa yaitu terdiri dari:

Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah baligh, dan berakal sehat.
Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
Berapa lama waktu memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
[11]
Bercocok tanam adalah salah satu lapangan pekerjaan yang halal dan terbukti mendatangkan hasil.
Bahkan hingga saat ini kelangsungan hidup umat manusia terus bergantung kepada hasil pertanian
dan perkebunan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhasil digapai manusia belum
mampu memberikan alternatif lain. Dan mungkin hingga Hari Kiamat kondisi ini akan terus
berlangsung, hasil pertanian menjadi sumber kehidupan umat manusia. Allah Ta’ala telah
mengisyaratkan akan fenomena ini dalam banyak ayat, di antaranya pada ayat berikut:
‫هاَ ْواَل مجباَ ع ع‬ ‫هاَ ْأ ع م‬
‫م‬ ‫م ْوعمل عن مععاَ م‬
‫مك ك م‬ ‫عاَ ْل عك ك م‬
‫معتاَ ع‬
‫هاَ ْ ع‬
‫ساَ ع‬
‫ل ْأمر ع‬ ‫عاَ ع ع م ع‬ ‫ممر ع‬
‫هاَ ْوع ع‬
‫ماَعء ع‬
‫من معهاَ ْ ع‬
‫ج ْ م‬
‫خعر ع‬ ‫حاَ ع‬ ‫د ْذ ذعل م ع‬
‫ك ْد ع ع‬ ‫ض ْب ععم ع‬ ‫ع‬
‫عواَملمر ع‬

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan
(menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,
(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” [An-Nazi’at : 30-33].

Fenomena ini menjadi bukti tersendiri akan betapa besarnya jasa para petani. Dengan menikmati
hasil kerja keras mereka, umat manusia di dunia dapat mempertahankan hidupnya.

Berkat perannya yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat luas ini, para petani mendapatkan
imbalan pahala yang tiada batas:
‫ل ْمنه ْط عير ْأ عو ْإنساَ ع‬ ‫م‬
‫صد عقع ة‬
‫ة‬ ‫ه ْ ع‬ ‫ن ْل ع ك‬
‫ه ْب م م‬ ‫ل ْ ع‬
‫كاَ ع‬ ‫ة ْإ م ل‬
‫م ة‬
‫ن ْأومب عهمي م ع‬
‫م ة م مم ع ة‬ ‫ ْفعي عأك ك ل م م ك‬،َ‫عا‬ ‫ ْأ عمو ْي عمزعر ك‬،َ‫سا‬
‫ع ْعزمر ع‬ ‫س ْغ عمر ع‬
‫ر ْ ك‬
‫م ْي عغم م‬
‫سل م م‬
‫م م‬
‫ن ْ ك‬
‫م م‬
‫ماَ ْ م‬
‫ع‬

“Tidaklah ada seorang muslim yang menanam satu pohon atau menanam tetumbuhan, lalu ada
burung, atau manusia atau hewan ternak yang turut memakan hasil tanamannya, melainkan
tanaman itu bernilai sedekah baginya.” [Riwayat Bukhori hadits no 2195 dan Muslim hadits no. 1552]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan
bercocok tanam dan betani. Pahala sorang petani terus mengalir hingga Hari Kiamat, selama pohon
dan tumbuhan yang ia tanam atau kegunaannya masih bisa dimanfaatkan. Dan sebelumnya, para
ulama juga telah berselisih pendapat tentang mata pencaharian yang paling bagus dan utama. Ada
yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah perdagangan. Ada pula yang berpendapat bahwa
perkerjaan paling utama ialah industri. Ada lagi yang mengatakan bahwa pertanian adalah yang
paling utama, dan pendapat inilah yang lebih benar.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi
5/396]

B. Sewa – Menyewa Tanah dalam Islam

Sewa – menyewa tanah dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan keberadaannya, baik tanah
itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan bangunan atau kepentingan
lainnya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa – menyewa tanah adalah
sebagi berikut:
Untuk apakah tanah tersebut digunakan, sebab apabila digunakan utnuk lahan pertanian maka harus
diterangkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut, sebab
jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula tehadap jumlah uang sewanya. Namun demikian
dapat juga dikemukakan bahwa keaneka ragaman tanaman dapat juga dilakukan asal saja orang yang
menyewakan atau pemilik dari tanah tersebut mengizinkan tanahnya untuk ditanami apa saja yang
dikehendaki oleh pihak penyewa.
Apabila dalam sewa – menyewa tanah tidak dijelaskan untuk apakah tanah tersebut digunakan,
maka sewa – menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid), sebab keagungan tanah sangat
beragam. Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah itu dalam perjanjian, dikhawatirkan akan
melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan pihak penyewa dan pada akhirnya
akan menimbulkan persengketaan antara kedua belah pihak. [17]
Sedangkan hikmah sewa – menyewa ada dua yaitu:

Hikmah dalam persyariatan sewa- menyewa sangatlah besar sekali, karena didalam sewa menyewa
terdapat unsur saling bertukar manfaat antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Karena
perbuatan yang dilakukan oleh satu orang pastilah tidak sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh
dua orang atau tiga orang misalnya: apabila persewaan tersebut berbentuk barang , maka dalam
akad persewaan diisyaratkan untuk menyebutkan sifat dan kuantitasnya.
Hikmah dalam persewaan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan tidak
boleh menyewakan suatu barang yang tidak ada kejelasan manfaatnya yaitu sebatas perkiraan dan
terkaan belaka dan, barangkali tanpa diduga barang tersebut tidak dapat memberikan faedah apa
pun.[18]

C. HUKUM MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN

Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena menyangkut hajat hidup
orang banyak termasuk Anda. Karena itu, terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan
masyarakat menjadi bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian. Mungkin salah satu
hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna memeratakan ketahanan pangan. Al-
Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu
Hajar al-Asqalani 5/24
Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota Madinah, sangat
memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa membawa serta harta kekayaannya.
Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan
menimbulkan dampak sosial yang berat.
Guna menyiasati kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa hal, di antaranya
dengan:
1. Melarang Penyewaan Ladang:
‫م ْوع ع‬
ْ ‫ل‬ ‫مسل م ع‬ ‫ه ْاَل م ك‬ ‫حعهاَ ْأ ع ع‬
‫خاَ ك‬ ‫جعز ْع عن معهاَ ْفعل مي ع م‬
‫من ع م‬ ‫ن ْي عمزعر ْع ععهاَ ْوعع ع ع‬
‫كاَنت ْل عه ْأ عرض ْفعل ميزر ْغ مهاَ ْفعإن ْل عم ْيستط ع‬
‫ع ْأ م‬
‫م م م ع م ع م م‬ ‫عم ع ع‬ ‫ن ْ ع ع م ك م ة‬ ‫م م‬
‫ع‬
‫هاَإ ملياَه ك‬
‫جمر ع‬ ‫يك ع‬
‫ؤاَ م‬
“Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia menggarap dan menanaminya. Dan bila
ia tidak bisa menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka hendaknya ia
memberikannya kepada saudaranya sesama muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan
tanah tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215 dan Muslim hadits no. 1536]

2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan:

Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan dalam bentuk musaqaah atau
muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini, kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang
mereka, dan kemudian di saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian.
Adanya kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu berikut ini:

‫ ْت عك م ك‬:ْ َ‫قاَعلوُا‬ ‫ع‬


ْ َ‫فوُعنا‬ ‫ ع‬:ْ ‫ل‬
‫ل ْفع ع‬ ‫ ْعقاَ ع‬،‫ل‬‫خي ع‬
‫وُاَن معناَاَلن ل م‬
‫خ ع‬‫ن ْإ م م‬
‫سم ْب عي من ععناَ ْعو ْب عي م ع‬ ‫سل ل ع‬
‫م ْاَقم م‬ ‫ه ْع عل عي م م‬
‫ه ْوع ع‬ ‫صللىَّ ْاَلل ل ك‬
‫ىَّ ْ ع‬
‫صاَكر ْمللن لب م ى‬ ‫عقاَل ع م‬
‫ت ْاَلن م ع‬
‫ع‬
‫معمعناَوعأ ع‬
َ‫طععنا‬ ‫س م‬‫ ْعقاَكلوُاَ ْ ع‬،‫ة‬
‫معر م‬‫ش ع‬‫م ْمفىَّ ْاَل ل‬ ‫شرمك كك ك م‬ ‫ة ْوعن ك م‬ ‫مكئوُن ع ع‬ ‫اَل م ع‬
“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Bagilah ladang kurma kami
menjadi dua bagian, satu bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami Muhajirin.”
Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau
menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian mempercayakan kepada kami urusan
ladang kalian, dan selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati hasilnya.” Spontan
kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada
petunjuk ini.” [Bukhari hadits no. 2200]
Demikianlah kondisi ini berlangsung hingga beberapa saat lamanya. Adapun setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berhasil menundukkan musuh-musuhnya, maka
terbukalah lahan pertanian yang melimpah ruah. Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganulir larangannya dan merestui penyewaan lahan pertanian. Walaupun hal kedua, yaitu
kerja sama dengan skema musaqaah atau muzaraah tetap dibiarkan, karena solusi ini terus
dibutuhkan adanya hingga akhir masa.
Walau demikian satu ketentuan yang hendaknya Anda indahkan ketika Anda hendak menyewakan
ladang Anda. Ketentuan ini bertujuan menjaga tercapainya keadilan dan tranparasi dalam akad sewa
menyewa ladang.

D. KEPASTIAN DAN KEJELASAN MASA SEWA DAN NILAI SEWA.

Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan.
Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya. Semua itu
demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara
ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Ketentuan ini
merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

‫ع‬
‫ن ْب عي ممع ْاَل مغععررم‬ ‫سل ل ع‬
‫م ْن ععهىَّ ْع ع م‬ ‫ه ْع عل عي م م‬
‫ه ْوع ع‬ ‫صللىَّ ْاَلل ل ك‬
‫ي ْ ع‬
‫ن ْاَلن لب م ى‬
‫أ ل‬
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).”
[Riwayat Muslim hadits no. 1513]

Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam. Karena
itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian
dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan.

‫ع‬ ‫ل ْ ع‬ ‫ع‬
ْ ‫ه‬ ‫س ْب م م‬ ‫ل ْعبأ ع‬‫ل ْ ع‬ ‫قاَ ع‬ ‫ق ْفع ع‬‫ب ْعواَل موُعرم م‬ ‫ض ْمباَلذ لهع م‬ ‫ن ْك معراَمءاَلمر م‬ ‫خد مي ممج ْع ع م‬ ‫ن ْ ع‬ ‫ع ْب م م‬ ‫ت ْعراَفم ع‬ ‫سأل م ك‬ ‫ى ْعقاَ ع ع‬ ‫صاَرم ى‬ ‫س ْاَلن م ع‬ ‫ن ْقعي م م‬ ‫حن مظ عل ع ك‬
‫ة ْب م ك‬ ‫ع‬
‫م‬
‫ل ْوعأشعياَعء‬‫ع‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫داَوم م‬
‫ج ع‬ ‫ل ْاَل ع‬ ‫ت ْوعأقعباَ م‬ ‫ماَذ معياَعناَ م‬‫م ْع علىَّ ْاَل ع‬ ‫سل ع‬ ‫ه ْوع ع‬ ‫ه ْع علي م م‬ ‫صلىَّ ْاَلل ك‬ ‫ي ْ ع‬ ‫د ْاَلن لب م ى‬ ‫عه م‬ ‫ن ْع علىَّ ْ ع‬ ‫جكرو ع‬ ‫س ْي كؤاَ م‬ ‫ن ْاَللناَ ك‬ ‫ماَ ْكاَ ع‬ ‫إ من ل ع‬
ْ ،‫ه‬‫جعر ْع عن م ك‬
‫ك ْكز م‬ ‫ذاَ ْفعل مذ عل م ع‬
‫ل ْهع ع‬ ‫س ْك معراَةء ْإ م ل‬ َ‫نا‬
‫ل‬ ‫لل‬
‫م‬ ْ ‫ن‬‫م‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ْ ‫م‬
‫م‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫ع‬ ‫ف‬ ‫ع‬
ْ َ‫ذا‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ك‬
ْ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ل‬‫يه‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫و‬ْ َ‫ذا‬‫ع‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ْ ‫م‬
‫ك‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫س‬
‫م‬ ‫ع‬ ‫ي‬‫ع‬ ‫و‬ ‫ع‬
ْ َ‫ذا‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ْ ‫م‬
‫ك‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫س‬‫م‬ ‫ع‬ ‫ي‬‫ع‬ ‫و‬ ‫ع‬
َ‫ذا‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ك‬
ْ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ل‬‫يه‬‫ع‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫ع‬
‫م‬ ‫ر‬
‫م‬ ‫ز‬‫ل‬ ‫ن ْاَل‬ ‫ع‬ ‫م‬
‫م‬
‫م‬ ‫ع‬
‫س ْب مهم‬ ‫ل ْعبأ ع‬ ‫ن ْفع ع‬ ‫موُ ة‬ ‫ض ك‬
‫م م‬ ‫م ْ ع‬ ‫معمكلوُ ة‬ ‫ىَّةء ْ ع‬
‫ش م‬ ‫ماَ ْ ع‬‫فعأ ل‬

Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum
menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab,
“tidak mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan
ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit
atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini
rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak.
Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang.
Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.”[Muslim hadits no.
1547]
Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:
1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah
tidak mengapa.
2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua
kemungkinan:
Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu.
Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas,
atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang
dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya
menghasilkan. Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat
dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan. Wajar bila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan
antara umat Islam.
Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).
Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah
persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun
banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad
ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Hukum asal setiap akad adalah halal.
b. Tidak ada dalil yang melarang.
c. Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad
musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan
bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan
ucapannya. [Al-Qawaid al-Kulliyyah wadh-Dhwabith al-Fiqhiyyah oleh Muhammad Utsman Syabir
hlm.121]
Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata
sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah.
Serupa dengan akad sewa ladang yang terlarang pada hadits ini adalah menyewakan lahan untuk
dibangun suatu gedung perhotelan atau lainnya, sedang pada akad sewa tersebut disepakati bahwa
bila masa sewa telah berlangsung 30 tahun- misalnya- maka gedung hotel beserta seluruh hasilnya
menjadi hak pemilik lahan. Dengan demikian, selama 30 tahun pertama pemilik lahan tidak
mendapatkan uang sewa, atau mendapatkannya namun dalam nominal yang relatif kecil.
Anda pasti sepakat bahwa tidak seorangpun tahu bagaimana kira-kira kondisi gedung setelah berlalu
10 tahun (apalagi 30 tahun, Red). Kondisi demikian dapat dipastikan rentan memancing munculnya
sengketa dan silang pemahaman.
Solusi dari akad sewa semacam ini ialah degan menjadikan harga tanah sebagai bentuk penyertaan
modal. Dengan demikian, kepemilikan hotel, gedung, dan tanahnya dimiliki bersama antara investor
dan pemilik lahan. Segala keuntungan dibagi berdua sesuai dengan perjanjian dan persentase modal
yang mereka sertakan. Dengan solusi ini, kejelasan dalam berbagai aspek akad dapat terwujud,
sebagaimana kedua belah pihak berkewajiban menanggung risiko usaha sebesar persentase
modalnya.
E. ANTARA MENYEWAKAN DAN MENGGADAIKAN LADANG

Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah
menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah
piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor.
Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewajiban mengembalikan utangnya
dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak
dilakukan oleh masyarakat.
Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal.
Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang
yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at.
Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

‫ة ْفعهك ع‬
َ‫وُ ْرمعبا‬ ‫من مفععع ع‬
‫جلر ْ ع‬
‫ض ْ ع‬ ‫كك ى‬
‫ل ْقعمر م‬
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat al-Baihaqi 5/350]
Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin
Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan,
telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga
dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah 29/334]

Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata
mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin
parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya
dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa
menjual lahannya.

Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada
kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba:

Solusi Pertama: Akad Sewa


Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti
akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada
orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan
disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa
harus terjerumus dalam praktik riba.

Solusi Kedua : Kerja Sama

Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara
pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan
bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal
menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang
kepada pemiliknya.

Akad kerja sama antara dua belah pihak ini dapat menggunakan skema musaqah bila ladang telah
ditanami dengan tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka waktu panjang. Dengan skema
kerja sama ini pengelola –biasanya- bertanggung jawab merawat tanaman dan kemudian memanen
hasilnya. Sementara itu, pengadaan lahan dan juga penanaman pohon adalah tanggung jawab
pemodal alias pemilik lahan.

Sebagaimana dapat pula di jalin hubungan dengan skema muzaraah bila tanaman yang ditanam
hanya menghasilkan dalam masa yang pendek atau bahkan sekali panen.

Solusi ini pernah diterapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama
penduduk negeri Khaibar. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengisahkan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan pengelolaan ladang negeri Khaibar kepada
orang-orang Yahudi, agar mereka yang menggarap dan menanamnya. Sebagai imbalannya, mereka
berhak mendapatkan separuh dari hasilnya” [Bukhari hadits no. 2165]

Kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu
Bakar Radhiyallahu anhu. Demikian pula halnya Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu,
terutama pada awal pemerintahannya. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Khalifah
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu akhirnya menghentikan kerja sama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencermati perdalilan prinsip-
prinsip ini, niscaya ia mengetahui bahwa akad ini (muzaraah dan musaqaah) lebih dekat dengan
prinsip-prinsip syariah tersebut. Kedua akad ini lebih selaras dengan nalar sehat dan lebih jauh dari
hal-hal yang terlarang dibanding akad menyewakan ladang. Bahkan lebih selaras dibanding berbagai
akad jual beli dan sewa-menyewa yang telah disepakati oleh ulama akan kehalalannya. Mengingat
kedua akad ini mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat luas tanpa ada efek negatif yang
mengancam mereka. [al-Qawa’id an-Nuraniyyah : 242]

F. PENUTUP

Kesimpulan: Sewa – menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Al-Ijarah”, menurut
pengertian hukum Islam sewa – menyewa diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian. Pengertian lain dari sewa – menyewa, secara etimologis kata
ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu (pengganti).

Hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian: terjadinya aib pada barang sewaan, rusaknya barang
yang disewakan, Rusaknya barang yang diupahkan, terpenuhinya manfaat yang diakadkan, Adanya
uzur.
Sewa – menyewa tanah dalam Islam. Dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan
keberadaannya, baik tanah itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan
bangunan atau kepentingan lainnya.

Semoga paparan singkat tentang hukum menyewakan lahan pertanian ini menambah khazanah
ilmiah dan meningkatkan iman Anda kepada syari’at Islam. Syari’at Islam tentang hukum
menyewakan tanah ini menjadi satu bukti tesendiri tentang kesempurnaan Islam. Sebagaimana
dapat pula menjadi bukti nyata bahwa Islam dalam segala aspek kehidupan menusia telah
menyajikan solusi jitu dan terbaik. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai umat Islam
yang senantiasa patuh dan taat dengan segala perintah dan syari’atNya. Wallahu a’lamu bish shawab.
G. Daftar Pustaka

Al-Qur’an Terjemahan , Kudus, Penerbit Menara Kudus, 1427 H


Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Cet. 4., Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1970
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 11, Jakarta, Pena Pundi Aksara, 1987
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 14, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1988
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010
[1]Chairuman Pasaribu, “Hukum Perjanjian dalam Islam”. (Jakarta; Sinar Grafika; 2004; Cet. 4),
hal.52.
[2] Ibid
[3] Al-Qur’an Terjemahan , (Kudus; Penerbit Menara Kudus; 1427 H), hal. 37.
[4] Helmi Karim, “Fiqh Muamalah”. ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada; 1997), hal. 29.
[5] Ibid, hal. 30.
[6] Ibid, hal. 33.
[7] Hukum Perjanjian dalam Islam … hal. 53.
[8] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 84-83.
[9] Ibid, hal. 54.
[10] Hasbi Ash-Shiddieqy, “Hukum-Hukum Fiqih Islam”. (Jakarta; Bulan Bintang; 1970), hal. 490.
[11] Ibid, hal. 491.
[12] Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”. (Jakarta; Pena Pundi Aksara; 1987; Jilid. 11), hal. 203.
[13] Ibid, hal. 205.
[14] Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”. (Bandung; PT. Al-Ma’arif; 1988; Jilid. 14), hal. 34.
[15] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 388.
[16] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 559.
[17] Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”. (Bandung; Sinar Baru Algesindo; 2010), hal. 303

Anda mungkin juga menyukai