Anda di halaman 1dari 17

TUGAS INDIVIDU

PEMBIAYAAN SYARIAH

Disusun Oleh :
Aldiansyar Mugia Utomo

150610140031

KELAS B
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

A. WAKALAH
1. Pengertian Wakalah
Wakalah merupakan salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah dapat
diterima, selain akad-akad lainnya seperti akad murabahah, akad mudharabah, akad
musyarakah dan akad-akad lainnya. Secara etimologis Wakalah memiliki beberapa
pengertian yang diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (alkifayah) yang berarti pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh)
berarti pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.
Wakalah dapat pula di definisikan sebagai berikut.
a. Pelimpahan kekuasaan oleh seseorang atau satu pihak sebagai pihak pertama
kepada orang atau pihak lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas
kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama. Apabila kuasa itu
telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung
jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya kembali menjadi pihak
pertama atau pemberi kuasa.
b. Dapat pula berarti penyerahan, pemberian mandat, atau pendelegasian.
2. Pendapat Para Ulama
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut Wakalah memiliki.
Berikut adalah pandangan dari para ulama:
a. Menurut Ulama Syafiiah mengatakan bahwa Wakalah adalah ungkapan yang
mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain agar
orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama
pemberi kuasa.
b. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang merupakan haknya, yang
mana kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah
pemberi kuasa wafat, sebab jika kegiatan dikatkan setelah pemberi kuasa
wafat maka sudah berbentuk wasiat.

c. Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan,


yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya
dalam bertindak (bertasharruf).
d. Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3. Rukun dan Syarat-Syarat Dalam Wakalah
a. Pihak yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
i. Seseoarang / institusi yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan
memiliki

hak

untuk

bertasharruf

pada

bidang-bidang

yangdidelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika


ii.

mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.


Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi
lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau
mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa
yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila.

b. Pihak yang mewakili (Al-Wakil)


i. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan
yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi
salah satu syarat bagi pihak yang diwakilkan.
ii. Seseorang / Institusi yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan
untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. Ini
berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas,
kecuali atas kesengajaanya.
c. Objek / kegiatan yang diwakilkan
i. Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti
jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam
kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
ii.

Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang


bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, da
sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan
pihak yang diwakilkan.

iii.

Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek
yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syariah
Islam.

d. Sighot atau Ijab Qabul


i. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima
kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta
ii.

aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.


Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada

iii.

penerima kuasa.
Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

4. Implementasi / Penerapan Wakalah


Akad Wakalah dapat dipenerapankan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam
bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan.
a. Letter of Credit Impor
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan
akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi
dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah
atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan situasi
yang terjadi.

b. Letter of Credit Ekspor


Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan
akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank
menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk
memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad
ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
c. Asuransi Syariah
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSNMUI/
III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis
memberikan

kuasa

kepada

pihak

asuransi

untuk

menyimpannya

dan

menginvestasikan premi yang dibatyarkan ke dalam tabungan maupun ke dalam


produk investasi seperti sukuk, saham dan reksadana syariah. Dalam skema ini,
pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis sebagai AlMuwakil.
d. Investasi Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad
Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana
pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki
kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.

B. KAFALAH
1. Pengertian Kafalah

Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan zaamah, ketiga


istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau menanggung.
Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai: Jaminan yang diberikan
oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus
ditunaikan pihak kedua (tertanggung). Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban)
dan Zaamah (tanggungan). Disebut dhamman apabila penjaminan itu dikaitkan dengan
harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah
jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan
dengan jiwa.
Menurut pendapat para ulama fiqih, Secara terminology kafalah dapat
didefinisikan sebagai berikut.
Mazhab Hanafi, kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam

permintaan dan hutang.


Mazhab Maliki, Kafalah adalah Orang yang mempunyai hak mengerjakan
tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik

menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.


Mazhab syafii, Kafalah adalah akad yang menetapkan iltizam hak yang
tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang
dibebankan

atau

menghadirkan

badan

oleh

orang

yang

berhak

menghadirkannya.
Mazhab Hanbali, kafalah adalah Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada
orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang
yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada orang yang

mempunyai hak.
Jadi kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan
diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban
pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama).

2. Rukun dan Syarat-Syarat Kafalah


Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur
fikih terdiri atas:
a. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal
sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan
rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
b. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh
penjamin
c. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya,
dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang
berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa
dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang
tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai,
jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
3. Implementasi Kafalah Dalam Perbankan
Salah satu penerapan kafalah dalam perbankan yaitu adanya Bank Garansi. Bank
Garansi merupakan jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk
memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajibannya. Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat
kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan
(personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum =
company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi,
sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan. pernyataan tertulis untuk
mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak
memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi
terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin
atas permintaannya, dan penerima jaminan. Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya
meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai
obyek yang dijaminkan.

C. JUALAH
1. Pengertian Jualah
Secara harfiah, jualah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain
untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Menurut ahli hukum, jualah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang
berhasil melakukan sebuah pekerjaan.
Secara istilah, menurut mazhab malikiyyah, jualah adalah akad sewa (ijarah)
atas sesuatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terhadap probabilitas atas
keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Seperti halnya ucapan
seseorang, barang siapa mampu menggali sumur ini hingga mengalir airnya, maka ia
berhak mendapatkan hadiah yang saya janjikan.
Maz\hab Maliki mendefinisikan jualah yaitu sebagai suatu upah yang dijanjikan
sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang.
Mazhab Syafii mendefinisikan jualah yaitu seseorang yang menjanjikan suatu upah
kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya. Definisi pertama
(Mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang
diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafii) menekankan segi ketidakpastian
orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
Secara logika jualah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk
memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan ijarah dan mudharabah
(perjanjian kerjasama dagang). Namun, ada beberapa ulama yang melarang akad jualah
seperti hanafiyah, Mazhab Hanafi tidak membenarkan jualah. Karena dalam jualah
terdapat unsur gharar, perbuatan yang mengandung gharar itu merugikan salah satu
pihak dan dilarang dalam Islam.

2. Syarat Akad Jualah


Beberapa ulama memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsahan akad jualah,
yaitu sebagai berikut.
a. Orang yang terlibat dalam akad jualah harus memiliki ahliyyah. Jail (pemilik
sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalam transaksi (balig,
berakal dan rasyil (pelaku) haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam
menjalankan pekerjaan, sehingga ada manfaat yang bisa dihasilkan.
b. Hadiah, upah (jal) yang diperjanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya.
Jika upahnya tidak jelas, maka akad jualah batal adanya. Karena ketidak jelasan
kompensasi.
c. Manfaat yang akan dikerjakan pelaku (amil) haruslah jelas dan diperbolehkan
secara syari. tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk
mengeluarkan jin, praktek sihir, atau perkara haram lainnya. Kaidahnya adalah,
setiap asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam akad ijarah, maka
dibolehkan juga penggunaannya dalam akad jualah. Namun demikian, akad
ijarah lebih umum dan kompleks daripada akad jualah Mazhab Syafiiyah
menambahkan, setiap pekerjaan (manfaat) yang dilakukan haruslah mengandung
beban (usaha), karena tidak ada kompensasi tanpa adanya usaha (risk versus
return).
d. Mazhab Malikiyah menambahkan satu syarat, akad jualah tidak boleh dibatasi
dengan jangka waktu. Namun ulama lain memperbolehkan perkiraan jangka
waktu dengan pekerjaan yang ada.
e. Malikiyyah mensyaratkan, jenis pekerjaan jualah haruslah spesifik, walaupun
terbilang.

3. Implementasi Jualah Dalam Perbankan Syariah


Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS)(PBI 10/11/2008). SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia menggunakan akad Jualah (Akad jualah adalah janji atau komitmen (iltizam)
untuk memberikan imbalan tertentu (iwadh/jul) atas pencapaian hasil (natijah) yang
ditentukan dari suatu pekerjaan).
Sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 64/Dsn-Mui/Xii/2007
tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Jualah ( Sbis Jualah ) menetapkan bahwa
Sertifikat Bank Indonesia Syariah Jualah (SBIS Jualah) adalah SBIS yang
menggunakan Akad Jualah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no.
62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Jualah. Dalam SBIS Jualah, Bank Indonesia
bertindak sebagai jail (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai majullah
(penerima pekerjaan); dan objek/underlying Jualah (mahall al-aqd) adalah partisipasi
Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia
dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.

D. HIWALAH
1. Pengertian Hiwalah
Pengertian hiwalah ditinjau dari segi etimologi berarti al intiqal dan al tahwil
(memindahkan dan mengoper). Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut etimologi adalah perpindahan dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Secara etimologi hiwalah juga berarti pengalihan, perpindahan,
perubahan kulit dan memikul sesuatu di atas pundak. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang definisi hiwalah secara terminologi berikut adalah beberapa definisi menurut para
ulama.

a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan tagihan dari


tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
kewajiban pula.
b. Menurut Sayyid Sabiq, hiwalah merupakan pemindahan utang dari tanggungan
muhil menjadi tanggungan muhal alaih.
c. Menurut Ensikopedi Hukum Islam, hiwalah adalah pemindahan hak atau
kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut
pembayaran utang atau membayar utang dari atau kepada pihak ketiga, karena
pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada
pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan
pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan
sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan
kesepakatan bersama.
Dari beberapa pengertian hiwalah di atas dapat disimpulkan bahwa hiwalah
adalah pengalihan utang, baik berupa hak untuk mengalihkan pembayaran atau kewajiban
untuk mendapatkan pembayaran utang, dari orang yang mempunyai utang dan piutang
dengan disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama.
2. Rukun dan Syarat-Syarat Hiwalah
Sementara itu rukun dan syarat hiwalah menurut selain Mazhab Syafii adalah :
a. Muhil
Muhil adalah Orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seseorang dan
mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran utangnya atas
orang yang berutang padanya. Syarat-syaratnya adalah :
Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq,
berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah
mengerti (Mumayyiz)

Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan,
bahwa sebagian orang keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban
untuk membayar utang dialihkan kepada orang lain, meskipun pihak lain itu

memang berutang kepadanya, karena itu ridho muhil mesti ada.


b. Muhal alaih
Muhal alaih adalah orang yang dihiwalahi (orang yang berkewajiban
melaksanakan hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang pertama
(muhil), orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Syarat-syarat nya adalah :
Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq,
berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah

mengerti (Mumayyiz).
Ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan
pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda
ada yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima pelunasan itu
merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja,
pihak kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternyata pihak

ketiga sudah membayar utang tersebut.


c. Muhtal
Muhtal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan
orang yang berpiutang pada pihak pertama (muhil). Syarat-syarat nya adalah :
Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq,
berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah

mengerti (Mumayyiz).
Ada persetujuan (ridho), Jika pihak muhil ada paksaan untuk melakukan
hiwalah, maka akad tidak sah. Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang
berhak rela (rihdo), adalah muhtal dan muhil, bagi muhal alaih rela atau tidak
tidak akan mempengaruhi sahnya hiwalah.

d. Adanya hutang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal
alaih. Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan, ialah :
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang

piutang yang sudah pasti.


Kedua utang yang dialihkan adalah sama, baik jenisnya maupun kadarnya,

penyelesaiannya, tempo waktu, jumlahnya


e. Shiqot (akad) hiwalah
Shiqot hiwalah adalah ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan katakatanya Aku
menghiwalahkan utangku kepada si Anu. Dan Qobul adalah dari muhal alaih
dengan kata-katanya Aku terima hiwalah engkau.
3. Implementasi Hiwalah Dalam Perbankan Syariah
Pada praktiknya akad hawalah umum diterapkan pada lembaga-lembaga keuangan
yang diantaranya adalah pembiayaan pembiayaan factoring dan pembiayaan Letter of
Credit untuk keperluan impor barang.
a. Penerapan hawalah pada pembiayaan Factoring
Pembiayaan factoring atau anjak piutang merupakan transaksi pembiayaan oleh
suatu lembaga keuangan yang bertindak sebagai (Muhal Alaih) dengan cara
mengambil alih piutang dari penjual/ pemberi jasa (Muhal) atas hutang pembeli /
penerima jasa (Muhil).
b. Penerapan hawalah pada pembiayaan L/C dalam rangka Impor
Akad hawalah dilakukan antara importer (muhil) dan bank syariah (muha alaihl)
untuk mengalihkan hutang importer kepada eksportir (muhal) menjadi hutang importer
kepada bank syariah.

E. AL-SHARF
1. Pengertian Al-Sharf
Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa alsharf berarti menjual
uang dengan uang lainnya. Secara bahasa, pertukaran mata uang asing atau al-sharf
mempunyai arti Al-Ziyadah (tambahan), penukaran, penghindaran, atau transaksi jual
beli. Sedangkan secara istilah atau terminology, terdapat beberapa definisi, dari beberapa
ulama sebagai berikut:
a. Wahbah Al-Zuhaili mengatakan, Al-Sharf ialah pertukaran mata uang dengan mata
uang lainya baik satu jenis maupun lain jenis, seperti uang dolar dengan uang rupiah
atau uang rupiah dengan uang ringgit.
b. Abd. Al-Rahman Al-Jazairi mengatakan, Al-Sharf ialah pertukaran mata uang asing
dengan uang rupiah, emas dengan emas, perak dengan perak, atau salah satu dari
keduanya.
c. Ibn Maudud Al- Maushuli mengatakan, bahwa Al-Sharf ialah pertukaran mata uang
dengan mata uang lainya atau satu jenis barang dengan jenis barang lainya yang sama
cetakan, bentuk, dan logam. Apabila yang ditukar uang dengan uang atau emas dengan
emas, perak dengan perak maka hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan
semisal serta secara serah terima.
Dari beberapa definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahawa AlSharf adalah
perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Al-sharf secara bebas diartikan
sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di
negara lain. Jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial
yang mencakup beberapa hal sebagai berikut: pembelian mata uang, pertukaran mata
uang, pembelian barang dengan uang tertentu.
2. Rukun dan Syarat-syarat Al-Sharf
a. Serah terima sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak
berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang
berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum
keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda pembayaran

salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya
tidak sah.
b. Al-Tamatsul (sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini
berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang
yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan. Misalnya yaitu menukar mata uang dolar
Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun apabila menukar
mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini
praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia
ini berbeda. Dan apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan
menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masingmasing nilai
mata uang itu sangat tinggi nilainya.
c. Pembayaran Dengan Tunai
Tidak sah huukumnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat
penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati
oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang
yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.
d. Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah
pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah.
Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat
menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi makna
kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah,
sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia.

3. Implementasi Al-Sharf Dalam Perbankan Syariah


Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan
perak. Dalam aplikasinya diperbankan syariah, sharf merupakan pelayanan jasa bank
kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut prinsip yang
dibenarkan syariah. Kebutuhan transaksi valas semakin menguat karena volume transaksi
pembayaran internasional kian meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun harus
memenuhi prinsip pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak
mengandung unsur spekulasi.
Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata
uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang
dilakukan untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus
dipenuhi untuk melakukan transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang
sejenis, maka nilai nominal harus sama dan secara tunai (taqabudh).
Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai
tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing dalam
perbankan ini terbagi dalam empat kelompok.
Pertama, transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua,
transaksi forward dengan harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi
swap dimana kontrak pembelian dan penjualan dengan harga tertentu yang
dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana merupakan kontrak untuk
memperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah
unit pada harga dan jangka waktu tertentu.
Dari keempat jenis transaksi tersebut, sharf hanya memperbolehkan transaksi spot
saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi lainnya tidak dibenarkan
dalam sharf, karena menggunakan harga yang diperjanjikan muwaadah) dan penyerahan
dilakukan di kemudian hari. Contoh produk jual beli salam di bank syariah adalah
Produk Bank Syariah Tukar Bank Note ke Rupiah atau Tukar Rupiah ke TT (Valas).

DAFTAR PUSTAKA
A. Raziqa. 2013. Al-Sharf Dalam Hukum Islam. UIN Sunan Ampel Surabaya.
A Rifanto. 2009. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUALAH DALAM
KETENTUAN MEKANISME PENERBITAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA
SYARIAH. UIN Sunan Ampel Surabaya.
K Simanjutak. 2011. KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM. Universitas Sumatera
Utara.
M. Yamin. 2012. HUKUM WAKALAH DALAM PRAKTEK DI BANK TABUNGAN
NEGARA SYARIAH CABANG BATAM. Universitas Sumatera Utara.
Priatmaja, Sadhana. 2013. Wakalah, Kafalah, dan Hawalah.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23150291/264895797/name/Wakalah_Kafalah_Hawalah.pdf
Diakses pada 28 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai