Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, RUKUN, SYARAT-


SYARAT, DAN MACAM-MACAM WAKAF

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Manajemen Zakat dan Wakaf

Dosen Pembimbing:

H. ABDUL KHOLIK, Lc., M. Phil

Disusun Oleh:

EDWIN SOLEH
E.MKS.I.2020.010

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
IAI SMQ BANGKO
MERANGIN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan keharibaan Illahi Robbi, berkat yang limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, pemakalah dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Pengertian,
Dasar Hukum, Rukun, Syarat-Syarat, dan Macam-Macam Wakaf”. Tugas ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Zakat dan Wakaf.

Perkenankan pemakalah menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sebesar-


besarnya terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan penjelasan tentang
pembuatan tugas ini. Ucapan terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat
pemakalah sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran terselesainya tugas ini.

Pemakalah menyadari bahwa terselesainya tugas ini bukanlah semata-mata karena


kepiawaian pemakalah, melainkan banyak mendapatkan bimbingan, arahan, motivasi, dan
dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pemakalah
berharap agar tugas ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bangko, 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

COVER ………………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ……………………………………………………………. 1
2. Rumusan Masalah …………………………………………………………. 1
3. Tujuan Pembuatan …………………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Wakaf…………………………………………………………… 3
2. Dasar Hukum Wakaf ………………………………………………………. 5
3. Rukun Wakaf ………………………………………………………………. 8
4. Syarat-Syarat Wakaf ………………………………………………………. 9
5. Macam-Macam Wakaf ……………………………………………………. 10
6. Kepemilikan Harta Wakaf …………………………………………………. 12
7. Pengurus Wakaf: Nadzir atau Mutawalli…………………………………… 12
8. Perubahan Status, Penggantian Benda, dan Tujuan………………………… 13

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan ………………………………………………………………… 14

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Wakaf merupakan salah satu ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Amalan
wakaf
sangat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh
karena itu, Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang amat
digembirakan. Wakaf merupakan salah satu instrumen dalam Islam untuk mencapai tujuan
ekonomi Islam yaitu mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Negara negara berpenduduk
muslim seperti Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Turki, Bangladesh, Mesir, Malaysia dan
Amerika Serikat, mengembangkan dan menerapkan wakaf sebagai salah instrumen untuk
membantu berbagai kegiatan umat dan mengatasi masalah umat seperti kemiskinan.1
Wakaf sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW hingga saat ini. Sejak masa
Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf
masih
dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim. Wakaf selalu mendapat
perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan
manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam Islam amalan wakaf memiliki kedudukan yang sangat penting seperti halnya
zakat dan sedekah. Wakaf mengharuskan seorang muslim untuk merelakan harta yang
diberikan untuk digunakan dalam kepentingan ibadah dan kebaikan. Wakaf menurut
tujuannya terdiri dari tiga macam, yaitu wakaf yang bersifat private, public, dan
gabungan. Kemudian dalam penggunaannya wakaf dibagi menjadi wakaf langsung dan
wakaf produktif.
Wakaf mencakup beberapa hal penting yang perlu kita ketahui seperti rukun wakaf,
syarat-syarat wakaf, macam-macam wakaf, penetapan kepemilikan wakaf, dan dasar
hukum wakaf, yang akan dibahas labih lanjut dalam makalah ini.
2. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang pemakalah bahas dalam makalah ini, meliputi:
1. Apa pengertian dari wakaf?
2. Jalaskan mengenai rukun wakaf?
3. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat wakaf?
1
F. Prihatini, dkk., Hukum Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: Kerjasama Penerbit Papas Sinar Mentari dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 131

1
4. Jelaskan apa saja macam-macam wakaf?
5. Bagaimanakah status kepemilikan harta wakaf?
6. Jalaskan tentang pengurus wakaf dan apa saja tugas dari pengurus wakaf?
7. Bagaimana status harta wakaf jika terjadi perubahan status, atau penggantian benda
dan tujuan perwakafan?
3. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa hal berikut:
1. Pengertian dari wakaf menurut berbagai sumber.
2. Rukun dalam perwakafan.
3. Syarat-syarat untuk berwakaf.
4. Macam-macam wakaf.
5. Status kepemilikan harta wakaf
6. Pengurus wakaf dan tugas dari pengurus wakaf.
7. Status harta wakaf jika terjadi perubahan status, atau penggantian benda dan tujuan
perwakafan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa, kata “waqaf” dalam bahasa Arab disalin dalam bahasa Indonesia
menjadi wakaf, sebenarnya adalah bentuk masdar atau kata jadian dari kata kerja
“waqafa”. Kata kerja atau fi’il “waqafa” ada kalanya memerlukan objek (lazim). Kata
“waqaf” adalah sinonim atau identik dengan kata “habs”. Dengan demikian, kata “waqaf”
dapat berarti berhenti dan menghentikan, dapat pula berarti menahan (habs).2
Pemaknaan wakaf menutut Imam Nawawi mengartikan wakaf secara etimologis
dengan al habs (menahan) dan secara terminologis memelihara kelestarian harta yang
potensial untuk dimanfaatkan dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak
yang berwenang.3 Pengertian tersebut mengarah pada pemahaman wakaf benda tidak
bergerak yang banyak dilaksanakan oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia sehingga
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik, wakaf
didefinisikan dengan perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama lamanya sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Definisi wakaf yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977
memperlihatkan tiga hal yaitu:
a. Wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti
perusahaan atau organisasi kemasyarakatan;
b. Pemisahan tanah milik belum menunjukan pemindahan kepemilikan tanah milik yang
diwakafkan. Meskipun demikian, dengan melihat durasi yang ditetapkan, yaitu
dilembagakan untuk selama-lamanya, ketentuan ini menunjukan bahwa benda yang
diwakafkan sudah berpindah kepemilikannya, dari milik perorangan atau badan
hukum menjadi milik umum, dan;
c. Tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik,
pihak wakif yang dinyatakan secara eksplisit hanyalah dua, yaitu perorangan dan badan

2
Siah Khosyi‟ah, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya diIndonesia, (CV Pustaka
Setia: Bandung, 2010), hal. 15
3
Athoillah, Hukum Wakaf, (Yrama Widya: Bandung, 2014), hal. 4

3
hukum, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, pihak wakif atau yang mewakafkan
bisa tiga yaitu perorangan, sekelompok orang dan badan hukum.
Undang-undang Nomor 41 tahun Tentang Wakaf dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan
bahwa: “wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah”.
Pengertian yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tentang Wakaf sudah
memuat adanya wakaf benda bergerak dan benda tidak bergerak serta wakaf abadi dan
wakaf sementara.4 Perjalanan panjang munculnya wakaf benda bergerak dalam
perundang-undangan di Indonesia sebagai indikasi adanya perubahan kebudayaan dari
aspek pemikiran dan pemahaman konsep wakaf serta implementasinya di Indonesia yang
perlu digali dan diteliti lebih mendalam.
Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan syarat-
syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya, yaitu:5
a. Madzhab Syafi’i Al-Minawi mendefinisikan wakaf dengan:
“Menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap
menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak
umum selain dari harta maksiat semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada
Allah SWT.” Imam Nawawi dalam kitab Tahrir Al Fazh At-Tanbih mendefinisikan
wakaf sebagai: “Penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga
keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya
disalurkan untuk kebaikan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah
SWT”.
b. Madzhab Hanafi
Al-Kabisi dalam kitab Anis Al-Fuqaha’ mendefinisikan wakaf dengan:
“Menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya
kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya.” Al-Kabisi
mengemukakan definisi alternatif dan mengatakan bahwa wakaf adalah: “Menahan
harta yang secara hukum menjadi milik Allah SWT”.
c. Madzhab Maliki

4
Athoillah, Hukum Wakaf, hal. 4
5
Danasosial mushalla Al-Hikmah Fisip UI, Dikutip dari http://dsmfisipui.org. diakses pada tanggal 18 Juni
2022.

4
Al-Khattab dalam kitab Mawahib Al-Jalil menyebutkan definisi Ibnu Arafah Al-
Maliki dan mengatakan wakaf adalah: “Memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu
itu ada dan bersifat lazim (harus) dalam kepemilikan pemberinya sekalipun hanya
bersifat simbolis.”
Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna
wakaf adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya
dan menyedekahkan manfaatnya. Adapun perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam
mendefinisikan wakaf diakibatkan cara penafsiran dalam memandang hakikat wakaf.
Definisi-definisi di atas telah menunjukan kedudukan wakaf sebagai bagian dari amal
saleh yang disebutkan ketentuannya dalam syariat sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah SWT.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan menicingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.” (Q.S Al-Baqarah ayat 267).
Dari beberapa definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian wakaf adalah
menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu lembaga dan hal tersebut
sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah
yang ganjarannya terbawa sampai si pewakaf meninggal dunia.
2. Dasar Hukum Wakaf
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf
bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama
barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
a. Dasar Hukum Wakaf dari Al-Quran

5
Di dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit dan jelas, serta tegas tentang
wakaf. A1-Qur'an hanya menyebutkan dalam artian umum, bukan khusus
menggunakan kata wakaf. Tetapi para ulama fikih menjadikan ayat-ayat umum itu
sebagai dasar hukum wakaf dalam Islam, seperti ayat-ayat yang membicarakan
tentang kebaikan, ṣadaqah, infāk dan amal jāriyah. Para ulama menafsirkan bahwa
wakaf sudah tercakup dalam cakupan ayat-ayat umum itu, antara lain:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,


sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (Q.S Al-Hajj ayat 77).

Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah ayat 261).

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S Ali-Imran ayat 92).

Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah


sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S Al-Hadid ayat 7).
Keempat ayat Al-Qur’an di atas, walaupun secara eksplisit tidak langsung
menunjuk kepada makna wakaf, namun para ulama sepakat untuk menggunakannya
6
sebagai landasan dari wakaf. Karena keumuman ayat-ayat tersebut menunjukkan
bahwa di antara cara mendapatkan kebaikan, adalah dengan menginfakkan sebagian
harta yang dimiliki seseorang di ataranya melalui sarana wakaf. Kemudian jika Al-
Qur‟an menganjurkan agar manusia berbuat baik dengan cara menginfakkan sebagian
dari hartanya maka wakaf adalah salah satu dari realisasi anjuran Al-Qur'an untuk
berbuat baik di jalan kebajikan. Bagi mereka yang memenuhi ajakan Al-Qur‟an ini,
Allah Swt akan membalasnya dengan limpatan pahala yang berlipat ganda.
b. Dasar Hukum Wakaf dari Hadis
Adapun hadis yang berbicara tentang wakaf yang secara umum bermaksud
menjelaskan wakaf yaitu:
“Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Apabila anak
adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua
orang tuanya". (HR. Muslim).6
"Dari lbnu Umar ra. berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk.
Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar, saya belum
pernah mendapatkan harta yang sebaik itu, maka engkau perintahkan kepadaku?.
Rasulullah menjawab: bila kamu suka, kamu tahan pokoknya (tanah) itu, dan kamu
sedekahkan (hasilnya). Kemudin Umar menyedekahkannya, bahwasanya ia tidak
dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Berkata ibnu Umar; Umar
menyedekahkannya kepada arang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah,
ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu
(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan
dengan tidak bermaksud untuk memilikinya ". (HR. Muslim).7
Adapun hadis Abu Hurairah yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang pahala
amalnya tidak akan berhenti meskipun orangnya sudah meninggal. Salah satunya
adalah "ṣadaqah jāriyah” para ulama menafsirkannya sebagai "wakaf' bukan sadaqah
biasa. Sebab bentuk sadaqah lain (bukan wakaf) tidak akan menghasilkan pahala yang
terus menerus (jāriyah), karena benda yang disedekahkan tidak kekal. Atas dasar itu
maka wakaf dapat dikategorikan harta yang terus-menerus mengalir pahalanya selama
benda yang diwakafkan itu utuh dan dapat dimanfaatkan. Wakaf untuk tempat ibadah

6
Muslim, Sahih Muslim, (Riyad: Dar al-salam), hal. 716.
7
Muslim, Sahih Muslim, (Riyad: Dar al-salam), hal. 717.

7
misalnya selama bangunan itu ada dan dimanfaatkan maka orang yang berwakaf akan
terus-menerus menerima pahala dari Allah Swt. Sementara hadis Ibnu Umar yang
menceritakan bagaimana Umar bin Khattab mewakafkan tanahnya di Khaibar
mengindikasikan bahwa praktek wakaf sudah dilaksanakan di masa Rasulullah. Dari
hadis ini dapat disimpulkan bahwa nadzir (pengurus wakaf) dapat memakan sebagian
dari hasil wakaf secara ma'rūf (patut).8
3. Rukun Wakaf
a. Pewakaf (wakif)
Menurut A. A. Basyir, orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum
Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan
hartanya, diantaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempetimbangkan baik
buruknya perbuatan yang dilakukannya, dan benar-benar pemilik harta yang
diwakafkan itu. Mengenai kacakapan bertindak, dalam hukum fikih Islam ada dua
istilah yang perlu dipahami perbedaannya yaitu baligh dan rasyid. Pengertian baligh
menitikberatkan pada usia, sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal.
Menurut A. Wasit Aulawi, apabila seorang wakif berada dalam keadaan sakit
parah keika mewakafkan hartanya, perbuatan itu dapat dikiyaskan pada wasiat yang
akan berlaku setelah ia meninggal dunia dan jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga
dari jumlah harta kekayaannya, kecuali perwakafan itu disetujui oleh ahli warisnya.
Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali wakafnya dan tidak boleh menuntut agar
harta yang sudah diwakafkan dikembalikan ke dalam hak miliknya. Agama yang
dipeluk seseorang tidak menjadi syarat bagi seorang wakif, artinya seorang
nonmuslim pun boleh berwakaf asal tujuannya tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
b. Harta yang Diwakafkan (Mauquf)
Syarat dari harta yang akan diwakafkan adalah:
1) Harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi
haruslah dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna, halal, dan sah menurut hukum.
2) Harta yang diwakafkan haruslah jelas wujudnya dan batas-batasnya (misal yang
diwakafkan adalah tanah).
3) Harta yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari beban
hutang orang lain.

8
Syarif Hidayatullah, Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia, Waratsah
Volume 01, Nomor 02, Desember 2016, hal. 78.

8
4) Harta yang diwakafkan dapat berupa benda mati maupun benda bergerak (misal
saham atau surat-surat berharga lainnya).9
c. Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih)
Dalam tujuan harus tercermin siapa yang berhak atas wakaf, misalnya:
1) Untuk kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan masjid, sekolah, rumah
sakit, dll.
2) Untuk menolong fakir miskin atau anak yatim, seperti mendirikan panti asuhan,
dll.
3) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, seperti
mewakafkan tanahnya untuk, pasar, lapangan olah raga, dll.10
d. Lafal atau pernyataan (sighat) wakif
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang
diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyataan tersebut,
hilanglah hak wakif terhadap benda yang diwakafkannya. Dengan pernyataan wakif
yang merupakan ijab perwakafan telah terjadi, sedangkan pernyataan qabul dari
mauquf ‘alaih yakni orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan,
artinya dalam wakaf hanya ada ijab tanpa ada qabul.11
Contoh lafal yang diucapkan wakif saat perwakafan: “saya wakafkan tanah milik
saya seluas 200meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”. Pada lafal wakaf
tidak boleh ada unsur ta’lik (syarat), karena maksud dari wakaf adalah pemindahan
kepemilikan untuk selamanya bukan untuk sementara. Contoh lafal wakaf yang tidak
sah: “saya wakafkan tanah sawah milik saya kepada para fakir miskin selama satu
tahun”.
4. Syarat-Syarat Wakaf
Syarat-syarat sahnya perwakafan seseorang adalah sebagai berikut:
a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya.
b. Tujuannya harus jelas dan disebutkan ketika mengucapkan ijab.
c. Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif
dan tidak boleh menggantungkan pelaksanaannya, jika pelaksanaan wakaf tertunda
hingga wakif meninggal dunia, hukum yang berlaku adalah wasiat yang kemudian
syaratnya, harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.

9
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, hal. 86.
10
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, hal. 87.
11
Ibid.

9
d. Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif berlaku seketika
dan selama-lamanya.
e. Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang
diwakafkannya, artinya seorang wakif berhak memberikan syarat akan diapakan harta
yang ia wakafkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam12
5. Macam-Macam Wakaf
Wakaf dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan tujuannya,
waktunya, dan penggunaannya.

Wakaf berdasarkan tujuannya terdiri dari:


a. Wakaf Ahli atau Wakaf Keluarga atau Wakaf Khusus
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih,
keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Apabila
ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya,
wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk
dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga
disebut wakaf 'alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan
jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.
Dalam satu segi, wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat
dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari
silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain
wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau anak cucu yang
ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah)? Siapa yang berhak mengambil manfaat benda
(harta wakaf) itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi
tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara
meratakan pembagian hasil harta wakaf?
Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar
harta wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan baik dan berstatus hukum yang
jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk
anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat
(penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan
kepada fakir miskin. Namun, untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata

12
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, hal. 88-89.

10
berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam
pembagiannya secara adil dan merata.
Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan
kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi
harta wakaf. Di beberapa Negara tertentu, seperti: Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair,
wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi,
tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif.13
b. Wakaf Khairi atau Wakaf Umum
Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebajikan umum) Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan
lain
sebagainya.
Jenis wakaf ini seperti yang dijelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang
menceritakan tentang wakaf Sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil
kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya
yang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak
terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk
jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya
dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang
ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai
dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si
wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang
diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja di sana, atau
mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Ustman bin Affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara
membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau dilihat
dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang

13
Kementerian Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Fiqih Wakaf, hal 17.

11
keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan
dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar benar terasa
manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau
kerabat yang terbatas.14
c. Wakaf gabungan (musytarak)
Yaitu wakaf yang tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara bersamaan
antara wakaf ahli dan wakaf khairi, sebagian manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga
wakif, dan sebagian manfaatnya lagi untuk kesejahteraan umat.15

Berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi dua macam:


a. Wakaf abadi, yaitu wakaf berbentuk barang yang bersifat abadi seperti tanah dan
bangunan atau barang bergerak yang ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi.
b. Wakaf sementara, yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah
rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak.16

Berdasarkan penggunaannya, wakaf terbagi menjadi dua macam:


a. Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk mencapai
tujuannya seperti masjid untuk shalat, untuk sekolah atau kegiatan belajar mengajar,
dan sebagainya.
b. Wakaf produktif, wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi
dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.
6. Kepemilikan Harta Wakaf
Menurut para ahli hukum (fikih) Islam sebelum harta diwakafkan, pemiliknya adalah
orang yang mewakafkannya. Dan setelah harta tersebut diwakafkan kepemilikanya harta
kembali kepada Allah SWT. Dan manfaatnya menjadi hak Mauquf ‘alaih.
7. Pengurus Wakaf: Nadzir atau Mutawalli
Nadzir adalah seseorang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan
mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Jika Nadzir itu
adalah perorangan, para ahli menentukan beberapa syarat yaitu:
a. Telah dewasa;
b. Berakal sehat;

14
Kementerian Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Fiqih Wakaf, hal. 18.
15
Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia, Analisis
Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016, hal. 182.
16
Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia, hal. 182

12
c. Dapat dipercaya, dan;
d. Mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta wakaf.

Hak-hak nadzir wakaf yaitu:


a. Nadzir wakaf berhak melakukan hal yang mendatangkan kebaikan bagi wakaf yang
bersangkutan, namun tidak berhak menggadaikan harta wakaf dan menjadikannya
sebagai jaminan hutang.
b. Nadzir wakaf berhak mendapatkan upah atas jerih payahnya mengurus harta wakaf,
selama melaksanakan tugasnya dengan baik. Besarnya upah ditentukan oleh wakif
biasanya sepersepuluh atau seperdelapan dari hasil tanah atau harta yang diwakafkan.
Yang berhak menetukan Nadzir wakaf adalah wakif.
8. Perubahan Status, Penggantian Benda, dan Tujuan
Menurut para ahli hukum (fikih) Islam, perubahan status dapat dilakukan karena
didasarkan pada pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai
Shadaqah Jariyah, tidak mubazir, tidak rusak, dan tetap berfungsi sebagai mana mestinya.
Karena misal:
a. Tanah wakaf ditukar ditempat lain, status tanah wakaf tidak berubah ia tetap adalah
tanah wakaf yang berubah hanya tempatnya.
b. Sebagian kecil dari sebuah bangunan yang diwakafkan rusak sehingga tidak dapat
dimanfaatkan lalu diambil bagian bangunan yang rusak untuk mendirikan bangunan
yang baru yang lebih sederhana agar tetap dapat dimanfaatkan secara optimal.
c. Sebuah bangunan yang awalnya diperuntukkan bagi anak yatim diubah menjadi
sekolah atau madrasah karena tempat untuk anak yatim sudah ada yang baru. Semua
hal itu bisa dilakukan asal tujuannya agar tanah atau harta wakaf dapat dimanfaatkan
dengan optimal.

13
BAB III
KESIMPULAN

1. Wakaf adalah menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu lembaga dan
hal tersebut sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai saran mendekatkan diri
kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai si pewakaf meninggal dunia.
2. Rukun wakaf adalah: Pewakaf (wakif) adalah orang yang mewakafkan hartanya, Harta
yang Diwakafkan (Mauquf), Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih) dan yang terakhir adalah
Lafal atau pernyataan (sighat) wakif. Contoh sighat: “saya wakafkan tanah milik saya
seluas 200meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”.
3. Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut: (a) Perwakafan benda
itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya. (b) Tujuannya harus jelas dan
disebutkan ketika mengucapkan ijab. (c) Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah
ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif. (d) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar
wakaf oleh wakif berlaku seketika dan selama-lamanya. (e) Perlu dikemukakan syarat
yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang diwakafkannya.
4. Wakaf ada dua macam yaitu: (a) Wakaf Ahli atau Wakaf Keluarga atau Wakaf Khusus:
adalah wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik
keluarga maupun orang lain. (b) Wakaf Khairi atau Wakaf Umum: adalah wakaf yang
diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum.
5. Status kepemilikan harta wakaf sebelum harta diwakafkan, pemiliknya adalah orang yang
mewakafkannya. Dan setelah harta tersebut diwakafkan kepemilikanya harta kembali
kepada Allah SWT. Dan manfaatnya menjadi hak Mauquf ‘alaih.
6. Pengurus Wakaf disebut dengan Nadzir atau Mutawalli. Nadzir adalah seseorang atau
badan yang memegang amanat untuk memelihra dan mengurus harta wakaf sebaik-
baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya.
7. Syarat untuk menjadi seorang Nadzir adalah: (a) Telah dewasa. (b) Berakal sehat. (c)
Dapat dipercaya. (d) Mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan
harta wakaf.
8. Jika terjadi perubahan status, penggantian benda dan tujuan perwakafan karena didasarkan
pada pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai Shadaqah

14
Jariyah, tidak mubazir, tidak rusak, dan tetap berfungsi sebagai mana mestinya maka
status harta wakaf itu tetap sebagai harta wakaf.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Ali Amin Isfandiar. 2008. Tinjauan Fiqh Muamalat. Jurnal Ekonomi Islam Vol. II, No. 1, Juli
2008.
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Athoillah. 2014. Hukum Wakaf. Bandung: Yrama Widya.
Bashlul Hazami. 2016. Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di
Indonesia, Analisis Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016.
F. Prihatini, dkk. 2005. Hukum Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Kerjasama Penerbit Papas
Sinar Mentari dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kementerian Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Pemberdayaan Wakaf. 2006. Fiqih Wakaf. Jakarta.
Khosyiah, Siah. 2010. Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya
diIndonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Mahfud, R. (2010). Al-Islam. Jakarta: Erlangga.
Muslim. Sahih Muslim. Riyad: Dar al-salam.
Suryana, A. T., Alba, C., Syamsudin, E., & Asiyah, U. (1996). Pendidikan Agama Islam
untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
Syamsuri. (2004). Pendidika Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Syarif Hidayatullah. 2016. Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif
di Indonesia, Waratsah Volume 01, Nomor 02, Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai