Disusun Oleh:
Kelompok 8
FAKULTAS HUKUM
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT, karena dengan rahmatnya kami
masih diberikannikmat sehat, nikmat akal, sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia dengan baik dan tepat waktu.
Terima kasih pula kami ucapakan kepada Ibu Chaula Luthfia, S.Hi., M.Hi.
selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Islam II. Adapun tujuan penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Islam II. Kami
harap dengan penyusunan makalah ini dapat menambah wawasan kami dan juga
para pembaca, agar memahami lebih dalam tentang Wakaf dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Kami pun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari dari kata sempurna, maka dari itu kami mengharapakan
kritik dan saran dari pembaca agar dapat membuat makalah yang jauh lebih baik
lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.3 Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.5 Rukun dan Syarat Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih ............... 13
2.6 Harta Benda yang Dapat dan Tidak Dapat Diwakafkan (Mauquf) ........ 17
PENUTUP............................................................................................................. 22
3.1 Simpulan...................................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penyusun mempunyai
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa itu wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf alaih?
2. Bagaimana dasar hukum wakaf?
3. Apa saja fungsi wakaf itu?
4. Apa saja macam dari wakaf?
5. Bagaimana rukun dan syarat-syarat wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih?
6. Harta benda apa saja yang dapat diwakafkan?
7. Bagaimana pelaksanaan dari wakaf tersebut?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami permasalahan yang dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Mengerti apa yang dimaksud dengan wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih.
2. Mengetahui ketentuan dan dasar hukum wakaf.
3. Mengetahui fungsi-fungsi wakaf.
4. Memahami dan mengetahui macam-macam wakaf.
5. Memahami rukun dan syarat-syarat wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih.
6. Mengetahui benda yang dapat dan tidak dapat diwakafkan.
7. Mengetahui pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Salamah, U. (2014). PRAKTEK PERWAKAFAN UANG DI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
(Studi Kasus di KJKS BMT AL-FATTAH Pati). Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
hlm 26.
2
Dra. Siah Khosyi'ah, M. (2010). Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan Perkembangannya
Di Indonesia. Bandung: CV PUSTAKASETIA, hlm 17.
3
tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan
menariknya kembali dan boleh menjualnya. Jika si
wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan
bagi ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf
hanyalah "menyumbangkan manfaat". Karena itu
mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang
berstatus tetap sebagai hak milik, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak
kebajikan (sosial), baik sekarang maupun yang akan
datang.
b. Mazhab Maliki
Berpendapat bahwa wakaf itu tidak
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan
wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain
dan wakif berkewajiban menyedekahkan
manfaatnya, serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat
hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima
wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk
upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat
digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf
dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk
masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik.
Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu
dari penggunaan secara pemilikan, tetapi
membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara
wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik si
4
wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan
sebagai wakaf kekal atau selamanya.
c. Mazhab Syafi'i dan Ahmad bin Hambal
Berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan
wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif
tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, seperti, perlakuan pemilik dengan cara
pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran
atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan
tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang
diwakafkannya kepada mauquf 'alaih (yang diberi
wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana
wakif tidak dapat melarang penyaluran
sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya,
maka Qadli berhak memaksanya agar
memberikannya kepada mauquf 'alaih. Karena itu
mazhab Syafi'i mendefinisikan wakaf tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang
berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan
atau sosial.
Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa
wakaf terjadi karena dua hal. Pertama karena
kebiasaan (perbuatan). Seperti seorang mendirikan
masjid, kemudian mengizinkan orang shalat di
dalamnya, secara tidak langsung ia telah
mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan (uruf).
Walaupun secara lisan ia tidak menyebutkannya.
5
Kedua, dengan lisan baik dengan jelas (sariih) atau
tidak, ataupun memaknai kata-kata habastu, wakaftu,
sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, dan harramtu. Bila
menggunakan kalimat seperti ini harus diiringi
dengan niat wakaf. Bila telah jelas seseorang
mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak
mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan
tidak bisa menariknya kembali. Benda yang
diwakafkan harus benda yang dapat dijual, walaupun
setelah jadi wakaf tidak boleh dijual dan benda yang
kekal dzatnya, karena wakaf bukan untuk waktu
tertentu, tetapi untuk selama-lamanya.
3
Sihab, M. (2010). SENGKETA TANAH WAKAF MASJID DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, hlm 19-22.
6
a. Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber
datanya meliputi Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad.
b. Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara,
yang merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara itu.
c. Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu
lembaga yang hidup di masyarakat, berarti mengkaji
wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan
data yang ada dalam masyarakat.4
4
Khoerudin, A. N. (2018). TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA ULAMA DAN
UNDANG_UNDANG DI INDONESIA. TAZKIYAJurnal Keislaman, Kemasyarakatan &
Kebudayaan, hlm 2.
5 Ibid, hlm 7.
7
c. Badan hukum.
6Syarif Hidayat, T. D. (2018). Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Wakaf yang
Tidak Tercatat. Vol 4, No 1, Peradilan Agama (Februari, 2018), hlm 11.
8
ayat 77. Berikut adalah bunyi dari masing-masing surah di atas, sebagai
berikut:
a. Surah Ali-Imran ayat 92
َ لَ ْن تَنَالُوا ْال ِب َّر َحتّٰى ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ َّما تُحِ ب ُّْونَ َۗو َما ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ ْن
َ ّٰ ش ْيءٍ فَا َِّن
ّٰللا ِب ٖه
ع ِليْم
َ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum
kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha
Mengetahui”.
9
beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.
7
Sesse, M. S. (2010). Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional. Jurnal Hukum
Diktum, hlm 145
8
Sukman, K. N. (2021). PROBLEMA WAKAF DI INDONESIA. Volume 1 Nomor 1 Maret
2021, Ats-Tsarwah, hlm 63-64.
10
Ketentuan wakaf berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia,
diatur dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta lebih khusus mengatur ketentuan
hukum berwakaf pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
terdapat juga pada peraturan pemerintah No.28 tahun 1977 pasal (1) ayat
(1) tentang definisi wakaf.
11
2.4.2 Wakaf Khairi
Wakaf yang peruntukannya sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum. Dalam penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Seperti
masjid, mushola, madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi
agama, kuburan, dan lain-lain. Wakaf umum inilah yang benar-
benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan
dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk
menafkahkan sebagian dari kekayaan umat Islam, untuk
kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala
jariyah yang lebih tinggi. Artinya meskipun si wakif telah meninggal
dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang
diwakafkan tersebut tetap dipergunakan untuk kepentingan umum.
Wakaf dalam bentuk ini benar-benar dapat dinikmati manfaatnya
oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang
keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan
ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta
untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir
bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia,
selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya.
2.4.3 Wakaf Musytarak
Wakaf ini merupakan gabungan keduanya. Di dalamnya ada
sebagian yang merupakan bentuk khairi dan sebagian ahli (dzurri),
yang manfaat atau hasil wakaf tersebut sebagiannya diperuntukkan
bagi kesejahteraan umum dan sebagian lainnya diperuntukkan bagi
keluarga wakif. Seperti, seseorang yang mewakafkan tokonya
dengan menetapkan bahwa 50% hasil dari pengelolaan toko untuk
keluarganya dan 50% lainnya untuk orang miskin.
12
2.4.4 Wakaf Syuyu’
Wakaf yang pelaksanaannya dilakukan secara gotong
royong, dalam arti beberapa orang berkelompok (bergabung)
menjadi satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara
patungan dan berserikat. Contoh, dalam pembangunan masjid yang
memerlukan lahan atau tanah yang cukup luas. Dalam hal panitia
pembangunan masjid tidak mempunyai dana yang relatif cukup
untuk membeli tanah yang diperlukan, dan tidak ada orang yang
mampu atau orang yang mewakafkan tanah seluas tanah yang
diperlukan, maka panitia pembangunan masjid tersebut biasanya
akan menawarkan kepada masyarakat untuk memberikan wakaf
semampunya.
2.4.5 Wakaf Muallaq
Suatu wakaf yang dalam pelaksanaannya digantungkan, atau
oleh si wakif dalam ikrarnya menangguhkan pelaksanaannya sampai
dengan ia meninggal dunia. Dalam arti, bahwa wakaf itu baru
berlaku setelah ia sendiri meninggal dunia. Dalam prakteknya untuk
sekarang, setelah masalah perwakafan diatur secara dalam hukum
positif, suatu perwakafan harus berlaku seketika itu juga, yakni
setelah wakif mengucapkan ikrar wakaf. Praktek Wakaf Mu’allaq
banyak terjadi di masa lampau, yakni sebelum masalah perwakafan
diatur dalam hukum positif.10
2.5 Rukun dan Syarat Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih
2.5.1 Rukun dan Syarat Wakaf
Rukun wakaf ada empat (4), yaitu:
a. Wakif (orang yang mewakafkan harta);
b. Mauquf (barang atau benda yang diwakafkan);
10
Dr. Drs. Abd. Somad, S. M. (2012). HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm .n.d.
13
c. Mauquf Alaih (pihak yang diberi wakaf atau
diperuntukan wakaf); dan
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya, baik dengan tulisan maupun dengan
isyarat.).11
11
Sarpini, S. (2019). Telaah Mauquf 'Alaih Dalam Hukum Perwakafan. ZISWAF; Jurnal Zakat dan
Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1), hlm 22.
12
Setiawan Bin Lahuri, R. A. (2018). Analisis Kiasan Wakaf Terhadap Wakaf Jiwa di Pondok
Modern Darussalam Gontor. Volume 1 Number 2, June 2018, hlm 7.
14
4. Mampu secara jasmani dan rohani; dan
5. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum: dan
6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda
yang diwakafkan.
b. Syarat nazhir organisasi, yaitu:
1. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan nazhir perseorangan; dan
2. Organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, atau keagamaan islam.
c. Syarat nazhir badan hukum, sebagai berikut:
1. Pengurus badan hukum yang bersangkutan
memenuhi persyaratan nazhir peseorangan;
2. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang
sosial, pendidikan, kemsyarakatan, atau keagamaan
islam.13
d. Pasal 219 ayat (3) berbunyi:
Nazhir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftarkan
pada kantor agama kecamatan setempat setelah mendengar
saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk
mendapatkan pengesahan.
e. Pasal 219 ayat (4) berbunyi: Nazhir sebelum melaksanakan
tugas, harus mengucapkan sumpah dihadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya
oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut: “Demi
Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi
Nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih
apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun
13
Ibid, hlm 8.
15
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”. “Saya
bersumpah bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian, saya bersumpah bahwa saya
senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggungjawab
yang dibebankan kepada saya selaku nazhir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan
tujuannya.
f. Pasal 219 (5) berbunyi: “Jumlah nazhir yang diperbolehkan
untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215 ayat
(20 sekurang-kurangnya terdiri dari 3 prang dan sebanyak-
banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan
camat setempat”.14
14
Sarpini, S., Op.cit, hlm 30.
16
2.6 Harta Benda yang Dapat dan Tidak Dapat Diwakafkan (Mauquf)
Benda wakaf (mauquf) adalah segala benda baik bergerak atau tidak
bergerak yang memiliki daya tahan yang lama dan tidak bersifat sekali
pakai, juga bernilai menurut agama islam. Benda wakaf harus berupa benda
milik yang tidak terikat, dan bebas dari sengketa, pembebanan, atau sitaan,
dan hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi oleh wakif secara
sah. Harta benda wakaf terdiri dari:
a. Benda tidak bergerak.
1. Meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas
tanah;
3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan
tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. Benda bergerak berupa uang.
1. Uang;
2. Logam dan batu mulia;
3. Kendaraan;
4. Mesin atau alat industri yang tidak tertancap pada
tanah;
5. Hak atas kekayaan intelektual; dan
6. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka
panjang.
17
c. Benda bergerak selain uang.
1. Surat berharga yang berupa:
− Saham;
− Surat utang negara;
− Obligasi pada umumnya; dan
− Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan
uang.
2. Hak atas kekayaan intelektual yang berupa:
− Hak cipta;
− Hak merk;
− Hak paten;
− Hak desain industri;
− Hak rahasia dagang;
− Hak sirkuit terpadu;
− Hak perlindungan varietas tanaman; dan
− Hak lainnya.
3. Hak atas benda bergerak lainnya berupa:
− Hak sewa, hak pakai hasil atas benda bergerak;
dan
− Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat
ditagih atas benda bergerak.
18
Masyarakat muslim Indonesia berwakaf dalam bentuk yang
berbeda-beda dan dengan nama yang berbeda pula. Ada yang berwakaf
tanah, kebun, rumah, bangunan dan benda mati lainnya seperti mushaf Al-
Qur’an, sajadah, dan lain sebagainya. Motivasi mereka untuk berwakaf pun
ternyata berbeda-beda. Paling tidak, ada dua motivator masyarakat
Indonesia untuk berwakaf, sebagai berikut:
a. Aspek Ideologis Normatif
Bahwa masyarakat muslim Indonesia memahami Wakaf adalah
suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama dan merupakan
perwujudan dari keimanan seseorang. Untuk itu dalam ajaran
Islam, harta merupakan aset yang diatur oleh agama tergantung
bagaimana mereka mampu mentasarufkan harta tersebut atau
tidak.
b. Aspek Sosial-Ekonomis.
zakat itu digunakan dalam hal-hal yang bersifat darurat dan
kebutuhan yang sangat mendasar. Akan tetapi untuk
pengembangan selanjutnya dibutuhkan peran wakaf. Dimana ia
menjadi modal untuk pengembangan dan mengatasi masalah
sosial dan ekonomi kemasyarakatan secara umum khususnya
masyarakat Indonesia.
19
b. Persoalan lain yang telah mereka pahami bahwa
wakaf harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berupa benda yang memiliki nilai. Tidak sah
hukumnya berwakaf selain benda, seperti
hak-hak yang berkaitan dengan benda, seperti
hak irigasi, hak pakai, dll.
2. Berupa barang atau benda bergerak atau tidak
bergerak yang mempunyai fungsi dan
manfaat yang kekal.
3. Barang atau benda tersebut harus jelas.
4. Barang atau benda tersebut ketika terjadi
akad berstatus milik sempurna dari si wakif.
5. Barang atau benda yang sudah diwakafkan
berubah kepemilikannya menjadi milik Allah
dan diperuntukkan bagi masyarakat umum,
sehingga tidak dapat diperjual-belikan,
diwariskan, digadaikan dan sebagainya.
6. Kebanyakan masyarakat muslim Indonesia
berwakaf kepada keluarga atau orang tertentu
(wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif atau
keagamaan atau kemasyarakatan (wakaf
khairi) dan tentang kebolehan tentang
menukar atau menjual harta wakaf mereka.
20
dimaksud dengan PPAIW dalam hal ini adalah Kepala KUA kecamatan.
Dalam hal suatu kecamatan tidak ada Kantor KUA-nya, maka Kepala
Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di
kecamatan tersebut. Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf
secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena
alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya
dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. Saksi dalam
ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:
a. Dewasa;
b. Beragama islam;
c. Berakal sehat;
d. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
15
Mahfudz, A. (2019). Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang Keabsahan Wakaf
Tanpa Sighat Wakaf. Pekanbaru: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau, hlm 55.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Wakaf adalah menahan harta kekayaan atau suatu benda yang diambil
manfaatnya sesuai dengan ajaran islam, dalam pengertian lain wakaf juga
berarti menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan
tahan lama, sehingga harta tersebut dapat bermanfaat di jalan Allah.
Pengertian wakaf yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli fiqih di atas
memiliki pemahaman yang serupa, yakni wakaf adalah menahan harta
atau menjadikan harta bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan agama.
Hanya saja terjadi perbedaan dalam merumuskan pengertian-pengertian
wakaf serta tetap atau tidaknya kepemilikan harta wakaf itu bagi si wakif.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta bendanya, terdiri dari
perorangan, organisasi, dan badan hukum.
3. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana
yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (5) tentang
pengertian nazhir.
4. Mauquf alaih adalah pihak menerima dan memperoleh manfaat dari wakaf
sesuai yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.
5. Beberapa ayat yang berkaitan dengan wakaf adalah Surah Ali-Imran ayat
92, Surah Al-Baqarah ayat 267, Surah An-Nahl ayat 97, dan Surah Al-
Hajj ayat 77.
6. Dasar hukum wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal
215-229 dan berdasarkan hukum positif di Indonesia terdapat pada
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan
Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004.
22
7. Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum.
8. Terdapat berbagai macam wakaf yaitu, wakaf ahli, wakaf Khairi, wakaf
musytarak, wakaf syuyu’, dan wakaf muallaq.
9. Rukun wakaf ada empat, yaitu, Wakif, Mauquf, Mauquf Alaih, dan
Shighat.
10. Benda wakaf (mauquf) adalah segala benda baik bergerak yang bukan
uang, benda bergerak berupa uang, atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang lama dan tidak bersifat sekali pakai, juga bernilai
menurut agama islam. Benda wakaf harus berupa benda milik yang tidak
terikat, dan bebas dari sengketa, pembebanan, atau sitaan, dan hanya dapat
diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi oleh wakif secara sah.
11. Tata cara pelaksanaan wakaf dijelaskan dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang tata cara sighat wakaf.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Drs. Abd. Somad, S. M. (2012). HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah
dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dra. Siah Khosyi'ah, M. (2010). Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan
Perkembangannya Di Indonesia. Bandung: CV PUSTAKASETIA.
Hanna, S. (2015). Wakaf Saham Dalam Perspektif Hukum Islam. Mizan; Jurnal
Ilmu Syariah,FAI UniversitasIbn Khaldun (UIKA) BOGOR , 99-124.
Indonesia. (2006). Undang-Undang Republik Indoneesia Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Khoerudin, A. N. (2018). TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA
ULAMA TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA ULAMA
. TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, 1-10.
Mahfudz, A. (2019). Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Keabsahan Wakaf Tanpa Sighat Wakaf. Pekanbaru: Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Muntaqo, F. (2015). PROBLEMATIKA DAN PROSPEK WAKAF PRODUKTIF
DI INDONESIA. Al-Ahkam, Volume 25, Nomor 1, 83-108.
Rahman, M. (2009). Wakaf Dalam Islam. Al-Iqtishad: Vol. 1, No.1, Januari 2009,
79-90.
Salamah, U. (2014). PRAKTEK PERWAKAFAN UANG DI LEMBAGA
KEUANGAN SYARI’AH (Studi Kasus di KJKS BMT AL-FATTAH Pati).
Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo.
Sarpini, S. (2019). Telaah Mauquf 'Alaih Dalam Hukum Perwakafan. ZISWAF;
Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1), 19-42.
Sesse, M. S. (2010). Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional. Jurnal
Hukum Diktum, 143-160.
Setiawan Bin Lahuri, R. A. (2018). Analisis Kiasan Wakaf Terhadap Wakaf Jiwa
di Pondok Modern Darussalam Gontor. Volume 1 Number 2, June 2018, 7-
15.
Sihab, M. (2010). SENGKETA TANAH WAKAF MASJID DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo .
Sovia Hasanah, S. (2017, April 11). Benda-benda yang Dapat Diwakafkan Selain
Tanah. Retrieved from Hukum Online.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/benda-benda-yang-dapat-
diwakafkan-selain-tanah-lt58eb00aaae826
Sukman, K. N. (2021). PROBLEMA WAKAF DI INDONESIA. Volume 1 Nomor
1 Maret 2021, Ats-Tsarwah, 52-68.
Syarif Hidayat, T. D. (2018). Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Wakaf yang Tidak Tercatat. Vol 4, No 1, Peradilan Agama (Februari,
2018), 9-14.
Usman, N. (2016). Subjek-subjek Wakaf: Kajian Fiqh Mengenai Wakif dan Nazhir.
CAKRAWALA, Vol. XI, No. 2, 145-166.