Anda di halaman 1dari 29

Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Hukum Islam II


Dosen Pengampu: Chaula Luthfia, S.Hi., M.Hi.

Disusun Oleh:
Kelompok 8

1. Muhammad Arya Nugraha (1111210326)


2. Shakira Ali Badreiq (1111210333)
3. Vadyah Desmita (1111210341)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT, karena dengan rahmatnya kami
masih diberikannikmat sehat, nikmat akal, sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia dengan baik dan tepat waktu.
Terima kasih pula kami ucapakan kepada Ibu Chaula Luthfia, S.Hi., M.Hi.
selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Islam II. Adapun tujuan penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Islam II. Kami
harap dengan penyusunan makalah ini dapat menambah wawasan kami dan juga
para pembaca, agar memahami lebih dalam tentang Wakaf dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Kami pun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari dari kata sempurna, maka dari itu kami mengharapakan
kritik dan saran dari pembaca agar dapat membuat makalah yang jauh lebih baik
lagi.

Serang, 27 Agustus 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan....................................................................................................... 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih ............................. 3

2.2 Dasar Hukum Wakaf ................................................................................ 8

2.3 Fungsi Wakaf ......................................................................................... 11

2.4 Macam-Macam Wakaf ........................................................................... 11

2.5 Rukun dan Syarat Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih ............... 13

2.6 Harta Benda yang Dapat dan Tidak Dapat Diwakafkan (Mauquf) ........ 17

2.7 Pelaksanaan Wakaf di Indonesia ............................................................ 18

BAB III ................................................................................................................. 22

PENUTUP............................................................................................................. 22

3.1 Simpulan...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 1

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Wakaf merupakan salah satu bentuk khusus instrumen ekonomi Islam
yang mendasarkan fungsinya pada unsur keutamaan, kebaikan, dan
persaudaraan, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Wakaf
merupakan ibadah yang istimewa karena pahalanya terus mengalir dan kekal
hingga akhirat. Maka dari itu, wakaf sering disebut sebagai investasi agama
untuk jangka panjang karena manfaatnya di dunia dan akhirat tidak lekang oleh
waktu. Distribusi manfaat dari wakaf ini harus dikembangkan dan
berkesinambungan, baik dalam konsep kedermawanan, maupun dalam konsep
pemberdayaan masyarakat miskin agar permodalan dapat dimanfaatkan secara
lestari. Harta benda wakaf sebagai pranata sosial Islam sebenarnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi, penggunaan harta wakaf adalah tidak
terbatas pada kegiatan tertentu berdasarkan orientasi konvensional (pendidikan,
masjid, rumah sakit, panti asuhan, dll), tetapi aset wakaf dalam arti makro juga
dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti: sebagai pertanian, termasuk
pertanian campuran atau pertanian dan peternakan, industri, pertambangan, real
estate, gedung perkantoran, hotel, restoran, dan lain-lain.

Di Indonesia, untuk lebih memperkuat konsep wakaf, ada ada


beberapa peraturan yang mengatur, antara lain UU Wakaf yaitu UU No. 41
tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah tentang Wakaf. Oleh karena itu,
penyusunan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan wakaf dalam perspektif
regulasi, juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman
tentang wakaf.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penyusun mempunyai
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa itu wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf alaih?
2. Bagaimana dasar hukum wakaf?
3. Apa saja fungsi wakaf itu?
4. Apa saja macam dari wakaf?
5. Bagaimana rukun dan syarat-syarat wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih?
6. Harta benda apa saja yang dapat diwakafkan?
7. Bagaimana pelaksanaan dari wakaf tersebut?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami permasalahan yang dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Mengerti apa yang dimaksud dengan wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih.
2. Mengetahui ketentuan dan dasar hukum wakaf.
3. Mengetahui fungsi-fungsi wakaf.
4. Memahami dan mengetahui macam-macam wakaf.
5. Memahami rukun dan syarat-syarat wakaf, wakif, nazhir, dan mauquf
alaih.
6. Mengetahui benda yang dapat dan tidak dapat diwakafkan.
7. Mengetahui pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih


2.1.1 Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu
“al-awqaf” yang berarti menahan. Kata “al-waqf” merupakan
mashdar (kata benda) yang terbentuk dari kata “waqafa”1 dan
diserap menjadi Bahasa Indonesia yang memiliki arti berhenti,
menghentikan, berdiam ditempat, atau menahan sesuatu. Sehingga
yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta kekayaan atau
suatu benda yang diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran islam,
dalam pengertian lain wakaf juga berarti menghentikan perpindahan
milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga harta
tersebut dapat bermanfaat di jalan Allah.2

Para ahli fiqih memiliki pendapat yang berbeda dalam


mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga berbeda pula cara
pandang terhadap hakikat wakaf itu sendiri. Beberapa pandangan
tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:
a. Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang
menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka
mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.
Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf

1
Salamah, U. (2014). PRAKTEK PERWAKAFAN UANG DI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
(Studi Kasus di KJKS BMT AL-FATTAH Pati). Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
hlm 26.
2
Dra. Siah Khosyi'ah, M. (2010). Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan Perkembangannya
Di Indonesia. Bandung: CV PUSTAKASETIA, hlm 17.

3
tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan
menariknya kembali dan boleh menjualnya. Jika si
wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan
bagi ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf
hanyalah "menyumbangkan manfaat". Karena itu
mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang
berstatus tetap sebagai hak milik, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak
kebajikan (sosial), baik sekarang maupun yang akan
datang.
b. Mazhab Maliki
Berpendapat bahwa wakaf itu tidak
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan
wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain
dan wakif berkewajiban menyedekahkan
manfaatnya, serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat
hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima
wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk
upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat
digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf
dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk
masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik.
Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu
dari penggunaan secara pemilikan, tetapi
membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara
wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik si

4
wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan
sebagai wakaf kekal atau selamanya.
c. Mazhab Syafi'i dan Ahmad bin Hambal
Berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan
wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif
tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, seperti, perlakuan pemilik dengan cara
pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran
atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan
tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang
diwakafkannya kepada mauquf 'alaih (yang diberi
wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana
wakif tidak dapat melarang penyaluran
sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya,
maka Qadli berhak memaksanya agar
memberikannya kepada mauquf 'alaih. Karena itu
mazhab Syafi'i mendefinisikan wakaf tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang
berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan
atau sosial.
Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa
wakaf terjadi karena dua hal. Pertama karena
kebiasaan (perbuatan). Seperti seorang mendirikan
masjid, kemudian mengizinkan orang shalat di
dalamnya, secara tidak langsung ia telah
mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan (uruf).
Walaupun secara lisan ia tidak menyebutkannya.

5
Kedua, dengan lisan baik dengan jelas (sariih) atau
tidak, ataupun memaknai kata-kata habastu, wakaftu,
sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, dan harramtu. Bila
menggunakan kalimat seperti ini harus diiringi
dengan niat wakaf. Bila telah jelas seseorang
mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak
mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan
tidak bisa menariknya kembali. Benda yang
diwakafkan harus benda yang dapat dijual, walaupun
setelah jadi wakaf tidak boleh dijual dan benda yang
kekal dzatnya, karena wakaf bukan untuk waktu
tertentu, tetapi untuk selama-lamanya.

Berdasarkan pengertian wakaf yang telah dikemukakan oleh


beberapa ahli fiqih di atas, terlihat dengan jelas bahwa mereka
memiliki substansi pemahaman yang serupa, yakni wakaf adalah
menahan harta atau menjadikan harta bermanfaat bagi kemaslahatan
umat dan agama. Hanya saja terjadi perbedaan dalam merumuskan
pengertian-pengertian wakaf serta tetap atau tidaknya kepemilikan
harta wakaf itu bagi si wakif.3

Wakaf telah disyariatkan dan telah dipraktekkan oleh umat


Islam di seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
saat ini. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang
terpenting dalam syari'at Islam, sebab wakaf terjalin kepada seluruh
kehidupan ibadah dan perekonomian sosial kaum muslimin. Kajian
wakaf sebagai institusi sosial merujuk pada tiga substansi, yaitu:

3
Sihab, M. (2010). SENGKETA TANAH WAKAF MASJID DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, hlm 19-22.

6
a. Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber
datanya meliputi Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad.
b. Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara,
yang merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara itu.
c. Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu
lembaga yang hidup di masyarakat, berarti mengkaji
wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan
data yang ada dalam masyarakat.4

Dari beberapa pengertian wakaf di atas, dapat ditarik kesimpulan


bahwa wakaf meliputi:
a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang;
b. Harta benda tersebut bersifat kekal dzatnya atau tidak
habis apabila dipakai;
c. Harta tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh
pemiliknya, kemudian harta tersebut tidak bisa
dihibahkan, diwariskan, ataupun diperjual belikan;
dan
d. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan
umum sesuai dengan ajaran Islam.5

2.1.2 Pengertian Wakif


Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 2004
tentang wakaf terdapat 6 unsur wakaf yaitu “wakif”. Wakif adalah
pihak yang mewakafkan harta bendanya. Wakif meliputi:
a. Perorangan;
b. Organisasi; dan

4
Khoerudin, A. N. (2018). TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA ULAMA DAN
UNDANG_UNDANG DI INDONESIA. TAZKIYAJurnal Keislaman, Kemasyarakatan &
Kebudayaan, hlm 2.

5 Ibid, hlm 7.

7
c. Badan hukum.

Yang dimaksud dengan perorangan, organisasi, atau badan


hukum adalah perorangan warga negara Indonesia atau warga
negara asing, organisasi Indonesia atau organisasi asing, dan badan
hukum Indonesia atau badan hukum asing.

2.1.3 Pengertian Nazhir


Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (5) juga
menyatakan bahwa, “nazhir adalah sekelompok orang atau badan
hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda
wakaf”. Nazhir meliputi:
a. Perorangan;
b. Organisasi; dan
c. Badan hukum.

2.1.4 Pengertian Mauquf Alaih


Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk menerima
dan memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai
pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar
Wakaf.

2.2 Dasar Hukum Wakaf


Wakaf dalam Al-Quran memang tidak dijelaskan secara rinci sebab
biasanya dalam menjelaskan sesuatu Al-Quran bersifat global.6 Adapun
beberapa ayat yang berkaitan dengan wakaf adalah Surah Ali-Imran ayat
92, Surah Al-Baqarah ayat 267, Surah An-Nahl ayat 97, dan Surah Al-Hajj

6Syarif Hidayat, T. D. (2018). Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Wakaf yang
Tidak Tercatat. Vol 4, No 1, Peradilan Agama (Februari, 2018), hlm 11.

8
ayat 77. Berikut adalah bunyi dari masing-masing surah di atas, sebagai
berikut:
a. Surah Ali-Imran ayat 92

َ ‫لَ ْن تَنَالُوا ْال ِب َّر َحتّٰى ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ َّما تُحِ ب ُّْونَ َۗو َما ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ ْن‬
َ ّٰ ‫ش ْيءٍ فَا َِّن‬
‫ّٰللا ِب ٖه‬
‫ع ِليْم‬
َ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum
kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha
Mengetahui”.

b. Surah Al-Baqarah ayat 267

‫ض ۗ َو َْل‬ َ ْ َ‫س ْبت ُ ْم َومِ َّما ٰٓ اَ ْخ َر ْجنَا لَ ُك ْم ِمن‬


ِ ‫اْل ْر‬ َ ‫ت َما َك‬ ِ ‫ط ِي ٰب‬َ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها ا َّل ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ْن ِفقُ ْوا مِ ْن‬
‫ي‬
ٌّ ِ‫غن‬َ ‫ّٰللا‬ ٰٓ َّ ‫ْث مِ ْنهُ ت ُ ْن ِفقُ ْونَ َولَ ْست ُ ْم ِب ٰاخِ ِذ ْي ِه ا‬
َ ّٰ ‫ِْل ا َ ْن ت ُ ْغمِ ض ُْوا فِ ْي ِه ۗ َوا ْع َل ُم ْٰٓوا اَ َّن‬ َ ‫ت َ َي َّم ُموا ْال َخ ِبي‬
‫َحمِ يْد‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu
memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah
bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji”.

c. Surah An-Nahl ayat 97

‫طيِبَ ًۚةً َولَنَ ْج ِزيَنَّ ُه ْم اَجْ َرهُ ْم‬


َ ً ‫صا ِل ًحا ِم ْن ذَك ٍَر ا َ ْو ا ُ ْن ٰثى َوه َُو ُمؤْ مِ ن فَلَنُ ْحيِيَنَّهٗ َح ٰيوة‬ َ ‫عمِ َل‬ َ ‫َم ْن‬
َ‫س ِن َما كَانُ ْوا يَ ْع َملُ ْون‬َ ‫بِا َ ْح‬

Artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki


maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami

9
beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.

d. Surah Al-Hajj ayat 77

ْ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُوا‬


۩ًۚ َ‫ار َكعُ ْوا َوا ْس ُجد ُْوا َوا ْعبُد ُْوا َربَّ ُك ْم َوا ْفعَلُوا ْال َخي َْر لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah,


sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan,
agar kamu beruntung”.7

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Buku III


tentang Hukum Perwakafan Pasal 215 ayat 1 tentang Wakaf yang berbunyi,
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam”. Kemudian
berdasarkan ketentuan Pasal 215 ayat (4) KHI tentang pengertian benda
wakaf adalah segala benda baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.8
Pasal 216 tentang fungsi wakaf, pasal 217-219 tentang unsur dan syarat-
syarat wakaf, kewajiban dan hak nadzir yang terdapat pada pasal 220-222
KHI, tata cara berwakaf pada pasal 223 KHI, pendaftaran benda wakaf pada
pasal 224 KHI, perubahan benda wakaf pada pasal 225 KHI, penyelesaian
perselisihan benda wakaf pasal 226 KHI, pengawasan terdapat pada pasal
227 KHI, ketentuan peralihan pada pasal 228, dan ketentuan penutup pasal
229 KHI.

7
Sesse, M. S. (2010). Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional. Jurnal Hukum
Diktum, hlm 145
8
Sukman, K. N. (2021). PROBLEMA WAKAF DI INDONESIA. Volume 1 Nomor 1 Maret
2021, Ats-Tsarwah, hlm 63-64.

10
Ketentuan wakaf berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia,
diatur dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta lebih khusus mengatur ketentuan
hukum berwakaf pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
terdapat juga pada peraturan pemerintah No.28 tahun 1977 pasal (1) ayat
(1) tentang definisi wakaf.

2.3 Fungsi Wakaf


Dalam KHI pasal 216 adalah mengekalkan manfaat benda wakaf
sesuai dengan tujuannya. Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf bahwa, “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum”. Jadi, fungsi wakaf menurut KHI Pasal
216 dan 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dimaksudkan dengan
adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana, sehingga terwujudnya
kesejahteraan bersama. Dengan demikian orang yang kehidupannya
dibawah garis kemiskinan dapat tertolong dengan adanya wakaf.9

2.4 Macam-Macam Wakaf


2.4.1 Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri)
Disebut juga wakaf khusus yaitu wakaf yang sejak semula
ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu,
ataupun diperuntukkan bagi keluarga wakif, sekalipun pada
akhirnya untuk kemaslahatan dan kepentingan umum karena apabila
penerima wakaf telah wafat, harta wakaf itu tidak dapat diwarisi
oleh ahli waris yang menerima wakaf.

9 Khoerudin, A. N, Op.cit, hlm 8.

11
2.4.2 Wakaf Khairi
Wakaf yang peruntukannya sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum. Dalam penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Seperti
masjid, mushola, madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi
agama, kuburan, dan lain-lain. Wakaf umum inilah yang benar-
benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan
dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk
menafkahkan sebagian dari kekayaan umat Islam, untuk
kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala
jariyah yang lebih tinggi. Artinya meskipun si wakif telah meninggal
dunia, ia akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang
diwakafkan tersebut tetap dipergunakan untuk kepentingan umum.
Wakaf dalam bentuk ini benar-benar dapat dinikmati manfaatnya
oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang
keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan
ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta
untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir
bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia,
selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya.
2.4.3 Wakaf Musytarak
Wakaf ini merupakan gabungan keduanya. Di dalamnya ada
sebagian yang merupakan bentuk khairi dan sebagian ahli (dzurri),
yang manfaat atau hasil wakaf tersebut sebagiannya diperuntukkan
bagi kesejahteraan umum dan sebagian lainnya diperuntukkan bagi
keluarga wakif. Seperti, seseorang yang mewakafkan tokonya
dengan menetapkan bahwa 50% hasil dari pengelolaan toko untuk
keluarganya dan 50% lainnya untuk orang miskin.

12
2.4.4 Wakaf Syuyu’
Wakaf yang pelaksanaannya dilakukan secara gotong
royong, dalam arti beberapa orang berkelompok (bergabung)
menjadi satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara
patungan dan berserikat. Contoh, dalam pembangunan masjid yang
memerlukan lahan atau tanah yang cukup luas. Dalam hal panitia
pembangunan masjid tidak mempunyai dana yang relatif cukup
untuk membeli tanah yang diperlukan, dan tidak ada orang yang
mampu atau orang yang mewakafkan tanah seluas tanah yang
diperlukan, maka panitia pembangunan masjid tersebut biasanya
akan menawarkan kepada masyarakat untuk memberikan wakaf
semampunya.
2.4.5 Wakaf Muallaq
Suatu wakaf yang dalam pelaksanaannya digantungkan, atau
oleh si wakif dalam ikrarnya menangguhkan pelaksanaannya sampai
dengan ia meninggal dunia. Dalam arti, bahwa wakaf itu baru
berlaku setelah ia sendiri meninggal dunia. Dalam prakteknya untuk
sekarang, setelah masalah perwakafan diatur secara dalam hukum
positif, suatu perwakafan harus berlaku seketika itu juga, yakni
setelah wakif mengucapkan ikrar wakaf. Praktek Wakaf Mu’allaq
banyak terjadi di masa lampau, yakni sebelum masalah perwakafan
diatur dalam hukum positif.10

2.5 Rukun dan Syarat Wakaf, Wakif, Nazhir, dan Mauquf Alaih
2.5.1 Rukun dan Syarat Wakaf
Rukun wakaf ada empat (4), yaitu:
a. Wakif (orang yang mewakafkan harta);
b. Mauquf (barang atau benda yang diwakafkan);

10
Dr. Drs. Abd. Somad, S. M. (2012). HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm .n.d.

13
c. Mauquf Alaih (pihak yang diberi wakaf atau
diperuntukan wakaf); dan
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya, baik dengan tulisan maupun dengan
isyarat.).11

2.5.2 Syarat Wakif


Adapun syarat wakif perorangan, yaitu:
a. Dewasa;
b. Berakal sehat;
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. Pemilik sah harta benda wakaf.

Sementara itu syarat wakif organisasi adalah organisasi


tersebut harus memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar
organisasi yang bersangkutan. Kemudian syarat wakif badan hukum
adalah badan hukum tersebut harus memenuhi ketentuan badan
hukum untuk mewakafkan harta benda hukum sesuai dengan
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.12

2.5.3 Syarat Nazhir


a. Syarat nazhir perorangan menurut pasal 219 ayat (1), yaitu:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Beragama islam;
3. Dewasa;

11
Sarpini, S. (2019). Telaah Mauquf 'Alaih Dalam Hukum Perwakafan. ZISWAF; Jurnal Zakat dan
Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1), hlm 22.

12
Setiawan Bin Lahuri, R. A. (2018). Analisis Kiasan Wakaf Terhadap Wakaf Jiwa di Pondok
Modern Darussalam Gontor. Volume 1 Number 2, June 2018, hlm 7.

14
4. Mampu secara jasmani dan rohani; dan
5. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum: dan
6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda
yang diwakafkan.
b. Syarat nazhir organisasi, yaitu:
1. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi
persyaratan nazhir perseorangan; dan
2. Organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, atau keagamaan islam.
c. Syarat nazhir badan hukum, sebagai berikut:
1. Pengurus badan hukum yang bersangkutan
memenuhi persyaratan nazhir peseorangan;
2. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang
sosial, pendidikan, kemsyarakatan, atau keagamaan
islam.13
d. Pasal 219 ayat (3) berbunyi:
Nazhir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftarkan
pada kantor agama kecamatan setempat setelah mendengar
saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk
mendapatkan pengesahan.
e. Pasal 219 ayat (4) berbunyi: Nazhir sebelum melaksanakan
tugas, harus mengucapkan sumpah dihadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya
oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut: “Demi
Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi
Nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih
apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun

13
Ibid, hlm 8.

15
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”. “Saya
bersumpah bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian, saya bersumpah bahwa saya
senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggungjawab
yang dibebankan kepada saya selaku nazhir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan
tujuannya.
f. Pasal 219 (5) berbunyi: “Jumlah nazhir yang diperbolehkan
untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215 ayat
(20 sekurang-kurangnya terdiri dari 3 prang dan sebanyak-
banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan
camat setempat”.14

2.5.4 Syarat Mauquf Alaih


1. Memiliki kemampuan untuk memiliki pada saat
terjadinya prosesi wakaf (jelas);
2. Tidak dibenarkan juga berwakaf kepada orang gila,
binatang, burung-burung;
3. Harus dinyatakan secara tegas saat berikrar wakaf;
4. Harus dinyatakan secara tegas kepada siapa atau apa
tujuan wakaf; dan
5. Tujuan wakaf harus untuk ibadah.

14
Sarpini, S., Op.cit, hlm 30.

16
2.6 Harta Benda yang Dapat dan Tidak Dapat Diwakafkan (Mauquf)
Benda wakaf (mauquf) adalah segala benda baik bergerak atau tidak
bergerak yang memiliki daya tahan yang lama dan tidak bersifat sekali
pakai, juga bernilai menurut agama islam. Benda wakaf harus berupa benda
milik yang tidak terikat, dan bebas dari sengketa, pembebanan, atau sitaan,
dan hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi oleh wakif secara
sah. Harta benda wakaf terdiri dari:
a. Benda tidak bergerak.
1. Meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas
tanah;
3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan
tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. Benda bergerak berupa uang.
1. Uang;
2. Logam dan batu mulia;
3. Kendaraan;
4. Mesin atau alat industri yang tidak tertancap pada
tanah;
5. Hak atas kekayaan intelektual; dan
6. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka
panjang.

17
c. Benda bergerak selain uang.
1. Surat berharga yang berupa:
− Saham;
− Surat utang negara;
− Obligasi pada umumnya; dan
− Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan
uang.
2. Hak atas kekayaan intelektual yang berupa:
− Hak cipta;
− Hak merk;
− Hak paten;
− Hak desain industri;
− Hak rahasia dagang;
− Hak sirkuit terpadu;
− Hak perlindungan varietas tanaman; dan
− Hak lainnya.
3. Hak atas benda bergerak lainnya berupa:
− Hak sewa, hak pakai hasil atas benda bergerak;
dan
− Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat
ditagih atas benda bergerak.

2.7 Pelaksanaan Wakaf di Indonesia


Pemahaman masyarakat muslim Indonesia tentang wakaf ini
melahirkan sikap dan perilaku mereka dalam berwakaf terukur lewat
barometer fiqih dan Mazhab Syafi'iyah, yang paling mereka yakini bahwa
ibstidal waqaf (menukar harta benda wakaf dengan sesuatu baik harta benda
wakaf itu dijual terlebih dahulu kemudian diganti dengan barang yang lain
atau dipindah lokasinya) itu tidak diperbolehkan sehingga cenderung
tradisional dan konvensional.

18
Masyarakat muslim Indonesia berwakaf dalam bentuk yang
berbeda-beda dan dengan nama yang berbeda pula. Ada yang berwakaf
tanah, kebun, rumah, bangunan dan benda mati lainnya seperti mushaf Al-
Qur’an, sajadah, dan lain sebagainya. Motivasi mereka untuk berwakaf pun
ternyata berbeda-beda. Paling tidak, ada dua motivator masyarakat
Indonesia untuk berwakaf, sebagai berikut:
a. Aspek Ideologis Normatif
Bahwa masyarakat muslim Indonesia memahami Wakaf adalah
suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama dan merupakan
perwujudan dari keimanan seseorang. Untuk itu dalam ajaran
Islam, harta merupakan aset yang diatur oleh agama tergantung
bagaimana mereka mampu mentasarufkan harta tersebut atau
tidak.
b. Aspek Sosial-Ekonomis.
zakat itu digunakan dalam hal-hal yang bersifat darurat dan
kebutuhan yang sangat mendasar. Akan tetapi untuk
pengembangan selanjutnya dibutuhkan peran wakaf. Dimana ia
menjadi modal untuk pengembangan dan mengatasi masalah
sosial dan ekonomi kemasyarakatan secara umum khususnya
masyarakat Indonesia.

Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa


pemahaman mayoritas masyarakat muslim Indonesia terhadap
wakaf banyak dipengaruhi oleh mazhab Syafi'iyah, maka
pemahaman tersebut antara lain:
a. Anggapan cukup terhadap wakaf yang hanya ikrar
dengan lisan saja. Keluguan, kejujuran dan sikap
saling percaya masyarakat Indonesia sangat
berpengaruh dalam tata cara mereka berwakaf
sehingga melahirkan persoalan di hari mendatang.

19
b. Persoalan lain yang telah mereka pahami bahwa
wakaf harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Berupa benda yang memiliki nilai. Tidak sah
hukumnya berwakaf selain benda, seperti
hak-hak yang berkaitan dengan benda, seperti
hak irigasi, hak pakai, dll.
2. Berupa barang atau benda bergerak atau tidak
bergerak yang mempunyai fungsi dan
manfaat yang kekal.
3. Barang atau benda tersebut harus jelas.
4. Barang atau benda tersebut ketika terjadi
akad berstatus milik sempurna dari si wakif.
5. Barang atau benda yang sudah diwakafkan
berubah kepemilikannya menjadi milik Allah
dan diperuntukkan bagi masyarakat umum,
sehingga tidak dapat diperjual-belikan,
diwariskan, digadaikan dan sebagainya.
6. Kebanyakan masyarakat muslim Indonesia
berwakaf kepada keluarga atau orang tertentu
(wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif atau
keagamaan atau kemasyarakatan (wakaf
khairi) dan tentang kebolehan tentang
menukar atau menjual harta wakaf mereka.

Tata cara pelaksanaan wakaf dijelaskan dalam Undang-Undang No.


41 Tahun 2004 tentang tata cara sighat wakaf. Menurut pasal 17 ayat (1)
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Ikrar wakaf dilaksanakan oleh
Wakif kepada Nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Yang

20
dimaksud dengan PPAIW dalam hal ini adalah Kepala KUA kecamatan.
Dalam hal suatu kecamatan tidak ada Kantor KUA-nya, maka Kepala
Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai PPAIW di
kecamatan tersebut. Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf
secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena
alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya
dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. Saksi dalam
ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:

a. Dewasa;
b. Beragama islam;
c. Berakal sehat;
d. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Kemudian pasal 21 ayat (1) uu no. 41 tahun 2004 menentukan


bahwa ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Akta ikrar wakaf
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. Nama dan identitas wakif;


b. Nama dan identitas nazhir;
c. Data dan keterangan harta benda wakaf;
d. Peruntukan harta benda wakaf; dan
e. Jangka waktu wakaf. Ketentuan lebih lanjut mengenai akta
ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.15

15
Mahfudz, A. (2019). Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang Keabsahan Wakaf
Tanpa Sighat Wakaf. Pekanbaru: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau, hlm 55.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Wakaf adalah menahan harta kekayaan atau suatu benda yang diambil
manfaatnya sesuai dengan ajaran islam, dalam pengertian lain wakaf juga
berarti menghentikan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan
tahan lama, sehingga harta tersebut dapat bermanfaat di jalan Allah.
Pengertian wakaf yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli fiqih di atas
memiliki pemahaman yang serupa, yakni wakaf adalah menahan harta
atau menjadikan harta bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan agama.
Hanya saja terjadi perbedaan dalam merumuskan pengertian-pengertian
wakaf serta tetap atau tidaknya kepemilikan harta wakaf itu bagi si wakif.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta bendanya, terdiri dari
perorangan, organisasi, dan badan hukum.
3. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana
yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (5) tentang
pengertian nazhir.
4. Mauquf alaih adalah pihak menerima dan memperoleh manfaat dari wakaf
sesuai yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.
5. Beberapa ayat yang berkaitan dengan wakaf adalah Surah Ali-Imran ayat
92, Surah Al-Baqarah ayat 267, Surah An-Nahl ayat 97, dan Surah Al-
Hajj ayat 77.
6. Dasar hukum wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal
215-229 dan berdasarkan hukum positif di Indonesia terdapat pada
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan
Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004.

22
7. Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum.
8. Terdapat berbagai macam wakaf yaitu, wakaf ahli, wakaf Khairi, wakaf
musytarak, wakaf syuyu’, dan wakaf muallaq.
9. Rukun wakaf ada empat, yaitu, Wakif, Mauquf, Mauquf Alaih, dan
Shighat.
10. Benda wakaf (mauquf) adalah segala benda baik bergerak yang bukan
uang, benda bergerak berupa uang, atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang lama dan tidak bersifat sekali pakai, juga bernilai
menurut agama islam. Benda wakaf harus berupa benda milik yang tidak
terikat, dan bebas dari sengketa, pembebanan, atau sitaan, dan hanya dapat
diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi oleh wakif secara sah.
11. Tata cara pelaksanaan wakaf dijelaskan dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang tata cara sighat wakaf.

23
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Drs. Abd. Somad, S. M. (2012). HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah
dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dra. Siah Khosyi'ah, M. (2010). Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqih dan
Perkembangannya Di Indonesia. Bandung: CV PUSTAKASETIA.
Hanna, S. (2015). Wakaf Saham Dalam Perspektif Hukum Islam. Mizan; Jurnal
Ilmu Syariah,FAI UniversitasIbn Khaldun (UIKA) BOGOR , 99-124.
Indonesia. (2006). Undang-Undang Republik Indoneesia Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Khoerudin, A. N. (2018). TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA
ULAMA TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF MENURUT PARA ULAMA
. TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, 1-10.
Mahfudz, A. (2019). Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Keabsahan Wakaf Tanpa Sighat Wakaf. Pekanbaru: Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Muntaqo, F. (2015). PROBLEMATIKA DAN PROSPEK WAKAF PRODUKTIF
DI INDONESIA. Al-Ahkam, Volume 25, Nomor 1, 83-108.
Rahman, M. (2009). Wakaf Dalam Islam. Al-Iqtishad: Vol. 1, No.1, Januari 2009,
79-90.
Salamah, U. (2014). PRAKTEK PERWAKAFAN UANG DI LEMBAGA
KEUANGAN SYARI’AH (Studi Kasus di KJKS BMT AL-FATTAH Pati).
Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo.
Sarpini, S. (2019). Telaah Mauquf 'Alaih Dalam Hukum Perwakafan. ZISWAF;
Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1), 19-42.
Sesse, M. S. (2010). Wakaf Dalam Perspektif Fikhi dan Hukum Nasional. Jurnal
Hukum Diktum, 143-160.
Setiawan Bin Lahuri, R. A. (2018). Analisis Kiasan Wakaf Terhadap Wakaf Jiwa
di Pondok Modern Darussalam Gontor. Volume 1 Number 2, June 2018, 7-
15.
Sihab, M. (2010). SENGKETA TANAH WAKAF MASJID DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo .
Sovia Hasanah, S. (2017, April 11). Benda-benda yang Dapat Diwakafkan Selain
Tanah. Retrieved from Hukum Online.com:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/benda-benda-yang-dapat-
diwakafkan-selain-tanah-lt58eb00aaae826
Sukman, K. N. (2021). PROBLEMA WAKAF DI INDONESIA. Volume 1 Nomor
1 Maret 2021, Ats-Tsarwah, 52-68.
Syarif Hidayat, T. D. (2018). Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Wakaf yang Tidak Tercatat. Vol 4, No 1, Peradilan Agama (Februari,
2018), 9-14.
Usman, N. (2016). Subjek-subjek Wakaf: Kajian Fiqh Mengenai Wakif dan Nazhir.
CAKRAWALA, Vol. XI, No. 2, 145-166.

Anda mungkin juga menyukai