Anda di halaman 1dari 20

LEMBAGA WAKAF DAN ZAKAT

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Lembaga


Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu :
Nur Aini, S.E.I., M.E
Oleh :
1. Febri Rakhmah Kurnia Sari (20202900331)
2. Bahrudin (20202900327)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALAZHAR
MENGANTI-GRESIK
2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Segala puji bagi Allah SWT begitu


banyak kenikmatan, kesehatan serta kesempatan sehingga penulis tetap berada di
jalan yang lurus.

Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW


yang telah membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang
benderang yakni Ad-Dinul Islam.

Rasa syukur serta nikmat yang tak terbatas atas kesempatan yang Allah
SWT berikan, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan judul
“LEMBAGA WAKAF DAN ZAKAT”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk
itu apabila terdapat banyak kesalahan, kami mengharapkan kritik dan saran dari
kalian untuk makalah ini, supaya makalah ini bisa lebih baik lagi.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada teman-teman yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini.

Gresik, 04 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... ii


Daftar Isi......................................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................ 2
BAB II:PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Dari Wakaf Serta Zakat .. 3
B. Manajemen Pengelolaan Zakat .................................................... 7
C. Paradigma Wakaf Produktif ......................................................... 9
BAB III:PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Zakat adalah kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan nilai
bersih dari kekayaannya yang tidak melebihi satu nisab, diberikan kepada
mustahik dengan beberapa syarat yang telah ditentukan. Zakat merupakan
rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun
kedua Hijriyah setelah diwajibkannya Puasa Ramadhan. Tujuan
pengelolaan zakat adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
dalam menunaikan zakat, mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.1
Lembaga pengelola zakat Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat. Wakaf menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka memajukan dan
mengembangkan perwakafan di Indonesia keanggotaan BWI diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres)
No. 75/M Tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007 sebagai
amanah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.

1
Ulfa Damayanti, dkk, “Zakat dan Wakaf,” Makalah (IAIN Jember, 2015), 24.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, tujuan dan dasar hukum dari waqaf serta zakat?
2. Bagaimanakah manajemen pengelolaan zakat?
3. Bagaimana paradigma wakaf produktif?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, tujuan dan dasar hukum dari waqaf
serta zakat.
2. Untuk mengetahui manajemen pengelolaan zakat.
3. Untuk mengetahui paradigma wakaf produktif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Dari Wakaf Serta Zakat


Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu
waqafa yang berarti menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam
bahasa indonesia kata waqaf biasa diucapkan dengan wakaf dan ucapan
inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di Indonesia.2 Menurut
istilah wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
menghabiskan atau meneruskan bendanya dan digunakan untuk kebaikan.3
Sedangkan definisi wakaf dalam terminologi fiqih adalah
penahanan pemilikan atas hartanya yang dapat dimanfaatkan tanpa
merubah substansi dari segala bentuk tindakan atasnya dan mengalihkan
manfaat harta tersebut untuk salah satu ibadah pendekatan diri kepada
Allah dengan niat mencari ridho Allah.4 Menurut syari’at, wakaf adalah
habsul ashli wa tasbiluts tsamrah (menahan pokoknya dan melepaskan
buahnya). Artinya, menahan harta dan mendistribusikan manfaatnya di
jalan Allah.5
Dalam bahasa Indonesia kata wakaf diucapkan dengan wakaf
ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan Indonesia.
Menurut istilah lain, wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan
milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta
itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT.6

2
Departemen Agama, Ilmu Fiqih 3, (Jakarta : Depag RI, 1986), cet. ke-II, 207.
3
H. Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta:
1989), 23
4
Subulus Salam, Bulughul Maram, Juz Ke-3, Lihat Terjemah, Al-Bassam Abdullah Bin
Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. ke-1, Jilid 5, 117.
5
Said Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: th), cet. ke- 1, juz III, 978. Lihat terjemah, Sulaiman Al-Faifi,
Mukhtashar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, (Solo: Aqwam, Serikat Penerbit Islam, 2010), cet. ke- 1,
Jilid 2, 424.
6
Asymuni A. Rahman, dkk, Ilmu Fiqh, (Jakarta: 1986), cet. ke-2, 207.

3
Dalam istilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal
(tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang
dimaksud dengan tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan
itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan
sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai
dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.7
Dalam kompilasi hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.8
Al- Qur’an tidak pernah bicara secara spesifik dan tegas tentang
wakaf.hanya saja, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan
melalui harta benda, maka para ulama pun memahami bahwa ayat-ayat al-
Qur’an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga
mencakup kebajikan melalui wakaf. Karena itu, dalam kitab-kitab fiqh
ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa dasar hukum wakaf
disimpulkan dari beberapa ayat.9
Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah
untuk masjid, mushala, pesantren, perkuburan dan lainya. Namun apabila
seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya,
hal itu dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut
menjadi wewenang lembaga hukum yang menerima harta-harta wakaf
tersebut.10
Dalam UU No 41/2004 tentang wakaf pasal 4 bahwa tujuan wakaf
itu sendiri adalah untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan

7
Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2007), 1.
8
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakafan, (Jakarta : PT Rinneka Cipta,
2002), cet. ke-9, 93.
9
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 103.
10
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 242.

4
fungsinya, Pasal 5 UU 41/2004 menyatakan bahwa fungsi wakaf adalah
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.11
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 216, bahwa fungsi wakaf
tersebut adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan
wakaf. Dengan demikian, fungsi wakaf di sini bukannya mengekalkan
objek wakaf, melainkan mengekalkan manfaat benda milik yang telah
diwakafkan sesuai dengan peruntukan wakaf yang bersangkutan.12
Dasar hukum wakaf diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum wakaf yaitu
sebagai berikut:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan”. (QS. al-Hajj : 77 ). Didalam kata khair (kebaikan)
yang secara umum maknanya dalam bentuk memberi seperti wakaf.
Didalam ayat diatas juga diperintahkan kepada mukmin agar senantiasa
selalu menghambakan diri hanya kepada Allah SWT semata.
Artinya :“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”. (QS. Ali Imran : 92).
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji”.

11
Depag RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, 2006), 4.
12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2004),
165.

5
(QS. al-Baqarah : 267). Ayat tersebut secara umum memberi pengertian
infak untuk tujuan kebaikan.
Wakaf adalah menafkahkan harta untuk tujuan-tujuan kebaikan.13
Wakaf adalah salah satu usaha untuk mewujudkan dan memelihara Hablun
min Allah dan Hablun min an-nas. Dalam fungsinya sebagai ibadah, ia
diharapkan akan menjadi bekal bagi kehidupan si wakif di hari kemudian.
Artinya: Dari abu hurairah ra., sesungguhnya Rasullullah SAW.
Bersabda, “apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.14” (HR. Muslim)
Maksud sedekah jariyah adalah wakaf. Makna hadits tersebut
adalah pahala tak lagi mengalir kepada si mayat kecuali tiga perkara yang
berasal dari usahanya di atas. Anaknya yang shaleh, ilmu yang
tinggalkannya, dan sedekah jariyah, semua berasal dari usahanya.15
Setiap kita muslim yang mukmin sudah barang tentu akan
menunaikan rukun-rukun islam yang lima terutama rukun islam yang
empat yaitu: Syahadat, Sholat, Zakat dan Puasa sedangkan rukun yang ke
lima yakni menunaikan haji ke baitullah itu kalau mampu.
Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh
setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Sebagai
salah satu rukun Islam, Zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan
yang berhak menerimanya (asnaf).
Zakat berasal dari bentuk kata “zaka” yang berarti suci, baik,
berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat, karena di dalamnya
terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan
memupuknya dengan berbagai kebaikan.
Makna tumbuh dalam arti zakat menunjukkan bahwa
mengeluarkan zakat sebagai sebab adanya pertumbuhan dan

13
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. ke- 1, jilid
10, 273.
14
Departemen Agama, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Raja Wali Press, 2007), cet. Ke-1, 12.
15
Said Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksari, 2009), cet.1, Jilid 5, 434.

6
perkembangan harta, pelaksanaan zakat itu mengakibatkan pahala menjadi
banyak. Sedangkan makna suci menunjukkan bahwa zakat adalah
mensucikan jiwa dari kejelekan, kebatilan dan pensuci dari dosa-dosa.
Mengenai rukun islam yang ke tiga yakni zakat, banyak dalil baik
dalam al-quran maupun al-hadits. Dan diantara dalil-dalil tentang perintah
zakat adalah sebagai berikut, artinya “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-baqarah: 43)
Dalam Al-Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”
(QS. at-Taubah [9]: 103). Dalil ini menunjukkan manfaat atau tujuan dari
zakat itu sendiri.

B. Manajemen Pengelolaan Zakat


Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian
serta pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan
zakat adalah mużakki dan harta yang dizakati, mustaḥiq, dan amil.16
Manajemen zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam
Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2011 dinyatakan bahwa
“Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian
serta pendayagunaan zakat”. Agar LPZ (Lembaga Pengelola Zakat) dapat
berdaya guna, maka pengelolaan atau manajemennya harus berjalan
dengan baik.
Kualitas manajemen suatu organisasi pengelola zakat harus dapat
diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat
ukurnya, Pertama, amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang
harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah
semua sistem yang dibangun. Kedua, sikap profesional. Sifat amanah
belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya.

16
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 25.

7
Ketiga, transparan. Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita
menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya
melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak
eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan
masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung
oleh penerapan prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsip-prinsip
operasionalisasi LPZ antara lain. Pertama, kita harus melihat aspek
kelembagaan. Dari aspek kelembagaan, sebuah LPZ seharusnya
memperhatikan berbagai faktor, yaitu: visi dan misi, kedudukan dan sifat
lembaga, legalitas dan struktur organisasi, dan aliansi strategis.
Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset
yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi amil
zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu perlu diperhatikan faktor
perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah sebuah profesi dengan
kualifikasi SDM yang khusus.
Ketiga, aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem
pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah: LPZ
harus memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas, memakai IT,
manajemen terbuka; mempunyai activity plan; mempunyai lending
commite; memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan; diaudit;
publikasi; perbaikan terus menerus.17
Mustaḥiq adalah seorang muslim yang berhak memperoleh bagian
dari harta zakat disebabkan termasuk dalam salah satu 8 asnaf (golongan
penerima zakat), yaitu fakir, miskin, amil, mu’aĺaf, riqab, gharim,
sabilillah, dan ibnu sabil. Sedangkan amil adalah badan atau lembaga yang
ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dari mużakki dan mendistribusikan
harta zakat tersebut kepada para mustaḥiq. Di samping pada sisi yang lain

17
Eri Sudewo, Manajemen Zakat, Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar, (Jakarta:
Institut Manajemen Zakat Ciputat, 2004), 30

8
amil juga termasuk dari salah satu 8 asnaf di atas, sebagaimana terdapat
dalam Al-Qur’an surat at-Taubah (9): 60.

C. Paradigma Wakaf Produktif


Paradigma Wakaf Produktif menawarkan dua hal yang berkaitan
dengan wakaf produtif: Pertama, asas paradigma wakaf (baru) produktif.
Kedua, Aspek-aspek paradigma wakaf (baru) produktif. Adapun yang
termasuk kedalam asas tersebut antara lain:
1. Asas Keabadian Manfaat
Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi yang
dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat
Nabi yang lain sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda
wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan
benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud
Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak
pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah
nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebajikan umum.
2. Asas Pertanggung Jawaban
Pertanggung jawaban merupakan asas paradigma baru wakaf.
Sebagai sebuah ajaran yang memiliki dimensi ilahiyah dan insaniyyah,
wakaf harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Bentuk dari pertanggungjawaban tersebut adalah pengelolaan secara
sungguh-sungguh dan semangat yang didasarkan kepada:
a) Tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan
perbuatannya, apakah perilakunya itu sesuai atau bertentangan
dengan atauran-aturanNya.
b) Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada
pihak yang memberikan wewenang, yaitu lembaga yang lebih
tinggi sesuai dengan jenjang organisasi keNazhiran yang
terdiri dari sub-sub organisasi pengelolaan dan pengembangan,
masing-masing sub harus bertanggung jawab kepada lembaga

9
yang lebih tinggi. Sehingga fungsi-fungsi kontrol organisasi
dapat berjalan dengan baik agar amanah yang sedang diemban
dapat dipenuhi secara optimal.
c) Tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang dilakukan
berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku. Seorang Nazhir atau orang yang diberikan
wewenang dalam pengelolaan wakaf selaku pemegang amanah
harus mampu mempertanggung jawabkan tindakannya, bahwa
apa yang dilakukannya itu benar-benar sesuai dengan hukum
yang berlaku.
d) Tanggung jawab sosial, yaitu yang tanggung jawab yang
terkait dengan moral masyarakat. Seseorang (Nazhir wakaf)
dalam melakukan tindakan harus dapat dipertanggung
jawabkan pula kepada masyarakat secara moral bahwa
perbuatannya itu bisa aman secara sosial, yaitu tidak
mencederai norma-norma sosial yang ada dimasyarakat.
Karena apabila melakukan perbuatan yang tercela,
bersangkutan akan mendapat sanksi sosial berupa
dipermalukan ditengah-tengah masyarakat.
3. Asas Profesionalisme Manajemen
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen
dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu
lebih bermanfaat atau tidak tergantung tergantung pada pola pengelolaan,
bagus atau buruk.
Dalam sebuah teori manajemen modern bisa disebut dengan istilah
TQM (Total Quality Manajemen), yang terdiri dari 4 hal: Amanah,
Shiddiq (Jujur), Fathanah (cerdas/brillian), dan Tabligh (menyampaikan
infromasi yang benar/transparan). Sedangkan, potret kepemimpinan
manajemen yang baik dalam lembaga keNazhiran bisa dilihat dari tiga
Aspek:

10
Pertama, transparansi. Dalam kepemimpinan manajemen
profesional, transparansi menjadi ciri utama yang harus dilakukan oleh
seorang pemimpin. Ketika aspek transparansi sudah ditinggalkan, maka
kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka peluang
terjadinya penyelewengan yang tak terkendali.
Kedua, Public accountability (pertanggungjawaban umum).
Pertanggung jawaban umum merupakan wujud dari pelaksanaan sifat
amanah (kepercayaan) dan shiddiq (kejujuran). Karena kepercayaan dan
kejujuran memang harus dipertanggung jawabkan baik didunia maupun
diakhirat kelak.
Ketiga, aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh
dinamika) lembaga keNazhiran. Seorang Nazhir yang dipercaya mengelola
harta milik umum harus mendorong terjadinya sistem sosial yang
melibatkan partisipasi banyak kalangan.
4. Asas Keadilan Sosial
Penegakan keadilan sosial dalam Islam merupakan kemurnian dan
realitas ajaran agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini
dianggap sebagai pendusta agama (QS. 147/al-Ma’un: 17). Substansi yang
terkandung dalam ajaran wakaf sangat tampak adanya semangat
menegakkan keadilan sosial melalui pendermaan harta untuk kebajikan
yang bersifat anjuran, tetapi daya dorong untuk menciptakan pemerataan
kesejahteraan sangat tinggi. Karena prinsip yang mendasari ibadah wakaf
adalah terciptanya social kemasyarakatan yang dibangun diatas kesamaan
hak dan kewajiban sebagai makhluk Allah.
Konsepsi keadilan sosial ekonomi yang Islami mempunyai ciri
khas dari konsep ekonomi yang lain, diantaranya:
Pertama, keadilan sosial dilandasi prinsip keimaman, yaitu bahwa
semua orang yang ada di alam semesta adalah milik Allah (QS. 10 /Yunus:
55). Ajaran islam tidak membenarkan seseorang melakukan penimbunan
kekayaan (ikhtikar) demi kepentingan diri sendiri, karena manusia

11
hanyalah sebagai khalifah dan pemegang amanah Allah untuk
memfungsikan harta.
Kedua, menggalakkan sistem pendistribusian kembali pendapatan
yang sifatnya built in, yang lebih diefektifkan lagi dengan mengaitkannya
pada ridha Allah.
Ketiga, keadilan sosial dalam Islam berakar pada moral.
Implikasinya secara otomatis mendorong kewajiban untuk berbuat adil dan
saling membantu.
Sedangkan yang tergolong ke dalam aspek-aspek paradigma wakaf
produktif adalah :
1. Pembaharuan Paham tentang wakaf
Pelaksanaan pembaharuan sudah dan sedang dilakukan oleh pihak
yang berkepentingan dengan wakaf adalah :
a. Sertifakat tanah wakaf
b. Pertukaran benda wakaf
c. Pola seleksi yang dilakukan oleh para Nazhir wakaf atas
pertimbangan manfaat.
d. Sistem ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif diarahkan
kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan yang
bersifat khusus seperti yang terjadi selama ini.
e. Perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih).
f. Persyaratan Nazhir
g. Pemberdayaan, pengembangan dan pembinaan.
2. Sistem Manajemen Pengelolaan
Kata pengelolaan berasal dari kata kelola. Kata ini memiliki makna
diantaranya adalah mengendalikan, menyelenggarakan (pemerintah);
mengurus (perusahaan, proyek, dan sebagainya); menjalankan. Jika telah
diberi telah diberi imbuhan dan menjadi kata pengelolaan, maka maknanya
dapat diuraikan sebagai berikut.18

18
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2007), 54.

12
a. Proses, cara, perbuatan mengelola
b. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan
tenaga orang lain, dan
c. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan
organisasi.
3. Sistem Manajemen Kenazhiran
Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidang
tertentu yang berkenaan dengan amanah untuk mengembangkan harta
wakaf. Secara personal Nazhir haruslah orang-orang yang mempunyai
reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat jujur, adil dan
amanah.
Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai
ilmu-ilmu syari’ah, juga mesti menguasai materi-materi fikih muamalah,
khususnya yang berhubungan dengan wakaf. Selanjutnya, pemahaman
terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajemen, akuntansi, dan ilmu
ekonomi Islam adalah suatu keharusan yang harus dimiliki oleh Nazhir.
Karena dengan pemahaman yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut seorang
Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.
Dalam literatur fiqh, pengelola wakaf disebut dengan nazhir.
Menurut as Shan ani pngertian nazhir adalah orang atau pihak yang
berhak untuk bertindak terhadap harta wakaf, baik untuk memelihara,
mengerjakan berbagai hal yang memungkinkan harta itu tumbuh dengn
baik, maupun mendistribusikan hasilnya kepada orang yang berhak
menerima.19
Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1,
yang dimaksud nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
wakif yang diucapkan secara lisan atau tulisan kepada nazhir untuk
mewakafkan harta benda miliknya. Kemudian dalam pasal 11 dinyatakan
bahwa tugas nazhir juga mencakup pengawasan dan perlindungan

19
Departemen Agama, Nazhir Profesional dan Amanah, (Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji: 2005), 67.

13
terhadap harta benda wakaf, baik karena peristiwa-peristiwa force majeur
maupun karena kerugian/kegagalan investasi.
4. Sistem rekruitmen wakif
Sistem rekruitmen wakif dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan: Pendekataan keagamaan, Pendekatan kesejahteraan social,
Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan, dan Pendekatan efektivitas
pemanfaatan hasil.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Zakat merupakan bagian rukun Islam yang ketiga dan zakat terbagi
menjadi dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Di Indonesia yang
mana merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia namun
hingga saat ini masyarakat muslimnya masih kekurangan baik dari sektor
pelayanan umum ataupun kesejahteraan. Seandainya muslim di Indonesia
menunaikan zakat bukan tidak mungkin dari pengelolaan zakat yang tepat
bisa membangun muslim Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
Sementara jika wakaf bisa terlaksana dengan baik di Indonesia bisa saja
negara ini tidak lagi kekurangan di bidang pelayanan umum dan muslim
tidak harus kebingungan mencari dana untuk melengkapi sarana umum
atau tempat ibadah.
Pada intinya, tujuan dari wakaf maupun zakat adalah untuk
menyejahterakan perekonomian umat hanya saja metode dan prosesnya
yang berbeda. Jika wakaf ditujukan untuk kepentingan umum sedangkan
zakat ditujukan untuk kepentingan pribadi. Zakat dan wakaf diperuntukkan
bagi yang hartanya cukup untuk disedekahkan kepada yang membutuhkan.
Karena bermanfaat bukan hanya dalam segi agama juga dalam segi sosial,
ekonomi, dan lain-lain. Patut kita ketahui bahwa zakat jika dipraktekkan
secara benar di Indonesia, kesenjangan antara yang kaya dan miskin
mungkin tidak akan ada.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman, Asymuni, dkk. Ilmu Fiqh. Jakarta: cet. ke-2, 1986.


Abdullah Bin Abdurrahman, Al-Bassam. Syarah Bulughul Maram.
Jakarta: Pustaka Azzam, cet. ke-1, Jilid 5, 2006.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika
Presindo, 2004.
Al-Alabij, H. Adijani. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan
Praktek. Jakarta: 1989.
Al-Faifi, Sulaiman. Mukhtashar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Solo:
Aqwam, Serikat Penerbit Islam, cet. ke- 1, Jilid 2, 2010.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani,
cet. ke- 1, jilid 10, 2011.
Damayanti, Ulfa, dkk. “Zakat dan Wakaf,” Makalah (IAIN Jember, 2015).
Depag RI. Peraturan Perundangan Perwakafan. Jakarta: Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006.
Departemen Agama RI. Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007.
Departemen Agama. Fiqih Wakaf. Jakarta: Raja Wali Press, cet. Ke-1,
2007.
Departemen Agama. Ilmu Fiqih 3. Jakarta: Depag RI, cet. ke-II, 1986.
Departemen Agama. Nazhir Profesional dan Amanah. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji: 2005.
Hafiduddin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani Press, 2002.
Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Buku III Hukum Perwakafan. Jakarta: PT.
Rinneka Cipta, cet. ke-9, 2002.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

16
Sabiq, Said. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksari, cet.1, Jilid 5, 2009.
Sudewo, Eri. Manajemen Zakat, Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4
Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat Ciputat, 2004.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007.

17

Anda mungkin juga menyukai