Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH WAKAF

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama dan Ke-NU-an 5


Dosen pengampu : M. Burhanudin, Lc., M.IRKH

Disusun Oleh:
1. Rahma Nafilah (204210014)
2. Nina Ulfiya (204210015)
3. Luthfi Ismawan (204210016)

KELAS FS21A
PROGAM STUDI FISIKA
INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS
NAHDLATUL ULAMA PEKALONGAN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan panjatkan kehadiran Allah SWT. yang bahwasanya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Agama dan Ke-Nu-an V yang bejudul Wakaf.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Agama dan Ke-NU-an V. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
Fiqih khususnya pada bab wakaf bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak kami harapkan agar dalam
pembuatan makalah diwaktu yang akan datang bisa lebih baik lagi. Harapan kami semoga
makalah ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 7
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................... 7
BAB II........................................................................................................................................ 8
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 8
A. Pengertian wakaf ............................................................................................................. 8
B. Dalil-Dalil dan Hukum Wakaf ...................................................................................... 10
C. Macam-macam Wakaf .................................................................................................. 12
D. Rukun dan Syarat Wakaf ............................................................................................... 13
E. Hukum Memindahkan Wakaf ....................................................................................... 18
F. Hukum Pengalihfungsian Wakaf................................................................................... 19
G. Wakaf Produktif ............................................................................................................ 22
H. Wakaf Nuqud ................................................................................................................ 22
I. Hikmah Wakaf .............................................................................................................. 25
BAB III .................................................................................................................................... 27
PENUTUP................................................................................................................................ 27
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Wakaf ialah salah satu doktrin ajaran Islam yang memiliki nilai ibadah, serta
dikatakan memiliki nilai sosial, sebab salah satu tujuan wakaf merupakan mencari
keridhaan-Nya. Dianggap mempunyai nilai sosial sebab memberi suatu kepada orang lain.
Dalam konteks ibadah Islam (ibadah sosial), wakaf merupakan salah satu pedoman ajaran
Islam tentang kehidupan bermasyarakat. Karena wakaf adalah ibadah tabarru’ (pemberian
bersifat sunnah), tujuan utamanya adalah untuk pengabdian kepada Tuhan dan dengan tulus
mencari ridha-Nya.
Disamping sebagai lembaga keagamaan dan memiliki fungsi sosial, wakaf juga
merupakan wujud keyakinan yang teguh dan rasa kebersamaan yang tinggi dengan
sesama..Oleh karena itu, wakaf berkomitmen untuk menciptakan serta memelihara
kesejahteraan sesama manusia.
Dalam peranan peribadatannya, wakaf diharapkan sebagai bekal untuk kehidupan
wakif (pemberi wakaf) selanjutnya. Wakaf merupakan amalan yang mana sepanjang atribut
wakaf digunakan buat tujuan yang baik, hingga menjadikan pahala bakal terus mengalir.
Merujuk pada peranan sosialnya, wakaf ialah aset yang sangat berharga dalam
pembangunan. Tidak hanya bekerja keras membentuk kepribadian serta karakter umat
Islam, dan rela buat merelakan sebagian hartanya demi kepentingan orang lain, ini pula
sebagai investasi pembangunan yang bernilai besar yang tidak memperhitungkan jangka
waktu serta kepentingan material untuk yang mewakafkan (wakif). Sebaliknya, memegang
harta yang boleh digunakan tanpa memakan ataupun menghancurkan barang (ainnya) serta
digunakan buat kebaikan ini merupakan wakaf secara istilah syara’.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam banyak ayat Al-Qur'an tentang betapa
bernilainya wakaf ini, tercantum dalam firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 92 Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran / 3:92)
Wakaf bukan cuma sedekah biasa, namun mempunyai nilai lebih dari
sedekah/pemberian yang lain. Sedekah dalam wujud wakaf lebih besar pahala serta berguna
untuk si wakif, sebab harta yang diwakafkan bakal terus mengalir pahalanya kepada wakif
walaupun telah wafat, sepanjang benda yang diwakafkan masih dapat digunakan serta
bermanfaat bagi umat. Seperti disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. ُ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Ayyub dan Qutaibah, yaitu Ibnu Sa’id dan Ibnu Hujr mereka berkata; telah menceritakan
kepada kami Isma’il, yaitu Ibnu Ja'far dari Al-‘Ala dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwa

4
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka
terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat
baginya, dan anak shalih yang selalu mendoakannya”.
Wakaf menurut mayoritas ulama ialah menahan harta yang mampu dimanfaatkan
sedangkan benda tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan
terhadap benda tersebut dari wakif serta yang lain, untuk pengelolaan yang diperbolehkan
dengan tujuan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah. Adapun untuk pemanfaatan
serta pengelolaanya harus sesuai dengan peruntukan wakaf tersebut.
Dijelaskan pula dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai pengertian
wakaf, yaitu: “Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah”. Mengingat praktik wakaf yang berjalan di masyarakat masih belum
sepenuhnya tertib serta efektif, nazhir wakaf pun belum secara baik memelihara dan
mengelola aset wakaf dalam berbagai situasi. Perihal ini bukan cuma sebab
ketidakmampuan nazhir dalam mengelola serta meningkatkan benda wakaf, namun pula
sebab perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya memahami tentang keadaan benda
wakaf yang wajib dilindungi demi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan peruntukan
wakaf tersebut.
Di Indonesia sendiri wakaf telah diketahui serta diterapkan oleh umat Islam
semenjak masuknya Islam ke Indonesia. Selaku lembaga Islam, wakaf sudah jadi salah satu
faktor pendukung pertumbuhan masyarakat Muslim. Sebagian besar daerah wakaf di
Indonesia digunakan buat tempat ibadah, lembaga pendidikan Islam serta lembaga
keagamaan Islam yang lain. Oleh karena itu, dalam mengelola aset wakaf peran nazhir
sangat penting. Karena berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada nazhirnya.
Telah dipaparkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 11, bahwa nazhir mempunyai
tugas berikut:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukannya;
3. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Dalam PP Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 13 juga disebutkan bahwa nazhir mempunyai tugas
berikut:
1. Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7 dan Pasal 11 wajib
mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta
benda wakaf.

5
2. Nazhir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri dan BWI mengenai
kegiatan perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri.
Pengertian nazhir wakaf menurut istilah para fuqaha ialah yang Artinya: “Nazhir
wakaf ialah orang (organisasi) yang menguasai wakaf, menjaga pokok wakaf dan hasilnya,
juga mengimplementasikan syarat wakif”.
Berikutnya dalam PP Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (4) dijelaskan mengenai
pengertian nazhir, yaitu: “Pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”.
Oleh karenanya, nazhir merupakan elemen yang sangat berarti dalam sistem
perwakafan, sebab tanpa nazhir peruntukan serta tujuan wakaf tidak bakal tercapai. Dalam
upaya memelihara dan meningkatkan sarana wakaf, maka dari itu nazhir harus memegang
aset wakaf dan melakukan ketentuan wakaf.
Tetapi, kinerja para nazhir tidak senantiasa berjalan mulus dalam penerapannya.
Alasannya, nazhir yang terdapat belum handal serta masih belum optimal dalam
melaksanakan tugasnya. Wakaf cuma dilakukan sesuai standar minimum sehingga hasilnya
tidak optimal. Supaya wakaf bisa berguna untuk seluruh masyarakat serta mendukung
kesejahteraan sosial ekonomi, dalam Islam aset wakaf wajib dikelola dengan baik. Dengan
begitu atribut wakaf senantiasa berguna serta tidak disia-siakan.
Sebagaimana tersebut dalam KHI Pasal 220, bahwasannya nazhir memiliki kewajiban
sebagai berikut:
1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta
hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur oleh Menteri Agama.
2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala KUA Kecamatan
setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
3. Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan Menteri Agama.
Berdasarkan hasil pra observasi yang penulis lakukan di KUA Kecamatan Kesambi,
bahwa kinerja nazhir yang terdaftar di KUA tersebut mereka belum menjalankan tugas dan
kewajibannya dengan baik dan optimal, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Para nazhir masih belum sepenuhnya mengerti
tentang tugas dan kewajiban mereka. Kurangnya sosialisasi terhadap para nazhir oleh
Badan Wakaf Indonesia (BWI) atau KUA setempat juga menjadi kendala yang menjadikan
nazhir tidak menjalankan kinerjanya dengan baik. Kebanyakan dari para wakif ketika ingin

6
mewakafkan hartanya hanya menjadikan nazhir sebagai syarat administrasi untuk
terealisasinya wakaf tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan nazhirnya tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas diperoleh gambaran betapa
pentingnya kinerja nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf, terlebih lagi semuanya sudah
diatur dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya, menarik buat
penulis untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kinerja nazhir wakaf yang amat menentukan
dalam pengelolaan harta wakaf dalam prakteknya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Wakaf.
2. Dasar Hukum Wakaf..
3. Macam – Macam Wakaf.
4. Rukun dan Syarat Wakaf.
5. Implementasi Wakaf di zaman sekarang.
6. Hukum Memindahkan Wakaf
7. Hukum Peralihfungsian Wakaf
8. Hukum Wakaf Produktif
9. Hukum Wakaf Nuqud
10. Hikmah Wakaf

C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa dapat memahami Pengertian Wakaf
2. Mahasiswa dapat memahami Dasar Hukum Wakaf..
3. Mahasiswa dapat memahami Macam – Macam Wakaf.
4. Mahasiswa dapat memahami Rukun dan Syarat Wakaf.
5. Mahasiswa dapat memahami Implementasi Wakaf di zaman sekarang.
6. Mahasiswa dapat memahami Hukum Memindahkan Wakaf
7. Mahasiswa dapat memahami Hukum Peralihfungsian Wakaf
8. Mahasiswa dapat memahami Hukum Wakaf Produktif
9. Mahasiswa dapat memahami Hukum Wakaf Nuqud
10. Mahasiswa dapat memahami Hikmah Wakaf

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian wakaf
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa”
berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat” atau “tetap berdiri”. Kata
“Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf
dalam bahasa arab dapat diartikan:
“‫ْنى ألتَّحْ بيْس َوالتَّسْبيْل‬
َ ‫بمِع‬
َ ‫ف‬ُ ‫” ْال َو ْق‬

“Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahkan.”


Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab bentuk
masdar atau kata jadian, kata kerja atau fi’il yang berarti berhenti, berdiri. Pengertian
menghentikan ini, jika dikaitkan dengan wakaf dengan istilah ilmu tajwid ialah tanda
berhenti dalam bacaan Al-Qur’an, begitu pula jika dihubungkan dengan masalah haji yaitu
wuquf berarti berdiam diri atau bertahan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah namun
maksud menghentikan, menahan atau waqf di sini yang berkenaan dengan harta dalam
pandangan hukum Islam, sering disebut ibadah wakaf.
Secara etimologi, wakaf berasal dari bahasa Arab “al-waqfu” yang berarti “al-
habsu”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya
berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta
seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu. Kata al-waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian, yaitu:
‫ف َمن ْـفَ َعة فى َسبيْل اا‬ َ ‫ْس اْل َمال َو‬
ُ ْ‫صر‬ ْ َ‫ أ‬. ‫ َحسْبُ اْألَصْل َوالتَّسْبيْل الثَّ ْم َرة‬: ‫َوفى شَرْ ع‬
ُ ‫ى َحب‬
“Wakaf menurut syara’, yaitu: menahan benda (barang) dan mempergunakan hasilnya,
yakni menahan benda dan mempergunakan manfaatnya di jalan Allah (fi< sabi<lillah).”
Maka wakaf menurut syara’ berarti penahanan hak milik atas materi benda
untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya dijalan Allah. Yang dimaksud
dengan menahan dza>t (asal) benda adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak
diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan,
dipinjamkan, dan sejenisnya.
Adapun menurut Muhammad Daud Ali kata “wakaf” yang berasal dari bahasa Arab
itu di samping berarti menghentikan atau berdiam di tempat, juga mempunyai arti
menahan sesuatu yang dihubungkan dengan harta kekayaan itulah yang dimaksud dengan
wakaf, dalam uraian ini wakaf yaitu menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya
sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan menurut para ulama fikih, mereka berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pula pada hukum
yang ditimbulkan.

8
1. Menurut mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik orang yang
berwakaf (wa>kif) dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Lebih lanjut,
menurut mazhab Hanafi mewakafkan harta bukan berarti meninggalkan hak milik secara
mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh saja menarik wakafnya kembali kapan saja ia
kehendaki dan boleh diperjual belikan oleh pemilik semula. Bahkan menurut Abu Hanifah,
jika orang yang mewakafkan tersebut meninggal dunia, maka pemilikan harta yang
diwakafkannya berpindah menjadi hak ahli warisnya.
Dengan demikian, bagi Abu Hanifah suatu wakaf akan berakhir dengan
meninggalnya orang yang mewakafkan, dengan harta tersebut kembali kepada ahli waris yang
berhak. Namun pada kesempatan lain, mazhab Hanafi mengakui keberadaan harta wakaf yang
tidak dapat ditarik kembali, yaitu:
1) Berdasarkan keputusan hakim bahwa wakaf itu tidak boleh dan tidak dapat ditarik
kembali
2) Wakaf itu dilakukan dengan jalan wasiat
3) Harta wakaf yang dipergunakan untuk pembangunan masjid.

2. Menurut mazhab Maliki


Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan
tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan
wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya, serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya.
Berdasarkan definisi ini, seseorang yang mewakafkan hartanya dengan menahan harta
benda tersebut secara penuh dan membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebajikan, dengan tetap kepemilikan yang pada diri si wakif Yang menjadi dasar pendapat
mazhab Maliki bahwa pemilikkan harta wakaf itu tetap berada ditangan orang yang
mewakafkan (wakif) dan manfaat bagi mauqu>f ‘alai>h (yang berhak menerima hasil atau
manfaat wakaf) ialah hadis Rasulullah SAW:
“Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah manfaatnya”.

3. Menurut mazhab Syafi’i


Wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya, dengan tetap utuh
barangnya, dan barang tersebut lepas dari milik orang yang mewakafkan (wakif), serta
dimanfaakan untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
Berdasarkan pengertian ini, mazhab Syafi’i memiliki sikap yang sangat tegas
terhadap status kepemilikan harta wakaf, yaitu dengan sahnya wakaf maka kepemilikan

9
harta wakaf telah berpindah kepada Allah, dalam arti milik umat, dan bukan lagi milik orang
yang mewakafkan dan juga bukan milik nazir atau pengelola wakaf.
4. Menurut mazhab Hanbali
Wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang brmanfaat dengan tetap utuhnya harta, dan memutuskan
semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukkan bagi
kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan pada pengertian ini, mazhab Hanbali berpendirian bahwa apabila suatu
wakaf sudah sah, maka hilanglah kepemilikan wakif tersebut atas harta yang diwakafkannya.
Hadis Rasulullah SAW: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”.
Dipahami oleh mazhab Hanbali bahwa harta wakaf tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan
dan tidak boleh diwariskan kepada siapapun.
Berdasarkan beberapa pngertian wakaf yang telah dikemukakan oleh beberapa
fuqaha di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka memiliki substansi pemahaman
yang serupa, yakni bahwa wakaf adalah menahan harta atau menjadikan harta bermanfaat bagi
kemaslahatan umat dan agama. Hanya saja terjadi perbedaan dalam merumuskan
pengertian-pengertian wakaf serta tetap tidaknya kepemilikan harta wakaf itu bagi wakif.
Dalam KHI pasal 215 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
lainnya sesuai ajaran Islam.
Dalam PP nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 1 ayat 1
“wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan dari harta
kekayaannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1 bahwa wakaf adalah
Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untukjangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari berbagai penjabaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah
menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT.

B. Dalil-Dalil dan Hukum Wakaf


Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf adalah mubah. Sedangkan para faqih yang
lain berpendapat hukum wakaf adalah mandub (mustahab). Arti mandub (mustahab) ialah
“Suatu perbuatan yang diberi pahala bagi pelakunya, tetapi tidak dijatuhi sanksi bagi yang
meninggalkannya”.

10
Sumber masyru’ (legitimasi) wakaf dan sejarahnya dalam Islam adalah Al-Quran,
Sunnah dan respon sahabat-sahabat Rasulullah Muhammad Saw.
1. Al Quran ialah firman Allah Ta’ala:

َ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّذيْنَ ٰا َمنُوا ارْ َكعُ ْوا َوا ْس ُجد ُْوا َوا ْعبُد ُْوا َربَّكُ ْم َوا ْفعَلُوا ْال َخي َْر لَعَلَّكُ ْم ت ُ ْفلح ُْون‬
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS.Al Hajj Ayat 77)

‫عليْم‬
َ ‫ّللا به‬ ْ ‫لَ ْن تَنَالُوا ْالب َّر َحتٰى ت ُ ْنفقُ ْوا م َّما تُحب ُّْونَ َۗو َما ت ُ ْنفقُ ْوا م ْن َش‬
َ ٰ َّ‫يء فَان‬
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imron Ayat 92)
Abu Thalhah, seorang sahabat, setelah mendengar ayat di atas ingin me wakafkan hartanya
yang sangat dicintainya, berupa kebun, di Birha’.
2. Dalil sunnah, di antaranya:
Sabda Rasulullah Saw:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila anak cucu
Nabi Adam (manusia) wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu
dari sedekah jariah (wakaf) atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang
mendoakannya.”

Para ulama menafsirkan sabda Rasulullah Saw: (sedekah jariah) dengan wakaf. Sedangkan,
instrument sosial lain tidak termasuk sedeqah jariyah, karena wujud bendanya dimiliki oleh
yang pihak yang menerima, dan manfaatnya terbatas. Mungkin yang masuk kategori
sedeqah jariyah ini adalah wasiat, namun sangat terbatas jumlahnya. Oleh karena itu,
makna sedeqah jariyah pada hadis di atas adalah wakaf.

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengatakan bahwa Umar memperoleh sebidang tanah
pasca perang di tanah Khaibar. Beliau lalu melaporkannya kepada Nabi, dan berkata:
“Wahai Rasulullah, saya menerima sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendapat harta sebanyak dan sangat berguna bagiku. Apa yang engkau sarankan kepadaku
tentang tanah tersebut?” Nabi menjawab: “bila engkau ridha, tahanlah (jangan jual,
hibahkan dan wariskan) pokoknya dan sedeqahkan hasilnya.”

Hadis di atas dapat dipetik berapa ketentuan-ketentuan, sebagai berikut:


(1) Harta wakaf harus tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain), baik dijual,
dihibahkan maupun diwariskan.
(2) Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.

11
(3) Tujuan wakaf harus jelas (terang) dan termasuk perbuatan baik menurut ajaran agama
Islam.
(4) Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam
harta wakaf sekedar perlu dan tidak berlebihan.
(5) Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama dan tidak musnah
sekali digunakan.
Hadis kedua di atas juga menunjukkan bahwa sahabat Umar yang pertama
mengamalkan wakaf. Namun, ada pendapat lain bahwa Rasulullah Saw sendiri yang
pertama berwakaf. Yaitu ketika Nabi membangun masjid Nabawi yang terletak pas di
samping rumah beliau.

C. Macam-macam Wakaf
Menurut para ulama, wakaf ada dua macam, yaitu wakaf ahli (khusus) dan wakaf khairi
(umum).
1. Wakaf ahli
Wakaf ahli yaitu wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang- orang tertentu, seorang
atau lebih, baik ada ikatan keluarga dengan si wakif ataupun tidak. Karena wakaf ini
diperuntukkan bagi orang-orang khusus atau orang-orang tertentu, maka wakaf ini disebut
pula dengan wakaf khusus (zurri).
Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada
cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalaha mereka yang
ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (waakf ahli/zurri) kadang-kadang juga
disebut wakaf ‘alal aula>d, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan sosial
dalam lingkungan keluarga (famili) dan lingkungan kerabat sendiri.
Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang tersebut dalam sighat
wakaf. Persoalan yang biasa timbul kemudian hari pada wakaf ahli ini, ialah bila orang
yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia tidak berketurunan dan
jika dinyatakan bahwa keturunannya berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang
tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu. Bila terjadi seperti yang
itu, maka biasanya harta wakaf itu dikembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu
dimanfaatkan untuk menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial.
Hal ini dapat dipahami dari Hadis Ibnu Umar bahwa bila harta telah diwakafkan
berarti telah diserahkan kepada Allah SWT. Sedangkan manfaat harta wakaf itu boleh
digunakan untuk karib kerabat, untuk jalan Allah, untuk fakir miskin dan sebagainya.
Bila karib kerabat atau orang tertentu tidak ada lagi tentulah harta wakaf itu dapat
dimanfaatkan untuk keperluan yang lain sesuai dengan yang telah ditentukan Allah.
2. Wakaf Khairi
Wakaf khairi atau disebut juga dengan istilah “wakaf umum”.Yaitu wakaf yang

12
secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan
umum).
Adapun peruntukkan wakaf umum ini ditujukan untuk kepentingan umum, seperti:
masjid, mushalla, madrasah, pondok pesantren maupun yang lainnya. Wakaf umum ini,
sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan
sebagian kekayaan umat Islam, untuk kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai
nilai pahala jariyah yang tinggi, artinya meskipun si wakif telah meninggal dunia, ia akan
tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda wakaf tersebut tetap dipergunakan untuk
kepentingan umum.
Di Indonesia wakaf khairi inilah yang terkenal dan banyak dilakukan kaum Muslimin.
Hanya saja umat Islam di Indonesia belum mampu mengelolanya secara baik sehingga
harta wakaf itu belum dapat diambil manfaatnya secara maksimal.

D. Rukun dan Syarat Wakaf


Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada
4, yaitu:
1. Wakif (pemberi wakaf)
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya. Jadi wakif tidak hanya perorangan tetapi juga bisa dalam bentuk
organisasi dan badan hukum.
Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya adalah
tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), karena itu syarat
seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’. Mengenai kecakapan bertindak,
dalam hukum fikih ada dua istilah yang perlu dipahami untuk membedakannya, yakni
baligh dan rasyid. Pengertian ba>ligh menitikberatkan pada usia, dalam hal ini
umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun. Adapun yang dimaksud dengan rasyid
adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Oleh karena itu, menurut Jumhur
Ulama’ tidak ada wakaf yang bisa dilakukan oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut).
Adapun syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 8 UU No. 41 Tahun 2004
dikemukakan dalam pasal wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf ( a) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan : Dewasa, Berakal
Sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan Pemilik sah harta benda wakaf.
Sedangkan bagi wakif yang berasal dari organisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf ( b) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi dengan anggaran dasar
organisasi yang besangkutan.
Kemudian bagi wakif yang berasal dari badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf ( c) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan

13
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. (lihat juga Pasal 3 PP. Nomor 28/1977).
Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan),
dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qabul (ucapan menerima) dari orang yang
menerima wakaf. Namun demikian ketentuan ini perlu dipahami, bahwa dalam
pelaksanaannya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum
wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib administrasi.
Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali benda yang sudah diwakafkannya dan
dilarang menuntut agar harta yang sudah diwakafkan dikembalikan ke dalam bagian hak
miliknya dalam keadaan apapun.

2. Mauquf (benda yang diwakafkan)


Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah, apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang akan diwakafkan
adalah sebagai berikut:
1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai. Hal ini
karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda tersebut.
2) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum.
3) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda wakaf
merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
4) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasan- batasannya
(misalnya tanah).
5) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah yang lebih
besar.
6) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang tidak bergerak.
7) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
8) Bukan barang haram atau najis.
Sifat dari harta wakaf haruslah harta yang tahan lama dan bermanfaat, seperti tanah
dan kebun. Tetapi kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan
kebun pun dapat diwakafkan asal bermanfaat dan tahan lama. Tetapi dalam
perkembangannya banyak pula yang mewakafkan harta yang bergerak seperti yang
dikemukakan dalam pasal 215 ayat (4) dari Kompilasi Hukum Islam “Benda wakaf adalah
segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”.
Adapun benda yang tidak bergerak seperti yang tertera pada UU No. 41 Tahun
2004 pada pasal 16 ayat (2), yaitu meliputi:
1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

14
2) Bangunan atau bagian dari bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana yang di
maksud pada huruf a;
3) Tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
5) Benda tidak bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Adapun benda yang bergerak meliputi: Uang, Logam mulia, Surat berharga,
Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual, Hak sewa, dan Benda bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedang syarat benda-benda wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa (Pasal 217 ayat
(3)).

3. Mauquf ‘Alaih (Tujuan Wakaf)


Dalam pelaksanaan wakaf seharusnya wakif menentukan tujuan dalam mewakafkan
harta benda miliknya, seperti harta wakaf tersebut digunakan untuk Masjid, madrasah,
pondok pesantren atau yang lainnya. Dalam wakaf yang utama adalah wakaf itu
diperuntukkan untuk kebaikan mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Oleh karena itu tidak diperbolehkan memberikan wakaf untuk kepentingan maksiat, atau
membantu, mendukung dan atau yang memungkinkan digunakan untuk tujuan maksiat.
Untuk lebih konkritnya tujuan wakaf adalah sebagai berikut:
1) Untuk mencari ridha Allah, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk
menegakkan agama Islam, seperti: mendirikan tempat- tempat ibadah kaum muslimin,
kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama Islam dan
sebagainya.
2) Untuk kepentingan masyarakat, seperti: membantu fakir miskin, orang-orang terlantar,
kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim piatu dan sebagainya.
3) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah pada umumnya,
sekurang-kurangnya tujuannya harus merupakan hal yang mubah menurut kaidah
hukum Islam.

4. Sighat Wakaf (Ikrar Wakaf)


Sighat wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah benda
miliknya.Dalam sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas baik secara
lisan maupun tulisan, dan disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan, kepada siapa
diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Sighat tersebut biasanya menggunakan kata “aku
mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna lainnya. Dengan pernyataan

15
wakif tersebut, maka gugurlah hak wakif.
Selanjutnya benda itu menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk
kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf. Oleh karena itu, benda yang telah
diikrarkan untuk wakafnya, tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, maupun diwariskan.
Mengenai masalah saksi dalam ikrar wakaf, tidak dibicarakan dalam kitab-
kitab hukum (fikih) Islam, karena mungkin para ahli fikih menggolongkan wakaf ke dalam
aqad tabarru’ yakni janji untuk melepaskan hak tanpa suatu imbalan kebendaan.
Pelepasan hak itu ditujukan kepada Allah dalam rangka beribadah untuk memperoleh
keridhaan-Nya.
Namun, karena masalah ini termasuk ke dalam kategori maslahah mursalah yakni
untuk kemaslahatan umum, maka soal kesaksian itu perlu juga diperhatikan. Juga
pernyataan wakif harus jelas yakni: 1) Melepaskan haknya atas pemilikan benda yang
diwakafkan, dan 2) Menentukan peruntukan benda itu apakah khusus untuk kepentingan
orang-orang tertentu ataukah umum untuk kepentingan masyarakat.
Dalam pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 1977 jo. Pasal 218 KHI jo. Pasal 17 UU No
41 Tahun 2004.
1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan
tegas kepada Nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk
akta ikrar wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2) Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (10)
dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

5. Nazir (Orang yang memelihara benda wakaf)


Pada umumnya di dalam kitab-kitab fikih tidak mencantumkan nazir wakaf sebagai
salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah ibadah tabarru’.
Namun demikian, dengan perkembangan zaman serta memperhatikan tujuan wakaf yang
ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran nazir sangat penting.
Nazir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan
mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya.
a. Ketentuan nazir
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi nazir asal saja ia berhak melakukan tindakan
hukum. Adapun mengenai ketentuan nazir sebagaimana tercantum pada pasal 9-14 UU
No. 41 Tahun 2004 meliputi:
Pasal 9, nazir meliputi:
a) Perorangan
b) Organisasi
c) Badan hukum

16
Pasal 10
a) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf ( a) hanya dapat menjadi
nazir apabila memenuhi persyaratan:
(1) Warga negara Indonesia
(2) Beragama Islam
(3) Dewasa
(4) Sehat jasmani dan rohani
(5) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan pada KHI pasal 215 ayat (4) syarat nazir perorangan ditambah dengan adanya
ketentuan nazir bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
b) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf (b) hanya dapat menjadi
nazir apabila memenuhi persyaratan:
(1) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perorangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(2) Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial kemasyarakatan,
dan atau keagamaan Islam.
c) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf ( c) hanya dapat menjadi
nazir apabila memenuhi persyaratan:
(1) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
(2) Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam.
d) Pelaksanaan wakaf direalisasikan segera setelah ikrar. Hal ini karena pemilikan
benda telah lepas dari wakif. Karena itu wakaf tidak boleh digantungkan
kepada suatu keadaan atau syarat tertentu, misalnya pada kematian seseorang,
atau kondisi tertentu.
e) Apabila seorang wakif menentukan syarat dalam pelaksanaan pengelolaan benda
wakaf, yang mana syarat tersebut tidak bertentangan dengan tujuan wakaf, maka
nazir perlu memperhatikannya. Tetapi apabila syarat tersebut bertentangan dengan
tujuan wakaf semula, seperti masjid yang jama’ahnya terbatas golongan tertentu saja
nazir tidak perlu memperhatikan.

b. Kewajiban dan hak-hak nazir atas benda wakaf nazir sebagai pihak yang bertugas
memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan penting dalam perwakafan.
Meskipun demikian, tidak berarti nazir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta
yang diamanatkan kepadanya. Pada umumnya ulama sepakat bahwa kekuasaan nazir
hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf
yang dikehendaki wakif.Kewajiban dan hak-hak nazir diatur dalam pasal 220 KHI jo

17
pasal 7 PP No. 28 Tahun 1977 sebagai berikut:
a. Nazir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan wakaf
serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut
ketentuan- ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
b. Nazir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi
tanggungjawabnya sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) kepada kepala
Kantor Urusan Agama kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis
Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
c. Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksudkan dalam ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan Peraturan Menteri Agama.
Pada pasal 222 KHI dan pasal 8 PP No. 28/1977 dinyatakan: “nazir berhak
mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan
kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama (KUA)
kecamatan setempat”.
Kemudian yang berhak menentukan nazir wakaf adalah wakif. Mungkin ia sendiri yang
menjadi nazir, mungkin pula diserahkannya kepada orang lain, baik perorangan maupun
organisasi. Namun agar perwakafan dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya, maka
pemerintah berhak campur tangan mengeluarkan berbagai peraturan mengenai
perwakafan, termasuk menentukan nazir nya yakni melalui persetujuan PPAIW (Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf).

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazir memperoleh
pembinaan dari Pemerintah dan Badan Wakaf Indonesia.

E. Hukum Memindahkan Wakaf


Ustaz Farid Numan Hasan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
berdasarkan hukum Islam. Penjelasannya sebagai berikut.Pada prinsip dasarnya, harta yang
sudah diwaqafkan tidak boleh dijual belikan.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:

َِ ‫ث‬ َ ‫صد َّْق بأَصْله ََل يُبَاعُ َو ََل يُوهَبُ َو ََل ي‬


ُ ‫ُور‬ َ َ‫ت‬

"Shadaqahkanlah (waqafkan) dengan pepohonannya dan jangan kamu jual juga jangan
dihibahkan dan jangan pula diwariskan."

(HR. Bukhari no. 2764)

Namun, para ulama menegaskan ada kondisi mendesak yang membuatnya boleh
dipindahkan, dan tentunya dijual dulu agar bisa pindah.

18
Dalam Al Mausu'ah tertulis:

Jika manfaat harta waqaf sirna maka hendaknya dikelola dengan cara yang
memungkinkannya dapat mengalir kembali manfaatnya yaitu:

1. Dibangun atau di makmurkan dengan hal lain yang lebih dibutuhkan.

2. Menjualnya lalu diganti dengan yg lainnya

3. Kembalikan ke kuasa waqif (pewaqaf), agar dia kelola.

Contoh Aplikasinya adalah:

- Jika kondisinya waqaf tsb tidak bermanfaat. Misal, waqaf tanah untuk pesantren,
sementara pesantren itu bangkrut tdk ada santri. Maka, boleh bagi nazir mengubahnya
menjadi hal yang lebih melahirkan manfaat (menjadi RS atau masjid, atau makam). Atau
menjualnya lalu pindah ke daerah yg lebih membutuhkan pesantren tsb.

- Kena proyek negara, yg manfaatnya lebih umum seperti kena proyek jalan tol, jalan raya,
yg dapat menghidupkan ekonomi umat daerah tsb lebih pesat. Maka, boleh dijual dan
dipindahkan ke tempat lain agar waqafnya tetap bermanfaat.

- Jika dijual Tanpa alasan, ini diharamkan.

Di dalam aturan hukum Indonesia, tanah wakaf sudah diatur dalam UU Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf. Regulasi lain terkait tanah wakaf yakni Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

F. Hukum Pengalihfungsian Wakaf


Para Ulama berbeda pendapat dalam mensikapi boleh atau tidaknya alih fungsi
benda wakaf. Di antara pendapat ulama yang membolehkan pengalihfungsian harta benda
wakaf, yaitu:

1. Imam Abu Hanifah


Menurut Imam Abu Hanifah alih fungsi benda wakaf boleh dengan alasan beliau
adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-
nyiaan benda wakaf itu, serta untuk mempertahankan tujuan hakiki disyari’atkannya
wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan berkesinambungan. Ulama
Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga syarat:
a) Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar.
b) Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan
c) Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan bermanfaat.

19
2. Imam Ahmad bin Hanbal/ Hanabilah
Imam Ahmad membolehkan berhujjah bahwa Umar bin Khattab RA.
Memindahkan mesjid Kuffah yang lama ke tempat yang lain, dan tempat yang lama
digunakan sebagai pasar bagi para pedagang korma. Ini merupakan penggantian
terhadap area mesjid. Dan Umar juga melakukan terkait penamahan serta perluasan
bangunan mesjid Nabawi, ini dilakukan ketika Umar RA, menjawab sebagai khalifah
sampai kepada masa khalifah Usman juga melakukan hal yang demikian. Begitu juga
pada masjidil haram. Dalam AshShahihain disebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda kepada Aisyah.
Dengan demikian, boleh merubah wakaf dari satu bentuk ke bentuk lain demi
kemashlahatan yang besar. Adapun mengganti area wakaf dengan area lain, maka ini
telah ditetapkan oleh Ahmad dan lainnya bahwa itu boleh dilakukan mengikuti
ketentuan yang diterapkan para sahabat Rasulullah SAW. Yaitu ketika Umar RA.
Melakukan pengalihan dan penambahan semacam itu dan kejadiannya diketahui secara
luas namun tidak ada yang memungkiri.
Hanabilah (Hanbali) dipandang sebagai madzhab yang banyak memberikan
kelonggaran dan kemudahan terhadap Istibdal (pengalihan) wakaf, meskipun pada
dasarnya tidak berbeda jauh dari tiga madzhab yang lain (Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah), yaitu sedapat mungkin mempertahankan (istibqa’) keberadaan barang
wakaf tetap seperti semula, mengikuti prinsip dasar wakaf yakni “habsul ashli“. Namun
apabila terjadi perubahan kondisi barang wakaf itu seperti hilangnya kedayagunaan dan
kemanfaatannya, atau ada situasi darurat yang menimpa barang waqaf seperti
dipergunakan untuk perluasan masjid atau pelebaran jalan, maka sikap madzhab-
madzhab tersebut berbeda satu sama lain, dan madzhab Hanabilah dipandang sebagai
mazahab yang paling banyak memberikan kemudahan, terutama dalam melakukan
penukaran dan penjualan barang waqaf, dan pada khusunya masalah penukaran,
penambahan, perluasan dan penjualan masjid serta barang-barang yang berkaitan
dengan masjid.
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda
wakaf itu berbetuk masjid atau bukan masjid. Menurut Hambali wakaf yang sudah
hilang mafaatnya boleh dijual dan uangnya dibelikan yang sepertinya. Golongan
Hanabilah membolehkan menjual masjid apalagi benda wakaf lain selain masjid, dan
ditukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila didapati sebab-sebab yang
membolehkan”. Umpamanya tikar yang diwakafkan di masjid, apabila telah usang atau
tidak dapat dimanfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk
kepentingan bersama.

20
3. Ibnu Qudamah
Menurut Ibnu Qudamah sebagai salah satu penerus Imam Ahmad bin hambal,
memperbolehkan adanya alih fungsi benda wakaf. Dalam kitabnya “alMughni”
menyatakan bahwa apabila harta wakaf mengalami rusak sehingga tidak dapat memberi
manfaat sesuai dengan tujuannya, hendaklah dijual saja, kemudian harga penjualanya
dibelikan barang lain yang akan mendatangkkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf
dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.
4. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun penggantian sesuatu yang dinazarkan dan
diwakafkan dengan yang lebih baik darinya, sebagaimana terkait penggantian hewan
korban, dan ini terbagi dalam dua macam:
Pertama, penggantian itu memang diperlukan. Misalnya akan hilang fungsinya
maka ia dijual lantas uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli penggantinya.
Seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, jika tidak dapat dimanfaatkan dalam
peperangan, maka kuda itu boleh dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk
membeli penggantinya. Jika mesjid mengalami kerusakan diberbagai sisinya, maka
dapat dipindahkan ke tempat lain atau dijual lantas uang hasil penjualannya digunakan
untuk membeli penggantinya. Jika barang yang diwakafkan tidak dapat digunakan pada
tujuan yang dikehendaki pewakaf, maka ia dapat dijual dan uang hasil penjualannya
digunakan untuk membeli penggantinya. Jika area yang diwakafkan mengalami
kerusakan dan tidak dapat digunakan untuk mendirikan bangunan, maka area itu dapat
dijual dan uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli penggantinya. Ini semua
dibolehkan, sebab pada dasarnya jika tujuan dari perwakafan itu tidak tercapai dengan
pengalokasiannya, maka dapat diwujudkan dengan penggantinya.
Kedua, penggantian lantaran kemashlahatan yang lebih dipentingkan. Misalnya
hewan kurban diganti dengan yang lebih baik darinya. Dan seperti mesjid jika mesjid
lain dibangun untuk menggantikannya lantaran lebih dapat memenuhi kemashlahatan
penduduk setempat dari pada mesjid yang pertama dan mesjid yang pertama ini dijual.
Pengalokasian ini dan semacamnya dibolehkan menurut Ahmad dan ulama lainnya.
5. Abu Tsaur, Abu Ubaid bin Harbawaih
Apabila yang diwakafkan untuk mendapatkan penghasilan jika diganti dengan
yang lebih baik darinya, seperti mewakafkan rumah, pertokoan, kebun, atau
perkampungan yang penghasilannya sedikit, lantas diganti dengan yang lebih
bermanfaat bagi wakaf, maka ini dibolehkan menurut Abu Tsaur dan ulama lainnya,
seperti Abu Ubaid bin Harbawaih, hakim Mesir yang menetapkan hal itu. Maka demi
keberlangsungannya dari manfaat benda wakaf, maka benda wakaf harus dijual dan
digantikan dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda wakaf masih bisa
dirasakan di masa mendatang.

21
G. Wakaf Produktif
Wakaf produktif adalah harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk
dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, Mata air untuk dijual airnya dan lain
– lain. Atau wakaf produksi juga dapat didefenisikan yaitu harta yang digunakan untuk
kepentingan produksi baik dibidang pertanian, Perindustrian, perdagangan dan jasa yang
menfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih dari
hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang – orang yang berhak sesuai dangan
tujuan wakaf.
Wakaf produktif adalah wakaf yang bisa membiayai dirinya sendiri dan orang lain
yang menjadi peruntukan wakaf. Menurutnya, masih banyak nazhir yang belum mengerti
tentang pengelolaan wakaf secara produktif. Mereka pun belum tahu apa saja hak-hak dan
kewajiban-kewajiban mereka selaku nazhir wakaf. Bahkan, yang sering terjadi, sebagian
wakaf justru membebani masyarakat karena masyarakat justru ditarik iuran untuk
membangun di atas tanah wakaf.

H. Wakaf Nuqud
Menurut istilah, wakaf uang adalah bagian dari istilah wakaf. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah mendefinisikan wakaf uang dalam fatwanya tentang kebolehan
wakaf pada 11 Mei 2002 yang menyatakan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian ini adalah surat-surat
berharga. Definisi ini kemudian diperkuat oleh lahirnya UU No. 41/2004 dan Peraturan
Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang wakaf yang menyatakan bahwa uang termasuk
bagian dari benda wakaf. Adapun definisi wakaf yang dimaksud dalam UU No. 41/2004
tentang wakaf pasal 1 ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Lebih lanjut, harta benda wakaf yang dimaksud oleh undang-undang tersebut terdiri
dari benda bergerak dan benda tidak bergerak . Salah satu benda bergerak yang dapat
diwakafkan adalah uang, yaitu penyerahan secara tunai sejumlah uang wakaf dalam bentuk
mata uang rupiah yang dilakukan oleh wakif kepada nazhir melalui lembaga keuangan
syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama atas saran
dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yaitu berupa sertifikat wakaf uang yang
diterbitkan oleh LKS-PWU dan disampaikan kepada wakif dan Nazhir sebagai bukti
penyerahan harta benda wakaf. Lebih lanjut, nazhir melakukan pengelolaan dan
pengembangan atas harta benda wakaf uang melalui investasi pada produk-produk LKS

22
(Lembaga Keuangan Syariah) atau instrument keuangan syariah dengan syarat harus
mengikuti program lembaga penjamin simpan atau diasuransikan pada asuransi syariah
yaitu jika investasi dilakukan diluar bank syariah sebagai wujud kehati-hatian terhadap
harta benda wakaf uang. Adapun hasil dari pengembangan dan pengelolaan investasi wakaf
uang dimanfaatkan keseluruhannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah
dikurangi sepuluh persen sebagai hak nazhir dari setiap hasil investasi seperti diatur dalam
Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.
Apabila dilihat dari tata cara transaksi, maka wakaf uang dapat dipandang sebagai
salah satu bentuk amal yang mirip dengan shadaqah. Hanya saja diantara keduanya terdapat
perbedaan. Dalam shadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh
dari pengelolaannya, seluruhnya dipindahtangankan kepada yang berhak menerimanya.
Sedangkan dalam wakaf, yang dipindahtangankan hanya hasil/manfaatnya,
sedangkan substansi/assetnya tetap dipertahankan. Kemudian, juga ada perbedaan antara
wakaf dan hibah. Dalam hibah, substansi/assetnya dapat dipindahtangankan dari seseorang
kepada orang lain tanpa ada persyaratan. Sementara itu dalam wakaf ada persyaratan
penggunaan yang ditentukan oleh wakif (pemberi Wakaf).

Legalitas Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam


Dikalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persolan yang
masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf). Perselisihan tersebut lahir karena tradisi yang
lazim masyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset),
dan pada penyewaan harta wakaf.
Berdasarkan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa
aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari,
murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang
kontan; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti
makanan gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin
mempersewakan uang wakaf, bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang
sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan
dengan dana cash dirham?” Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan
mengatakan, ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah , dan labanya kita
sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudlarabah
kemudian hasilnya disedekahkan”.
Memang, dikalangan mazhab-mazhab fikih, masalah wakaf uang pernah dijadikan
bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah misalnya, Imam Nawawi dalam kitabnya, al
Majmu’, menyatakan, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan
dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar,

23
membolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya,
tidak memperbolehkan mewakafnya“.
Dalam mazhab Hanafi, seperti dikemukakan Ibn ‘Abidin dalam kitabnya, Hasyyat
Ibn ‘Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat.
Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Rowami, sehingga
berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat
lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh
al-Anshari diatas. Ibn Taimiyah dalam kitabnya, Majmu’al Fatawa , meriwayatkan satu
pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang.
Di samping ada yang membolehkan, terdapat pula ulama yang tidak
memperbolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni meriwayatkan satu
pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham,
dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi
wujudnya. Di samping itu, Ibn Qudamah juga menjelaskan salah satu pendapat dari
kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang; yang isinya dengan tidak
membolehkan wakaf uang dirham. Mereka beralasan, bahwa dengan mempersewakan uang
untuk ditarik manfaatnya berarti telah merubah fungsi utama uang sebagai alat tukar, sama
halnya larangan mewakafkan pohon untuk jemuran, oleh karena fungsi utama pohon
bukanlah untuk menjemur pakaian.
Dari beberapa pendapat ulama diatas, jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya
mewakafkan mata uang berkisar pada apakah wujud uang tersebut, setelah digunakan atau
dibayarkan, masih ada seperti semula atau tidak. Perdebatan ulama tentang unsur
”keabadian”, pada dasarnya tidak lepas dari pemahaman mereka terhadap petunjuk
Rasulullah kepada Umar ibn Khathab “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya”.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H/1083 M) petunjuk tersebut mengandung
makna bahwa yang boleh diwakafkan adalah yang dapat bermanfaat dan tahan lama (tidak
lenyap ketika dimanfaatkan).
Adanya pendapat sebagian ulama yang lebih menekankan bahwa barang yang
akan diwakafkan itu harus bersifat kekal atau, paling tidak, dapat tahan lama, pada
dasarnya tidak lepas dari paradigma yang mapan mengenai konsep wakaf itu sebagai
sedekah jariah yang pahalanya terus mengalir, maka, tentu barang yang akan diwakafkan
itu harus berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau tahan lama. Namun, Ibn Taymiyah
dalam kitabnya, al-Fatawa meriwayatkan satu pendapat dari Muhammad ibn Abdullah al-
Anshari soal keabadian barang yang diwakafkan.
Al-Anshari mengungkapkan bahwa “wakaf dinar hanya akan bermanfaat ketika zat
uangnya habis (lenyap ketika dimanfaatkan) dan jika bendanya tidak lenyap, maka tidak
akan bermanfaat”. Maksudnya ialah manfaat uang itu akan terwujud bersamaan dengan
lenyapnya zat uang secara fisik. Dengan kata lain, meski, secara fisik, zatnya lenyap, tetapi

24
nilai uang yang diwakafkan tersebut tetap terpelihara kekekalannya. Berbeda dengan wakaf
selain uang atau asset tetap, yang memang secara fisik tetap utuh meskipun dimanfaatkan.
Adanya perdebatan dikalangan ulama fikih tentang boleh atau tidaknya berwakaf dengan
uang seperti diatas, memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk
memaksimalkan hasil harta wakaf. Karena semakin banyak harta wakaf yang dihimpun,
berarti semakin banyak pula hasil dan manfaatnya serta kebaikan yang mengalir kepada
pihak yang berwakaf.
Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, membuka peluang bagi
asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan
lainnya. Dalam catatan sejarah Islam, wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal
abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124
H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits)
memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana
dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan
uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Namun demikian, faktor resiko, seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan
harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar.

I. Hikmah Wakaf
Tujuan wakaf bukan sekadar mengumpulkan harta sumbangan, tetapi mengandung
banyak segi positif bagi umat manusia, di antaranya:
(1) Menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat.
(2) Pembinaan hubungan kasih sayang antara Wakif dengan dengan anggota masyarakat.
(3) Keuntungan moril bagi Wakif, yaitu kucuran pahala, secara terus menerus selama
wakafnya dimanfaatkan penerima wakaf. Pahala,yang dalam istilah Al Quran “tsawab”
ialah kenikmatan abadi di akhirat kelak.
(4) Sumber pengadaan sarana Ibadat, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain
sebagainya untuk masa yang lama.
Karena:
(a) Harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Tujuan larangan ini adalah
untuk mencegah pembahan status harta wakaf dari milik umum menjadi milik pribadi.
Sehingga wakaf akan tetap menjadi sumber dana bagi masyarakat secara umum.
(b) Disalurkan kepada pihak-pihak yang akan dapat menikmati harta wakaf selama
mungkin.
(5) Sumber dana produktif (banyak mendatangkan hasil) untuk masa yang lama.

25
Jelaslah bahwa wakaf yang mengandung tujuan positif di dunia dan di akhirat, apabila
dilaksanakan dan dikelola secara baik, maka akan mem berikan sumbangsih tidak sedikit
dalam memenuhi kepentingan masyarakat.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wakaf merupakan bentuk kegiatan peduli sesama manusia yang terjadi dalam
Agama Islam. Wakaf dapat diartikan menahan harta dan memberikan manfaatnya untuk
kemaslahatan umat manusia sejalan dengan ajaran agama Islam. Rukun dan syarat
harus dipenuhi dalam wakaf yaitu adanya wakif (pewakaf yang mewakafkan), mauquf
bih, mauquf ‘alaih (pihak penerima wakaf) dan shighat atau ikrar (pernyataan atau ikrar
dari wakif). Maka dari itu, tujuan wakaf dapat terjaga, diperlukan pengelola wakaf
(nazhir) yang amanah, kompeten dan profesional. Macam- macam wakaf dapat
dikelompokkan berdasarkan peruntukan, waktu, dan jenis harta benda yang di
wakafkan. Dalam wakaf juga terdapat lima prinsip- prinsip pengelolaan wakaf yakni
asas keberlangsungan manfaat, asas pertanggungjawaban, asas professional
manajemen, serta asas keadilan sosial. Sedangkan hikmah yang terdapat dalam wakaf
beberapa diantaranya yaitu wakif sudah menjalankan perintah sesuai dengan agama
Islam, wakif dapat memberikan contoh kepada sesama untuk saling berbagi dan
memberi, nazhir mendapatkan kesempatan dalam mengelola sejumlah harta untuk
kepentingan banyak umat, dan nazhir juga mendapatkan imbalan jasa dalam mengelola
wakaf.

27
DAFTAR PUSTAKA

https://subang.kemenag.go.id/berita/detail/wakaf--syarat-dan-rukunnya
https://kepri.kemenag.go.id/page/det/pandangan-ulama-mazhab-terkait-wakaf--juanda-
#:~:text=Kemenag%20Natuna%20%2D%20Wakaf%20adalah%20perbuatan,memuliakan%2
0seseorang%20yang%20memberikan%20wakaf.
https://www.klikanggaran.com/gaya-hidup/pr-1151294058/menjual-dan-memindahkan-tanah-
waqaf-dari-satu-tempat-ke-tempat-lain-dengan-tanah-yang-seharga-hukumnya?page=3
Jurnal Syarah Vol. 10 No. 1 Tahun 2021
https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/memahami-pengertian-wakaf-produktif-dan-
contohnya#:~:text=Wakaf%20produktif%20ini%20berupa%20donasi,digunakan%20untuk%20membi
ayakan%20kebutuhan%20masyarakat.

28

Anda mungkin juga menyukai