Anda di halaman 1dari 17

LUQATHAH DAN LAQITH

Mata Kuliah : Agama & Ke-Nu-an 5

Dosen : M. Burhanudin, LC., M.A.

Kelompok 4:

Agus Mahendra (204210009)


Siti Rahayu (204210010)
Alifah Jahroo ( 204210011)

Institut Teknologi Dan Sains


Nahdlatul Ulama Pekalongan
2023

1
Kata pengantar

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT segala rahmat dan
karunianya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Agung
Muhamad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya kelak di hari kiamat.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah ats nikmatnya yang masih memberikan kami
kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makal dengan judul,” Luqathah
dan Laqith”.

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Agama dan ke NU-an, kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga penulis. Namun terlepas dari itu,
Kami memahami bahwa makalah ini masih jau dari kata sempurna, sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat kami butuhkan guna terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Pekalongan, 30 November 2023

Penulis

2
Daftar isi

Kata pengantar ......................................................................................................................................... 2

Daftar isi .................................................................................................................................................... 3

BAB 1 ......................................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 4

A. Latar belakang .............................................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 4

C. Tujuan Masalah............................................................................................................................. 5

BAB II ........................................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................................ 6

A. Pengertian Luqathoh dan Laqith ................................................................................................ 6

B. Syarat Luqathoh Dan Laqith ....................................................................................................... 8

C. Hukum Luaqathoh Dan Laqith ................................................................................................. 10

BAB III .................................................................................................................................................... 16

PENUTUP ............................................................................................................................................... 16

A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 17

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam aturan pergaulan sosial manusia, dalam fikih dikenal dengan muamalah,
sering terjadi seseorang kehilangan barang berharga yang mengakibatkan kesusahan
dan sangat mengharap adanya orang yang menemukannya dan bersedia
mengembalikan kepadanya, pada prinsipnya seseorang yang menemukan barang yang
hilang milik orang lain, diwajibkan baginya untuk mengembalikannya kepada
pemiliknya atau menungu beberapa waktu tertentu bila tidak diketahui siapa
pemiliknya. hal ini dapat dilakukan secara langsung mengembalikan kepada
pemiliknya atau menunggu beberapa waktu tertentu bila tidak diketahui siapa
pemiliknya. sampai pemiliknya datang Atau Mengaku Secara Sah Sebagai Pemilik
Barang Tersebut.
Salah satu dampak menurunnya moral masyarakat ditandai dengan meluasnya
pergaulan bebas yang berakibat semakin banyaknya bayi-bayi yang lahir di luar
perkawinan. Berkaitan dengan itu maka isu utama yang hendak dibahas di sini adalah
konsep anak temuan (anak laqith) menurut perspektif hukum Islam serta implikasinya
dalam hal nasab dan perwalian. Menurut hukum Islam anak temuan dapat di-nasab-kan
kepada orang yang menemukan dengan jalan pengakuan sehingga anak temuan
tersebut telah menjadi anak sah sebagaimana anaknya sendiri. Khusus terhadap anak
temuan perempuan, perwaliannya tetap berada pada orang yang telah menemukan dan
mengakuinya dan jika anak tersebut hendak melangsungkan perkawinan maka yang
menjadi walinya adalah orang yang telah menemukan dan mengakuinya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Luqathoh dan Laqith?


2. Bagaimana Hukum Luqathoh dan Laqith?
3. Apa Syarat-syarat Luqathah dan Laqith?

4
C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Luqathoh dan Laqith.


2. Untuk Memahami Hukum dari Luqathoh dan Laqith.
3. Mengetahui syarat-syarat Luqathah dan Laqith.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Luqathoh dan Laqith

1. Pengertian luqathoh
Al - Luqatah (barang temuan) adalah suatu barang yang hilang dari
pemiliknya lalu ditemukan dan diambil orang lain. Hilangnya sebuah barang dari
pemiliknya tidak mengakibatkan kepemilikannya terhadap barang tersebut juga
hilang. Masyarakat bertanggung jawab untuk merawat menyimpan dan
menyampaikan barang tersebut kepada pemiliknya semampu mereka. Menurut
istilah fiqh barang temuan itu sama dengan “luqathah”. Mendengar barang
temuan/luqathah tersebut maka hal ini tertuju kepada bentuk suatu tindakan yang
mendapatkan sesuatu milik orang lain secara tidak sengaja, sedangkan benda
tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya. Ini berarti bahwa benda yang ditemukan
itu bukanlah kepunyaan penemu, melainkan milik orang lain.
Luqathah secara Etimologi berarti “barang temuan”. Kata barang ini
bersifat umum, bukan dikhususkan pada barang tertentu saja. Al-Luqathah juga
berarti sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.
Luqathah secara Etimologi berarti “barang temuan”. Kata barang ini bersifat
umum, bukan dikhususkan pada barang tertentu saja. Al - Luqathah juga berarti
sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.
Secara Terminologi fiqh, terdapat beberapa definisi luqathah yang
dijelaskan oleh beberapa Ulama, di antaranya ialah :
a. Abu Hanifah
‫ مايوجدواليعرف‬،‫کمااللحربى مباح وليس مالکه‬
“Harta yang ditemukan seseorang tidak diketahui pemiliknya dan harta tidak
termasuk harta yang boleh dimili (mubah), seperti harta milik kafir harbi (kafir
yag memusuhi orang Islam)”.

6
b. Ibnu Rusyd
‫ فإنما کل مال المسلم مغرض للضياع کان ذلك فى عامراألرض اوعامرها‬: ‫القطة‬
‫والجمر والحيوان فى ذلك سواء ااالإلبل باتفان‬
“Sesungguhnya yang dilakukan Luqathah adalah tiap-tiap harta orang Muslim
yang ditemui karena sia-sia baik di negeri yang sunyi, baik benda/hewan sama
saja, kecuali unta”.
c. Ibnu Qudaimah
‫غيره يلتقطه ربه من ئع الضا امال‬
“Barang temuan adalah tiap-tiap harta yang terpelihara oleh seseorang pada
suatu tempat karena hilang dan tidak tahu pemiliknya”.
2. Pengertian laqith
Laqith adalah anak kecil yang terlantar dan tidak ada yang mengurusnya
baik ayah, kakek, atau orang-orang yang menggantikan keduanya. Secara
Etimologi laqith adalah sesuatu yang ditemukan, yang diangkat dari permukaan
bumi. Asal katanya dari fa`il yang berarti maf`ul (objek) seperti qotil (orang yang
dibunuh) jarih (orang yang terluka), dan menurut orang Arab anak yang terbuang
atau ditemukan maka disebut Laqith.Laqith juga diartikan anak kecil yang
ditemukan dijalan yang tidak diketahui orang tuanya. Al-laqith sering disebut
seorang anak kecil yang di buang ibunya.
Secara Terminologi mayoritas fuqaha bersepakat mengenai definisi laqith
secara global, namun terdapat perbedaan dalam pemberian makna laqith secara
terperinci. Sebagian mereka ada yang memaknai laqith dengan seorang anak yang
dilahirkan dalam keadaan hidup, dan sebagian lain memaknai laqith adalah bayi
yang dibuang atau bayi yang hilang. Ini adalah makna-makna terkait dengan laqith.
Dari beberapa gambaran di atas, definisi laqith dapat dikategorikan melalui
beberapa penjelasan para ulama sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyah : Laqith adalah seorang anak yang dilahirkan kemudian


dibuang keluarganya karena takut dari kemiskinan atau menghindari dari
tuduhan anak hasil zina. Kalau kita perhatikan dari definisi ini, dapat
disimpulkan bahwa anak yang hilang tidak termasuk kategori tersebut, karena
7
definisi tersebut hanya mencakup gambaran secara umum yaitu setiap yang
dibuang dari hasil zina atau karena takut kemiskinan jika hidup bersama
keluarganya.
b. Menurut Malikiyah : Ibnu Arafah al-Maliki mendefinisikan: Anak temuan yang
kecil anak cucu Adam, tidak diketahui bapaknya dan keluarganya.
c. Menurut Syafi’iyah : Anak kecil yang dibuang dijalan atau dimasjid atau tempat
lain yang mana anak tersebut tidak ada yang menagungnya (terlantar). Hal ini
sebagaimana yang sudah maklum walupun anak tersebut sudah mumayyiz
karena kebutuhanya tidak ada yang menjamin.
d. Menurut Hanabilah : Anak kecil yang belum mumayyiz yang tidak diketahui
nasabnya dan tidak diketahui keluarganya yang terbuang di jalan atau tersesat
dijalan ketika kelahiran sampai waktu mumayyiz.
Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa Laqith adalah
seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan hidup, baik laki-laki maupun wanita,
yang dibuang keluarganya karena mereka takut akan kemiskinan, atau karena lari
dari tuduhan. Para fuqaha sepakat bahwa anak yang tidak diketahui keberadaan
keluarganya adalah termasuk dalam kategori al-laqith, sedangkan Hanabilah
menambahkan batasan umur yaitu dari saat kelahirannya sampai masa mumayyiz.

B. Syarat Luqathoh Dan Laqith

1. Syarat-syarat luqathoh
Syarat meengambil luqathoh menjadi wajib apabila
a. Penemunya percaya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu mengurus benda-
benda temuan itu sebagaimana mestinya.
b. Adanya sangkaan bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau
diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
c. Luqathah ditemukan di tempat yang tidak aman. Sebab sebagian kaum
mukminin wajib menjaga kekayaaan sebagian kaum mukminin lainnya.

8
2. Syarat- syarat Multaqith (orang yang menemukan)
Para ulama memberikan syarat-syarat bagi multaqith (orang yang
menemukan), diantaranya :
a. Mukallaf (baligh dan berakal)
b. Para ulama fikih sepakat bahwa laki-laki bukan syarat mutlak multaqith, namun
laki-laki dan wanita berhak menjadi multaqith, karena keduanya insan yang
memiliki haq untuk mengurusinya.
c. Muslim, jika si anak ditemukan di negeri islam atau negara yang mayoritas
penduduknya muslim, maka si anak dihukumi sebagai anak muslim.
Berdasarkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ ‫علَى ْالف‬
ِ‫ِط َرة‬ َ ُ‫ُك ُّل َم ْولُو ٍد يُولَد‬
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah”(Hr Bukhori)
Sebaliknya, jika dia ditemukan di negeri non-muslim atau negeri yang
penduduk muslimnya minoritas maka dia dihukumi sebagai non muslim,
mengikuti negerinya. Ini perkataan Imam Syafi’I dan Ahlu Ra’yi.[23]
d. Seorang multaqith harus memiliki sifat Adil, karena jika yang menemukan
adalah orang fasik atau orang kafir, dan dia tidak layak untuk merawat anak, dan
negara tidak boleh menyerahkan anak itu kepadanya, karena akan
membahayakan akhlak dan agamanya.
Multaqith yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut lebih berhak untuk
memegang laqiith dari pada yang lainnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallahu
Alaihi Wa Sallam:
‫س َبقَ ِإلَى َما لَ ْم َي ْس ِب ْق ِإلَ ْي ِه ُم ْس ِل ٌم فَ ُه َو لَه‬
َ ‫َم ْن‬

“Seorang muslim yang lebih dahulu (menemukan anak) daripada yang lain
maka dia yang berhak”

9
C. Hukum Luaqathoh Dan Laqith

1. Hukum luqathoh
Mengambil barang temuan hukumnya sunnah. Ada yang mengatakan wajib
dan ada yang mengatakan bahwa apabila barang tersebut berada di tempat yang
dianggap aman oleh penemuannya ketika ditinggalkannya maka dianjurkan
baginya untuk mengambilnya. Akan tetapi, apabila barangtersebut berada
ditempat yang tidak dianggapnya aman ketika ditinggalkannya maka ia
wajibmengambilnya. Dan, apabila dia mengetahui adanya ketamakan dalam
dirinya terhadap barang tersebutmaka haram baginya untuk mengambilnya.
Perselisihan ini berlaku bagi orang yang merdeka, baligh,dan berakal,
meskipun dia bukan muslim. Sementara orang yang tidak merdeka, belum baligh,
dantidak berakal tidak dibebani untuk memungut barang temuan. Terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqh tentang hukum memungut barang temuan di
jalanan.Pendapat pertama dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanabilah. Menurut
mereka, apabila seseorangmenemukan barang di tengah jalan, maka makruh
hukumnya memungut barang itu, karena perbuatanitu boleh menjerumuskannya
untuk memanfaatkan atau memakan barang yang haram.
Di samping itu,apabila orang bersangkutan mengambil barang itu berniat
untuk mengumumkannya danmengembalikannya kepada pemiliknya apabila telah
diketahui, menurut mereka, mungkin saja ia lalaimengumumkanya. Oleh sebab
itu, memungut barang itu lebih banyak bahayanya dibandingmembiarkannya
saja.Pendapat kedua, dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Menurut mereka, jikaseseorang menemukan barang atau harta di suatu tempat
sedang pemiliknya tidak diketahui, barang itu lebih baik dipungut atau diambil,
apabila orang yang menemukan khawatir barang itu akan hilang atau ditemukan
oleh orang- orang yang tidak bertanggung jawab. Apabila kekhawatiran ini tidak
ada, makahukum memungutnya menurut mereka boleh saja.Alasan mereka adalah
karena seorang muslim berkewajiban memelihara harta saudaranya,sedangkan

10
sabda Rasulullah SAW. Dalam hadist Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh
Muslim :
‫حدثنا عبدالرزاق أخبرنا معمرعن محمدبن واسع عن أبى صالح عن أبى هريرةقال‬
‫کربة فى األخرةومن سترعورة مسلم فى‬. ‫الدنيا ستراهلل عورته فى األخرة واهلل في‬
‫عون المرء ما کن في عون أخيه‬

Telah menceritakan kepada kami (Abdurrazzaq) telah mengabarkan kepada


kami (Ma'mar) dari(Muhammad bin Wasi') dari (Abu Shalih) dari (Abu
Hurairah), dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa melapangkan kesulitan orang yang diterpa kesulitan di dunia maka
Allah akan melapangkan kesulitannya kelak di hari kiamat, dan barangsiapa
menutupi aib seorang muslim di dunia maka Allah akan menutupi aibnya kelak
di hari kiamat, dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya
menolong saudaranya”. Di samping itu, Rasulullah SAW. dalam hadis lain
menyatakan bahwa seseorang dilarang menyia-nyiakan harta (HR al-Bukhari dan
Muslim dari Abi Hurairah). Oleh sebab itu, menurut mereka, lebih baik barang
itu dipungut dan harta itu menjadi amanah ditangannya, dan harus dia pelihara
sampai diserahkan kepada pemiliknya.

Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada


kondisi dan tempat dan kemampuan penemunya. Hukum pengambilan barang
temuan antara lain sebagai berikut :

a. Wajib
Wajib mengambil barang temuan bagi penemunya apabila orang tersebut
percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus bendabenda temuan itu
sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak
diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.

11
b. Sunnah
Sunnah mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu
percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara bendabenda temuan
itu dengan sebagaimana mestinya, tetapi bila tidak diambilpun barang- barang
tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh
orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
c. Makruh
Bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih raguragu apakah dia
akan mampu memelihara benda- benda tersebut atau tidak dan bila tidak
diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi
orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda tersebut.
d. Haram
Bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa
dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak
akan mampu memelihara harta tersebut sebagaimana mestinya, maka dia
haram untuk mengambil benda-benda tersebut. Bagi mereka yang mengetahui
dirinya cendrung tidak memegang amanah dan tidak mampu
mengumumkannya serta tidak mampu mencari pemiliknya maka mereka
dilarang mengambilnya. Sebab dengan mengambilnya dia telah mendekatkan
dirinya dengan sesuatu yang diharamkan serta menghalangi pemiliknya untuk
menemukannya. Mengambil barang temuan (atau barang hilang) sangat
serupa dengan wilayah (menguasai). Jika ia mampu melakukannya dan
menunaikan hak Allah atas barang itu maka ia diberi pahala. Sebaiknya jika
dia melakukan tugasnya terhadap barang orang lain yang ditemukan dan
diambilnya maka ia telah menawarkan dirinya agar jatuh dalam hal yang
dilarang.
2. Hukum laqith
a. Menurut Jumhur, hukum mengambil anak temuan adalah Fardhu Kifayah.
Dengan dasar dalil al-Qur’an pada surat al-Maidah ayat 2
12
‫علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق َوى‬
َ ‫اونُوا‬
َ ‫َوت َ َع‬

“Dan tolong-menolong lah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan


ketaqwaan.” (QS. Al-Maidah, 2)

Karena termasuk menghidupkan jiwa laqith, sebagaimana firman Allah Ta’ala:


َ َّ‫َو َم ْن أَحْ َياهَا فَ َكأَنَّ َما أَحْ َيا الن‬
‫اس َجمِ ي ًعا‬

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-


olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

b. Menurut Syafi’i dan Malikiyah: jika tidak didapatkan orang yang


memungutnya maka hukum memungutnya menjadi fardhu a’in.
c. Menurut Hanafiyah bahwa mengambil anak temuan adalah perkara yang
mandub (dianjurkan) karena termasuk menghidupkan jiwa laqith (anak
temuan). Jika dia mengira kalau tidak mengambilnya maka akan
menyusahkannya dan mencelakakannya maka mengambilnya menjadi wajib.
d. Menurut hukum Islam status hukum anak temuan adalah manusia yang
merdeka. Bagi yang menemukannya wajib memberikan nafkah, mendidik, dan
memeliharanya (merawat), kedudukan hukum anak temuan sebagai anak
angkat.
Sedangkan menurut hukum positif yang tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, status
hukum anak temuan atau anak yang tidak diketahui jelas nasabnya itu maka
ditentukan dengan adanya akta kelahiran yang sudah di register yang
dicatatatkan di Kantor Catatan Sipil. Jadi, pembuatan akta kelahiran didasarkan
pada keterangan saksi atau keterangan orang yang menemukan anak
tersebut.Mayoritas ulama sependapat bahwa orang yang menemukan lebih
utama untuk memelihara anak tersebut.
Akan tetapi, kemudian mereka berselisih pendapat tentang siapa yang
berhak menjadi wali nikah bagi anak temuan tersebut ketika anak temuan
13
tersebut akan menikah. Jumhur ulama berpendapat bahwa hakim adalah orang
yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali. Mereka
berpegang juga pada hadits nabi yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang telah
disepakati keshahihannya, dan bunyi hadits tersebut adalah: Artinya: “Tidak
dipandang sah nikah tanpa wali, dan penguasa adalah wali bagi orang yang
tidak memiliki wali”. Berdasarkan hadits di atas menurut mereka orang yang
berhak menjadi wali nikah bagi orang yang tidak memiliki wali (anak temuan)
adalah penguasa (hakim). Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hakim
adalah urutan terakhir dari susunan perwalian. Akan tetapi, ada perbedaan
pendapat Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hubungan nasab antara
anak temuan dengan orang tua yang menemukan, orang yang menemukan
diperbolehkan menjadi wali nikah anak temuan tersebut.
Dengan alasan berlandaskan qoul Umar, dengan tujuan untuk
menyelamatkan jiwa si anak tersebut.Sedangkan mengenai masalah kewarisan,
bahwa dalam hukum Islam anak temuan atau anak yang tidak diketahui
nasabnya tidak berhak mendapatkan warisan melainkan memperoleh wasiat
wajibah yang batas maksimalnya adalah 1/3 (sepertiga) dari harta warisan dan
juga tidak berlaku hukum mahram. Kemudian jika kita perhatikan dalam UU
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, di dalamnya tidak diatur sama
sekali mengenai hukum waris-mewarisi. Kalau kita lihat pada hukum positif
dijelaskan bahwa anak temuan yang nasabnya tidak jelas dan keberadaan orang
tuanya tidak diketahui juga. Dan jika ada seseorang yang mengadopsi anak
tersebut bahwa anak tersebut menjadi anak angkat juga tidak termasuk berhak
mendapat waris. Kecuali, jika pewaris yang dalam hal ini adalah orang tua
angkat si anak telah berwasiat yang meyatakan bahwa si anak berhak mendapat
harta warisan maka ia mendapatkan warisan.
Menurut analisis penulis, tidak menyetujui tentang pendapat Ibnu Qudamah
karena hubungan nasab antara anak temuan dengan orang yang menemukannya
diperbolehkan menjadi wali nikah anak temuan tersebut. Dikarenakan di dalam
Al-Qur’an dan hadits sudah dijelaskan bahwa syari’at Islam melarang orang
tua mengingkari nasab anak mereka sendiri atau menisbatkan anak pada selain
14
ayahnya sendiri. Dalam penisbatan anak juga harus didasarkan pada keadilan
dan kebenaran. Terkadang terjadi kerusakan dan kemungkaran
menghubungkan nasab jika anak tersebut diadopsi dalam keluarga sehingga
merasa dirinya orang lain, bukan bagian dari keluarga itu. Dan siapa saja yang
mengadopsi anak temuan atau anak yang tidak diketahui nasabnya tanpa
mengakui anak itu sebagai anaknya maka anak itu tidak berhak mendapatkan
warisan dan tidak berlaku hukum mahram karena kekerabatan. Karena itu, jika
ana- yang diadopsi itu masih mempunyai nasab yang jelas maka penisbatannya
dikembalikan pada ayah kandungnya. Namun, jika nasabnya tidak jelas maka
anak itu diakui sebagai maula atau saudara seagama. Tujuannya agar tidak
mengubah kenyataan yang ada, dan juga menjaga hak-hak ayah dan anak agar
tidak hilang serta agar melengkapi keharmonisan pertalian keluarga.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Luqathah ialah harta benda dan tidak wajib memungutnya karena ada dugaan kuat
ketika memungut luqathah boleh jadi menjadi mata pencaharian, dan nafsu cenderung
menyukai hal semacam itu sehingga hal itu tidak perlu diwajibkan seperti halnya menikah.
Laqith adalah harus memungut anak kecil yang terlantar di jalan raya, masjid atau
tempat-tempat selain itu, tidak mempunyai penanggung jawab yang pasti, meskipun sudah
tamyiz karena anak semacam ini perlu mendapat pembinaan. Sementara orang gila sama
seperti anak-anak. Namun, tidak wajib memungut anak yang telah baligh karena dia cukup
mampu melindungi dirinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S. (2021). Penetapan Status Anak Istilhaq Terhadap Anak Laqith Dalam Perspektif Hukum
Islam. Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, 2(3), 78-104.

HERAWATI, H. (2020). LUQATHAH DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA


(Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

SIRRULLAH, N. A., & BANGSA, K. K. (2022). STUDI KOMPARATIF TENTANG ANAK


TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.
Jurnal Keislaman Terateks, 7(1), 173-190.

17

Anda mungkin juga menyukai