Anda di halaman 1dari 21

DIBALIK LARANGAN MENCARI HARTA DENGAN CARA BATHIL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam


Dosen Pengampu : Prof. Dr. M. Nasor, M.Si

Oleh:

Kelompok 3

Gustarina Andini NPM. 1986010205

Sherly Yulina Sari NPM. 1986010206

Program Studi : Ekonomi Syariah/A

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1441H/2020 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Pendekatan Studi Islam yang berkaitan dengan Dibalik Larangan Mencari Harta
dengan Cara Bathil tepat pada waktu yang telah ditentukan.yang akan digunakan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendekatan Studi Islam yang
diampu oleh Bapak Prof. Dr. M. Nasor, M.Si.
Makalah ini merupakan hasil dari tugas mandiri bagi para mahasiswa, untuk
belajar dan mempelajari lebih lanjut tentang dibalik larangan mencari harta
dengan cara bathil. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menumbuhkan
proses belajar mandiri kepada mahasiswa, agar kreativitas dan penguasaan materi
kuliah dapat optimal sesuai dengan yang diharapkan. Adanya makalah ini
diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mengetahui dibalik larangan
mencari harta dengan cara bathil.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membutuhkannya. Namun, makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
untuk masa yang akan datang

Bandar Lampung, Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pemilikan Harta .................................................... 3


B. Fungsi dan Kedudukan Harta dalam Islam .................................... 5
C. Dasar Hukum Larangan Mencari Harta dengan Cara Batil ............ 10
D. Hikmah larangan mencari harta secara bathil dalam Al-Qur’an. .... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Harta merupakan salah satu fitrah manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik secara lahiriah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia
untuk senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi
kebutuhannya. Semua harta atau kekayaan yang ada di bumi ini pada
hakikatnya adalah milik Allah SWT secara mutlak dan umat Islam harus
mematuhi aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adanya keberadaan harta diharapkan
manusia memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika
sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada
derajat yang mulia, baik di sisi Allah SWT maupun terhadap sesama umat
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia hanya mempunyai hak untuk
menggunakan dan mengatur harta sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
ajaran Islam yaitu memberikan kemaslahatan kepada seluruh umat manusia. 1
Islam memberikan batasan-batasan tertentu untuk seseorang dalam
memperoleh harta. Akan tetapi, ada sebagian umat manusia yang berupaya
memperoleh harta dengan segala cara termasuk dengan cara yang bathil.
Memakan harta secara bathil sama halnya mengambil atau menggunakan
manfaat harta orang lain tanpa izin. Allah SWT melarang dan mengharamkan
seseorang yang mencari harta dengan cara bathil. Jika hendak mengambil
keuntungan dari harta orang lain harus dilakukan dengan cara yang di
benarkan oleh syariat Islam. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
penulis akan membahas tentang dibalik larangan mencari harta dengan cara
bathil.

1
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, (Surabaya
: Putra Media Nusantara, 2009), h.145.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah yang akan dikaji dalam makalah ini:
1. Apa yang dimaksud dengan pemilikan harta?
2. Bagaimana fungsi dan kedudukan harta dalam Islam?
3. Bagaimana dasar hukum larangan mencari harta dengan cara bathil?
4. Bagaimana hikmah adanya larangan mencari harta dengan cara bathil
dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pemilikan harta.
2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan harta dalam Islam.
3. Untuk mengetahui dasar hukum larangan mencari harta dengan cara
bathil.
4. Untuk mengetahui hikmah adanya larangan mencari harta dengan cara
bathil dalam Al-Qur’an.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pemilikan Harta


Harta dalam bahasa arab disebut al-mal atau jamaknnya al-amwal. Harta
atau al-mal adalah mamalakatahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau
punyai).2 Pengertian harta menurut para ahli fiqh adalah segala sesuatu yang
dapat diambil, disimpan dan bisa dimanfaatkan.3 Menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah Pasal 1 Ayat (9) dijelaskan bahwa harta adalah benda yang
dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud
maupun tidak berwujud, baik benda terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan mempunya hak
yang bernilai ekonomis. Asas-asas mengenai pemilikan harta terdapat dalam
Pasal 17 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yaitu: 4
a. Amanah artinya pemilikan harta (al-amwal) pada dasarnya merupakan
titipan dari Allah SWT yang digunakan untuk kepentingan hidup.
b. Infiradiyah artinya bahwa kepemilikan benda pada dasarnya bersifat
individual dan penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan
usaha atau korporasi.
c. Ijtima’iyah artinya kepemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi
pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya tetapi didalamnya terdapat juga
hak masyarakat.
d. Manfaat artinya kepemilikan harta benda pada dasarnya digunakan untuk
memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat.
Menurut Abdullah Abdul Husain kepemilikan dalam Islam artinya
kepemilikan harta yang didasarkan pada agama. Kepemilikan harta tidak
memberikan hak mutlak kepada pemiliknya untuk mempergunakan semua
harta yang dimiliki digunakan untuk sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan
beberapa aturan. Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya
2
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2007), h. 40
3
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2001), h. 22.
4
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 65-66.

3
sementara, tidak abadi, dan tidak lebih dari pinjaman yang diberikan oleh
Allah SWT. 5 Dalam sistem kapitalisme pemilikan harta dikendalikan oleh
individu atau sekelompok individu. Hal ini akan mengganggu keseimbangan
distribusi kekayaan dan pendapatan di dalam masyarakat. Terjadi kesenjangan
ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga menyebabkan perselisihan dan
akhirnya masyarakat menjadi kapitalisme. Dalam Sistem ekonomi sosialisme
kepemilikan harta oleh pribadi maupun swasta seluruhnya dikuasai oleh
negara. Persamaan ekonomi dan pemberian kebutuhan hidup dasar bagi semua
warga negara semuanya diatur oleh negara.6
Konsep kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam berbeda dengan
sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Kepemilikan harta dalam Islam
memiliki konsep yang sangat berbeda dengan ekonomi kapitalisme dan
sosialisme, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an karena ditegakkan dalam
dua aksioma utama yaitu bahwa Allah SWT adalah pemilik alam semesta dan
manusia adalah wakil Allah SWT di muka bumi.7 Berdasarkan hal tersebur
dapat dipahami bahwa kepemilikan harta secara mutlak hanya milik Allah
SWT karena apa yang diciptakan oleh Allah SWT tujuannya untuk
kepentingan manusia.
Pemilikan harta oleh individu diakui di dalam Islam tetapi individu
memiliki kewajiban moral bahwa harta yang dimiliki terdapat hak orang lain
dan individu tersebut dalam memperoleh harta harus dengan cara yang halal
termasuk proses cara memperolehnya. Islam mewajibkan umatnya untuk
menjadi kaya, hal ini bisa dijelaskan dalam suatu hadis bahwa kemiskinan
akan mendekatkan seseorang kedalam kekafiran. 8 Pemilikan harta pribadi di

5
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan, terj.
M. Irfan (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), h. 56-57.
6
Muhammad Shatif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam (Fundamental Of Islamic
Economic System); Prinsip Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h.35.
7
Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam; Dari Masa Rasulullah Hingga Masa
Kontemporer, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), h. 22.
8
Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam; Perspektif
Maqashid al Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 141.

4
dalam Islam dibolehkan tetapi terbatas, sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam QS. At-Thaha ayat 6: 9

            

Artinya: “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di


bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”
Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa seluruh alam ini adalah
milik Allah SWT dan semuanya berada di dalam pengawasan-Nya. Allah
SWT memberikan harta terhadap siapapun yang dikehendaki-Nya. Semua
produksi yang di hasilkan oleh manusia pada hakikatnya adalah mengambil
bahan dari apa yang sudah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia hanya
mengubah materi dan bukan menciptakan materi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karena itu, manusia hanya bisa memanfaatkannya, namun
bukan pemilik sebenarnya, manusia hanya diberi ilmu pengetahuan agar bisa
memanfaatkan semua yang ada di bumi Allah SWT, meskipun masih banyak
harta yang belum bisa dimanfaatkan oleh manusia karena keterbatasan
kemampuan.

B. Fungsi dan Kedudukan Harta dalam Islam


Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, sehingga oleh para ulama ushul fiqh persoalan harta
dimasukkan ke dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan
pokok), yang terdiri atas, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pemeliharaan terhadap harta merupakan proses cara memperoleh harta dan
adanya hukuman yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT mengenai larangan
mencuri, melakukan kecurangan dan berkhianat di dalam menjalankan bisnis,

9
Muhammad Shatif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam (Fundamental Of Islamic
Economic System); Prinsip Dasar., h. 356.

5
larangan atas riba, memakan harta orang lain dengan cara yang bathil dan
diwajibkan untuk mengganti barang yang telah dirusaknya. 10
Harta memiliki fungsi sosial yaitu harus dapat memberikan manfaat dan
kemaslahatan untuk orang lain. 11 Fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan
syariat Islam antara lain:12
a. Harta berfungsi untuk menyempurnakan ibadah mahzhah, seperti shalat
memerlukan kain untuk menutup aurat.
b. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT.
c. Meneruskan kelangsungan kehidupan agar tidak meninggalkan generasi
lemah.
d. Menyeleraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, sebagaimana
Rasulullah SAW., bersabda bahwa “tidaklah seseorang itu walaupun
sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia hasilkan dari
keringatnya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Daud, telah makan dari
hasil keringatnya sendiri.” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba).

Kedudukan harta secara rinci berdasarkan berbagai ayat Al-Qur’an dapat


dikategorikan sebagai berikut:
a. Salah satu bekal untuk beribadah
Harta merupakan salah satu bentuk modal bagi manusia untuk
melakukan segala perbuatan yang bernilai ibadah. Dalam Islam, terdapat
ibadah yang membutuhkan harta dalam pelaksanaannya yaitu zakat,
sedekah, dan hibah. Zakat merupakan ibadah wajib yang dibebankan
kepada orang yang memiliki kekayaan yang telah memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah
(2): 177:

10
Abu Ishaq al-Shatibi, Al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari‟ah. Jil. 2, (Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1973), h. 8.
11
Abdul Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: PMN & IAIN
Press,2010), h. 22.
12
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah., h.22.

6
            

         

        

         

           

 

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat


itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
b. Salah satu penunjang kehidupan
Harta merupakan salah satu unsur yang sangat penting, karena tanpa
harta yang cukup membuat kehidupan seseorang tidak sempurna. Akibat
yang lebih membahayakan adalah timbulnya kejahatan-kejahatan dalam
masyarakat sehingga kehidupan menjadi tidak aman. Begitu juga
sebaliknya, tidak sedikit orang yang terlalu menginginkan harta, karena
waktunya dihabiskan semata-mata untuk mencari harta dan melupakan
ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskam dalam surat An-
Nisa’ (4): 5:

7
          

     

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang


belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik.
c. Salah satu media untuk mencoba keimanan manusia
Fungsi harta (al-mal) bagi manusia salah satunya adalah sebagai
cobaan. Bentuk cobaan yang berhubungan dengan harta ini dapat saja
berupa diberikan harta yang berlimpah atau sebaliknya dikurangi harta,
sehingga seseorang mengalami kekurangan dan ketidakcukupan.
Dikatakan cobaan, baik ketika harta berlimpah maupun ketika berkurang,
karena seseorang diuji sejauh mana dapat menerima keadaan yang
berhubungan dengan harta tersebut. Ketika seseorang memperoleh harta
yang banyak, akan diuji sejauh mana ia mampu memanfaatkan harta
tersebut pada jalan yang sesuai dengan syariat Islam. Sebaliknya, cobaan
bagi orang yang dikurangi hartanya adalah bagaimana ia sanggup
menerima keadaan tersebut dengan penuh kesabaran. Di antara ayat yang
menyatakan bahwa harta merupakan salah satu dari bentuk cobaan dari
Allah SWT adalah surat Al-Baqarah (2): 155:

        

    

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,


dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-

8
buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar”.
d. Salah satu pendukung untuk menjadi pemimpin
Harta merupakan salah satu pendukung bagi seseorang yang ingin
menjadi penguasa. Suatu hal yang kecil dapat terjadi bila seseorang
menjadi penguasa tanpa didukung oleh harta yang cukup. Salah satu ayat
yang menceritakan tentang tidak terpisahnya kekuasaan dengan harta
adalah dalam surat Al-Baqarah (2): 247:

              

             

           

      

Artinya: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya


Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab:
"Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan
tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
mengetahui”.
e. Salah satu bentuk perhiasan hidup
Harta juga berfungsi sebagai salah satu hiasan dalam kehidupan
manusia. Fungsi ini sebenarnya juga mengandung pilihan bagi umat
manusia apakah ia dalam kehidupannya lebih mendahulukan harta atau
lebih mengutamakan amalan-amalan saleh. Akan tetapi, Al-Qur’an

9
mengarahkan manusia agar lebih mementingkan amal saleh, seperti dalam
surat Al-Kahfi (18): 46:

          

   

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia


tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya
di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.

C. Dasar Hukum Larangan Mencari Harta dengan Cara Bathil dalam Al-
Qur’an
Islam tidak membatasi dalam mencari harta dengan cara apapun, selama
tidak melanggar prinsip-prinsip yang telah ditentukan syarian Islam. Sistem
bisnis dalam prinsip Islam harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah
(ketidakjelasan) dan zulum (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu
pihak). Bisnis yang dijalankan oleh umat Islam harus terbebas dari maysir
(judi), aniaya (zulum), gharar (penipuan), haram, riba (bunga), ihtikar dan
bathil.
Harta memiliki nilai dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an memberikan
batasan-batasan umum dalam bermuamalah, salah satunya larangan memakan
harta secara bathil. Islam memiliki konsep etika bagaimana melindungi hak
dan kekayaan orang lain agar tidak dilanggar dan dirampas, termasuk dalam
kegiatan konsumsi harus menghindari perilaku zalim dan bathil. Makna kata
al-bathil berasal dari kata-kata al-bathlu dan buthlan yang bermakna sia-sia
dan kerugian.
Menurut al-Biqa’iy, al-bathil berarti segala sesuatu yang dari berbagai
seginya tidak diperbolehkan oleh Allah SWT, baik aspek esensinya atau

10
sifatnya. 13 Menurut syariat Islam, al-bathil adalah mengambil harta tanpa
imbalan yang benar dan layak serta tidak ada keridhaan dari pihak yang
diambil atau menghabiskan harta dengan cara yang tidak benar dan tidak
bermanfaat. Kata bathil dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan
memakan harta manusia secara bathil dijelaskan di dalam empat tempat yaitu:
Q.S. Al-Baqarah ayat 188, Q.S An-Nisa ayat 29 dan 161, dan Q.S. At-Taubah
ayat 34.
a. Q.S. Al-Baqarah ayat 188

          

      


Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui”.
Penjelasana ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT
mengharamkan kepada umatnya untuk memakan harta sesama muslim
dengan cara yang tidak dibenarkan syariat Islam yaitu memberikan kepada
hakim uang suap untuk menyelesaikan perkaranya dengan cara yang
bathil.

b. Q.S An-Nisa ayat 29

         

             

 

13
Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibraim ibn Umar Al-Biqa’iy, Nazhm alDurar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2006), h. 368.

11
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”.
Surat An-Nisa ayat 29 tersebut merupakan larangan tegas mengenai
memakan harta orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil.
Memakan harta sendiri dengan jalan bathil adalah membelanjakan
hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang lain dengan cara bathil
ada berbagai caranya, seperti riba, judi, menipu, menganiaya dan segala
jual beli yang dilarang syariat Islam. 14
Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan ayat tersebut dengan kalimat
janganlah kalian ambil harta orang lain dengan cara haram dalam jual beli,
(jangan pula) dengan riba, judi, merampas dan penipuan. Akan tetapi,
dibolehkan bagi kalian untuk mengambil harta milik selainmu dengan cara
dagang yang lahir dari keridhaan dan keikhlasan hati antara dua pihak dan
sesuai aturan syariat Islam. Tijarah adalah usaha memperoleh untung lewat
jual beli. Taradhi (saling rela) adalah kesepakatan yang sama-sama muncul
antar kedua pihak pelaku transaksi, jual beli tanpa ada unsur penipuan. 15

c. Q.S An-Nisa ayat 161

          

    

Artinya: “Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal


Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
14
Syekh. H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
258.
15
Az-Zuhaili Wahbah, Tafsir al Wajiz wa Mu‟jam Ma‟aniy al Qur‟an al „Aziz,
(Damsyik: Dal al Fikr, 1997), h. 84.

12
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih”.
Berdasarkan penjelasan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT
melarang umatnya untuk memakan harta dengan cara bathil yaitu riba,
karena Allah SWT telah menyiapkan azab yang pedih di dalam api neraka
kepada mereka yang kafir.

d. Q.S. At-Taubah ayat 34

          

         

         

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebagian


besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan
“memakan” dalam ayat tersebut adalah menerima, mengambil dan
menguasai. 16 Dalam surat At-Taubah ayat 34 memberikan pesan kepada
orang-orang yang beriman agar tidak berperilaku sebagaimana orang-
orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, yang mengambil dan
menggunakan harta orang lain dengan jalan bathil, antara lain dengan
menerima sogok, memanipulasi ajaran untuk memperoleh keuntungan
materi. Mereka menampakkan diri sebagai agamawan yang dekat dengan

16
Yusuf Al-Qardhawi, Kaidah Utama Fikih Muamalah, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar,
2014), h. 80.

13
Tuhan dan seolah-olah mementingkan akhirat tetapi pada hakikatnya
mereka tidak demikian.

D. Hikmah Adanya Larangan Mencari Harta dengan Cara Bathil


Sikap keridhaan dalam melakukan transaksi antar pihak merupakan salah
satu asas pokok dalam muamalah. Transaksi dalam muamalah tidak sah
apabila pada saat terjadinya suatu akad ada salah satu pihak dalam keadaan
terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Sebagaimana kaidah fiqhiyah
menyebutkan :17
ْ َ ‫األ‬
َ ‫ص ُل فِي العَ ْق ِد ِر‬
‫ضى ال ُمتَعَاقِدَي ِْن َونَتِ ْي َجتُهُ َما إلت َزَ َماهُ بِالتّعَاقُ ِد‬
“Hukum asal dari transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.
Prinsip ekonomi Islam juga sangat melarang perilaku zalim terhadap
orang lain. Perilaku zalim selain mendatangkan kerugian kepada orang lain
juga mendatangkan kerugian bagi diri kita sendiri. Sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 279:

            

     

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),


Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Pada dasarnya, dalam melakukan akad transaksi harus berlaku adil dan
sesuai dengan aturan dalam syariat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT
Q.S. Al-Hadid ayat 25:

17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Pranata Media, 2006), h. 130.

14
        

           

         


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan
besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan
rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
kuat lagi Maha Perkasa”.
Pesan etika dengan adanya Allah SWT melarang adanya memakan harta
dengan cara bathil yaitu:
1. Perbuatan dan tindakan mengambil hak atau harta sesama dengan cara
yang bathil hukumnya haram seperti riba, judi dan sebagainya.
2. Syarat sah dalam melakukan transaksi jual beli adalah adanya unsur
kerelaan atau keridhaan dari kedua belah pihak. Seseorang yang dipaksa
melakukan akad atau membatalkan suatu akad yang telah terjadi, maka
transaksi jual beli tersebut tidak sah.
3. Jika ada keridhaan dari kedua belah pihak namun yang dilakukan
keduanya merupakan muamalah yang haram dalam syariat Islam, maka
keridhaan dari kedua belah pihak tidak mengubah hukum syariat tersebut,
karena setiap muamalah yang haram berarti syariat dalam hukum Islam
tidak meridhainya dan masuk kategori memakan harta orang lain dengan
cara bathil.
4. Adanya larangan penumpukan harta di tangan orang-orang kaya dan
diwajibkannya infak dan sedekah untuk pemerataan harta demi

15
terciptanya kemaslahatan bagi manusia secara keseluruhan, sebagaimana
dijelaskan dalam Q.S. Al Hasyr: 59 ayat 7:18

           

            

             

 

Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.
5. Pada hakikatnya harta merupakan amanah yang diberikan oleh Allah
SWT kepada manusia untuk dipergunakan di jalan yang benar sesuai
dengan syariat Islam, yaitu untuk kemanfaatan dan kemaslahatan manusia
secara umum.

18
Naerul Edwin Kiky Aprianto, Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,
Journal of Islamic Economics Lariba, Vol. 3, Desember, 2017, h. 70 .

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemilikan harta yang didasarkan pada agama tidak memberikan hak
mutlak kepada pemiliknya untuk mempergunakan semua harta yang dimiliki
digunakan untuk sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan beberapa aturan.
Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya sementara, tidak
abadi, dan tidak lebih dari pinjaman yang diberikan oleh Allah SWT.
Pemeliharaan terhadap harta merupakan proses cara memperoleh harta dan
adanya hukuman yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT mengenai larangan
mencuri, melakukan kecurangan dan berkhianat di dalam menjalankan bisnis,
larangan atas riba, memakan harta orang lain dengan cara yang bathil dan
diwajibkan untuk mengganti barang yang telah dirusaknya.
Harta memiliki fungsi sosial yaitu harus dapat memberikan manfaat dan
kemaslahatan untuk orang lain. Menurut syariat Islam al-bathil adalah
mengambil harta tanpa imbalan yang benar dan layak serta tidak ada
keridhaan dari pihak yang diambil atau menghabiskan harta dengan cara yang
tidak benar dan tidak bermanfaat. Kata bathil dalam Al-Qur’an yang
berhubungan dengan memakan harta manusia secara bathil dijelaskan di
dalam empat tempat yaitu: Q.S. Al-Baqarah ayat 188, Q.S An-Nisa ayat 29
dan 161, dan Q.S. At-Taubah ayat 34. Sikap keridhaan dalam melakukan
transaksi antar pihak merupakan salah satu asas pokok dalam muamalah.
Prinsip ekonomi Islam juga sangat melarang perilaku zalim terhadap orang
lain. Perilaku zalim selain mendatangkan kerugian kepada orang lain juga
mendatangkan kerugian bagi diri kita sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Pranata Media.
2006.
Abdul Hadi. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya: PMN & IAIN Press.
2010.
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan.
Yogyakarta: Magistra Insania Press. 2004.
Abu Ishaq al-Shatibi, Al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari‟ah. Jil. 2. Beirut: Dar al-
Ma’rifah. 1973.
Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo. 2007.
Az-Zuhaili Wahbah. Tafsir al Wajiz wa Mu‟jam Ma‟aniy al Qur‟an al „Aziz.
Damsyik: Dal al Fikr. 1997.
Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibraim ibn Umar Al-Biqa’iy. Nazhm alDurar fi
Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah. 2006.

Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam;
Perspektif Maqashid al Syariah. Jakarta: Kencana. 2014.
Ismail Nawawi. Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum.
Surabaya : Putra Media Nusantara. 2009.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana. 2012.
Muhammad Shatif Chaudhry. Sistem Ekonomi Islam (Fundamental Of Islamic
Economic System); Prinsip Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2012.
Naerul Edwin Kiky Aprianto. Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,
Journal of Islamic Economics Lariba. Vol. 3, Desember, 2017.
Rachmat Syafei. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2001.
Syekh. H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Kencana. 2006.
Yadi Janwari. Pemikiran Ekonomi Islam; Dari Masa Rasulullah Hingga Masa
Kontemporer. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2016.
Yusuf Al-Qardhawi. Kaidah Utama Fikih Muamalah. Jakarta: Pustaka Al
Kautsar. 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai