D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1. MIFTAHUL ANAM
2. MARDIYANTI
3. MURNI ANDRIANI
Penyusun
Daftar isi
Bab II pembahasan…………………………................................................. 4
A. Kepemilikan……….................................................................................... 4
B. Aqad……………….................................................................................... 9
Artinya: “kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni
siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.[3]
2. Macam-macam kepemilikan
Menurut pandangan Islam bahwa hak milik itu dapat dibedakan
menjadi beberapa macam di antaranya:
1. Hak milik individu/pribadi
Islam membolehkan/membenarkan hak individu terhadap harta benda dan membenarkan
pemilikan semua jenis harta benda yang diperoleh secara halal di mana seseorang mendapatkan
sebanyak harta yang mampu diperolehnya. “Menurut pengetahuan ,kemahiran dan tenaga dengan
menggunakan cara-cara yang bermoral dan tidak anti sosial.”[4]Islam menganggap tidak ada
bahaya dalam hak milik perseorangan bahkan sebaliknya menggalakkan setiap orang supaya
berusaha. Islam membenarkan hak milik pribadi. Tetapi tidak memberikan kebebasan tanpa
batas menggunakan hak tersebut sekehendaknya. Islam membenarkan hak pribadi di tetapkan
menurut ketentuan-ketentuan tertentu supaya tidak membahayakan. Islam memberi kuasa kepada
masyarakat untuk menyusun undang-undang hak milik pribadi.[5]
Hak milik individu merupakan sesuatu yang mendasar, bersifat permanen. Melekat pada
eksistensi manusia dan bukan merupakan fenomena sementara. Sedemikian Islam menghargai
hak milik individu, sampai-sampai harta mas kawin dalam pernikahan yang gagal (dengan
persyaratan tertentu) harus dikembalikan kepada yang empunya. Para ulama di masa lalupun
(misal al Ghazali, Satiby, Ibnu Taimiyah) hingga pemikir pada masa kini telah bersepakat
bahwa kriteria pembatasan hak milik individu selain ketentuan syari’at adalah alasan
kemanfaatkan yang riil (maslahah).[6]
Batasan-batasan yang ditentukan oleh syara’ kadang tetap ada yang melanggar hingga
akhirnya hak milik pribadi senantiasa menjadi sebab utama terjadinya konflik dan ketidak adilan
dan keamanannya agar hal ini tidak diabaikan. Permasalahan seperti ini sering terjadi di negara
barat, mencerminkan adanya kekuasaan politik golongan hartawan dan bukan disebabkan oleh
hak milik pribadi.[7] Ini dikaitkan dengan negara yang menjamin kebebasan masyarakat untuk
memiliki hartanya, dan mempergunakannya setiap usaha yang dipergunakannya sesuai dengan
kepentingannya asal tidak mengganggu kepentingan negara. Kebebasan dalam memiliki oleh
sistem kapitalis merupakan bentuk pemahaman negara tersebut terhadap makna kepemilikan.
Kepemilikan tidak akan terjadi tanpa usaha untuk mendapatkan harta yang akan dimiliki.[8]
Rakyat tidak mempunyai hal untuk memiliki harta kecuali harta-harta tertentu yang telah
ditetapkan oleh negara. Motivasi masyarakat untuk bekerja itu didasarkan atas nilai kepemilikan
yang ia dapatkan kelak setelah ia bekerja tetapi lebih dikarenakan adanya aturan yang ketat atas
apa yang mereka kerjakan. Namun rakyat mendapatkan hasilnya melalui pembagian yang rata
yang dilakukan negara.[9]
2. Hak milik umum
Konsep hak milik umum mula-mula digunakan dalam Islam dan tidak terdapat dalam masa
sebelumnya. Namun demikian, dapat dicatat istilah “hak milik umum” yang digunakan oleh
Islam mempunyai makna yang berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang
dimaksud oleh sistem sosial dan komunis. Maksudnya, bahwa semua harta dan kekayaan milik
masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang
berbeda-beda kepada warganya. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat
dengan milik individu secara keseluruhan berdasakan kepentingan umum.[10]
3. Hak milik negara
Hak milik negara pada dasarnya adalah hak milik umum. Tetapi dalampengelolahan hak
yang mengelola adalah hak pemerintah. Negara juag memiliki hak milik terhadap terhadap
barang dan jasa, terutama yang terkait untuk melaksanakan kewajibannya, untuk
menyelenggarakan pendidikan, penyediaan fasilitas publik, memelihara hukum dan keadilan
menyantuni fakir miskin, dan lain-lain. Negara dapat memungutnya dari pajak secara terbatas
kepada masyarakat, di samping mengendalikan pemasukan lain seperti ghanimah, hadiah,
temuan benda tak bertuan, wakaf, hingga zakat. Kekayaan negara secara aktual merupakan
kekayaan publik sehingga harus dikeluarkan untuk kepentingan publik pula. Kepada negara
hanya pemegang amanah. Meskipun begitu, sangatlah dilarang penggunaan kekayaan negara
secara berlebihan. Kekayaan negara harus digunakan untuk kepentingan ekonomi masyarakat,
mengembangkan untuk kepentingan sosial dan mengurangi disparitas pendapatan.[11]
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS. Al Maidah : 1).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau aka itu
hukumnya wajib.
11. Akad Muwadah, Akad Tabaru, Dan Akad Wuawadah Dan Tabaru Sekalaigus.
Akad muwadah (‘aqd al-mu’awadah) adalah akad dimana terdapat prestasi yang timbal
balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi yang
diberikannya. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, pendamaian atas benda dan sebagainya.
Akad cuma-Cuma ( akad tabaru) (akad donasi) adalah akad dimana prestasi hanya dari
salah satu pihak , seperti akad hibah dan pinjam pakai.
Akad atas beban dan Cuma-Cuma adalah akad yang pada mulanya merupakan akad
Cuma-Cuma, namun pada ahirnya menjadi akad atas beban. Misalnya, akad peminjaman dimana
pemberi pinjaman pada mulanya membantu orang yang diberi pinjaman, dan akad penangguhan
dimana penangguhan dimana pada awalnya membantu orang yang di tanggung secara Cuma-
Cuma, akan tetapi pada saat pemberi pinjaman menagih kembali pinjamannya maka akadnya
menjadi akad atas beban.[25]
Hukum Islam telah mengatur dalam fiqh muamalah berkaitan hak milik dan akad yang sifatnya
sangat urgen sekali untuk diterapkan dalam membimbing kemasyarakatan umat manusia sebagai
kalifah di bumi. Hak milik adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda
menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak
ada penghalang yang bersifat syara’. Cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam yaitu
1.melalui penguasaan harta yang belum dimiliki orang;
2.melalui transaksi;
3.melalui peninggalan seseorang;
4.hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang.
Sedangkan akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.
Rukun akad terdari dari ‘aqid (orang yang berakad); ma’qud ‘alaih, (benda-benda yang
diakadkan); maudhu‘ al-‘aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad); dan shighat al-`aqd
(ijab kabul). Syarat-syarat umum suatu akad adalah
1. pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika objek akad
itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan
oleh walinya;
2. Objek akad itu diakui oleh syara’;
3. Akad itu tidak dilarang oleh syara’;
4. Akad itu berfaedah;
5. Ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul;
6. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’.
Adapun syarat khusus suatu akad, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian
akad. Macam-macam akad dilihat dari segi keafsahannya menurut syara`, akad terbagi menjadi
dua yaitu :
1) Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
a).Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan);
b).Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia
tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad.
2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan ada rukun atau syarat-syaratnya
sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang
berakad.
a) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan
langsung dari syara’.
b) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan akan tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas.
Akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal sebagi berikut :
1).Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu;
2).Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3).Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika akad itu
fasid, berlaku khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar ruqyah, akad itu tidak dilaksanakan oleh satu
pihak, tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.
4) Wafatnya salah satu pihak yang berakad.