Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH LEMBAGA KEUANGAN

SYARIAH

HARTA DAN AKAD PENGEMBANGAN HARTA

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 5 :


1. Ahmad Abduh Assalam 17241005
2. Mukhasanah 17241016
3. Siti Rofiqotun Nadhiroh 17241020

MANAJEMEN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TERPADU
STAIT JOGJA
2020
KATA PENGANTAR

Bismillah..
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil
alamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat.
Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah dengan judul Manajemen
Lembaga Keuangan Syariah
Allah telah menjadikan harta sesuatu yang indah dalam pandangan
manusia, manusia diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap
harta. Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis,
karena harta merupakan alat dan sarana untuk bmemperoleh berbagai manfaat dan
mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu. Hubungan manusia
dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut sehingga naluri
manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup
manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan
manusia, karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap
manusia (al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.
Namun penyusun menyadari betul akan masih banyaknya kekuranagn dari
makalah ini, walau telah mengusahakan sepenuhnya untuk menyempurnakannya.
Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangatlah penting bagi penyusun
untuk menghadirkan makalah yang jauh lebih baik lagi di kemudian hari.
Terimakasih banyak atas perhatian dan waktu luangnya.

Pati, 26 Juni 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN


A. Teori Harta..............................................................................................................3
1. Teori Kepemilikan.........................................................................................3
2. Harta Dalam Sudut Pandang Islam...........................................................4
B. Kepemilikan Harta Dalam Islam......................................................................9

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak
akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai
manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain
yang termasuk perhiasan dunia.
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan
demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai
penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi
dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal,
dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak
Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Harta yang dimiliki setiap individu selain didapatkan dan digunakan juga
harus dijaga. Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan
menjaga jiwa agar jauh dari bencana dan mengupayakan kesempurnaan
kehormatan jiwa tersebut. Menjaga jiwa menuntut adanya perlindungan dari
segala bentuk penganiayaan, baik pembunuhan, pemotongan anggota badan atau
tindak melukai fisik.
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.
kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta
tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut.
Adanya pemilikan seseorang atas harta kepemilikian individu tertentu mencakup
juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah
dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu
maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam
memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap
wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan
pemanfaatan dan pengembangan harta.
Namun sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas-batas
kepemilikan harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak

1
intervensi Negara asing yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik
pribadi.
Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini akan
menguraikan makna harta dalam pandangan Islam dan konsep kepemilikan harta
dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan harta, serta pembagian
harta dalam islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah harta dalam pandangan islam?
2. Jelaskan kepemilikan harta dalam prospektif islam?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Harta Dalam Pandangan Islam
2. Untuk Mengetahui Kepemilikan Harta Dalam Prospektif Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur
dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa
memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dalam
kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar
manusia (mu'amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan terkait
dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi, harta bisa
dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership
(kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari
karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai obyek
kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.

1. Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta
yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk
melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang
melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik
berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami
pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan
kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu
harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut
istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk
bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'.
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan
syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan

3
untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan
syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya.
Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memanfaatkan atau
bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang
memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi
yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas
umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum,
perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki
oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset publik untuk dimanfaatkan
bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta
tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu. Selain itu, ada
juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta
yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-
belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal
dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah
(pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta
benda tersebut. Begitu juga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan.
Aset ini tidak boleh diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan
pemerintah yang dilatarbelakangi adanya darurat atau kemaslahatan yang
mendesak. Aset pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh
ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada
juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua
harta diatas.

2. Harta Dalam Sudut Pandang Islam


Harta dalam literatur Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan
sebutan al-mal, kata jamaknya al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24 kali kata
mal atau al-mal, satu kali kata maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat
dan puluhan ayat.
Secara harfiah, kata al-mal berasal dari kata mala-yamilu-maylan-wa-
mayalanan-wa-maylulatan-wa-mamilan, artinya miring, condong, cenderung,

4
suka, senang dan simpati. Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa,
kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada
harta khususnya uang. Al-Qur’an surah Al-Fajr ayat 20 melukiskan kegemaran
manusia terhadap harta di antaranya :
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan
bimbingan wahyu yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan hidup ini
akan tetapi hanya sebagai wasilah belaka yang nanti di hari kiamat harus
dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang
kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-
menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah
memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh
karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk
mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta
pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang
dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam)
seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian. Maka seluruh
apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta.
Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil
perkebunan, hasil perikanan-kelautan dan pakaian termasuk dalam kategori al-
amwal atau harta kekayaan.
Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis,
karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan
mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.
Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya
hubungan tersebut sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu
dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru harta termasuk
salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, karena harta termasuk unsur lima
asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu
jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.

5
a. Definisi Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al-
maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat
mendatangkan ketenangan,
dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa
dzat (materi) seperti; komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan
lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi
dua kriteria;
Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada
akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya
kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri
Sesuatu itu harus berada dalamgenggaman kepemilikan manusia.
Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan
sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di
lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya.
Pengertian Harta dalam al-Qur’an:
“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik
(surga)”. (QS. Ali Imron 3:14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-
Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda
pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu
diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik
bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila
penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Pengertian Harta menurut al-Sunnah
Rasulullah Shallahu Alaihi Wassallam bersabda: “Sebaik-sebaiknya harta
ialah yang berada pada orang salih”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi
nikmat bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang

6
menggunakan harta tersebut. Namun demikian, keberadaan harta bukan menjadi
tujuan hidup. Karenanya, pemilik harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada
Allah.
Dilihat dari kacamata istilah fiqh, ulama berbeda pendapat tentang definisi
al-maal, perbedaan itu muncul dari makna atau substansi yang dihadirkan dalam
definisi. Perbedaan pandangan tersebut dapat dikatagorikan dalam dua pendapat.
Yakni :
1) Pendapat Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, al-maal adalah segala sesuatu yang mungkin dimiliki,
disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan dua unsur yang
harus terdapat dalam al-maal;
Dimungkinkan untuk dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus
bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat ingtanguble seperti, ilmi, kesehatan,
kompetisi, prestise, image, dan lainnya tidak bisa dikatagorikan sebagau al-
maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus bisa dikuasai dan disimpan, oksigen (berbeda
dengan oksigen yang telah dimasukkan dalam tabung oksigen), cahaya matahari
dan rembulan tidak bisa dikatagorikan sebagai al-maal.
Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatkan, seperti
;daging bangkai, makanan yang sudaj expire, yang telah rusak, maka tidak bisa
dikatakan sebagai al-maal. Dalam kondisi darurat, boleh saja kita mengkonsumsi
barang tersebut dan, mungkin bisa mendatangkan manfaat, namun demikian, hal
tersebut tidak bisa secara langsung megubah barang tersebut menjadi al-maal,
karena hal ini merupakan bentuk pengecualian (istitsna' ).
Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan
manfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat. Sebutir nasi atau setetes air
tudak dianggap bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya
besar.
Sifat maaliah (sesuatu yang dianggap sebagai harta) akan tetap melekat
pada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih dimanfaatkan atau diberdayakan oleh
masyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr (arak, miras), anjing, babi, mungkin
masih bisa dimanfaatkan oleh non-muslim. Bagi kaumborjuis, pakaian bekas
mungkin sudah tidak memiliki arti, namun bagi orang yang tinggal dilorong

7
jembatan, pakaian bekas itu masih memiliki arti dan manfaat bagi kehidupannya.
Dengan demikian, dalam konteks ini, pakaian bekas tersebut masih bisa dikatalan
sebagai al-maal. Berbeda jika pakaian tersebut sudah ditinggalkan oleh seluruh
masyarakat, tidak terdapat sedikitpun yang mau atau bisa memanfaatkannya.
Ibnu Abidin (madzhab Hanafi, Raddul Mukhtar,IV, hal.3) mengatakan, al-
maal adalah segala sesuatu yang di-preferansi-kan (gandrungi) oleh tabiat
manusia, dan dimungkinkan untuk disimpan hingga saat di butuhkan, baik dapat
dipindah (Manqul) ataupun tidak (gairu manqul).
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV,hal.41), definisi ini bukanlah
pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa dikatakan al-
maal,walaupun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak. Begitu juga dengan hewan
buruan, kayu di hutan tetap bisa dikatakan sebagai al-maal ,walaupun belum
dimiliki atau disimpan. Obat-obatan juga bisa dimasukkan dalam katagori harta,
walupun manusia menolak untuk mengkonsumsinya.

2) Pendapat Mayoritas Ulama


Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai,
dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau
menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada
sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi
yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yang
dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan
moneter.
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal289)
menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah
dengan qanun (hukum). Menurut beliau, sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika
memenuhi dua syarat, yaitu;
- Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
- Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya
agartidak diambil ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu
haruslah memiliki nilai materi.

8
Berdasarkan persyaratan ini, maka yang dikatakan sebagi harta adalah
segala dzat ('ain) yang dianggap memiliki nilai materi bagi kalangan masyarakat.
Pendapat ini secara otomatis menafikan hak dan manfaat untuk masuk dalam
katagori harta. Jika dilihat, pendapat Mustafa Ahmad Zarqa ini cenderung dekat
dengan pendapat Ulama Hanafiyah.

B. Kepemilikan Harta Dalam Islam


Kepemilikan adalah hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta
yang dikukuhkan dan dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku
digunakan untuk menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan
“Hadza milkii,” yang artinya ini adalah sesuatu milikku baik berupa barang atau
kemanfaatan.
Menurut Jati dalam buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga,
yaitu : Allah adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas
bagi kehidupan manusia dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada
manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak
atas pemilikan hak milik sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-
masing. Hak milik dari ketiga agen kehidupan ini tidak boleh menjadikannya
sebagai sumber konflik antara ketiganya. Hak milik menurutnya adalah sebuah
kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi
kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
: hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi dzat
ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti
disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan dzatnya seperti dibeli
–dari barang tersebut.

9
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif
hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta
tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut
terbatas pada lima sebab berikut ini :
a) Bekerja.
b) Warisan.
c) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
d) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
e) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan
harta atau tenaga apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari
pemubaziran. Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti
membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah kewajiban.
2) Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah
Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahi Alaihi Wasallam bahwa benda-
benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang
benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang saja.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok ;
a) Benda-benda yang merupakan fasilitas umum
Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan
manusia secara umum. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah
menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut.
lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu
Alaihi Wassalam bersabda : “Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang
(untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu
Majah). Anas r.a meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan

10
menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti
dilarang untuk diperjualbelikan.
b) Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Barang tambang yang
sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara
pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang
temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya,
yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut
termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara
pribadi.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Teori Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang
tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa memenuhi
kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri.
2. Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang
melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik
berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
3. Harta Dalam Sudut Pandang Islam
Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun
pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan
pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli,
pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
4. Kepemilikan Harta Dalam Islam
Kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : kepemilikan
individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve

Abdul Fatah al-Husaini, al-Syaikh, Buhuts fi al-Fiqh al-Islami (universitas al-


Azhar, 1971)

Afif, Ahmad Mustafa, “Atsar Nuzhum al-Mudharabah wa al-Musyarakah al


Ribhiyyah al-Masyru’at al-Iqtishadiyyah, “tesis magister Institut Studi
Islam, tahun 1984

13

Anda mungkin juga menyukai