Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

EKONOMI ISLAM
Kepemilikan, Defenisi, Jenis-jenis dan Motivasi Ekonomi
Dalam Islam
Dosen Pengampu: Ardi Wiranata, S.E.,M.E

Disusun Oleh:
1. NURLIANA : NIM (S.ES.1.2020.008
2. M. ANDONI : NIM (S.ES.1.2020.010)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH

MAULANA QORI BANGKO (STAI SMQ)

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makal Ekonomi Islam dengan judul “kepemilikan, defenisi, jenis-jenis, dan
motivasi ekonomi dalam ekonomi islam”.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat-Nya yang telah menyelamatkan kita dari
alam jahiliyah menuju ke alam yang penuh barokah ini. Penulis menyadari betul bahwa
sebagai penulis tidak luput dari kesalahan, maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran
dan kritikan yang sifatnya konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang digunakan manusia dengan sesama
anggota masyarakat lain pemakai bahasa itu. Bahasa itu berisi pikiran, keinginan , atau
perasaan yang ada pada diri si pembicara atau penulis. Bahasa yang digunakan itu hendaknya
dapat mendukung maksud secara jelas agar apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakan
itu dapat diterima oleh pendengar atau pembaca. Kalimat yang dapat mencapai sasarannya
dengan baik disebut dengan kalimat efektif.
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya
secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Kalau gagasan
yang disampaikan sudah tepat, pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut dengan
mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau pembicaranya. Akan
tetapi, kadang-kadang harapan itu tidak tercapai. Misalnya, ada sebagian lawan bicara atau
pembaca tidak memahami apa maksud yang diucapkan atau yang dituliskan. Supaya kalimat
yang dibuat dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat, unsur kalimat yang
digunakan harus lengkap dan eksplisit. Artinya, unsur-unsur kalimat seharusnya ada yang
tidak boleh dihilangkan. Sebaliknya, unsur-unsur yang seharusnya tidak ada tidak perlu
dimunculkan. Kelengkapan dan keeksplisitan semacam itu dapat diukur berdasarkan
keperluan komunikasi dan kesesuaiannya dengan kaidah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif ?


2. Apa saja Jenis Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif ?
3. Contoh Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif ?
4. Bagaimana Cara membuat Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif ?

C. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui Pengertian Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif.


2. Untuk mengetahui jenis Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif.
3. Untuk mengetahui contoh Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif.
3. Untuk mengetahui cara membuat Kalimat Efektif dan Kalimat Tidak Efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemilikan Dalam Islam

Secara etimologi, Kepemilikan (al-milk) berasal dari bahasa Arab dari akar kata
"malaka" yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. Kepemilikan atau al-milk biasa juga
disebut dengan hak milik atau milik saja. Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk)
sebagai ”kekhususan seseorang terhadap harta yang diakui syari’ah, sehingga menjadikannya
mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut, baik memanfaatkan dan atau
mentasharrufkannya”.
Secara terminology, ada beberapa definisi Al Milk yang dikemukakan oleh para fukaha.
Wahbah al-Zuhaily memmberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :

‫انع‬88‫داء اال لم‬88‫اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف ابت‬
‫شرعي‬
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari
harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.37


Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut :

‫اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء‬
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari
harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada
halangan syar’iy”.
Muhammad Abu Zahroh, Al-Milkiyyah wa Nazhariyatul al’Aqd fi al-Syari’ah al-Islamiyyah,
Mesir dar al-Fikri al-‘Araby, 1962, hlm. 15.

Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan
suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu
hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan
khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya
untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia
tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih
terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.

Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak
berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si
empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya.
Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum
balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan
menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul
karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan
kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk
mewakili).
Konsep Dasar Kepemilikan 

“Kepuyaan Allah lah kerajaan di langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan dia
maha kuasa atas segala sesuatu” (Al Maidah : 120)

Ayat di atas merupakan landasan dasar tentang kepemilikan dalam Islam. Ayat diatas
menunjukan bahwa Allah adalah pemilik tunggal apa-apa yang ada di langit dan dibumi dan
tidak ada sekutu bagi Nya. Lantas Allah memberikan atau menitipkan kekuasaan bumi pada
manusia, agar manusia mengelola dan memakmurkannya.

“Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada
kalian.”(QS. An-Nuur : 33)
“Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa
terhadapnya. “(QS. Al-Hadid : 7)
“Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh : 12)
Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal
kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, dimana
Allah SWT menyatakan “Maalillah” (harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah
SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah
menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan
dengan firman-Nya :
“Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. “(QS. An-Nisaa` : 6)
“Ambillah dari harta-harta mereka. “(QS. Al-Baqarah : 279)
“Dan harta-harta yang kalian usahakan.” (QS. At-Taubah : 24)
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail :11)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia
(istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia
memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya
manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar
manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik), maka Islam
memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk
memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa
dimiliki oleh seseorang apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT
untuk memilikinya.

Konsep Kepemilikan dalam Islam

Dalam Islam terdapat tiga unsur-unsur kepemilikan, yaitu kepemilikan individu (private
property), kepemilikan umum (public property), dan kepemilikan Negara (state property).

Kepemilikan Individu / Private Property


Kecenderungan pada kesenangan adalah fitrah manusia, Allah menghiasi pada diri manusia
kecintaan terhadap wanita, anak-anak, dan harta benda. Sebagaimana Allah suratkan dalam
Al Qur’an,
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan,
berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas
dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenanganhidup didunia,
dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik” (Q.S Ali Imran:14)

Dalam ayat diatas dengan sangat jelas Allah menjelaskan bahwa kecenderungan manusia
terhadap kesenangan adalah fitrah manusia. Oleh karena itu, manusia terdorong untuk
memperolehnya dan berusaha untuk mendapatkannya. Hal ini sudah menjadi suatu
keharusan. Dari sinilah, maka usaha manusia untuk memperoleh kekayaan adalah suatu hal
yang fitri, dan merupakan suatu yang pasti dan harus dilakukan.

Islam adalah agama yang fitrah, dan tidak ajaran yang terdapat didalamnya bertentangan
dengan fitrah manusia. Islam menghargai kecenderungan manusia pada hal-hal yang indah
dan menyenagkan. Oleh karena itu, setiap usaha dan upaya yang melarang manusia untuk
memperoleh kekayaan adalah sangat bertentangan dengan fitrah. Begitu juga setiap usaha
membatasi kekayaan manusia dengan takaran tertentu juga bertentangan dengan fitrah. Islam
tidak dihalng-halangi untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Manusia diberiakn
kebebasan sebesar-besarnya dalam memperoleh kekayaan. Hanya saja, Syariat membatasi
dalam hal cara memperolehnya. Syariat telah menentukan aturan-aturan dalam memperoleh
kekayaan. Setiap orang mempunyai tingkat kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda
dalam memenuhi kebutuhannya.apa bila manusia diberiakan kebebasan cara memperolehnya,
maka hanya aka nada segelintir orang yang memonopoli kekayaan, orang-orang yang lemah
akan terhalang untuk memperolehnya, sementara orang-orang rakus yang akan
menguasainya.

Oleh karena itu, kepemilikan akan suatu barang harus ditentukan dengan mekanisme tertentu.
Sedangkan, pelarang terhadap kepemilikan barang harus ditentang, karena bertentangan
dengan fitah manusia. Pelarangan kepemilikan berdasarkan kuantitas nya juga harus
ditentang, karena akan melemahkan semangat untuk memperoleh kekayaan. Begitu juga,
kebebasan dalam memperolehnya juga akan menyebabkan kesenjangan social pada
masyarakat.

Sungguh Islam adalah agama solusi. Islam memperbolehkan kepemilikan individu dan
memberikan batasan mekanisme dalam memperolehnya, bukan membatasi kuantitas. Cara ini
sangat sesuai dengan fitrah manusia, ia akan mampu mengatur hubungan antar manusia
denga terpenuhinya kebutuhan.

Kepemilikan Umum / Public Property

Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama
memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang termasuk kedalam kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang
diperuntukan untuk suatu komunitas masyarakat. Benda-benda yang termasuk kedalam
kepemilkan umum sebagai berikut:
1. Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada didalam suatu negri atau suatu komunitas
maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
2. Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya
oleh individu secara perorangan.

Rasulullah telah menjelaskan akan ketentuan benda-benda yang termasuk ke dalam


kepemilikan umum. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
“Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal : air, padang dan api “. (HR. Abu Dawud)
Anas meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan : wa samanuhu
haram (dan harganya haram ). Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda :
“Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang dan api
“. (HR.Ibnu Majah)

Mengenai barang tambang, dapat diklasifikasikan ke dalam dua: (1) Barang tambang yang
terbatas jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu. (2)
Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Barang tambang yang terbats jumlah dapat
dimiliki secara pribadi. Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak
mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin hamal:
“Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang
garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang dari majlis tersebut
bertanya, “wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir.”
Rasululllah kemudian bersabda, “kalau begitu, cabut kembali tambang itu darinya.” (HR. At
Tirmidzi)

Kepemilikan Negara / State Property

Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara
pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’ telah menentukan harta-harta sebagai
milik Negara; Negara berhak mengelolanya sesuai denga pandangan dan ijtihad. Yang
termasuk harta Negara adalah fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak pernah
menentukan sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta kepemilikan umum dan Negara
adalah, harta kepemilikan umum pada dasarnya tidak dapat di berikan Negara kepada
individu. Sedang harta kepemilikan Negara dapat di berikan kepada individu sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati.

Sebab-Sebab Kepemilikan

Harta (al maal) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun bentuknya. Sedang, yang
dimaksud dengan sebab kepemilikan (sabab at tamalluk) adalah sebab yang bisa menjadikan
seseorang memiliki harta, yang sebelumnya bukan memjadi miliknya. Adapun sebab-sebab
pengembangan kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki.

A. Bekerja
Kata bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam bentuknya.
Allah telah menentukan bentuk-bentuk kerja dan jenisnya yang layak untuk di kerjakan
sebagai sebab kepemilikan. Dalam hukum-hukum syariat sudah sangat jelas ketentuan-
ketentuan akan hal ini. Bentuk-bentuk bekerja yang dijadikan sebagai sebab kepemilikan
adalah sebagai berikut:

Menghidupkan tanah mati (ihya’ al mawat)

Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh
seorang pun. Yang dimaksud menghidupkannya adalah mengolahnya, menanaminya, atau
mendirikan bangunan di atasnya. Oleh karena itu, setiap usaha untuk menghidupi tanah mati
adalah telah cukup menjadikan tanah tersebut miliknya. Dari Umar bin Khatab, Rasulullah
bersabda: “ siapa saja yang menghidupi tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (H.R
Al Bukhari). Di hadist lain Rasulullah mempertegas kembali, Rasulullah besabda: “ siapa saja
yang memagari sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya. (H.R Ahmad ). “ siapa saja
yang lebih dulu sampai pada sesuatu (tempat disebidang tanah), sementara tidak ada seorang
muslim pun sebelumnya yang sampai padanya, maka sesuatu itu menjadi miliknya”. (H.R At
Thabrani).
Dalam hal ini tidak ada pembedaan antara muslim dan kafir dzimmi, karena dalam hadist
tersebut bersifat mutlak. Kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yanah tersebut
harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah itu dibuka dan terus-terus digarap manfaatnya.
Apabila tanah tersebut belum dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka atau
dibiarkan selam tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut hilang. Hal ini pernah
terjadi pada masa khalifah Umar bin Khatab, dari penuturan Amr bin Syu’aib bahwa Khalifah
Umar membatasi masa pemagaran selama tiga tahun. Umar bin Khatab berkata: “ orang yang
memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya ) tidak memiliki hak atas tanah itu
setelah tiga tahun”.

Menggali kandungan bumi

Yang termasuk dalam kategori bekerja adalah menggali kandungan bumi. Jenis kandungan
bumi yang dalam kategori ini bukan merupakan kebutuhan mendasar suatu komuitas
masyarakat, atau yang disebut rikaz. Menurut ketentuan fikih, seorang yang menggali
kandungan bumi berhak atas 4/5 bagian, sedang 1/5 bagian sisanya harus dikeluarkan sebagai
Khumus. Ketentuan harta rikaz adalah apabila harta yang tersimpan didalam tanah tersebut
asalnya karena tindakkan seseorang dan jumlahnya terbatas dan tidak sampai pada jumlah
yang didibutuhkan oleh suatu komunitas dalam jumlah yang sangat besar. Jika suatu harta
dari dalam tanah yang tidak diusahakan oleh seseorang dan dibutuhkan oleh suatu komunitas,
maka harta seperti ini bukan rikaz, tapi merupakan harta kepemilikan umum. Yang juga bisa
disamakan dengan harta kandungan bumi, adalah harta dari udara, seperti oksigen dan
nitrogen. Begitu juga dengan harta lainnya yang diperbolehkan oleh syariat untuk dimiliki.

Berburu

Yang juga termasuk kedalam kategori bekerja adalah berburu. Yang termasuk kedalam
berburu yang diperbolehkan dalam Islam adalah berburu seluruh jenis Ikan, mutiara, permata
dan hasil buruan laut lainnya. Begitu juga dengan buruan hewan-hewan darat dan udara,
seperti berburu burung,rusa dan lain-lain. Ketentuanya binatang buruan adalah binatang
bebas, artinya binatang atau harta tersebut tidak dimiliki oleh orang lain, dan merupakan
kepemilikan umum. Sebagaimana Allah berfirman akan kebolehan dalam berburu:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Diharamkan
atas kalian (menangkap) binatang buruan darat selama sedang ihram.” (Q.S al Maidah : 96)
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah kalian berburu” (Q.S Al
Maidah : 2)
“Mereka bertanya kepada mu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:
“Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh binatang buruan
yang telah kalian latih untuk berburu menurut apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian.
Karena itu, makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian dan sebutlah nama Allah atas
binatang buruan itu (waktu melepasnya).” (Q.S Al Maidah:4)
Abu Tsa’labah al Khasyani juga pernah berkata : “Aku pernah mendatangi Rasulullah saw,
lalu bertanya “Rasulullah kami bisa berburu didarat. Aku berburu dengan busurku, dan
kadang berburu dengan dengan anjingku yang terlatih maupun anjingku yang tidak
terlatih.katakanlah kepadaku, apa yang selayaknya aku lakukan ? Beliau menjawab, “tentang
apa yang aku ingat, bahwa kalian berburu di darat, maka engkau berburu dengan busurmu,
kemudian sebutlah asma Allah setiap (melepas busur) pada buruanmu, lalu makanlah. Hewn
yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih dan engkau sebut asma Allah (ketika
melepas anjing)kepada buruanmu, makanlah. Adapun hewan yang engkau buru denagn
anjing yang tidak terlatih , sembelihlah kemudian makanlah. “ (HR An nasai dan Ibnu Majah)

Makelar (samsara) dan pemandu (dalalah)

Samsar adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah.
Sebutan ini juga bisa digunakan bagi orang yang memandu orang lain (dalal). Dari Qais bin
Abi Gharzat al kinani yang mengatakan :
“kami pada masa Rasulullah saw biasa disebut samasirah. Kemudian suatu ketika kami
bertemu dengan Rasulullah, lalu menyebut kami dengan sebutan yang lebih pantas dari
sebutan itu. Beliu bersabda, “ wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu bisa
mendatangkan omongan yang bukan-bukan dan sumpah palsu. Karena itu, kalian harus
memperbaikinya dengan kejujuran” (HR. Abu Daud)

Mudharabah

Mudharabah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam suatu perdagangan. Modal
dari satu pihak sedang pihak lain memberikan tenaga. Hasil dari keuntungan akan di bagi
sesuai kesepakatan. Hasil inilah yang sah untuk dimiliki. Oleh karena itu mudharabah
termasuk dari bekerja. Rasulullah bersabda :
“Perlindungan Allah SWT diatas dua orang yang melakuakan kerjasama selama mereka tidak
saling mengkhianati. Jika salah seorang dari mereka saling mengkhianati mitranya, maka
Allah akan mencabut perlindungan Nya terhadap keduanya.” (HR. DaruQutni)

Musaqat

Musaqat adalah seseoarang menyerahkan kebunnya untuk dikelola oleh orang lain merawat
dan mengurus kebun tersebut, yang darinya akan mendapa bagi hasil dari hasil panennya.
Dengan demikian musaqat merupakan termasuk dalam kategori bekerja yang dibolehkan oleh
syariat. Sebagimana Abdullah bin Umar mengatakan :
“sesungguhnya Rasulullah pernah memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah berupa
buah atau tanaman dari hasil yang diperoleh.” (HR. Muslim)
Ijarah

Yang termasuk kedalam kategori bekerja adalah Ijarah, yaitu kontrak kerja. Artinya
mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya. Allah berfirman:
“Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan diantara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, serta meninggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka memperkerjakan sebagian
yang lain.” (QS. Az Zukhruf: 32)

B. Warisan

Diantara sebab-sebab kepemilikan adalah warisan. Sifatnya yaitu kepemilikan akan harta
secara turunan kepemilikan dari orang tua. Akan hal ini Allah telah jelaskan dalam hukum-
hukum yang sudah sangat jelas. Allah berfirman:
“Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka untuk0 anak-anak
kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan.” (QS. An Nisa : 11)

C. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup

Diantara sebab-sebab kepemilikan adalah adanya kebutuhan akan harta untuk menyambung
hidup. Sebab, kehidupan adalah hak bagi setiap orang. Sesorang wajib untuk mendapatkan
kehidupan sebagi haknya. Salh satu hal yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah
denga bekerja, untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Namun jika ia tidak dapat
bekerja, maka Negara bertanggung jawab untuk mengusahakan ia dapat bekerja. Jika ia tidak
dapat bekerja karena terlampau tua, maka orang-orang kaya atau Negara wajib untuk
memenuhi kebutuhannya. Namun jika hal itu tidak terpenuhi, hingga ia kelaparan, maka
dibolehkan baginya untuk mengambil apa saja yang dapat digunakan untuk menyambung
hidupnya. Jika hidup menjadi sebab untuk mendapatkan harta, maka syariat tidak akan
menganggap itu sebagi tindakan mencuri. Abu Umamah menuturkan bahwa Rasulullah
bersabda:
“Tidak ada hukum potong tangan pada masa-masa kelaparan.” (HR. al Khatib Al Bagdad)

D. Pemberian harta Negara untuk rakyat

Yang juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara kepada rakyat
yang diambil dari baitulmal, baik dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan mereka atau
memanfaatkan kepemilikan mereka. Dapat berupa pemberian tanah untuk digarap, atau
melunasi utang-utang mereka. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan
para petani di Irak harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah
pertanian mereka, serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka.

E. Harta yang diperoleh tanpa harta dan tenaga

Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperoleh dari tanpa harta dan tenaga ada lima,
yaitu :
 Hubungan antara individu satu sama lain, baik ketika masih hidup seperti Hibah dan
Hadiah, atau pun ketika sepeninggal mereka, seperti wasiat.
 Menerima harta sebagai gantirugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang,
seperti Diyat (denda) atas oaring yang terbunuh atau terluka.
 Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
 Barang temuan (luqathah)
 Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya.

Macam-Macam Kepemilikan

Para ulama fiqh membagi kepemilikan kepada dua bentuk,yaitu:

1. Al milk At Tamm (milik sempurna)

Yaitu apabila materi dan manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang, sehingga
seluruh hak yang terkait dengan harta itu dibawah penguasaannya. Milik seperti ini bersifat
mutlak, tidak dibatasi waktu dan tidak boleh digugurkanorang lain. Ciri-cirinya diantaranya,
(a). sejak awal kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna. (b) Materi dan
manfaatnya sudah ada sejak sejak pemilikan itu. (c) Pemilikannya tidak dibatasi waktu. (d)
kepemilikannya tidak dapat digugurkan.

2. Al Milk An Naqish (kepemilikan tidak sempurna)

Yaitu apabila seseorang hanya menguasai materi harta itu, tetapi manfaatnya dikuasai orang
lain. Adapun cirri-ciri nya adalah, (a) Boleh dibatasi waktu,tempat, dan sifatnya. (b) Tidak
boleh diwariskan. (c) orang yang menggunakan manfaatnya wajib mengeluarkan biaya
pemeliharaan

Perbandingan Hak Milik Pribadi Dalam Sistem Ekonomi: ISLAM, KAPITALISME,


DAN SOSIALISME
Dalam system ekonomi kapitalisme kepemilikan individu merupakan darah
perekonomiannya. Oleh karena itu, bagi mereka yang mampu menguasai Faktor produksi
maka dialah yang menguasai perekonomian. Ekonomi kapitalis berdiri berlandaskan pada
hak milik individu. Ia akan memberikan kebebasan sebesar-besarnya pada individu untuk
menguasai barang-barang yang produktif maupun yang konsumtif, tanpa ada ikatan atas
kemerdekaannya untuk memiliki, membelanjakan, mengembangkan, maupun
mengeksploitasi kekayaan. Falsafah yang digunakan adalah falsafah individualism, yang
memandang bahwa individu merupakan proses dari segalanya. Dalam sisitem ini setiap orang
di beri kebebasan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (kuantitas), dan
kebebasan cara memperolehnya.
Sedangkan dalam sisitem ekonomi sosialis selalu mengedepankan pada hak milik umum atau
hak milik orang banyak yang diperankan oleh Negara atas alat-alat produksi. Tidak mengakui
hak kepemilikan individu, jika hal itu mash menyangkut masalah kepemilikan umum. Negara
adalah satu-satunya pemilik alat produksi. Falsafah yang menjadi landasannya adalah
falsafah kolektivisme. Falsafah ini beranggapan bahwa dasar pokok adalah banyak orang.
Individu diberikan batasan dalam memperoleh jumlah kekayaan, sedang dalam hal cara
memperolehnya ia diberikan kebebasan.
System kepemilikan dalam Islam memiliki kekhususan yang berbeda, dan ia sanagt relevan
dengan kehidupan masyarakat. Jika seseorang diberikan kebebasan dalam jumlah dan cara
memperoleh harta, maka akan terjadai kesenjangan social. Karena, yang memiliki modal
akan berkuasa dan menindas yang miskin. Sedang jika seseorang di brikan batasan dalam
memperoleh harta dan kebebasan cara memperoleh, maka akan berakibat pada lemahnya etos
kerja. Islam hadir dengan system yang berbeda, Islam mengakui hak milik individu dan hak
milik kolektif. Ia memberikan lapangan tersendiri terhadap keduannya. System ini didirikan
atas lendaan kebebasan ekonomi yang terikat, artinya setiap individu diberikan kebebasan
untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, namun dengan cara-cara yang telah ditentukan
dalam syariat.

Anda mungkin juga menyukai