Anda di halaman 1dari 12

mazroatul ilmi

 Home
 About Us
 Contact
 Log In
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)

Get This Gadget

Sabtu, 07 Desember 2013


KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
 
A.    Pengertian Kepemilikan

“Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya
memiliki. Dalam bahasa Arab “milk” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang
atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu
barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat
mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara
individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan
barang yang dimilikinya itu.1[1]

Dalam istilah kepemilikan berarti pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk
mengalokasikan hartanya yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu
memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya.

Para fukoha memberikan batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai


ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama.

Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa
“milik” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain

1[1] Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004. hal 40
terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya
selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

a. Pembagian Harta

1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikan kepada orang lain

Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikan kepada orang lain adalh setiap harta milik
umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll. dimana harta/barang tersebut untuk keperluan
umum.

2. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syari’ah

Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syari’ah Seperti harta wakaf, harta
baitul mal dll. Maka harta wakaf tidak bisa dijual atau dihibahkan kecuali dalam kondisi
tertentu seperti mudah rusak ataupun biaya pengurusannya lebih besar nilai hartanya

3. Harta yang dapat dimiliki dan dihak milikan kepada orang lain yaitu harta selain yang
termasuk dalam kategori harta yang tersebut diatas

b. Karakteristik Hak Manfaat Atau Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta

1. Kepemilikan tidak sempurna dapat dibatasi dengan waktu, tempat ataupun persyaratan
tertentu ketika memualai kepemilikannya

2. Tidak dapat diwariskan menurut hanafiah sedangkan menurut jumhul ulama boleh
diwariskan

3. Bagi pemilik manfaat (pengguna)dapat menerima harta yang hendak digunakan secara
utuh dan ia wajib menjaga penuh segala sesuatu yang berhubungan dengan harta tersebut.
Maka baginya tidak wajib menggantinya kecuali kalau kerusakan tersebut disebabkan
olehnya.2[2]

4. Segala pengeluaran yang diperlukan oleh pemakaian harta tersebut ditanggung pengguna
apabila dalam setatus peminjaman, adapun apabila dalam status sewa maka pemilik resmi
harta tersebut yang harus menggantinya.

5. Setelah pemakaian harta tersebut, pihak pemakai harus segera mengembalikan harta
tersebut kepada pemiliknya, kecuali kalau ada sesuatu hal berkenaan dengan tuntutan pemilik
resmi berkenaan kerugian yang diterima pada hartanya

2[2] Ibid. hal 51


B. Konsep Dasar Kepemilikan

Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-hadist sangat memperhatikan
masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang di
ciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk
konsumsi dan produksi namu tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al-Qur’an dengan
jelas mengkritik tindakan merusak tanaman, tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah
membahas tentang kepemilikan mengenai barang konsumsi dan alat-alat produksi.3[3]

Hubungan hal tersebut digambarkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. ,menurut beberapa


ayat tersebut di atas, menunjukkan bahwa manusia adalah wakila Allah di muka bumidan di
anjurkan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai suatu kepercayaan Karena kasih
sayang Allah. Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang di
syahkan syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik. Sehingga
ia mempunyai hal menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis
syariah. Menurut hukum dasar, yang namanya harta, syah di miliki, kecuali harta-harta yang
telah di siapkan untuk kepentingan umum, misalnya wakaf dan fasilitas umum.

C.    Pandangan Islam terhadap Kepemilikan

Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur
hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya
layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan
perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual
maupun material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah
SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:

‫ق َما يَ َشا ُء َوهَّللا ُ َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدير‬


ُ ُ‫يخل‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ْ ‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ُم ْل‬
ِ ‫ك ال َّس َم َوا‬

“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia
menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki
dan memanfaatkan harta tersebut

‫َءا ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِم َّما َج َعلَ ُك ْم ُم ْست َْخلَفِينَ فِيه‬

“Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”
3[3] DR. Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, GIP, 1997, JKT. hal 22
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima
titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik
sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak
semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan
bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “pada mulanya” masyarakatlah yang
berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah
menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang
mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang
sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti,
kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan
shara’ yang tertuang dalam al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat dan al-Qiyas.4[4] Sebagai
sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan
mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan,
serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui
ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah
ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid
al-’ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:

1. kepemilikan (al-milkiyyah),

2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan

3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-nas).

D. Jenis-Jenis Kepemilikan

Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu:

1. kepemilikan sempurna (tamm)

2. kepemilikan kurang (naaqis).

Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya
sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja,
atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan
seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang
adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis

4[4] Drs. Muhammad, M.Ag, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004, Jogjakarta. hal 69
kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki
kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.5[5]

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam
yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan yaitu barang-barang yang
diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum
dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya,
rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.

(2) akad,

(3) penggantian dan

(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.

E. Sebab-Sebab Kepemilikan Dalam Islam

Kepemilikan yang sah menurut islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang
disahkan syari’ah. Kepemilikan menurut pandangan Fiqh islam terjadi karena menjaga hak
umum, transaksi pemindahan hak dan penggantian posisi kepemilikan. Menurut Taqyudin an-
Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan atas suatu barang dapat diperoleh melalui
lima sebab yaitu:
(1) Bekerja

(2) Warisan

(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup

(4) Harta pemberian Negara yang di berikan kepada rakyat.

(5) Harta yang di peroleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
apapun

F. Klasifikasi Kepemilikan Dalam Islam

1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)

Kepemilikan pribadi adalah hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan
tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta

5[5] Ibid. hal 90


memperoleh kompensasinya–baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa
ataupun karena dikonsumsi–dari barang tersebut.

Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan


melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa
menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak
kepemilikan individual.

Karena kepemilikan merupakan izin al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka
kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena
karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang
diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’ untuk
memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi,
ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.6[6]

Pembatasan Penggunaan Hak Milik Pribadi Dalam Islam :

Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan
merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan
begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha
untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak
hatinya. Sebab cara demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan
kerusakan dan kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus
dibatasi dengan mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat
dijangkau oleh semua orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana
kebutuhan primer mereka dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat memenuhi
kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus ditentukan dengan
mekanisme tertentu. Karena membatasi kepemilikan seseorang akan menyebabkan
pelanggaran terhadap fitrah manusia.

Batasan kepemilikan ini nampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah


disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika
islam membatasi suatu kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan,
melainkan dengan menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan
kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal
berikut:

6[6] An Nababan Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal 105- 107
(1) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan
pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak
milik.
(2) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.

(3) Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai milik Negara, bukan sebagai individu.

Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam
kondisi-kondisi tertentu.

(4) Dengan cara mensuplai orang yang memiliki keterbatasan factor produksi, sehingga bias
memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-’ammah/ public property)

Kepemilikan umum adalah izin al-shari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum
adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari’ sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena
milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga
jenis, yaitu:
1.Fasilitas Dan Sarana Umum

Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan
pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana
umum:

ِ َّ‫ث فِي ْالكَإَل ِ َو ْال َما ِء َوالن‬


‫ار‬ ٍ ‫ْال ُم ْسلِ ُمونَ ُش َر َكا ُء فِي ثَاَل‬

“Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”

Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum diambil,
baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air
yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha
mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil
tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala)
maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang
tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala
sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.

Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut saja
melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak
terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena
adanya indikasi al-shari’ yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda
tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat
didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.

2. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Dimiliki Oleh Individu Secara
Perorangan

Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum jenis


pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama,
tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis
kedua ini, secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya
secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:

َ َ‫ِمنًى ُمنَا ُخ َم ْن َسب‬


‫ق‬

“Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)”

Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah
sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah menyelesaikan wukuf di padang Arafah dengan
tujuan meleksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar
jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana. Makna
“munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad hadith
tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang siapa yang
lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah
bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh
memilikinya (menempatinya).7[7]

Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya,
penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan
oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah
kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya,

7[7] Ibid. hal 123


semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik
umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.

3.Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas

Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini
adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada
Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:

َ‫س أَتَ ْد ِري َما قَطَعْت‬


ِ ِ‫ال َر ُج ٌل ِمنَ ْال َمجْ ل‬
َ َ‫صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَا ْستَ ْقطَ َعهُ ْال ِم ْل َح فَقَطَ َعهُ لَهُ فَلَ َّما أَ ْن َولَّى ق‬ َ ِ ‫أَنَّهُ َوفَ َد إِلَى َرسُو ِل هَّللا‬
‫لَهُ ِإنَّ َما قَطَعْتَ لَهُ ْال َما َء ْال ِع َّد قَا َل فَا ْنتَ َز َع ِم ْنه‬

“Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun
memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun
menarik kembali tambang itu darinya”

Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi
seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak
terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di
permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh
perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan
keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi
pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang
wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan
hasilnya di bayt al-Mal.

Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas,
dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi
yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah
ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima)
dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.

3.Kepemilikan Negara (Milkiyyat Al-Dawlah/ State Private)


Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum
muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana
khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum
muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat
digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property)
namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-
fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-
shari’ dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:

(1) Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir),
fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus

(2) Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang
kafir, baik melalui peperangan atau tidak)

(3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang
kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)

(4) Harta yang berasal dari daribah (pajak)

(5) Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang
yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan
agamanya)

(6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
(7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad

(8) Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat
tidak sejalan dengan shara’

(9) Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang
tidak ada pemiliknya.

Diposkan oleh mar'atus sholihah di 02.31


1 komentar:
Anindia Safitri mengatakan...
Jazakillah postingannya, ukh.. 😊
27 Februari 2016 03.09
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Widget Animasi

Entri Populer
 AKHLAK MAHMUDAH dan AKHLAK MADZMUMAH
AKHLAK MAHMUDAH dan AKHLAK MADZMUMAH   A.     Pengertian Akhlak
Mahmudah Akhlak mahmudah adalah segala tingkah laku yang terpuji,...
 KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
KEPEMILIKAN DALAM ISLAM   A.     Pengertian Kepemilikan “Kepemilikan”
sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yan...
 Hukum Memakai Mukenah yang Transparan saat Sholat
Hukum Memakai Mukenah yang Transparan saat Sholat   2.1 Pengertian mukenah
yang transparan             Mukenah yang transparan ada...
 PROFIL PARA SUFI
PROFIL PARA SUFI A.     Pengertian Sufi Sufi adalah istilah untuk mereka yang
mendalami ilmu tasawwuf , yaitu ilmu yang mendalami k...
 KOMUNIKASI KELOMPOK
KOMUNIKASI KELOMPOK A.        Definisi Komunikasi Kelompok             Seperti
halnya definisi-definisi lain, komunikasi kelompo...
 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial 1. Pengertian Stratifikasi Sosial Pemahaman antara stratifikasi
sosial dan kelas sosial sering kali di samakan...
 Cerita Santri
Kearifan Ulama Tanah Jawa Di Jawa ada Kiyahi namanya Kiyai Hasan, daerah
Kraksan. Beliau itu termasuk wali Allah yang luar biasa. Kal...
 HADITS - HADITS TENTANG KISAH ZAMAN DAHULU
HADITS - HADITS TENTANG KISAH ZAMAN DAHULU   1.     Hadist Tentang
Pemaaf a.         Empat perkara yang mulia ‫اربع من أعطيهن فقد‬...
 Hakikat Psikologi Manusia
HAKIKAT PSIKOLOGI MANUSIA   2.1 Ayat tentang motivasi yang benar daam
kehidupan Ayat 1: (QS. Ali Imron ayat 14) tentang motivasi k...
 KEBUDAYAAN JAWA BARAT
KEBUDAYAAN JAWA BARAT Jawa Barat/ Suku Sunda adalah kelompok etnis
yang berasal dari bagian barat pulau Jawa Indonesia dari Ujung ...
Blog Archive
 ▼  2013 (37)
o ▼  Desember (28)
 Cariosan Prabu Siliwangi
 CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI
 Biografi Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Ke...
 Biografi Syeikh Ibnu Athaillah
 Biografi KH Nahrowi Dalhar Watucongol Magelang
 AJARAN SUNAN KALIJAGA TENTANG CUPU MANIK
ASTAGINA
 KHASIAT LUAR BIASA HABBATUSSAUDA' (JINTEN HITAM)
D...
 hizib...
 SIWAK SI KAYU AJAIB
 Hikayat Gunung Tidar
 MEMBUAT GAME KECIL DI MACROMEDIA FLASH 8
 ILMU DAN METODE ILMIAH
 TANDA - TANDA MALAM LAILATUL QADAR
 “SANG MACAN PUTIH DARI PULAU JAWA”
 ORANG KRISTEN YANG MASUK ISLAM DAN SEKARANG
MENJAD...
 BIOGRAFI KH. M. MUNAWIR KRAPYAK YOGYAKARTA
 BIOGRAFI KH. M. ARWANI AMIN KUDUS
 KEBUDAYAAN JAWA BARAT
 PROFIL PARA SUFI
 KOMUNIKASI KELOMPOK
 KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
 Stratifikasi Sosial
 DAKWAH DAN PROBLEM MEDERNITAS
 terjemah Ta'lim Muta'allim
 HADITS - HADITS TENTANG KISAH ZAMAN DAHULU
 AKHLAK MAHMUDAH dan AKHLAK MADZMUMAH
 Hukum Memakai Mukenah yang Transparan saat Sholat
 Hakikat Psikologi Manusia
o ►  November (9)
 
Copyright 2009 mazroatul ilmi. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
WordPress designed by EZwpthemes

Anda mungkin juga menyukai