KONSEP KEPEMILIKAN DAN TANAH DALAM
SISTEM EKONOMI ISLAM
Kepemilikan tanah yang diketahui orang sejak zaman dahulu tidak dihilangkan baik oleh
Al-Quran maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kepemilikan telah dijelaskan dalam Al-
Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, tetapi manusia
telah diberi hak untuk memiliki bumi sebagai wali atau khalifah Allah. Dengan demikian, Islam
juga mengenal hak milik pribadi atau privat.6
Konsep dasar dalam Syariah Islam telah membagi tanah dalam 2 (dua) macam tanah yaitu :
Tanah Usyriah dan Tanah Kharajiyah :
Konsep dasar Syariat Islam membagi negara menjadi 2 (dua) macam negara, yaitu:
Tanah Usyriah dan Tanah Kharajiyah:
1. Tanah Usyriah
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan,
seperti Madinah Munawwarah dan Indonesia. Tanah ini adalah milik individu dan boleh
diperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, atau mewariskan. Jika tanah pertanian,
maka kewajiban zakatnya sebesar 10% jika diairi dengan air hujan, atau 5% jika diairi
dengan irigasi buatan. Jika tidak ditanami, tidak ada kewajiban zakatnya. Jika tanah tersebut
tidak berbentuk pertanian, tidak ada kewajiban zakatnya kecuali jika diperdagangkan. Jika
dibeli oleh non-Muslim, tidak terkena kewajiban zakat. Tanah Kharajiyah adalah tanah yang
dikuasai kaum Muslimin melalui peperangan atau perdamaian, seperti Irak, Syam, Mesir,
Bahrain, dan Khurasan.
6
“Sistem ekonomi Islam : prinsip dasar / Muhammad Sharif Chaudhry ; penerjemah, Suherman Rosyidi |
Perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim Riau,” diakses 28 Maret 2023, https://inlislite.uin-suska.ac.id/opac/detail-
opac?id=2736.
2. Tanah Kharajiyah
Tanah Kharajiyah adalah milik negara melalui Baitul Mali, meskipun kepentingannya adalah
milik pribadi. Tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan tetapi tidak dapat dihibahkan. Untuk
tanah pertanian, Kharaj harus dibayar setahun sekali, terlepas dari apakah itu dibangun atau
tidak. Tanah Kharajiyah di bawah kekuasaan perang memiliki kharaj yang abadi dan harus
dibayar meskipun pemiliknya masuk Islam atau non-Muslim menjual tanah tersebut kepada
Muslim. Dalam sistem pertanahan Kharajiyah, tanah dimiliki oleh negara dan dikelola oleh
Baitul Mal. Meskipun manfaat tanah kharajiyah adalah milik perseorangan, namun tanah
tersebut tidak dapat diwakafkan karena merupakan milik negara. Apabila tanah kharajiyah
berupa tanah pertanian, kharaj (pajak tanah) dipungut setiap tahun baik yang diusahakan
maupun yang tidak. Ketika tanah Kharajiyah dikuasai dengan damai dan dinyatakan sebagai
milik kaum muslimin, maka Kharaj tersebut akan abadi. Namun, jika tanah tersebut
dinyatakan milik non-muslim, kharajnya seperti jizyah dan akan hilang jika pemiliknya
masuk Islam atau tanahnya dijual kepada seorang Muslim. Apabila tanah kharajiyah berupa
tanah pemukiman, maka tidak dikenakan kewajiban kharaj dan zakat (ushr) jika tanah
tersebut tidak ditukar. Ketika tanah Kharajiyah yang dikuasai militer dijual kepada umat
Islam, Kharaj harus dibayar terlebih dahulu sebelum membayar zakat (usir) atas hasil tanah
pertanian tersebut. 7
6.2 Cara Untuk Memperoleh Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan syariat Islam, seseorang yang memiliki tanah luas namun tidak mampu
memanfaatkan sumber daya produksinya dengan baik dapat dikenai tindakan oleh negara Islam
untuk memastikan bahwa tanah tersebut dimanfaatkan secara efektif. Syariat Islam menetapkan
bahwa pemilik tanah harus terus-menerus mengelolanya. Jika pemilik tanah tidak menggarap
tanah tersebut selama tiga tahun berturut-turut, maka ia kehilangan hak kepemilikan atas tanah
tersebut dan negara Islam berhak memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang dapat
mengelolanya dengan lebih baik. Dengan demikian, pemilik tanah diwajibkan untuk
memanfaatkan sumber daya produksi yang dimilikinya agar dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat secara efektif.
7
Fadli Hudaya, “KONSEP KEPEMILIKAN TANAH DALAM EKONOMI ISLAM, USAHA MENGURANGI ANGKA
KEMISKINAN DI INDONESIA,” Neraca 13, no. 1 (1 Juni 2017): 43–55, https://doi.org/10.48144/neraca.v13i1.457.
Sebagai pemilik tanah dalam syariat Islam, seseorang diperbolehkan untuk menanami
tanahnya dengan alat, benih, hewan, dan pekerja yang dibutuhkan. Namun, jika pemilik tanah
tidak mampu melakukan pengelolaan tersebut, negara akan memberikan bantuan dalam upaya
pengelolaan tanah tersebut. Hal ini bertujuan agar tidak ada tanah yang dibiarkan kosong dan
tidak produktif. Dengan demikian, syariat Islam mendorong agar sumber daya produksi yang
dimiliki dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut syariat Islam, kepemilikan atas tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara,
yaitu memagari tanah, diberikan oleh khalifah secara cuma-cuma, menghidupkan tanah mati,
mewarisi, atau dengan membeli. Jika ada tanah kosong yang tidak memiliki pemilik, dan
kemudian diolah dan dipagari oleh seseorang hingga menghasilkan produksi, maka orang
tersebut berhak menjadi pemilik tanah tersebut. Namun, kepemilikan tersebut hanya berlaku
selama pengelolaan dilakukan secara terus-menerus. Jika pemilik tanah membiarkan tanah
tersebut kosong selama tiga tahun berturut-turut, maka kepemilikannya akan dicabut oleh negara.
Dengan demikian, syariat Islam mendorong penggunaan sumber daya tanah secara produktif
untuk kesejahteraan masyarakat.8
Dalam hukum Islam, jual-beli (al-ba'i) merujuk pada pertukaran harta dengan harta,
termasuk kepemilikan dan penguasaannya, dengan saling memberikan persetujuan. Akad
jual-beli diperbolehkan dalam Islam untuk benda-benda yang halal, termasuk tanah. Melalui
akad jual-beli, harta dapat dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain dengan memberikan
kompensasi berupa harga.
2. Waris adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit kepada ahli warisnya, sedangkan
Hibah adalah perpindahan kepemilikan tanpa ada pengganti atau kompensasi. Ihya'ul mawat
mengacu pada menghidupkan tanah mati yang tidak dimiliki oleh siapa pun dan tidak
dimanfaatkan. Cara untuk menghidupkan tanah mati adalah dengan memanfaatkannya,
8
Rahma Fitriani, “PEMILIKAN TANAH PERSPEKTIF ISLAM,” t.t.
seperti dengan menanam tanaman, membangun bangunan, dan lain-lain. Dalam Islam,
dikatakan bahwa siapa pun yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak memiliki tanah
tersebut. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa tanah
mati yang dihidupkan akan menjadi milik penghidupnya.
3. Tahjir adalah pembatasan pada suatu tanah yang dapat menjadikannya milik seseorang. Hal ini
dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa siapa pun yang membatasi suatu tanah mati maka ia
berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Iqtha' adalah pemberian tanah oleh negara kepada rakyat.
Nabi Muhammad SAW memberikan tanah kepada beberapa orang seperti Abu Bakar As-Shiddiq,
Umar bin Khaththab, dan Zubair bin Awwam ketika tiba di kota Madinah.
Pemilik tanah dalam negara Islam memiliki hak untuk membeli dan menjual tanah mereka
sesuai kebutuhan. Hak ini juga dilakukan oleh para sahabat Nabi, yang bebas menjual dan
membeli tanah kharaj serta membayar pajaknya. Dengan adanya hak ini, pemilik tanah dapat
mengelola tanah mereka sesuai keinginan mereka dan memperoleh manfaat yang adil dari
tanah yang dimilikinya.
b) Hak Berkehendak
9
Hudaya, “KONSEP KEPEMILIKAN TANAH DALAM EKONOMI ISLAM, USAHA MENGURANGI ANGKA KEMISKINAN DI
INDONESIA.”
Dalam negara Islam, pemilik tanah diberikan hak untuk mewariskan sepertiga dari tanah
mereka. Selain itu, mereka juga berhak memberikan tanahnya kepada kerabat, teman, atau
bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun. Pemilik tanah juga berhak memberikan tanah
mereka kepada lembaga penerima sedekah. Dengan adanya hak-hak ini, pemilik tanah dapat
memberikan tanah mereka kepada siapa pun yang mereka anggap layak tanpa ada tekanan
atau batasan yang berlebihan.
c) Hak Untuk Mengalihkan Tanah Ke Yayasan /Badan Amanah
Dalam negara Islam, pemilik tanah berhak memberikan tanahnya kepada Badan Amanah
untuk kepentingan masyarakat umum. Namun, setelah tanah tersebut diberikan kepada Badan
Amanah, pemilik tanah tidak lagi berhak atas keuntungan yang dihasilkan dari tanah tersebut.
Tanggung jawab penuh untuk mengelola dan menggunakan hasil dari tanah itu untuk tujuan
tertentu ada pada Badan Amanah. Dengan demikian, pemilik tanah telah memberikan
wewenang sepenuhnya kepada Badan Amanah untuk mengatur dan memanfaatkan tanah
tersebut demi kepentingan umum.
d) Hak untuk menyerahkannya kepada seseorang
Islam mengatur tentang pemilikan tanah agar terjadi kemaslahatan bersama. Pemilik tanah
dapat memberikan tanahnya untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain tanpa
adanya perpindahan kepemilikan tanah. Namun, jika pemilik tanah tidak mengolah tanahnya
selama tiga tahun berturut-turut, maka tanah tersebut akan menjadi mubadzir dan hak pemilik
tanah akan gugur. Untuk menghindari tanah nganggur, ada beberapa kerja sama dalam bidang
pertanian yang saling menguntungkan seperti muzara'ah/mukhabarah, musaqah, dan
mugharasah.
Dalam mengelola tanahnya untuk pertanian, pemilik tanah harus berinteraksi dengan petani
penggarap. Dalam Islam, pemilik tanah tidak boleh semena-mena terhadap petani penggarap,
dan Islam sangat memperhatikan kesejahteraan petani penggarap. Hak-hak petani antara lain
pemberian upah yang layak, perjanjian tertulis yang jelas antara hak dan tanggung jawab
masing-masing pihak, tidak ada kerja ekstra, tidak ada kelebihan bagian pemilik tanah, tidak
ada pajak, dan tidak ada penggusuran.10
10
Fitriani, “PEMILIKAN TANAH PERSPEKTIF ISLAM.”
6.6 Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah wilayah yang ditetapkan oleh negara untuk kepentingan tertentu dan tidak
boleh dimanfaatkan oleh individu. Contohnya adalah hima pada tambang emas dan perak di
Papua yang khusus untuk membeli alutsista. Rasulullah SAW dan khalifah setelahnya juga
pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu, seperti Naqi` untuk menggembalakan
kuda dan Rabdzah untuk menggembalakan unta zakat.
DAFTAR PUSTAKA