Anda di halaman 1dari 14

Makalah Fiqih Muamalah

Konsep Kepemilikan dalam Islam

Kelompok II

AS 2018 C

Anggota Kelompok :

1. Agung Beni Wijaya (41801112)


2. Ahmad Zaky (41801066)
3. Akbar Febriansyah (41801025)

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI


Jl. Raya Bojongsari, Pasar Rebo, Curug, Bojongsari, Depok
Tahun 2019
Kata Pengantar

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan nikmat dan
karunia-Nya lah, kami dapat mengerjakan makalah ini dengan lancar hingga akhir. Kami juga
berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, terutama
kepada bapak Rio Erismen Armen, Lc.,MA dan rekan rekan dari kelas AS2018C.
Makalah ”Konsep Kepemilikan dalam Islam” ini merupakan makalah yang membahas
tentang kepemilikan dalam pandangan islam. Tujuan penyusunan makalah ini adalah agar
makalah ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca yang ingin membuat
makalah serta sebagai bahan pemenuhan tugas mata kuliah Fiqih Muamalah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami
selalu terbuka atas segala masukan, baik itu kritik, saran serta pesan yang membangun.
Akhir kata, penyusun sangat mengharapkan agar makalah ini berguna bagi para pembaca. Kami
juga mengucapkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan baik yang disengaja
ataupun yang tidak disengaja. Selamat membaca
Wassalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Depok, 19 September 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana memahami pengertian milkiyah dan bagian milkiyah pada fiqih Islam

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Apa itu arti milkiyah dalam fiqih islam?
2. Bagaimana karakteristik dan pembagian milkiyah?
3. Apa saja jenis-jenis kepemilikan?

1.4. Tujuan Penelitian


Makalah ini dibuat agar pembaca dapat mengetahui:
1. Pengertian milkiyah dalam pandangan fiqih islam
2. Karakteristik serta pembagian milkiyah
3. Jenis-jenis kepemilikan
BAB 2
ISI

Konsep dan Pengertian Milkiyah dalam Fiqih Islam


Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah pemilik mutlak segala sesuatu
di dunia ini. Manusia di ciptakan sebagai khalifah di muka bumi, Allah menciptakan segala
sesuatu itu untuk diserahgunakan kepada manusia sebagai sarana menjalankan perannya sebagai
khalifah untuk memakmurkan bumi. Melalui sebab-sebab tertentu yang ditetapkan Allah
sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka bumi, setiap manusia diizinkan untuk memiliki dan
menikmati kekayaan yang berada dalam penguasaannya, mengembangkan atau memindah
tangankan kepada orang lain baik jalan transaksi ekonomi maupun tidak.
Kepemilikan adalah hukum syara’ yang berlaku pada (fisik barang) atau hanya manfaat
saja. Izin Allah SWT kepada seseorang untuk memiliki harta kekayaan juga berarti memberi hak
kepada pemiliknya untuk memanfaatkan dan mengelolanya sesuai dengan keinginannya selama
memenuhi ketentuan-ketentuan syariah. Meski status kepemilikan harta ada pada seseorang,
ketentuan syariah tetap mengikuti orang tersebut dalam memanfaatkan harta itu serta
memberikan implikasi hukum atas pelanggaran yang dilakukan.
Allah berfirman: ِ

ۚ ‫ال هَّللا ِ الَّ ِذي آتَا ُك ْم‬


ِ ‫ َوآتُوهُ ْم ِم ْن َم‬....
.Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu....” (QS. An-Nur: 33).
Dari penjelasan diatas, bahwa hak milik atau kepemilikan terhadap kekayaan seluruhnya
adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang memiliki hak penuh bukan manusia. Hanya saja Allah
telah memberikan hak kepemilikan tersebut kepada manusia dalam bentuk penguasaan (istikhlaf)
terhadap zat atau manfaat harta kekayaan tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya
dalam surah Al-Hadid ayat 7:

‫ين آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوأَ ْنفَقُوا لَهُ ْم‬ َ ِ‫آ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِم َّما َج َعلَ ُك ْم ُم ْستَ ْخلَف‬
َ ‫ين فِي ِه ۖ فَالَّ ِذ‬
‫أَجْ ٌر َكبِي ٌر‬
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)
Penguasa (istikhlaf) ini umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan,
tetapi bukan pemilikan aktual (yang sebenarnya).1
1
http://ejournal.fiaiunisi.ac.id/index.php/syariah/article/view/179/148 (diakses pada 23
September 2019, pukul 05.45)
Milik (arab, al-milk) secara Bahasa berarti :
Hak milik (kepemilikan) dalam Islam, adalah hubungan antara manusia dengan harta
yang ditetapkan oleh Allah, di mana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia baik berupa harta benda (dzat)
atau nilai manfaat. Menurut Musthafa Ahmad Zarqa dalam Ghufron Ajib, milik secara bahasa
adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda), dan kewenangan bertindak secara bebas
terhadapnya.
“Pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas
terhadapnya”.
Dengan demikian milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga
seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut.2
Adadpun beberapa definisi tentang hak milik atau milkiyah yang disampaikan oleh para fuqaha,
antara lain :
Pertama, definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa al-Syalabi
“Hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain
bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya ber-tasharruf secara langsung atasnya selama
tidak ada halangan syara’”.
Kedua, Ali al-khafifi menyampaikan ta’rif sebagai berikut :
“Hak milik adalah keistimewaan (istihash) yang memungkinkan pemiliknya bebas ber-tasharruf
dan memanfaatkannya sepanjang tidak ada halangan syara’”.
Ketiga, ta’rif yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa.
“Milik adalah keistimewaan (istishash) yang bersifat menghalangi (orang lain) yang syara’
memberikan kewenangan kepada pemiliknya ber-tasharruf kecuali terdapat halangan”.
Keempat, ta’rif yang disampaikan oleh wahbah al-Zuhaily :
“Milik adalah keistimewaan (istishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya
dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’iy”.
Seluruh definisi yang disampaikan dimuka menggunakan term istishash sebagai kata
kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah istishash (keistimewaan). Dalam definisi tersebut
terdapat dua istishash atau keistimewaan dan diberikan oleh syara’ kepada pemilik harta :
1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak
atau tanpa izin pemiliknya.
2. keistimewaan dalam ber-tasharruf. Tasharruf adalah sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang berdasarkan iradah (kehendak-Nya) dan syara’ menetapkan atasnya beberapa
konsekuensi yang berkaitan dengan hak.
Jadi, pada prinsipnya atas dasar milkiyah (pemilikan) seserang mempunyai keistimewaan
berupa kebebasan dalam bertasharruf ( berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) kecuali ada
halangan tertentu yang diakui oleh syara’.
Halangan syara’ (al-mani’) yang membatasi kebebasan pemilik dalam bertasharruf ada dua
macam :
Pertama, halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak cakap dalam hukum, seperti
anak kecil, atau karna safih (cacat mental), atau karna alasan taflis (pailit)
Kedua, halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain, seperti yang
berlaku pada harta Bersama, dan halangan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
orang lain atau kepentingan masyarakat umum, sebagaimana yang telah disampaikan pada
ta’assuf fi isti’ malil al-haq pada bab terdahulu.
Dari ta’rif dan uraian yang telah disampaikan dimuka dapatlah digarisbawahi bahwa al-
milk(hak milik) adalah konsep hubungan manusia terhadap harta (‘alaqatul insan bil-mal) beserta
hukum, manfaat, dan akibat yang terkait dengannya. Dengan demikian milkiyah(pemilikan)
tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan(materi) saja.3
2
https://www.referensimakalah.com/2013/02/kepemilikan-dalam-islam.html (diakses pada 23
September 2019, pukul 05.45)
3
Drs. Ghufran A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, hlm. 53-56

Sebab-sebab Pemilikan
Milkiyah (Hak Milik) dapat diperoleh melalui satu diantara beberapa sebab berikut ini :
Pertama : Ihraz al-mubahat (“penguasaan harta bebas”).
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau
dimiliki pihak lain.Almubahat (Harta bebas, atau harta tak bertuan) adalah “Harta benda yang
tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan
hukum (mani’ al-syar’iy) untuk memilikinya”.
Misalnya air yang masih berada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan,
pohon kayu di hutan, dan sebagainya. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk
dimiliki sebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini untuk tujuan
pemilikan.4
Dengan demikian, upaya pemilikan suatu harta melalui Ihraz al-Mubahat harus
memenuhi dua syarat. Pertama, tidak ada pi hak lain yang mendahului melakukan Ihraz al-
Mubahat. Kedua, penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki.
Dalam masyarakat bernegara konsep ihraz al-Mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas
pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang
dapat dimiliki secara bebas.
Demi melindungi kepentingan publik (maslahat al-Ammah), negara atau penguasa berhak
menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai
oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung,
cagar alam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan, tidak boleh
menguasai atau memiliki tanah dan kebun milik negara kecuali dengan izin, serta tidak boleh
berburu satwa langka dan lain sebagainya.
Kedua : al-tawallud (anak pinak atau berkembang biak)
Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang dihasilkan dari suatu yang
lainnya dinamakan tawallud. Dalam hal ini berlaku kaidah.
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat
menghasilkan sesuatu yang lain atau baru) seperti binatang yang dapat bertelur, beranak,
menghasilkan air susu dan kebun yang menghasilkan buah dan bunga-bunga. Benda mati yang
tidak bersifat produktif, seperti rumah, perabotan rumah dan uang, tidak berlaku prinsip
tawallud. Keuntungan (laba, sewa, bunga) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut
sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud, karena betapapu rumah atau uang sama sekali tidak
bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak.Keuntungan tersebut haruslah dipahami
sebagai hasil dari usaha kerja (Tijarah).

Ketiga : al-Khalafiyah (penggantian)


Al- Khalafiyah adalah “penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi
kepemilikan yang lama”. Dengan demikian khalafiyah dibedakan menjadi dua.
Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain misalnya pewarisan. Dalam
pewarisan seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta
yang ditinggalkan (tirkah). Jika seseorang wafat sama sekali tidak mempunyai harta, atau harta
yang ditinggalkan tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dalam hal ini menurut Mustafa al-
zarqa’, seorang fuqaha hanafiyah, ahli warisnya tidak dapat dituntut melunasi hutang tersebut
dengan harta kekayaan sendiri.
Sebab al-irs (pewarisan) ditetapkan oleh syara’ sebagai sebab penggantian pemilikan, bukan
sebagai sebab penggantian piutang.
Kedua, Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadhmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusakan atau menghilangkan harta-benda orang lain, atau
pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan
penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui tadhmin dan ta’widh ini terjadilah penggantian atau
peralihan milik dari pemilik pertama kepada pemilik baru.
Ketiga, akad (al-‘Aqd)
Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang
menimbulkan pengaruh terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling
kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta
kekayaan, dibandingkan dengan tiga pemilikan terdahulu. Dari segi sebab pemilikan dibedakan
antara uqud jabariyah dan tamlik jabariy.
Uqud jabariayah (akad secara paksa) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara
langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menjual harta untuk melunasi hutang,
kekuasaan hakim untuk memaksa menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan
umum.
Tamlik jabariy (pemilikan secara paksa) dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah
pemilikan secara paksa atas mal ‘uqar (harta tidak bergerak) yang hendak dijual. Hak pemilikan
harta seperti ini dalam fiqih mu’amalah dinamakan syuf’ah. Hak ini dimiliki oleh sekutu dan
tetangga. Kedua, pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum. Ketika ada kebutuhan
memperluas masjid, maka syariat islam membolehkan pemilikan secara paksa terhadap tanah
yang berdekatan dengan masjid, sekalipun pemiliknya tidak berkenan menjualnya. Demikian
juga ketika terjadi kebutuhan perluasan jalan umum dan lain sebagainya. Tentunya pemilikan
tersebut dilakukan dengan harga yang sepadan, yang berlaku.
Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh
sebab itu dalam setiap harta yang dimiliki oleh setiap individu terdapat hak hak yang harus
ditunaikan seperti zakat, dan sodaqoh. Selain itu juga terdapat hak publik, sehingga kebebasan
sesorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak
public yang berkaitan dengan kepentingan umum.5
4
https://www.referensimakalah.com/2013/02/kepemilikan-dalam-islam.html (diakses pada 23
September 2019, pukul 05.45)
5
Drs. Ghufran A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, hlm. 56-63

Karakteristik dan Jenis-jenis Milkiyah


Pembagian dalam jenis-jenis milkiyah dibedakan dalam beberapa hal, sebagai berikut :
Dari segi obyek (mahal) pemilikan dibedakan menjadi tiga.
1) Milk Al-‘ain (memiliki benda). Pemilikan benda ini disertai dengan pemilikan atas
manfaat benda, sampai ada kehendak untuk melepaskan manfaat benda melalui cara yang
dibenarkan oleh syara’.
2) Milk ’Al-manfaat adalah pemilikan seseorang untuk memanfaatkan suatu harta benda
milik orang lain dengan keharusan menjaga materi bendanya. Seperti pemilikan atas
manfaat membaca buku, mendiami rumah attau menggunakan segala perabotan
berdasarkan ijarah (persewaan) atau ‘ariyah (pinjaman).
3) Milk Al-dain (milik piutang) adalah pemilikan harta benda yang berada dalam
tanggungjawab orang lain karena sebab tertentu. Seperti harta yang dihutangkan, harga
jual yang belum terbayar, harga kerugian barang yang telah dirusak oleh orang lain.

Dari segi unsur harta (benda dan manfaat) dibedakan menjadi dua.
1) Milk Al-tam (pemilikan sempurna), pemilikan terhadap benda sekaligus manfaatnya.
2) Milk Al-Naqish (pemilikan tidak sempurna), yakni pemilikan atas salah satu unsur harta
saja.
Dengan demikan milk naqish ada dua bentuk. Pertama, pemilikan atas manfaat tanpa
memiliki bendanya seperti ijarah, wakaf, dan wasiat atas manfaat. Kedua, pemilikan benda tanpa
disertai pemilikan atas manfaatnya. Jenis ini hanya terjadi melalui wasiat dalam dua bentuk,
yaitu
(i) Seorang pemilik berwasiat kepada seseorang atas manfaat suatu harta benda selama
waktu tertentu setelah wafatnya, maka ahli waris hanya berhak memiliki bendanya
saja, sedang manfaat benda tersebut dimiliki oleh orang yang menerima wasiat.
(ii) Jika seorang pemilik berwasiat untuk seseorang atas manfaat suatu harta benda
selama waktu tertentu, kemudian pemilik berwasiat juga untuk orang lain atas benda
tersebut, maka penerima pertama masih memiliki bendanya selama penerima wasiat
pertama masih memliki hak manfaat selama waktu yang dinyatakan dalam wasiat.
Ketika telah berakhir waktunya, maka pemilikan oleh penerima wasiat kedua menjadi
milk al-tam.
Menurut pandangan fuqaha jumhur, milk al-manfaat merupakan keistimewaan (ihtishash)
yang memberikan kewenangan pada seseorang untuk mengambil manfaat atas suatu harta benda
untuk diri sendiri dan kewenangan untuk menyerahkan manfaat tersebut kepada pihak lain.
Dari sisi bentuknya, milik dibedakan menjadi dua :
1) Milk al-mutamayyaz (milik jelas) adalah pemilikan sesuatu benda yang mempunyai
batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti
pemilikan terhadap seekor binatang, sebuah kitab, sebuah rumah, dan lain-lain, atau
pemilikan atas sebagian tertentu dari rumah yang terdiri dari beberapa bagian.
2) Milk al-masya’ (milik bercampur) adalah pemilikan atas sebagian, baik sedikit atau
banyak, yang tidak tertentu dari sebuah harta-benda, seperti pemilikan atas separuh
rumah, atau seperempat kebun, dan lain sebagainya. Ketika diadakan pembagian atas
harta campuran ini untuk masing-masing pemiliknya, maka berakhirlah pemilikan
masya’ menjadi pemilikan mutamayyaz.6
6
Drs. Ghufran A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, hlm. 64-66
Terdapat karakteristik kepemilikan dalam islam menurut ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah
dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Hak milik Umum dan Individu pada saat yang sama berkedudukan sebagai dasar utama
berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan hak milik individu sebagai dasar utama
sedangkan hak milik umum dikesampingkan, begitu juga dengan sistem sosialis yang
menjadikan hak milik umum sebagai dasar utama dan hak milik individu
dikesampingkan.
2. Hak milik terkait oleh kepentingan orang banyak serta diorientasikan untuk mencegah
timbulnya mudarat.
3. Hak milik perlu dibelanjakan atau ditasarrufkan dengan prinsip keseimbangan/tawazun.7
7
https://media.neliti.com/media/publications/25987-ID-konsep-kepemilikan-dalam-islam-kajian-
dari-aspek-filosofis-dan-potensi-pengemban.pdf
Klasifikasi atau Pembagian Kepemilikan (Milkiyah) dalam Islam
Menurut pandangan Islam, (Al-Milkiyyah) dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
(1). Kepemilikan individu (al-Milkiyat al-Fardiyah)
Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang ditentukan pada zat ataupun kegunaan
(utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan
barang tersebut, serta memperoleh kompensasi –baik karena barangnya diambil kegunaan
(utility) -nya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya
seperti dibeli - dari barang tersebut.
Kepemilikan individu tersebut adalah semisal hak milik seseorang atas roti dan rumah.
Maka, orang tersebut bisa saja memiliki roti untuk dimakan, dijual serta diambil keuntungan dari
harganya. Orang tersebut juga boleh memiliki rumah untuk dihuni, dijual serta diambil
keuntungan dari harganya. Dimana, masing-masing roti dan rumah tersebut adalah zat.
Sementara hukum syara’ yang ditentukan untuk keduanya adalah izin al-Syari’ kepada manusia
untuk memanfaatkannya dengan cara dipakai langsung habis, dimanfaatkan ataupun ditukar. Izin
untuk memanfaatkan ini telah menjadikan pemilik barang – dimana dia merupakan orang yang
mendapatkan izin– bisa memakan roti dan menempati rumah tersebut, sebagaimana dia
diperbolehkan juga untuk menjualnya.
Hukum syara’ yang berhubungan dengan roti tersebut, adalah hukum syara’ yang
ditentukan pada zatnya, yaitu izin untuk menghabiskannya. Sedangkan hukum syara’ yang
berhubungan dengan rumah, adalah hukum syara’ yang ditentukan pada kegunaan (utility)-nya,
yaitu izin menempatinya. Atas dasar inilah, maka kepemilikan itu merupakan izin al-Syari’ untuk
memanfaatkan zat tertentu.
Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan dari
al-Syari’ terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya. Jika demikian, maka
kepemilikan atas suatu zat tertentu itu tentu bukan sematamata berasal dari zat itu sendiri,
ataupun dari karakter dasarnya, semisal karena bermanfaat (satisfaction) ataupun tidak
(disatisfaction). Akan tetapi, ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh Syari’, serta berasal
dari sebab yang diperbolehkan oleh al- Syari’untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan
akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas zat tersebut sah secara syar’i.
Dalam hal ini, terlihat bahwa Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan
melarang memiliki zatzat yang lain. Allah juga telah memberikan izin terhadap beberapa
transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Sebagai contoh, Allah melarang
seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah melarang siapapun
yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian
(2) kepemilikan umum (al-Milkiyat al-‘ammah)
Kepemilikan umum adalah izin alsyari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda/ barang. Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-syari’ sebagai benda benda yang
dimiliki suatu komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.
Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang
memilikinya. Setidaktidaknya, benda-benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan
umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
a. Fasilitas dan Sarana Umum
Maksud fasilitas atau sarana umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan
manusia secara umum. Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi
kebutuhan pokok masyarakat, dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan.
Jenis harta ini dijelaskan dalam hadits Nabi Saw. yang berkaitan dengan sarana umum:
“Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”(HR.
Abu Daud).
b. Sumber alam yang tabiat
Pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu secara perorangan Meski sama-
sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum jenis pertama, akan tetapi
terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal
pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini,
secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara
pribadi. Sebagaimana hadits Nabi Saw.:
“Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)”
Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah
sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah menyelesaikan wukuf di padang ‘Arafah dengan
tujuan melaksanakan syi’ar ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar
jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana. Makna
“munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad hadits
tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang siapa yang
lebih dahulu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah
bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan, sehingga orang lain tidak boleh
memilikinya (menempatinya).
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya,
penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh
diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori
ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan
pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri
sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c. Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah
hadits Nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyadh ibn Hamal yang meminta kepada
Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta (tambang) garam, maka beliaupun
memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”.Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun
menarik kembali tambang itu darinya” Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang
garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak
(laksana air mengalir) atau tidak terbatas.
Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan
bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi seperti tambang
emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya. Barang tambang semacam ini
menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang.
Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau
lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai
milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari
benda-benda lain, menjual dan menyimpan hasilnya di bayt almal. Sedangkan barang
tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh
perseorangan atau perserikatan.
Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw. yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harits al-
Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja
mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-mal.
(3) Kepemilikan Negara (al-Milkiyyat al-Dawlah)
Kepemilikan Negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum
muslimin/rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/
negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai
dengan ijtihad/kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah/pemerintah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah/pemerintah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan
ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah), namun terkadang bisa tergolong
dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah). Maksudnya kepemilikan
Negara (alMilkiyyat al-Dawlah) pada dasarnya juga merupakan hak milik umum, tetapi hak
pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Meskipun demikian,
cakupan kepemilikan umum dapat dikuasai oleh pemerintah, karena ia merupakan hak seluruh
rakyat dalam suatu negara, yang wewenang pengelolaannya ada pada tangan pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah dalam hal ini memiliki hak untuk mengelola hak milik ini,
karena ia merupakan representasi kepentingan rakyat, mengemban amanah masyarakat, atau
bahkan pemerintah merupakan institusi kekhalifahan Allah di muka bumi. Memang diakui
bahwa hak milik negara berbeda dengan hak milik umum. Hak milik negara ini dapat dialihkan
menjadi hak milik individu jika memang kebijakan negara menghendaki demikian. Akan tetapi,
hak milik umum tidak dapat dialihkan menjadi hak milik individu, meskipun ia dikelola oleh
pemerintah.
Dalam kaitannya dengan hak milik umum pada dasarnya pemerintah hanyalah
pengorganisir dan pelaksana amanah dari masyarakat, sementara berkaitan dengan hak milik
negara pemerintah memiliki otoritas sepenuhnya. Berikut ada beberapa harta yang dapat
dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-syari’, dan khalifah/pemerintah
berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya, yaitu:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay’
(harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir,
baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir
sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang
melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orangorang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak
sejalan dengan syara’
9. Harta lain milik negara yang diperoleh dari badan usaha milik negara (di Indonesia disebut
BUMN) semisal; padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya,
dan semua bangunan yang didirikan oleh negara dengan menggunakan harta bait al-maal.
Terhadap kepemilikan negara ini, Allah telah memberikan kepada pemerintah kewenangan untuk
mengatur urusan kaum muslimin, meraih kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan, sesuai dengan
ijtihadnya dalam meraih kebaikan dan kemaslahatan. Maka pemerintah harus mengelola harta-
harta milik negara semaksimal mungkin agar pendapatan baitul mal bertambah, dan dapat
dimanfaatkan kaum muslim, sehingga milik negara tidak sia-sia, hilang manfaatnya dan
pendapatannya terputus.8
8
Menurut JURNAL USHULUDDIN Vol. XVIII No. 2, Juli 2012, dari http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/704/655 (dikses pada 23 September 2019, pukul
06.30)

Bab III
Penutup
Kesimpulan

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai