Anda di halaman 1dari 13

REVISI MAKALAH

HUKUM ISLAM TENTANG KEPEMILIKAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. H. Sudirman, S.Ag., M.Ag.

Nama kelompok :

1. Damiya Putri Yasinta (19190040)


2. Anita Yuliyanti (19190044)

PRODRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hambanya rahmat dan hidayah
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Islam Tentang
Kepemilikan” ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H.
Sudirman, S.Ag., M.Ag yang bersedia membimbing dan memberikan ilmunya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini tanpa banyak mengalami kesulitan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini.
Dengan membaca makalah ini, penulis berharap pembaca bisa mendapatkan ilmu
pengetahuan dan wawasan baru. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sepenuhnya
sempurna. Makalah ini juga tidak lepas dari kesalahan baik dari segi penulisan maupun isinya.
Masih banyak kesalahan yang terdapat dalam makalah ini yang perlu dibenahi baik disengaja
maupun tidak. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca agar dapat lebih baik dalam menulis makalah maupun karya tulis
lainnya.

Lamongan, 12 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 5
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemilikan dalam Islam 6
B. Hukum tentang Kepemilikan dalam islam 7
C. Macam – macam Kepemilikan dalam islam 8
BAB III: PENUTUPAN
A. Kesimpulan 11
B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sutu sistem kehidupan universal dan komprehensif, Islam hadir dan dipercaya oleh
pemeluknya sebagai ajaran yang mengatur tentang segala bentuk aktivitas manusia, termasuk
masalah ekonomi. Salah satu bentuk aktivitas yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah
persoalan kepemilikan (al-milkiyyah). Islam senantiasa memberikan ruang dan kesempatan
kepada manusia untuk mengakses segala sumber kekayaan yang dianugerahkan-Nya di bumi ini,
guna memenuhi semua tuntutan kehidupan, memerangi kemiskinan, dan merealisasikan
kesejahteraan dalam semua sisi kehidupan manusia.

Secara historis, persoalan kepemilikan sebenarnya telah ada dan muncul sejak adanya
manusia pertama di muka bumi ini. Ketika itu, makna kepemilikan tidak lebih dari sekedar
penggunaan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya, karena manusia belum berfikiran
untuk menyimpan apa yang ia miliki. Hal ini, disebabkan karena penghuni bumi saat itu masih
sedikit, sedangkan kebutuhan hidup sangat melimpah. Kepemilikan terhadap sesuatu pada saat
itu, hanya sekedar penggunaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, seiring dengan
perkembangan waktu dan tuntutan kebutuhan masyarakat, sedikit demi sedikit jumlah manusia
mulai bertambah dan memenuhi penjuru bumi. Ketika itu mulailah persaingan guna mencukupi
kebutuhan hidupnya, setiap orang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka sejak ini mulai
pergeseran makna kepemilikan yang awalnya hanya penggunaan untuk memenuhi kebutuhan
hidup, menjadi kewenangan dan kekuasaan, saat ini muncul istilah kepemilikan (property), atau
dikenal juga dengan “al-milkiyyah”.

Kepemilikan dalam syariat Islam adalah penguasaan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan
hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak terhadap apa yang ia miliki selama dalam
jalur yang benar dan sesuai dengan hukum. Pada prinsipnya Islam tidak membatasi bentuk dan
macam usaha bagi seseorang dalam memperoleh harta, begitupun Islam tidak membatasi pula
kadar banyak sedikit hasil yang dicapai oleh usaha seseorang. Hal ini tergantung pada
kemampuan, kecakapan dan ketrampilan masing-masing, asalkan dilakukan dengan wajar dan
halal, artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral dan akal (QS. al-Baqarah
[2]:188,1 an-Nisaa’ [4] :32)2 serta tidak membahayakan bagi dirinya maupun orang lain. Selain
itu, setiap orang dituntut pula untuk menggunakan sebagian dari hak miliknya untuk memenuhi
kepentingan hidupnya (al-hajâh al-’udhawiyah) baik perseorangan, kelompok masyarakat
maupun negara. Sebab Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi (al-fardiyah), masyarakat
umum (al-‘jama’iyah) maupun kepemilikan negara (al-daulah), dan menjadikan sebagai dasar
bangunan ekonomi. Namun demikian, secara teologis kepemilikan hakiki berada di tangan
Allah, sedangkan manusia hanya diberi kesempatan untuk memanfa’atkan dalam bentuk
amanah.

A. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kepemilikan dalam islam?


2. Bagaimana hukum-hukum tentang kepemilikan dalam islam?
3. Apa saja macam-macam kepemilikan dalam islam?

B. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian kepemilikan dalam islam


2. Mengetahui huku-hukum tentang kepemilikan dalam islam
3. Mengetahui macam-macam kepemilikan dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepemilikan dalam Islam

Istilah milik berasal dari bahasa Arab yaitu milk yang berakar dari kata kerja malaka,
milik dalam lughah(arti bahasa) dapat diartikan "Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak
secara bebas terhadapnya," (Hasbi Ash Shiddieqy,1989:8). Menurut istilah, milik dapat
didefinisikan, "Suatu Ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syari'at, yang
membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya,
kecuali ada penghalang" (Hasbi Ash Shiddieqy,1989:8). Kata menghalangi dalam definisi di
atas maksudnya adalah sesutu yang mencegah orang yang bukan pemilik sesuatu barang
untuk mempergunakan/memanfaatkan dan bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari
pemiliknya. Sedangkan pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan yang mencegah
pemilik untuk bertindak terhadap harta miliknya.
Sehingga dapat saya tarik kesimpulan dari definisi diatas kepemilikan adalah suatu
kekuasaan seseorang terhadap sesuatu, baik berupa barang maupun yang lainnya. Dimana
seseorang itu mempunyai hak sepenuhnya atas kekuasaan tersebut, sehingga seseorang itu
mempunyai wewenang dan hak untuk menggunakan atau mengambil kebaikan dari sesuatu
itu. Dan orang lain pun tidak mempunyai hak untuk mengambil dam memilikinya tanpa seizin
dari pihak yang memilikinya.1
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, yang artinya :
" Dari Abu Hurairah RA berkata: ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW, ia
berkata : ya Rasulullah bagaimana pendapat kamu jika ada seorang laki-laki yang ingin
merampas hartaku? Rasulullah menjawab : jangan kau berikan hartamu, ia berkata :
bagaimana pendapat kamu jikalau ia ingin membunuhku? Rasulullah bersabda : bunuhlah dia,
ia berkata : bagaimana pendapatmu jika dia telah membunuhku? Rasulullah bersabda : kamu
mati syahid, ia berkata : bagaimana pendapatmu jikalau aku berhasil membunuhnya? Ia
masuk neraka (HR Muslim)."
Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa memiliki harta atau menggunakan harta orang
lain itu perbuatan yang tidak baik dan tidak boleh, apalagi mengambil harta orang lain dengan
cara (merampas) itu adalah perbuatan yang sangat dilarang dan berdosa besar dan hukumnya
adalah masuk neraka. Dan ini merupakan sebuah pembelajaran bagi kita semua khususnya
Umat Muslim.
Hak milik menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip Abdul Azim Islahi adalah
sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi
kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. Kepemilikan adalah tata cara yang
ditempuh oleh manusia untuk memperoleh kegunaan (manfaat) dari jasa ataupun barang.
Adapun definisi menurut syariat adalah izin dari As-Syari’ (Allah SWT) untuk
memanfaatkan sesuatu zat/benda (‘ain).

1
Zainal Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Syari'ah, (Jakarta: PT. Bank Muamalat dan Tazkia Institut, 2002),
h. 96.
Menurut Abdullah Abdul Husain kepemilikan dalam Islam berarti kepemilikan harta
yang didasarkan pada agama. Kepemilikan ini tidak memberikan hak mutlak kepada
pemiliknya untuk mempergunakan semuanya sendiri, melainkan harus sesuai dengan
beberapa aturan. Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya sementara,
tidak abadi, dan tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah SWT.2

Sedangkan Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan kepemilikan adalah hukum syara’


yang berlaku bagi zat benda atau kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja
yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi
dari barang tersebut.

Berdasarkan diskripsi yang dikemukakan di atas hak milik merupakan izin as-Syari’
untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan
selain dengan ketetapan dari as-Syari’ terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab
kepemilikannya.3

B. Hukum-Hukum tentang Kepemilikan dalam Islam

Hukum-hukum kepemilikan atau hal-hal yang bisa membuat kita berkuasa atas barang
milik orang lain, diantaranya:
1. Aqad, yaitu hukum kekuasaan suatu barang akan pindah alih kepada kita (pihak
kedua), jikalau sudah melakukan aqad kepada orang yang mempunyai kekuasaan atas
barang tersebut (pihak pertama) dan pihak pertama menyetujuinya. Seperti contoh:
aqad jual beli.
2. Penggantian, yaitu suatu nadzar, atau bentuk ucapan yang di lontarkan dari pemilik
barang (pihak pertama) kepada orang yang akan di berikan barang (pihak kedua).
Seperti contoh kita memberikan barang kepada seseorang yang kita sayangi.
3. Turunan dari seseorang atas sesuatu yang dimilikinya, pengertian ini hampir mirip
dengan pengertian yang kedua, yaitu suatu nadzar dari si pemilik barang (pihak
pertama) kepada orang yang akan di berikan barang (pihak kedua) tapi nadzar ini di
khususkan untuk orang yang mempunyai berhak atas barang dari pihak pertama.
dalam pengertian ini seperti contoh : seorang ayah memberikan harta warisnya
kepada anak-anaknya.
Dari hukum atas kepemilikan yang sudah di jelaskan diatas, sudah jelas bahwa memiliki
atau memakai apa saja yang bukan haknya, atau milik orang lain maka itu tidak boleh,
kecuali dengan seizin orang yang memilikinya, atau dengan cara akad, penggantian, dan
turunan dari seseorang atas sesuatu yang dimilikinya(waris).

2
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 11
3
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 95.
Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh : Rafi' bin Khadij RA yang artinya :
"Rasulallah bersabda: barang siapa menanam tanaman dilahan seorang kaum tanpa
seizinnya, maka ia tidak berhak mendapatkan hasil tanamannya sedikitpun dan walaupun ia
telah mengeluarkan modal (biaya) mengelolahnya (HR.Abu Daud)."
Dari sebuah hadist di atas, Rasulullah melarang seseorang untuk memakai lahan milik
orang lain tanpa seizin pemiliknya misalnya menanam pohon, walaupun si penanam sudah
mengeluarkan biaya yang besar untuk merawat pohon tersebut, tapi si penanam tidak berhak
mengambil hasil dari pohon yang ditanamnya tersebut, karena belum mendapat izin dari
sang pemilik tanah. Kalaupun si penggarap mengambil dari hasil tersebut, maka berdosalah
bagi si penggarap.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang bab "kepemilikan" bahwasannya kepemilikan
bisa berpindah alih jika salah satu hukum hukum kepemilikan terpenuhi/ada. Dan janganlah
kita mengambil secara paksa, menggunakan tanpa seizin pemiliknya, dan menggunakan
yang bukan milik kita karena itu perbuatan yang dilarang oleh Agama.

C. Macam-Macam Kepemilikan Dalam Islam

A. Dari segi sifat kepemilikan, Ulama fiqh membagi pemilikan terhadap dua bagian,
yaitu:

1. Milik sempruna ( al- milk at-tamm), yaitu apabila materi dan manfaat harta dimiliki
sepenuhnya oleh seseorang sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta berada
dibawah penguasaannya. Milik seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi masa, dan
tidak bisa digugurkan orang lain. 4
2. Milik tidak sempurna (al-milk an-naqs), yaitu apabila seseorang hanya menguasai
materi harta tetapi manfaatnya dikuasai orang lain. Ulama fiqh menyatakan bahwa
kepemilikan tidak sempurna dapat terjadi karena lima hal, diantaranya :
a. Al-l’arah ( pinjam – meminjam) akad terhadap pemilikan manfaat tanpa ganti
rugi.
b. Ijarah ( sewa – menyewa) pemilikan manfaat dengan jaminan membayar ganti
rugi/biaya sewa.
c. Wakaf, akad kepemilikan manfaat untuk kepentingan orang yang diberi wakaf
sehingga ia boleh menfaatkan seizinnya.
d. Wasiat , akad yang bersifat pemberian sukarela dari pemilik harta kepada orang
lain tanpa tanpa ganti rugi yang berlaku saat memberikan wasiat.
e. Ibahah, penyerahan manfaat milik seseorang menimba air dari sumurnya yang
menyediakan harta untuk kepentingan umum.

4
Zainal Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Syari'ah, (Jakarta: PT. Bank Muamalat dan Tazkia Institut, 2002),
h. 150
Perbedaan antara kepemilikan tidak sempurna dan ibahah adalah bahwa dalam kepemilikan
tidak sempurna seseorang bertindak langsung kepada pemiliknya tanpa izin kepada siapapun,
sedangkan dalam ibahah ialah harta seseorang hanya dapat diamanfaatkan orang lain atas
dasar izin pemiliknya dan izin kepada orang lain yang telah ditentukan terhadap harta jika
harta itu merupakan milik bersama.5

B. Dari segi objek, pemilikan terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu :


1. Milk al-‘ain, yakni pemilikan berupa benda, baim benda tetap maupun bergerak.
2. Milk al-manfa’ah, yakni pemilikan berupa manfaat terhadap suatu benda.
3. Milk ad-dain, yakni prmilikan terhadap utang yang ada pada orang lain.

C. Dari segi objek hak milik, ulama’ fiqh hak milik terbagi atas
1. Haqq mali (hak yang terkait dengan harta), hak yang berkaitan dengan
kehartabendaan dan manfaat, seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijual
dan hak pembeli terhadap barang yang dibeli.
2. Haqq ghairu mali (hak yang bukan harta), hak yang tidak terkait dengan
kehartabendaan seperti hak asasi manusia, hak wanita dalam talak karena suami tidak
memberikan nafkah, hak suami terhadap istri karena istrinya mandul, dll.
3. Haqq asy – syakhsi (hak pribadi), hak yang ditetapkan syara’ bagi seorang pribadi
berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual untuk menerima harga
barang yang dijual dan hak pembeli untuk menerima barang yang dibeli.
4. Haqq al-‘ain (hak materi), hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat
sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengmbangkan
haknya itu, seperti hak memiliki suatu benda.
5. Haqq mujarrad (hak semata – mata) adalah hak murni yang melekat pada seseorang
yang tidak bisa memberikan implikasi pada orang lain.
6. Haq ghairu al-mujarad (hak bukan semata-mata) adalah hak yang digugurkan akan
tetap memberikan bekas bagi yang melanggar hak.6

D. Islam juga membagi kepemilikan berdasarkan izin dari pembuat syara’ menjadi tiga,
yaitu :
1. Kepemilikan individu (private property/milkiyyah fardhiyah),7

Kepemilikan individu (private property) adalah hukum syara’ yang ditentukan


pada zat ataupun kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
5
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 140
6
Zainal Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Syari'ah, (Jakarta: PT. Bank Muamalat dan Tazkia Institut, 2002),
h. 169
7
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 30
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaan (utility) nya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli
dari barang tersebut.

2. Kepemilikan umum (collective property/milkiyyah ‘amma)


Kepemilikan umum adalah izin al-syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-
sama memanfaatkan benda atau barang. Sedangkan benda-benda yang tergolong
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-Syari’
sebagai benda-benda yang dimiliki suatu komunitas secara bersama-sama dan tidak
boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu
dapat memanfaatkannya, namun dilarang memilikinya.8
3. Kepemilikan negara (state property/milkiyyah daulah)
Kepemilikan Negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh
kaum muslimin/rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara,
dimana khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada
sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihad/kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh khalifah/pemerintah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
khalifah/pemerintah untuk mengelolanya.
Berikut ada beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan
negara menurut al-Syari’, dan khalifah/pemerintah berhak mengelolanya dengan
pandangan ijtihadnya, yaitu:
a. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan
orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus.
b. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh
dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak).
c. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim
dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam).
d. Harta yang berasal dari hibah (pajak).
e. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari
pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan
berdasarkan agamanya).
f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal
al-fadla).
g. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad.
h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta
yang didapat tidak sejalan dengan syara’.

8
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 35
i. Harta lain milik negara yang diperoleh dari badan usaha milik negara (di
Indonesia disebut BUMN) semisal; padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati
yang tidak ada pemiliknya, dan semua bangunan yang didirikan oleh negara dengan
menggunakan harta baitul mal.
Terhadap kepemilikan negara ini, Allah telah memberikan kepada pemerintah
kewenangan untuk mengatur urusan kaum muslimin, meraih kemaslahatan dan
memenuhi kebutuhan, sesuai dengan ijtihadnya dalam meraih kebaikan dan
kemaslahatan. Maka pemerintah harus mengelola harta-harta milik negara
semaksimal mungkin agar pendapatan baitul mal bertambah, dan dapat dimanfaatkan
kaum muslim, sehingga milik negara tidak sia-sia, hilang manfaatnya dan
pendapatannya terputus.9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam mengakui fitrah manusia untuk mencintai harta dan memilikinya. Harta
yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan amanat yang harus ditunaikan sesuai
apa yang diinginkan sang pemilik-Nya. Konsep harta dalam Islam sangat komprehensif,
dimana Islam tidak hanya mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara
yang halal, bagaimana harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan, akan tetapi juga
mengatur bagaimana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan
menggerakkan para pemilik untuk mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Justru itu, Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum,
dan kepemilikan negara. Ketiga macam kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang
sesuai dengan fungsinya masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan
untuk menuju kesejahteraan baik individu, masyarakat dan negara.

9
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 160
B. Saran

Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan bisa lebih memahami tentang
bagaimana hokum kepemilikan dalam islam, meliputi pengertian, hukum, dam macam
kepemilikan, penulis juga berharap semoga baik dari diri penulis maupun pembaca dapat
memanfaatkan makalah ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Penulis juga
mengharapkan saran dari pembaca agar nantinya makalah ini bisa lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhaily, Wahbah al-, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beiru : Dar al-Fikr, Juz I

Al-Kahlani, Ibrahim Zaid dkk., Dirasat fi fikr al-‘Arabi al-Islami, Amman : Dar al-Fikr, 1995

Arifin, Zainal. 2002. Dasar-Dasar Manajemen Syari'ah, Jakarta: PT. Bank Muamalat dan
Tazkia Institut.

Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalah Hukum Perdata Islam, Yogyakarta:
UII Press.

Hatta, Zulhelmy bin Mohd. 2012. Isu-isu Kontemporer Ekonomi dan Keuangan Islam, Bogor:
Al-Azhar Freshzone Publising.

Manan, Abdul. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1996, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islam,
Surabaya: Risalah Gusti.

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

Anda mungkin juga menyukai