Anda di halaman 1dari 20

KONSEP KEPEMILIKAN DALAM ISLAM1

Oleh : Chairul Lutfi, S.H.I.,S.H.,M.H.2

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Beberapa pengertian tentang milik pendapat para ulama fiqh
disampaikan, namun esensinya sama. Milik adalah pengkhususan terhadap suatu
benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut
sesuai dengan keinginannya selama tidak ada halangan syara’ serta menghalangi
orang lain untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut. Artinya benda
yang dikhusukan kepada seseorang sepenuhnya berada dalam penguasaannya.
Sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkannya.3
Kepemilikan dalam signifikannya yang komprehensif, menyatakan
hubungan antar seseorang dan semua hak-hak yang mana terletak padanya. Apa
yang dimiliki manusia adalah hak dalam segala hal. Hak seperti itu dalam islam
membawa kemurnian ketika hak itu tidak digunakan untuk kepentingan pemilik
semata akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Islam menolak paham , bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif. Posisi
islam dengan pengikut paham ini jelas berbeda. Islam juga berbeda dengan paham
kapitalis yang menganggap bahwa kepemilikan individu sangat bsolute, selain itu
islam juga menolak bahwa kepemilikan adalah hak bersama. Islam sangat
mengakui dan tidak menentang bahwa kepentingan umum harus dipertimbangkan

1
Makalah ditulis dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan pada
Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2016
2
Alumni S1 Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
S1 Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) “Sunan Giri Malang, S2 Magister Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan S2 Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Praktisi Ekonomi Syariah, Konsultan Hukum
dan akivitas sejak tahun 2014-sekarang menjadi Staf Ahli di Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI)
3
Yusdani, Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al Mawarid Edisi IX
Tahun 2003), h. 58., mengutip dari Mustafa Az-Zarqa, Al Fiqh Al Islami Fi Saubihi Al Jadid,
Damaskus: Matabl Aliif Ba’ Al Adib, 1967-8, h.33.
1
dan didahulukan daripada kepentingan sekelompok kecil atau segelintir orang.
Sebab mempertimbangkan kemaslahatan umum adalah satu hal yang harus
diterima dalam rumusan kepemilikan.4
Islam tidak menghendaki kepincangan antara hak individu pemilik
dengan hak masyarakat lain. Keberhakkan pemilik dalam pandangan islam adalah
baku. Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-
undang. Ini pun sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu yang kaitannya adalah
target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan. Posisi islam yang
demikian dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan hak
intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih : demi kesejahteraan umum
Kepemilikan kekayaan pribadi dianggap sebagai motivasi untuk
merangsang upaya terbaik manusia untuk memperluas kekayaan masyarakat.
Akan tetapi bagi kaum sosialis ini merupakan penyebab utama dari distribusi
kekayaan yang irasional dan tidak adil. Konsep islam dalam kepemilikan pribadi
bersifat unik. Kepemilikan, dalam esensinya merupakan kepemilikan Tuhan,
sementara hanya sebagiannya saja, dengan syaray-syarat tertentu, menjadi milik
manusia sehingga ia bisa memenuhi tujuan Tuhan. Yaitu, tujuan masyarakat
dengan cara bertindak sebagai wali bagi mereka yang membutuhkan.5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagaimana berikut :
1. Bagaimana pengaturan dan konsep kepemilikan dalam Islam ?
2. Bagaimana sifat, klasifikasi, dan pembagian kepemilikan dalam Islam ?

4
An Nababan Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal 41
5
Djuwaini. Dimyauddin. Pengantar Fiqih Muamalah. Pustaka pelajar. Yogyakarta. April
2008. Hal 25
2
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini
bertujuan sebagaimana berikut :
1. Untuk mengetahui, menjelaskan, dan memahami pengaturan dan konsep
kepemilikan dalam Islam
2. Untuk mengetahui, menjelaskan, dan memahami sifat, klasifikasi, dan
pembagian kepemilikan dalam Islam

3
Pembahasan
A. Pengertian Kepemilikan
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi
berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al milk juga berarti sesuatu yang
dimiliki (harta). Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta
yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus
terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta
tersebut, kecuali adanya kalangan syara’. Secara terminologi, al-milk adalah
pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk
bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada
penghalang yang bersifat syara’.6
Menurut Wahbah Az-Zuhayly, dari sekian banyak definisi yang
diberikan ulama mengenai kepemilikan, definisi yang terbaik adalah sebagai
berikut: “Keterkhususan terhadap sesuatu yang orang lain tidak boleh
mengambilnya dan menjadikan pemiliknya bisa melakukan pentasharrufan
terhadapnya secara mendasar kecuali adanya suatu penghalang yang ditetapkan
oleh syara‟7
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan hak milik
adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntunggan dari suatu benda
yang berada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan
terhadap pihak manapun.8
Dengan definisi demikian, dapat disimpulkan, bahwa setiap terjadi
kepemilikan, maka sebenarnya tidak ada ikatan apapun antara pemilik dan benda
yang dimiliki sebelum proses yang disebut “kepemilikan”. Baru setelah proses ini,
lahirlah pemilik (malik), dan bendanya disebut “mamluk” (Yang dimiliki) dan
otomatis terjadi hak milik.9

6
Ibid, hal. 46-47.
7
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Cet III Jilid 5, Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989. h. 489
8
Zaky Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga,
2009, h.141.
9
Faruq Nabhan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan
Sosialis (Terjemah), Yogjakarta: UII Press, 2000,h. 42
4
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’,
orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun
akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih
jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengapu berhak menggunakan harta
orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk
membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah
ampunannya. Dengan kata lain dapat dikatakan “tidak semua yang memiliki
berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat
memiliki.10
Dasar Hukum Kepemilikan Dalam Islam, sebagaimana berikut
Dalam QS Al-Maidah Ayat 17 :
“... kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya; Dia menciptakanapa yang dikehendaki-Nya. dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu....”
Dalam QS : Thahaaa Ayat 6 :
Artinya: “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang
di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah
tanah”
Dalam QS: An-Nisa’ Ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu....”
(QS: An-Nisa’:4:29)11

10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, h. 33-34.
11
Atas dasar ini, Afzalur Rahman dalam bukunya, Economics Doctrine of Islam
menginterpretasikan bahwa kata “amwalakum” seolah-olah menegaskan bahwa semua harta
benda akan menjadi milik masyarakat (umat) dengan tendensi bahwa harta merupakan amanah dan
pemiliknya mempunyai tanggungjawab sosial, seperti shadaqah, infaq, zakat, dan lain sebagainya.
Lihat: Afzalur Rahman, Islamics Doktrin of Islam diterjemahkan oleh Soeroyo, Nastangin, Doktrin
Ekonomi Islam, Jilid I, Yogjakarta: Dana Bhakti Waqaf. 1995. h.105.
5
B. Sifat Hak Milik
Pemilikan pribadi dalam pandangan islam tidaklah bersifat
mutlak/absolute ( bebas tanpa kendali dan batas ). Sebab Di dalam islam
ketentuan hukum dijumpai beberapa batasan dan kendali yang tidak boleh
dikesampingkan oleh seorang muslim dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta
benda miliknya. Untuk itu dapat disebutkan prinsip dasarnya, yaitu :12
1) Pada hakikatnya individu hanya wakil masyarakat
Prinsip ini menekankan bahwa sesungguhnya individu hanya wakil
masyarakat yang diserahi amanah. Pemilikan atas harta benda tersebut
hanyalah bersifat sebagai “uang belanja”. Dalam hal ini ia mempunyai
sifat hak kepemilikan yang lebih besar dabanding anggota masyarakat
lainnya. Sesungguhnya keseluruhan harta benda tersebut, secara umum
adalah milik masyarakat. Masyarakat diserahi tugas oleh Allah untuk
mengurus harta tersebut. Sedangkan yang memiliki harta secara mutlak
tersebut ialah Allah Firman Allah : “Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya.” ( QS. Al-Hadiid :7 )
2) Harta Benda Tidak Boleh Hanya Berada di Tangan Pribadi (
Sekelompok ) Anggota Masyarakat
Prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan
dalam masyarakat. Ketidakbolehan penumpukan harta ini didasarkan pada
ketentuan : ….”Supaya harta itu tidak hanya beredar diantara orang-
orang kaya saja diantara kamu….” ( QS. Al-Hasyr:7 )

C. Macam-Macam Kepemilikan
Secara umum, dalam banyak kitab-kitab fiqh, para ulama serta pemikir
ekonomi Islam berpendapat bahwa kepemilikan diklasifikasikan menjadi tiga
jenis,13 yakni: 1) kepemilikan pribadi atau individu (al-milkiyah al-

12
K.Lubis Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.2000. h. 5
13
Muhammad Baqir Ash-Shadr menyebut ini sebagai The principle of diverse froms of
ownership. Lihat: M Baqir Ash-Shadr, Iqtishaduna, diterjemahkan oleh Yudi, Buku Induk
Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra. 2008.h. 147
6
fardliyah/private property/ownership), 2) Kepemilikan Umum/Publik (al-
milkiyah al-‟ammah/public property/ownership); 3) Kepemilikan Negara
(milkiyah al-daulah/state property/ownership).
1. Kepemilikan pribadi atau individu (al-milkiyah al- fardliyah/private
property/ownership14);
Kepemilikan pribadi adalah ketentuan hukum syara’ yang berlaku bagi
zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk
memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya, baik karena
diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi
untuk dihabiskan zatnya, dari barang tersebut.15
Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-
sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) terdiri atas lima perkara, yaitu:
1) Bekerja (al-amwal);
2) Warisan (al-irts);
3) Harta untuk menyambung hidup;
4) Harta pemberian negara;
5) Harta-harta yang diperoleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan
daya dan upaya apapun.16
Dalam kaitan ini, Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-
batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama,
kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat. Kedua, Islam
menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang
menghancurkan masyarakat.17 Menurut Afzalur Rahman, pemerintah
bertugas mengontrol terhadap implementasi batasan-batasan tersebut. Hal ini
untuk menghindari monopoli harta oleh sekelompok kecil masyarakat sehingga

14
Ownership berarti kepemilikan, sebagai kelanjutan dari hak milik. Jadi, kepemilikan bukan
berarti hak guna atau hak mengatur. Sedangkan property, berarti apa saja yang menghasilkan
pendapatan bagi pemiliknya. Lihat: Mohammed Aslam Heneef, Op.Cit., xxii-xxiii
15
Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishad Fil Islam diterjemahkan oleh Moch.
Maghfur Wachid, Membangun SIstem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996. h.66
16
I.M. Yusanto, Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Press,
2002.h. 25.
17
Veitzal Rivai, Andi Buchari, Islamic Economics, Jakarta: Bumi Aksara. 2009,h.94.
7
tercapai keadilan sosial dalam masyarakat.
2. Kepemilikan Umum/Publik (al- milkiyah al-‟ammah/public
property/ownership); dan
Konsep hak milik umum mula-mula digunakan Islam dan tidak terdapat
pada masa sebelumnya.18 Benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT sebagai
benda-benda yang dibutuhkan oleh komunitas secara bersama- sama dan tidak
boleh dikuasai oleh hanya seorang saja atau golongan tertentu.
Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya
namun dilarang memilikinya. Para ahli fikih mendefinisikan yang dimaksud
19
dengan kepemilikan umum itu adalah , fasilitas atau sarana umum; barang
tambang; dan sumber daya yang dari segi bentuknya sulit untuk dimiliki
individu.
a. Fasilitas atau sarana umum.
Kepemilikan umum jenis ini meliputi semua hal yang menjadi kebutuhan
umum seluruh masyarakat secara umum, seperti air, padang rumput dan
jalan-jalan umum. Atas dasar ini, para pemikir ekonomi Islam
berpendapat, bahwa segala jenis barang yang memberikan manfaat
kepada masyarakat umum harus diserahkan kepada pemeliharannya
kepada negara.20
b. Bahan tambang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tambang
adalah secara keseluruhan seperti tambang minyak dan gas bumi, emas
dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain
sebagainya.

18
Afzalur Rahman, Op.Cit., h.112
19
Bandingkan dengan: Abdurrahman Al-Maliki, As-Syiyasatu Al-Iqtishadiyah Al-Mustla
diterjemahkan oleh Ibnu Sholah, Politik Ekonomi Islam. Bangil: Al-Izzah, 2001, h.79
20
Lihat: Afzalur Rahman., Op Cit., h.114
8
Secara lebih spesifik, para ahli fiqh juga mengklasifikasi dua jenis bahan
tambang, yaitu21:
a) Bahan tambang yang tampak/terbuka (adz-dhahir):
Menurut fuqaha klasik, tambang dhahir adalah tambang yang
terdapat dipermukaan bumi dan tidak diperlukan biaya dalam
mengambilnya seperti air, belerang, dan garam. Pengertian ini
berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Baqir Ash-Shadr,
yakni bahan-bahan yang tidak membutuhkan proses usaha serta
proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya seperti garam,
minyak, antimoni, batu bara, aspal, dan sebagainya. Semua orang
mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan dan
mengambilnya sebanyak yang mereka butuhkan dan tidak boleh
dimiliki, dimonopoli atau dianugerahkan kepada individu.
b) Bahan tambang yang tidak tampak/tersembunyi (al-bathin):
Yaitu bahan tambang yang tersembunyi dalam tanah sehingga
memerlukan proses pengolahan lebih lanjut untuk menjadi bentuk
aktual seperti perak, emas, tembaga, besi, timah dan sejenisnya.
Demikian menurut pendapat Ash-Shadr, sedangkan ulama klasik
mengartikannya sebagai tambang yang memerlukan kerja keras dan
biaya untuk mengeksplorasinya, seperti emas dan perak.
c. Sumber daya alam yang bentuk materinya sulit
dimiliki individu22
Kepemilikan umum jenis ini adalah seperti seperti laut, sungai, dan
danau. Muhammad Baqir Ash-Shadr mengklasifikasi kepemilikan publik
ini menjadi dua bagian, yakni kepemilikan ummat (ownership of the
ummah) dan kepemilikan masyarakat. Kepemilikan ummat meliputi hak

21
Afzalur Rahman, Op.Cit., 115-116. Lihat juga: M Badir As-Shadr, Op.Cit., h.213-225.
Bandingkan dengan: Jaribah Bin Ahmad Albaritsi, Fiqh Al-Iqtishad li Al-Khalifah Umar Ibn Al-
Khattab diterjemahkan oleh . . . . . Fiqh Ekonomi Umar Bin Al- Khattab, Jakarta: Khalifah,
2006.h. 230
22
Mustafa Edwin Nasution Dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.
2007. h.124

9
penguasaan properti milik keseluruhan umat Islam. Misalnya,
penguasaan yang di dapat dari perang suci (jihad). Sedangkan
kepemilikan masyarakat tidak hanya terbatas pada hak penguasaan umat
muslim seperti laut dan sungai (aliran air) alam.
3. Kepemilikan Negara (milkiyah al-daulah/state property/ownership)
Menurut Al-Nabhani, milkiyah al-daulah adalah harta yang merupakan
hak bagi seluruh kaum muslimin (rakyat) dan pengelolaannya menjadi
wewenang khalifah (negara), dimana khalifah (negara) berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslimin (rakyat) sesuai dengan
ijtihadnya, makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang
dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak
dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum, namun terkadang bisa
tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu. Atas dasar ini, maka tiap hak
milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah,
maka hak milik tersebut dianggap sebagai milik negara.
Mengutip pendapat Abd Qaddim Zallum dalam Al-Amwal Ad-Daulah
Al-Khilafah, Yulizar D. Sanrego Nz dan Rusdi Batun mengemukakan bahwa
terdapat beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan
negara dan negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
a) Harta ghanimah (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan
orang kafir), anfâl (tanah yang oleh penduduknya menyerah kepada kaum
muslim tanpa didahului oleh penaklukan dan tanah yang para
penduduknya telah binasa), fay‟ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
peperangan) dan khumus.
b) Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslimin atas tanah yang
diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak).
c) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum
muslimin dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam).
d) Harta yang berasal dari pajak.
e) Harta yang berasal dari „ushr (pajak penjualan yang diambil pemerintah
10
dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang
diklasikasikan berdasarkan agamanya).
f) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris
(amwâl al-fadla).
g) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad.
h) Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara,
harta yang didapat tidak sejalan dengan syara’.
i) Harta lain milik negara, misalnya padang pasir, gunung, pantai, laut dan
tanah mati yang tidak ada pemiliknya.23
Dalam referensi lain dikemukakan, bahwa dalam klasifikasi yang lain,
ulama fiqh membagi harta yang bisa dimiliki seseorang menjadi tiga bentuk,
yaitu: 1) Harta yang bisa dimilki dan dijadikan dalam penguasaan seseorang
secara khusus, misalnya milik yang dihasilkan melalui sebab-sebab pemilikan.
2) Harta yang sama sekali tidak bisa dijadikan milik pribadi, yaitu harta yang
ditetapkan untuk kepentingan umum, seperti jalan umum, jembatan, benteng dan
taman kota. 3) Harta yang hanya bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang
membolehkannya, seperti harta wakaf yang bisaya pemeliharaannya melibihi
nilai harta tersebut. Dalam keadaan seperti ini, harta boleh dijual, dihibahkan
atau dijadikan milik pribadi.24

D. Pembagian Hak Milik


Hak milik terbagi kedalam dua bagian yaitu: hak milik yang sempurna
dan hak milik yang tidak sempurna.
a. Hak Milik yang Sempurna (Al-Milk At-Tam)
Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat
sesuatu (bendanya) dan manfaatnya bersama-sama, sehingga dengan demikian

23
Yulizar D. Sanrego Nz & Rusdi Batun, Privatisasi BUMN dalam Tinjauan Dalam Islam. La
Riba: Jurnal Ekonomi Islam Vol. III, No. 2, Desember 2009
24
Yusdani, Op.Cit.,.60. mengutip dari Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, IV: 1178.
Yusdani, Op.Cit.,.60. mengutip dari Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, IV: 1178.

11
semua hak-hak yang diakui oleh syara’ tetap ada ditangan pemilik. Hak milik
yang sempurna merupakan hak penuh yang memberikan kesempatan dan
kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai jenis tasarruf yang
dibenarkan oleh syar’i. Ada beberapa keistimewaan dari hak milik yang sempurna
ini sebagai berikut:
1) Milik yang sempurna memberikan hak kepada si pemilik untuk
melakukantasarruf terhadap barang dan manfaatnya dengan berbagai
macam cara yang telah dibenarkan oleh syara’ seperti jual beli,
hibah, ijarah (sewa menyewa),i‟arah, wasiat, wakaf, dan tasarruf-
tasarruf lainnya yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidahnya.
2) Milik yang sempurna juga memberikan hak manfaat penuh kepada si
pemilik tanpa dibatasi dengan aspek pemanfaatannya, masanya, kondisi
dan tempatnya, karena yang menguasainya hanya satu orang, yaitu
sipemilik. Satu-satunya pembatasan ialah bahwa pemanfaatan atas barang
tersebut tidak diharamkan oleh syara’.
3) Milik yang sempurna tidak di batasi dengan masa dan waktu tertentu. Ia
hak mutlak tanpa dibatasi dengan waktu, tempat, dan syarat. Setiap syarat
yang bertentangan dengan tujuan akad tidak berlaku. Hak milik tersebut
tidak berakhir kecuali dengan perpindahan hak kepada orang lain dengan
cara-cara tasarruf yang memindahkan hak milik sah, atau dengan warisan
atau benda di mana hak milik tersebut ada telah hancur atau rusak. 25
b. Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Naqish)
Hak milik Naqish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja karena
barangnya milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa manfaat. Adapun
macam-macam hak milik naqish yaitu:
1) Milk al-‘ain atau milk al-raqabah
Milk al-„ain atau milk al-raqabah yaitu hak milik atas bendanya saja,
sedangkan manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Contohnya seseorang
mewasiatkan kepada orang lain untuk menempati sebuah rumah atau
25
Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010, h. 73-74.
12
menggarap sebidang tanah selama hidupnya atau selama tiga tahun.
Apabila orang yang berwasiat meninggal dan orang yang diwasiati
menerimanya, maka wujud rumahnya atau tanahnya menjadi hak milik
ahli waris orang yang berwasiat sebagai warisan, sedangkan orang yang
diberi wasiat memiliki manfaat sepanjang hidupnya atau selama tiga tahun.
Apabila masa tersebut sudah lewat, maka manfaat rumah atau tanah
tersebut menjadi hak milik waris orang yang berwasiat, dan dengan
demikian hak milik atas rumah atau tanah tersebut menjadi hak milik yang
sempurna.
Dalam keadaan di mana manfaat suatu benda dimiliki oleh orang lain,
pemilik benda tidak bisa mengambil manfaat atas benda yang dimilikinya,
dan ia tidak boleh melakukan tasarruf atas benda dan manfaatnya. Ia wajib
menyerahkan benda tersebut kepada pemilik manfaat, agar ia bisa
memanfaatkannya. Apabila pemilik benda menolak menyerahkan
bendanya, maka ia bisa dipaksa.26
2) Milk al-manfaat asy-syakhshi atau hak intifa’
Ada lima hal yang menyebabkan timbulnya milk al-manfaat,
yaitu: i‟arah(pinjaman); ij,arah (sewa menyewa); wakaf; wasiat dan
ibrahah. Adapun beberapa ciri khas dari Milk al-manfaat asy-
syakhshi antara lain :
a) Hak milk manfaat dapat dibatasi dengan waktu, tempat dan sifat
pada saat menentukannya
b) Menurut Hanafiyah, hak milik manfaat asy-syakhshui tidak bisa
diwaris.
c) Pemilik hak manfaat menerima benda yang diambil manfaatnya itu
walaupun secara paksa dari pemiliknya.
d) Pemilik manfaat harus menyediakan biaya yang dibutuhkan oleh
benda yang diambil manfaatnya.
e) Pemilik manfaat harus mengembalikan barang kepada pemiliknya
setelah ia selesai menggunakannya, apabila pemilik barang tersebut
26
Ibid., h. 74-76.
13
memintanya, kecuali apabila pemilik manfaat mintanya kecuali
apabila pemilik manfaat merasa dirugikan muisalnya tanamannya
belum dapat dipetik (dipanen).
Berakhirnya hak manfaat, ada beberapa yang menyebabkan berakhirnya
hak manfaat asy-syakhshi, yaitu dikarenakan:
a) Selesainya masa pengambilan manfaat yang dibatasi waktunya.
b) Rusaknya benda yang diambil manfaatnya atau terd.apat cacat yang
tidak memungkinkan dimanfaatkannnya benda tersebut, seperti
robohnya rumah yang ditempati. Meninggalnya pemilik manfaat
menurut Hanafiyah, karena manfaat menurut mereka tidak bisa
diwaris.
c) Wafatnya pemilik barang, apabila manfaat tersebut diperoleh dengan
jalan i‟arah ataui ijarah.27
3) Milk al-manfaat al-‘aini atau hak irtifaq
Hak Irtifaq adalah suatu hak yang ditetapkan atas benda tetap untuk
manfaat benda tetap yang lain, yang pemiliknya bukan pemilik
benda tetap yang pertama. Macam-macam Hak Syurb yaitu. Hak
syurb
a) Hak Syurb (Haq Asy-Surb)
Adalah hak untuk minum dan menyirami, yakni untuk minum
manusia dan binatang dan menyirami tanaman dan pepohonan.
b) Hak Majra (Haq al-Majra)
Adalah hak pemilik tanah yang jauh dari tempat aliran air
untuk mengalirkan air melalui tanah milik tetangganya ke
tanahnya guna menyirami tanaman yang ada di atas tanahnya
itu.
c) Hak Masil (Haq Al-Masil)
Adalah hak untuk membuang air kelebihan dari tanah atau
rumah melalui tanah milik orang lain.
d) Hak Murur (Haq Al-Murur)
27
Ibid., h. 76-83.
14
Adalah hak pemilik benda tetap yang terletak di bagian dalam
untuk sampai ke benda tetapnya melalui jalan yang
dilewatinya, baik itu jalan umum ataupun tidak dimiliki oleh
seseorang, maupun jalan khusus yang dimiliki oleh orang lain.
e) Hak Jiwar (Haq Al-Jiwar)
Hak bertetangga (Haq Al-Jiwar) terbagi menjadi dua
yaitu. Pertama, Hak Ta‟alli (hak bertetangga ke atas dan ke
bawah), yaitu suatu hak bagi pemilik bangunan yang disebelah
atas terhadap pemilik bangunan yang ada di sebelah
bawah. Kedua, hak jiwar Al-Janibi (hak bertetangga ke
samping), yaitu suatu hak yang ditetapkan kepada masing-
masing orang yang bertetangga atau sama lain yang ada di
samping rumahnya.28

E. Sebab-sebab dan Hikmah Kepemilikan


1. Sebab-sebab Kepemilikan
Sebab-sebab tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syarak, terdiri atas
empat sebab sebagai berikut:
a. Ihrazul Mubahat
Ihrazul Mubahat merupakan sebab timbul atau sifat memiliki atas benda
oleh seseorang. Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah
harta yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seorang yang sah)
dan tidak ada pula suatu penghalang yang dibenarkan syarak dari memilikinya.29
Untuk memeiliki benda mubahat diperluikan dua syarat, yaitu:
1) Benda mubahat belum di ikhrazkan oleh orang lain. Seseorang
mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut
dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab
telah di ikhrazkan orang lain.
2) Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta

28
Ibid., h. 84-89.
29
Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014, h. 99.
15
mubahat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz, umpamanya
seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah, kemudian terjeratlah
burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnya sekedar untuk
mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung
tersebut.30
b. Khalafiyah
Yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di
tempat yang lama, yang telah hilang sebagai macam haknya. Khalafiyah ada dua
macam, yaitu:
o Khalafiyah syakhsy‟an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris
dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang
ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
o Khalafiyah syai‟an syai‟in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang
lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di tangannya atau
hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian
pemilik harta. Maka Khalafiyah syai‟an syai‟in ini
disebut tadlmin atau ta‟widl (menjamin kerugian).31
c. Al-‘Uqud
Al-„Uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan. Akad ini lazim
disebut dengan transaksi pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem
kepemilikan, ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
o „Uqud jabariah
Akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan hakim, seperti
menjual harta orang yang berutang secara paksa.
o Istimlak untuk muslahat umum
Misalnya, tanah-tanah disamping masjid apabila diperlukan untuk masjid
harus dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya.

30
Hendi Suhendi, Op.Cit., h. 38.
31
Ibid., h. 38-39.
16
d. At-Tawallud mim Mamluk
At-Tawallud mim mamluk adalah segala yang terjadi dari benda yang
telah dimiliki menjadi hak bagi pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang
memiliki pohon yang menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi milik bagi
pemilik pohon; seseorang memiliki ternak kambing lalu mengambil susunya, susu
yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi milik pemilik kambing.32
2. Hikmah Kepemilikan
Dengan mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam
banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain:
a) Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui
aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.
b) Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan
cara-cara yang baik, benar, dan halal.
c) Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu
amanah (titipan) dari Allah swt. yang harus digunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan dijalan
Allah untuk memperoleh ridha-Nya.
d) Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh
syara’ dalam memiliki harta.
e) Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan
memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal,
kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-
aturan) Allah SWT.33

32
Rizal Qosim, Op.Cit., h. 100-101.
33
Abdul Rahman, Op.Cit., h. 50.
17
Penutup/Kesimpulan
Al-Milk adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda
menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil
manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’. Keterkhususan
terhadap sesuatu yang orang lain tidak boleh mengambilnya dan menjadikan
pemiliknya bisa melakukan pentasharrufan terhadapnya secara mendasar kecuali
adanya suatu penghalang yang ditetapkan oleh syara. Pemilikan pribadi dalam
pandangan islam tidaklah bersifat mutlak/absolute (bebas tanpa kendali dan
batas).
Prinsip dasar kepemilikan 1) Pada hakikatnya individu hanya wakil
masyarakat, 2) Harta Benda Tidak Boleh Hanya Berada di Tangan Pribadi (
Sekelompok ) Anggota Masyarakat. Sedangkan kepemilikan bermacam-macam
diantaranya, macam-macam kepemilikan , yaitu: 1) kepemilikan pribadi atau
individu (al-milkiyah al- fardliyah/private property/ownership), 2) Kepemilikan
Umum/Publik (al- milkiyah al-‟ammah/public property/ownership); 3)
Kepemilikan Negara (milkiyah al-daulah/state property/ownership).
Pembagian Hak Milik, yaitu: 1) Hak Milik yang Sempurna (Al-Milk At-
Tam), dan 2) Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Naqish) yang
kemudian dibagi menjadi Milk al-„ain atau milk al-raqabah, Milk al-manfaat asy-
syakhshi atau hak intifa‟, dan Milk al-manfaat al-„aini atau hak irtifaq. Sebab-
sebab dan Hikmah Kepemilikan, diantara Sebab-sebab Kepemilikan adalah :
Ihrazul Mubahat, Khalafiyah, Al-„Uqud, dan At-Tawallud mim Mamluk.

18
DAFTAR PUSTAKA

Albaritsi, Jaribah Bin Ahmad. Fiqh Al-Iqtishad li Al-Khalifah Umar Ibn Al-
Khattab Fiqh Ekonomi Umar Bin Al- Khattab, Jakarta: Khalifah. 2006
Al-Maliki, Abdurrahman. As-Syiyasatu Al-Iqtishadiyah Al-Mustla diterjemahkan
oleh Ibnu Sholah, Politik Ekonomi Islam. Bangil: Al-Izzah. 2001
Al-Zuhayly, Wahbah. Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Cet III Jilid 5, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1989
An-Nabhani, Taqiyuddin. An-Nidham Al-Iqtishad Fil Islam diterjemahkan oleh
Moch. Maghfur Wachid, Membangun SIstem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam, .Surabaya: Risalah Gusti.1996
Ash-Shadr, M Baqir. Iqtishaduna, diterjemahkan oleh Yudi, Buku Induk Ekonomi
Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra. 2008
Chalil, Zaky Fuad Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam.
Jakarta: Erlangga, 2009
Dimyauddin. Djuwaini. Pengantar Fiqih Muamalah. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
April 2008
Faruq. An Nababan, Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000
Mustafa Az-Zarqa, Al Fiqh Al Islami Fi Saubihi Al Jadid. Damaskus: Matabl Aliif
Ba’ Al Adib, 1967-8
Nabhan, Faruq. Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosialis (Terjemah). Yogjakarta: UII Press. 2000
Nasution, Mustafa Edwin Dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana. 2007
Qosim, Rizal. Pengamalan Fikih 1, Solo : Pustaka Mandiri, 2014
Rahman, Afzalur. Islamics Doktrin of Islam diterjemahkan oleh Soeroyo,
Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I. Yogjakarta: Dana Bhakti
Waqaf. 1995
Rivai, Veitzal, Andi Buchari, Islamic Economics. Jakarta: Bumi Aksara. 2009
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta : Raja Grafindo. 2005
Suhrawardi. K.Lubis. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2000
19
Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. IV:
1178. 1997
Wardi, Ahmad. Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010.
Widjajakusuma, I.M. Yusanto, Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani
Press. 2002
Yulizar D. Sanrego Nz & Rusdi Batun, Privatisasi BUMN dalam Tinjauan Dalam
Islam. La Riba: Jurnal Ekonomi Islam Vol. III, No. 2, Desember 2009
Yusdani, Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Al Mawarid
Edisi IX Tahun 2003

20

Anda mungkin juga menyukai