Anda di halaman 1dari 12

PAPER

“HARTA DALAM ISLAM”

Disusun Oleh:

Nama : Latifatul Ilmi

NIM : 182420516

Dosen : Herman Hidayat, S.E., M.Ling

Prodi Akuntansi Syariah

Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam

Mata Kuliah Akuntansi Syariah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkalis

Tahun 1443 H/2022 M


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan. Harta merupakan
sarana kehidupan didunia untuk mencapai akhirat. Secara fitrahnya manusia senang
dengan harta, harta merupakan perhiasan manusia. Dalam Al-Qur`an kata (mal) harta
disebutkan dalam 90 ayat lebih. Sedangkan didalam hadits Rasulullah, kata harta banyak
sekali disebutkan tidak terhitung jumlahnya Allah SWT menjadikan harta benda sebagai
salah satu diantara dua perhiasan kehidupan dunia. Kata harta dalam istilah ahli fiqih
berarti “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya”.

Manusia tanpa harta akan banyak menemui kesulitan. Karena sifat harta adalah
fasilitas atau sarana keperluan beribadah terhadap Rabb-Nya. Namun demikian harta
bukanlah segala-galanya. Karena harta tanpa faktor manusia maka harta tidak
mempunyai fungsi apa-apa atau tidak berguna sehingga dalam hal ini pengelolaan harta
menjadi hal penting demi kemaslahatan hidup manusia. Dalam mengelola harta maka
konsep islam menekankan bahwa harta tidak melahirkan harta, akan tetapi kerja yang
menciptakan harta. Oleh karenanya, untuk mendapatkan dan memiliki harta orang harus
berkerja atau berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang menghasilkan nilai ekonomi.
Selain itu, pemilikan manusia hanya bersifat mandat atau amanah, karena pemilik
sesungguhnya adalah Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kekayaan dalam islam?
2. Bagaimana islam memandang kekayaan?
3. Bagaimana cara mengelola kekayaan dalam islam?

ii
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami bagaimana konsep kekayaan dalam islam.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana islam memandang kekayaan.
3. Mengetahui dan memahami bagaimana cara mengelola kekayaan dalam islam.

D. Manfaat
Manfaatnya yakni guna memenuhi tugas pada mata kuliah Akuntansi Syariah
serta digunakan untuk menambah pengetahuan tentang kekayaan serta cara
pengelolaannya dalam islam .

iii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kekayaan Dalam Islam

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, aspek dlaruriyat


yang tidak dapat ditinggalakan dan dikesampingkan. Dengan harta tersebut manusia
dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik yang bersifat materi maupun
immaterial. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut terjadilah kemudian proses
hubungan kepentingan dan kebutuhan  antar sesama manusia yang secara fithrah manusia
tidak dapat hidup sendiri, melainkan saling membutuhkan satu sama lainnya.

Dalam konteks inilah, harta sebagai objek dalam berbagai transaksi, seperti jual
beli, ijarah, rahn, musyarakah, dan akad-akad muamalah lainnya, sampai status harta
menjadi milik seseorang.

Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa secara etimologis al-maaal diartikan sebagai


segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, kenyamanan dalam bentuk
materi/fisik maupun dalam bentuk manfaat, serrta dapat dimiliki oleh manusia secara
penuh dengan cara kasab.

Dengan demikian al-maal adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan


manusia  dan berada dalam genggaman kepemilikian manusia itu sendiri. Konsekuensi
logis dari definisi tersebut adalah bahwa benda atau barang yang balum dalam kekuasaan,
kepemilikan, dan berada dala genggaman tangan, tidak dapat dikatakan sebagai harta (al-
maal).

Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa al-maal adalah segala sesuatu yang


mungkin untuk dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dimiliki dan disimpan maksudnya
sesuatu itu harus bersifat kebendaan, berwujud, dapat lihat, diukur, ditimbang, dinilai,
dihargai dijualbelikan, dipindahtangankan.  Kemudian dimanfaatkan maksudnya adalah
sesuatu itu masih dalam kondsi layak untuk dipakai, digunakan, disenangi, diinginkan,
dan atau dikonsumsi berdasarakan kekhususan maupun keumumannya serta dapat
diterima, diakui, dan dibenarkan oleh masyarakat umum.

4
Pada umumnya kebanyakan ualam fiqh memaknai harta dengan seagala sesuatu
yang bernilai finansial atau berharga, serta dapat dijualbelikan, sehingga jika ada yang
menghilangkan atau merusaknya, harus dilakukan ganti rugi atau tanggungjawab. Jadi
segala sesuatu yang bernilai meterial, itulah harta, sementara manfaat dan atau hak,
menurut Hanafiyah tidak termasuk ke dalam harta. Meskipun demikian, ada juga ulama
yang berpendapat bahwa hak dan manfaat juga termasuk harta.

Yang dimaksud manfaat adalah bernilai guna dan faedah, sehingga kepemilikan
atas suatu benda akan memberikan arti penting dan fungsi bagi pemiliknya. Dengan
memiliki laptop atau notbook, seseorang dapat mengerjakan pekerjaan ketikan, atau
internetan, brosing, seaching, dll. Orang yang memiliki handphone juga dapat mengambil
manfaat dengan berkomunikasi melalui, WA, SMS, telpon langsung, dan fungsi-fungsi
serta manfaat lainnya dari handphone tersebut.

Berbeda dengan hak, ia adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan syara’ untuk
dapat dikuasai dan diterima oleh seseorang. Pemilik hak tersebut memiliki kewenangan
penuh atas benda yang oleh syara’ dibenarkan. Dengan demikian, ulama Hanafiyah
berargumentasi bahwa hak dan manfaat, baik yang terkait dengan harta maupun tidak
terkait harta, tidak dikategorikan sebagai harta, sebab tidak dapat dimiliki dan disimpan,
apalagi hak dan manfaat itu secara bertahap mengalami pengurangan kualitas dan
kuantitas.

Jumhur ulama menegaskan, hak dan manfaat tetap termasuk harta, sebab masih
ada keungkinan untuk dapat dimiliki dan dikuasai, yaitu kepemilikan dan penguasaan
yang melekat pada benda yang bermanfaat tersebut.

Dengan demikian, secara esensial, seseorang memiliki barang atau benda karena
dalam benda tersebut terdapat unsur manfaat, sepanjang aspek manfaat tersebut masih
ada melekat, maka sepanjang itu pula benda akan digenggamnya dengan baik, dan
mungkin jika manfaatnya sudah tida ada, benda akan dipindahtangankan, atau bahkan
diuang dan dihilangkan.

Ada perbedaan pandangan di antara para ulama, dalam hal konsekuensi hukum
yang timbul akibat perbedaan cara pandang tentang hak dan manfaat ini. Hanafiyah
berpendapat bahwa orang yang melakukan ghashab barang orang lain dalam waktu

5
tertentu, kemudian barang tersebut ia kembalikan dengan utuh, maka ia tidak
berkewajiban untuk mengganti atau mengembalikan kualitas barang seperti sedia kala.
Sementara mayoritas  ulama berpendapat, orang yang meng-ghashab wajib mengganti
nilai manfaat benda yang ia ghashab, benda tersebut harus kembali utuh seperti
sebelumnya.

Selanjutnya, Hanafiyah mengatakan: akad ijarah dengan sendirinya akan berakhir


jika pemilik barang sewaannya itu meninggal, sebab manfaat itu bukan harta, sedangkan
menurut jumhur ulama, ijarah tetap berlangsung meskipun pemilik benda telah
meninggal, sebab manfaat itu adalah harta yang dapat diwariskan. Ahmad Wardi Muslich
mengklasifikasi harta menjadi empat bagian, yaitu:

1. Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim

Al-Maal mutaqawwim adalah  harta yang diperoleh manusia sebagai hasil uasaha
atau kasab yang diperbolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Sedangkan ghair
mutaqawwim yaitu harta yang belum dicapai dan tidak dimiliki sebagai hasil dari
uasaha atau kasab, sehingga harta tersebut masih di tempat lain, belum dalam
kekuasaan dan genggamannya. Perbedaan pendapat antara Hanafiyah dan jumur
ualama ini berdampak kepada hukum, pertama, sah dan tidaknya harta tersebut
menjadi objek transaksi. Jika harta mutaqawwim, maka sah transaksinya, tetapi
jika ghair mutaqawwim, tidak sah transaksinya. Kedua, adanya kewajiban untuk
menggantinya, dan ketiga, harta ghair mutaqawwim yang dimiliki Muslim, tidak
ada kewajiban untuk menggantinya. Namun jika pemiliknya non Muslim, babi
yang dibunuh menurut Hanfiyah harus dilakukan upaya tanggungjawab dengan
menggantinya.

2. ‘Iqar dan Manqul

Al-Maal al-‘iqar adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Termasuk juga tanaman, pepohonan
yang melekat tertanam di atas tanah tersebut merupakan maal al‘iqar, jika sama
sekali tidak dapat dipindah. Sedangkan al-maal al-manqul adalah harta yang dapat
dipindahkan, dikirimkan, atau diantarkan ke tempat lain. Namun demikian, dalam

6
kondisi tertentu al- maal ‘iqar dapat berubah menjadi al-maal al-manqul dan yang
manqul dapat brubah menjadi ‘iqar.

3. Mitsli dan Qimi

Harta mistli adalah harta yang ada padanannya atau persamaannya di pasar secara
utuh tanpa ada perbedaannya sama sekali. Ada empat jenis harta mistli ini, yaitu:
kategori al-makilaat (ditakar), al-mauzunaat (ditimbang), al-‘adadiyaat (dihitung),
al-dzira’iyyaat (diukur). Sedangkan harta qimi adalah harta yang tidak terdapat
padanannya di pasar, namun setiap satuannya memiliki harga dan nilai yang
berbeda.

4. Istihlaqi dan Isti’mali

Al-Maal istihlaki adalah harta yang tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti uang, emas, perak,
batu bara, dan pertambangan lainnya. Dan al-maal isti’maali adalah harta yang
dapat dimanfaatkan tanpa harus merubah fisik harta tersebut terlebih dahulu,
seperti perkebunan, rumah kontrakan, komputer, handphone dan barang-barang
lainnya.

B. Bagaimana Islam Memandang Kekayaan


Kekayaan termasuk jenis harta yang menjadi kecenderungan manusia terhadapanya.
Oleh karena itu, sepatutnya manusia menyadari bagaimana sebenarnya kedudukan atau
status harta yang dikaruniakan oleh Allah. Kedudukan atau status harta berdasarkan al-
Quran adalah sebagai berikut:
a. Harta sebagai titipan, karena manusia tidak mampu mengadakan benda dari tiada
menjadi ada. Oleh karena itu, wajib bagi manusia untuk menginfakkan harta yang
diperolehnya.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia dapat menikmatinya
dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. (QS. Ali- Imran; 14).
c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan Islam atau tidak. (QS.
Al- Anfal; 28).

7
d. Harta sebagai bekal atau sarana beribadah. Menurut pandangan Islam, harta
bukanlah tujuan, namun hanya sebagai sarana untuk memperoleh ridha Allah
SWT. yakni untuk melaksanakan kegiatan zakat, infak, dan sedekah. Hal ini
dicatumkan di dalam al-Quran surat at- Taubah; 14 dan QS. 134 (Aravik, 2016: 6-
8).

Selain memandang bahwa kekayaan tidak bebas nilai, islam juga memandang
bahwa kepemilikan kekayaan bersifat relatif, karena kepemilikan mutlak hanya ada di
Tangan Allah Yang Maha Memiliki.

“Tidak diragukan lagi bahwa tujuan sentral (diturunkannya) Al-Qur`an adalah


untuk menciptakan tata sosial yang adil serta service berdasarkan standar etika”. ( Fazlur
Rahman, 1979).

Tata sosial yang adil dicirikan dengan karakater egalitarian dan etis sebagai
bentuk konfrontasi langsung terhadap disequlibrium ekonomi yang memunculkan
kesenjangan dan ketidakadilan di masharakat mekkah kala itu. Mekkah adalah pusat
perdagangan internasional, tetapi dikota itu tanpa kentara dijumpai praktek-praktek
eksploitasi oleh elit Quraisy yang sombong dan ponggah berkat kekuasaan dan kekayaan
yang digenggam tangan mereka. Elit inilah yang mengeksploitasir dan menghisap
keringat dan darah orang-orang lemah, para kuli, budak dan mayoritas miskin.

Fenomena tersebut digambarkan dalam Al-Qur`an sebagai situasi masyarakat


dengan gaya hidup yang kikir, hedonis dan materialis. Dominasi sifat-sifat itu telah
melalaikan mereka akan sifat kesemenentaraan harta yang mereka tumpuk (QS 102:4 dan
104: 1-7).

Ketidakseimbangan ekonomi dalam masyarakat merupakan hal yang dicela oleh


Al-Qur`an sebagaimana politheisme yang merupakan simptom dari segmentasi
masyarakat. Keduanya dicela karena merupakan sumber pepecahan dalam masyarakat
dan menjadi penyakit sosial yang sulit disembuhkan.

8
Kekayaan merupakan bagian dari “suatu kebaikan” (QS 11:84, 22:11), bahkan
kekayaan dipandang sebagai salah satu dari “nikmah Allah” yang paling berharga bagi
umat manusia (SQ 106:1-4) di samping nikmat berupa kedamaian.

Dengan demikian, kekayaan dalam semua bentuknya adalah merupakan


keutamaan dam men memiliki makna lebih dibandingkan dengan kemiskinan. Meski
demikian, islam menegaskan bahwa kekayaan, kepemilikan kekayaan, bukanlah sebuah
tujuan, melainkan hanya sebuah sarana kehidupan, yang jika diperoleh dengan jalan
“halalan-thayyiban” (halal jenis nya dan tidak curang dalam memeprolehnya) dan
didistribusikan sebagian darinya dalam bentuk zakat, infak dan sedekah, memiliki
implementasi sosial ekonomi berupa pemerataan kesejahteraan dan implikasi yang
bersifat sejati dan abadi diakhirat nanti.

Selain memandang kekayaan tidak bebas nilai, islam juga memandang


kepemilikan kekayaan bersifat relatif, karena kepemilikan mutlak hanya ada ditangan
Allah SWT Yang Maha Memiliki, Relatifitas kekayaan memiliki Impikasi kongkrit yang
digambarkan Al-Qur`an dengan “supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang
kaya diantara kamu”(QS 59:7)

Penegasan Al-Qur`an itu memiliki relevansi isu-isu sepanjang zaman, yakni


tentang praktek-praktek monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme serta konglomerasi
yang disatu sisi terbukti memiskinkan dan menyengsarakan mayoritas masyarakat, dan
disisi lain melanggengkan kekuasaan dan kekayaan penguasa dan pemilik harta.

C. Cara Mengelola kekayaan Dalam Islam


Pengelolaan kekayaan secara Islami meliputi aspek perolehan atau penciptaan
harta, peningkatan harta kekayaan, perlindungan harta, pendistribusian kekayaan, dan
pemurnian kekayaan. Syariat Islam mengajarkan bahwa harta kekayaan dapat digunakan
untuk banyak tujuan namun tidak diperbolehkan untuk dibelanjakan pada hal-hal yang
dilarang secara syara’. Menurut syariat Islam, kebutuhan untuk memperoleh harta
kekayaan merupakan sebuah motivasi untuk bekerja keras dan berusaha. Jadi, dengan
demikian, kemampuan seorang muslim dalam meperoleh harta kekayaan dan

9
mendistribusikan harta kekayaan tersebut akan memberikan harapan kepada pihak yang
membutuhkan harta.
Kebutuhan akan pengelolaan harta kekayaan akan menciptakan sikap disiplin
dalam menjaga harta kekayaan yang dapat mendukung kesejateraan sebuah keluarga
maupun masyarakat. Penghematan terhadap pendapatan atau keuntungan yang diperoleh
oleh umat muslim walaupun dalam porsi kecil, maka hal ini akan membantu masyarakat
muslim khususnya untuk melawan atau mengatasi masalah sifat konsumtif dan inflasi.
Gambar berikut ini merupakan siklus pengelolaan kekayaan yang meliputi perolehan
harta kekayaan, peningkatan jumlah kekayaan, perlindungan kekayaan, dan
pendistribusian kekayaan, yang secara umum berlaku baik di Bank Islam maupun bank
konvesional.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, aspek dlaruriyat yang
tidak dapat ditinggalakan dan dikesampingkan. Dengan harta tersebut manusia dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginannya, baik yang bersifat materi maupun immaterial. Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan tersebut terjadilah kemudian proses hubungan kepentingan dan
kebutuhan  antar sesama manusia yang secara fithrah manusia tidak dapat hidup sendiri,
melainkan saling membutuhkan satu sama lainnya.

Selain memandang bahwa kekayaan tidak bebas nilai, islam juga memandang bahwa
kepemilikan kekayaan bersifat relatif, karena kepemilikan mutlak hanya ada di Tangan Allah
Yang Maha Memiliki. “Tidak diragukan lagi bahwa tujuan sentral (diturunkannya) Al-Qur`an
adalah untuk menciptakan tata sosial yang adil serta service berdasarkan standar etika”. ( Fazlur
Rahman, 1979).

Pengelolaan kekayaan secara Islami meliputi aspek perolehan atau penciptaan harta,
peningkatan harta kekayaan, perlindungan harta, pendistribusian kekayaan, dan pemurnian
kekayaan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Muhit, mugni. 2017. “Konsep Harta Dalam Perspektif Hukum Islam”. Diakses Pada
https://www.iaei-pusat.org/memberpost/ekonomi-syariah/konsep-harta-dalam-perspektif-hukum-
islam-1?language=en, Pada Tanggal 31 Maret 2017 Pukul 10:06 WIB.

Choirunnisak. 2017. “Konsep Pengelolaan Kekayaan Dalam Islam” : ISLAMIC


BANKING Volume 3 Nomor 1 (hlm 26-27). Indo Global Mandiri.

Nawar. 2022. “Bagaimana Islam Memandang Kekayaan?”. Diakses Pada


https://kangnawar.net/bagaimana-islam-memandang-kekayaan/, Pada Tanggan 23 September
2020.

12

Anda mungkin juga menyukai