Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQH MUAMALAH

KONSEP HARTA (AL-MAAL) DALAM ISLAM


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Fiqh muamalah tahun 2016

KELOMPOK I EKONOMI SYARIAH B :


ACHMAD NABIL GHOMRI

(1031510001)

ALIFIA AMANDA P.

(1031510006)

WASIATUL WAFIYAH

(1031510049)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INTERNASIONAL SEMEN INDONESIA
GRESIK
2015

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam, berkat rahmat,
taufik dan inayah-Nyalah makalah yang berjudul KONSEP HARTA (AL-MAL) DALAM
ISLAM ini dapat di selesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah
kepada Rasulullah SAW., beserta keluarganya, sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam di
seluruh Alam.
Penulisan makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mahasiswa
mengenai konsep harta dalam islam serta mengimplementasikannya dalam kehidupan
modern. Namun demikian, tentunya penulis mendapatkan arahan, bimbingan serta saran
yang membangun, oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada pihakpihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada bapak dosen mata kuliah
fiqh muamalah yang menuntun kami dalam mengerjakan makalah ini yaitu: Andi Zulfikar
Daraussalam, M.Si.,Mhum.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
sebagaimana yang diharapkan, baik dari sistematika, bahasa, maupun dari segi materi. Atas
dasar ini, komentar, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga
penulisan makalah ini dapat memberi manfaat bagin kita semua dan dapat dijadikan salah
satu sumber tambahan dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

Gresik, 20 Februari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1. Latar belakang......................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................
1.3. Manfaat dan Tujuan.............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
2.1. Pengertian Harta (Al-maal) dan Pandangan Ulama............................................2
2.2. Fungsi Harta........................................................................................................3
2.3. Pembagian Jenis-jenis Harta................................................................................4
2.4. Perspektif Harta dalam Fiqh muamalah..
BAB III PENUTUP...........................................................................................................8
3.1. Kesimpulan..........................................................................................................8
3.2. Saran....................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................9

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang
sangat penting. Harta (al maal) merupakan komponen pokok dalam
kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja.
Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang
bersifat materi atau pun immateri. Dalam kerangka memenuhi
kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar manusia
(muamalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang
sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi
saling

membutuhkan

dan

terkait

dengan

manusia

lainnya.

Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi,


harta bisa dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewamenyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi
lainnya. Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta
juga bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali terdapat
faktor yang menghalanginya.
Tidak ada larangan dalam mencari harta baik konvensional maupun syariah,
semua sama-sama menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi
manusia merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok
orang yang tidak menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki
sesuatu yang lebih berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara
subyektif, tidak mengikat. Sebab tergantung siapa yang menilainya. Menyangkut
sistem pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu secara Islami dan konvensional. Dua hal tersebut memiliki kriteria
yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
konsep harta dalam fiqih muamalah.

1.2.

RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Harta dan Pandangan Ulama
B. Fungsi Harta
C. Pembagian Jenis-jenis Harta
D. Perspektif Harta dalam Fiqh Muamalah

1.3.

MANFAAT DAN TUJUAN


A. Untuk mengetahui apa itu harta dan bagaiman pandangan ulama terhadap harta
B. Untuk mengetahui bagaimana harta itu di fungsikan
C. Untuk mengetahui apa saja pembagian harta
D. Untuk mengetahui dan mengaplikasikan harta yang sesuai dengan syariah Fiqh
Muamalah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

PENGERTIAN HARTA (AL-MAAL) DAN PANDANGAN ULAMA


Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz

maala yamiilu mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.


Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu
yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian

unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan
memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
Ibnu Asyr mengatakan bahwa, Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak,
tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki.
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh
tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.
Maksud pendapat di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang
bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat
dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat
dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang
tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari.
Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya,
tetapi dapat dipunyai secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor
lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang
memenuhi dua kriteria :
Pertama, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya.
Kedua, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit seperti
tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang.
Menurut jumhur ulama fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta
sebagai adalah seagala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.

Dari pengertian di atas, jumhur ulama memberikan pandangan bahwa manfaat


termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa
segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai
tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan
melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut jumhur ulama dalam pembahasan ini adalah faedah atau
kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara kepada seseorang secara khusus dari
penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain
lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.

Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya.
Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat
bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan
oleh ulama-ulama Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk
keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak
termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini,
beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf
al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan
benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.

2.2.

FUNGSI HARTA
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia,

baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha
untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang
dilarang syara atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti
orang yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk
kesenangna semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain.
Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya
memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara,
antara lain untuk:
1.

Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.

2.

Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai
kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.

3.

Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-

Nisaa:9).
4.

Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat,


Rasulullah SAW. Bersabda:


( )
Artinya:
tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia
hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan dari hasil
keringatnya sendiri (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Dalam hadist lain dinyatakan:




( )

Artinya:
bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di
antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah
akhirat (HR. Bukhari)
5.

Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.

6.

Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan
pekerjaan kepada orang miskin.

7.

Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.

8.

Untuk menumbuhkan silaturrahim.

2.3.

PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA


Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri

khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai


berikut:
1.

Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim

a. Harta mutaqawwim ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya


menurut syara yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara
memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh: kerbau halal dimakan
oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya tidak sah
menurut syara, misalnya dipukul, ditembak, dll.

b. Harta ghair mutaqawwim ialah sesuatu yang tidak boleh diambil


menurut syara yaitu kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni yang tidak
boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun
cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang diperoleh dengan cara
mencuri termasuk ghair mutaqawwim karena memperolehya dengan cara
yang haram.
Faedah Pembagian :
1). Sah dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas
muamalah, seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair
mutaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini
disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
2). Tanggungjawab Ketika Rusak
Jika

seseorang

merusak

harta

mutaqawwim,

maka

ia

bertanggungjawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak harta


ghair mutaqawwim, ia tidak bertanggungjawab untuk menggantinya.
Menurut ulama Hanafiyah, jika merusak ghair mutaqawwim, ia tetap
bertanggungjawab, sebab harta tersebut dipandang mutaqawwim oleh
nonmuslim.
Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair mutaqawwim
tetap dipandang mutaqawwim sebab umat nonmuslim yang berada di
negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.
2.

Harta Mitsli dan Harta Qimi

a. Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuankesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain,
tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Jadi, harta mitsli adalah harta
yang

ada

imbangannya (persamaan).

Seperti

harta

yang

jenisnya

diperoleh di pasar.
b.

Harta

qimi

ialah

benda-benda

yang

kurang

dalam

kesatuan-

kesatuannya, karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian


yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi adalah harta yang

tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di
dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam
nilai harganya.
3.

Harta Istihlak dan Harta Istimal

a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta
istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
1). Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang
secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api
bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu.
2). Harta istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan
untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun
uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah kepemiliknya.
b. Harta istimal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan
materinya

tetap

terpelihara.

Harta

istimal

tidaklah

habis

sekali

digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya. Seperti


kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
4.

Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul

a. Harta

manqul

ialah

dipindahkan (bergerak) dari

segala
satu

tempat

harta
ke

yang
tempat

dapat
lain.

Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.


b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan
dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah,
pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda bergerak dan benda tetap.
5.

Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur

a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik


perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.
Harta mamluk(yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:

Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan


pemilik, misalnya rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang
tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seseorang yang

mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.


Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan
dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang
berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu
mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta
yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan
pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik
dan pabrik tersebut diurus bersama.

b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang,
seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di
hutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta
mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan
menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah. Sesuai dengan sabda Nabi
SAW:Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang),hutan milik
seseorang, maka ia yang paling berhak memiliki
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan
memberikan kepada orang lain menurut syariat, adakalanya benda itu
benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat
umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan, dll.
6.

Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi,
misalnya beras, tepung, dll.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta
yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut
dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dll.

2.4.

PERSPEKTIF HARTA DALAM FIQH MUAMALH

Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di
dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adhdharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Dalam ayat-ayat al-Quran, harta memiliki kedudukan antara lain:
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah untuk
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta
sebenarnya tetap pada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang artinya:

Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman
diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang
besar. (QS. Al-Hadid : 7)
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik
dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki,
menguasai dan menikmati. Firman Allah



artinya:Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan,
binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan di sisi Allahlah
tempat kembali yang baik. (QS. Ali Imron : 14)
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak: Allah berfirman

artinya:Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi Allahlah


pahala yang besar. (QS. At-Taghabun : 15)
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama
yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik.
Hal ini karena Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin,
karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah
Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Di samping itu dalam
pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh
siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat).
Di samping itu juga harta bebas diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan
rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama
belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun negara.
Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi
atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan
sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya
seperti melalui warisan.
Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dengan arti atas kehendak
dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah
atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau
beberapa pihak seperti jual beli.

BAB III
PENUTUP
3.1.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta meliputi

segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi) seperti
uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan,
hasil perikan-lautan, dan pakaian. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna
memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada
manusia. Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta
dengan bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan
materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.
Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang
tampak seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti
pakaian,tempat tinggal. Sehingga persoalan harta dimasukkan kedalam salah satu lima
keperluan pokok yang diatur oleh Al-Quran dan as-sunah. Adapun fungsi harta
diantaranya kesempurnaan ibadah mahdzah,memelihara dan meningkatkan keimanan dan
serta menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan pembagian harta di
bagi menjadi enam bagian.

3.2.

SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Rajawali Pers). 2010.


Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia).
2006.
http://fiqhmuamalah924.blogspot.com/2011/02/teori-harta.html.
diakses pada tanggal 19 Februari 2016
Targhib wattarhib. Kitabul buyuu. (Surabaya : Al hidayah)
Qs. Annisa : 9
Qs Al Hadiid : 7
Qs. Ali Imran : 14
Qs. At Taghaabun : 15
http://rudinihartomadjirung.blogspot.com/2013/09/harta-pengertiankedudukan-fungsinya.html. diakses pada tanggal 20 Februari 2016

Anda mungkin juga menyukai