Anda di halaman 1dari 2

Beda Organisatoris dan Aktivis

“Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat”, frasa ini sering kita dengar, baik dalam mimbar
akademik maupun berterabaran di sosial media kita. Agaknya memang benar, tapi sejauh mana itu
tetap konsisten dengan frasa tersebut, atau barangkali sejauh mana frasa tersebut dipegang teguh
oleh mahasiswa sekarang sangat menarik untuk dibicarakan. Penyambung lidah rakyat artinya
seorang mahasiswa tidak hanya mengemban kepentingan dan keuntungan pribadi, melainkan juga
mengemban misi sebagai corong, perpanjangan tangan antara masyarakat dengan pemerintah,
dengan kampus, dan lain sebagainya. Karena hanya mahasiswa yang mampu mengakses dan bahkan
mampu merubah keadaan dan memberi tekanan pada pemerintah, khususnya pada persoalan
keadilan dan kesejahteraan.
Antonio Gramsci mengistilahkan sebagai ‘intelektual organik’, sebuah kata yang sepadan dengan
defisini ‘penyambung lidah rakyat’. Intelektual Organik artinya seorang cindekiawan atau mahasiswa
yang cerdas dan solutif pada persoalan yang dihadapi, dan mereka juga harus berada dalam lingkaran
persoalan dan menjadi bagian untuk perubahan. Maka, di sini sejalan dengan peran dari mahasiswa
sebagai ‘agent of change’. Berat memang, tetapi memang sejak awal ketika seorang telah
memantapkan diri untuk mendaftar di perguruan tinggi, Ia harus siap dengan
konsekuensi-konsekuensi, termasuk menjadi corong dan penyambung lidah rakyat yang harus hadir
ditengah-tengah masyarakat, atau ‘tidak asing di desa sendiri’ (meminjam istilah dari Pram).
Seorang mahasiswa yang mengemban tugas yang berat tidak serta-merta tercipta secara ajaib. Perlu
persiapan panjang. Persiapan ini dapat dimulai dengan mahasiswa menempa diri dalam organisasi
yang ada di kampus: apapun bentuknya, termasuk studi club dan forum-forum diskusi kecil.
Organisasi kampus memerankan peran sentral dalam pembentukan tersebut. Dan hasil akhir yang
diharapkan adalah setiap anggota atau mahasiswa yang tergabung dalam wadah tersebut menjadi
sosok organisatoris, yakni seorang yang mampu mengelola organisasi dan mampu bekerja sama
dalam menyelesesaikan suatu persoalan yang ada.
Apa itu cukup? Tidak. Karena karena wadah tanpa isi adalah sia-sia. Cakap berorganisasi memang
perlu, tetapi Ia harus memiliki berbagai narasi dan wacana kritis, sehingga dalam pengelolaan
organisasi tidak ngawur. Hal ini harapannya adalah mencetak anggota-anggota yang tidak sekedar
paham dan bisa menjadi ‘event organizer’.
Tetapi, inilah persoalan yang sering menjangkiti para mahasiswa kita. Sering terjebak dalam
hingar-bingar keberhasilan membuat acara, dan kalau bisa semakin besar acaranya, semakin hebat
pembicara seminarnya, membuat mereka berpuas diri seolah telah menjalankan peran sebagai
mahasiswa. Padahal tidak! Seminar penting, dialog public penting, tetapi yang paling penting adalah
pembelajarannya; prosesnya, yakni mereka juga turut aktif dalam narasi dan tidak sekedar membuat
acara mewah semata.
Cerdas organisasi dan cerdas wacana kritis tercermin dalam akademik mereka. Ketika mereka telah
banyak mengadakan seminar, harusnya semakin banyak wacana yang didapat. Artinya jika seorang
mahasiswa telah berbangga ketika berhasil membuat acara seminar tingkat internasional, tidak ada
bedanya mereka dengan event organizer semata. Sebuah keberhasilan yang semu. Karena mereka
tidak menghadapi kesulitan-kesulitan dalam mencari sumber dana, mencari peserta. Tetapi, di sisi lain
otak mereka kosong melompom. Hanya berisi pengetahuan-pengetahuan semu dan doktriner semata.
Alih-alih ingin menjadi mahasiswa yang cerdas, mereka hanya menjadi perpanjangan tangan untuk
mempertahankan status quo.
Seorang organisatoris tidak akan menghadapi persoalan yang rumit. Karena mereka terbiasa hidup
serba ada, hidup tanpa kesulitan. Ambil contoh, pada persoalan sumber dana dapat ditutup dengan
dana dari kampus, karena setiap tahun setiap organisasi di kampus mendapat dana tahunan yang bisa
digunakan untuk setiap agenda mereka. Kemudian, pada persoalan peserta, mereka tidak kesulitan
karena telah memiliki segmen mahasiswa dalam kampus sendiri. Pada satu kasus, bahkan pihak
kampus mewajibkan mahasiswanya untuk mengikut seminar tersebut, dengan atau tanpa
embel-embel ‘wajib’. Maka, mereka akan semakin jauh dari definisi ‘mahasiswa sebagai penyambung
lidah rakyat’ karena terbiasa hidup mudah tanpa kesulitan apapun.
Terdapat perbedaan secara prinsipil antara organisatoris dan aktivis. Organisatoris hanya semata
mampu membuat kegiatan hingga berhasil. Hasil dari organisatoris adalah mahasiswa-mahasiswa
yang pandai sebagai event organizer. Sedangkan aktivis, memiliki definisi yang dekat dengan istilah
‘penyambung lidah rakyat’. Karena seorang aktivis tidak semata mampu mengorganisir suatu kegiatan,
tetapi juga mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuai yang kita inginkan. Selain itu,
seorang aktivis juga harus cerdas dan solutif. Oleh karenanya harus kaya akan wacana dan paham
dengan persoalan nasional maupun lokal. Secara sederhana, tidak pernah ditemukan istilah seorang
organisatoris lingkungan, seorang organisatoris HAM. Tetapi selalu menggunakan kata aktivis. Karena
mustahil seorang aktivis berjarak dengan rakyat, apalagi jika hanya bisa menjadi event organizer
semata. Seorang aktivis harus menjadi corong, mampu mempengaruhi rakyat untuk mendukung
agenda mereka, dan juga harus cenderung pada keadilan dan mendukung orang atau kelompok yang
tertindas (mustadafhin). Dan tentu saja, seorang aktivis harus cerdas!
Maka, bagian mana kita akan menjadi: Seorang organisatoris? Atau seorang aktivis?[]

Anda mungkin juga menyukai