Anda di halaman 1dari 5

PERAN ORGANISASI DALAM

MEMBENTUK AGENT OF CHANGE BAGI


MAHASISWA

Disusun oleh :
EDO MAULANA ZARKASY
2210111067
ILMU HUKUM
KELAS C
BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2023
Organisasi adalah salah satu tempat dimana para mahasiswa dapat berkumpul,
dapat bertukar pikiran, bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Ada
berbagai macam organisasiyang biasanya ada di suatu kampus. Dan tentu untuk
masuk ke organisasi tersebut harus disesuaikan dengan minat dan bakat dari
mahasiswa. Pentingnya berorganisasi bagi mahasiswaini karena dengan
berorganisasi dapat mendapatkan banyak manfaat, dan akan merugi jika tidak
pernah sedikitpun mencicipi organisasi bagi seorang mahasiswa.Mahasiswa
berbeda dengan siswa. Mahasiswa berada pada level yang lebih tinggi dari siswa.
Tentu Banyak perbedaan antara siswa dengan mahasiswa. Mahasiswa memiliki
tanggungjawab yang lebih besar daripada siswa. Mahasiswa harus berperan aktif
dalam masyarakat. Mahasiswa harus lebih peka terhadap keadaan lingkungan
sekitar, keadaan teman,masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Agent of change adalah istilah yang di sematkan kepada mahasiswa. Istilah
tersebut punya arti bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Jumlah mahasiswa
Indonesia menurut kementrian riset, teknologi dan perguruan tinggi
(Menristekdikti) kurang lebih sebnyak 8,96 juta mahasiswa. Sebagai mahasiswa
dituntut lebih kreatif, lebih aktif. Mahasiswa artinya kita bukan sekedar siswa lagi
yang dulu sebagai anak sekolahan. Maha pada kata mahasiswa artinya sudah lebih
tinggi tingkatnya dari seorang siswa
Mahasiswa membawa perubahan di Indonesia tidak hanya saat akhir Orde Baru,
tetapi juga pada tahun-tahun sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa pada tahun
1928 yang tergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia) yang waktu itu kecewa terhadap perkembangan
kekuatan perjuangan di Indonesia dan situasi politik yang terjadi. Mereka
akhirnya membuat kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena
keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok
Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada
tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum
(Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa
Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11
Juli 1925. Dari kebangkitan kaum pelajar, mahasiswa, intelektual dan aktivis
pemuda inilah munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang melahirkan
Sumpah Pemuda pada tahun 1928, serta masih banyak aksi-aksi mahasiswa yang
membawa perubahan besar bagi Indonesia bahkan efeknya terasa hingga saat ini.
Mahasiswa yang memiliki gejolak dan semangat luar biasa, berani
mengungkapkan pendapatnya apabila tidak sesuai dengan apa yang mereka
anggap benar. Cara mereka mengungkapkan pendapat itu bisa berupa aksi unjuk
rasa maupun tindakan langsung dengan kesadaran diri masing-masing. Dari
sinilah peran mahasiswa sebagai agent of change dimulai. Mahasiswa sebagai
bagian dari masyarakat yang berjiwa intelektual, kritis dan peka terhadap
lingkungan selalu cepat tanggap dan sadar terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi di masyarakat. Dengan rasa peduli dan sosialisnya, mahasiswa berupaya
menangani masalah dengan gaya mereka sendiri yang cenderung cermat, simple,
tapi mengena dan pas di masyarakat itu sendiri. Misalnya seperti saat terjadi
konflik ataupun bencana alam, mahasiswa akan nekat terjun ke lokasi dan
memberikan bantuan dengan segenap tenaga dan kemampuan.
Mahasiswa berperan sebagai transportasi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi mereka. Beban dan tanggung jawab menjadi mahasiswa sangatlah besar.
Mahasiswa harus berani menyampaikan kebenaran tanpa menutupi kebohongan,
selalu meneriakkan keadilan, sehingga semua harapan rakyat dan juga janji manis
para politisi yang selalu berkoar dengan dalih demi kesejahteraan atas nama
rakyat bisa terealisasikan, bukan hanya sekedar omong kosong belaka.
Namun, itu semua hanya akan menjadi label yang hampa tanpa makna jika
mahasiswa tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat
dan negara. Sekian persen dari mahasiwa beberapa tahun belakangan ini sudah
kehilangan jati dirinya sebagai mahasiswa sejati. Mahasiswa bangga akan
gelarnya namun lupa akan tanggung jawabnya, ketika mahasiswa diming-iming
beasiswa yang memang menggiurkan, dengan antusias para hamba ilmu yang
numpang belajar di perguruan tinggi itu akan hanya melaksanakan tanggung
jawab akademis saja sekedar untuk mendapatkan IP yang tinggi.
Pulang-pergi kampus, menyelami seluruh isi perpustakaan dan mengisi penuh
otak mahasiswa dengan berbagai macam teori, baik dari ceramah dosen di kelas
maupun dari bertumpuk-tumpuk buku dan lembaran makalah yang menemaninya
setiap waktu. Tapi mahasiswa lupa bahwa tanggung jawab sebagai mahasiswa
tidak hanya tanggung jawab akademis saja. Mahasiswa mengacuhkan realita yang
ada di tempatnya mencari ilmu. Pada dasarnya sah-sah saja dan bahkan akan
menjadi suatu nilai plus jika para kaum terpelajar yang bernama mahasiswa dan
dipandang berkedudukan tinggi tersebut mampu menunjukkan bahwa ranah
kognitif mahasiswa yakni dari segi akademisijuga tinggi dan pantas untuk
dibanggakan (agent of intellectual).
Tetapi itu semua tidak berarti apa-apa, jika untuk kedepan, implementasinya
untuk lingkungan sekitar adalah kosong alias “nol besar”. Akan jauh lebih baik
jika mahasiswa itu belajar untuk aktif, kritis dan tanggap sejak dini, yakni dimulai
dari lingkungan kampus mahasiswa sendiri. Kampus adalah miniatur negara dan
warga kampus yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan karyawan adalah
masyarakat negara tersebut, mahasiswa hendaknya tidak lupa akan perannya
sebagai generasi harapan.
Ketika mahasiswa berikrar dalam sumpah mahasiswa “bertanah air satu, tanah air
tanpa penindasan”, maka kewajiban untuk membela dan memperjuangkan bangsa
yang selalu gandrung akan keadilan ini adalah hukum wajib. Sejak pelajar tercatat
sebagai mahasiswa, mahasiswa harus belajar peduli dengan kampusnya sendiri
dan itu semua tidak cukup hanya dengan kata-kata di lisan saja tetapi perlu
implementasi atau tindakan riil.
Mahasiswa bukan hanya sekedar agen perubahan seperti pahlawan tersebut,
mahasiswa sepantasnya menjadi agen pemberdayaan setelah peubahan yang
berperan dalam pembangunan fisik dan non fisik sebuah bangsa yang kemudian
ditunjang dengan fungsi mahasiswa selanjutnya yaitu social control, kontrol
budaya, kontrol masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah
adanya kezaliman. Mahasiswa bukan sebagai pengamat dalam peran ini, namun
mahasiswa juga dituntut sebagai pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa
dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan bagian masyarakat.

Idealnya, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan


pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku
disekitarnya, dan pola berfikirnya. Namun, kenyataan dilapangan berbeda dari
yang diharapkan, mahasiswa cenderung hanya mndalami ilmu-ilmu teori di
bangku perkuliahan dan sedikit sekali diantaranya yang berkontak dengan
masyarakat, walaupun ada sebagian mahasiswa yang mulai melakukan
pendekatan dengan masyarakat melalui program-program pengabdian masyarakat.
Mahasiswa yang acuh terhadap masyarakat mengalami kerugian yang besar jika
ditinjau dari segi hubungan keharmonisan dan penerapan ilmu. Dari segi
keharmonisan, mahasiswa tersebut sudah menutup diri dari lingkungan sekitarnya
sehingga muncul sikap apatis dan hilangnya silaturrahim seiring hilangnya
harapan masyarakat kepada mahasiswa. Dari segi penerapan ilmu, mahasiswa
ynag acuh akan menyianyiakan ilmu yang didapat di perguruan tinggi, mahasiswa
terhenti dalam pergerakan dan menjadi sangat kurang kuantitas sumbangsih ilmu
pada masyarakat.
Lalu jika mahasiswa acuh dan tidak peduli dengan lingkungan, maka harapan
seperti apa yang pantas disematkan pada pundak mahasiswa. Mahasiswa sebagai
iron stock berarti mahasiswa seorang calon pemimpin bangsa masa depan,
menggantikan generasi yang telah ada dan melanjutkan tongkat estafet
pembangunan dan perubahan. Untuk menjadi iron stock, tidak cukup mahasiswa
hanya memupuk diri dengan ilmu spesifik saja. Perlu adanya soft skill lain yang
harus dimiliki mahasiswa seperti kepemimpinan, kemampuan memposisiskan diri,
interaksi lintas generasi dan sensitivitas yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai