Anda di halaman 1dari 16

KEMAHASISWAAN

Oleh:

MUHAMMAD IZZAH DARAWAZAH


(200203500006)

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


FAKULTAS TEKNIK
PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF
2021
LATAR BELAKANG
1.1  Latar Belakang Masalah

Mahasiswa adalah salah satu elemen penting yang diharapakan dapat


melakukan perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan
negaranya. Menjadi mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata
untuk melakukan perubahan. Rasa idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah
seharusnya di dukung oleh seluruh masyarakat sebagai salah satu alat aspirasi
masyarakat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Namun melihat
fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan karakter para
mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang
menjadikan mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni
bagaimana cara mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di
perusahaan dengan mendapat gaji besar, bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa
bangga ketika mereka lulus dan bekerja di negara asing. Tidakkah mereka ingin
memberikan kontribusinya kepada bangsa ini? Mereka dididik di tanah air hanya
untuk melakukan perbaikan di negara lain. Sungguh itu merupakan realita yang
menyedihkan. Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat
dan rasa idealisme tinggi para mahasiswa kini menerapkan kurikulum-kurikulum
sekuler menjadikan mahasiswa disibukkan dengan kepentingan materi kuliah
sehingga mahasiswa tidak lagi peduli terhadap apa yang terjadi di lingkungan
mereka. Hal ini yang menjadikan mahasiswa Indonesia seperti hidup dalam
pemerintahan yang dikatator.

1.2  Rumusan Masalah


a.      Bagaimana peran mahasiswa dalam pelaksanaan perannya sebagai agen perubahan?
b.      Apa sajakah faktor penyebab mahasiswa menjadi peka terhadap berbagai permasalahan
kemasyarakatan?
c.      Apakah problematika yang menghambat pelaksanaan peran mahasiswa sebagai agen
perubahan?
d.      Bagaimana solusi atas problematika tersebut?

1.3  Tujuan
Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, makalah ini juga bertujuan untuk menyadarkan mahasiswa
akan betapa pentingnya peran mereka bagi kelangusungan hidup bangsa ini,
sehingga para mahasiswa tidak lagi mempunyai pola pikir yang lebih
mementingkan dirinya sendiri dengan sibuk mendapatkan nilai yang baik dan
lulus dengan baik, namun lebih daripada itu para mahasiswa haruslah lebih peka
terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan mereka. Begitu juga para
dosen yang sudah seharusnya lah memberikan keleluasaan mahasiswa untuk
menyatakan pendapat mereka dan tidak menilai mahasiswa dari satu sisi saja,
sehingga para dosen tidak hanya mencetak mahasiswa yang baik secara akademik,
terlebih secara sosial dan emosional.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Mahasiswa


Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa,
1997), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi.
Montogmery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau
universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam
mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih
keterampilan verbal dan kuantitatif, berfikir kritis dan moral reasoning.
Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua
sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual,
mahasiswa harus mampuu untuk berfikir kritis terhadap kenyataan sosial,
sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko
yang akan menimpa dirinya (Djodjodibroto, 2004). Mahasiswa dalam
perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang
usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia, dkk. (2007), usia ini
berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa
muda atau young adulthood. Pada usia ini, perekembangan individu ditandai
dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah
mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya.
Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar
dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam
menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa
itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja
atau disibukkan oleh kegiatan kemahasiswaan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peran Mahasiswa


Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa
merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan.  Tumbangnya Orde Lama
tahun 1966, Peristiwa  Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada
runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di
Indonesia.  Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan
dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran
dan keadilan. Kaum minoritas berintelekual ini sebenarnya merupakan tulang punggung
pembangun bangsa dan negara menuju perubahan kearah yang lebih baik lagi.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul
dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin
luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman
peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor. Kegagalan pemahaman
tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap, gaya hidup, pencapaian cita-cita yang
tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi
mencerminkan dan tidak terarah terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam
pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini wajar
adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Paham-paham
seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian
jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang
jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah kehidupan selanjutnya.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi atau
kelompok mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan tersebut sangat minim dengan keilmuan,
perjuangan dan tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan
untuk merubah keadaan atau setidaknya menyadarkan identitas sebagai mahasiswa.
Sehingga yang terjadi justru mahasiswa yang diatur oleh keadaan dan mereka telah
melupakan jati dirinya. Padahal masa depan negara ini menjadi pengaruhnya.

3.2 Mahasiswa sebagai Agen Perubahan


Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia
merupakan calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change dimasyarakat dan
dapat resisten terhadap berbagai macam godaan yang merubah polapikir mahasiswa saat
ini. Mahasiswa yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam
saat ini merupakan the real education pendidikan yang penuh warna dan pertarungan
pembentukan jati diri dengan intelktualitas cara berpikir.
Sistem yang telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini mampu
menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiata-kegiatan ilmiah, tanggungjawab dan
kepekaan terhadap kondisi sosial mahasiswa telah menjadi budaya mahasiswa seperti
kegiatan diskusi, kajian, seminar, emgontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial
hilang dalam kehidupan mahasiswa.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik,
mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan
masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami
pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara
angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui
akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai
golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan
akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok
elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran,
perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil
dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan
energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik
melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian.  Kedua,
sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.  Kedua potensi sumber daya
tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga
lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua
perguruan tinggi.
Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara tepat
digambarkan Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok yang selalu
tampil mewarnai sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai kekuatan korektif
terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kedua, Sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan
menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan
atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah
kemajuan.
Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa, atau
pun kaum terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian diperankan juga
oleh generasi berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal
bahwa saat ini semakin dirasakan menurunnya daya pengaruh gerakan mahasiswa
terhadap perubahan masyarakat umumnya, maupun terhadap proses pengambilan
keputusan. Setelah berhasil menggulingkan lokomotif rezim otoriter Orde Baru, Suharto,
perubahan substansial dari cara-cara Orde Baru tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Bahkan yang timbul adalah kecenderungan berbedanya arah gerakan sebagian
mahasiswa dengan apa yang tengah diperjuangkan masyarakat lewat lembaga politik
formalnya. Tentu saja realitas ini tidaklah dilihat dalam term “benar salah”, sebab hal
tersebut lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari proses perubahan masyarakat itu
sendiri.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering
dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan
Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis
Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai
identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas.
Fenomena penting yang ada kaitannya dengan lembaga kemahasiswaan, yaitu gejala
lebih berminatnya mahasiswa terhadap lembaga lembaga non-afiliatif . Bagian ini
secara lebih khusus tetapi singkat menyoroti soal kelembagaan itu. Dalam konteks ini
secara sederhana dikedepankan dua problematika yang saling mengait, yang berhubungan
dengan kelembagaan mahasiswa.
Problematika pertama menyangkut gejala ‘diskontinuitas’ sumber cumber
rekruitment kader pimpinan dengan ladang ‘orbitasi’ kader. Selama ini, setuju atau tidak,
sumber-sumber rekruitment kader pimpinan mahasiswa yang potensial adalah organisasi
mahasiswa ekstra universiter/institutes, sernentara ladang orbitasi kader yang subur
adalah lembaga kemahasiswaan intra universiter/institutes. Keadaan ini berjalan secara
baik dan dinamis sampai sekitar awal 1978, ketika pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan NKK/BKK. Lepas dari maksud kependidikan yang menyertainya, tidak
dapat diingkari bahwa pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, terutama proses
restrukturisasi lembaga kemahasiswaan membawa dampak yang luas, yang langsung
menyebabkan ladang orbitasi yang subur itu semakin kurus saja. ‘Zat zat hara’ yang
selama ini menggemukkan dinamika mahasiswa, semakin dikuras. Pada saat berikutnya,
sumber cumber rekruitment yang potensial ikut mengalami nasib yang serupa. Lembaga
kemahasiswaan ekstra universiter semakin diciutkan peranannya.
Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika pertama,
yakni semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’
kepentingan kepentingan lain yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita bayangkan
runyamnya keadaan, jika di satu sisi para kader tidak lagi dipersiapkan di sumber-sumber
rekruitment secara terkonsentrasi, sementara ladang orbitasi pun tidak lagi terlalu subur.
Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi restrukturisasi lembaga kemahasiswaan yang
dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk mencegah konsentrasi mahasiswa di tingkat
universitas dan antaruniversitas sebagai suatu kekuatan pendobrak. Jadi sangat politis.
Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di samping tereliminasinya salah satu substansi
pembangunan pendidikan yaitu pembentukan kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa
ke dalam puluhan atau bahkan ratusan lembaga non afiliatif yang justru membuat
kerepotan baru bagi para penentu kebijaksanaan politik pendidikan
Kondisi saat ini,    GM mengambil posisi dan menciptakan isu yang berbeda-beda
tanpa dikawal oleh semangat sebuah mainstream utama. Sehingga ketika akan melakukan
reposisi, seharusnya mengagendakan main stream utama dari isu-isu yang akan digagas
dan perjuangkan oleh masing-masing organ. Sampai saat ini menurut hemat saya, main
stream yang memungkinkan melakukan konsolidasi sekaligus perjuangan  demokrasi 
yakni bagaimana melakuklan proses pemberdayaan atau penguatan terhadap peran rakyat
yang selama ini terpinggirkan oleh dua kekuatan besar, yakni Oligarki Negara dan
Imperialisme Neo Liberal. Dengan kata lain agenda besarnya dalah radikalisasi peran
rakyat agar lebih berdaulat.
3.3 Radikalisasi Peran Rakyat
Salah satu yang menjadi problem besar dari demokratisasi di Indonesia adalah tidak
ketidakmampuan rakyat bersikap secara mandiri, rasional dan kritis dalam melihat
permasalahan bangsanya. Rakyat tidak memiliki kekuatan yang utuh dan hegemonik
untuk melakukan perlawanan menuju kemandirian dan kebebasan bersikap. Sebagian
masyarakat kita masih memiliki nalar pragmatisme yang cukup akut. Salah satu
indikasinya adalah ketika menentukan hak-hak politiknya dan pilihan politiknya kepada
partai politik, rakyat tidak berangkat dari sebuah pemahaman yang utuh tentang makna
dan fungsi partai politik, visi partai politik beserta calegnya. Pilihan dan sikap politik
tidak berangkat dari kesadaran kritis. Sehingga kita sulit menemukan masyarakat yang
secara sukarela bergerak dalam aktivitas dukung mendukung kepentingan politik tertentu
(Peserta Pemilu). Mereka akan bergerak kalau dibayar, diberikan dukungan materi yang
membuat hidup mereka senang dan survive.
Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh gerakan Pro Demokrasi termasuk
dalam halnya GM akan tertolak oleh pragmatisme masyarakat, karena mereka tidak
memerlukan gagasan-gagasan yang berat dan bagi mereka utopis. Mereka berprinsip
bagaimana saya bisa makan dan kenyang hari ini. Sehingga tidak mengherankan, ketika
kekuatan orde baru mencoba mengajak masyarakat mengingat kembali kemakmuran
semu yang dibangun oleh Suharto, masyarakat langsung tersadarkan dan merasa rindu
dengan kondisi ketika Suharto berkuasa.
Di sinilah mainstream penguatan, penyadaran dan pendidikan politik rakyat sebagai
bagian dari proses radikalisasi peran rakyat menjadi penting. Ada beberapa alasan
mainstream ini menjadi fokus Pertama, Kran demokratisasi yang mulai terbuka lebar
pasca lengsernya Suharto, yang diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, tidak
diiringi oleh mental dan sikap yang demokratis. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang
oleh rasionalitas, kekritisan dan kemandirian berpikir dan bersikap. Sehingga
Demokratisasi yang muncul adalah anarkisme, kekerasan, perpecahan tapi bukan
perubahan yang paradigmatik dan konstruktif.
Kenyataan tersebut diperparah oleh faktor kedua yakni semakin menguatnya
penjajahan yang dilakukan kapitalisme dengan Neo Liberal nya. Kapitaslime
menawarkan dan meninabobokan masyarakat dengan cara menggembor-gemborkan sikap
hidup yang hedonis, serba mewah dan menempatkan materi di atas segala-galanaya.
Semua level masyarakat, berkompetisi untuk meraih materi sebanyak-banyaknya dan
bersaing untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang layak. Kapitalisme menjadikan
segala sesuatu harus dihargai dengan materi. Sehingga tidak mungkin mangajak apalagi
menggerakkan masyarakat yang sedang kelaparan untuk memikirkan format serta
bangunan demokratisasi di Indonesia. Masyarakat dengan kungkungan kapitalisme, tidak
memiliki ruang-ruang berpikir rasional dan  kritis.
Faktor ketiga, Ketergantungan masyarakat kepada kaum kapital itu diperparah lagi
oleh pragmatisme negara dalam memberikan ruang pastisipasi secara sehat kepada
masyarakat. Negara gagal dalam menciptakan ruang-ruang berpikir rasional kepada
masyarakat, akan tetapi justru sebaliknya negara mempertontonkan sikap dan budaya
kapitalistik dan feodalistik dalam mengurus negara. Fenomena Korupsi dan Nepotisme
menunjukkan betapa negara tidak pernah memiliki keberpihakan terhadap rakyat.
Birokrasi yang kaku dan korup yang diperagakan negara tidak memberi ruang partisipasi
yang sehat di tengah ruang demokrasi yang seharusnya mengalami keterbukaan. Negara
lewat kebijakan-kebijakan  dan Undang-undangnya kebih banyak memihak kepada kaum
kapital daripada memberdayakan masyarakat.
Sementara itu sistem politik saat ini sama sekali tidak memberikan jalan alternatif
untuk keluar dari permasalahn-permasalahan di atas. Partai Politik sebagai salah satu
instrumen dan infrastruktur demokrasi, gagal melakukan pendidikan dan komunikasi
politik yang sehat kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa partai politik yang sangat
memamfaatkan, kebodohan, ketidakberdayaan serta irrasonalitas masyarakat pemilihnya.
Karena dengan demikian mereka begitu mudah mendapat dukungan hanya dengan
memberikan masyarakat kepuasan materi, tapi tidak menjalankan kewajibannya yakni
melakukan pendidikan politik
Dari ekplorasi di atas, maka Reposisi Gerakan Mahasiwa Pasca Pemilu 2004
adalah dengan mengagendakan penguatan basis dan radikalisasi peran rakyat
dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia.
3.4 Faktor-faktor Penyebab Lunturnya Gerakan Mahasiswa
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan mahasiswa.
Pertama, lunturnya ideologi gerakan. Saat ini gerakan mahasiswa telah
kehilangan ideologi sehingga stigma mahasiswa yang terjun di berbagai
organisasi kampus baik intra maupun eksra sudah mengalami titik kejenuhan dan
kebosanan. Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme serta responsbility
aktivis mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan
mahasiswa mengalami disorientasi . 

Kedua, gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar


dalam mengawal perubahan. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan
mahasiswa lewat berbagai aksi demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan
yang signifikan. Suara mahasiswa sebagai manifestasi suara rakyat sudah tidak
mempan dalam melakukan kritik serta kontrol terhadap kinerja pemerintah. Hal
itulah yang pada akhirnya menjadikan gerakan mahasiswa menjadi semakin
tumpul.

Ketiga, sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis. Gerakan
mahasiswa selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi
seorang aktivis kampus bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena
dianggap sebagai batu sandungan dalam meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu
tidak mengherankan jika saat ini jumlah aktivis kampus semakin sedikit.

Keempat, adanya tindakan represif dari pemerintah. Sebagai langkah preventif


untuk menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini pemerintah lebih memilih
tindakan yang represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat pemerintah
untuk mencegah aksi dan gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika
gerakan mahasiswa menjadi melemah karena adanya rasa takut akan eksistensi
dan keselamatan jiwa para aktivis. 
Kelima, minimnya dukungan dari masyarakat. Gerakan mahasiswa yang
sering berakhir dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa melakukan
pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi
demonstrasi menjadikan citra mahasiswa menjadi menurun di mata masyarakat.
Hal tersebut mengakibatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap
gerakan mahasiswa semakin memudar. Keenam, adanya politik kepentingan
mahasiswa. Saat ini orientasi mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi
murni berjuang demi kepentingan rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya
politik kepentingan. Hal itulah yang menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi
pragmatis, dan hanya memikirkan soal untung-rugi. 
3.5 Mambangkitkan Peran Pergerakan Mahasiswa
A. Mengasah Kemampuan Reflektif
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah
kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan
karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya
refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual
melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan
pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan
daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang
berhasil kita asah. Karena itu, faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat
penting untuk ditekuni oleh setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.
B. Membangun Kebiasaan Bertindak Efektif
Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri
dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja
dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana,
‘public discourse’, tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”,
“Never Action, Talking Only” seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus
amatir negara miskin. Kaum muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak
bekerja dan bertindak secara efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang
nyata.
C. Melatih Kemampuan Kerja Teknis
Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda
kita ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”,
bukan semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak.
Dalam suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah
politik di kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan,
biasanya berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat
umum dan abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-
ruang publik biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba
enak didengar dan indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat
umum dan abstrak itu baru bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia
dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang rinci.
Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan,
hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar
dapat menjamin benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara
kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya
pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan
kemampuan teknis, ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan
ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Peran mahasiswa bagi bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan
dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai perannya
dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia, peran tersebut adalah sebagai
generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu
kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan
perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan
memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa
Indonesia baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar
negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa
Indonesia, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh
mahasiswa Indonesia.
4.2 Saran
Pada bagian ini penyusun ingin mengajak yang dalam hal ini ditujukan kepada para
generasi muda pelajar dan mahasiswa, para Dosen dan Guru, seluruh elemen pemerintah
baik yang ada di daerah maupun yang ada di pusat serta seluruh lapisan masyarakat
Indonesia secara luas agar tetap bersatu demi mempertahankan keutuhan NKRI.
Terkadang masalah sepele akan menjadi kompleks jika tidak ada solidaritas di antara
sesama kita. Penyusun berharap tak akan ada lagi perselisihan di negeri kita tercinta
sehingga cita-cita bangsa Indonesia akan tercapai.
Pepatah dalam bahasa Inggris mengatakan Student Today, Leader Tomorrow.
Penyusun meyakini bahwa kunci tercapainya cita-cita itu ada di tangan para generasi
muda. Oleh karena itu, tetaplah semangat dalam meraih apa yang telah menjadi tujuan
hidup kita.
DAFTAR PUSTAKA

Zubaidi Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.


Yogyakarta:
Paradigma.
Diktat Kuliah.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf
http://fauzulandim.blogspot.com/2012/11/membangkitkan-spirit-gerakan-mahasiswa.html

Anda mungkin juga menyukai