Anda di halaman 1dari 11

1.

Latar Belakang

Mahasiswa adalah salah satu elemen penting yang diharapakan dapat melakukan
perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negaranya. Menjadi
mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata untuk melakukan perubahan. Rasa
idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah seharusnya di dukung oleh seluruh masyarakat
sebagai salah satu alat aspirasi masyarakat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik.
Namun melihat fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan
karakter para mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang
menjadikan mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni bagaimana
cara mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di perusahaan dengan mendapat
gaji besar, bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa bangga ketika mereka lulus dan bekerja di
negara asing. Tidakkah mereka ingin memberikan kontribusinya kepada bangsa ini? Mereka
dididik di tanah air hanya untuk melakukan perbaikan di negara lain. Sungguh itu merupakan
realita yang menyedihkan.
Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat dan rasa idealisme tinggi
para mahasiswa kini menerapkan kurikulum-kurikulum sekuler menjadikan mahasiswa
disibukkan dengan kepentingan materi kuliah sehingga mahasiswa tidak lagi peduli terhadap
apa yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini yang menjadikan mahasiswa Indonesia seperti
hidup dalam pemerintahan yang dikatator
2. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana peran mahasiswa dalam pelaksanaan perannya sebagai agen perubahan?


2.  Apa sajakah faktor penyebab mahasiswa menjadi peka terhadap berbagai permasalahan
kemasyarakatan?
3.     Apakah problematika yang menghambat pelaksanaan peran mahasiswa sebagai agen
perubahan?
4.      Bagaimana solusi atas problematika tersebut?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai persyaratan wajib untuk mengikuti PKD yang di
adakan oleh PMII Komisariat STIMIK Handayani.
PEMBAHASAN
Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan
salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan.  Tumbangnya Orde Lama tahun 1966,
Peristiwa  Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru
tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.  Sepanjang itu pula
mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan
energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Kaum minoritas
berintelekual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara
menuju perubahan kearah yang lebih baik lagi.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul
dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur
dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman peran dan
fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari
adanya penyimpangan sikap, gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari
usaha nyata dan integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak
terarah terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam
pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini wajar
adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Paham-paham seperti
ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya.
Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan
kebingungan dalam menentukan arah kehidupan selanjutnya.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi atau kelompok
mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan tersebut sangat minim dengan keilmuan, perjuangan dan
tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah keadaan
atau setidaknya menyadarkan identitas sebagai mahasiswa. Sehingga yang terjadi justru
mahasiswa yang diatur oleh keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa
depan negara ini menjadi pengaruhnya.

B.     Mahasiswa sebagai Agen Perubahan


Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia merupakan
calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change dimasyarakat dan dapat resisten
terhadap berbagai macam godaan yang merubah polapikir mahasiswa saat ini. Mahasiswa
yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam saat ini
merupakan the real education pendidikan yang penuh warna dan pertarungan pembentukan
jati diri dengan intelktualitas cara berpikir.
Sistem yang telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini mampu
menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiata-kegiatan ilmiah, tanggungjawab dan kepekaan
terhadap kondisi sosial mahasiswa telah menjadi budaya mahasiswa seperti kegiatan diskusi,
kajian, seminar, emgontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial hilang dalam kehidupan
mahasiswa.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan :
1.      Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai
pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat.
2.      Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah
mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda.
3.      Kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi
diantara mereka.
4.      Mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur
ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah
kelompok elit di kalangan kaum muda.
5.      Seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai
masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian
mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi
pendorong gerakan mereka :
1.      Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-
kelompok diskusi dan kajian.  Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas
mahasiswa.
2.      Potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam
kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di
hampir semua perguruan tinggi.
Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara tepat
digambarkan Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok yang selalu
tampil mewarnai sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai kekuatan korektif
terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua,
Sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan
kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh
mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa, atau pun
kaum terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian diperankan juga oleh
generasi berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa saat
ini semakin dirasakan menurunnya daya pengaruh gerakan mahasiswa terhadap perubahan
masyarakat umumnya, maupun terhadap proses pengambilan keputusan. Setelah berhasil
menggulingkan lokomotif rezim otoriter Orde Baru, Suharto, perubahan substansial dari cara-
cara Orde Baru tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan yang timbul adalah
kecenderungan berbedanya arah gerakan sebagian mahasiswa dengan apa yang tengah
diperjuangkan masyarakat lewat lembaga politik formalnya. Tentu saja realitas ini tidaklah
dilihat dalam term “benar salah”,  sebab hal tersebut lebih merupakan suatu konsekuensi logis
dari proses perubahan masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan
ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam),
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah),
HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena
sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak
wacana dan strategi perjuangan yang khas.
Problematika pertama menyangkut gejala ‘diskontinuitas’
sumber cumber rekruitment kader pimpinan dengan ladang ‘orbitasi’ kader. Selama ini,
setuju atau tidak, sumber-sumber rekruitment kader pimpinan mahasiswa yang potensial
adalah organisasi mahasiswa ekstra universiter/institutes, sernentara ladang orbitasi kader
yang subur adalah lembaga kemahasiswaan intra universiter/institutes. Keadaan ini berjalan
secara baik dan dinamis sampai sekitar awal 1978, ketika pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan NKK/BKK. Lepas dari maksud kependidikan yang menyertainya, tidak
dapat diingkari bahwa pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, terutama proses restrukturisasi
lembaga kemahasiswaan membawa dampak yang luas, yang langsung menyebabkan ladang
orbitasi yang subur itu semakin kurus saja. ‘Zat zat hara’ yang selama ini menggemukkan
dinamika mahasiswa, semakin dikuras. Pada saat berikutnya,
sumber cumber rekruitment yang potensial ikut mengalami nasib yang serupa. Lembaga
kemahasiswaan ekstra universiter semakin diciutkan peranannya.
Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika pertama, yakni
semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’ kepentingan kepentingan lain
yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita bayangkan runyamnya keadaan, jika di satu
sisi para kader tidak lagi dipersiapkan di sumber-sumber rekruitment secara terkonsentrasi,
sementara ladang orbitasi pun tidak lagi terlalu subur. Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi
restrukturisasi lembaga kemahasiswaan yang dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk
mencegah konsentrasi mahasiswa di tingkat universitas dan antaruniversitas sebagai suatu
kekuatan pendobrak. Jadi sangat politis. Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di samping
tereliminasinya salah satu substansi pembangunan pendidikan yaitu pembentukan
kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa ke dalam puluhan atau bahkan ratusan
lembaga non afiliatif yang justru membuat kerepotan baru bagi para penentu kebijaksanaan
politik pendidikan
C.    Faktor-faktor Penghambat Lunturnya Pergerakan Mahasiswa sebagai Agen
Perubahan
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan mahasiswa yakni ;
1.      lunturnya ideologi gerakan
Saat ini gerakan mahasiswa telah kehilangan ideologi sehingga stigma mahasiswa yang
terjun di berbagai organisasi kampus baik intra maupun eksra sudah mengalami titik
kejenuhan dan kebosanan. Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme
serta responsbility aktivis mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan
mahasiswa mengalami disorientasi . 
2.      Gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar dalam mengawal
perubahan
Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan mahasiswa lewat berbagai aksi
demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan yang signifikan. Suara mahasiswa sebagai
manifestasi suara rakyat sudah tidak mempan dalam melakukan kritik serta kontrol terhadap
kinerja pemerintah. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan gerakan mahasiswa menjadi
semakin tumpul.
3.      Sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis
Gerakan mahasiswa selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi
seorang aktivis kampus bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena dianggap sebagai
batu sandungan dalam meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika
saat ini jumlah aktivis kampus semakin sedikit.
4.      Adanya tindakan represif dari pemerintah
Sebagai langkah preventif untuk menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini
pemerintah lebih memilih tindakan yang represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat
pemerintah untuk mencegah aksi dan gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika
gerakan mahasiswa menjadi melemah karena adanya rasa takut akan eksistensi dan
keselamatan jiwa para aktivis. 
5.      Minimnya dukungan dari masyarakat
Gerakan mahasiswa yang sering berakhir dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa
melakukan pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi
demonstrasi menjadikan citra mahasiswa menjadi menurun di mata masyarakat. Hal tersebut
mengakibatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa semakin
memudar.
6.      Adanya politik kepentingan mahasiswa
Saat ini orientasi mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi murni berjuang demi
kepentingan rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya politik kepentingan. Hal itulah yang
menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, dan hanya memikirkan soal untung-
rugi. 
D.    Mambangkitkan Peran Pergerakan Mahasiswa
1.      Mengasah Kemampuan Reflektif
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan
reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya
agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun
berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan
teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah
masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang
kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu,
faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak
bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.
2.      Membangun Kebiasaan Bertindak Efektif
Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan
kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang
nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, ‘public discourse’,
tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking
Only” seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum
muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara
efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.
3.      Melatih Kemampuan Kerja Teknis
Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita
ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”, bukan
semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam
suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di
kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya
berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan
abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik
biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan
indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru
bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan
yang rinci.
Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah
melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin
benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan.
Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana,
tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis,
ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam
kehidupan kebangsaan kita ke depan.
Pengertian Mahasiswa menurut sudut pandang PMII
Mahasiswa adalah sebuah title yang disandang oleh seorang akademisi kampus yang mempunyai
jiwa idealisme, mempunyai dasar pemikiran yang kritis, teoritis serta sitematis sehingga tampil
sebagai individu yang profesioanal dan siap diaplikasikan di masyarakat. Idealisme adalah
suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.[3]
Dalam AD PMII BAB III Pasal 3 PMII mempunyai sifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan,
kemasyarakatan, independen dan profesional[4]. Jadi Mahasiswa PMII harus mempunyai sifat
religius, nasionalis, populis, mandiri dan tampil sebagi kader yang profesional. Agar
bermanfaat sepanjang jaman dan sesuai perdaban dan dimanapun berada.
Hak-Hak Mahasiswa
Hak adalah sebuah kekayaan yang melekat pada individu yang boleh diminta oleh individu
tersebut. Hak-hak mahasiswa sudah melekat sejak mereka resmi terdaftar menjadai
mahasiswa disebuah perguruan tinggi, hak-hak tersebut merupakan suatu yang ditawarkan oleh
perguruan tinggi sehinga mahasiswa menjadi tertarik memilih perguruan tinggi tersebut,
antara lain:
 Mengunakan fasilitas yang di sediakan kampus
 Memperoleh pembinaan dan pelajaran.
 Mendapatkan bekal yang mumpuni untuk digunakan di masyarakat.
 Mendapat pengakuan legalitas dari kampus untuk digunakan di masyrakat.
 Dls.
Kwajiban Mahasiswa
Diasamping hak-hak mahasiswa yang telah disebutkan diatas mahasiswa juga mempunyai
tangung jawab sebagai insan yang tinggi derajatnya di masyarakat. Mahasiswa digadang-gadang
menjadi inisiator dalam pembangunan dan kesejahteraan rakyat RI. Masyarakat tengah
menunggu peran dan fungsi atas keberadaan mahasiswa. Peran Mahasiswa antara lain:
a. Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”
Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia
tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan
generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan
bangsa untuk masa depan[5]. Sesuai dengan tujuan PMII yaitu Terbentuknya pribadi muslim
Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung
jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia[6].
b. Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”
Perkembangan zaman sudah tak terelakkan, globalisasi dan modernitas sudah menjadi candu
setiap pemuda. Sejalan dengan hal tersebut Kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini sudah mulai
surut, dahulu pemuda Indonesia sangat sopan dan menghargai yang lebih tua sekarang tak ada
beda antara tua maupun muda, tidak hormat pada pimpinan, moral dan tata cara berpakaian
pemuda dahulu elegan sopan dan terlihat anggun sekarang terlihat menawan dan merangsang,
dahulu dijalanan orang gila aja berpakaian sekarang orang waras malah telanjang, Apakah Itu
sebuah kebenaran? Semua yangdi anggap wajar adalah suatu kebenaran.
Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di
masyarakat. Nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak ada
keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu jelaslah bukan hasil dari pragmatisme, nilai itu haruslah
bersumber dari suatu dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.[7]
c. Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”
Pemuda adalah tulang punggung Negara, perkembangan dan pertumbuhan negara tergantung
pada pemudanya dan kerusakannyapun tergantung pada pemudanya. Karena pemuda adalah
penerus perjuangan kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat, maka dari itulah pemuda
harus melakukan perubahan–perubahan untuk lebih baik dengan mengunakan daya fikir dan
keilmuannya, tanpa usaha tujuan tidak akan tercapai seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an;
”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”[8]
d. Mahasiswa Sebagai “ Agent Of Sosial Control”
Hari ini permasalahan yang di hadapai Indonesia adalah ketidak sesuaian antara keinginan
masyarakat (publik) dan keinginan para Stake holder. Ketimpangan kepentingan ini adalah
sebuah sebuah masalah yang harus di selesaikan. Jangan sampai disaat pejabat kaya raya
masyarakat sengsara.
Titik permasalahannya adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah atau lebih uum
dikenal dengan kebijakan Publik. Menurut Lester dan stewart kebijakan Publik merupakan
kebijakan yang dibuat oleh institusi otoritatif yang ditunjukan dan berdampak kepada publi
serta ditunjukan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik.[9]
Disinilah peran mahasiswa dibutuhkan, siapa lagi yang mampu menjembatani kepentingan dan
cita-cita kemerdekaan RI untuk kesejahteraan masyarakat RI selain kaum intelektual?
Mahasiswa harus tampil diantara Stake holder dan Masyarakat. Kelompok intelektual kampus
dan non kampus, adalah aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, baik dalam agenda setting
dan evaluasi, serta membentuk opini publik dengan relatif dan objektif[10]. Jika masyarakat
menginginkan sesuatu harus mahasiswa yang menjelaskan pada pemerintah dan ketika
pemerintah membuat kebijakan mahasiswalah yang harus menjelaskan kepada masyarakat,
sudah tepatkah kebijakan tersebut, apa alasan kebijakan tersebut dan bagaimana hasilnya.
Dan ketika kebijakan itu merugikan masyrakat mahasiswalah yang harus menjelaskan dan
memberikan solusi pada pemerintah.

Realitas Kemahasiswaan
Mahasiswa menyadari bahwa mereka adalah ” Lapisan Paling Maju ” dan dengan
demikian menentukan watak kepemimpinan bangsa di masa depan yang
bertanggungjawab terhadap transformasi sosial dalam skala besar. Kesadaran yang
sudah menyatu dengan aliran darah setiap generasi muda bangsa, kian lama akan
mengkristal menjadi perlawanan tak kenal lelah. Dialektika sejarahpun mendorong
terbentuknya pemahaman untuk gerak bersama, menentukan langkah dalam
menghadapi tantangan global dan nasional.
Sampai saat ini, kita sering menyaksikan meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa
dalam melancarkan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah maupun sekedar aksi
solidaritas yang di tujukan untuk membangkitkan semangat melawan bentuk-bentuk
kekerasan, baik dalam maupun luar negeri. Bukan hanya itu, arus besar hiruk pikuk
perselingkuhan sebagian aktifis mahasiswa dengan kepentingan politik praktis, yang
ternyata
justru menyurutkan moralitas sebagian mahasiswa Indonesia, termasuk aktivis PMII
dalam ” Menaklukkan Monster Kampus” maupun penjahat yang membungkus
idealisme dengan Pragmatisme.
Dalam konteks inilah PMII di tuntut untuk melakukan pengamatan dan pembacan
global serta melancarkan aksi-aksi strategis guna mengkontrol jalanya roda
pemerintahan dan menggiring pada terwujudnya cita-cita reformasi.
Berbarengan dengan proses pematangan kesadaran politis dan militansi melakukan
aksi-aksi langsung ini, PMII menghadapi beberapa soal sehubungan dengan
kelanjutan gerakan dan militansi perjuangan. Dimana beberapa kelompok melihat
mutlaknya kebutuhan untuk bergabung dengan sektor-sektor lain di masyarakat
seperti buruh, tani dll, karena menyadari predikat PMII yang disini adalah mahasiswa
bukanlah sebagai kelas yang tersendiri dari masyarakat.
Masalah lain seperti; pematangan diri secara organisasional, kaderisasi, hubungan
antar kelompok mahasiswa, prioritas issue yang mau di angkat juga menuntut untuk
segera di selesaikan. Belum lagi menyikapi kelompok-kelompok politis tertentu yang
kadang menggunakan tawar-menawaran ( wani piro ??? ) yang ”menggoda” yang
justru menghancurkan independensi gerakan dan atau moral yang tentu saja ada di
tiap mahasiswa; tentang kehadiran di ruang kuliah, ujian semester, SKS minimal yang
harus di penuhi, tugas-tugas kuliah, dan masalah akademis lain, adalah hal esensial
yang tidak bisa di hindari dengan alasan-alasan politis seperti diatas, yang mana hal
tersebut merupakan persoalan yang membelit gerakan saat ini.
Dari sebuah kenyataan diatas muncul hal yang menggelisahkan dalam
perkembangan gerakan dalam konteks eksternal, gerakan sosial politik
mengkondisikan gerakan mahasiswa dalam posisi yang nyaris mengalami
disorientasi. Tidak tahu lagi apa yang mau di lakukan, kesulitan melakukan
kontekstualisasi dalam konstelasi politik nasional yang begitu cepat mengalami
pergeseran. Banyak issue-issue kritis yang di respon dan pada akhirnya terjebak pada
issue-issue mikrokospis. Dalam konteks internal di hadapkan oleh fenomena
dekonsolidasi organisasi yang membuat kita begitu sulit mematerialkan aganda-
agenda gerakan, cairnya organisasi, problem kaderisasi, dan lemahnya konsolidasi
gerakan yang membuat ketidaksinergisan gerak, kondisi ini mengalami proses
percepatan hingga
terkapar” kehilangan basis moralitas karena berselingkuh dengan politik kekuasaan.
Sehingga membatasi secara stuktural dinamika gerakan.
Di sinilah peran PMII, dimana sebagai satu organ gerakan mahasiswa yang memiliki
legitimasi moral memimiliki tanggung jawab untuk mentransformasikan ke tengah
publik dimana dalam lingkar hiruk pikuk politik nasional yang serba membodohkan
dan gemparan kekuatan modal global yang menggerogoti moral resources kita. Maka
PMII harus menyiapkan kader yang militant dan bermoral yang di bekali kekuatan
kepemimpinan
memadai dan sesekali melancarkan serangan sporadik terhadap kebijakan yang tidak
populis dan menjadikannya sebagai program minimalis gerakan.
Ada beberapa point yang perlu menjadi catatan PMII Kota Semarang dalam
mengembangkan gerakan yang akan datang yaitu;
 Bangunan jaringan yang ada selama ini kebanyakan hanya masih berkutat pada
”kelompok” internal atau dalam lingkungan NU baik dari partai politik, LSM
ataupun stakeholder person yang masih dekat dengan NU. PMII belum secara
luas membangun jejaring luar yang sebenarnya juga banyak berpengaruh dalam
perubahan di masyarakat.
 Memahami positioning PMII diluar juga harus dimaknai sebagai warring
position (arena pertarungan). Dalam arena ini PMII maupun kadernya secara
langsung ataupun tidak pasti bertarung dengan entitas lain baik dalam eksistensi
organ, wacana berpengetahuan maupun dalam proses perubahan yang dicita-
citakan. Disinilah kader PMII harus mulai memahami rule of the game yang harus
dilakukan agar sesuatu tujuan dapat tercapai dengan maksimal.
 Relasi yang seharusnya dibangun oleh PMII juga harus melihat kapasitas internal
yang dimiliki PMII, sehingga jejaring yang dibangun akan mempunyai struktur
pondasi yang kuat dan strategis.
 Dalam proses “ada” dan ”hadir” bagi masyarakat, PMII harus menemukan wilayah
mana yang akan menjadi orientasi gerakan dengan melihat kemampuan wilayah
garapan. Apakah wilayah advokasi kebijakan publik (dalam kasus-kasus tertentu,
seperti advokasi Pedagang Kaki Lima, advokasi Penggusuran, buruh dan lainnya)
ataukah organisir massa yang berkutat dalam wacana intelektual tanpa ada gerakan
yang nyata.
 Media massa yang selama ini menjadi salah satu stakeholder kuat dalam
proses perubahan dalam masyarakat, karena dapat mempengaruhi publik dengan
dasyat, ternyata belum menjadi garapan yang serius dari PMII. Realitas ini terbaca
dari
lemahnya jejaring yang dipunyai PMII dari kalangan media massa, sehingga ”pesan”
yang ingin disampaikan kepada masyarakat tidak terjangkau secara luas.
PMII sebagai salah satu stakeholder pergerakan harus dapat maksimal membangun
jejaring sesama stakeholder lain yang juga berperan penting dalam proses
perubahan bangsa ini, seperti partai politik, NGO, birokrasi, pengusaha, media (pers)
dan lainnya, dan bukan hanya berkutat pada lingkungan NU saja.
Dalam bidang eksternal ada beberapa hal yang mendesak dilakukan oleh PMII dalam
rangka sebagai sebuah wujud gerak yang ada dengan penuh kesadaran dalam
memandang kenyataan.

Daftar Pustaka
1.Materi Pilihan yang di ajarkan saat Masa Penerimaan Angota baru PMII
[2] Ketua Umum PC IX PMII Pacitan 2016-2017.
[3] http://rayonpmii-fkip.blogspot.co.id/2014/04/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html 
diakses pada 27 April 2017 pukul 14.00 wib.
[4] AD/ART PMII 2014 Hasil kongres XIIX Provinsi Jambi
[5] http://rayonpmii-fkip.blogspot.co.id/2014/04/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html 
diakses pada 27 April 2017 pukul 14.00 wib.
[6] AD/ART PMII 2014 Hasil kongres XIIX Provinsi Jambi
[7] http://rayonpmii-fkip.blogspot.co.id/2014/04/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html 
diakses pada 27 April 2017 pukul 14.00 wib.
[8] Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d (13) ayat 11
[9] Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam proses Kebijakan Publik.(Yogyakarta :
Gava Media, 2010).4.
[10] Ibid. 54.
Zubaidi Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Paradigma.Diktat Kuliah.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf
http://fauzulandim.blogspot.com/2012/11/membangkitkan-spirit-gerakan-mahasiswa.html

Anda mungkin juga menyukai