Disusun Oleh:
1. Aldi Novrizal
2. Lola Pita Loka
3. Muhamad Arif Ghozali
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kandungan tafsir surah Al-Israa: 32?
2. Bagaimana kandungan tafsir surah An-Nur: 2-3?
3. Bagaimana kandungan tafsir surah Al-Furqan: 65?
C. Tujuan Penulisan
a. Memahami kandungan tafsir surah Al-Isra: 32
b. Memahami kandungan tafsir surah An-Nur: 2-3
c. Memahami kandungan tafsir surah Al-Furqan: 65
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qadzaf
Kata qadzaf merupakan bentuk masdar (verbal noun) dari kata qadzafa.
Secara etimologi, Abu al-Husain bin Faris bin Zakaria menjelaskan bahwa qadzaf
adalah الطرح و الرميyang berarti melempar 45. Pengertian ini bersifat umum yang
mencakup semua bentuk lemparan, baik lemparan itu dilakukan dengan benda
keras atau bukan.2
Ini bisa dilihat dari firman Allah SWT surat Thaha ayat 39;
ِ َّ ِوت فَاقْ ِذفِ ِيه ىِف الْي ِّم َف ْلي ْل ِق ِه الْي ُّم ب
ِ َِأن اقْ ِذفِ ِيه ىِف التَّاب
ك حَمَبَّةً مِّىِّن ُ الساح ِل يَْأ ُخ ْذهُ َع ُد ٌّو ىِّل َو َع ُد ٌّو لَّهۥُ ۚ َوَألْ َقْي
َ ت َعلَْي َ ُ َ ُ
صنَ َع َع ٰلى َعْيىِن ٓى ِ
ْ َُولت
1
Ainun Mardiyah, Skripsi: “Qadzaf Dalam Bentuk Kinayah (Studi Analisis Hukum Pidana
Islam)”, (Medan, UIN Sumatera Utara, 2019), H.17
2
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.29
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai
(Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir´aun)
musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang
yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,
3
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30
4
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30-31
Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ dijelaskan bahwa qadzaf secara bahasa
berarti melempar sesuatu dengan kekuatan. Pengertian qadzaf ini menjelaskan
bahwa qadzif dalam melakukan lemparan mempunyai kekuatan, baik kekuatan itu
berupa kekuatan fisik ataupun kekuatan hukum. Kedua kekuatan ini sama-sama
menimbulkan efek negatif bagi jasmani magzuf, sedangkan lemparan dengan
kekuatan hukum dapat menimbulkan efek negatif bagi jasmani maqdzuf,
sedangkan lemparan dengan kekuatan hukum dapat menimbulkan efek negatif
terhadap jasmani dan rohani maqdzuf.
5
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.31-32
6
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.32-33
2. Pengertian Qadzaf Secara Terminologi
melempar dengan batu. Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah
menikah (baik perempuan maupun laki-laki) secara istilah ilmu fiqh berarti
menuduhnya melakukan zina atau menafikan hubungan nasab anak kepada sang
bapak.7
Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah “Menuduh orang
yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan “Tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”.
7
Muhammad Agus Prasetyo, Skripsi: Studi Komparatif Tentang Pembuktian Tindak
Pidana Menuduh Zina (Qadzaf) Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif”, (Semarang, UIN
Walisongo, 2017), H.34
8
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.135
Zainuddin al–Jiba’iy al–Amiliy menjelaskkan qadzaf dengan ungkapan yang
bersifat umum. Menurut definisi ini, setiap orang yang melakukan tuduhan
berbuat zina atau liwath terhadap orang lain, tergolong perbuatan pidana qadzaf.9
Definisi ini sejalan dengan definisi yang terdapat dalam kitab Nihayat Al-Muhtaj
yang melengkapinya dengan kata-kata la Asy-syahadah (tanpa adanya saksi).
Lebih lanjut qadzaf didefinisikan dengan ungkapan :
“Tuduhan berbuat zina dengan mengemukakan aib seseorang tanpa adanya saksi”.
“Menuduh seseorang berbuat zina atau liwath, atau kesaksian (orang yang baligh
lagi merdeka) tentang perbuatan zina atau liwath, yang tidak sempurna alat
buktinya”.10
9
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33
10
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33-34
“Menghubungkan orang-orang yang baik dengan perbuatan zina, baik secara
Sharih (jelas) ataupun secara dilalah (indikasi)”.
“menurut istilah syar’i, menuduh orang lain berzina yang mewajibkan hukuman
had terhadap orang menuduh”
61واما يف األصطألح الشرعى فهو نسبه أدمى غريه لزنا أو قطع نسبه مسلم
”qadzaf menurut istilah syara’ adalah menasabkan seorang anak Adam dengan
laki-laki lain disebabkan zina atau memutuskan keturunan seorang Muslim”.11
Dapat disimpulkan bahwa qadzaf adalah tuduhan berbuat zina atau liwath
seorang mukallaf terhadap mukallaf lain dengan mengemukakan aibnya atau
meniadakan keturunan seseorang karena ada indikasi tentang perbuatan tersebut
yang tidak dilengkapi dengan alat bukti atau saksi.
B. Pengertian Zina
Secara bahasa, kata zina berasal dari kosa kata bahasa Arab, yaitu kata
zina-yazni-zinan yang mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, perbuatan
11
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.35-36
terlarang. Secara harfiah, zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji, dalam bahasa
Belanda disebut overspel.
Jurjani berkata ada dua unsur yang memenuhi perbuatan zina, yaitu:
Pertama, heterosek dua jenis kelamin yang berlawanan. Maka jika dua orang yang
bermesraan misalnya bergandengan tangan, ciuman, pelukan, tetapi belum sampai
masuknya kelamin kedalam kelamin yang lain belum disebut zina. Dua, tidak
adanya kekelirun dalam perbuatan seks. Maksudnya disini seseorang melakukan
seksual tapi ada kekeliruan.
Menurut Dr. Mardani Didalam buku yang berjudul Tafsir Ahkam, perilaku
zina ialah masuknya penis ke dalam vagina tanpa ada ikatan pernikahan yang sah
antara keduanya dan dilakukan suka sama suka. Jika salah satu pihak
melakukannya karena dipaksa atau diperkosa maka yang dianggap melakukan
perbuatan zina adalah memaksa atau pemerkosa.13
12
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.119-120
13
Sukarmi, Skripsi: "Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir Rawa'i
Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an)", (Lampung, UIN Raden Intan, 2019), H.27
dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar). Atau
bukan merupakan hamba sahaya miliknya yang dinikahi.14
Definisi tentang zina menurut beberapa madzhab sebagimana yang telah dikutip
oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya, diantaranya:
1. Pendapat Malikiyah
2. Pendapat Hanafiyah
Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan)
seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tanpa
paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang
kepadanya berlaku hukum islam dan wanita tersebut bukan miliknya dan
tidak ada syubhat dalam miliknya.
3. Pendapat Syafi'iyah
4. Pendapat Hanabilah
14
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni 2019), H.4
15
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.120-121
pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah, dan bukan pula karena
kepemilikan (terhadap budak). Pengertian demikian sudah disepakati oleh para
ulama.16
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam tafsir kementrian agama RI, Dalam ayat ini, Allah ﷻmelarang
para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya ialah melakukan
perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti pergaulan bebas tanpa kontrol
antara laki-laki dan perempuan, membaca bacaan yang merangsang, menonton
tayangan sinetron dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan
merebaknya pornografi dan pornoaksi.
16
Budi Kisworo, Zina Dalam Kajian Teologis Dan Sosiologis, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1,
No.1, (2016), H.3
seseorang akan dapat memahami bahwa larangan melakukan zina adalah larangan
yang keras, sehingga benar-benar harus dijauhi.
17
https://risalahmuslim.id/quran/al-israa/17-32/
tentang respon untuk memelihara anak keturunan dan meneruskan tugas
khalifahan Allah di muka bumi, maka Dia pun menghendaki manusia agar hidup
dalam kemuliaan. Allah SWT menetapkan kecenderungan melalui naluri manusia
untuk menjaga keturunan nasab sehingga dengan itu ia bisa memberikan
kesenangan hidup dan memberikan jaminan masa depannya. Naluri dan hasrat
manusia timbul untuk menyayangi anaknya dan memenuhi kebutuhannya adalah
wujud dari kejelasan keturunan dan kesesuaian yang dilalui dengan apa yang telah
disyariatkan, yakni melalui proses pernikahan. Demikian pula bila Allah SWT
melarang perbuatan zina, maka tujuannya adalah memelihara nasab dan menjaga
keturunan dari kepunahan. Perbuatan zina akan merusak keharmonisan keluarga,
isteri akan hina dimata suami, anak wanita akan harga dirinya di mata pengasuh
(orang tua).18
اجلِ ُدوا ُك َّل ٰو ِح ٍد ِّمْن ُه َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة ۖ َواَل تَْأ ُخ ْذ ُك ْم هِبِ َما َرْأفَةٌ ىِف ِدي ِن اللَّ ِه ِإ ْن ُكْنتُ ْم ُتْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َّ الزانِيَةُ َو
ْ َالزاىِن ف َّ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin.”
19
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.9
واالليت يأتني الفا حشة من نسا نكم
Mengenai tafsir QS. An-Nur ayat 3 dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Laki-
laki yang berzina tidak menikahi)(melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik) pasangan yang cocok buat
masing-masingnya sebagaimana yang telah disebutkan tadi (dan yang demikian
itu diharamkan) menikahi perempuan-perempuan yang berzina (atas orang-orang
Mukmin) yang terpilih. Ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dari
kalangan sahabat Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur orang-orang
musyrik, karena mereka orang kaya-kaya. Kaum Muhajirin yang miskin
menyangka kekayaan yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah
mereka. Karena itu dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi para sahabat
Muhajirin yang miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan
pengharaman ini bersifat umum dan menyeluruh, kemudian ayat ini dinasakh oleh
firman-Nya yang lain, yaitu, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kalian..."(Q.S. An Nur, 32).
Dalam penjelas tafsir kementrian agama RI pada ayat ini Allah
menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina baik perempuan maupun
laki-laki yang sudah akil balig, merdeka, dan tidak muhsan hukumnya didera
seratus kali dera, sebagai hukuman atas perbuatannya itu. Yang dimaksud dengan
muhsan ialah perempuan atau laki-laki yang pernah menikah dan bersebadan.
Tidak muhsan berarti belum pernah menikah dan bersebadan, artinya gadis dan
perjaka. Mereka bila berzina hukumannya adalah dicambuk seratus kali.
Pencambukan itu harus dilakukan tanpa belas kasihan yaitu tanpa henti
dengan syarat tidak mengakibatkan luka atau patah tulang.
Dari:‘Aisyah berkata Rasulullah bersabda:
"Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya."
(Riwayat asy-Syaikhan)
Hukuman cambuk itu hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan
dilakukan di tempat umum dan terhormat, seperti di masjid, sehingga dapat
disaksikan oleh orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang
menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka
benar-benar dapat menahan dirinya dari perbuatan zina.
Adapun pezina-pezina muhsan baik perempuan maupun laki-laki hukumannya
ialah dilempar dengan batu sampai mati, yang menurut istilah dalam Islam
dinamakan "rajam".
Hukuman rajam ini juga dilaksanakan oleh orang yang berwenang dan
dilakukan di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak.
Hukum rajam ini didasarkan atas sunnah Nabi ﷺ yang mutawatir.
Diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Jabir bin Abdillah, Abu Said Al-
Khudri, Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Buraidah Al-Aslamy, bahwa
seorang sahabat Nabi yang bernama Ma’iz telah dijatuhi hukuman rajam
berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa ia berzina. Begitu pula dua orang
perempuan dari Bani Lahm dan Bani Hamid telah dijatuhi hukuman rajam,
berdasarkan pengakuan keduanya bahwa mereka telah berzina. Hukuman itu
dilakukan di hadapan umum. Begitulah hukuman perbuatan zina di dunia.
Adapun di akhirat nanti, pezina itu akan masuk neraka jika tidak bertaubat,
sebagaimana sabda Nabi ﷺ.
"Jauhilah zina karena di dalam zina ada empat perkara.
Menghilangkan kewibawaan wajah, memutus rezeki, membikin murka Allah, dan
menyebabkan kekal di neraka." (Riwayat ath-thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath,
dari Ibnu ‘Abbas)
Kenyataannya adalah bahwa budaya pergaulan bebas laki-laki dan
perempuan telah menimbulkan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan, yaitu
HIV/AIDS, hilangnya sistem kekebalan tubuh pada manusia pada akhirnya yang
bersangkutan akan mati secara perlahan. Juga telah memunculkan banyaknya bayi
lahir di luar nikah, sehingga mengacaukan keturunan dan pada gilirannya
mengacaukan tatanan hukum dan sosial.
Perbuatan zina telah disepakati sebagai dosa besar yang berada pada posisi ketiga
sesudah musyrik dan membunuh, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi
ﷺ:Berkata Abdullah bin Mas’ud,
ِ ِ ٰ َّ َوالَّ ِذيْ َن اَل يَ ْدعُ ْو َن َم َع ال ٰلّ ِه اِهٰلًا اٰ َخَر َواَل َي ْقُتلُ ْو َن
َ س الَّيِت ْ َحَّر َم اللّهُ ااَّل بِاحْلَ ِّق َواَل َي ْزنُ ْو َن َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذل
ك َي ْل َق َ الن ْف
اَثَ ًاما
“Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sembahan lain dan
tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat hukuman yang berat,” (Al-Furqaan [25]: 68)
Hukuman di dunia itu baru dilaksanakan bila tindakan perzinaan itu benar-
benar terjadi. Kepastian terjadi atau tidaknya perbuatan zina ditentukan oleh salah
satu dari tiga hal berikut: bukti (bayyinah), hamil, dan pengakuan yang
bersangkutan, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Huzaifah:
Hukum rajam dalam Kitabullah jelas atas siapa yang berzina bila dia
muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, bila terdapat bukti, hamil atau
pengakuan. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari peristiwa itu dipahami bahwa bila orang yang berzina telah bertobat
dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, ia terlepas dari hukuman di akhirat.
Dalam corak tafsir fiqh menguraikan bahwa, hukuman bagi para pezina
mushan dan ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab
Dzahiri pelaku zina muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat hukuman
rangkap: deradahulu kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi: “Pelaku zina yang
telah kawin atau pernah kawin itu didera 100 kali dan dirajam”.
Artinnya:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari
kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". (Al-Furqan: 65)
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Dan orang-orang yang berkata, "Ya Rabb
kami! Jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaan yang kekal") yang abadi.
22
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.5-6
Orang-orang yang demikian kuat keyakinannya kepada hari akhirat tentu akan
mempergunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk berbuat amal kebajikan
sebanyak-banyaknya dan tidak akan melakukan perbuatan jahat karena yakin
perbuatannya itu akan dibalas dengan siksaan yang pedih. Betapa pun baiknya
suatu peraturan yang dibuat manusia dan betapa ketatnya pengawasan dalam
pelaksanaannya, tetapi manusia yang tidak sadar akan pengawasan Allah dapat
saja meloloskan diri dari ikatan peraturan dan undang-undang itu.
Akan tetapi, manusia yang beriman, andaikata tidak ada peraturan dan
undang-undang, tidak akan melakukan satu kejahatan pun, karena dia sadar
walaupun dapat bebas dari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat
melepaskan diri dari azab di akhirat. Kesadaran dan keinsyafan inilah yang
tertanam dengan kuat di dalam hati setiap muslim yang mendapat julukan "hamba
Allah Yang Maha Penyayang."
Dalam penjelas Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-
Dimasyqi: Yaitu tetap dan abadi. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair
sehubungan dengan makna garaman ini, melalui salah satu bait syairnya:
23
https://risalahmuslim.id/quran/al-furqaan/25-65/
Jika dia (orang yang disanjung penyair) menyiksa, maka siksaannya terus-
menerus lagi tetap, dan jika dia memberi dengan pemberian yang banyak, ia tidak
peduli (berapa pun banyaknya).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qadzaf adalah tuduhan berbuat zina atau liwath seorang mukallaf terhadap
mukallaf lain dengan mengemukakan aibnya atau meniadakan keturunan
seseorang karena ada indikasi tentang perbuatan tersebut yang tidak dilengkapi
dengan alat bukti atau saksi.
Zina menurut Islam adalah hubungan seksual secara illegal. Dalam
pengertian lain, zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan.
B. Saran
Makalah ini ditulis untuk menunjang perkuliahan mata kuliah tafsir ayat-
ayat ahkam. Adapun dalam penulisanya mengutip dan mengambil dari sumber-
sumber penulisan yang sudah baik. Namun tentu dalam penulisannya masih
terdapat kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan oleh
penulis.
DAFTAR PUSTAKA