Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Tafsir Surah Al-Israa: 32, An-Nur: 2-3 dan Al-Furqan: 65

Disusun Oleh:
1. Aldi Novrizal
2. Lola Pita Loka
3. Muhamad Arif Ghozali

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO


BENGKULU

T.A 1443/H 2022 M


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap muslim seharusnya memelihara kehormatan dan keluhuran


saudaranya sesama muslim. Bukannya menelanjangi ataupun membuka rahasia
yang akan mencemarkan muslim lain. Maka kalau ada seorang muslim yang
menuduh seorang muslim berzina, namun tidak dapat membuktikannya dengan
mengemukakan empat orang saksi yang (juga) telah melihat kejahatan itu tengah
dilakukan pada saat dan tempat yang sama, maka si penuduh akan dihukum
cambuk delapan puluh kali. Dianggap seorang fasik dan kesaksiannya tidak akan
diterima lagi kapan pun mengajukan persaksian. Sebagaimana disebutkan dalam
QS. An-Nuur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. An-Nuur: 4)
Islam adalah agama samawi dengan sistem hidup yang selaras dengan
perintah Allah SWT dalam wahyu-Nya dan sejalan pula dengan tuntutan
Rasulullah SAW dalam sunah. Setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola
kehidupan yang integral Islamis, sinkron dengan ketentuan alquran dan sunah
tersebut. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat
setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku
yang dibenarkan dengan perbuatan yang disalahkan. Syariat Islam diturunkan
untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia, baik
secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah
SWT. Dalam hukum Islam dijumpai istilah jinayah, yaitu suatu perbuatan yang
dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta,
keturunan, dan akal (intelegent).
Selain itu dalam aturan syariat Islam, agam ini telah mengatur bagaimana
seseorang dalam bergaul antar individu lain tanpa terkecuali antara laki-laki dan
perempuan yang memiliki perbedaan kuat. Hubungan yang dilarang agama sangat
diatur antara laki-laki dan perempuan. Mulai dari berbicara dengan lawan jenis,
hubungan, mejaga pandangan, bermuamalah dan lain sebagainya. Itu semua
merupakan bentuk Islam mengatur kehidupan agar tidak terjadi perbuatan-
perbuatan yang dapat menimbulkan kemudharatan terlebih lagi menimbulka dosa.
Maka jangan sampai adanya ayat-ayat al-Qur’an dan hadis nabi SAW. Yang
penerapanya dalam kehidupan untuk mengatur perkara terkhusus hal-hal yang
berbau zina ini tidak dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan. Karena faktanya
masih banyak masyarakat, kaum awam yang belum tau dan berakibat buruk bagi
kehidupan ditengah-tengah masyarakat ketika telah terjadi perbuatan yang
mengarah pada perzinahan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kandungan tafsir surah Al-Israa: 32?
2. Bagaimana kandungan tafsir surah An-Nur: 2-3?
3. Bagaimana kandungan tafsir surah Al-Furqan: 65?

C. Tujuan Penulisan
a. Memahami kandungan tafsir surah Al-Isra: 32
b. Memahami kandungan tafsir surah An-Nur: 2-3
c. Memahami kandungan tafsir surah Al-Furqan: 65
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadzaf

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “menuduh adalah menunjuk


dan mengatakan bahwa seseorang berbuat kurang baik”. Satu dari dosa besar yang
merusak individu dan sosial adalah tuduhan. Tuduhan yang ditujukan seseorang
kepada orang lain merupakan perbuatan yang merugikan orang tersebut, tapi pada
hakikatnya yang paling merugi adalah pelaku itu sendiri. Saat seseorang menuduh
orang lain, pada dasarnya ia telah mencemarkan nama dan merusak jiwanya
dengan perbuatan dosa. Tuduhan merupakan perilaku menisbatkan kekurangan
terhadap seseorang yang tidak dimilikinya. Tuduhan merupakan perbuatan dosa
besar. Allah Swt dalam al-Quran telah melarang perbuatan ini serta
memerintahkan untuk pelaku penuduhan dihukum didunia dan mengingatkan
pelakunya bakal mendapat azab yang sangat besar diakhirat. Imam Shadiq as
berkata, “Dosa menuduh orang lain yang tidak bersalah lebih berat dari gunung
yang tinggi”.1

1. Pengertian Qadzaf Secara Etimologi

Kata qadzaf merupakan bentuk masdar (verbal noun) dari kata qadzafa.
Secara etimologi, Abu al-Husain bin Faris bin Zakaria menjelaskan bahwa qadzaf
adalah ‫ الطرح و الرمي‬yang berarti melempar 45. Pengertian ini bersifat umum yang

mencakup semua bentuk lemparan, baik lemparan itu dilakukan dengan benda
keras atau bukan.2

Ini bisa dilihat dari firman Allah SWT surat Thaha ayat 39;

ِ َّ ِ‫وت فَاقْ ِذفِ ِيه ىِف الْي ِّم َف ْلي ْل ِق ِه الْي ُّم ب‬
ِ ‫َِأن اقْ ِذفِ ِيه ىِف التَّاب‬
‫ك حَمَبَّةً مِّىِّن‬ ُ ‫الساح ِل يَْأ ُخ ْذهُ َع ُد ٌّو ىِّل َو َع ُد ٌّو لَّهۥُ ۚ َوَألْ َقْي‬
َ ‫ت َعلَْي‬ َ ُ َ ُ
‫صنَ َع َع ٰلى َعْيىِن ٓى‬ ِ
ْ ُ‫َولت‬
1
Ainun Mardiyah, Skripsi: “Qadzaf Dalam Bentuk Kinayah (Studi Analisis Hukum Pidana
Islam)”, (Medan, UIN Sumatera Utara, 2019), H.17
2
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.29
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai
(Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir´aun)
musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang
yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,

Menurut Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani qadzaf adalah; “qadzaf


secara bahasa yaitu melempar atau melontar sesuatu” Qadzaf juga bermakna
melempar batu. Kata “batu” memberi indikasi bahwa lemparan yang dilakukan
tersebut menimbulkan efek tidak baik terhadap objek lemparan, karena batu
tergolong benda keras yang dapat menyakiti atau merusak objek lemparan
tersebut. Jadi, “batu” yang bersifat keras merupakan simbol bagi benda – benda
keras lainnya sebagai alat lempar, seperti besi.3

Menurut Wahbah al-Zuhaili, qadzaf secara bahasa yaitu: “ melempar


dengan batu dan sejenisnya, kemudian kata ar-ramyu (‫ )الرمي‬digunakan untuk hal
yang tidak disukai karena ada kemiripan antara kata al-hijarah (‫)الحجارة‬, larangan
dan kata al-makaruhu (‫ )المكاره‬, celaan. Keduanya merupakan efek dari al-Ramyu (
‫ )الرمي‬. hal ini disebabkan keduanya mengandung celaan atau merugi, sedangkan
qadzaf merugikan dari segi ucapan (menyakiti dengan perkataan)- dinamakan juga
dengan (‫ )فرية‬kata dusta, kata bohong – fa baris di bawah – karena dia berasal dari
kata( ‫ )األفتراء‬fitnah dan ( ‫ )ب الكذ‬dusta.

Menurut al – Ashfahani, qadzaf secara etimologi adalah lemparan dari


jauh. Pengertian ini menunjukkan bahwa lemparan atau tuduhan yang dilontarkan
oleh qadzif (pelaku qadzaf ) dilakukan dari jarak jauh yang kadang kala qadzif
dengan maqdzuf (objek qadzaf ) tidak berada pada satu tempat. Pengertian ini
dipahami dari kata “jauh” yang digunakan ar – Raghib Al-Ashfahani dalam
defenisi tersebut. Oleh karena itu, berada pada satu tempat antara qadzaf dan
maqdzuf bukanlah menjadi syarat untuk terjadi qadzaf dapat melakukan qadzaf
kepada seseorang di mana pun ia berada sekalipun tanpa dihadiri oleh maqdzuf.4

3
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30
4
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30-31
Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ dijelaskan bahwa qadzaf secara bahasa
berarti melempar sesuatu dengan kekuatan. Pengertian qadzaf ini menjelaskan
bahwa qadzif dalam melakukan lemparan mempunyai kekuatan, baik kekuatan itu
berupa kekuatan fisik ataupun kekuatan hukum. Kedua kekuatan ini sama-sama
menimbulkan efek negatif bagi jasmani magzuf, sedangkan lemparan dengan
kekuatan hukum dapat menimbulkan efek negatif bagi jasmani maqdzuf,
sedangkan lemparan dengan kekuatan hukum dapat menimbulkan efek negatif
terhadap jasmani dan rohani maqdzuf.

Ash-Shawi mengemukakan bahwa qadzaf itu kadang – kadang disebut


juga dengan istilah fariyah (membuat-buat), karena qadzaf merupakan bagian dari
membuat – buat sesuatu dan perbuatan dusta. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
qadzaf dikenal juga dengan istilah ramyun (melempar sesuatu), karena lemparan
menimbulkan rasa sakit bagi objek lemparan.

Muhammad Syata al-Dimyati,bahwa qadzaf secara bahasa di pahami;

‫الرمي يقال قذف النواة اي رماها‬

”melempar, dikatakan ( ‫ )النواة قذف‬, artinya dia melempar suatu biji”.5

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli bahasa


terdahulu dapat disimpulkan bahwa pengertian qadzaf secara etimologi adalah
melempar sesuatu dengan batu atau kekuatan yang dilakukan dari jarak jauh.
qadzaf secara bahasa dapat dipahami bahwa qadzaf adalah melempar sesuatu
terhadap seseorang baik dengan batu maupun dengan benda lain yang pada
dasarnya asal makna qadzaf adalah melempar. Seseorang menggunakan batu atau
benda keras tersebut merupakan alat yang biasa digunakan untuk melempar.
Qadzaf yang dimaksud di sini bukanlah melempar seseorang,dengan batu
melainkan melemparkan ungkapan atau menuduh seseorang dengan kata-kata.6

5
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.31-32
6
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.32-33
2. Pengertian Qadzaf Secara Terminologi

Qadzaf menurut terminologi adalah ‫ باحلجارةوحنوه ا ال رمي‬yang artinya

melempar dengan batu. Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah
menikah (baik perempuan maupun laki-laki) secara istilah ilmu fiqh berarti
menuduhnya melakukan zina atau menafikan hubungan nasab anak kepada sang
bapak.7

Dalam istilah syara‟, qadzaf ada dua macam, yaitu :

a. Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, dan

b. Qadzat yang diancam dengan hukuman ta‟zir.

Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah “Menuduh orang
yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan “Tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”.

Sedangkan arti qadzaf yang diancam dengan hukuman ta‟zir adalah :


"Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan
nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.
Kelompok qadzaf macam yang kedua ini mencakup perbuatan mencaci maki
orang dan dapat dikenakan hukuman ta‟zir.8

Qadzaf dikemukakan dengan beberapa ungkapan dalam definisinya. Zainuddin


al–Jiba’iy al–Amiliy mengungkapkan pengertian Qadzaf dengan :

‫ أو اللواط‬, ‫و هو الرمي بالزنا‬.

“Tuduhan berbuat zina atau liwat”.

7
Muhammad Agus Prasetyo, Skripsi: Studi Komparatif Tentang Pembuktian Tindak
Pidana Menuduh Zina (Qadzaf) Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif”, (Semarang, UIN
Walisongo, 2017), H.34
8
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.135
Zainuddin al–Jiba’iy al–Amiliy menjelaskkan qadzaf dengan ungkapan yang
bersifat umum. Menurut definisi ini, setiap orang yang melakukan tuduhan
berbuat zina atau liwath terhadap orang lain, tergolong perbuatan pidana qadzaf.9

As-Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiriy menerangkan bahwa Qadzaf itu


adalah :

‫الرمي بالزنا يف معرض التعيري‬.

“Tuduhan berbuat zina dengan mengemukakan aibnya”.

Definisi ini sejalan dengan definisi yang terdapat dalam kitab Nihayat Al-Muhtaj
yang melengkapinya dengan kata-kata la Asy-syahadah (tanpa adanya saksi).
Lebih lanjut qadzaf didefinisikan dengan ungkapan :

55.‫الرمي بالزنا يف معر ض التعيري ال الشهادة‬

“Tuduhan berbuat zina dengan mengemukakan aib seseorang tanpa adanya saksi”.

Dalam kitab al-Mu’tamad yang bermadzhab Hanbali dijelaskan bahwa Qadzaf


secara istilah adalah :

56‫ أو شهادة باحد مها و مل تــکمل البينة‬,‫وهو الرمي بالزنا أو لواط‬

“Menuduh seseorang berbuat zina atau liwath, atau kesaksian (orang yang baligh
lagi merdeka) tentang perbuatan zina atau liwath, yang tidak sempurna alat
buktinya”.10

Dalam kitab Syarh Fathu al-Qadir, fuqaha’ Hanafiah mendefenisikan qadzaf


dengan ungkapan :

8‫نسبة من أحصن إىل الزن ــا صرحيـا أو داللة‬

9
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33
10
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33-34
“Menghubungkan orang-orang yang baik dengan perbuatan zina, baik secara
Sharih (jelas) ataupun secara dilalah (indikasi)”.

Menurut Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, qadzaf menurut istilah syara’;

59 ‫ الرمى بوطء يوجب احلد على املقذوف‬: ‫والشرعى‬

“menurut istilah syar’i, menuduh orang lain berzina yang mewajibkan hukuman
had terhadap orang menuduh”

Sementara menurut Muhammad Syata al-Dimyati;

60‫الرمي بالزنا يف معرض التعيري أي يف مقام هو التعبري أى التوبيع‬

“Qadzaf menurut istilah syara’ adalah melempartuduhan berbuat zina dengan


maksud, artinya ditempat yang diterangkan yaitu mencela”

Menurut Wahbah al-Zuhaili, qadzaf menurut istilah adalah;

61‫واما يف األصطألح الشرعى فهو نسبه أدمى غريه لزنا أو قطع نسبه مسلم‬

”qadzaf menurut istilah syara’ adalah menasabkan seorang anak Adam dengan
laki-laki lain disebabkan zina atau memutuskan keturunan seorang Muslim”.11

Dapat disimpulkan bahwa qadzaf adalah tuduhan berbuat zina atau liwath
seorang mukallaf terhadap mukallaf lain dengan mengemukakan aibnya atau
meniadakan keturunan seseorang karena ada indikasi tentang perbuatan tersebut
yang tidak dilengkapi dengan alat bukti atau saksi.

B. Pengertian Zina

Secara bahasa, kata zina berasal dari kosa kata bahasa Arab, yaitu kata
zina-yazni-zinan yang mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, perbuatan

11
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.35-36
terlarang. Secara harfiah, zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji, dalam bahasa
Belanda disebut overspel.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zina mengandung makna sebagai


berikut:

a. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak


terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan)

b. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan


dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang perempuan
yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.

Ibnu rusyd mendefisinikan zina sebagai setiap persetubuhan yang terjadi


bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu (syubhat) dan bukan pula
kepemilikan terhadap budak.12

Jurjani berkata ada dua unsur yang memenuhi perbuatan zina, yaitu:

Pertama, heterosek dua jenis kelamin yang berlawanan. Maka jika dua orang yang
bermesraan misalnya bergandengan tangan, ciuman, pelukan, tetapi belum sampai
masuknya kelamin kedalam kelamin yang lain belum disebut zina. Dua, tidak
adanya kekelirun dalam perbuatan seks. Maksudnya disini seseorang melakukan
seksual tapi ada kekeliruan.

Menurut Dr. Mardani Didalam buku yang berjudul Tafsir Ahkam, perilaku
zina ialah masuknya penis ke dalam vagina tanpa ada ikatan pernikahan yang sah
antara keduanya dan dilakukan suka sama suka. Jika salah satu pihak
melakukannya karena dipaksa atau diperkosa maka yang dianggap melakukan
perbuatan zina adalah memaksa atau pemerkosa.13

Zina menurut fuqaha adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan


tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke

12
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.119-120
13
Sukarmi, Skripsi: "Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir Rawa'i
Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an)", (Lampung, UIN Raden Intan, 2019), H.27
dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar). Atau
bukan merupakan hamba sahaya miliknya yang dinikahi.14

Definisi tentang zina menurut beberapa madzhab sebagimana yang telah dikutip
oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya, diantaranya:

1. Pendapat Malikiyah

Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap


farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan
kesengajaan.

2. Pendapat Hanafiyah

Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan)
seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tanpa
paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang
kepadanya berlaku hukum islam dan wanita tersebut bukan miliknya dan
tidak ada syubhat dalam miliknya.

3. Pendapat Syafi'iyah

Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena


zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat

4. Pendapat Hanabilah

Zina adalah melakukan perbuatan keji persetubuhan), baik terhadap qubul


(farji) maupun dubur.15

Zina menurut Islam adalah hubungan seksual secara illegal. Dalam


pengertian lain, zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan. Dalam kitab Bidayatul
Mujtahid disebutkan bahwa zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan karena

14
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni 2019), H.4  

15
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.120-121
pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah, dan bukan pula karena
kepemilikan (terhadap budak). Pengertian demikian sudah disepakati oleh para
ulama.16

C. Penafsiran QS. Al-Isra:32

‫الزىٰن ٓى ۖ ِإنَّهۥُ َكا َن ٰف ِح َشةً َو َسٓاءَ َسبِياًل‬


ِّ ‫َواَل َت ْقَربُوا‬

Artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Dalam tafsir Jalalin dijelaskan (Dan janganlah kalian mendekati zina)


larangan untuk melakukannya jelas lebih keras lagi (sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji) perbuatan yang buruk (dan seburuk-buruknya) sejelek-
jelek (jalan) adalah perbuatan zina itu.

Dalam tafsir kementrian agama RI, Dalam ayat ini, Allah ‫ ﷻ‬melarang
para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya ialah melakukan
perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti pergaulan bebas tanpa kontrol
antara laki-laki dan perempuan, membaca bacaan yang merangsang, menonton
tayangan sinetron dan film yang mengumbar sensualitas perempuan, dan
merebaknya pornografi dan pornoaksi.

Semua itu benar-benar merupakan situasi yang kondusif bagi terjadinya


perzinaan.

Larangan melakukan zina diungkapkan dengan larangan mendekati zina


untuk memberikan kesan yang tegas, bahwa jika mendekati perbuatan zina saja
sudah dilarang, apa lagi melakukannya. Dengan pengungkapan seperti ini,

16
Budi Kisworo, Zina Dalam Kajian Teologis Dan Sosiologis, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1,
No.1, (2016), H.3
seseorang akan dapat memahami bahwa larangan melakukan zina adalah larangan
yang keras, sehingga benar-benar harus dijauhi.

Yang dimaksud dengan perbuatan zina ialah hubungan kelamin yang


dilakukan oleh pria dengan wanita di luar pernikahan, baik pria ataupun wanita itu
sudah pernah melakukan hubungan kelamin yang sah ataupun belum, dan bukan
karena sebab kekeliruan.

Selanjutnya Allah memberikan alasan mengapa zina dilarang.


Alasan yang disebut di akhir ayat ini ialah karena zina benar-benar perbuatan
yang keji yang mengakibatkan banyak kerusakan, di antaranya:

a) Merusak garis keturunan, yang mengakibatkan seseorang akan


menjadi ragu terhadap nasab anaknya, apakah anak yang lahir itu
keturunannya atau hasil perzinaan. Dugaan suami bahwa istrinya
berzina dengan laki-laki lain mengakibatkan timbulnya berbagai
kesulitan, seperti perceraian dan kesulitan dalam pendidikan dan
kedudukan hukum si anak.Keadaan seperti itu menyebabkan
terganggunya pertumbuhan jiwa anak dan menghancurkan tatanan
kemasyarakatan.
b) Menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam masyarakat,
karena tidak terpeliharanya kehormatan. Betapa banyaknya
pembunuhan yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan
karena anggota masyarakat itu melakukan zina.
c) Merusak ketenangan hidup berumah tangga. Nama baik seorang
perempuan atau laki-laki yang telah berbuat zina akan ternoda di
tengah masyarakat.
d) Ketenangan hidup berumah tangga tidak akan pernah terjelma, dan
hubungan kasih sayang antara suami istri menjadi rusak.
e) Menghancurkan rumah tangga. Istri bukanlah semata-mata sebagai
pemuas hawa nafsu, akan tetapi sebagai teman hidup dalam
berumah tangga dan membina kesejahteraan rumah tangga.
Oleh sebab itu, apabila suami sebagai penanggung jawab dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka si istri adalah sebagai
penanggung jawab dalam memeliharanya, baik harta maupun anak
anak dan ketertiban rumah tangga itu. Jadi jika si istri atau suami
ternoda karena zina, kehancuran rumah tangga itu sukar untuk
dielakkan lagi.
f) Merebaknya perzinaan di masyarakat menyebabkan
berkembangnya berbagai penyakit kelamin seperti sifilis (raja
singa).Di samping itu, juga meningkatkan penyebaran penyakit
AIDS atau penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh
(immunity) penderitanya, sehingga dia akan mati perlahan-lahan.

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa perbuatan zina adalah perbuat-


an yang sangat keji, yang menyebabkan hancurnya garis keturunan, menimbulkan
kegoncangan dan kegelisahan dalam masyarakat, merusak ketenangan hidup
berumah tangga, menghancurkan rumah tangga itu sendiri, dan merendahkan
martabat manusia. Jika perbuatan itu dibiarkan merajalela di tengah-tengah
masyarakat berarti manusia sama derajatnya dengan binatang. Ayat ini
mengandung larangan berbuat zina dan isyarat akan perilaku orang-orang Arab
Jahiliah yang berlaku boros. Perzinaan adalah penyebab keborosan.17

Di dalam ayat ini Allah SWT melakukan perbincangan kepada nalar


manusia tentang kedudukan keturunan. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa
manusia cenderung mengabaikan anak keturunannya karena faktor ekonomi.
Karena kendala ekonomi keluarga terkadang manusia sampai membunuh janinnya
sendiri. Memerlakukan anak keturunannya bukan sebagai bagian darinya,
sehingga ia melakukan tindakan yang sadis dan tidak manusiawi. Kenyataan
sosial dalam dalil perzinaan tersebut yang diakibatkan oleh gaya hidup bebas dan
kenyataan hidup menyimpang, dampaknya adalah lahirnya janin yang belum siap
untuk dilindungi. Sangat jelas ungkapan ayat Alquran bahwa apa yang menjadi
landasan berpikir manusia dalam melakukan penelantaran dan pembunuhan
anaknya karena faktor rizki adalah hal yang keliru. Setelah Allah SWT berbicara

17
https://risalahmuslim.id/quran/al-israa/17-32/
tentang respon untuk memelihara anak keturunan dan meneruskan tugas
khalifahan Allah di muka bumi, maka Dia pun menghendaki manusia agar hidup
dalam kemuliaan. Allah SWT menetapkan kecenderungan melalui naluri manusia
untuk menjaga keturunan nasab sehingga dengan itu ia bisa memberikan
kesenangan hidup dan memberikan jaminan masa depannya. Naluri dan hasrat
manusia timbul untuk menyayangi anaknya dan memenuhi kebutuhannya adalah
wujud dari kejelasan keturunan dan kesesuaian yang dilalui dengan apa yang telah
disyariatkan, yakni melalui proses pernikahan. Demikian pula bila Allah SWT
melarang perbuatan zina, maka tujuannya adalah memelihara nasab dan menjaga
keturunan dari kepunahan. Perbuatan zina akan merusak keharmonisan keluarga,
isteri akan hina dimata suami, anak wanita akan harga dirinya di mata pengasuh
(orang tua).18

Menurut Wahba Azzuhaili, larangan mendekati zina dapat dimaknai pula


pada larangan untuk mendekati penyebab dan segala hal yang mendorong untuk
melalukan kekejian itu. Sesuai disebutkan fahisyah karena memang didalamnya
terkandung pelanggaran terhadap kehormatan diri manusia itu sendiri, adanya
pencampuran nasab antara laki-laki satu dengan lainnya, dampak pula pada
penzaliman terhadap hak orang lain, penghancuran pilar masayrakat dengan
hancurnya tatanan keluarga, penyebaran dan sumber kekacauan, menyebarkan
penyakit kelamin yang dapat mematikan dan akan berdampak pada kehinaan serta
lemah dalam kehidupan.

Menurut Tafsir Kemenag RI terhadap ayat kedua, menyatakan bahwa


surah ini mengandung ketentuan hukum yang pasti, salah satunya hukum
perzinaan. Kepada pezina perempuan yang belum pernah menikah dan demikian
pula pezina laki-laki yang belum pernah menikah, keduanya diberi hukuman dera
bila memenuhi syarat yang membuktikan bahwa keduanya terbukti melakukan
perbuatan zina. Terhadap penegak hukum, tidak boleh sedikit pun ada rasa hiba
terhadap pelaku. Sikap ini dilakukan sebagai bagian dari pencegahan atas
terjadinya perbuatan serupa dan untuk menegakkan ajaran agama. Demikian pula
18
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.8
bahwa penegakan hukum tersebut sebagai bagian dari konsekuensi keimanan
kepada Allah adalah melaksanakan hukumNya.19

D. Penafsiran QS. An-Nur:2-3

‫اجلِ ُدوا ُك َّل ٰو ِح ٍد ِّمْن ُه َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة ۖ َواَل تَْأ ُخ ْذ ُك ْم هِبِ َما َرْأفَةٌ ىِف ِدي ِن اللَّ ِه ِإ ْن ُكْنتُ ْم ُتْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه‬ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
ْ َ‫الزاىِن ف‬ َّ

‫الزانِيَةُ اَل َيْن ِك ُح َهٓا‬


َّ ‫الزاىِن اَل َيْن ِك ُح ِإاَّل َزانِيَةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو‬ ِِ ‫ِئ‬ ِ ِ
َ ‫َوالَْي ْوم ْالءَاخ ِر ۖ َولْيَ ْش َه ْد َع َذ َاب ُه َما طَٓا َفةٌ ِّم َن الْ ُمْؤ من‬
َّ .‫ني‬
ِِ ِ
‫ني‬ َ ‫ِإاَّل َز ٍان َْأو ُم ْش ِر ٌك ۚ َو ُحِّر َم ٰذل‬
َ ‫ك َعلَى الْ ُمْؤ من‬

Artinya:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin.”

Kata (azzaniyatu wazani) azzani secara bahasa: berhubungan badan yang


diharamkan sedangkan menurut syara’ adalah berhubungan badan pria dan wanita
yang tidak halal dan bersifat syubhat. Qurthubi berpendapat kata “az-zani” dan
“az-zaniyah” untuk menguatkan (ta’kid), menghilangkan keraguan-raguan pihak
pria yang menginginkan dan pihak wanita hanya menerima, agar dapat terhindar
dari hukuman had, hal ini pernah dilontarkan sejumlah ulama as-Syafi’irah.

Zina juga merupakan perbuatan yang keji (fahisyah) sebagaimana tercantum


dalam al-Qur’an

19
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.9
‫واالليت يأتني الفا حشة من نسا نكم‬

Dan juga ayat lain

‫والتقر بو االز ىن إنه كا ن فا حشة وسا ء سبيال‬

Kata (fazliddu) maksudnya adalah orang yang berzina keduanya akan


dicambuk. (ro’fattan) maksudnya adalah larangan untuk meringankan cambukan
bagi orang yang berzina atau menghilangkan hukuman had secara keseluruhan,
(dinillah) maksudnya adalah dalam syariat dan hukum Allah swt. Menurut Imam
Atha’ maksud dari kata ini adalah larangan menghilangkan had atau hukuman
dengan adanya permintaan maaf dan sebagainya. (thaifah) maksudnya adalah
sekelompok orang atau golongan, (layankihu) maksudnya adalah akad menikah
dalam konteks ini, artinya laki-laki pezina menikahnya hanya boleh dengan
perempuan pezina juga, (musyrikah) adalah wanita yang menganut agama yang
bukan agama samawi dan mereka tidak beriman kepada Allah swt, seperti halnya
majusiyah ,wasaniyyah, mereka (musyrikah, majusiyyah, watsaniyyah) berbeda
dengan wanita kitabiyyah secara hukum, jika wanita kitabiyyah maka boleh untuk
dinikahi. Jika wanita musyrikah maka tidak diperbolehkan untuk dinikahi.20

Mengenai penafsiran QS. An-Nur ayat 2 dalam tafsir Jalalain dijelaskan


(Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina) kedua-duanya bukan
muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd
bagi pelaku zina muhshan adalah rajam, menurut keterangan dari Sunah. Huruf Al
yang memasuki kedua lafal ini adalah Al Maushulah sekaligus sebagai Mubtada,
mengingat kedudukan Mubtada di sini mirip dengan Syarat, maka Khabarnya
kemasukan huruf Fa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu,
(maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni sebanyak
seratus kali pukulan. Jika dikatakan Jaladahu artinya ia memukul kulit seseorang;
makna yang dimaksud adalah mendera. Kemudian ditambahkan hukuman pelaku
zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunah, yaitu harus
20
Sukarmi, Skripsi: “Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir Rawa’i
Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an)”, (Lampung, UIN Raden Intan, 2019), H.65-66
diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. Bagi hamba sahaya hanya
dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi (dan
janganlah belas kasihan kalian kepada keduanya mencegah kalian untuk
menjalankan agama Allah) yakni hukum-Nya, seumpamanya kalian melalaikan
sesuatu dari hudud yang harus diterima keduanya (jika kalian beriman kepada
Allah dan hari akhirat) yaitu hari berbangkit. Dalam ungkapan ayat ini terkandung
anjuran untuk melakukan pengertian yang terkandung sebelum syarat. Ungkapan
sebelum syarat tadi, yaitu kalimat "Dan janganlah belas kasihan kalian kepada
keduanya, mencegah kalian untuk menjalankan hukum Allah", merupakan Jawab
dari Syarat, atau menunjukkan kepada pengertian Jawab Syarat (dan hendaklah
hukuman mereka berdua disaksikan) dalam pelaksanaan hukuman deranya (oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman) menurut suatu pendapat para saksi
itu cukup tiga orang saja; sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa saksi-
saksi itu jumlahnya harus sama dengan para saksi perbuatan zina, yaitu sebanyak
empat orang saksi laki-laki.

Mengenai tafsir QS. An-Nur ayat 3 dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Laki-
laki yang berzina tidak menikahi)(melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik) pasangan yang cocok buat
masing-masingnya sebagaimana yang telah disebutkan tadi (dan yang demikian
itu diharamkan) menikahi perempuan-perempuan yang berzina (atas orang-orang
Mukmin) yang terpilih. Ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dari
kalangan sahabat Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur orang-orang
musyrik, karena mereka orang kaya-kaya. Kaum Muhajirin yang miskin
menyangka kekayaan yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah
mereka. Karena itu dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi para sahabat
Muhajirin yang miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan
pengharaman ini bersifat umum dan menyeluruh, kemudian ayat ini dinasakh oleh
firman-Nya yang lain, yaitu, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kalian..."(Q.S. An Nur, 32).
Dalam penjelas tafsir kementrian agama RI pada ayat ini Allah
menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina baik perempuan maupun
laki-laki yang sudah akil balig, merdeka, dan tidak muhsan hukumnya didera
seratus kali dera, sebagai hukuman atas perbuatannya itu. Yang dimaksud dengan
muhsan ialah perempuan atau laki-laki yang pernah menikah dan bersebadan.

Tidak muhsan berarti belum pernah menikah dan bersebadan, artinya gadis dan
perjaka. Mereka bila berzina hukumannya adalah dicambuk seratus kali.
Pencambukan itu harus dilakukan tanpa belas kasihan yaitu tanpa henti
dengan syarat tidak mengakibatkan luka atau patah tulang.

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidak


dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggar hukum itu
yang tidak menjalankan ketentuan yang telah digariskan di dalam agama Allah.

Nabi Muhammad harus dijadikan contoh atau teladan dalam menegakkan hukum.


Beliau pernah berkata:

Dari:‘Aisyah berkata Rasulullah bersabda:
"Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya."
(Riwayat asy-Syaikhan)
Hukuman cambuk itu hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan
dilakukan di tempat umum dan terhormat, seperti di masjid, sehingga dapat
disaksikan oleh orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang
menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka
benar-benar dapat menahan dirinya dari perbuatan zina.
Adapun pezina-pezina muhsan baik perempuan maupun laki-laki hukumannya
ialah dilempar dengan batu sampai mati, yang menurut istilah dalam Islam
dinamakan "rajam".
Hukuman rajam ini juga dilaksanakan oleh orang yang berwenang dan
dilakukan di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak.
Hukum rajam ini didasarkan atas sunnah Nabi ‫ﷺ‬ yang mutawatir.
Diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Jabir bin Abdillah, Abu Said Al-
Khudri, Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Buraidah Al-Aslamy, bahwa
seorang sahabat Nabi yang bernama Ma’iz telah dijatuhi hukuman rajam
berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa ia berzina. Begitu pula dua orang
perempuan dari Bani Lahm dan Bani Hamid telah dijatuhi hukuman rajam,
berdasarkan pengakuan keduanya bahwa mereka telah berzina. Hukuman itu
dilakukan di hadapan umum. Begitulah hukuman perbuatan zina di dunia.
Adapun di akhirat nanti, pezina itu akan masuk neraka jika tidak bertaubat,
sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬.
"Jauhilah zina karena di dalam zina ada empat perkara.
Menghilangkan kewibawaan wajah, memutus rezeki, membikin murka Allah, dan
menyebabkan kekal di neraka." (Riwayat ath-thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath,
dari Ibnu ‘Abbas)
Kenyataannya adalah bahwa budaya pergaulan bebas laki-laki dan
perempuan telah menimbulkan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan, yaitu
HIV/AIDS, hilangnya sistem kekebalan tubuh pada manusia pada akhirnya yang
bersangkutan akan mati secara perlahan. Juga telah memunculkan banyaknya bayi
lahir di luar nikah, sehingga mengacaukan keturunan dan pada gilirannya
mengacaukan tatanan hukum dan sosial.

Perbuatan zina telah disepakati sebagai dosa besar yang berada pada posisi ketiga
sesudah musyrik dan membunuh, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi
‫ﷺ‬:Berkata Abdullah bin Mas’ud,

"Wahai Rasulullah! Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?"


Rasulullah menjawab, "Engkau jadikan bagi Allah sekutu padahal Dialah yang
menciptakanmu,"Berkata Ibnu Mas’ud, "Kemudian dosa apalagi?",
jawab Rasulullah, "Engkau membunuh anakmu karena takut akan makan
bersamamu." Berkata Ibnu Mas’ud,"Kemudian dosa
apalagi?"Rasulullah menjawab, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu."
Senada dengan hadis ini, firman Allah:

ِ ِ ٰ َّ ‫َوالَّ ِذيْ َن اَل يَ ْدعُ ْو َن َم َع ال ٰلّ ِه اِهٰلًا اٰ َخَر َواَل َي ْقُتلُ ْو َن‬
َ ‫س الَّيِت ْ َحَّر َم اللّهُ ااَّل بِاحْلَ ِّق َواَل َي ْزنُ ْو َن َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذل‬
‫ك َي ْل َق‬ َ ‫الن ْف‬
‫اَثَ ًاما‬

“Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sembahan lain dan
tidak membunuh orang yang  diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat hukuman yang berat,” (Al-Furqaan [25]: 68)

Hukuman di dunia itu baru dilaksanakan bila tindakan perzinaan itu benar-
benar terjadi. Kepastian terjadi atau tidaknya perbuatan zina ditentukan oleh salah
satu dari tiga hal berikut: bukti (bayyinah), hamil, dan pengakuan yang
bersangkutan, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Huzaifah:

Hukum rajam dalam Kitabullah jelas atas siapa yang berzina bila dia
muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, bila terdapat bukti, hamil atau
pengakuan. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud dengan "bukti" dalam hadis tersebut adalah kesaksian para


saksi yang jumlahnya paling kurang empat orang laki-laki yang menyaksikan
dengan jelas terjadinya perzinaan. Bila tidak ada atau tidak cukup saksi,
diperlukan pengakuan yang bersangkutan, bila yang bersangkutan tidak mengaku,
maka hukuman tidak bisa dijatuhkan.

Hukuman di akhirat, yaitu azab di dalam neraka sebagaimana diterangkan


dalam hadis yang diriwayatkan Huzaifah di atas, terjadi bila yang bersangkutan
tidak tobat. Bila yang bersangkutan tobat dan bersedia menjalankan hukuman di
dunia, maka ia terlepas dari hukuman akhirat, sebagaimana hadis yang
mengisahkan seorang sahabat yang bernama Hilal yang menuduh istrinya berzina
tetapi si istri membantahnya. Nabi mengatakan bahwa hukuman di akhirat lebih
dahsyat dari hukuman di dunia, yaitu rajam, jauh lebih ringan. Tetapi perempuan
itu malah mengingkari bahwa ia telah berzina.

Dari peristiwa itu dipahami bahwa bila orang yang berzina telah bertobat
dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, ia terlepas dari hukuman di akhirat.

Menurut Wahba al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir dinyatakan bahwa dalam


lafadz al-zani pada ayat ini secara i’rab sebagai mubtada, khabr terdapat pada kata
fajlidu. Sebagian mengatakan khabr terdiri atas berita didahulukan dan terdapat
kata yang terbuang fiima yutla alaikum terhadap apa yang telah diwahyukan
kepadamu). Fa dalam kalimat fajlidu berkedudukan sebagai fa zaidah tambahan
yang tidak memiliki pengaruh makna, tetapi ketika berkedudukan sebagai fa
fashilah maka huruf ini memiliki keterkaitan dengan kalimat sebelumnya.
Sehingga dalam kalimat ini terlihat sempurna dan saling mengikat bahwa pelaku
zina berkewajiban diberi hukuman. Penyebutan pelaku zina perempuan yang
berzina disebutkan lebih dahulu karena perzinaan sebagian besar terjadi karena
adanya sikap dan perbuatan dari seorang perempuan yang akhirnya memotivasi
seorang laki-laki berbuat zina. Selain itu dampak negatif dan aib yang ditimbulkan
oleh perzinaan lebih besar dari diri perempuan daripada bagi seorang lakilaki
karena perempuan adalah komponen dan objek pokok dalam perzinaan.21

Dalam corak tafsir fiqh menguraikan bahwa, hukuman bagi para pezina
mushan dan ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab
Dzahiri pelaku zina muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat hukuman
rangkap: deradahulu kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi: “Pelaku zina yang
telah kawin atau pernah kawin itu didera 100 kali dan dirajam”.

Berkaitan dengan hukuman bagi pezina, Imam Syafi’i juga berpendapat;


hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman matibagi pelaku zina
muhsan sudah seharusnya dibebankan atas pelaku zinaapabila perbuatan zina itu
diketahui oleh empat orang saksi. Bagi Imam Syafi’i hukuman dera sangat pantas
diberikan kepada pelaku zina muhsankarena si pelaku zina seharusnya (wajib)
21
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.5
menjaga loyalitas dan nama baikkeluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung
bahaya-bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan negara.22

E. Penafsiran QS. Al-Furqan:65

‫َّم ۖ ِإ َّن َع َذ َاب َها َكا َن َغَر ًاما‬ ْ ‫اص ِر‬ ِ َّ


َ ‫اب َج َهن‬
َ ‫ف َعنَّا َع َذ‬ ْ ‫ين َي ُقولُو َن َربَّنَا‬
َ ‫َوالذ‬

Artinnya:

“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari
kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". (Al-Furqan: 65)

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Dan orang-orang yang berkata, "Ya Rabb
kami! Jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaan yang kekal") yang abadi.

Al-Hasan al-Bashri berkata : segala sesuatu yang menimpa anak Adam


dari musibah yang tidak berkepanjangan maka itu bukanlah kebinasaan yang
kekal, adapun kebinasaan yang kekal ketika musibah itu berkepanjangan selama
langit dan bumi ada.

Dalam tafsir kementrian agama RI, dijelaskan mereka selalu mengingat


hari akhirat dan hari perhitungan. Mereka yakin bahwa semua amal perbuatan
manusia akan dipertanggungjawabkan di hari itu, yang baik diberi ganjaran
berlipat ganda, dan yang jahat akan dibalas dengan balasan yang setimpal.

Di kala mereka bermunajat dengan Tuhan di malam hari tergambarlah


dalam pikiran mereka bagaimana dahsyatnya suasana di waktu itu seakan-akan
mereka benar-benar melihat bagaimana ganasnya api neraka yang selalu menanti
para hamba Allah yang durhaka untuk menjadi mangsa dan santapannya.
Di kala itu meneteslah air mata mereka dan mereka memohon dengan sungguh-
sungguh kepada Tuhan agar dibebaskan dari siksaan api neraka yang pedih itu.

22
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.5-6
Orang-orang yang demikian kuat keyakinannya kepada hari akhirat tentu akan
mempergunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk berbuat amal kebajikan
sebanyak-banyaknya dan tidak akan melakukan perbuatan jahat karena yakin
perbuatannya itu akan dibalas dengan siksaan yang pedih. Betapa pun baiknya
suatu peraturan yang dibuat manusia dan betapa ketatnya pengawasan dalam
pelaksanaannya, tetapi manusia yang tidak sadar akan pengawasan Allah dapat
saja meloloskan diri dari ikatan peraturan dan undang-undang itu.

Akan tetapi, manusia yang beriman, andaikata tidak ada peraturan dan
undang-undang, tidak akan melakukan satu kejahatan pun, karena dia sadar
walaupun dapat bebas dari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat
melepaskan diri dari azab di akhirat. Kesadaran dan keinsyafan inilah yang
tertanam dengan kuat di dalam hati setiap muslim yang mendapat julukan "hamba
Allah Yang Maha Penyayang."

Ayat ini menjelaskan bagaimana seorang mukmin benar-benar takut jatuh


ke dalam siksaan neraka karena siksaannya amat pedih dan dahsyat.
Neraka itu merupakan seburuk-buruk tempat yang disediakan bagi hamba Allah
yang ingkar dan durhaka. Orang-orang kafir kekal di dalamnya selama-lamanya,
menderita berbagai macam siksaan. Meskipun kulit mereka telah hangus terbakar
dan panasnya api neraka telah menembus ke dalam daging dan tulang belulang,
namun mereka tetap hidup untuk merasakan siksaan itu sebagai tersebut
dalam firman-Nya:

Sungguh, orang-orang yang  kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami


masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan
kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana. (An-Nisa’ [4]: 56).23

Dalam penjelas Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-
Dimasyqi: Yaitu tetap dan abadi. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair
sehubungan dengan makna garaman ini, melalui salah satu bait syairnya:

23
https://risalahmuslim.id/quran/al-furqaan/25-65/
Jika dia (orang yang disanjung penyair) menyiksa, maka siksaannya terus-
menerus lagi tetap, dan jika dia memberi dengan pemberian yang banyak, ia tidak
peduli (berapa pun banyaknya).

Al-Hasan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:


sesungguhnya azab Jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal.
(QS. Al-Furqaan [25]: 65)
Segala sesuatu yang menimpa anak Adam, lalu lenyap darinya, tidak dapat
dikatakan garam. Sesungguhnya pengertian garam itu tiada lain bagi sesuatu yang
kekal selagi ada bumi dan langit. Hal yang sama dikatakan oleh Sulaiman At-
Taimi.
Muhammad ibnu Ka’b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Sesungguhnya azab Jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal. (QS. Al-Furqaan
[25]: 65)

Yakni mereka tidak merasakan nikmat hidup di dunia ini. Sesungguhnya


Allah subhanahu wa ta’ala menanyakan kepada orang-orang kafir tentang nikmat
(yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka). Mereka tidak dapat
mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Maka Allah menghukum mereka,
lalu memasukkan mereka ke dalam neraka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Qadzaf adalah tuduhan berbuat zina atau liwath seorang mukallaf terhadap
mukallaf lain dengan mengemukakan aibnya atau meniadakan keturunan
seseorang karena ada indikasi tentang perbuatan tersebut yang tidak dilengkapi
dengan alat bukti atau saksi.
Zina menurut Islam adalah hubungan seksual secara illegal. Dalam
pengertian lain, zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan.

Dalam penafsiran surah al-Israa: 32 dan an-Nuur: 2-3 benar-benar


menjelaskan diharamkannya perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan
perempuan yang bukan suami istri. Dan Allah sangat melaknat perbuatn tersebut
dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan yaitu cambuk 80-100 bagi pelaku
yang belum menikah dan rajam sampai mati jika pelakunya sudah menikah.

Sedagaka dalam tafsir surah al-Furqan: 65 ayat ini menjelaskan bagaimana


seorang mukmin benar-benar takut jatuh ke dalam siksaan neraka karena
siksaannya amat pedih dan dahsyat. Neraka itu merupakan seburuk-buruk tempat
yang disediakan bagi hamba Allah yang ingkar dan durhaka. Orang-
orang kafir kekal di dalamnya selama-lamanya, menderita berbagai macam
siksaan.

B. Saran
Makalah ini ditulis untuk menunjang perkuliahan mata kuliah tafsir ayat-
ayat ahkam. Adapun dalam penulisanya mengutip dan mengambil dari sumber-
sumber penulisan yang sudah baik. Namun tentu dalam penulisannya masih
terdapat kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan oleh
penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, Muhammad Agus. Skripsi: Studi Komparatif Tentang Pembuktian


Tindak Pidana Menuduh Zina (Qadzaf) Menurut Hukum Islam Dan
Hukum Positif", (Semarang, UIN Walisongo, 2017).
Mardiyah, Ainun. Skripsi: "Qadzaf Dalam Bentuk Kinayah (Studi Analisis
Hukum Pidana Islam)", (Medan, UIN Sumatera Utara, 2019).
Erwan. Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat
Mazhab", (Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020).
Marsaid. 2020. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Palembang: Rafah
Press.
Kisworo, Budi. Zina Dalam Kajian Teologis Dan Sosiologis, Jurnal Hukum Islam,
Vol. 1, No.1, (2016).
Tamrin. Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1
(Juni 2019).
Sukarmi. Skripsi: "Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir
Rawa'i Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an)", (Lampung,
UIN Raden Intan, 2019).
https://risalahmuslim.id

Anda mungkin juga menyukai