Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USHUL FIQH

SADDU DZARIAH

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Jaja Nurjanah,M.A.

Penyusun :
Aisyah Humayra ( 2007035030)
Moetiah Annisa Roestam (2007035076)

Kelompok 3

Semester 2 (B)

Fakultas Agama Islam


Prodi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

i
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya.
Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ibadah Akhlak pada Di Kampus
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan,
maupun isinya.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita
kembalikan semua, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

ii
DAFTAR ISI

Sampul Depan………………………………………………………………………………….i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………iii

Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………………………………………..iv
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...................................iv
C. Tujuan………………………………………………………………………………………………………………………..v
Bab 2 Pembahasan
A. Pengertian Sadd Dzariah………………………………………………………………………………………..…vi
B. Dasar Hukum Saddu Dzariah……………………………………………………………………………………..vi
C. Macam-macam Sadd Adz-Dzariah………………………………………………………………….………….ix
D. Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzariah…………………………………………………………..x
Bab 3 Penutupan
Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………………………xi
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………….…………………………xii

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-Qur’an
dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya.Untuk dapatnya titah Allah dan penjelasan
Nabi yang merupakan Syari’ah itu menjadi pedoman beramal yang terurai bernama fiqh tersebut,
disusun ketentuan dan aturan.Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing
Ulama dalam merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”.
Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum
yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran maupun as-Sunnah.
Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial dan persoalan baru yang muncul
yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur’an.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-
dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah  merupakan upaya pencegahan agar tidak terjadi sesuatu
yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku
manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan
hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan
menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada
perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan sad adz-dzari’ah?
2.      Apa dasar hukum sad adz-dzari’ah?
3.      Apa saja macam - macam sad adz-dzari’ah?
4.      Bagaimana pandangan ulama’ tentang sadd adz-dzari’ah?

iv
C.  Tujuan
Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini adalah:
1.      Dapat mengetahui apa itu sadd adz-dzari’ah
2.      Dapat mengetahui dasar hukum sadd adz-dzari’ah
3.      Dapat mengetahui macam – macam sadd adz-dzari’ah
4.      Dapat mengetahui pandangan ulama’ sadd adz-dzari’ah

v
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

1.      Secara Etimologis

Kata sadd adz-dzari’ah (‫د الذريعة‬DD‫ )س‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari


dua kata, yaitu sadd (‫ ُّد‬DDDDDD‫)س‬dan adz-dzari’ah (‫ة‬
َ ‫)ال َّذ ِر ْي َع‬. Secara etimologis, kata as-sadd (
‫ ُّد‬DD‫)الس‬merupakan
َّ kata benda abstrak (mashdar) dari ‫ ًّدا‬DD‫ ُّد َس‬DD‫ َّد يَ ُس‬DD‫س‬.
َ Kata as-sadd  tersebut berarti
menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah  (‫)ال َّذ ِر ْي َعة‬
merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya
sesuatu.

2.      Secara Terminologis /Istilah

Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

ً ‫ع ش َْرعا‬ َ ‫س ْيلَةً َوطَ ِر ْيقا ً اِل َى‬


ٍ ‫ش ْي ٍئ َم ْمنُ ْو‬ ِ ‫ما َ تَ ُك ْونُ َو‬
“Jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang”
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk
sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.

B.  Dasar Hukum Saddu Dzariah


1)      Al-Qur’an
‫سبُّو ْا هّللا َ َعدْواً بِ َغ ْي ِر ِع ْل ٍم َك َذلِ َك‬
ُ َ‫سبُّو ْا الَّ ِذينَ يَ ْدعُونَ ِمن دُو ِن هّللا ِ فَي‬ ُ َ‫َوالَ ت‬
َ‫زَ يَّنَّا لِ ُك ِّل أُ َّم ٍة َع َملَ ُه ْم ثُ َّم إِلَى َربِّ ِهم َّم ْر ِج ُع ُه ْم فَيُنَبِّئُ ُهم بِ َما َكانُو ْا يَ ْع َملُون‬ 
Terjemahan :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.Kemudian kepada Tuhan

vi
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan”. (QS. Al-An’am : 108)
    
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain
adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan   adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya
dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya
mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki
tuhan agama lain merupakan tindakan pencegahan (sadd adz-dzari’ah).

‫اب أَلِي ٌم‬ ْ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُو ْا الَ تَقُولُو ْا َرا ِعنَا َوقُولُو ْا انظُ ْرنَا َوا‬
ٌ ‫س َم ُعوا ْ َولِل َكافِ ِرينَ َع َذ‬
Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina",
tetapi katakanlah : "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang
pedih.”(QS. Al-Baqoroh:104)

Pada QS.Al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan
terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan
terjadi. Kata raa ‘ina (‫)را ِعنَا‬
َ berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para
sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan
nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud
kata raa’inan  (‫) َر ِعنًا‬sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah(‫) ُر ُعوْ نَة‬yang berarti bodoh.
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa
mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang
dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
2)      As-Sunnah
ْ‫س فَ َمن‬ َ ‫سلَّ َم َيقُو ُل ا ْل َحاَل ُل َبيِّنٌ َوا ْل َح• َرا ُم َبيِّنٌ َوبَ ْينَ ُه َم••ا ُم‬
ِ ‫ش•بَّ َهاتٌ اَل َي ْعلَ ُم َه••ا َكثِ••ي ٌر ِمنْ النَّا‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ُ ‫َر‬
َّ‫وش • ُك أَنْ يُ َواقِ َع •هُ أَاَل َوإِن‬
ِ ُ‫اع يَ ْرعَى َح ْو َل ا ْل ِح َمى ي‬ ٍ ‫ت َك َر‬ ِ ‫شبُ َها‬ ُّ ‫ض ِه َو َمنْ َوقَ َع فِي ال‬ ِ ‫ستَ ْب َرأَ لِ ِدينِ ِه َو ِع ْر‬
ْ ‫تا‬ َ ‫اتَّقَى ا ْل ُم‬
ِ ‫شبَّ َها‬
‫س• ُد ُكلُّهُ َوإِ َذا‬
َ ‫ص•لَ َح ا ْل َج‬ َ ‫ض• َغةً إِ َذا‬
َ ْ‫ص•لَ َحت‬ َ ‫ض• ِه َم َحا ِر ُم• هُ أَاَل َوإِنَّ فِي ا ْل َج‬
ْ ‫س• ِد ُم‬ ِ ‫لِ ُك• ِّل َملِ• ٍك ِح ًمى أَاَل إِنَّ ِح َمى هَّللا ِ فِي أَ ْر‬
‫ب‬ ُ ‫س ُد ُكلُّهُ أَاَل َو ِه َي ا ْلقَ ْل‬ َ َ‫سدَتْ ف‬
َ ‫س َد ا ْل َج‬ َ َ‫ف‬

vii
Terjemahannya :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram
juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui
oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah
memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan)
pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah
di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada
segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka
rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati".(Shohih Bukhari no.50)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang syubhat lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan daripada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3)      Kaidah fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah: 
.‫ح‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد أَ ْولَى ِمنْ َج ْل‬
َ ‫ب ا ْل َم‬ ِ َ‫د َْر ُء ا ْل َمف‬
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di
bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-
dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-
dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

viii
C.  Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah
Adz-Dzari’ah dibagi menjadi tiga yaitu:
1.      Dari segi kualitas kemafsadatannya.
Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat:
a.       Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan
umum yang gelap.
b.      Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur.
Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu,
dzari’ah ini tidak perlu dilarang.
c.       Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur
kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.
d.      Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak
sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara
kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama
tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang
berpendapat sebaliknya.
2.      Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2 :
a.       Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang
mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.
b.      Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan
perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan
yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang
tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.
3.      Dzari’ah dilihat dari bentuknya dibagi menjadi empat, yaitu:
a.       Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras.
Hal ini dilarang oleh syara’
b.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya
nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.

ix
c.       Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya
akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh
syara’
d.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat
wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka
dibolehkan sesuai kebutuhan.

D.  Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah


Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam
fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya. Imam Malik dan Imam Ahmad amat
banyak berpegang pada dzari.’ah, Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan
sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
a. Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108:
ُ َ‫سبُ ْواالَّ ِذ ْي َن يَ ْدع ُْو َن ِمنْ د ُْو ِن هللاِ فَي‬
)108 •‫سبُّ ْواهللاَ َع ْد ًوا ِب َغ ْي ِر ِع ْل ِم (االنعم‬ ُّ َ‫َواَل ت‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An
An’am:108)
b. Hadits Rasulullah saw
ِ ‫ص ْي ِ•ه فَ َمنْ حا َ َم َح ْو َل ا ْل ِحم َى يُ ْو‬
‫ش ُك اَنْ يَقَ َع فِ ْي ِه‬ َ ‫اَالَ َواِنَّ ِح‬
ِ ‫مى هللاِ َم َعا‬
“Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan
di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim).
 Sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah
mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.
Dengan demikian, maka mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah
dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan
bahaya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara
keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).

x
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sadd adz-dzari’ah  adalah menetapkan
hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun
dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Dasar hukum sadd adz-
dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah, dan kaidah fiqh.
            Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-
dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana
terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
2)      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang
3)      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan
Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam
fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya. Berpegang pada dzari’ah tidak boleh
terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang
sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan bahaya
menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan)
diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul)
B.     Saran

1.      Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat meskipun

perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan.

2.      Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada diri dari

perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusaka

xi
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Media


Group, 2012.
Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997.
Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, juz 2.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

xii

Anda mungkin juga menyukai