Anda di halaman 1dari 14

SAD DZARI’AH

Disusun Oleh :

Teuku Puji Rizki (180602022)

Dosen Pembimbing :
Rina Desiana, M.E.

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya kami,
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sad Dzari’ah dan metode serta masalahnya
dalam perbankan syariah”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua
jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar
bagi seluruh alam semesta.

Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu, Rina


Desiana, M.E. selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh Muamalah yang sudah memberikan
kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas kelompok ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan kita. Kami pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Banda Aceh, 1 April 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ………………………………...................………………………..

A. Latar Belakang Masalah ……………………….………......................………….……...…….

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................

A. Definisi dan Dasar Hukum Sadd Dzari’ah ..........................………….....…………….


B. Jenis-jenis Sadd Dzari’ah .......................................................………….……………..
C. Pandangan Ulama Tentang Sadd Dzari’ah ...............…....…………...........…………..
D. Metode Penentuan Sadd Dzari’ah………….......................….....................…………..
E. Aplikasi Sadd Dzari’ah dalam Ekonomi dan Keuangan Syari’ah ...…................
……..

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai
tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik
atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum sampai pada
pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang
harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan umpamanya, maka ia


harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti
mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini
adalah menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau
pendahuluan.

Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh syara’
dan termasuk kedalam hukum taklifi. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang
disuruh atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang
mendahuluinya. Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan perantara
(pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara itu disebut
oleh ahli Ushul dengan al-dzari’ah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Hukum Sadd Dzari’ah


Secara lughawi (bahasa), Dzari’ah itu berati Jalan yang membawa kepada
sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Arti lughawi ini mengandung
konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan[1]
.Pengertian netral inilah yang diangkat Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi
tentang dzari’ah, yaitu:
َّ ‫س ْيلَةً َوطَ ِر ْيقًاِإلَى ال‬
‫ش ْيى‬ ِ ‫َما َكانَ َو‬
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.
Selanjutnya Badran membeikan definisi yang tidak netral terhadap dzari’ah itu
sebagai berikut:
َ ‫شتَ ِم ِل َعلَى َم ْف‬
‫س َد ٍة‬ ْ ‫ش ْيِئ ا ْل َم ْمنُ ْوع ا ْل ُم‬ ِ ‫ُه َوا ْل ُم ْو‬
َّ ‫ص َل ِإلَى ال‬
Apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung
kerusakan.
Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata dzari’ah
itu didahului dengan saddu yang artinya “menutup”, maksudnya adalah “menutup
jalan terjadinya kerusakan”.  Adapun Dzari’ah artinya washilah (jalan), yang
menyampaikan kepada tujuan.[2] Dzari’ah disini ialah jalan untuk sampai kepada
yang haram atau kepada yang halal.
Sedangkan asy-Syaukani memberikan definisi terhadap Dzari’ah sebagai berikut:
‫الذ ريعةهى السئلةالتى ظ هرهااإلباحةويتوصل هاإلى فعل الحظور‬
“Masalah (sesuatu) yang dilihat secara lahir adalah mubah (boleh) , tetapi membawa
kepada perbuatan yang terlarang.”
Definisi lain yang hampir sama dengan definisi asy-Syaukani adalah definisi yang
dirumuskan oleh asy-Syathibi:
‫مايتوصل إلى الشيئ المنوع الشتمل على مفسدة‬

1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001),Jilid 2,


396-397
2 Su’ud bin mulluh sultan al ‘anzi, Saddu Dzarai’ ‘inda-l- Imam Ibnu Qayyim
Al Jauziyyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh,(Omman, Urdun: Daru-l-
“segala yang membawa kepada sesuatu yang terlarang, yang mengandung mafsadah
(kerusakan).”
Kesimpulannya, Sadd Dzari’ah adalah washilah (jalan), maksudnya yaitu jalan
yang menyampaikan kepada tujuan, misalnya cara (jalan) untuk menyampaikan
sesuatu yang baik maka hukumnya halal, dan sebaliknya jika cara (jalan) untuk
menyampaikan sesuatu yang buruk maka hukumnya haram.[3]

Contohnya jual beli al-‘inah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain
secara kredit kemudia dia membelinya kembali dari pembelinya yang pertama seacara
kontan dengan harga yang lebih mura. Misalkan linda menjual barang kepada wahyu
dengan harga 1.000.000 secara kredit selama 3 bulan. Kemudian linda membeli
barang tersebut dari wahyu dengan harga 750.000 secara kontan. Di sini seakan-akan
linda meminjam uang kepada wahyu 750.000 dan mengembalikannya kembali setelah
3 bulan sebesar 1.000.000, sedangkan barang tersebut hanya sebagai kedok saja, di
contoh tersebut sudah ada riba dan hukumnya haram.
Dasar Hukum Sadd Dzari’ah yaitu:
1. Al-Qur’an
a. Q.S Al-An’am: 108
‫والتسبو االذين يدعون من د و ن هللا فيسبواهللا عد وابغيرعلم‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S Al an’am: 108)
Pada ayat di atas, mencaki maki Tuhan atau sembahan agama lain adalah
Dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang,
yaitu mencaki maki Tuhan.
b. Q.S Al-Baqarah: 104
‫يأيهاالذ ينءامنواالتقولوارأعناوقولواانظرناواسمعواوللكفرين عذاب أليم‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.

3. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 398


Pada ayat tersebut bisa dipahami adanya bentuk pelarangan terhadap
sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang
akan terjadi. Kata raa’ina berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan
kami”. Saat para sahabat menggunakan kata ini pada Rasulullah, orang Yahudi
pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW.
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat menggati kata raa’ina yang
biasa mereka gunakan. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini
menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari Sadd Dzari’ah.[4]
2. As-Sunah
a. Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
kesulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima
hadiah dari orang yang berutang demi menutup celah riba.
b. Fuqaha sahabat juga menerima prinsip ini, hingga mereka memberikan waris
kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit
kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkan
warisan.
Dari Adullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ termasuk
diantara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau
kemudian ditanya,”Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki Ayah orang lain,
kemdian orang yang dicaci itupun membalas mencaci maki Ayah dan Ibu tua
lelaki tersebut.”[5]
B. Jenis-jenis Sadd Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa segi:
1. Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibn Qayyim
membagi Dzari’ah menjadi empat, yaitu:
a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti
meminum minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan
akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa kepada kerusakan tata
keturunan.
4 Muhammad Bin abi Bakar Ayyub Azzar’i Abu Abdillah Ibnul Qayyim Al
Jauzi, I’lamul Muqi’in, Jilid 5, 496 , lihat juga, Su’ud bin mulluh sult}an al ‘anzi,
Saddu Dzarai’ ‘inda-l- Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi
alfiqhiyyahh,hal: 39
5 Yusuf Abdurrahman Al farat, Al tatbiqat al mu’asirat lisaddi-l-dzari’at, qahirah,(Daru-l-fikri al’arabi,
2003), 11
b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk
perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil,
atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain.
c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk
kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana
kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.
d. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa
kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding
kebaikannya.
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi membagi
dzari’ah kepada empat macam, yaitu:
a. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila
perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
b. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti
kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan
atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya.
Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak dihindarkan sering kali sesudah itu akan
mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan
terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan
menimbulkan kerusakan.[6]
C. Pandangan Ulama Tentang Sadd Dzari’ah
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama
tentang boleh atau tidakanya menggunakan sadd dzari’ah.
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman
dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat
sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada dasarnya juga menerima
metode sadd dzari’ah itu, meskipun berbeda dalam kadar penerimaanya. Kalangan

6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal: 399


ulama Malikiyah yang dikenal banyak menggunakan faktor maslahat dengan
sendirinya juga banyak menggunakan metode sadd dzari’ah.[7]
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd dzari’ah adalah kehati-hatian
dalam beramal ketika menghadapi pembenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila
maslahat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya,
maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu
sebagaimana dirumuskan dalam kaidah:
‫درأالمفاسد مقد م عل جلب المصا لح‬
Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.[8]
Bila diantara yang halal dan haram berbaur (bercampur), maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah:
‫دع ما ير يبك إلى ماالير يبك‬
Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak
meragukanmu.
Begitu pula sabda Nabi yang berbunyi:
‫الحال ل والحرام بينه وبينهما أمورمتشابهات االوان حمى هللا محرمة فمن حام حول الح‬
Yang halal itu sudah jelas. Yang terletak di antara keduanya termasuk urusan yang
meragukan (Syubhat). Ketahuilah bahwa ladang Allah itu adalah padang yang
diharamkannya. Siapa yang bergembala di sekitar padang larangan Allah itu
diragukan akan terjatuh kedalamnya.[9]
D. Metode Penentuan Sadd Dzari’ah
Predikat – predikat hukum syara’ yang diletakan kepada perbuatan yang bersifat
sadd dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi yaitu:
1. Ditinjau dari segi al-ba’its (motif  pelaku)
2. Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya
dari segi motif dan nilai pelaku.[10]

Al-ba’its adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan,
baik motifnya untuk menimbukan sesuatu yang dibenarkan (halal) maupun motifnya
untuk menghasilan sesuatu yang terlarang (haram). Misalnya, seorang pegawai bank
menjual barang dengan cara cicilan kepada pedagang dengan uang sebesar 2 juta
7 Ja’far bin Abdurrahman Qasas, Qaidatu saddu dzarai’ wa atsaruha al fiqhiyyu, Ramadhan, 1431 H, 7
8 Ibrahim bin mahna bin ‘Abdilahi bin Mahanna, sadd Dzarai’ ‘Inda Syaikh Islam ibnu Taimiyyah, (Riyad}:
Dar Fadilah, 2004), 26
9 Wahbah Zuhayli, Al wajiz Fi Us}uli-l-fiqh,(Damaskus, Suriyah :Dar-l-fikr, 1999), 108
10 Muhammad Hisyam Al Burhani, Sadd al Dzari’ah fi Al Syari’ah Al Islamiyyah, , 103-122
rupiah. Kemudian pegawai bank ini membeli kembali barang tersebut dari pedagang
dengan cara tunai seharga 1 juta rupiah. Jika dua akad tersebut dilihat secara terpisah,
kedua-dua akad tersebut sah karena memenuhi ketentuan akad yang dibenarkan. Akan
tetapi kedua akad tersebut sebenarnya dilakukan dengan motif untuk menghindarka
hukum riba, bukan untuk melakukan akad jual beli yang dibenarkan, dimana pada
hakikatnya pegawai bank meminjamkan uang kepada pedagang 1 juta rupiah
sedangkan yang akan dibayar pedagang secara cicilan sebesar 2 juta rupiah.[11]

Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit diketaui oleh orang lain,
karena berada didalam kalbu orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian
hukum segi ini bersifat Diyanah (dikaitkan dengan dosa atau pahala yang akan
diterima pelaku di akhirat). Pada Dzariah, semata-mata pertimbangan niat  pelaku
saja, tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan ketentuan hukum batal atau fasad-
nya suatu transaksi.[12]

Tinjauan yang kedua, difokuskan pada segi mashlahah dan mafsadah yang
ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan suatu
perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan
kadar kemaslahatannya wajib atau sunnah). Sebaliknya, jika rentetan perbuatan
tersebut membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut terlarang, sesuai dengan
kadarnya pula (haram atau makruh). Contohnya, seseorang mencaci maki berhala-
berhala orang musyrik sebagai bukti keimanannya kepada Allah dan dengan niat
ibadah. Akan tetapi, perbuatan tersebut mengakibatkan tindakan balasan dalam
bentuk caci maki pula dari orang musyrik terhadap Allah. Oleh karena itu perbuatan
tersebut menjadi terlarang dalam hal ini, Allah berfirman pada surah al-An’am
(6):108

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain


Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.”[13]

11 Muhammad Bin abi Bakar Ayyub Azzar’i Abu Abdillah Ibnul Qayyim Al Jauzi, I’lamul Muqi’in, (islamic
book)jilid 5 497, lihat juga Wahbah Zuhayli, Al wajiz Fi Usuli-l-fiqh, 109.
12 Wahbah Zuhayli, Al wajiz Fi Usuli-l-fiqh, hal:109, lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 401
13 Imam Tajuddin Abdul Wahab bin ‘Aliyyi Ibnu ‘abdi-l-Kafi Assubki , Al Asybah Wa-l-nadzhair, (Beirut,
Lubnan:Dar Kitab ‘Ilmiyah, 1991) Jilid 1, 105
Jika dengan tinjauan dzari’ah yang pertama diatas, yaitu segi motif perbuatan,
hanya dapat mengakibatkan dosa atau pahala bagi pelakunya, maka sebaliknya,
dengan tinjauan yang kedua ini, perbuatan dzar’ah melahirkan ketentuan hukum yang
bersifat qadha’i, dimana hakim pengadilan dapat enjatuhkan hukum sah atau batalnya
perbuatan tersebut, bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarannya perbuatan
tersebut, tergantung pada: apakah perbuatan dzari’ah tersebut menimbulkan dampak
maslahah atau mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku adalah
untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.

E. Aplikasi Sadd Dzari’ah dalam Ekonomi dan Keuangan Syari’ah


Dalam amaliah sehari-hari dijumpai berbagai fenomena yang memerlukan suatu
kepastian hukum baru secara syar’i. Berbagai model kasus kerap kali muncul di era
modern, sehingga menuntut dinamisasi hukum islam. Kendati demikian seorang
hamba diharuskan agar lebih ihthiyat (hati-hati) dalam menentukan ‘hukum baru’
tersebut. Kajian yang mendalam dengan didasari ilmu syari’at yang kokoh serta
keimanan dan ketaqwaan yang tulus diharapkan mampu menuntun manusia (seorang
mukallaf) kepada pengetahuan yang benar tentang hak dan kewajibannya, baik
interaksinya dengan sesama maupun dengan Allah SWT.  Al-Syathibi menyatakan
bahwa seorang mukallaf tidak memiliki pilihan terhadap segala sesuatu yang terkait
hak-hak Allah SWT, sedangkan jika terkait dengan hak hamba dalam dirinya, dia
boleh memilihnya. Oleh karenanya, menetapkan halal dan haram itu merupakan
bagian dari kewenangan (hak) Allah SWT, sehingga akal tidak boleh menghalalkan
yang haram dan sebaliknya. Al-dzari’ah dimaknai dengan segala sesuatu yang
mengantarkan kepada kerusakan, baik terjadinya kerusakan tersebut disengaja atau
tidak disengaja, serta dalam kondisi yang umum (bukan peristiwa tertentu). Penerapan
sadd dzari’ah hendaknya steril dari bisikan nafsu syaitan dan senantiasa didasari oleh
ilmu agama islam yang mapan serta dikendalikan oleh kenyakinan berupa iman dan
taqwa dalam rangka merealisasikan kepatuhan kepada sang pencipta. Kesadaran
sebagai seorang hamba yang memiliki kewajiban, diperlukan untuk ‘gegabah’ dalam
melakukan perbuatan. Dengan demikian, kemaslahatan yang menjadi acuan
penetapan hukum syara’ niscaya dapat terwujud sebagai ‘simbol’ islam yang
rahmatan li al-alamin. Contohnya misalkan ada seorang Bankir yang kurang
profesional dalam bekerja di Bank, maka dari itu, pihak bank menginginkan lokalisasi
tidak dengan Bankir tersebut diberhentikan,  tetapi dilakukan berbagai pendekatan
secara psikologi atau lainnya untuk memberikan pembinaan kesadaran kepada para
Bankir yang tidak profesional.  Hal ini bagian dari konsep sadd dzari’ah, yakni untuk
mencegah meluasnya mafsadah yang besar jika lokalisasi bankir tersebut
diberhentikan. Sebenarnya Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya
merupakan salah satu contoh kasus sadd dzari’ah hanya saja karena istilahnya yang
kurang populer sehingga masyarakat kurang memperhatikannya. Contohnya
perbuatan dalam ekonomi dan keuangan syariah yaitu menjual suatu barang yang di
dalamnya ada hukum riba.14

14 Abdurrahman bin Abi Bakar Al Suyuti, Al Asybah Wa-l-Nadzair, (Islamic book, 2010)68
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Saddul Adz Dzari’ah adalah Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa
sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang. Macam-macam Saddul Adz Dzari’ah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dalam
kehidupan sehari-harinya.

Dasar hukum Saddul Adz Dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah, kaidah
fiqh, sampai logika. Pandangan para Ulama terhadap mengenai Saddul Adz Dzari’ah
berbeda-beda. Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.’ah,
sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang
telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.

Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus
Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga masyarakat
kurang memperhatikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. Metodologi Pembaruan Hukum Islam. (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008)

Abdurrahman bin Abi Bakar Al Suyuti, Al Asybah Wa-l-Nadzair, (Islamic book, 2010)68

Amir. Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001),Jilid 2, 396-397

Dahlan, Rahman.Ushul Fiqh, (Jakarta, Amzah, 2011)

Su’ud bin mulluh sultan al ‘anzi, Saddu Dzarai’ ‘inda-l- Imam Ibnu Qayyim

Al Jauziyyah, wa atsaruhu fi ikhtiyaratihi alfiqhiyyahh,(Omman, Urdun: Daru-l- Djazuli, A.Ilmu Fiqh.


(Jakarta: Kencana,2006).

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001),Jilid 2, 396-397

Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh. (Jakarta: Kencana,2006).

M. Abu Zahrah, UshulFiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011).

Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta, Amzah,2011)

Anda mungkin juga menyukai