Anda di halaman 1dari 11

Kaidah Li al-Wasail Hukm al-Maqashid

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Disusun oleh:
M.YUSUF NUR ROHIM
80100222160

Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd. Rauf Muhammad Amin, Lc. M.A.
Dr. H. Andi Achruh, M.Pd.I.

SYARIAH/HUKUM ISLAM PRODI DIRASAH ISLAMIYAH


PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah telah memberikan umat manusia sebaik-baik syariat yang diajarkan


oleh sebaik-baik rasul, syariat yang sangat sempurna yang tidak memiliki cacat atau
kekurangan sedikitpun. Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum utama
dalam syariat ini, namun seiring berkembangnya zaman banyak hal-hal terperinci
yang tidak tertera secara tekstual di dalamnya. Oleh karenanya para ulama telah
merumuskan berbagai macam kaidah yang memudahkan dalam penyimpulan
hukum dari al-quran dan hadis atas segala perkara yang terperinci tersebut. Kaidah
ini mencakup berbagai macam hukum fiqh di dalamnya. Perkembangan pesat yang
terjadi di masyarakat modern ini melahirkan berbagai macam perantara atau
wasilah yang terikat dengan tata cara pelaksanaan ibadah dalam syariat. Wasilah
merupakan perantara yang menghantarkan atau mendukung tercapainya tujuan
dalam setiap hukum yang disyariatkan dalam agama Islam ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?
2. Bagaimana hubungan antara wasail dan maqashid ?
3. Apa saja syarat penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?
4. Apa saja contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?

C. Tujuan Penelitian
1. Memahami definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid
2. Memahami hubungan antara wasail dan maqashid
3. Mengetahui syarat-syarat penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid
4. Mengetahui contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid

Definisi kata wasail

Secara etimologi, kata wasail adalah bentuk jamak dari wasilah, asal
katanya adalah wa-sa-la yang berarti keinginan atau permintaan. Kedua makna ini
saling berdekatan, seseorang yang menginginkan sesuatu akan berusaha meraih
atau mendapatkan hal tersebut dengan berbagai macam cara. Di antara contohnya
adalah firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 57 : 1

ِ ِِ ِ ِ ‫أ ُ۟وٰلَٓئِ ﱠ‬
َ ‫ب َويَـْر ُجو َن َر ْﲪَتَهُۥ َوَﳜَاﻓُو َن َع َذاﺑَٓهُۥ ۚ إِ ﱠن َع َذ‬
‫اب‬ ُ ‫ين يَ ْد ُعو َن يَـْبـتَـغُو َن إ َ ٰﱃ َرّ ُم ٱلْ َوسيلَةَ أَيـﱡ ُه ْم أَقْـَر‬
َ ‫ك ٱلذ‬َ

َ ِّ‫َرﺑ‬
‫ك َﻛا َن َْﳏ ُذ ًورا‬

Artinya: Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.

Kata wasilah juga memiliki makna yang lain seperti derajat, kedudukan
yang tinggi dan yang lainnya. Tetapi seluruh makna ini kembali ke makna
keinginan atau permintaan. Maka bisa disimpulkan bahwa wasilah adalah segala
sesuatu yang menjadi perantara untuk bisa menggapai atau meraih sesuatu. 2

Sedangkan secara epistimologi, wasilah berarti berbagai cara atau jalan


untuk meraih tujuan, baik itu yang sesuai dengan aturan syariat ataupun yang tidak,

1
Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, Tahdzib al-Lughoh, (Kairo: al-Dar al-
Mishriyyah), t.t., jilid 13, hlm. 47.
2
Muhammad bin Mukram bin Ali Jamaluddin Ibn al-Mannzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar
Shadir), 1414 H, jilid 11, hlm. 725.

2
3

namun dalam istilah syariat yang dimaksud adalah yang diperbolehkan oleh
syariat.3

Definisi kata maqashid

Secara etimologi, kata maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad, asal
katanya adalah qa-sha-da yang berarti menghadirkan atau meraih sesuatu. 4
Terkadang juga dapat berarti keadilan, perjalanan yang lurus dan dekat serta sedikit
hambatannya, pertengahan dalam segala sesuatu, juga dapat berarti condong dan
tekad untuk meraih sesuatu.5

Sedangkan secara epistimologi, Al-Ayyubi menyebutkan dalam kitabnya


Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar’iyyah
bahwa maqashid adalah makna dan hukum yang diatur oleh Allah dalam syariatnya
baik secara umum ataupun khusus dengan maksud terpenuhinya segala kepentingan
hamba-hamba-Nya.6

Definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid

Dapat dipahami makna umum dari kaidah ini adalah bahwa seluruh wasail
atau perantara baik yang berupa perbuatan ataupun perkataan akan mengikut
kepada maqashid atau tujuan, dan hukum perantara itupun mengikut kepada hukum
tujuan baik wajib, sunnah, makruh, mubah, ataupun haramnya. Dan kaidah ini
mencakup seluruh bab baik dalam hal perintah ataupun larangan. Hubungan antara
perantara dan tujuan ialah sebagaimana tujuan tidak dapat dicapai kecuali dengan
berbagai perantara dan jalan menuju tujuan tersebut, maka perantara ataupun jalan
ini mengikut kepada tujuan tersebut. Maka perantara yang menghantarkan kepada

3
Ahmad bin Idris bin Abdur Rahman al-Qarafi, al-Dzakhirah, (Beirut : Dar Gharb Islami),
1994, jilid 1, hlm. 153.
4
Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazuwaini al-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Syiria:
Darul Fikr), 1979, jilid 5, hlm. 95.
5
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi al-Razi, Mukhtar al-Shihhah,
(Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah), 1999, hlm. 254.
6
Muhammad Sa’ad bin Ahmad al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaqatuha
bi al-Adillah al-Syar’iyyah, (Syiria : Darul Hijrah), 1998, hlm. 38.
4

sesuatu yang haram atau maksiat hukumnya sesuai dengan keterikatannya dengan
sesuatu yang haram atau maksiat tersebut. Begitupun perantara yang
menghantarkan kepada suatu ketaatan hukumnya sesuai dengan keterikatannya
dengan ketaatan tersebut.7

B. Hubungan antara wasail dan maqashid

Siapa saja yang mentadaburi latar belakang disyariatkannya hukum dalam


agama ini akan mengetahui bahwa Allah swt. tidak mengharamkan sesuatu kecuali
juga menutup segala jalan ataupun perantara yang menghantarkan kepada sesuatu
yang diharamkan tersebut. Hal itu tidak lain adalah bentuk penekanan dan
penetapan atas haramnya hal tersebut. Dan Allah swt. tidak memerintahkan sesuatu
kecuali juga menghimbau ataupun membolehkan segala jalan ataupun perantara
yang melengkapi ataupun mendukung hal yang diperintahkan tersebut. Bilamana
Allah membolehkan perantara yang menghantarkan pada sesuatu yang haram,
maka hal tersebut berkontradiksi dengan larangan tersebut. Pun bilamana Allah
melarang perantara yang mendukung hal yang diperintahkan tadi, maka itu adalah
sebuah kecacatan di sisi Allah, dan hal tersebut mustahil di sisi-Nya. 8

Bukti-bukti atas hal tersebut bisa dijumpai begitu banyak dalam syariat
Islam, di antaranya larangan untuk berbuat zina disempurnakan dengan himbauan
untuk menikah, bilamana tidak terdapat himbauan tersebut maka larangan untuk
berzina tersebut merupakan hal yang sia-sia. Juga larangan untuk mencuri
disempurnakan dengan diwajibkannya bekerja mencari rezeki, bilamana tidak
demikian maka larangan untuk mencuri tersebut merupakan hal yang sia-sia.
Begitupun perintah untuk jujur disempurnakan dengan larangan untuk berbohong
dan memberi kesaksian palsu, bilamana tidak demikian maka perintah tersebut
merupakan hal yang sia-sia. Hubungan antara perantara atau wasail dengan tujuan

7
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Darul Kutub
Ilmiyah), 1991, jilid 3, hlm. 108.
8
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, jilid 3, hlm. 108.
5

atau maqashid kembali pada kaidah bahwa perintah terhadap sesuatu juga berarti
larangan akan hal yang berlawanan dengannya.9

C. Syarat penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid

Para ulama menetapkan beberapa syarat dalam penerapan kaidah ini agar
kaidah ini bisa menghasilkan kesimpulan hukum yang tepat, di antara syarat-syarat
tersebut adalah:10

1. Tujuan yang dituju oleh perantara haruslah tertera dalam teks syariat.
Yang dimaksud dengan tertera di sini adalah diketahui hukumnya melalui
zahir teks syariat ataupun isyarat akan hal tersebut ataupun qiyas ataupun
ijma’ ataupun hal lain yang menjadi sarana penetapan tujuan.
2. Perantara tidak berkontradiksi dengan teks syariat ataupun kaidah umum.
Perantara lebih rendah derajatnya daripada tujuan, dan tujuan didahulukan
daripada perantara. Bahkan perantara tidak dianggap bilamana tujuan tidak
ada, maka tujuan adalah dasar atau pondasinya dan perantara adalah cabang.
Hal ini dikarenakan syariat ada untuk menjamin terwujudnya tujuan atau
maqashid, dan perantara tidak dianggap kecuali sebagai penyempurnya atau
pelengkap dari tujuan tersebut.
3. Perantara pada asalnya tidak terikat oleh hukum syariat.
Secara umum hukum terbagi dua menjadi maqashid atau tujuan yang
mengandung hukum di dalamnya, dan wasail atau perantara yang
hukumnya mengikut kepada maqashid tersebut dan merupakan sarana
terwujudnya tujuan tersebut, ia pun tidak mengandung hukum apapun pada
dasarnya.
4. Perantara tersebut merupakan sarana terwujudnya tujuan, dan tujuan
tersebut tidak akan tercapai tanpanya.
Perantara dianggap sesuai dengan kekuatan pengaruhnya atas tercapainya
tujuan atau maqashid, hal ini dapat terlihat ketika terdapat beberapa
perantara yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut. Maka tidak
semua perantara itu mendapat hukum yang sama dengan tujuan tersebut
juga tidak berarti semua perantara itu ditolak, namun semuanya tergantung

9
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathu al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo : Maktabah
Salafiyah), 1390 H, jilid 1, hlm. 238.
10
Ahmad bin Idris al-Qarafi, al-Dzakhirah, (Beirut: Darul Ghorb Islami), 1994, hlm. 190 –
198.
6

pada tingkat kekuatan pengaruh dari tiap perantara tersebut atas tercapainya
tujuan.
5. Perantara harus lebih rendah derajatnya daripada tujuan.

Hal itu dikarenakan perantara akan ditiadakan bilamana tujuan telah tiada.
Perantara adalah yang mengikut kepada tujuan, bilamana ia lebih tinggi
derajatnya daripada tujuan, maka ia pun menjadi induk bukan lagi sebagai
cabang yang mengikut kepada suatu induk. Jikalau demikian, maka
terjadilah kontradiksi dalam penyimpulan hukum, dan akan merusak
berbagai kepentingan para hamba Allah.

D. Contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid


Di antara contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid, adalah
sebagai berikut:11
1) Keluarnya orang yang sedang beriktikaf dari dalam masjid ataupun
mengerjakan pekerjaan selain ibadah di dalamnya.

Para ulama sepakat bahwa orang yang beriktikaf boleh


meninggalkan tempat iktikafnya untuk keperluan buang air besar ataupun
buang air kecil. Hal ini ditujukan untuk menjaga kesucian masjid dari
sesuatu yang najis, pun hal ini sudah lampau adanya, di masa sekarang telah
tersedia tempat khusus di kawasan masjid untuk keperluan tersebut.
Imam malik berpendapat bahwa orang yang beriktikaf tidak
seharusnya untuk meninggalkan tempat iktikafnya tersebut kecuali untuk
kebutuhan pokok manusia seperti buang air besar ataupun buang air kecil,
bahkan tidak diperkenankan baginya untuk makan atau minum di rumahnya
bilamana rumahnya dekat dengan tempat iktikafnya tersebut, hendaknya ia
mencari solusi lain atau makan di teras masjid. Hal demikian dikarenakan
bila ia pulang ke rumahnya lantas bertemu dengan isteri dan anaknya, ia
akan disibukkan oleh keluarganya itu.
Imam malik bahkan berpendapat orang yang berhak beriktikaf
adalah orang yang berkecukupan, sedangkan bagi yang kurang atau tidak
berkecukupan makruh baginya untuk beriktikaf. Hal demikian ditujukan
agar ketika beriktikaf seseorang tidak lagi disibukkan dengan urusan selain
ibadah.
Sedangkan perihal pekerjaan yang boleh dikerjakan selama iktikaf,
imam Malik berpendapat bahwa orang yang beriktikaf tidak seharusnya

11
Malik bin Anas al-Madani, al-Mudawwanah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah), 1994, jilid
1, hlm. 298-300.
7

menyibukkan diri dengan berbagai hal lainnya bahkan walaupun


menghadiri majlis ilmu, atau mendamaikan perselisihan antar sesama,
kecuali hanya mengerjakannya sewajarnya saja. Hal ini dikarenakan
bilamana ia terlalu berkecimpung di dalamnya, maka hal-hal tersebut akan
menyibukkannya dari tujuan asal dalam beriktikaf. Tujuan asal beriktikaf
ialah menyendiri dan betul-betul meluangkan waktu hanya fokus untuk
beribadah mendekatkan diri kepada Allah.
Keluarnya orang yang beriktikaf dari masjid, bermuamalah dengan
sesamanya dalam bentuk jual beli, menjenguk orang sakit dan hal-hal
lainnya merupakan perantara yang mencegah tercapainya tujuan asli dari
iktikaf. Maka larangan atas segala hal tersebut merupakan perantara untuk
menyempurnakan tercapainya tujuan dari iktikaf.

2) Menghias masjid

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghias masjid hukumnya


makruh bahkan bisa menjadi haram bilamana hiasan ataupun tulisan itu
diletakkan di arah kiblat para jamaah ataupun bila dibuat menggunakan
emas atau perak. Imam Malik berpendapat bahwa makruh hukumnya
meletakkan tulisan ayat al-quran atau hiasan lainnya di kiblat para jamaah
di masjid, dan semakin tegas hukumnya bila tulisan atau hiasan itu dibuat
dengan emas atau perak, atau bilamana hiasan tersebut terlalu berlebihan.
Hukum makruh atau haram tersebut disebabkan karena hiasan-
hiasan tersebut mengganggu kekhusyukan orang yang sedang shalat,
sedangkan khusyuk merupakan tujuan yang harus dicapai sebagaimana
firman Allah:
ِ ‫قَ ْد أَﻓْـلَح الْم ْؤِمنُو َن الﱠ ِذين هم ِﰲ ص َﻼ ِِم خ‬
‫اش ُعو َن‬ َ ْ َ ُْ َ ُ َ
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu
orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya. (QS. Al-Mukminun : 1-2)
Hal ini juga ditegaskan dalam hadis:

‫ ﻓﻘال النﱯ‬،‫ ﻛان قَِرام لعاﺋﺸ ــة َسـ ـﱰت ﺑه جاﻧﺐ ﺑَيتها‬:‫عن أﻧﺲ ﺑن مالك رﺿ ــﻲ ﷲ عنه قال‬
‫ ﻓﺈﻧه ﻻ ﺗَﺰال ﺗﺼا ِويُرﻩ ﺗَـ ْع ِرض ﰲ صﻼﰐ‬،‫ك هذا‬ ِ ‫يﻄﻲ عنﱠا قِرام‬
ِ ‫ »أ َِم‬: ‫صلﻰ ﷲ عليه وسلم‬
ََ
Artinya: Dari Anas bin Malik -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, Aisyah
memiliki gorden yang dipakai untuk menutup jendela kamarnya. Maka
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Singkirkanlah gorden
jendela ini dari kita, karena gambar-gambarnya selalu nampak dalam
salatku." (HR. Bukhori)
8

dalam hadis ini tertera bahwa makruh hukumnya shalat di atas sajadah yang
penuh dengan hiasan, begitupun hukum menghias masjid.
Juga disebutkan sikap Umar bin Khattab mengenai hal tersebut :
ۡ ِ ‫ َﻛا َن س ۡﻘﻒ ۡالم ۡﺴ ِﺠ ِد ِم ۡن ج ِر‬:‫يد‬
ۡ ‫يد الن‬
:‫ َوقَ َال‬،‫ َوأ ََمَر ُع َمُر ﺑِبِنَ ِاء ال َم ۡﺴ ِﺠ ِد‬.‫ﱠﺨ ِﻞ‬ َ َ ُ َ
ٍ ِ‫وقَ َال أَﺑو سع‬
َ ُ َ
ِۡ ۡ ۡ
ِ ُ‫ وإِ ﱠ َك أَن ُﲢ ِمر أ َۡو ﺗ‬،‫أَﻛِ ﱠن النﱠاس ِمن المﻄَ ِر‬
.‫ﱠاس‬
َ ‫ﱳ الن‬ َ ‫ ﻓَـتَـف‬،‫ﺼ ّفَر‬
َ َّ َ َ َ َ َ
.‫ ﰒُﱠ َﻻ يَـ ۡع ُمُروََا إِﱠﻻ قَلِ ًيﻼ‬،‫اه ۡو َن َِا‬ َ َ‫ يَـتَـب‬:‫ﺲ‬
ٌ َ‫َوقَ َال أَﻧ‬
ۡ ِ ۡ ۡ
.‫ﱠﺼ َارى‬َ ‫ود َوالن‬
ُ ‫ﱠها َﻛ َما َزخَرﻓَﺖ اليَـ ُه‬ َ ‫ لَتُـ َﺰخ ِرﻓُـنـ‬:‫اس‬ٍ ‫َوقَ َال ۡاﺑ ُن َعبﱠ‬
Artinya: Abu Sa’id berkata: Dahulu, atap masjid Nabawi terbuat
dari pelepah pohon kurma. ‘Umar bin Al-Khaththab memerintahkan
membangun masjid dan mengatakan, “Naungi orang-orang (yang berada
di dalamnya) dari hujan! Jangan engkau beri warna merah atau kuning
sehingga engkau membuat fitnah bagi orang-orang (sehingga tidak
khusyuk)!”
Anas mengatakan, “Mereka bermegah-megah dengan bangunan masjid
namun tidak ada yang memakmurkannya kecuali sedikit.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kalian pasti akan menghiasi bangunan masjid
sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menghias-hiasi
(tempat ibadah mereka).” (HR. Bukhori)
Maka dapat disimpulkan bahwa larangan untuk menghias masjid
secara berlebihan merupakan perantara yang menghantarkan kepada tujuan;
untuk menjaga kekhusyukan orang yang shalat di dalamnya, juga untuk
menyelisihi bangunan tempat ibadah kaum yahudi dan nasrani.
BAB III
PENUTUP

Dari tulisan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Makna umum dari kaidah li al-wasail hukm al-maqashid adalah bahwa
seluruh wasail atau perantara baik yang berupa perbuatan ataupun perkataan
akan mengikut kepada maqashid atau tujuan, dan hukum perantara itupun
mengikut kepada hukum tujuan baik wajib, sunnah, makruh, mubah,
ataupun haramnya.
2. Kaidah li al-wasail hukm al-maqashid tidak hanya mencakup perihal
perintah ataupun anjuran saja, namun juga mencakup perihal larangan.
Maka sebagaimana perantara yang menghantarkan kepada suatu kewajiban
hukumnya wajib, maka perantara yang menghantarkan kepada suatu
keharaman hukumnya haram.
3. Dalam penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid harus diperhatikan
berbagai syarat dan ketentuannya agar kaidah ini tidak justru menjadi sebab
keluarnya suatu wasilah atau perantara dari maksud atau tujuan dalam
syariat, ataupun menjadi sebab mewajibkan sesuatu yang tidak seharusnya
diwajibkan, pun mengharamkan sesuatu yang tidak seharusnya diharamkan.

9
10

DAFTAR PUSTAKA

al-Azhari, Abu Mansur Muhammad bin Ahmad. Tahdzib al-Lughoh. Kairo: al-Dar
al-Mishriyyah. t.t..
al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Fathu al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari. Kairo :
Maktabah Salafiyah. 1390 H.
al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim. I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Beirut: Darul
Kutub Ilmiyah. 1991.
al-Madani, Malik bin Anas. al-Mudawwanah. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah. 1994.
al-Razi, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazuwaini. Mu’jam Maqayis al-Lughah.
Syiria: Darul Fikr. 1979.
al-Razi, Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi. Mukhtar al-
Shihhah. Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah. 1999.
al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdur Rahman. al-Dzakhirah. Beirut : Dar Gharb
Islami. 1994.
al-Yubi, Muhammad Sa’ad bin Ahmad. Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa
‘Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar’iyyah. Syiria : Darul Hijrah. 1998.
Ibn al-Manzhur, Muhammad bin Mukram bin Ali Jamaluddin. Lisan al-‘Arab.
Beirut: Dar Shadir. 1414 H.

Anda mungkin juga menyukai