Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah
Disusun oleh:
M.YUSUF NUR ROHIM
80100222160
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd. Rauf Muhammad Amin, Lc. M.A.
Dr. H. Andi Achruh, M.Pd.I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?
2. Bagaimana hubungan antara wasail dan maqashid ?
3. Apa saja syarat penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?
4. Apa saja contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid ?
C. Tujuan Penelitian
1. Memahami definisi kaidah li al-wasail hukm al-maqashid
2. Memahami hubungan antara wasail dan maqashid
3. Mengetahui syarat-syarat penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid
4. Mengetahui contoh penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, kata wasail adalah bentuk jamak dari wasilah, asal
katanya adalah wa-sa-la yang berarti keinginan atau permintaan. Kedua makna ini
saling berdekatan, seseorang yang menginginkan sesuatu akan berusaha meraih
atau mendapatkan hal tersebut dengan berbagai macam cara. Di antara contohnya
adalah firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 57 : 1
ِ ِِ ِ ِ أ ُ۟وٰلَٓئِ ﱠ
َ ب َويَـْر ُجو َن َر ْﲪَتَهُۥ َوَﳜَاﻓُو َن َع َذاﺑَٓهُۥ ۚ إِ ﱠن َع َذ
اب ُ ين يَ ْد ُعو َن يَـْبـتَـغُو َن إ َ ٰﱃ َرّ ُم ٱلْ َوسيلَةَ أَيـﱡ ُه ْم أَقْـَر
َ ك ٱلذَ
َ َِّرﺑ
ك َﻛا َن َْﳏ ُذ ًورا
Artinya: Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.
Kata wasilah juga memiliki makna yang lain seperti derajat, kedudukan
yang tinggi dan yang lainnya. Tetapi seluruh makna ini kembali ke makna
keinginan atau permintaan. Maka bisa disimpulkan bahwa wasilah adalah segala
sesuatu yang menjadi perantara untuk bisa menggapai atau meraih sesuatu. 2
1
Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, Tahdzib al-Lughoh, (Kairo: al-Dar al-
Mishriyyah), t.t., jilid 13, hlm. 47.
2
Muhammad bin Mukram bin Ali Jamaluddin Ibn al-Mannzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar
Shadir), 1414 H, jilid 11, hlm. 725.
2
3
namun dalam istilah syariat yang dimaksud adalah yang diperbolehkan oleh
syariat.3
Secara etimologi, kata maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad, asal
katanya adalah qa-sha-da yang berarti menghadirkan atau meraih sesuatu. 4
Terkadang juga dapat berarti keadilan, perjalanan yang lurus dan dekat serta sedikit
hambatannya, pertengahan dalam segala sesuatu, juga dapat berarti condong dan
tekad untuk meraih sesuatu.5
Dapat dipahami makna umum dari kaidah ini adalah bahwa seluruh wasail
atau perantara baik yang berupa perbuatan ataupun perkataan akan mengikut
kepada maqashid atau tujuan, dan hukum perantara itupun mengikut kepada hukum
tujuan baik wajib, sunnah, makruh, mubah, ataupun haramnya. Dan kaidah ini
mencakup seluruh bab baik dalam hal perintah ataupun larangan. Hubungan antara
perantara dan tujuan ialah sebagaimana tujuan tidak dapat dicapai kecuali dengan
berbagai perantara dan jalan menuju tujuan tersebut, maka perantara ataupun jalan
ini mengikut kepada tujuan tersebut. Maka perantara yang menghantarkan kepada
3
Ahmad bin Idris bin Abdur Rahman al-Qarafi, al-Dzakhirah, (Beirut : Dar Gharb Islami),
1994, jilid 1, hlm. 153.
4
Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazuwaini al-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Syiria:
Darul Fikr), 1979, jilid 5, hlm. 95.
5
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi al-Razi, Mukhtar al-Shihhah,
(Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah), 1999, hlm. 254.
6
Muhammad Sa’ad bin Ahmad al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaqatuha
bi al-Adillah al-Syar’iyyah, (Syiria : Darul Hijrah), 1998, hlm. 38.
4
sesuatu yang haram atau maksiat hukumnya sesuai dengan keterikatannya dengan
sesuatu yang haram atau maksiat tersebut. Begitupun perantara yang
menghantarkan kepada suatu ketaatan hukumnya sesuai dengan keterikatannya
dengan ketaatan tersebut.7
Bukti-bukti atas hal tersebut bisa dijumpai begitu banyak dalam syariat
Islam, di antaranya larangan untuk berbuat zina disempurnakan dengan himbauan
untuk menikah, bilamana tidak terdapat himbauan tersebut maka larangan untuk
berzina tersebut merupakan hal yang sia-sia. Juga larangan untuk mencuri
disempurnakan dengan diwajibkannya bekerja mencari rezeki, bilamana tidak
demikian maka larangan untuk mencuri tersebut merupakan hal yang sia-sia.
Begitupun perintah untuk jujur disempurnakan dengan larangan untuk berbohong
dan memberi kesaksian palsu, bilamana tidak demikian maka perintah tersebut
merupakan hal yang sia-sia. Hubungan antara perantara atau wasail dengan tujuan
7
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Darul Kutub
Ilmiyah), 1991, jilid 3, hlm. 108.
8
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, jilid 3, hlm. 108.
5
atau maqashid kembali pada kaidah bahwa perintah terhadap sesuatu juga berarti
larangan akan hal yang berlawanan dengannya.9
Para ulama menetapkan beberapa syarat dalam penerapan kaidah ini agar
kaidah ini bisa menghasilkan kesimpulan hukum yang tepat, di antara syarat-syarat
tersebut adalah:10
1. Tujuan yang dituju oleh perantara haruslah tertera dalam teks syariat.
Yang dimaksud dengan tertera di sini adalah diketahui hukumnya melalui
zahir teks syariat ataupun isyarat akan hal tersebut ataupun qiyas ataupun
ijma’ ataupun hal lain yang menjadi sarana penetapan tujuan.
2. Perantara tidak berkontradiksi dengan teks syariat ataupun kaidah umum.
Perantara lebih rendah derajatnya daripada tujuan, dan tujuan didahulukan
daripada perantara. Bahkan perantara tidak dianggap bilamana tujuan tidak
ada, maka tujuan adalah dasar atau pondasinya dan perantara adalah cabang.
Hal ini dikarenakan syariat ada untuk menjamin terwujudnya tujuan atau
maqashid, dan perantara tidak dianggap kecuali sebagai penyempurnya atau
pelengkap dari tujuan tersebut.
3. Perantara pada asalnya tidak terikat oleh hukum syariat.
Secara umum hukum terbagi dua menjadi maqashid atau tujuan yang
mengandung hukum di dalamnya, dan wasail atau perantara yang
hukumnya mengikut kepada maqashid tersebut dan merupakan sarana
terwujudnya tujuan tersebut, ia pun tidak mengandung hukum apapun pada
dasarnya.
4. Perantara tersebut merupakan sarana terwujudnya tujuan, dan tujuan
tersebut tidak akan tercapai tanpanya.
Perantara dianggap sesuai dengan kekuatan pengaruhnya atas tercapainya
tujuan atau maqashid, hal ini dapat terlihat ketika terdapat beberapa
perantara yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut. Maka tidak
semua perantara itu mendapat hukum yang sama dengan tujuan tersebut
juga tidak berarti semua perantara itu ditolak, namun semuanya tergantung
9
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathu al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo : Maktabah
Salafiyah), 1390 H, jilid 1, hlm. 238.
10
Ahmad bin Idris al-Qarafi, al-Dzakhirah, (Beirut: Darul Ghorb Islami), 1994, hlm. 190 –
198.
6
pada tingkat kekuatan pengaruh dari tiap perantara tersebut atas tercapainya
tujuan.
5. Perantara harus lebih rendah derajatnya daripada tujuan.
Hal itu dikarenakan perantara akan ditiadakan bilamana tujuan telah tiada.
Perantara adalah yang mengikut kepada tujuan, bilamana ia lebih tinggi
derajatnya daripada tujuan, maka ia pun menjadi induk bukan lagi sebagai
cabang yang mengikut kepada suatu induk. Jikalau demikian, maka
terjadilah kontradiksi dalam penyimpulan hukum, dan akan merusak
berbagai kepentingan para hamba Allah.
11
Malik bin Anas al-Madani, al-Mudawwanah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah), 1994, jilid
1, hlm. 298-300.
7
2) Menghias masjid
ﻓﻘال النﱯ، ﻛان قَِرام لعاﺋﺸ ــة َسـ ـﱰت ﺑه جاﻧﺐ ﺑَيتها:عن أﻧﺲ ﺑن مالك رﺿ ــﻲ ﷲ عنه قال
ﻓﺈﻧه ﻻ ﺗَﺰال ﺗﺼا ِويُرﻩ ﺗَـ ْع ِرض ﰲ صﻼﰐ،ك هذا ِ يﻄﻲ عنﱠا قِرام
ِ »أ َِم: صلﻰ ﷲ عليه وسلم
ََ
Artinya: Dari Anas bin Malik -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, Aisyah
memiliki gorden yang dipakai untuk menutup jendela kamarnya. Maka
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Singkirkanlah gorden
jendela ini dari kita, karena gambar-gambarnya selalu nampak dalam
salatku." (HR. Bukhori)
8
dalam hadis ini tertera bahwa makruh hukumnya shalat di atas sajadah yang
penuh dengan hiasan, begitupun hukum menghias masjid.
Juga disebutkan sikap Umar bin Khattab mengenai hal tersebut :
ۡ ِ َﻛا َن س ۡﻘﻒ ۡالم ۡﺴ ِﺠ ِد ِم ۡن ج ِر:يد
ۡ يد الن
: َوقَ َال، َوأ ََمَر ُع َمُر ﺑِبِنَ ِاء ال َم ۡﺴ ِﺠ ِد.ﱠﺨ ِﻞ َ َ ُ َ
ٍ ِوقَ َال أَﺑو سع
َ ُ َ
ِۡ ۡ ۡ
ِ ُ وإِ ﱠ َك أَن ُﲢ ِمر أ َۡو ﺗ،أَﻛِ ﱠن النﱠاس ِمن المﻄَ ِر
.ﱠاس
َ ﱳ الن َ ﻓَـتَـف،ﺼ ّفَر
َ َّ َ َ َ َ َ
. ﰒُﱠ َﻻ يَـ ۡع ُمُروََا إِﱠﻻ قَلِ ًيﻼ،اه ۡو َن َِا َ َ يَـتَـب:ﺲ
ٌ ََوقَ َال أَﻧ
ۡ ِ ۡ ۡ
.ﱠﺼ َارىَ ود َوالن
ُ ﱠها َﻛ َما َزخَرﻓَﺖ اليَـ ُه َ لَتُـ َﺰخ ِرﻓُـنـ:اسٍ َوقَ َال ۡاﺑ ُن َعبﱠ
Artinya: Abu Sa’id berkata: Dahulu, atap masjid Nabawi terbuat
dari pelepah pohon kurma. ‘Umar bin Al-Khaththab memerintahkan
membangun masjid dan mengatakan, “Naungi orang-orang (yang berada
di dalamnya) dari hujan! Jangan engkau beri warna merah atau kuning
sehingga engkau membuat fitnah bagi orang-orang (sehingga tidak
khusyuk)!”
Anas mengatakan, “Mereka bermegah-megah dengan bangunan masjid
namun tidak ada yang memakmurkannya kecuali sedikit.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kalian pasti akan menghiasi bangunan masjid
sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menghias-hiasi
(tempat ibadah mereka).” (HR. Bukhori)
Maka dapat disimpulkan bahwa larangan untuk menghias masjid
secara berlebihan merupakan perantara yang menghantarkan kepada tujuan;
untuk menjaga kekhusyukan orang yang shalat di dalamnya, juga untuk
menyelisihi bangunan tempat ibadah kaum yahudi dan nasrani.
BAB III
PENUTUP
Dari tulisan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Makna umum dari kaidah li al-wasail hukm al-maqashid adalah bahwa
seluruh wasail atau perantara baik yang berupa perbuatan ataupun perkataan
akan mengikut kepada maqashid atau tujuan, dan hukum perantara itupun
mengikut kepada hukum tujuan baik wajib, sunnah, makruh, mubah,
ataupun haramnya.
2. Kaidah li al-wasail hukm al-maqashid tidak hanya mencakup perihal
perintah ataupun anjuran saja, namun juga mencakup perihal larangan.
Maka sebagaimana perantara yang menghantarkan kepada suatu kewajiban
hukumnya wajib, maka perantara yang menghantarkan kepada suatu
keharaman hukumnya haram.
3. Dalam penerapan kaidah li al-wasail hukm al-maqashid harus diperhatikan
berbagai syarat dan ketentuannya agar kaidah ini tidak justru menjadi sebab
keluarnya suatu wasilah atau perantara dari maksud atau tujuan dalam
syariat, ataupun menjadi sebab mewajibkan sesuatu yang tidak seharusnya
diwajibkan, pun mengharamkan sesuatu yang tidak seharusnya diharamkan.
9
10
DAFTAR PUSTAKA
al-Azhari, Abu Mansur Muhammad bin Ahmad. Tahdzib al-Lughoh. Kairo: al-Dar
al-Mishriyyah. t.t..
al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Fathu al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari. Kairo :
Maktabah Salafiyah. 1390 H.
al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim. I’lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Beirut: Darul
Kutub Ilmiyah. 1991.
al-Madani, Malik bin Anas. al-Mudawwanah. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah. 1994.
al-Razi, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazuwaini. Mu’jam Maqayis al-Lughah.
Syiria: Darul Fikr. 1979.
al-Razi, Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi. Mukhtar al-
Shihhah. Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah. 1999.
al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdur Rahman. al-Dzakhirah. Beirut : Dar Gharb
Islami. 1994.
al-Yubi, Muhammad Sa’ad bin Ahmad. Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa
‘Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar’iyyah. Syiria : Darul Hijrah. 1998.
Ibn al-Manzhur, Muhammad bin Mukram bin Ali Jamaluddin. Lisan al-‘Arab.
Beirut: Dar Shadir. 1414 H.