Islamic Law
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Zufardien Muhammad
21211200100040
Seperti yang telah lazim diketahui, sebagai sumber ajaran Islam, al-Qur’an maupun Sunnah
merupakan sumber berbahasa Arab. Hal ini tidak lepas karena ajaran Islam sendiri pertama kali
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. yang tinggal di Jazirah Arab. Oleh
karenanya, seseorang yang ingin memahami hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah dengan benar, maka seyogyanya harus memahami dan menguasai gaya bahasa (uslub)
yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukan nash kepada artinya.
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam dalam mengungkap pesan hukumnya
menggunakan berbagai macam cara, adakalanya dengan lafal yang tegas dan adakalanya tidak
tegas, ada yang melalui makna bahasanya dan ada juga dengan mengedepankan maqashid asy-
syari’ah, kadangkala juga perlu penyelesaian terhadap satu dalil dengan dalil lainnya yang
bertentangan.
Kaidah untuk mengeluarkan hukum ada dua, yaitu kaidah lughawiyah (kaidah yang
diambil dari bahasa) dan kaidah tasyri’iyah (kaidah yang berupa perundang-undangan). Pada
makalah ini, akan dititikberatkan kepada pembahasan mengenai kaidah lughawiyah yang
dipergunakan untuk menggali hukum melalui analisa-analisa ayat-ayat atau nash-nash, baik dari
Al-Qur’an maupun hadis.
Istilah al-Qawa’id al-ushuliyyah berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dari
kata al-qawa’idh dan al-ushuliyyah. Al-qawa’id merupakan bentuk jama’ dari kata qaidah yang
mana dalam bahasa Indonesia berarti kaidah, yang secara etimologi berarti aturan, asas, patokan
atau pondasi.1 Sedangkan al-ushuliyyah yang berasal dari kata al-ashl (jama’; al-ushul) secara
etimologi memiliki arti ( ما بني عليه غيرهsesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain).2
Gaya bahasa atau uslub dalam bahasa Arab merupakan hal yang wajib diperhatikan guna
memahami nash-nash Al-Qur’an dan hadis dengan tepat dan benar. Uslub-uslub yang digunakan
dalam metode penggalian hukum melalui pendekatan bahasa antara lain lafal dari segi shighat
taklif, lafal dari segi kandungan pengertian, lafal dari segi dilalah (penunjukan) atas hukum, lafal
dari segi kejelasan artinya, dan lafal dari segi tidak terang artinya.
1
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h.243
2
Muhammad al-Utsaimin, al-Ushul min Ilmi Ushul, h. 2.
3
Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm.53
4
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009) Cet. ke-3, hlm.178
a. Amar (Perintah)
Amr secara bahasa terambil dari masdar أمر- یأمر- أمراyang artinya perintah.5 Sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut Ibn Subki amr adalah tuntutan untuk berbuat,
bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya 6 Tetapi
definisi yang sering dipakai oleh para ulama adalah اإلستعالء وجھ علي الفعل طلبyaitu permintaan
untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang
yang kedudukannya lebih rendah.
Untuk mengetahui bentuk amr (perintah) dalam bahasa Arab, para ahli bahasa telah
merumuskan beberapa bentuk kata sebagai lafal yang mengandung amra tau perintah. Bentuk atau
uslub tersebut antara lain:
a. Melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
5
Ahmad. W. Munawwir, Al-Munawir, (Jakarta: Pustaka Praja, 1997),hal38
6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu, 2001), 163
- Kaidah pertama, ( األصل في األمر للوجوبAsal dari perintah adalah wajib)
Menurut pendapat jumhur apabila amr tidak disertai dengan petunjuk atau penjelasan yang
memberinya makna kekhususan maka itu berfaidah wajib. Contoh asal amr adalah wajib surat an-
۟ ُ وا ٱلصلَ ٰوة َ َو َءات
Nur: 56 َ وا ٱلزك َٰوة ۟ َوأَقِي ُم
- Kaidah kedua , ( األمر بعد النھي یفيد االباحةPerintah yang jatuh setelah larangan maka
hukumnya mubah).
Maksud kaidah di atas ialah jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu padahal
sebelumnya ada larangan untuk melakukannya, maka mengerjakan perintah tersebut hukumnya
mubah. Contohnya seperti hadis Nabi:
ِ ارةِ ا ْلقُب
ُ ُور فَ ُز
وروهَا َ كُ ْنتُ نَ َھ ْيتُكُ ْم
َ َع ْن ِزی
7
Sebelum ada perintah ziarah kubur hukum dari ziarah kubur itu dilarang. Kemudian datanglah
hadis tersebut dengan perintah yang membolehkannya.
2. Nahi
Mayoritas ulama ushul fiqh mendefinisikan nahi sebagai larangan melakukan suatu perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukkan atas hal itu.8 Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh
Muhammad Khudari Bik, Allah juga memakai berbagai ragam gaya bahasa. Di antaranya:
a. Larangan dengan tegas memakai kata naha atau yang seakar dengannya.
َع ِن ا ْلفَ ْحشَاءِ َوا ْل ُم ْنك َِر َوا ْلبَ ْغي ِ ۚ یَ ِعظُكُ ْم لَعَلكُ ْم تَذَك ُرون
َ ان َوإِیتَاءِ ذِي ا ْلقُ ْربَ ٰى َویَ ْن َھ ٰى
ِ س ِ ْ إِن َّللاَ یَأ ْ ُم ُر بِا ْلعَدْ ِل َو
َ اإل ْح
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan ()حرم
Ayat 33 surat al-A’raf:
7
HR. Muslim, 1054
8
Satria Effendi, Ushul Fiqh, hal,187
طانًا َوأ َ ْن تَقُولُوا
َ اَّلل َما لَ ْم یُن َِز ْل ِب ِه سُ ْل
ِ ق َوأ َ ْن ت ُ ْش ِركُوا ِب
ِ ي ِبغَي ِْر ا ْل َح
َ اإلثْ َم َوا ْل َب ْغ
ِ ْ طنَ َو
َ ظ َھ َر ِم ْن َھا َو َما َب َ ِي ا ْلف ََواح
َ ش َما َ قُ ْل ِإن َما َحر َم َر ِب
َعلَى َّللاِ َما َال ت َ ْعلَ ُمونَ
Artinya “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".
Dan yang lainnya, dengan larangan berbentuk menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal
dilakukan, atau larangan dengan menggunakan kata kerja mudhori’ yang disertai huruf lam yang
menunjukkan larangan, larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutatn untuk
meninggalkan, larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi:
A. ض ِد ِه
ِ ِأمر ب
ٌ ع ِن الشيئ
َ ي
ُ الن ْھ
Maksud kaidah di atas ialah jika seseorang dilarang untuk mengerjakan sesuatu, berarti
secara tidak langsung diperintahkan untuk mengerjakan kebalikannya. Contohnya dilarang minum
khamr, karena khamr akan merusak akal dan kesehatan. Berdasarkan surat Al maidah 90
َ ٰ ع َم ِل ٱلش ْي
َط ِن فَٱ ْجتَنِبُوهُ لَعَلكُ ْم ت ُ ْف ِلحُون ٌ صابُ َوٱ ْأل َ ْز ٰلَ ُم ِر
َ جْس ِم ْن َ ٰیََٰٓأَیُّ َھا ٱلذِینَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِن َما ٱ ْل َخ ْم ُر َوٱ ْل َم ْيس ُِر َوٱ ْألَن
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."
Adanya larangan minum khamar sebagaimana ditegaskan oleh ayat di atas itu berarti secara
tidak langsung kita dianjurkan untuk mengonsumsi minuman yang membuat akal dan tubuh kita
menjadi sehat seperti minum susu, air putih, dan madu.
ْ سادَ ُم
B. طلَقًا ْ َ األ
ِ ص ُل فِى الن ْھي ِ یَ ْقت
َ ََضى الف
Artinya: "Pada asalnya nahi itu akan m mengakibatkan kerusakan secara mutlak."
Kaidah ini mengandung makna bahwa mengapa sesuatu itu dilarang untuk dikerjakan.
Karena konsekuensinya jika larangan itu dilakukan akan menimbulkan kerusakan dan bahaya yang
akan menimpa orang yang melakukannya dan juga orang lain. Contohnya Allah dengan tegas
melarang merusak alam ini seperti menebang pohon hutan secara sembarangan. Jika penebangan
pohon hutan sembarangan, maka akan mengakibatkan kebanjiran yang akan membawa malapetaka
bagi makhluk hidup yang ada di alam ini.
ْ َ األ
ِ ص ُل فِى الن ْھي ِ یَ ْقت
C. َضى التكرار مطلقا
Kaidah ini mengandung makna bahwa sebuah larangan itu sifatnya berkelanjutan, artinya,
larangan itu harus ditinggalkan selama-lamanya tidak terikat oleh waktu dan tempat. Contohnya:
Allah melarang berkata: "uf;ah" kepada kedua orang tua, seperti juga larangan berzina, Semua
larangan ini harus ditinggalkan selama-lamanya tanpa mengenal waktu dan tempat
Secara bahasa ‘am artinya umum, merata, dan menyeluruh. Secara istilah ‘am,
sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid ialah lafadz yang menunjukkan pengertian umum
yang mencangkup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah
tertentu. Contohnya kata اإلنسانartinya manusia (mencangkup segala jenis manusia).
Seperti juga disimpulkan oleh Muhammad Adib Saleh, bahwasannya lafal umum adalah
lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa
dibatasi dengan jumlah tertentu.9
a. Lafaz-lafaz yang menunjukkan arti ‘Am (umum)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufrodat dan ungkapan (gaya bahasa), dalam bahasa
arab ditemukan lafaz yang arti bahasanya, menunjukkan arti yang bersifat umum yang
mencangkup semua satuan-satuannya :
- Lafaz ُك ُّلdan ج ِم ْي ٌع
َ
9
Prof. Dr. H. Satria Effendi. M. Zein, M.A, USHUL FIQH (Jakarta: Pranemedia, 2005), 179
Contohnya,
- Kata Jama’ yang didahului alif lam diawalnya, seperti kata al-walidat (para ibu) dalam
ayat 233 surah Al-Baqarah:2
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin
menyempurnakan penyusuan” (kata walidat yang terdapat diayat tersebut bersifat umum yang
mencangkup setiap yang bernama ibu)
- Isim maushul, seperti َما.. ,َ اّلَّ ِذيْن, اَلَّت ِْى, الَّذ ِِى, َم ْن, contohnya: ت َ َوال ِذ یْنَ یَ ْر ُمنَ ْال ُم ْح
ِ صنَا
ُ َم ْن ی ْع َم ْل
- Isim Syarat, seperti ... َم ْن, َماcontohnya: س ْو ًء یُجْزَ بِ ِه
Dalam ushul fiqh, terdapat beberapa kaidah yang berhubungan dengan lafal ‘am, di antaranya yang
dianggap penting adalah sebagai berikut10:
10
Ushul Fiqh, Sapiudin Shidiq (Jakarta, Prenamedia Group: 2011), h.163
melata” itu masih mengandung arti yang umum meliputi semua spesies binatang yang
melata di muka bumi ini.
a.2. اَل َم ْف ُھ ْو ُم لَهُ عُ ُمو ٌم
Artinya: “Makna tersirat itu mempunyai bentuk umum.”
Maksud dari kaidah ini ialah mafhum atau makna tersirat dari sebuah kalimat masih
menyimpan arti yang bersifat umum (belum pasti jelas dan jelas). Seperti dalam firman
ٍ ُ ( فَ َال تَقُ ْل لَ ُھ َما أQs. al-Isra/17:23). Mafhum dari ayat ini masih bersifat
Allah SWT. .....ف
umum bisa dipahami mencaci, menghina, memukul, dan menghardik yang kesemuanya
diharamkan.
Kaidah ini dipahami bahwa hukum tidak hanya berlaku kepada bawahan (orang
yang diperintah), tetapi juga berlaku kepada orang yang memerintahkannya. Kecuali
dalam hal ini yang memerintah itu adalah Allah, maka hukum itu tidak berlaku bagi
Allah. Contohnya seorang guru yang memerintahkan muridnya untuk datang disiplin
tepat waktu, maka berdasarkan kaidah ini si guru pun harus datang disiplin tepat pada
waktunya.
11
Sapiudin Shidiq, M.A Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2011), 164
Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwasannya lafadz khas merupakan arti
tertentu dan tidak ada perbedaan, kecuali dari segi redaksi saja12
Lafal khas itu ada yang Mutlaq dan ada yang muqayyad, seperti berikut ini.
12
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999), 195
13
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh () h.
المطلق یجري على اطالقه مالم یقم دليل التقييد
Artinya: “Hukum Mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutalakannya selama belum
ada dalil yang membatasinya”
Kaidah Ushul Fiqh yang berlaku di sini adalah bahwa ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an yang bersifat Mutlaq harus dipahami secara Mutlaq selama tidak ada dalil yang
membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan
batasannya. Misalnya, lafal Mutlaq yang terdapat pada ayat 234 Surat al-Baqarah:
َ َوالذِینَ یُت ََوف ْونَ مِ ْنكُ ْم َویَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا یَت ََربصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِھن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُھ ٍر َو
…. ع ْش ًرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari …
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa ( أزواجاistri-istri) yang ditinggal mati suami,
masa iddah mereka selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan di sana merupakan
lafal mutlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah sudah pernah digauli oleh
suaminya itu atau belum. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa masa iddah wanita
yang ditinggal mati suaminya, baik yang pernah disetubuhi ataupun yang belum adalah
empat bulan sepuluh hari.
14
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih.. hal,189
haramnya darah, dan sebab diharamkannya juga sama, yaitu mendatangkan madharat.
Oleh karena sama dalam berbagai sisi, para ukama Ushul Fiqh sepakat bahwa sifat
darah yang disebut secara Mutlaq itu disamakan dengan lafal dam (darah) yang disebut
secara muqoyyad. Dengan demikian, darah yang diharamkan adalah darah yang
mengalir dari binatang sembelihan, bukan yang masih tinggal di dalam daging, atau
hati.15
ْ ال ُم
ِ طل ُق یُ ْح َم ُل على ال ُمقَي ِد اذا اختلفا في السب
b. ب
)Mutlaq itu dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda)
Di sini para ulama berbeda pendapat bilamana dua ayat itu sama hukumnya, namun
berbeda sebabnya. Contoh membunuh dengan tidak sengaja kafaratnya berupa
memerdekakan budak yang mukmin:
ُ طأ ً فَتَح ِْر
یر َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة َ َو َم ْن قَت َ َل ُمؤْ ِمنًا َخ
Artinya: dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.. (Qs. an-Nisa/4:92)
Sementara untuk kafarat zhihar yaitu “memerdekakan budak” tanpa dibatasi
mukmin atau tidak, dalam ayat 3 surat al-mujadilah:
ُ سائِ ِھ ْم ثُم یَعُودُونَ ِل َما قَالُوا فَتَح ِْر
یر َرقَبَ ٍة َ َُوالذِینَ ی
َ ِظاه ُِرونَ ِم ْن ن
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak..”
Dalam ayat tersebut raqabah sebagai kafarat zhihar disebut secara mutlak, maka
wajib memerdekakan seorang budak, tanpa mensyaratkan beriman, sedangkan dalam
ayat sebelumnya kifarat pembunuhan tersalah kata roqobah disebut secara muqoyyad
dengan mu’minah, maka sebab dari dua bentuk kifarat di atas berbeda, namun
hukumnya sama. Menurut ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah di atas, lafal Mutlaq
itu dianggap muqoyyad sehingga budak yang akan dimerdekakan pada kifarat zhihar
disamakan dengan budak pada kifarat pembunuhan tersalah, yaitu sama-sama beriman.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, masing-masing kifarat itu dipahami secara
15
Satria Effendi, Ushul Fiqh, hal.209
mandiri sehingga kifarat zhihar adalah memerdekakan budak tanpa disyaratkan
beriman.16
ْ ال ُم
c. طل ُق ال یُحْ َم ُل على ال ُمقَي ِد اذا اختلفا في الحكم
(Mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya)
Jika antara mulaq dan muqoyyad berbeda dalam hukum tetapi sama dalam sebab
maka Mutlaq tidak dapat dibawa kepada muqoyyad. Contohnya hukum wudhu dan
tayamum. Dalam berwudhu diwajibkan membasuh tangan sampai mata siku
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an ayat 6 surat al-Maidah:
ِ یَا أَیُّ َھا الذِینَ آ َمنُوا إِذَا قُ ْمت ُ ْم إِلَى الص َالةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َهكُ ْم َوأ َ ْي ِديَكُ ْم إِلَى ا ْل َم َراف
ِق
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku..”
Adapun pada tayamum tidak dijelaskan sampai ke siku, an-Nisa ayat 43
س ُحوا ِب ُو ُجو ِهكُ ْم َوأ َ ْیدِی ُك ْم َ صعِيدًا
َ ط ِيبًا فَا ْم َ فَت َ َيم ُموا
Artinya: “maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu
dan tanganmu…”
Sebab yang dikandung oleh dua ayat di atas sama yaitu membasuh tangan, tetapi
hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan
menyapu tangan pada tayamum. Dengan demikian, harus diamalkan secara masing-
masing karena tidak saling membatasi.17
Mantuq adalah lafaz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang diucapkan.
Dengan kata lain bahwa mantuq itu ialah makna yang tersurat. Seperti “diharamkan bagi kamu
bangkai.” Mantuq dari ayat ini ialah bangkai itu hukumnya haram. Adapun mafhum adalah lafaz
yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik dari arti mantuq-nya. Dengan
kata lain mafhum itu disebut dengan makna tersirat.18
16
Satria Effendi, Ushul Fiqh, hal,210
17
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih.. hal,191
18
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), hal. 192
Mafhum terdapat beberapa macam:
a- Mafhum Muwafaqoh, yaitu menetapkan hukum dari makna yang sejalan atau sepadan
dengan makna mantuq-nya. Contohnya, ayat 10 Surat an-Nisa’ menjelaskan:
ِيرا
ً سعَ َصلَ ْون
ْ َسي ً إِن ٱلذِینَ یَأْكُلُونَ أ َ ْم ٰ َو َل ٱ ْليَ ٰت َ َم ٰى ظُ ْل ًما إِن َما یَأْكُلُونَ فِى بُطُونِ ِھ ْم ن
َ َارا ۖ َو
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenernya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”
Mantuq dari ayat tersebut menunjukkan haram memakan harta anak yatim di luar
ketentuan hukumnya. Dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut ialah karena
Tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Dengan melalui
mafhum muwafaqoh-nya tanpa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap Tindakan yang
bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan
sebagainya, adalah haram hukumnya.19
b. Mafhum Mukhalafah,
Mafhum mukhalafah menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, seperti dinukil Mustafa Said
al-Khin adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika
ternafinya suatu persyaratan. Maksudnya, hukum yang ditetapkan dengan mafhum
mukhalafah merupakan kebalikan dari hukum yang diucapkan dalam teks. Mafhum
mukhalafah juga disebut dengan dalil al-khithab. Mafhum ini bisa didapati pada obyek
hukum yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut.20
a.1) Ghayah (batas maksimal), contoh, firman Allah pada surat al-Baqarah 187:
Artinya: “… dan makan-minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar..”
19
Ushul Fiqh, Satria Effendi (Jakarta, Prenadamedia, 2005), hal.215
20
Abdul Karim Zaidan, h.362
Mafhum mukhalafah dari ayat ini ialah jika telah melewati fajar, maka haram makan
dan minum bagi orang yang berpuasa Ramadhan.
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Mafhum mukhalafah dari ayat ini ialah haram makan sebagian maskawin yang tidak
diserahkan dengan senang hati.
Artinya: “Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang
dari mereka seratus kali…”
Mafhum mukhlafah dari ayat tersebut ialah, mendera pezina kurang dari seratus kali
belum memadahi dan lebih dari seratus kali tidak diperbolehkan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang dikutip oleh Satria Effendi bahwa
kelompok Hanafiyah mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya (dalalahnya)
menjadi dua macam. Yaitu lafaz yang artinya jelas, meliputi empat tingkatan; zahir, nas,
mufassar, dan muhkam. Kedua yaitu lafaz yang maknanya tidak jelas, yang juga meliputi
empat tingkatan: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
Berikut akan dijelaskan masing-masing bentuk lafadz dilihat dari maknanya.
a. Lafaz yang Jelas Dalalahnya
1) Zahir
Zahir secara bahasa berarti الوضُوح
ُ yakni jelas. Sedangkan secara istilah
sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf ialah lafaz yang
menunjukkan arti secara langsung dari nas itu tanpa memerlukan penyerta lain yang
datang dari luar untuk memahami maksud nas itu, akan tetapi bukan pengertian itu
yang menjadi maksud utama dari pengucapnya.22 Karena terdapat pengertian lain
yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya maka zahir sangat
dimungkinkan untuk menerima takhsis, ta’wil, dan nasakh.23
Terkadang pada kasus tertentu dimungkinkan terdapat dua pengertian, salah
satunya pengertian yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut bukan merupakan tujuan
utama dari pengucapnya dan itulah yang dikenal dengan makna zahir dan makna
satu lagi adalah makna yang menjadi tujuan utama dari pengucapnya yang disebut
dengan nas, seperti contoh dalam ayat:
ِ َوأ َ َحل َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َو َحر َم
الربَا
Artinya; … Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …
21
Safiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), hal.195
22
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt), hlm.162
23
Saipudin Shidiq, … h.196
Makna zahir dari ayat ini yang secara langsung dapat ditangkap
pemahamannya ialah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal dan haram
telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah atau penyerta dari luar.
Tetapi bukan makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat tersebut.
Tujuan utama atau makna nasnya adalah perbedaan antara jual beli dan riba, karena
ayat ini turun sebagai bantahan terhadap orang-orang musyriq yang mengatakan
bahwa jual beli itu sama dengan riba. Hukum yang jelas (zahir) dimungkinkan akan
menerima ta’wil (memalingkan dari makna zahir-nya) mungkin juga menerima
takhsis, juga bisa menerima nasakh.24
2) Nash
Nash yaitu lafal yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang itulah
yang dimaksudkan oleh konteksnya. Misalnya ayat 275 surat al-Baqarah diatas
dalam pengertian bahwa ayat itu menunjukkan pembedaan antara jual beli dan riba.
3) Mufassar
Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafaz yang menunjukkan kepada
maknanya secara jelas dan terperinci yang tidak mungkin menerima ta'wil
(dipalingkan maknanya)25. Jika dibandingkan dengan nas, mufassar lebih jelas,
karena pada mufassar tidak berlaku takhsis. Khalid Ramadhan Hasan.
Lafaz mufassar terbagi menjadi dua:
1. Menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa memerlukan lagi
penjelasan dari luar. Contohnya firman Allah SWT surat An-nur ayat 4:
َٰٓ
ش ٰ َھدَة ً أَبَدًا ۚ َوأ ُ ۟و ٰلَئِكَ هُ ُم ۟ ُ ت ثُم لَ ْم یَأْت
۟ ُوا بِأ َ ْربَعَ ِة شُ َھدَآَٰ َء فَٱ ْج ِلدُوهُ ْم ث َ ٰ َمنِينَ َج ْلدَة ً َو َال ت َ ْقبَل
َ وا لَ ُھ ْم ِ َص ٰن
َ َوٱلذِینَ یَ ْر ُمونَ ٱ ْل ُم ْح
َٱ ْل ٰفَ ِس ُقون
Artinya “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
24
Ibid
25
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da'wah al-Islamiyah, tt.),
hlm.166
Jumlah delapan puluh kali dera adalah mufassar karena maknanya sudah
jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tidak perlu dita'wil.
Hukuman delapan puluh kali dera ini diperuntukkan bagi pelaku qazaf, yaitu
seseorang yang menuduh orang baik berzina tanpa saksi. (Saipudin hal,200)
2. Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak terperinci, kemudian datang
penjelasan dari syariat sehingga menjadi jelas dan pasti dan tidak lagi menerima
ta'wil. Seperti perintah shalat, perintah zakat, perintah haji dan keharaman riba.
Empat contoh tersebut adalah makna ayat-ayat al-Qur'an yang mujmal, yang
membutuhkan penjelasan syariat tetapi tidak ada penjelasan dari ayat-ayat yang
lain. Maka datang hadis-hadis Nabi berupa perkataan dan perbuatan beliau yang
menjelaskan perkara-perkara mujmal sehingga hukumnya menjadi jelas dan
dapat diamalkan. Perintah shalat dijelaskan oleh hadis Nabi melalui hadisnya:
َ ُ صلُّوا كما َرأ َ ْیت ُ ُمونِي أ
صلِي َ Artinya: "Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu
melihatku shalat." (HR. Bukhori).
َ ُخذُواArtinya: "Ambillah
Tentang haji dijelaskan oleh hadis Nabi: عني َمنَا ِس َككُم
dariku tentang cara-caraku dalam beribadah haji.
Bentuk kedua inilah yang disebut dalam istilan hadis dengan tafsir tasyri',
karena bersumber kepada syariat yaitu Rasul. Dan Rasul diberikan kemampuan
untuk menatsirkan dan menjelaskan firman-Nya.
4) Muhkam
Muhkam adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga
tertutup kemungkinan untuk dita’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya
tertutup pula kemungkinan untuk dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan RasulNya.
Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan, karena merupakan
ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban
menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-
kitabNya, dan pokok-pokok keutamaan seperti berbuat baik kepada kedua orang
tua, kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada
pengertiannya secara pasti (qath’i) tidak berlaku ta’wil padanya, tidak berlaku pula
kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah.26
26
Satria Effendi, Ushul Fiqh, hal,226
Empat tingkatan kejelasan pengertian lafal tersebut, bilamana bertentangan,
maka nash didahulukan atas zhahir, karena yang disebut terakhir bukan maksud
utama dari pembicaraan. Mufassar didahulukan atas nash, karena mufassar lebih
jelas dan rinci sehingga tidak ada kemungkinan ta'wil, dan seterusnya muhkam
didahulukan atas mufassar karena lebih jelas dan lebih kuat dalalahnya.
Lafal dari segi tidak jelas pengertiannya oleh kalangan Hanafiyag dibagi
menjadi empat tingkatan:
a. Khafi
Khafi menurut Abdul Wahhab al-Khallaf, adalah lafal yang dari segi
penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika
menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan it disebabkan
karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh suatu
dalil. Misalnya, arti pencuri dalam surat al-Maidah ayat 48:
والسارق والسارقة فاقطعوا أیدیھما...
Artinya "pencuri laku-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan-
tangan mereka...
Secara umm pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil
harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yany layak bagina.
Ketidakjelasan timbul ketika menerapkan ayat itu kepada tukang copet yang secara
lihai bisa memanfaatkan kelalaian seseorang untuk menguras hartanya apakah
termasuk ke dalam pengertian pencuri atau tidak? Untuk mencari jawabannya
adalah dengan jalan ijtihad, dengan meneliti apakah pengertian itu termasuk ke
dalam pengertian ayat sesuai dengan cara suatu lafal menunjukkan suatu
pengertian27.
b. Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu
disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda
sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi
memerlukan indikasi atau dalil dari luar seperti dalam lafal musytarak (lafal yang
27
Satria Effendi, Ushul Fiqh, hal,227
diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya). Misalnya, lafal
quru' (jamak dari qur' un) dalam ayat 228 Surat al-Baqarah:
ٍطل ٰقَتُ یَت ََربصْنَ بِأَنفُ ِس ِھن ث َ ٰلَثَةَ قُ ُر َٰٓوء
َ َوٱ ْل ُم
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'”
Kata quru' dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti
masa suci dan bisa pula berarti masa haid. Imam Syafi'i mengartikannya dengan
masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid. Masing-
masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu didasarkan kepada garinah atau
dalil dari luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafal musykil dalam Al-Our'an
dan Sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-
tanda atau dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.
c) Mujmal
Secara bahasa mujmal ialah sesuatu yang tidak jelas dan menggabungkan.
Sedangkan secara terminologis ialah lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali
dengan bantuan lafal yang lain. Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya, atau
kadarnya. (78Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, loc. cit., hlm. 46.)
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'.
Fiqih merupakan produk hukum Islam yang ditetapkan oleh para ulama melalui berbagai proses.
Antara lain proses istinbath (penetapan hukum) berdasarkan dalil al-qur’an, hadis, dan ijtihad
(upaya mencari ketetapan hukum berdasarkan akal). Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-
kaidah yang dapat kita pelajari dalam proses pengambilan hukum melalui pendekatan bahasa.
Kaidah untuk mengeluarkan hukum ada dua, yaitu kaidah lughawiyah (kaidah yang
diambil dari bahasa) dan kaidah tasyri’iyah (kaidah yang berupa perundang-undangan). Pada
makalah ini, akan dititikberatkan kepada pembahasan mengenai kaidah lughawiyah yang
dipergunakan untuk menggali hukum melalui analisa-analisa ayat-ayat atau nash-nash, baik dari
Al-Qur’an maupun hadis.
Gaya bahasa atau uslub dalam bahasa Arab merupakan hal yang wajib diperhatikan guna
memahami nash-nash Al-Qur’an dan hadis dengan tepat dan benar. Uslub-uslub yang digunakan
dalam metode penggalian hukum melalui pendekatan bahasa antara lain lafal dari segi shighat
taklif, lafal dari segi kandungan pengertian, lafal dari segi dilalah (penunjukan) atas hukum, lafal
dari segi kejelasan artinya, dan lafal dari segi tidak terang artinya.
Daftar Pustaka
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-fiqh, Beirut: Muassasat al-Risalah, 1985
Effendi, Satria M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu, 2001