Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

‘URF DAN QAUL SHAHABAT

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh:

Rifaldi Chandra 4122011

Aulia Rahmanah Putri 4122026

Milan Anggraini 4122018

Nurfauqanur Afri 4122006

Dosen Pengampu:

Ahmad Hamidi, SH.I,MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN SJECH DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

T.A 2022 M/1444 H


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariat islam adalah penutup semua risalah samawiyah yang membawa petunjuk
dan tuntunan Allah untuk umat manusia dalam wujudnya yang sudah ditetapkan dan
lengkap hal ini dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang
ada dalam islam yang membuatnya dapar memberikan jawaban terhadap hajat dan kebu-
tuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan berkembangnya zaman.
Secara konkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya 2 hal penting dalam hukum is-
lam yaitu nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang
zaman dan pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal
yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut dan jika kita berbicara ten-
tang ijtihad, mamka sisi ra‟yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dilepas-
kan darinya. Oleh karena itu dalam ushul fiqh sebuah ilmu yang mengatur proses ijtihad
dikenllah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan ke-
mampuan ra;hyu para fuqoha.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian „Urf dan Qaul Shahabat ?
2. Pembagian „Urf dan Qaul Shahabat ?
3. Berika contoh „Urf dan Qaul Shahabat ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf dan Qaul Shahabat
1. Pengertian „Urf
Secara etimologi Al-„Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟ dan
fa yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal), ta‟rif
(definisi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan
yang baik).
Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:
ُ‫َاص ال تَاَنَّفَُّ انهُّغَت‬
ّ ٍ ‫عهَى َي ْعَُى خ‬ ْ ‫ارفُ ْىا ِإ‬
َ َُّ‫ط ََلق‬ ٌ ‫ أ َ ْو نَ ْف‬،‫ع َب ْيَُ ُه ْى‬
َ ‫ظ ت َ َع‬ َ ‫عهَ ْي ِّ ِي ٍْ ُك ِّم فِ ْع ٍم شَا‬
َ ‫ار ْوا‬
ُ ‫س‬ ُ َُّ‫َيا ا ْعت َادَُِ ان‬
َ ‫اس َو‬
ِّ ‫غي َْزُِ ِع ُْدَ ِس ًَا ِع‬
َ ‫َوال يَتَبَادَ ُر‬
Artinya: “Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya da-
lam bentuk setiap perbuatan yang popular diantara mereka, ataupun suatu
kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam
pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak me-
mahaminya dalam pengertian lain.”
Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah (kebia-
saan), yaitu:
‫س ِه ْي ًَتُ ِبانقَب ُْى ِل‬
َّ ‫ع ان‬ َّ ُُّ‫َيا ا ْستَقَ َّز فِ ْي انُُّفُ ْى ِس ِي ٍْ ِج َّه ِتانعُقُ ْى ِل َوتَهَقَّت‬
ُ ‫انطه َبا‬
Artinya: “Sesuatu yang telah mantap didalam jiwa dari segi dapatmya diterima oleh
akal yang sehat dan watak yang benar”
Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara beru-
lang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Dari penjelasan diatas dapat
dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebia-
saan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf al-fi‟li (kebiasaan dalam bentuk per-
buatan).1
„Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya transaksi jual beli barang kebutuhan
sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga mem-
bagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan „urf dalam bentuk per-

1
Rahman Dahlan Ushul Fiqh Amzah, Jakarta, 2010, hal.209.

2
kataan, misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtua mu” dalam
masyarakat islam Indonesia kalimat tersebut mengandung makna talak.2
2. Pembagian „Urf
Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dibagi menjadi 2, yaitu:
a. „Urf Al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku dalam sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya
jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi jarak tempuh maksimum, demikian
juga membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga
tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang
digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b. „Urf Al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu
masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyara-
kat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian
luas tanah 10x10 meter. Demikian juga dengan kebiasaan masyarakat tertentu
yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun
tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-„urf dapat pula dibagi
menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
a. „Urf Ash-Shahihah („Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak berten-
tangan dengan aturan-aturan hukum islam. Dengan kata lain, „urf yang
tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau se-
baliknya.mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan
yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan
kepada pihak perempuan ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada
pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Se-
baliknya jika pembatalan peminangan dari pihak perempuan maka “han-

2
Ibid., hal.210.

3
taran” yang diberikan untuk pihak wanita dikembalikan dengan dua kali
lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang. Demikian juga,
dalam jual beli dengan cara pemesanan (iden), pihak pemesanan memberi
uang muka atau panjar atas barang yang dipesan.3
b. „Urf Al-Fasidah („Urf yang Rusak/Salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ke-
tentuan dan dalil-dalil syara‟. Sebalik dari al-„urf ash-shahihah, maka
adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram,
atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan berciuman antara
laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram dalam acara pertemuan-
pertemuan pesta. Demikian juga adat masyarakat yang mengharamkan
perkawinan antara laki-laki dan pwrwmpuan yang bukan mahram, hanya
karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada seba-
gian adat masyarakat tertentu) atau hanya karena keduanya semarga.
Seiring berkembangnya zaman dan membaiknya pemahaman terhadap
hukum islam pada kebiasaan masyarakat tersebut secara berangsur-
angsur adat kebiasaan itu mereka tinggalkan.
Para ulama sepakat, bahwa Al-„Urf Al-Fasidah tidak dapat menjadi
landasan hukum atau sumber hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi
hukum oleh karena itu, dalam rangka meninggalkan permasyarakatan dan
pengamalan hukum islam pada masyarakat sebaiknya dilakukan dengan
cara yang ma‟ruf, diupayakan mengubah adat kebiasaan yang berten-
tangan dengan ketentuan ajaran islam tersebut, dan menggantikannya
dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat islam. 4
Pada umumnya para ulama ushul fiqih sepakat bahwa „urf yang
shohih dapat dijadikan hujjah dan sarana dalam menetapkan hukum
syara‟. Terdapat sejumlah alasan atau dalil yang mendukung keadaan Al-
„Urf sebagai hujjah. Adapun firman Allah dalam Qs Al-Baqarah ayat 233
sebagai berikut:

3
Ibid., hal.210-211.
4
Ibid., hal.211.

4
ِ ‫عهَى ْان ًَ ْىنُ ْى ِد ِر ْسقُ ُه ٍَّ َو ِكس َْىت ُ ُه ٍَّ بِ ْان ًَ ْع ُز ْو‬
...‫ف‬ َ ‫و‬...
َ
Artinya: “….dan kewajiban memberi makan dan pakaian kepada
para ibu (istri) dengan cara yang ma‟ruf” (Qs Al-Baqarah 2 : 233). Da-
lam ayat ini ada kata Al-Ma‟ruf yang artinya secara layak dan patut. yai-
tu kewajiban memberi makan, pakaian dan termasuk segala kebutuhan
adalah bergantung dengan kondisi dan adat atau „urf disuatu tempat.
Ulama berpendapat bahwa Al-„Urf dapat dijadikan sumber dan dasar da-
lam menetapkan hukum.
Hadits Nabi yang menunjukkan adanya pengakuan terhadap Al-
„Urf sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW sebagai berikut:
"...ٌٍ ‫س‬
َ ‫ّٰللاِ َح‬ َ ‫" َيا َرأَُِ ان ًُ ْس ِه ًُ ْىٌَ َح‬
‫سًُا فَ ُه َى ِع ُْدَ ه‬
Artinya: “….apa yang dipandang baik oleh umat islam, maka disisi
Allah adalah baik.” (HR. Ahmad).
Inti hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berjalan atas dasar
„urf atau kebiasaaan umat islam dan mereka memandangnya sebagai
sesuatu kebaikan, maka disisi Allah adalah suatu kebaikan.
Atas dasar dalil tersebut, maka dalam memahami Al-„Urf ini diper-
lukan kecermatan secara seksama sehingga mampu memahami Al-„Urf
yang shahih dan mana Al-„Urf yang fasid. Yang menjadi pegangan ada-
lah Al-„Urf yang shohih saja. Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul
terdapat sejumlah kaidah yang menjadi pegangan dalam mengamalkan
Al-„Urf tersebut. Adapun kaidahnya yaitu:
ٌ‫ان َعادَة ُ ُيح َك ًَت‬
Artinya: “adat itu bisa dijadikan dasar penetapan hukum.”
ِ ‫تَغَي ُُّز ْاْل َ حْ َك ِاو بِتَغَي ُِّز ْانعُ ْز‬
‫ف‬
Artinya: “hukum dapat berubah karena berubahnya adat”
ّ ِ َُّ‫ت بِان‬
‫ض‬ ِ ‫اَنثَّابِتُ بِ ْانعُ ْز‬
ِ ِ‫ف َكانثَّاب‬
Artinya: “penetapan hukum yang didasarkan pada Al-„Urf adalah sama
seperti menetapkannya dengan nas”.

5
‫ف‬ ْ ‫ش ْزع ُي‬
ِ ‫طهَقَا َو َال فِ ْي انهُّغَ ِت يَ ْز ِج ُع فِ ْي ِّ إِنَى انعُ ْز‬ َّ ‫ُك ُّم َيا َو َردَ بِ ِّ ان‬
Artinya : “ sesuatu ketentuan syara‟ yang bersifat mutlak, dan tidak ada
pembatasan didalamnya, bahkan juga tidak ada pembata-
san dari segi kebahasaan, maka pemberlakuannya diru-
jukkan kepada‟urf”5
3. Pengertian Qaul Shohabat
Yang dimaksud dengan qaul sahabat ialah hal-hal yang berhubungan
dengan fatwa atau keputusan sahabat tentang suatu perkara, kemudian fatwa atau
keputusan tersebut dinuklil sampai kepada kita. Munculnya fatwa dan keputusan
sahabat tentang suatu masalah adalah karena ketidakadaan dalil nash yang men-
jelaskan secara harfiah (tekstual) tentang masalah tersebut. Akhirnya mendorong
para sahabat untuk berijtihad dengan mengeluarkan fatwa atau ketetapan hukum.
Qaulsahabat sering pula disebut dengan mazhab sahabat. Pertanyaan yang mun-
cul kemudian adalah Apakah qaul sahabat ini dapat dijadikan sumber dalil
hukum oleh mujtahid ketika tidak menemukan dalil dalam nash Al-Qur‟an dan
sunnah dan tidak ada pula ijma‟ tentang sesuatu masalah?.
Pertanyaan yang segera muncul berikutnya ialah, siapa yang disebut sa-
habat itu?. Menurut ulama ushul fiqih ialah seseorang yang bertemu dengan
rasulullah dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam
waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi berikutnya dan mempunyai
hubungan khusus dengan rasulullah, sehingga secara adat ia dinamakan sahabat.
Ada juga yang mengatakan bahwa yang disebut dengan sahabat itu ialah orang
yang berjumpa dengan nabi, berjumpa dengan nabi dan ajarannya serta bergaul
bersamanya meskipun dalam waktu yang tidak lama.6
Para imam mazhab yang 4 sepakat menjadikan qaul sahabat sebagai ru-
jukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab,
dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul shahabat,
dipandang berkedudukan sebagai al-khabar at-tawqifi (informasi keagamaan
yang doiterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah. Dan para ulama
5
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam, Cimanggis, Depok, 2017,
hal.217-219.
6
Ibid., hal.219-220.

6
juga sepakat, qaul shahabat menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan
hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma‟ ash-shahabat) baik
kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma‟ ash-sharih) maupun
yang dipandanag sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang
berbeda dengan pendapata yang berkembang (ijma‟ as-sukuti), dalam istilah lain
disebut dengan mazhab ash-shahabat. Misalnya: bagian warisan nenek per-
empuan adalah seperenam harta warisan.
Sebaliknya, para ulama juga sepakat, bahwa qaul shahabat yang merupa-
kan hasil ijtihad para ulama tidak menjadi hujjah terhadapt sahabat lainnya.
Sebab fakta sejarah menunjukkan, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perbe-
daan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara‟ tertentu. Sekiranya pen-
dapat seorang sahabat menajdi hujjah terhadap sahabat lainnya, tentu perbedaaan
pendapat tersebut tidak terjadi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah qaul sha-
habat yang merupakan pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi
tabi‟in dan generasi berikunya ataukah tidak?. dalam hal ini terdapat perbedaaan
pendapat ulama sebagai berikut.
Menurut ulama Hanfiyah, Imam Malik, pendapat ulama Syafi‟i yang lama
(qaul al-qadim), dan menurut pendapat Ahmad bin Hambal yang terkuat: qaul
shahabat merupakan hujjah bahkan didahulukan dari al-qiyas pendapat ini
didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:
a. Terdapat pada firman Allah pada QS. Ali-Imran 3: 110

‫ع ٍِ ْان ًُ ُْ َك ِز َوتُؤْ ِيُُ ْىٌَ بِ ه‬


ِ‫اّلل‬ ِ ‫اس ت َأ ْ ُي ُز ْوٌَ بِ ْان ًَ ْع ُز ْو‬
َ ٌَ‫ف َوت َ ُْ َه ْى‬ ْ ‫ُك ُْت ُ ْى َخي َْز ا ُ َّي ٍت ا ُ ْخ ِز َج‬
ِ َُّ‫ت ِنه‬
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, me-
nyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah”
Ayat ini ditunjukkan kepada para sahabat, sehingga menunjukkan bah-
wa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang
baik wajib diterima.
b. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Imran bin Hushain:
‫سهَّ َى قَ َم َخي ُْز ُكى قَ ْزَِ ْي ث ُ َّى انَّ ِذيٍَْ يَهُىََ ُه ْى‬
َ ‫عهَ ْي ِّ َو‬ َّ ‫طهَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ّ ِ‫ع ٍْ انَُّب‬
َ ِ‫ي‬ َ

7
Artinya: “Dari Nabi SAW, beliau bersabda: sebaik-baik kamu (adalah yang
hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian
generasi berikutnya.”7
c. Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasulullah. Disamping
itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dengan rentang waktu
yang lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka
dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara‟
(maqashid asy-syari‟ah).
Menurut ulama Asya‟irah, Mu‟tazilah, Syi‟ah salah satu pendapat Asy-
Syafi‟i (qaul al-jadid) dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-
shahabat bukan merupakan hujjah. Alsannya mereka mengemukakan dalil se-
bagai berikut:
a. Terdapat pada firman Allah QS. Al-Hasyr 52: 2
‫ار‬
ِ ‫ظ‬َ ‫فَا ْعت َ ِب ُز ْوا يٰٓاُو ِنى ْاالَ ْب‬
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai wawasan.”
Ayat ini, menurut mereka, memerintahkan orang-orang yang memiliki
nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang
orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apalagi
jika qaul shahabat tersebut bertentangan dengan al-qiyas. Dari hal itu, al-
qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-qur‟an, sunnah, dan ijma‟.
Oleh karena itu tidak boleh mengikuti qaul shahabat yang bertentangan
dengan al-qiyas karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari qaul shahabat.
b. Ijma‟ telah terjadi dikalangan sahabat, bahwa diantara sesame sahabat boleh
berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan merupakan hujjah.
Dalil kedua ini kurang tepat, karena objek persoalan ialah, apakah qaul sha-
habat menjadi hujjah bagi generasi setelah mereka? Bukan diantara sesame
sahabat.8

7
Ibid,. hal.226-227.
8
Ibid., hal.228-229.

8
c. Dari segi logika, para sahabat termasuk golongan mujtahid juga. Sedangkan
pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa. Oleh karena itu,
mujtahid dari generasi tabi‟in dan sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul sha-
habat.
d. Fakta sejarah menunjukkan, beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad tabi‟in
yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika
memang qaul shahabat merupakan hujjah. Sebagai contoh: ketika Anas bin
Malik adalah generasi sahabat, sedangklan Hasan adalah generasi tabi‟in. hal
ini menunjukkan bahwa qaul shahabat bukan merupakan hujjah.
Sebagaimana dikatakan Wahbah Az-Zuhaili, antara kedua pendapat dan
alasan diatas, dapat dicarikan jalan tengahnya, yaitu: qaul shahabat yang semata-
mata merupakan hasil ijtihad perorangan, bukanlah merupakan hujjah syari‟yah
yang berdiri sendiri. Sebab, sebagai hasil ijtihad, ia dapat benar dan dapat salah.
Apalagi dikalangan sahabat tidak ditemukan orang yang memaksakan pendapat-
nya kepada orang lain. Bahwa benar para sahabat memiliki kedudukan yang san-
gat mulia, tetapi hal itu tidak dapat mengubah status pendapat mereka menjadi
ma‟shum. Oleh karena itu, pendapat sahabat yang bersifat ijtihad perorangan han-
ya menjadi hujjah yang wajib di ikuti, apabila memiliki sandaran (mustanad) da-
lam bentuk nashsh Al-Qur‟an atau Sunnah.9

9
Ibid,. hal.229.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologi Al-„Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟ dan fa yang
berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal), ta‟rif (definisi), kata ma‟ruf
(yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan yang baik). Kata „urf dalam
pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah (kebiasaan).
Yang dimaksud dengan qaul sahabat ialah hal-hal yang berhubungan dengan fatwa atau
keputusan sahabat tentang suatu perkara, kemudian fatwa atau keputusan tersebut dinuklil sam-
pai kepada kita. Munculnya fatwa dan keputusan sahabat tentang suatu masalah adalah karena
ketidakadaan dalil nash yang menjelaskan secara harfiah (tekstual) tentang masalah tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh. Amzah, Jakarta: 2010.
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi penetapan hukum islam, Kencana, Cimanggis,
Depok: 2017.

11

Anda mungkin juga menyukai