02 Juli 2015
Oleh:
Abstract
This paper will examine the relationship Hadis with Alquran discussed
with the terms Sunnah, khabar, Atsar, as well as forms of traditions,
standing traditions of the Alquran, the function of the Alquran and hadith
hadith comparison with the Alquran. Alquran and Hadis as a guideline to
be used as a source for every human action that live in this world. Hadith
through the Alquran can be understood and practiced. So that the
relationship with the Alquran traditions are closely related.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang memiliki aturan aturan yang diikat melalui
Alquran dan Hadis. Dengan pedoman ini manusia akan selamat di dunia dan di
akhirat. Dengan kata lain kedua sumber ini merupakan rujukan bagi pemeluk
agama Islam dapat meraih kebahagiaan di dunia ini terlebih lebih keselamatan di
akhirat. Dimana Alquran itu merupakan kalam Allah yang ditunkan kepada Nabi
Muhammad saw, melalui Malaikat Jibril yang disampaikan dengan bahasa arab,
kemudian mendapat pahala atau ganjaran bagi yang membacanya. Demikian juga
dengan Hadis merupakan suatu ketetapan yang dilakukan oleh nabi, baik itu
ucapan nabi, perbuatan nabi ketetapan nabi.
Setiap persoalan tentunya dapat dirujuk kepada Alquran dan Hadis. Dari
sinilah permasalahn tersebut dapat diatasi dengan baik, sehingga memberikan
solusi bagi pemeluk Islam tersebut. Namun, jika kita melihat lebih rinci tentang
sumber sumber hukum ini, tentu tidak lah dapat dijelaskan secara detail di dalam
Alquran secara jelas. Namun disinilah perlu adanya penjelasan penjelasan yang
harus dikaitkan melalui Hadis-hadis Rasulullah saw.
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Padangsidimpuan
Pengertian Hadis
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).2 Kata Hadis juga berarti al-
khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-Hadist. Selanjutnya di dalam buku
Hasbi Ash-Shiddiqi dikemukakan bahwa Hadis menurut bahasa (lughah) adalah
jadid, qorib, khabar.3
Secara terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian Hadis. Di kalangan ulama Hadis sendiri ada juga beberapa
definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan Hadis,
adalah: "Segala perkataan Nabi saw, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama Hadis
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang
Nabi saw, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran,
dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli Hadis yang lain merumuskan pengertian
Hadis dengan:
‛Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama Hadis yang lain juga mendefiniskan Hadis sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya". Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan
perbedaan para ahli Hadis dalam mendefinisikan Hadis. Kasamaan dalam
mendefinisikan Hadis ialah Hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka
terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi Hadis. Ada ahli Hadis
yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen Hadis, ada yang tidak
menyebut. Kemudian ada ahli Hadis yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit
2
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Citapustaka Media, 2005), hlm. 3.
3
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 1.
'Abbas, Abu Ayyub dan Ibnu Abbas. Abu Isa berkata, Hadisnya Ibnu
Umar adalah Hadis hasan shahih. Hadis ini juga diamalkan oleh
sebagian ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi Shallahu 'alaihi wa
sallam dan para tabi'in, mereka berpendapat, hendaknya seseorang
memisahkan antara raka'at kedua dan raka'at ketiga dengan witir satu
raka'at, dengannya pula Malik, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq berkata.‛ 4
Selain itu, pada defenisi lain menurut bahasa bahwa sunnah itu adalah
kamu sungguh akan mengikut jalan jalan (tradisi) orang orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga akhirnya, sekiranya
mereka memasuki lubang biawak niscaya kamu juga akan turut memasukinya. 5
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli Hadis) ialah
segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi saw, dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi
sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual
dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang
sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari
masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-
masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah
segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah saw,
baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam
dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang
dimaksudkannya adalah Alquran dan Hadis.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan Hadis, dan ada ulama
yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang
berbeda dengan istilah Hadis. Ulama ahli Hadis merumuskan pengertian sunnah
sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi saw. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
4
Tirmidzi, Kitab: Shalat, Bab: Witir satu rakaat, No. Haditst: 423.
5
Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Jilid XIII, (Beirut: Dar-al-Fikr, tth.), hlm. 234-235.
6
Abbas Mutawalli Hammadah, as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuha fi at-Tasyri’,
(Kairo: Dar-al-Qoumiyyah, tth.), hlm. 23.
amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila
ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi
Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan
atau dipraktekan oleh Nabi secara kontiniu dan diikuti oleh para
sahabatnya; sedangkan Hadis ialah ucapan-ucapan Nabi yang
diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada
yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Perlu diingat bahwa sekalipun ada di antara Ulama yang membedakan
antara Hadis dan sunnah, namun perbedaan itu tidak mutlak diikuti, sebab hal
tersebut hanyalah terjadi dikalangan ulama mutaqoddimin. Sementara itu bagi
ulama mutaakhkhirin (belakangan) sebagaimana yang dijelaskan oleh Subhi as-
Shalih, Hadis dan sunnah adalah dua istilah yang mempunyai makna identik dan
sama.7
2. Khabar
Selain istilah Hadis dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar.
Khabar menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang. Di lain sisi ada juga yang mengatakan bahwa khabar itu adalah berita
atau perkataan yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.8 Untuk itu
dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama
artinya dengan Hadis. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi,
memandang bahwa istilah Hadis sama artinya dengan khabar, keduanya dapat
dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan
bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi saw. sedang yang
datang dari Nabi saw. disebut Hadis.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih umum dari khabar.
Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa
tiap-tiap Hadis dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan
Hadis.
Menurut istilah sumber ahli Hadis; baik warta dari Nabi maupun warta
dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa
khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi saw.
Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan Hadis
dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau
khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih umum dari khabar,
7
Shubhi ash-Shalih, Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar-al-Ilm li al-Malayin,
1959), hlm. 9-10.
8
Muhammad As-Sabbagh, al-Hadits-an-Nabawi: Musthalahu, Balagatuh, ‘Ulumuh,
Kutubuh, Mansyurat al-Maktab al-Islami, Riyad, 1392/ 1972, hlm. 13.
begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada
Hadis, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik
dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan Hadis khusus terhadap yang
diriwayatkan dari Nabi saw. saja.
Menurut istilah, khususnya dalam disiplin ilmu Hadis, ditemukan
beberapa defenisi yang dikemukakan ulama. Diantaranya ada yang memiliki
makna luas ada yang memiliki makna terbatas. Dalam makna luas misalnya adalah
yang dikemukakan oleh at-Thaibi dan Muhammad Mahfuzh sebagai berikut:
Hadis tidak hanya terbatas dengan khabar marfhu’ kepada Rasul, tetapi
juga meliputi khabar mauquf, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan
maqthu yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Tabi’i.9
3. Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti
nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi
dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya
dengan khabar dan Hadis. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan
pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli Hadis mengatakan bahwa Atsar sama
dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. sahabat, dan
tabiin. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan
khabar untuk yang marfu. Ada juga yang menyamakan khabar dengan Hadis.
Akan tetapi pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf adalah bahwa atsar
merupakan riwayat yang berasal dari ulama salaf, sahabat, tabi’in. Pada ulama
Khurasan atsar dibatasi hanya pada riwayat yang mauquf, sedangkan khabar bagi
mereka merupakan riwayat yang marfu’. Golongan terakhir ini melihat bahwa
khabar terbatas kepada riwayat yang disandarkan kepada riwayat rasul.10
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dan demikian juga kepada
sahabat dan tabi’in. Namun, para Fuqaha’ khurasan membedakannya dengan
mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat dengan
sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
saw. dengan istilah Khabar.
9
Muhammad Mahfuz ibn ‘Abdillah at-Trirmizi, Manhaj Zawi an-Nazr, (Beirut: Dar-al-Fkir,
1981/1401), hlm. 8.
10
At-Tirmizi, hlm. 8-9.
Bentuk-bentuk Hadis
َف أَِِب ُىَريْ َرةَ ت َخ ْل ُ ال ُكْن َ َك ْاْلَ ْش َجعِ ِّي َع ْن أَِِب َحا ِزٍم ق ٍ ِف ي ع ِِن ابن خلِي َفةَ عن أَِِب مال
َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ٌ ََحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا َخل
ٍِ
ِ َّ ِضأُ ل
اىنَا لَ ْو َ ال يَا بَِِن فَ ُّر
ُ وَ أَنْتُ ْم َى َ ضوءُ فَ َق ُ لص ََلة فَ َكا َن َيَُُّد يَ َدهُ َح ََّّت تَْب لُ َغ إِبْطَوُ فَ ُق ْل
ُ ت لَوُ يَا أَبَا ُىَريْ َرةَ َما َى َذا الْ ُو َّ َوُى َو يَتَ َو
ِ ِ ضأْت ى َذا الْوضوء ََِسع ِ
ث يَْب لُ ُغُ ول تَْب لُ ُغ ا ْْلِْليَةُ ِم ْن الْ ُم ْؤِم ِن َحْي
ُ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق
َ ت َخليلي ُ ْ َ ُ ُ َ ُ َّ اىنَا َما تَ َو ُ ت أَنَّ ُك ْم َى ُ َعل ْم
ُضوء
ُ الْ َو
2. Hadis Fi’li
Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi saw.
Hadis fi’li juga disebutkan dengan sesuatu perbuatan atau tindakan Rasul yang
merupakan penjelasan praktis ajaran agama, seperti: tata cara shalat, puasa, haji,
wuduk dsb. Berikut contoh Hadisnya, Seorang sahabat berkata:
11
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz: I, (Beirut, Libanon: Dar- al-Fikr, 1981), hlm. 8.
‛Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-'Ala' al-
Hamdani telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari al-Walid,
yaitu Ibnu Katsir telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abi Sa'id al-
Maqburi dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu dia
berkata, "Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, kemudian
beliau berpaling seraya bersabda, 'Wahai fulan, tidakkah kamu
memperbagus shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati
apabila dia shalat, bagaimana dia shalat. Dia shalat adalah untuk dirinya
sendiri. Demi Allah, aku melihat dari arah belakangku sebagaimana aku
melihat dari arah depanku'."
3. Hadis Taqriri
Hadis yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi saw.
terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau
perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi saw.
Contoh lain dari Hadis taqriri ini adalah:12
ِ َ ََحدَّثَنَا َع ْمٌرو النَّاقِ ُد َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَةَ َع ْن ِى َش ِام بْ ِن ُح َج ٍْري َع ْن طَ ُاو ٍس ق
َ ال ِِل ُم َعا ِويَةُ أ ََعل ْم
ت ٍ َّال ابْ ُن َعب
َ َاس ق َ َال ق
كَ ت لَوُ ََل أ َْعلَ ُم َى َذا إََِّل ُح َّجةً َعلَْي ٍ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِعْن َد الْ َم ْرَوةِ ِبِِ ْش َق
ُ ص فَ ُق ْل
ِ ِ ِ صرت ِمن رأ
َ ْس َر ُسول اللَّو َ ْ ُ ْ َّ ََِن ق ِّ أ
Alquran dan assunnah adalah dua sumber poko syariat Islam. tidak ada
perbedaan pendapat di kalngan ulama bahwa Alquran adalah sumber pertama,
12
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, (Beirut, Libanon: Dar-al-Fikr, tth.), hlm. 286.
dan tidak sedikitpun ada keraguan tentang autentisitasnya sebagai wahyu Allah.
Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Redaksidan
maknanya diturunkan kepada Muhammad saw. melalui wahyu. Seluruh ayat-ayat
Alquran diriwayatkan secara mutawatir.
Allah swt. menutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia
mengutus Nabi saw. Sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan
Alquran kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan hujjah teragung, dan
memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya.
Alquran merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang
mengandung mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul saw. Melalui malaikat Jibril
mutawatir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan
membacanya dan tertulis di dalam lembaran lembaran.
Dalam hukum Islam, Hadis menjadi sumber hukum kedua setelah
Alquran. Penetapan Hadis sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu
Alquran sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul).
Alquran menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti,
bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak masa
sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan
sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan
Hadis sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Alquran
hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan
penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan
manusia. Karena itu, keabsahan Hadis sebagai sumber kedua secara logika dapat
diterima.
Alquran sebagai sumber pokok dan Hadis sebagai sumber kedua
mengisyaratkan pelaksanaan dari kenyataan dari keyakinan terhadap Allah dan
Rasul-Nya yang tertuang dalam dua kalimat syahadat. Karena itu menggunakan
Hadis sebagai sumber ajaran merupakan suatu keharusan bagi umat islam. Setiap
muslim tidak bisa hanya menggunakan Alquran, tetapi ia juga harus percaya
kepada Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam.
Taat kepada Allah adalah mengikuti perintah yang tercantum dalam
Alquran sedang taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnah-Nya, oleh karena itu,
orang yang beriman harus merujukkan pandangan hidupnya pada Alquran dan
sunnah/Hadis rasul.
Alquran dan Hadis merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala
macam perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam sehingga tidak melahirkan
pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada
ayat dan Hadis, maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya,
umat Islam seyogyanya menghargai perbedaan tersebut.
Alquran itu diriwayatkan secara pasti (qath’I ats-tsubut). Sunnah berbeda
dengan Alquran. Ia tidak semuanya digolongkan ke dalam qath’I ats-tsubut.
Bahkan kesemuanya Hadis atau sunnah itu disebut dengan zhanni tsubut, hanya
diriwayatkan dalam jumlah mutawatir.13 Dalam kaitan ini orang yang menolak
keterangan Zhanni tidak dihukumkan kafir, sementara orang yang menolak khabar
muatawatir berarti tidak menerima kebenaran yang pasti dihukumkan kafir.14
Ditinjau dari segi tunjukan lafalnya (dalalah), Alquran dan Hadis atau
Sunnah sama sama bisa dibagi ke dalam qat’i ad-dalalah dan zhanni dalalah. Qat’I
ad dalalah adalah tunjukan dari suatu lafal hanya menunjukkan makna pasti dan
tidak membutuhkan interpretasi dan ta’wil untuk memahaminya. sementara zhanni
dalalah adalah tunjukan lafalnya bersifat relatif dan membutuhkan interpretasi dan
ta’wil.15
13
Mushthafa as-Siba’I, as-Sunnah wa Makanatha fi At-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Mesir: Dar-
al-Qoumiyyah, 1949), hlm. 344.
14
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadits,Ulumul wa Mustalahuh, (Beirut, Libanon: Dar-
Fikir, 1989), hlm. 301-302.
15
Ajjaj al-Khatib, 304.
Islam didirikan atas lima perkara: ‚persaksian bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat ,
membayar zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke
baitullah.‛ (H.R Bukhari dan Muslim)
16
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu Hadis merincinya,
misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah saw:
16
QS. Albaqarah: 110.
17
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 33.
18
QS. Al-Baqarah: 180.
Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah
pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau
setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkan.
Kemudia bayan an-Nasakh yaitu diartikan sebagai membatalkan,
menghilangkan, memindahkan, mengubah.
4. Hadis memberikan pengecualian terhadap pernyataan Alquran yang bersifat
umum. Misalnya Alquran mengharamkan memakan bangkai dan darah:
Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah saw. bersabda: ‛Dihalalkan kepada kita
dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan
belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.‛ (HR.Ahmad, Syafii, Ibn
Majah, Baihaqi dan Daruqutni)
19
QS. Al-Maidah: 3
5. Hadis menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Alquran. Alquran
bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti.
Dalam hal ini, Hadis berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh
Alquran, misalnya Hadis dibawah ini:
20
Ranuwijaya, hlm. 41-42.
Kedua: alquran redaksi dan maknanya dari Allah swt, sedangkan Hadis qudusi
maknanya dari Allah swt dan redaksinya dari Nabi Muhammad saw;
Ketiga: dalam shalat, Alquran merupakan bacaan yang diwajibkan, sehingga
seseorang tidak sah shalatnya kecuali dengan bacaan Alquran. Hal ini tidak berlaku
padda Hadis qudusi.
Keempat: menolak Alquran merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan
penolakan Hadis qudusi.
Kelima: alquran diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril, sedangkan Hadis
qudusi diberikan langsung, baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam: perlakuan atau sikap seseorang terhadap Alquran diatur oleh beberapa
aturan, seperti keharusan bersuci dari hadas ketika memegang dan membacanya,
serta tidak boleh menyalin ke bahasa lain tanpa dituliskan lafazh aslinya.
Sedangkan hal ini tidak berlaku terhadap Hadis qudusi.
Selain itu juga, bahwa Alquran adalah kalamullah yang diwahyukan
Allah swt. lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya
sekaligus, sedangkan lafadz Hadis bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi
sendiri. Dari segi kekuatan dalilnya, Alquran adalah mutawatir yang qot’i,
sedangkan Hadis kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni.
Sekalipun ada Hadis yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya
sedikit. Membaca Alquran hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-
ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan Hadis.
Para sahabat mengumpulkan Alquran dalam mushaf dan menyampaikan
kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang.
Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan Hadis tidak demikian keadaannya, karena Hadis qouli hanya
sedikit yang mutawatir. Kebanyakan Hadis yang mutawatir mengenai amal praktek
sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Alquran merupakan
hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan
Hadis sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya). Hadis juga ikut
menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam Alquran seperti dalam
Hadis yang artinya:
‛Hadis dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah saw. bersabda
‚Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan
bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak pula antara seorang
perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Penutup
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadis juga berarti al-
khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Secara terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian Hadis, adalah: "Segala perkataan Nabi saw,
perbuatan, dan hal ihwalnya". Sunnah menurut bahasa berarti: "Jalan dan
kebiasaan yang baik atau yang buruk". Khabar menurut lughat, yaitu berita yang
disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Atsar menurut lughat ialah bekasan
sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan.)
Bentuk bentuk Hadis itu adalah seperti: Hadis qouli, Hadis fi’li, Hadis
taqriri. Selain itu ada juga yang disebut dengan Hadis qudusi, yang memiliki
persamaan dan perbedaan dengan alquran. Dengan demikian dapat diberikan
sebuah kesimpulan bahwa Hadis itu adalah memiliki fungsi sebagai, penguat
terhadap alquran, penjelas kepada alquran, sebagai keterangan terhadap alquran,
pengganti terhadap hukum yang bertentangan dengan ayat, penetapan hukum
yang tidak ditemukan dalam quran.
Referensi