Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian, ajal manusia sudah
menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal dunia,maka kita harus bersikap sabar
atas keluarga yang meninggal. Ada sebuah wacana yang mengatakan bahwa mayit
disiksa karena ratapan keluarganya. Dan bila seseorang sampai meneteskan air mata,
bila keluarganya meninggal dunia,maka hal tersebut sudah biasa sebagai rasa duka, yang
penting tidak sampai menangis keterlaluan.
Maka atas dasar tersebut, dalam menghadapi orang dan keluarga atau teman yang
meninggal janganlah bersikap kurang baik melainkan kita harus mendo’akan baik secara
perorangan ataupun secara bersama-sama. Beberapa keluarga mayit biasanya
mengadakan tahlilan bersama warga sekitar dan sanak saudara yang lain untuk
mendo’akan si mayit. Namun ternyata ada sebagian golongan yang melarang pengadaan
tahlilan dengan alasan tertentu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan merupakan
Bid’ah yang tidak ada tuntunannya. Hal ini cukup menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat tentang bagaimana sebenarnya hukum tahlilan yang sudah menjadi tradisi
dalam masyarakat.
Secara lughah tahlilan berakar dari kata berbahasa arab yakni hallala () َهلَّ َل
yuhallilu ( ) يُ َه ِّل ُلtahlilan ( ) ت َ ْه ِّل ْيلاartinya adalah membaca/mengucap kalimat "Laa ila ha
illallah"2 makna inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai
1 Sutejo Ibnu Pakar, Tahlilan Hadiyuan Dzikir dan Ziarah Kubur,(Cirebon: Aksarasatu, 2015) h. 7
2 Munawar Abdul Fattah Tradisi Orang-orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h. 276
tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat
tahlil yang mengesakan Allah seperti bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) dan lain
sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh)
suatu daerah tertentu.
Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) ada juga
bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), sholawat
(Allahumma sholli ‘ala syaidina Muhammad), serta beberapa ayat Al-Qur'an seperti QS.
Yaasin, QS. Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain sebagainya yang bagi umat
muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat.
1.2. Tujuan
• Untuk mengetahui Hukum melaksanakan Tahlilan.
PEMBAHASAN
Tradisi Tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW. Lebih
tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno
dengan tradisi Islam. Wali Songo dalam berdakwah sangat mengedepankan kehati-
hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada
masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan
Bunddha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasan dan tradisi
mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali apabila langsung mengkikis kebudayaan
yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya.
Strategi Wali Songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi’i yang
dikutip dalam buku “jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi:
“Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah
hasanah berarti bid’ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalala berarti
bid’ah yang bertentangan dengan sunnah”.3
Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya diperuntukan untuk
orang yang meninggal telah berlangsung di Mekkah dan Madinah sampai sekarang.
3Irfan Yudhistira Wordpress Tradisi Tahlilan (diakses pada tanggal 05 Maret 2021)
4
Rahmi Nasir, Skripsi Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Kelurahan Manongkoki Kecamatan
Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar, (Makassar: Universita Muhammadiyah Makassar, 2018), h. 20
Keterangan ini dijelaskan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya Al Hawi Lil Fatawi.
Berikut penjelasannya:
ِّ ص َل ل ِّْل َم ِّي
ُت أ َ ْج ُره َ َو َح، َ َجازَ ذَلِّك،ِّاب ق َِّرا َءتِّ ِّه ل ِّْل َم ِّيت
َ َوأ َ ْهدَى ث َ َو،ُالر ُجل
َّ َ َو ِّإ ْن قَ َرأ
5
Ibid
Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya
kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada
mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi
Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i
menuturkan:
َ َواْل َ ْف،ِّ َويَدْع ُْو ِّل َم ْن يَ ُز ْو ُرهُ َو ِّل َجمِّ ي ِّْع أَ ْه ِّل ْال َم ْقبَ َرة،علَى ْال َمقَابِّ ِّر
ض ُل أ َ ْن يَ ُك ْونَ الس ََّل ُم َ سل َِّم َ ُِّلزائ ِِّّر أ َ ْن ي
َّ َويُ ْست َ َحبُّ ل
َ َو َيدْعُو لَ ُه ْم،آن َما ت َ َيس ََّر
ع ِّق َب َها ِّ َويُ ْست َ َحبُّ أ َ ْن َي ْق َرأ َ مِّ نَ ْالقُ ْر،ِّعا ُء ِّب َما ثَ َبتَ فِّي ْال َح ِّد ْيث
َ َُّوالد
Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada
mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar,
sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan
pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan
Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak
diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
ُّ ِّت َحكَاهُ ْالقَ َراف
َّ ي فِّي قَ َوا ِّع ِّد ِّه َوال
ُش ْي ُخ ابْن ِّ َِّص ُل ل ِّْل َمي
ِّ ال َمذْهَبُ أ َ َّن ْالق َِّرا َءة َ َِل ت:
ْ ِّب ْال َحج ِّ قَا َل فِّي الت َّ ْو
ِّ ضيحِّ فِّي بَا
َ أَبِّي َج ْم َرة
6
Husnul Haq, https://islam.nu.or.id/post/read/115055/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat (diakses pada tanggal 05
Maret 2021 pukul 22:27)