Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian, ajal manusia sudah
menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal dunia,maka kita harus bersikap sabar
atas keluarga yang meninggal. Ada sebuah wacana yang mengatakan bahwa mayit
disiksa karena ratapan keluarganya. Dan bila seseorang sampai meneteskan air mata,
bila keluarganya meninggal dunia,maka hal tersebut sudah biasa sebagai rasa duka, yang
penting tidak sampai menangis keterlaluan.

Maka atas dasar tersebut, dalam menghadapi orang dan keluarga atau teman yang
meninggal janganlah bersikap kurang baik melainkan kita harus mendo’akan baik secara
perorangan ataupun secara bersama-sama. Beberapa keluarga mayit biasanya
mengadakan tahlilan bersama warga sekitar dan sanak saudara yang lain untuk
mendo’akan si mayit. Namun ternyata ada sebagian golongan yang melarang pengadaan
tahlilan dengan alasan tertentu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan merupakan
Bid’ah yang tidak ada tuntunannya. Hal ini cukup menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat tentang bagaimana sebenarnya hukum tahlilan yang sudah menjadi tradisi
dalam masyarakat.

Tahlilan adalah aktivitas seseorang atau kelompok (jama’ah) yang melantunkan


atau mebaca kalimat thayyibah/kalimat tahlil. Upacara tahlilan lazimnya dilakukan
setiap ada kematian. Tahlilan diselenggarakan selama tujuh hari/malam berturut-turut
setelah kematian seseorang muslim. Dengan tujuan utama mendoakan seseorang yang
telah meninggal dunia. Tahlilan diselenggarakan atas prakarsa keluarga/ahli waris
seseorang yang telah meninggal1

Secara lughah tahlilan berakar dari kata berbahasa arab yakni hallala (‫) َهلَّ َل‬
yuhallilu ( ‫ ) يُ َه ِّل ُل‬tahlilan ( ‫ ) ت َ ْه ِّل ْيلا‬artinya adalah membaca/mengucap kalimat "Laa ila ha
illallah"2 makna inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai

1 Sutejo Ibnu Pakar, Tahlilan Hadiyuan Dzikir dan Ziarah Kubur,(Cirebon: Aksarasatu, 2015) h. 7
2 Munawar Abdul Fattah Tradisi Orang-orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h. 276
tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat
tahlil yang mengesakan Allah seperti bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) dan lain
sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh)
suatu daerah tertentu.

Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) ada juga
bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), sholawat
(Allahumma sholli ‘ala syaidina Muhammad), serta beberapa ayat Al-Qur'an seperti QS.
Yaasin, QS. Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain sebagainya yang bagi umat
muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat.

1.2. Tujuan
• Untuk mengetahui Hukum melaksanakan Tahlilan.
PEMBAHASAN

2.1. Hukum Melaksanakan Tahlilan

Tradisi Tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW. Lebih
tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno
dengan tradisi Islam. Wali Songo dalam berdakwah sangat mengedepankan kehati-
hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada
masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan
Bunddha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasan dan tradisi
mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali apabila langsung mengkikis kebudayaan
yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya.

Strategi Wali Songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi’i yang
dikutip dalam buku “jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi:
“Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah
hasanah berarti bid’ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalala berarti
bid’ah yang bertentangan dengan sunnah”.3

Sebagaimana keterangan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuhi dalam kitab


karangannya yaitu kitab Al-Hawi Lil Fatawi:

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal RA di dalam kitabnya yang


menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Al-Asyja’i dari
Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (‘ulama besar zaman
tabi’in): Sesunggunya orang-orang yang meninggal akan dapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama tujuh hari. Maka disunnahkan bagi mereka yang
masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang
sudah meninggal selama hari-hari tersebut”.4

Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya diperuntukan untuk
orang yang meninggal telah berlangsung di Mekkah dan Madinah sampai sekarang.

3Irfan Yudhistira Wordpress Tradisi Tahlilan (diakses pada tanggal 05 Maret 2021)
4
Rahmi Nasir, Skripsi Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Kelurahan Manongkoki Kecamatan
Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar, (Makassar: Universita Muhammadiyah Makassar, 2018), h. 20
Keterangan ini dijelaskan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya Al Hawi Lil Fatawi.
Berikut penjelasannya:

“Telah sampai kepadaku bawahsanya kesunahan bersedekah selama


tujuh hari itu telah berlangsung di Mekkah dan di Madinah hingga sekarang”.

Maka secara dzohir disimpulkan bahwa sedekah tersebut tidak pernah


ditinggalkan mulai dari zaman sahabat sampain sekarang. Para generasi terkemudian
(kholif) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai
masa generasi pertama.5

• Beberapa pendapat para Ulama tentang Tahlilan, diantaranya;


Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama
mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan
pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi
menyebutkan:

َ ‫ص ْو اما أَ ْو َحجًّا أَ ْو‬


‫صدَقَةا‬ َ ‫ص َلة ا َكانَ أَ ْو‬ َ ‫سنَّ ِّة َو ْال َج َما‬
َ ،ِّ‫عة‬ ُّ ‫ ِّع ْندَ أَ ْه ِّل ال‬،ِّ‫ع َم ِّل ِّه ِّلغَي ِّْره‬ َ ‫سانَ لَهُ أ َ ْن يَ ْجعَ َل ث َ َو‬
َ ‫اب‬ ِّ ْ ‫أ َ َّن‬
َ ‫اْل ْن‬
ِّ ِّ‫ص ُل ذَلِّكَ إلَى ْال َمي‬
ُ‫ت َويَ ْنفَعُه‬ ِّ َ‫ َوي‬،‫اع ْالبِّ ِّر‬ َ ِّ‫غي ِّْر ذَلِّكَ مِّ ْن َجم‬
ِّ ‫يع أ ْن َو‬
ِّ َ ‫أ َ ْو ق َِّرا َءة َ قُ ْرآن أ َ ْو ْاْلَذْك‬
َ ‫َار إلَى‬

Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang


lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji,
sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik.
Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-
Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).

Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan:

ِّ ‫ص َل ل ِّْل َم ِّي‬
ُ‫ت أ َ ْج ُره‬ َ ‫ َو َح‬، َ‫ َجازَ ذَلِّك‬،ِّ‫اب ق َِّرا َءتِّ ِّه ل ِّْل َم ِّيت‬
َ ‫ َوأ َ ْهدَى ث َ َو‬،ُ‫الر ُجل‬
َّ َ ‫َو ِّإ ْن قَ َرأ‬

5
Ibid
Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya
kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada
mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi
Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i
menuturkan:

َ ‫ َواْل َ ْف‬،ِّ‫ َويَدْع ُْو ِّل َم ْن يَ ُز ْو ُرهُ َو ِّل َجمِّ ي ِّْع أَ ْه ِّل ْال َم ْقبَ َرة‬،‫علَى ْال َمقَابِّ ِّر‬
‫ض ُل أ َ ْن يَ ُك ْونَ الس ََّل ُم‬ َ ‫سل َِّم‬ َ ُ‫ِّلزائ ِِّّر أ َ ْن ي‬
َّ ‫َويُ ْست َ َحبُّ ل‬
َ ‫ َو َيدْعُو لَ ُه ْم‬،‫آن َما ت َ َيس ََّر‬
‫ع ِّق َب َها‬ ِّ ‫ َويُ ْست َ َحبُّ أ َ ْن َي ْق َرأ َ مِّ نَ ْالقُ ْر‬،ِّ‫عا ُء ِّب َما ثَ َبتَ فِّي ْال َح ِّد ْيث‬
َ ُّ‫َوالد‬

Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada


(penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni
kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan
dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-
Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi,
Al-Majmu’, juz 5, h. 311).

Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan:

ُ‫صدَقَة‬ َ ُّ‫أ َ َّما الد‬. ُ‫ّللا‬


ُ ‫ َو ِّاِل ْستِّ ْغف‬،‫عا ُء‬
َّ ‫ َوال‬،‫َار‬ ْ ، َ‫ نَفَ َعهُ ذَلِّك‬،‫ت ْال ُم ْسل ِِّّم‬
َّ ‫إن شَا َء‬ ِّ ‫ َو َج َع َل ث َ َوا َب َها ل ِّْل َم ِّي‬،‫ي قُ ْر َبة فَ َعلَ َها‬ ُّ َ ‫وأ‬،
َ
‫ فَ َل أَ ْعلَ ُم فِّي ِّه خِّ َل افا‬،ِّ‫اج َبات‬ ِّ ‫َوأَدَا ُء ْال َو‬

Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada
mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar,
sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan
pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).

Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan
Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak
diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
ُّ ِّ‫ت َحكَاهُ ْالقَ َراف‬
َّ ‫ي فِّي قَ َوا ِّع ِّد ِّه َوال‬
ُ‫ش ْي ُخ ابْن‬ ِّ ِّ‫َص ُل ل ِّْل َمي‬
ِّ ‫ال َمذْهَبُ أ َ َّن ْالق َِّرا َءة َ َِل ت‬:
ْ ِّ‫ب ْال َحج‬ ِّ ‫قَا َل فِّي الت َّ ْو‬
ِّ ‫ضيحِّ فِّي بَا‬
َ ‫أَبِّي َج ْم َرة‬

Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji:


Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak
sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab
Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah
Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum


menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas
ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama
mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah
membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain
melarangnya.6

6
Husnul Haq, https://islam.nu.or.id/post/read/115055/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat (diakses pada tanggal 05
Maret 2021 pukul 22:27)

Anda mungkin juga menyukai