Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“KAIDAH INTI YANG MENJADI MUARA SELURUH QAWA’ID


FIQHIYYAH DAN KAIDAH ASASIYAH “ ‫" األموربمقاصدها‬
“Digunakan untuk Memenuhi Tugas Kelompok serta Diskusi Mata Kuliah
al-Qawa’id al-Fiqhiyyah”
Dosen Pengampu : Ustadz Ali Kadarisman, M. HI

Disusun oleh :
Kelompok 1
Yazid Reza Tama 19240077
Rafi Hidayat 200204110021
Ika Hilmiatus Salamah 210204110001
Fahmia Nuha Tsabita 210204110015

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
A. Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Asasi (Al-Qawa’id Al-Asasiyah)
1. ‫( جلب المصالح ودرء المفاس‬Meraih maslahat dan menolak mafsadah)
Izzuddin bin Abd al-Salam didalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh syariah adalah maslahat, baik dengan cara menolak
mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-
tingkatan tertentu tentang kebaikan dan manfaat serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan
juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan kemudaratannya.

Imam al-Ghazali dalam al-mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al- Muwafaqat dan
ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf menjelaskan lebih konkret
tentang ukuran dari kemaslahatan ini, yang apabila disimpulkan, maka persyaratan
kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran,


dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.
b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan
kepada sebagian kecil masyarakat1.

Dari segi syariah, kemaslahatan dibedakan menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, ada yang sunnah melaksanakannya, dan ada yang mubah
melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram melaksanakannya dan
ada yang makruh melaksanakannya2.

Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, maka wasilah atau cara dalam menuju
kemaslahatan atau kemafsadatan itu pun disesuaikan dengan tujuannya. Dari hubungan
antara maqashid atau tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:

1
Abu Ishaq Asy-syatibi, Al-Muwafaqat, Jilid 2, n.d.
2
Muhammad said Ramadhan al-buti, Dawabit Al-Maslahah Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Beriut: Dar Al-mutahiddah,
1992).
‫للوسائل أحكام المقاصد‬

“Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan”.

B. Lima Kaidah Asasiyah (al-Qawa’id al-Kulliyyah al-Kubra)


Dalam berbagai literatur qawa’id fiqhiyah, macam-macam kaidah fiqh, secara umum
disusun dengan sistematika sebagai berikut :

1. Kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-
kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya.
2. Kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama.
3. Kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.

Kaidah-kaidah fiqh induk, secara kuantitatif atau jumlahnya masih diperselisihkan oleh
para ulama. As-Suyuthi mengemukakan bahwa al-Qadhi Abu Sa’id mengembalikan semua
persoalan mazhab syafi’i kepada empat kaidah hukum induk. Syaikh ‘Izzudin Ibn ‘Abd al-
Salam, dalam bukunya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, mengatakan bahwa semua
masalah fiqh dapat dikembalikan kepada I’tibar al-mashalih saja. Sebab dar’u al-mafasid
termasuk bagian dari I’tibar almashalih. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh
induk ini da lima proporsi yang kemudian diikuti kaidah-kaidah fiqih cabang, baik yang
disepakati maupun yang diperselisihkan3.

1. ‫( األمور بمقاصدها‬Segala perkara tergantung niatnya)


a. Makna kaidah secara lughawi dan isthilahi
Makna secara lughowi kata al-Umuru Bimaqasidiha terbentuk dari dua unsur yaitu al-
umuru dan al-maqashid. Sedangkan secara lughawi al-umuru berasal dari kata al-amru artinya
keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. Sedangkan al-Maqasihidu yaitu maksud atau
tujuan. Sedangkan menurut isthilahi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau
tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.4

Lafal al-umuru jama` dari kata tunggal al-amru memiliki arti "perbuatan" dan "tingkah",
seperti ucapan: “umuru fulan mustaqimah” yang artinya "beberapa tingkah laku fulan lurus."
3
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Kaidah-Kaidah Fiqih, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, cetakan 1 (Palembang: Noer
Fikri, 2019).
4
Khusnul Fikriyah, “Al-Umuru Bimaqasidiha: Bagaimana Implementasinya Dalam Muamalah?,” Nomicpedia: Journal
of Economics and Business Innovation 1, no. 2 (2021): 81–88.
Namun, yang dimaksud di sini bukan al-amru dalam pengertian ini. Yang dimaksud adalah
pengertian "perbuatan", yang jama`nya adalah al-umuru. Karena yang dimaksud "perbuatan"
adalah gerakan anggota tubuh, maka "perkataan" bisa masuk dalam kategori perbuatan, karena
perkataan juga merupakan gerakan anggota tubuh, yaitu gerak lisan.

Maksud dari qa`idah ini adalah bahwa hukumyang menjadi konsekuensiatas setiap
perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut . Bila yang
menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram, meskipun tampaknya
baik-maka hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud
dari suatu perkara adalah baik, meskipun kelihatan biasa-biasa saja, maka hukum perkara
tersebut adalah halal5.

b. Dalil, Rukun dan Syarat kaidah


Dalil-dalil yang menjadi dasar kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha, yaitu :
1). QS. Al-Imran ayat 145
ۚ ‫اب ٱ ْل َءا ِخ َر ِة نُْؤ تِ ِهۦ ِم ْن َها‬ َ ‫س َأن تَ ُموتَ ِإاَّل بِِإ ْذ ِن ٱهَّلل ِ ِك ٰتَبًا ُّمَؤ َّجاًل ۗ َو َمن يُ ِر ْد ثَ َو‬
َ ‫اب ٱل ُّد ْنيَا نُْؤ تِ ِهۦ ِم ْن َها َو َمن يُ ِر ْد ثَ َو‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬
َّ ٰ ‫سنَ ْج ِزى ٱل‬
َ‫ش ِك ِرين‬ َ ‫َو‬

Artinya: Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT itu sesuai prasangka hamba-Nya, Apa yang
hamba-Nya pikirkan tentang Allah, maka akan mendapatkan apa yang sesuai dengan apa yang
dipikirkannya. Jika yang dipikirkan adalah hal positif dan baik tentang Allah, maka dia akan
mendapatkannya dari Allah, begitu juga sebaliknya.

2). HR. Bukhari, No.1

ِ ‫سلَّ َم يَقُو ُل ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


‫ َوِإنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْمرٍِئ‬،‫ت‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ : ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ َ :‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ب َر‬ ِ ‫عَنْ ُع َم َر بْنَ ا ْل َخطَّا‬
َ ‫ فَ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى َما ه‬،‫ َأ ْو ِإلَى ا ْم َرَأ ٍة يَ ْن ِك ُح َها‬،‫صيبُ َها‬
‫َاج َر ِإلَ ْي ِه‬ ِ ُ‫ فَ َمنْ َكانَتْ ِه ْج َرتُهُ ِإلَى ُد ْنيَا ي‬،‫َما نَ َوى‬

5
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, Cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011).
Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagiorang tergantung pada apa yang
diniatkan. Barangsiapa yang niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena
seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan.

Hadist di atas yang menjadi sandaran kaidah ini bahkan para ulama’ menyebut hadist ini
mangandung sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak
ditemukan adanya hadis nabi yang lebih lengkap, lebih kaya dan lebih banyak faedahnya
dibandingkan hadist ini.

Beberapa contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut:

a) Seseorang yang mengambil hak milik orang lain berupa benda-benda terlarang dengan
maksud menghancurkannya maka dia dianggap tidak mencuri dan tidak berdosa.
Sebaliknya, dia mendapatkan imbalan pahala atas perbuatannaya tersebut. Sebaliknya,
jika dia mengambil barang tadi dengan niat mencuri maka dia dihukumi berdosa karena
telah melakukan perbuatan melawan hukum.

b) Seseorang yang mengambil barang temuan dengan maksud ingin memeliharanya


hingga ditemukan pemiliknya maka sekiranya barang tersebut rusak dia tidak dibebankan
ganti rugi. Sebaliknya, jika dia mengambilnya dengan tekad dan niat ingin memilikinya
maka dia sepenuhnya harus bertanggung jawab atas segala resiko kerusakan yang
mungkin terjadi. Bahkan menurut al-Zarqa’, dia dianggap telah meng-ghasab atau
menggunakan hak milik orang lain secara paksa dan tidak sah.6

c. Niat
1. Pengertian Niat
a. menurut bahasa
Kata niat (‫ )النيّة‬dengan tasydid pada huruf ya’ adalah bentuk masdhar dari kata
kerjanawa-yanwi. Inilah yang masyhur di kalanga ahli bahasa. ada juga beberapa pendapat yaitu
membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid, menjadi niat (niyat).

Al-Jauhari berpendapat bahwa ungkapan ُ‫نَ— َويْت‬atau ُ‫ ا ْنتَ— َويْت‬mempunyai kesamaan arti,
yaitu aku berniat. Niat sendiri berarti kesengajaan atau maksud (al-qashd), sebab ia merupakan

6
Fikriyah, “Al-Umuru Bimaqasidiha: Bagaimana Implementasinya Dalam Muamalah?”
pecahan dari kata verba ‫شيُْئ َي ْن ِو ْيه‬
َّ ‫ِ نَ َوى ال‬yang bermakna “sengaja melakukan suatu tindakan dan
arah yang dituju.

Sedangkan, dalam Lisan Al-‘Arab, orang yang berniat adalah orang yang bertekad bulat
atau berketepatan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu bermaksud untuk melakukan suatu
tindakan dan arah yang dituju.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kata niat menurut bahasa yaitu “melakukan sesuatu dan
ketetapan hati untuk melakukannya7.

b. Menurut Istilah

Al-Isnawi menukil pendapat Al-Mawardi mengatakan bahwa niat adalah (al-qashd) yang
mengiringi suatu tindakan. Imam Haramain menukil bahwa niat termasuk kategori maksud (al-
qashd) dan keinginan (iradah)8.

2. Hukum Niat
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam menentukan status hukum niat dalam ibadah, apakah ia
rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang
masalah yang mereka hadapi. Ulama yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada
permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka yang
memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan atau
menegasikan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat. Dikalangan ulama-
ulama syafi’iyyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan
pelaksanaannya.

‫قصد الشيء مقترنا بفعله قصد الشيء مقترنا بفعله‬

Dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan
wajib niat disertai dengan takbiratul ihram.Sedangkan menurut kalangan madzhab hambali dan
hanfiyah mengatakan:

‫القصد بالقلب ويجب ان تكون النية مقارنة لتكبير‬

7
Nashr Farid Muhammad Washil, Qawaidh Fiqhiyyah, Cetakan 1 (Jakarta: AMZAH, 2009).
8
Muhammad Washil.
Bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan
tempat dari maksud adalah hati. Jadi, apabila meyakini didalam hatinya, itupun sudah cukup dan
wajib niat didahulukan dari perbuatan. Akan tetapi yang lebih utama niat bersama-sama dengan
takbiratul ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertai dengan ibadah9.

3. Fungsi dan Tujuan


Pada dasarnya, tujuan dan fungsi niat itu adalah untuk membedakan antara perbuatan
ibadat dari perbuatan adat dan untuk penentuan (at-ta’yin) spesifikasi atau kekhususan antara
mandi dan berwudhu’ untuk shalat dengan mandi dan mencuci anggota badan untuk kebersihan
biasa. Dengan niat, maka akan terbedalah menahan lapar karena berpuasa dengan menahan lapar
untuk menghindari penyakit atau untuk diet. Kemudian memberikan sebagian harta kepada fakir
miskin dengan niat zakat, akan berbedea dari memberikannya kepada mereka tanpa niat,
tindakan ini sebagai sumbangan sosial. Menyembelih hewan untuk lauk dan untuk kurban hanya
dapat dibedakan dengan niat.

Berwudhu’ shalat, berpuasa ada yang wajib dan ada yang sunnah. Untuk menentukannya
secara spesifik hanya dengan niat. Bertayamum yang cara pelaksanaannya sama, tetapi hanya
dapat dibedakan dengan niat untuk menentukan tujuan menghilangkan hadas kecil atau hadas
besar.

4. Tempat Niat
Niat itu tidak pada ucapan, melainkan dalam hati, karena gerakan hati itu sulit, maka para
alim menganjurkan agar di samping niat dalam hati, juga dikukuhkan dengan ucapan lisan, untuk
menolong gerakan hati. Sebaliknya apabila ada niat hanya diucapkan di mulut saja, sedang hati
tidak bergerak, maka niat itu tidak sah, sehingga kalau seseorang terlanjur berumpah, tetapi di
dalam hati, dan tidak ada niat untuk bersumpah, maka tidak wajib membayar kaffarat dan tidak
berdosa.

Apabila ada perbedaan antara ucapan dengan bunyi hati, maka yang diperhitungkan
adalah bunyi hati. Misalnya :

“Aku niat sholat fardu dhuhur, sedangkan dalam niat hatinya “aku niat shalat fardhu
Ashar, maka yang tertunaikan adalah shalat Ashar.
9
Qulyubi Wa Amirah, Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Juz 1 (Singapura: Maktabah Wa Mathba’ah
Mar’i, n.d.).
Hal semacam ini gerak hati sebagai pegangan, kalau memang masalahnya tidak
berhubungan dengan kepentingan sesama manusia.jika ada hubunganya dengan kepentingan
sesama manusia, seperti : Ikrar, wasiat, thalaq, dan sebagainya, maka yang menjadi pedoman
adalah ucapan, sebab kalau gerak hati yang di pegangi, orang akan dengan mudahnya
mengingkari apa yang telah tergerak dalam hatinya10.

5. Waktu Niat
Ada beberapa ketentuan tentang waktu niat ini :
1. Niat itu harus berbareng atau bersamaan dengan permulaan ibadah, seperti: wudhu,
niatnya dilakukan pada waktu membasuh sebagian muka. Shalat, niatnya harus
berbareng atau bersamaan dengan takbiratul ihramdan sebagainnya.
Hal ini mengecualikan beberapa amal ibadah yang niatnya tidakharus dibarengkan
dengan permulaan amalnya, seperti : puasa dan zakat.
2. Jika permulaan ibadah itu berupa dzikir, maka bersamaanya niat itu harus bersamaan
dengan lengkapnya dzikir itu. Misalnya : shalat, permulaan shalat adalah takbir
(Allahu Akbar). Jadi niatnya harus berbarengan dengan lengkapnya bacaan “Allahu
Akbar” dan tidak cukup hanya bersamaan dengan “Allah” atau dengan “akbar”
saja11.

6. Hal-hal yang membatalkan niat syarat sah


Hal-hal yang meniadakan atau membatalkan niat, diantaranya:
a). Memutus niat

Diantara hal yang menafikan solat adalah niat memutusnya, seperti :

1). Niat memutus iman, maka seketika itu ia dihukumi murtad

2). Di tengah-tengah solat niat memutus solat, maka solatnya batal tanpa ada perbedaan
ulama. Sebab ulama menyamakan shalat dengan permasalahan iman.

3). Niat memutus wudhu saat berwudhu, maka menurut pendapat ashah wudhunya
tidakbatal, hanya ia harus mengulangi niat untuk rangkaian rukun berikutnya.

b) Mengganti niat fardlu menjadi sunnah.


10
Moh Adib Bisri, Tarjamah Al-Faraidul Bahiyyah (MENARA KUDUS, 1397).
11
Adib Bisri.
Mengganti niat fardlu menjadi sunnah terbagi menjadi dua :

1). Dihukumi dengan intiqol, seperti halnya ketika seseorang telah menyelesaikan solat
dhuhur sedangkan waktu dhuhur belum masuk. Dan sholat yang dilaksanakannya
menjadi sholat sunnah.

2). Ketika seseorang yang berniat mengganti fardlu menjadi sunnah karena sebuah
kemaslahatan, maka mengganti niat fardlu menjadi sunnah itu sah. Seperti ketika kita
melaksanakan solat fardlu sendirian, lalu datanglah rombongan jamaah. Maka mengganti
niat fardlu menjadi sunnah tersebut sah.

c). Ketidakmantapan dalam niat yang memunculkan kebimbangan.

Seperti halnya orang yang bimbang untuk memutus sholat, maka sholatnya batal.
Begitu pula orang yang menggantikan pembatalan sholat dengan sesuatu, maka sholatnya
dianggap batal12.

7. ta’yin Niat
Niat ada dua macam :

a. Niat amal

Niat amal adalah bahwasanya dalam mengerjakan sebuah amal perbuatan harus
diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari ibadah tersebut. Atas dasar
inilah maka tidak akan sah sebuah jenis cara bersuci, sholat,zakat dan ibadah lainnya
kecuali dengan adanya niat. Seseorang harus meniatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah
itu terdapat berbagai jenis dan macamnya ,maka harus menentukan macam dan jenis
ibadah tersebut. Sebagai contoh, ialah sholat. Seseorang harus menentukan dengan
niatnya apakah dia sholat wajib ataukah sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus
ditentukan apakah itu sholat dhuhur ataukah ashar dan seterusnya.

Niat inilah yang membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai sebuah contoh
bahwasanya mandi itu bisacuma berfungsi untuk membersihkan badan saja, namun bisa
juga untuk menghilangkan hadats besar, itu semua tergantung pada niatnya.

12
M HR Hamim and AM Ahmad Muntaha, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah Penjelas Nazhm Al-Fara’id Al-Bahiyah
(kediri: santri salaf press, 2013).
Fungsi niat amal ini untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah atau tidak.

b. Niat ma’mul lahu (untuk siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?

Dan inilah yang kita sebut dengan ikhlas,yaitu harus meniatkan semua amal
perbuatan itu hanya untuk Allah Ta’ala saja, bukan lainnya. Allah swt berfirman:

ُ‫ُوا ٱل َّز َك ٰوةَ ۚ َو ٰ َذلِكَ ِدين‬


۟ ‫صلَ ٰوةَ َويُْؤ ت‬ ۟ ‫صينَ لَهُ ٱلدِّينَ ُحنَفَٓا َء َويُقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ۟ ‫َو َمٓا ُأ ِم ُر ٓو ۟ا ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬
ِ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ ُم ْخل‬
‫ٱ ْلقَيِّ َم ِة‬

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah


dengan mengikhlaskan agama hanya kepada-Nya” (Q.S Al-Bayyinah: 5)

Dan niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh
Allah SWT atau tidak13.

d) Kaidah Furu’
Kaidah furu’ yang termasuk dalam lingkup kaidah ini, ialah :

1. ‫ال ثواب إال بالنية‬

Artinya : “Tidak ada pahala kecuali dengan niat.”

Kaidah berkaitan dengan perbuatan yang tidak dianggap baik atau buruk jika
tidak ada niat dari pelakunya. Dalam konteks ini, perbuatan tidak akan mendapatkan
pahala selama tidak diniatkan dengan niat yang baik.

Mengenai sahnya suatu perbuatan ada yang disepakati ulama tentang niat sebagai
syaratnya umpamanya shalat dan tayamum. Ada juga yang masih diperselisihkan
umpamanya niat wudhu’.

Dalam hal ini ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menganggapnya wajib atau rukun,
sedangkan ulama Hanafiyah menganggapnya sunnah muakkadah. Yang dimaksud disini
jika ada niat berwudhu mendapat pahala, tetapi bila tanpa niat maka ber-wudhu’ tidak
mendapat pahala sekalipun shalat yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah
menganggapnya syarat sah14.

13
Ali Geno Berutu, “Qawa ’ Id Fiqhiyyah Asasiyyah,” no. 13200101010016 (2014): 1–11.
14
Ibrahim, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Kaidah-Kaidah Fiqih.
Dari kaidah cabang ini terdapat beberapa contoh, antara lain:

1) Kegiatan sehari-hari seperti makan dan minum. Kegiatan ini akan bernilai
pahala jika dalam pelaksanaannya mengharap kepada Allah disertai niat.
Namun sebaliknya jika dalam pelaksanaannya tidak disertai dengan niat, maka
hal tersebut merupakan kebiasaan seseorang dan tidak akan bernilai pahala.
2) Orang tidak makan dan minum mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari. Apabila dalam melakukan perbuatan tersebut tidak disertai niat,
maka perbuatan itu tidak akan bernilai pahala. Beda halnya jika disertai niat
puasa sunnah misalnya maka perbuatan tersebut tentu akan bernilai pahala.
3) Seseorang yang memberikan kursus bahasa Inggris. Pertama, ia mengajari
orang lain yang belum bisa bahasa Inggris dengan niat menyebarkan ilmu dan
niat karena Allah, maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala.
Kedua, ia mengajari orang lain hanya karena ingin mendapatkan imbalan/
upah saja dari hasil kursusnya tanpa mempertimbangkan keadaan orang yang
diberikan kursus apakah sudah bisa atau belum. Maka dalam hal ini ia tidak
mendapatkan pahala15.
2. ‫األصل أن النية إذا تجردت عن العمال ال تكون موثرة في األمور الدنيوية‬

Artinya : “ Maksud dan tujuannya nukan untuk keduniawian. Kalaupun berdampak


pada kehidupan kita itu hanya bonus.

Contoh : Ada sepasang suami-istri. Si suami ada niatan di hati untuk thalaq. Tapi
selama si suami tadi mengucapkan dengan lisannya berarti masih dinamakan suami-istri
dan hukum thalaq pun belum jatuh atau nggak ada.

3. ‫األصل مقرنة الذية بالفعل إال ان يتعذر أو يتعسر فتقدم وال تتاخر‬

Artinya: “Asal disyaratkannya menyertai niatdengan melakukan tindakan apabila


tidak ada halangan atau kesulitan melakukannya. Namun bila ada ada satu diantara
keduanya, maka melakukan Tindakan tersebut.”

15
Mif Rohim, Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah, cetakan 1 (Jombang: LPPM
UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019).
Dalam hal menghilangkan najis ulama berbeda pendapat, apakah wajib niat atau
tidak. Perbedaan tersebut berlatar belakang apakah menghilangkan najis termasuk
melakukan Tindakan (‫)الفعل‬atau meninggalkannya (‫)ال——ترك‬. (Bagi ulama yang menilai
bahwa hal tersebut adalah Tindakan (‫)الفعل‬, maka disyaratkan niat dan menurut yang
mengatakan bahwa hal tersebut adalah (‫)الترك‬maka tidak disyaratkan niat.

Menurut imam Mawardi, mensucikan najis tidak perlu niat berdasarkan kesepakatan
ulama. Pendapat beliau didasarkan pada dua hal :

1. Menghilangkan najis adalah ibadah yang bersifat memisahkan dan


meninggalkan. Sementara segala sesuatu yang bersifat meninggalkan tidak
perlu niat sebagaimana sudah diketahui.
2. Memandang Ketika ada najis yang disiram air menjadi suci, maka dalam
permaslahan ini tujuan tujuan tidak dianggap dan niat tidak diwajibkan16.
4. ‫ماال يشترط فيه التعرض له جملة وتفصيال إذا عينه وأخظأ لم يضر‬

Artinya : “Suatu perbuatan yang baik secara keseluruhan atau secara terperinci, tidak
disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka tidak
berbahaya.”

Atas kaidah ini maka dipahami bahwa :

1. Seseorang shalat dan meniatkan shalatnya itu pada hari sabtu, padahal hari
itu hari jum’at , maka shalatnya tetap sah, sebab meniatka hari dan tanggal
ia shalat tidaklah disyarahkan dalam shalat.
2. Seseorang imam yang shalat dan meniatkan bahwa makmumnya adalah
Hasan padahal yang menjadi imam adalah Husen, maka shalatnya tetap
sah. Sebab meniatkan siapa yang menjadi makmumnya itu tidaklah
disyaratkan17.
5. ‫ فالخطافيه مبطيل‬,‫ما يشترط فيه التعيين‬

Artinya : “Dalam perbuatan yang disyaratkan menyatakan niat (ta’yin) maka


kesalahan pernyataan dapat membatalkan perbuatan tersebut.”

16
Ibrahim, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Kaidah-Kaidah Fiqih.
17
Ibrahim.
Sebagai contoh : ada seseorang yang akan menunaikan shalat dzuhur, tetapi dengan
ta’yin niat shalat ‘ashar, atau seseorang menunaikan puasa qadha’ dengan ta’yin niat
puasa sunnah. Maka kesalahan semacam ini membuat tidak sahnya shalat atau puasa
yang dilakukannya. Karena menurut hukum islam, ada tuntutan ta’yin niat yang
fungsinya membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Karena menurut
hukum Islam, ada tuntutan ta’yin niat yang fungsinya membedakan antara satu ibadah
dengan ibadah yang lain18.

6. ‫ما يجب التعرض له جملة ْول يشترط تعيينه تفصيًل إذا عينه وأخطأ ضر‬

Artinya: “Suatu amal yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar dan
tidak harus terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah
maka kesalahannya membahayakan”

Berdasarkan kaidah cabang ini apabila seseorang menyebutkan ta’yin yang


diwajibkan secara menyeluruh (global), akan tetapi tidak disyaratkan secara terperinci
(tafsil). Namun, jika ta’yin tersebut yang seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan
ketika disebutkan secara terperinci (tafsil) ternyata salah, maka kesalahan tersebut
membahayakan serta menyebabkan rusaknya sebuah amal.

Dari kaidah cabang ini terdapat beberapa contoh, antara lain:

Orang shalat jenazah dengan niat menyolatkan mayit laki-laki, kemudian ternyata
mayitnya perempuan, atau sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula kalau
dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya tidak cocok, maka
shalatnya tidak sah dan harus diulang.

1. Seseorang yang berniat makmum kepada Ustman, namun ternyata yang


menjadi imam adalah Ali, maka shalatnya tidak sah.
2. Seseorang yang niat puasa pada malam rabu untuk puasa hari kamis, maka
puasa orang tersebut tidak sah19.
7. ‫النية في اليمين تخصص اللفظ العام ْول تعمم الخاص‬

18
Ibrahim.
19
Ibrahim.
Artinya : “Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz ‘amm, tidak meng-umum-kan
lafaz yang khas.”

Berdasarkan kaidah cabang ini terdapat beberapa contoh antara lain:

1. Ada orang bersumpah:“demi Allah saya tidak akan berbicara dengan


seseorang”, lalu ia ditanya: “siapa yang engkau maksud dengan seseorang itu
?”, kalau ia menjawab :”yang saya maksud dalam niat saya adalah si fulan”,
maka menurut hukum, ia dibenarkan, sehingga jika ia berbicara dengan selain
fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah.
2. Sebaliknya, jika ia bersumpah demikian :”Demi Allah saya tidak akan
kerumah fulan.”, ketika ditanya siapa yang dimaksud, ia menjawab :”yang
saya maksud dalam niat adalah (rumah) siapa aja.”
Menurut hukum, hal ini tidak bisa dibenarkan dan kalau ia singgah
kerumah orang lain selain rumah fulan, ia tidak melanggar sumpah20.
8. ‫النية في اليمين تخصص اللفظ العام ْول تعمم الخاص‬

Artinya : “Tujuan ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan, kecuali
dalam satu tempat, yaitu sumpah di hadapan Qadhi. Dalam kondisi ini, maksud lafadz
adalah menurut niat qadhi.”

Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa perkataan seseorang itu dianggap sah atau tidak,
tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut21.

Dari kaidah cabang ini terdapat beberapa contoh, antara lain:

1. Seandainya seorang suami memanggil dengan panggilan thaliq (orang yang


tertalaq), maka apabila niat pemanggilnya itu adalah untuk menceraikan
istrinya maka jatuhlah thalaq. Tetapi, kalau ucapan itu hanya semata-mata
bermaksud memanggil bukan niat mentalaq maka tidaklah jatuh thalaq.
2. Demikian juga seandainya ada seseorang yang sedang shalat mengucapkan
atau membaca suatu ayat yang mengandung pengertian tertentu dengan tidak
ada maksud lain kecuali membaca ayat, maka jelas diperbolehkan. Tetapi jika

20
Adib Bisri, Tarjamah Al-Faraidul Bahiyyah.
21
Rohim, Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum.
dimaksudkan untuk memberitahukan atau memerintahkan kepada orang lain
supaya melakukan sesuatu, maka shalatnya batal. Umpamanya, orang yang
shalat tersebut membaca ayat udkhula bi salamin aminim (al-hijr : 46), dengan
tujuan memerintahkan orang lain (tamu) untuk masuk, atau seorang yang
sedang shalat membaca ayat ya yahya khuz al-kitab bi quwwah (Maryam :
12), dengan tujuan menyuruh seseorang bernama Yahya mengambil buku
kitab, maka shalat seseorang tersebut hukumnya batal22.
9. . ‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني ال األلفاظ والمباني‬

Artinya: ”yang dipertimbangkan dalam transaksi adalah maksud dan makna, bukan
lafal dan bentuk ucapan.”

Kaidah ini mengandung pengertian bahwa yang diprioritaskan untuk dipertimbangkan


dalam suatu transaksi adalah maksud dan niat, bukan semata-mata lafal atau ucapan. Oleh
karena itu, tidak sah berpegang dengan zahir ucapan, apabila telah jelas berbeda dari
maksud dan niat seseorang. Untuk memperjelas makna kalimat di atas, maka diuraikan
kalimat seperti berikut:

1. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang tanpa ada niat untuk
mengungkapkanya, seperti ungkapan orang tidur, orang pingsan (pitam),
orang gila dan orang mabuk.
2. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang dengan tujuan memang
mengucapkan lafadznya, tetapi bukan bertujuan maknanya, baik karena tidak
mengetahui maknanya seperti ungkapan anak kecil yang berlum mumayyiz
dan orang yang dituntun (dipandu) berbicara dengan bahasa yang tidak
dipahaminya atau ia mengetahui maknanya, namjun ada qarinah (clue) bahwa
hal itu tidak dikehendakinya seperti orang yang mendiktekan suatu ungkapan
kepada tukang tulis atau membacanya dalam buku.
3. Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang dengan tujuan
mengucapkannya, mengetahui maknanya dan secara zahir ia
memaksudkannya namun secara batin tidak demikian, seperti ungkapan orang
yang main-main dan orang yang dipaksa.

22
Ibrahim, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Kaidah-Kaidah Fiqih.
4. Suatu ungkapan yang muncul dari seseorang dengan tujuan melafalkannya
(mengucapkannya), mengetahui maknanya dan memang jelas itulah yang
dimaksudkannya.

Dalam keadaan pertama dan kedua di atas ungkapannya harus diabaikan, tidak
diperhatikan untuk terciptanya suatu transaksi, karena tidak ada maksud pada pengertian
yang sebenarnya, dan pengungkapannya tersebut bukan keinginan atau kehendak orang
yang mengucapkannya.

Namun, para ulama berbeda pendapat tentang ungkapan orang yang mabuk
dengan sebab benda yang diharamkan. Sebagian mereka tidak mempertimbangkannya
(Artinya masih tetap diabaikan, tidak diperhatikan, tidak dipertimbangkan untuk diberi
sanksi), yakni madzhab Hanabilah, pendapat masyhur dari Malikiyah, satu pendapat
golongan Syafi’iyah. Dan sebagian mereka tetap mempertmbangkannya (yakni
ungkapannya dipertimbangkannya untuk berakibat hukum) sebagai hukuman baginya,
yaitu madzhab Hanafiyah dan satu pendapat golongan Syafi’iyah.

Dalam keadaan ketiga dari keempat keadaan di atas, yaitu ungkapan yang main–
main dan orang yang dipaksa, terjadi perbedaan pendapat para ulama, ada yang
menganggapnya harus dipertimbangkan sebagai bersifat mengikat dan berakibat hukum,
dan ada ulama yang berpendapat sebaliknya.

Dalam keadaan ketiga, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama,
yakni mempertimbangkan ungkapannya, serta terwujud sifat mengikat sehingga ada
akibat hukum, karena petunjuk tentang tujuan dan keinginan dalam menciptakan
transaksi sangat sempurna. Dalam keadaan keempat ini, ungkapan orang yang
bertransaksi mesti dipertimbangkan memiliki sifat mengikat dan berakibat hukum,
kecuali ada petunjuk yang mengalihkannya kepada pengertian majazi. Oleh karena itu,
seandainya seseorang berkata kepada orang lain: Saya berikan kitab ini kepadamu dengan
harga 20 ribu rupiah umpamanya, maka hukumnya adalah jual beli bukan hibah23.

10. ‫التروك ال تفتقر إلى النية‬

Artinya: “Meninggalkan sesuatu tidak membutuhkan niat”


23
Ibrahim.
Sebagaimana dalam ibadah yang tidak menyerupai adat tidak disyaratkan niat, segala
sesuatu yang berkaitan dengan meninggalkan sesuatu (‫ )التروك‬juga tidak disyaratkan niat.
Seperti meninggalkan zina, meninggalkan minum-minuman keras, dan semisalnya.
Karena maksud dari syariat adalah melarang perbuatan zina dan mengonsumsi minuman
keras. Dengan tidak melakukan atau meninggalkannya, maka maksud dari Syariah sudah
tercapai. Niat dalam hal ini tidak dibutuhkan dan cukup meninggalkan perbuatan yang
dilarang24.

11. ‫ والكناية ال تلزم ْإل بالنية‬, ‫الصريح ال يحتاج إلى النية‬

Artinya: “Sesuatu yang di katakana dengan jelas – tanpa menimbulkan pemahaman


yang ambigu -, maka hal ini tidak membutuhkan niat. Lain halnya dengan kalimat
metafora yang membutuhkan niat.”

Seperti halnya suami yang mengatakan kepada istrinya : “Kamu saya talak”, kalimat
ini jelas maknanya bahwa suami menginginkan bercerai dengan istrinya, maka jatuhlah
talak tersebut. Berbeda halnya dengan suami yang mengatakan pada istrinya :
“Pulanglah ke keluargamu”, kalimat ini masih menimbulak multi tafsir sehinggan
keputusannya pun terletak pada niat suami tersebut25.

DAFTAR PUSTAKA

Adib Bisri, Moh. Tarjamah Al-Faraidul Bahiyyah. MENARA KUDUS, 1397.

Andiko, Toha. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Cetakan 1. Yogyakarta: Teras, 2011.

Asy-syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat. Jilid 2., n.d.

Berutu, Ali Geno. “Qawa ’ Id Fiqhiyyah Asasiyyah,” no. 13200101010016 (2014): 1–11.
24
Ibrahim.
25
Ibrahim.
Fikriyah, Khusnul. “Al-Umuru Bimaqasidiha: Bagaimana Implementasinya Dalam Muamalah?”
Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation 1, no. 2 (2021): 81–88.

Hamim, M HR, and AM Ahmad Muntaha. Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah Penjelas Nazhm
Al-Fara’id Al-Bahiyah. kediri: santri salaf press, 2013.

Ibrahim, Duski. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Kaidah-Kaidah Fiqih. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah. Cetakan


1. Palembang: Noer Fikri, 2019.

Muhammad Washil, Nashr Farid. Qawaidh Fiqhiyyah. Cetakan 1. Jakarta: AMZAH, 2009.

Ramadhan al-buti, Muhammad said. Dawabit Al-Maslahah Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyyah,.


Beriut: Dar Al-mutahiddah, 1992.

Rohim, Mif. Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum. Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah. Cetakan 1.
Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019.

Wa Amirah, Qulyubi. Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah. Juz 1. Singapura: Maktabah


Wa Mathba’ah Mar’i, n.d.

Anda mungkin juga menyukai