Anda di halaman 1dari 40

Ilmu agama adalah perkara yang agung, yang dengannya seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia

dan
di akhirat. Tanpa ilmu agama, seseorang akan binasa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫متعل ٌم‬ ُ ‫ َّإال ذ‬، ‫إن الدُّنيا ملعونةٌ ملعونٌ ما فيها‬
َّ ‫ِكر‬
ِ ‫ أو‬، ‫ وعا ِل ٌم‬، ُ‫َّللاِ وما وااله‬ َّ ‫أال‬
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu terlaknat. Semua yang ada di dalamnya terlaknat kecuali dzikrullah serta orang yang
berdzikir, orang yang berilmu agama dan orang yang mengajarkan ilmu agama” (HR. At Tirmidzi 2322, dihasankan oleh Al
Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Oleh karena itu, menuntut ilmu agama adalah perkara yang besar dan serius. Tidak boleh sembarangan dan main-main. Termasuk
di dalamnya, perkara memilih orang yang akan diambil ilmunya; yang akan dijadikan guru; juga merupakan perkara serius, tidak
boleh serampangan. Bahkan wajib selektif dalam menuntut ilmu agama, tidak mengambil ilmu dari sembarang orang. Inilah yang
diajarkan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi serta teladan dari para ulama terdahulu.

Dalil-dalil wajibnya selektif dalam menuntut ilmu

Dalil 1
Allah Ta’ala berfirman:
َ‫َّللاَ َجامِ ُع ْال ُمنَافِقِينَ َو ْالكَاف ِِرين‬
َّ ‫ث َغي ِْر ِه ِإنَّ ُك ْم ِإذًا مِ ثْلُ ُه ْم ِإ َّن‬ ُ ‫َّللاِ يُ ْكف َُر ِب َها َويُ ْست َ ْهزَ أ ُ ِب َها فَ ََل ت َ ْقعُدُوا َم َع ُه ْم َحتَّى َي ُخو‬
ٍ ‫ضوا فِي َحدِي‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ع َل ْي ُك ْم فِي ْال ِكت َا‬
َ ‫ب أ َ ْن ِإذَا‬
ِ ‫سمِ ْعت ُ ْم آ َيا‬ َ ‫َوقَ ْد ن ََّز َل‬
َّ
‫فِي َج َهن َم َجمِ يعًا‬
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat
Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” (QS. An Nisa:
140).

Syaikh As Sa’di dalam Taisir Kariimirrahman ketika menjelaskan ayat ini beliau mengatakan:
‫ فإن احتجاجهم‬،‫ وكذلك المبتدعون على اختَلف أنواعهم‬.‫ ويدخل في ذلك مجادلة الكفار وال منافقين إلبطال آيات هللا ونصر كفرهم‬،‫وضد تعظيمها االستهزاء بها واحتقارها‬
‫على باطلهم يتضمن االستهانة بآيات هللا ألنها ال تدل إال على حق‬
“Kebalikan dari pengagungan terhadap Al Qur’an adalah perendahan dan penghinaan terhadap Al Qur’an. Termasuk di dalamnya,
menghadiri majelis debat dengan orang kafir dan munafik yang mereka ingin membatalkan ayat-ayat Allah dan membela
kekufuran mereka. Demikian juga menghadiri majelis ahlul bid’ah dengan berbagai macamnya. Karena penggunaan ayat-ayat Al
Qur’an untuk membela kebid’ahan mereka ini termasuk penghinaan terhadap ayat-ayat Allah, karena mereka tidak
menggunakannya untuk kebenaran”.
Maka ayat ini melarang menghadiri majelis-majelis yang diajarkan kekufuran dan kebid’ahan di sana. Sehingga ketika kita ingin
menghadiri suatu majelis ilmu wajib selektif, jangan sampai majelis yang kita hadiri mengajarkan kekufuran atau kebid’ahan.

Dalil 2
Dari Abu Umayyah al Jumahi radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند األصاغر‬
“Diantara tanda kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu dari al ashoghir” (HR. Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd [2/316], Al
Lalikai dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [695])
Ibnul Mubarak ketika meriwayatkan hadits ini memberi tambahan:
‫ أهل البدع‬: ‫األصاغر‬
“Al Ashoghir adalah ahlul bid’ah”
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan bahwa diantara tanda hari kiamat itu adalah banyaknya orang yang mengambil
ilmu dari ahlul bid’ah. Ini merupakan celaan terhadap perbuatan tersebut. Sehingga menunjukkan bahwa menuntut ilmu itu harus
selektif. Ketika seseorang tidak selektif dalam memilih guru dan ternyata gurunya adalah ahlul bid’ah, maka ia termasuk yang
dicela oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dalil 3
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫الر ُج ُل‬ َّ ‫ضةُ قَا َل‬ ُّ ‫ضةُ قِي َل َو َما‬
َ ‫الر َو ْي ِب‬ ُّ ‫صا ِدقُ َويُؤْ ت َ َمنُ فِي َها ْالخَائِنُ َويُخ ََّونُ فِي َها ْاألَمِ ينُ َويَ ْنطِ قُ فِي َها‬
َ ِ‫الر َو ْيب‬ َّ ‫صدَّقُ فِي َها ْالكَاذِبُ َويُ َكذَّبُ فِي َها ال‬ َ ‫سن ََواتٌ َخدَّا‬
َ ُ‫عاتُ ي‬ َ ‫اس‬ َ ‫سيَأْتِي‬
ِ َّ‫ع َلى الن‬ َ
‫التَّا ِفهُ فِي أ َ ْم ِر ْال َعا َّم ِة‬
“Akan datang suatu masa kepada manusia, tahun-tahun yang penuh dengan tipu daya. Pendusta dianggap benar, orang jujur
dianggap dusta. Pengkhianat dipercaya, orang yang amanah dianggap berkhianat. Ketika itu ruwaibidhah banyak berbicara”. Para
sahabat bertanya: “Siapa ruwaibidhah itu?”. Nabi menjawab: “orang bodoh berbicara mengenai perkara yang terkait urusan
masyarakat luas” (HR. Ibnu Majah no. 3277, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham lebih memperjelas lagi makna dari ar Ruwaibidhah dalam hadits ini:
ِ ‫س بِأ َ ْه ٍل أ َ ْن يَتَكَلَّ َم فِي أ ُ ُم‬
‫ور العَا َّم ِة فَيَتَكَلَّ ُم‬ ِ ‫ِير يَ ْنطِ قُ فِي أ ُ ُم‬
َ ‫ َكأَنَّهُ َل ْي‬، ‫ور العَا َّم ِة‬ ُ ‫الر ُج ُل التَّافَةُ ال َحق‬
َّ ‫ه َُو‬
“Ruwaibidhah adalah seorang yang bodoh dan hina yang bicara mengenai perkara masyarakat umum, seakan-akan dia ahli dalam
bidangnya, kemudian ia lancang berbicara” (Al I’tisham, 2/681).
Termasuk di dalamnya, orang yang tidak pandai ilmu agama namun lancang berbicara masalah agama, masalah halal dan haram,
masalah yang terkait dengan darah kaum Muslimin, seolah-olah seorang ahli agama. Padahal ia tidak paham bahasa Arab, tidak
paham Al Qur’an dan Sunnah, tidak paham kaidah-kaidah ushuliyyah, maka inilah Ruwaibidhah.
Maka wajib bagi kita untuk selektif dalam mengambil ilmu agama, agar tidak mengambil ilmu dari Ruwaibidhah.

Dalil 4
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
ُ ‫ِين خلي ِلهِ؛ فلين‬
‫ظ ْر أ َحدُكم َمن يخا ِل ُل‬ ِ ‫الر ُج ُل على د‬
َّ
“Keadaan agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian lihat siapa teman dekatnya” (HR.
Tirmidzi no.2378, ia berkata: ‘hasan gharib’, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk selektif dalam memilih teman dekat. Karena teman
dekat akan mempengaruhi keadaan agama seseorang. Padahal teman dekat, sebagaimana kita ketahui, tidak selalu berbicara
masalah agama. Terkadang bicara masalah dunia, terkadang bicara masalah agama.
Maka bagaimana lagi dengan guru yang akan diambil ilmu agamanya? Tentu lebih utama lagi untuk selektif dalam memilihnya.
Karena pengaruhnya terhadap keadaan agama seseorang lebih besar daripada sekedar teman baik.

Dalil 5
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ فإيَّا ُكم وإيَّاهُم‬. ‫أناس يحدِثونَكم ما لَم تسمعوا أنتُم وال آباؤُكم‬
ٌ ِ ‫سيَكونُ في‬
‫آخر أ َّمتي‬
“Akan ada di akhir zaman dari umatku, orang-orang yang membawakan hadits yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya, juga
belum pernah didengar oleh ayah-ayah dan kakek moyang kalian. Maka waspadailah… waspadailah” (HR. Muslim dalam
Muqaddimah-nya).
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa akan ada orang-orang yang menyampaikan hadits-hadits
palsu, yang tidak pernah didengar oleh para ulama terdahulu, karena memang hadits-hadits tersebut hanyalah rekaan orang belaka.
Maka wajib bagi kita untuk selektif dalam memilih guru agama, carilah guru yang paham ilmu hadits, mengerti tentang derajat
hadits-hadits, sehingga kita tidak mengambil ilmu dari orang yang suka menyampaikan hadits-hadits palsu.

Dalil 6
Dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu, Nabi Shallalalhu’alaihi Wasallam bersabda:
ٍ ‫َمن َحدَّثَ عني بحدي‬
‫ث وهو يرى أنه كذبٌ فهو أحدُ الكاذبين‬
“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dan ia menyangka hadits tersebut dusta, maka ia salah satu dari dua pendusta” (HR.
Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim, At Tirmidzi no. 2662).
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mencela orang yang menyebarkan hadits yang belum diketahui validitasnya.
Bahkan orang yang demikian disebut pendusta oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Menunjukkan bahwa tidak boleh kita
sembarang menyampaikan hadits yang kita dengar dari para pembicara, penceramah, ustadz atau kiyai, kecuali telah dijelaskan
bahwa hadits tersebut valid dan shahih sebagai sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ini menunjukkan pentingnya selektif
dalam mengambil ilmu agama, agar tidak menjadi orang yang mudah menyebarkan hadits-hadits Nabi yang belum jelas
validitasnya.
Inilah diantara beberapa dalil yang menunjukkan wajibnya selektif dalam mengambil ilmu agama, tidak boleh serampangan. Dan
ini pula yang diperintahkan oleh para ulama terdahulu. Diantaranya Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
‫إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم‬
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).

Kriteria Memilih Guru


Bagaimana kriteria orang yang bisa kita ambil ilmunya? Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan:
َ ‫ َو ِإلَى‬،‫ظ ُروا ِإلَى هديه‬
‫ ثم أخذوا عنه‬,‫ َو صَلته‬،ِ‫س ْمتِه‬ َ ‫الر ُج َل ِليَأ ْ ُخذُوا‬
َ ‫ َن‬،ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫كَانُوا ِإذَا أَت َْوا‬
“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana akidahnya,
bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi
dalam Sunan-nya, no.434).
Dari penjelasan beliau di atas, secara garis besar ada 3 kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih guru atau mengambil ilmu
dari seseorang:
1. Akidahnya benar, sesuai dengan akidah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya
2. Ilmunya mapan, bukan orang jahil atau ruwaibidhah. Diantara cerminannya adalah cara shalatnya benar, sesuai sunnah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
3. Akhlaknya baik.
Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata :
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫س ْول‬ َّ ‫علَى‬
ُ ‫الر‬ َ ُ‫اس َو ِإ ْن كَانَ الَ َي ْكذِب‬
ِ َّ‫ث الن‬ ِ ‫ َو َر ُج ٍل َم ْع ُر ْوفٍ ِب ْال َك ِذ‬, ‫ب ه ََوى َي ْدعُو ِإلَ ْي ِه‬
ِ ‫ب فِ ْي أَحا َ ِد ْي‬ َ ‫ َو‬, ‫سفَ ِه‬
ِ ِ‫صاح‬ َّ ‫س ِف ْي ٍه ُمعل ِِن ال‬ َ ‫الَ يُؤْ َخذُ ْال ِع ِِ ْل ُم‬
َ :ٍ‫ع ْن أ َ ْر َب َعة‬
ُ
, ‫ف َما يُ َحدِث بِ ِه‬ َ َ
ُ ‫صَل ٌح ال يَ ْع ِر‬ َ ‫ض ٌل َو‬ َ َ
ْ ‫َو َر ُج ٍل لهُ ف‬
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa’ (ahlul bid’ah) yang
mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia,
walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Seorang yang mulia dan shalih yang
tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan” (At Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr, 1/66, dinukil dari Min Washayal Ulama, 19).
Maka hendaknya memperhatikan 3 kriteria di atas dan waspadai 4 jenis orang yang disebutkan imam Malik ini.
Dan hendaknya tidak tertipu oleh kepiawaian seseorang dalam berbicara, padahal kosong dari 3 kriteria di atas. Orang yang
piawai bicara, bahasanya fasih dan menyihir, kata-katanya indah, belum tentu orang yang layak diambil ilmunya. Bahkan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان‬
“Yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah setiap orang munafiq yang pintar berbicara” (HR. Ahmad [1/22],
dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [1013]).
Maka kepandaian berbicara bukanlah ukuran. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:
“Wajib bagi anda wahai kaum Muslimin dan para penuntut ilmu agama, untuk bersungguh-sungguh dalam tatsabbut (cek dan
ricek) dan jangan tergesa-gesa dalam menanggapi setiap perkataan yang anda dengar (dalam masalah agama). Dan hendaknya
mencari tahu:
* Siapa yang mengatakannya?
* Dari mana datangnya pemikiran tersebut?
* Apa landasannya?
* Adakah dalilnya dari Al Qur’an dan As Sunnah?
* Orang yang mengatakannya belajar dimana?
* Dari siapa dia mengambil ilmu (siapa gurunya)?
Inilah perkara-perkara yang perlu dicek dan ricek. Terutama di zaman sekarang ini.

Maka tidak semua orang yang berkata-kata dalam masalah agama itu langsung diterima walaupun bahasanya fasih, sangat bagus
ungkapannya dan sangat menggugah.
Jangan tertipu dengannya hingga anda mengetahui kadar kellmuan dan fikihnya” (Ithaful Qari bit Ta’liq ‘ala Syarhis Sunnah, 85).

Pada akhirnya, kita yang akan mempertanggung-jawabkan amalan kita


Siapapun guru kita, kepada siapapun kita mengambil ilmu, yang akan mempertanggung-jawabkan amalan-amalan kita adalah diri
kita sendiri, bukan guru kita. Allah Ta’ala berfirman:
[15 : ‫وال} ]اإلسراء‬ ُ ‫علَ ْي َها ۚ َو َال ت َِز ُر َو ِاز َرة ٌ ِو ْز َر أ ُ ْخ َر ٰى ۗ َو َما ُكنَّا ُم َع ِذبِينَ َحت َّ ٰى نَ ْب َعثَ َر‬
ً ‫س‬ َ ‫{ َّم ِن ا ْهتَدَ ٰى فَإِنَّ َما يَ ْهتَدِي ِلنَ ْف ِس ِه ۖ َو َمن‬
ِ َ‫ض َّل فَإِنَّ َما ي‬
َ ‫ض ُّل‬
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isra: 15).
Maka tugas para guru agama, sekedar menyampaikan dan mengarahkan orang kepada kebenaran. Dan tugas kita sebagai
pembelajar adalah mengikuti kebenaran yang disampaikan, bukan mengikuti orangnya. Tidak boleh taqlid buta kepada para ulama
dan para ustadz. Imam Malik berkata:
‫ وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه‬،‫ فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه‬،‫إنما أنا بشر أخطئ وأصيب‬
“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan
Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27).
Imam Abu Hanifah berkata:
‫ال يحل ألحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه‬
“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)”
(Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24).
Maka penting sekali untuk menyeleksi guru yang mengajarkan ilmu kepada kita agar kita bisa beramal sesuai dengan kebenaran,
sesuai dengan apa yang Allah tunjukkan dalam Al Qur’an dan yang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tuntunkan dalam
sunnahnya.
Derajat Mulia Penuntut Ilmu Agama

Dalam kesempatan kali ini, mari kita renungkan empat ayat dari Al Qur’anul Karim berikut ini:
(1). Dalam surat Al Mujadilah ayat 11. Allah Ta’ala berfirman :
ٌ ِ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخب‬
‫ير‬ ٍ ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا مِ ن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا ْالع ِْل َم دَ َر َجا‬
َّ ‫ت َو‬ َّ ِ‫يَ ْرفَع‬
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (Al Mujadilah : 11).

(2). Dalam surat Al Anfal ayat 2-4. Allah Ta’ala berfirman :


ً ‫صالَة َ َومِ َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم يُن ِفقُونَ أ ُ ْولَـئِكَ ُه ُم ْال ُمؤْ مِ نُونَ َحقها‬
َّ ‫علَى َربهِ ِه ْم يَت ََو َّكلُونَ الَّذِينَ يُقِي ُمونَ ال‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَ ادَتْ ُه ْم ِإي َمانا ً َو‬ ْ ‫ت قُلُوبُ ُه ْم َو ِإذَا ت ُ ِل َي‬
َ ‫ت‬ ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ مِ نُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُك َِر ه‬
ْ ‫ّللاُ َو ِج َل‬
‫لَّ ُه ْم دَ َر َجاتٌ عِندَ َربهِ ِه ْم َو َم ْغف َِرة ٌ َو ِر ْز ٌق ك َِري ٌم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal, yaitu orang-
orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-
orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan
ampunan serta rezeki yang mulia.” (Al Anfal 2-4)

(3). Dalam surat Thaha ayat 75. Allah Ta’ala berfirman :


‫ت فَأ ُ ْولَئِكَ لَ ُه ُم الد ََّر َجاتُ ْال ُعلَى‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫َو َم ْن َيأْتِ ِه ُمؤْ مِ نا ً قَ ْد‬
َّ ‫عمِ َل ال‬
“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh beramal salih, maka mereka itulah
orang-orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia) “ ( Thaha : 75)

(4). Dalam surat An Nisaa’ ayat 95-96. Allah Ta’ala berfirman :


ً ‫غفُورا ً َّرحِ يما‬ ‫ت ِهم ْنهُ َو َم ْغف َِرة ً َو َرحْ َمةً َو َكانَ ه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ً ‫علَى ْالقَا ِعدِينَ أَجْ را‬
ٍ ‫عظِ يما ً دَ َر َجا‬ َ َ‫ّللاُ ْال ُم َجا ِهدِين‬ َّ َ‫َوف‬
‫ض َل ه‬
“… dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) kedudukan
beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan, serta rahmat. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisaa’ : 95-
96).
Dalam empat ayat di atas, tiga di antaranya adalah penyebutan pengangkatan derajat bagi ahli iman, yaitu yang memiliki ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih. Sedangkan ayat yang keempat adalah penyebutan pengangkatan derajat dengan melakukan
jihad. Dengan demikian seluruh pengangkatan derajat seorang hamba yang disebutkan di dalam Al Qur’an kembalinya kepada
masalah ilmu dan jihad, yang dengan dua hal tersebut agama ini akan tegak. ( Miftaah Daaris Sa’adah li Ibnil Qayyim 1/224).
Imam Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa dalam firman Allah (‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا مِ ن ُك ْم‬ َّ ِ‫ ) َي ْرفَع‬mencakup pengangkatan derajat di
dunia dan di akhirat. Sedangkan dalam firman-Nya (‫ت‬ ْ ْ ُ ُ َّ
ٍ ‫ ) َوالذِينَ أوتوا العِل َم دَ َر َجا‬maksudnya Allah mengangkat derajat orang yang
diberi ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di dunia serta pahala di akhirat. Maka barangsiapa
menggabungkan iman dan ilmu niscaya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan imannya dan mengangkat pula
beberapa derajat dengan ilmunya. Dengan demikian semua pengangkatan derajat tersebut terkumpul dalam majelis ilmu. (Fathul
Qadir 767).
***
Dinukil dari Fadhlul ‘Ilmi wa Adabu Thalabatihi wa Thuruqu Tahsiilihi Wa Jam’ihi karya Syaikh Muhammad bin Sa’id bin
Ruslan hafidzahullah.

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (1): Ilmu Fardhu ‘Ain

Dahulu, Disiplin Ilmu Syari’at Hanya Satu Titik1


Syari’at adalah seluruh ajaran yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa aqidah, ‘amaliyyah, ataupun akhlak.
Dulu, disiplin Ilmu syari’at tidaklah banyak jumlahnya, namun setelah banyaknya orang-orang yang tidak berilmu, kemudian para
ulama mencetuskan berbagai cabang disiplin ilmu syari’at untuk memudahkan mereka memahami syari’at Islam ini. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu:
‫العلم نقطة كثرها الجاهلون‬
“Ilmu syari’at dahulu hanyalah satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang yang tidak berilmu.”
Pada dasarnya, disiplin ilmu syari’at yang dipahami para sahabat radhiallahu ‘anhum sedikit pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu pemahaman tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah itu saja. Namun di zaman Ali bin Abi Tholib radhiallahu
‘anhu bertambah banyak cabang-cabang disiplin ilmu yang dicetuskan, dibandingkan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Demikianlah, semakin jauh suatu kaum dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semakin banyak pula ketidaktahuan
(jahl) terhadap ilmu syar’i dan orang-orang yang tidak berilmu (jaahiluun) terhadap ilmu syar’i. Ketika itu, mereka membutuhkan
penjelasan ilmiyyah yang lebih detail dan banyak. Semakin hari, semakin banyak pula dicetuskan cabang-cabang disiplin ilmu
syari’at oleh para ulama agar orang-orang yang tidak berilmu (jaahiluun) bisa memahami agama Islam ini dengan benar.
Oleh karena itulah, ditulis ratusan ribu kitab para ulama rahimahumullah dari berbagai cabang disiplin ilmu syari’at, hal ini
sesungguhnya tidaklah menunjukkan bahwa jumlah disiplin ilmu syari’at itu adalah sebanyak jumlah kitab-kitab para ulama
tersebut. Asal ilmu Syari’at tetaplah Al-Qur`an dan As-Sunnah saja, namun karena tuntutan keadaanlah, ulama menuliskan kitab-
kitab yang di zaman dulu tidak dibutuhkan oleh masyarakat salaf, karena salaf memahami dengan baik ilmu-ilmu yang dituliskan
oleh ulama sekarang.
Sekarang kita membutuhkan sesuatu yang tidak dibutuhkan di zaman dahulu, misalnya syarah (penjelasan) kitab Al-Wasithiyyah,
kitab ini sekarang kita butuhkan. Kelak pada generasi anak-anak kita, bisa jadi mereka membutuhkan syarah dari syarah kitab Al-
Wasithiyyah, dan pada generasi cucu-cucu kita, bisa jadi pula mereka membutuhkan syarah dari syarah dari syarah kitab Al-
Wasithiyyah. Demikian pula dari ilmu-ilmu alat, jika kita sekarang membutuhkan ilmu-ilmu semisal ushul fikih, ushul tafsir,
qawa’id fiqhiyyah, dan yang semacamnya, maka bukan hal mustahil satu abad yang akan datang, muncullah ilmu-ilmu cabang
yang lebih spesifik sebagai perincian dari ilmu-ilmu alat tersebut.

Pembagian Ilmu Syari’at Islam


Ilmu Syari’at ditinjau dari sisi kewajiban mempelajarinya, Terbagi Dua, yaitu: Ilmu Fardhu ‘ain dan Ilmu Fardhu Kifayah

1. Ilmu Fardu ‘Ain


Berikut penuturan para ulama besar rahimahumullah tentang Ilmu fardu ‘ain:
An-Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya Al-Majmu’ syarhul Muhadzzab membagi ilmu syar’i menjadi tiga macam fardhu ‘ain,
fardhu kifayah, dan sunnah. Beliau mengatakan,
‫باب أقسام العلم الشرعي هي ثَلثة‬
‫ وهو تعلم المكلَّف ماال يتأدى الواجب الذي تعين عليه فعله إال به ككيفية الوضوء والصَلة ونحوهما وعليه حمل جماعات الحديث المروي في مسند أبي‬:‫األول فرض العين‬
‫ طلب العلم فريضة على كل مسلم‬: ‫يعلى الموصلي عن أنس عن النبي صلى هللا عليه وسلم‬

“Bab Macam-macam Ilmu Syar’i Ada Tiga. Pertama, fardhu ‘ain, yaitu seorang mukallaf (baligh dan berakal sehat) mempelajari
ilmu yang ia tidak bisa memenuhi kewajibannya kecuali dengan mengetahuinya, seperti tata cara wudhu`, shalat, dan yang selain
keduanya. Sekelompok ulama membawakan kepada makna ini (ilmu fardhu ‘ain) dalam menafsirkan sebuah Hadits yang
diriwayatkan di musnad Abu Ya’la Al-Mushili dari Anas dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim,”2.
Demikian pula Ulama Lajnah Daimah KSA menjelaskan tentang maksud ilmu fardhu ‘ain, yaitu:
‫ وضده‬، ‫ كمعرفة التوحيد‬، ‫ وما ال يسعه جهله‬، ‫ وهو معرفة ما يصحح به اإلنسان عقيدته وعبادته‬، ‫ منه ما هو فرض على كل مسلم ومسلمة‬: ‫العلم الشرعي على قسمين‬
‫ وعلى هذا المعنى فسِر الحديث المشهور‬، ‫ ونحو ذلك‬، ‫ والطهارة من الجنابة‬، ‫ وكيفية الوضوء‬، ‫ ومعرفة أحكام الصَلة‬، ‫ ومعرفة أصول اإليمان وأركان اإلسَلم‬، ‫ الشرك‬:
( ‫) طلب العلم فريضة على كل مسلم‬

Ilmu syar’i terbagi menjadi dua, di antaranya adalah ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu ilmu yang
menyebabkan sahnya aqidah dan ibadah seseorang dan tidak boleh seseorang tidak tahu tentang ilmu tersebut. Contohnya adalah
mengetahui tauhid dan lawannya, yaitu syirik, pokok-pokok keimanan (rukun iman) dan rukun Islam, hukum-hukum shalat, tata
cara wudhu`, bersuci dari junub, dan yang semisalnya. Oleh karena itu, hadits yang terkenal ini (menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim) ditafsirkan dengannya (ilmu fardhu ‘ain)”3.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,


‫ و نحو ذلك‬،‫ صَلته و صيامه‬:‫ الذي ال يسعه جهله‬:‫ قيل له مثل أي شيء؟ قال‬،‫يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه‬
“Menuntut ilmu yang menjadi landasan tegaknya agama adalah wajib”. Beliau ditanya, ‘Contohnya apa?’ Beliau menjawab, “Ilmu
yang harus diketahuinya, seperti tentang sholat dan puasanya, serta yang semisal itu”. 4
Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang menuntut ilmu, beliau menjawab,
‫كله خير و لكن انظر إلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه‬
Semuanya baik, akan tetapi lihatlah kepada ilmu yang engkau butuhkan sehari semalam, maka carilah ilmu tersebut! 5

Pernyataan para ulama besar di atas sebenarnya terdapat tiga pelajaran besar, yaitu:
1. Inti definisi ilmu fardhu ‘ain : Ilmu yang jika tidak diketahui oleh seorang hamba, menyebabkannya tidak bisa
menunaikan kewajibannya, sehingga ia terjatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain, seseorang jika tidak mempelajari
ilmu fardhu ‘ain, akan terjatuh kedalam dua kemungkinan:
1. Tidak bisa melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib dilaksanakan
sehingga berdosa.
2. Melakukan larangan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib ditingalkan (yang haram
dilakukan), sehingga berdosa pula.
2. Isyarat kepada skala prioritas, bahwa ilmu yang kita butuhkan dalam keseharian berupa ilmu tentang iman dan tauhid
(keyakinan yang benar), serta ibadah (amal yang sah), inilah yang harus kita dahulukan dibandingkan dengan selainnya
dari ilmu ushul fikih, qawa’idut tafsir, dan selainnya dari ilmu-ilmu fardhu kifayah.
3. Ulama dari dulu telah menjelaskan tentang adanya jenis ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh As-Suyuthi, Adz-Dzahabi
dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dan juga berdasarkan kaidah:
‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬
“Suatu perkara yang sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengannya,maka hukum perkara tersebut juga
wajib”.
Wallahu a’lam.
***
Referensi :
 Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi (Pdf,Waqfeya.com)
 Website resmi Komite Tetap Pmbahasan Ilmiyyah dan Fatwa KSA :
http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=4335&languagename=
 Transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul : “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil
‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28
 Hushulul Ma`mul bi syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
 At-Ta`shil fi thalabil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad Umar Bazmul
Catatan kaki
1 Transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul : “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”,
dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
2 Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi, hal. 49 (Pdf,Waqfeya.com)
3 http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=4335&languagename=
4 Hushulul Ma`mul bi syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
5 At-Ta`shil fi thalabil’ilmi, Syaikh Muhammad Umar Bazmul, hal. 9

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (2): Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu Kifayah
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Setelah dijelaskan tentang definisi ilmu Fardhu ‘Ain, maka pada bagian kedua ini Anda akan diajak memahami tentang macam-
macam ilmu Fardu ‘Ain , agar Anda bisa mengenal kewajiban Anda dalam mempelajari agama Islam.

Pembagian ilmu Fardu ‘ain


Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan ilmu fadhu ‘ain :
‫ وضابطه أن يتوقف عليه معرفة عبادة يريد فعلها أو معاملة يريد القيام بها‬, ‫ فإنه يجب عليه في هذه الحال أن يعرف كيف يتعبد هللا بهذه العبادة‬, ‫ وكيف يقوم بهذه المعاملة‬,
‫وما عدا ذلك من العلم ففرض كفاية‬
Dan patokannya (ilmu fardhu ‘ain) adalah suatu ilmu yang menjadi syarat bisa terlaksananya (dengan benar) sebuah ibadah
yang hendak dilakukan oleh seorang hamba atau mu’amalah (aktifitas dengan orang lain) yang hendak dikerjakannya, maka
pada keadaan ini wajib ia mengetahui (ilmu tentang )bagaimana beribadah kepada Allah dengan ibadah itu, dan (ilmu tentang
)bagaimana bermu’amalah dengan aktifitas mu’amalah itu. Adapun ilmu-ilmu selain itu, adalah ilmu fardhu kifayah”1
Dari keterangan di atas kita ketahui bahwa ruang lingkup ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim dan muslimah adalah
perkara yang berkaitan dengan ibadah,yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan mu’amalah, yaitu hubungan manusia dengan
manusia yang lain.
Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa diantara bentuk-bentuk ibadah dan mu’amalah, ada yang sebagiannya sama-
sama wajib dilakukan oleh setiap orang , namun ada juga bentuk ibadah dan mu’amalah yang hanya mampu dilakukan oleh
sebagian orang saja tanpa sebagian orang yang lain atau hanya sebagian orang saja yang berkepentingan untuk segera
melakukannya ketika itu, sehingga hanya sebagian orang tersebut saja yang wajib mempelajari hukum-hukumnya, adapun bagi
yang lain, tidaklah wajib mempelajarinya.
Oleh karena itu, dari penjelasan Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu
Fardu ‘ain terbagi menjadi dua:
1. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh seluruh mukallafiin (orang-orang yang baligh dan berakal sehat )
dimanapun mereka berada dan kapanpun juga.
Jenis ilmu Fardu ‘ain inilah yang disebutkan contoh-contohnya oleh Imam Ahmad,An-Nawawi dan Ulama Lajnah Daimah KSA
rahimahumullah, yang sudah dinukilkan fatwanya di artikel bagian ke-1, seperti :
Mengetahui tauhid dan kebalikannya,yaitu syirik, pokok-pokok keimanan (Rukun Iman) dan Rukun Islam, hukum-hukum sholat,
tatacara wudhu`, bersuci dari junub, dan yang semisalnya dan termasuk juga dalam jenis ini, yaitu mengetahui perkara-perkara
yang diharomkan dalam Islam,seperti dalam masalah makanan,minuman,pakaian,kehormatan,darah,harta,ucapan dan perbuatan.
2. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh sebagian mukallafiin saja, yang memiliki kewajiban tertentu yang
khusus baginya.
Sehingga orang lain yang tidak memiliki kewajiban tersebut, tidak harus mempelajari ilmu itu.
Penjelasan :
Jenis ilmu Fardu ‘ain yang satu ini, contoh-contohnya diantaranya adalah :
 Ilmu tentang suatu ibadah tertentu bagi orang yang mampu mengerjakannya.Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-
‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan contoh-contoh ilmu fardhu ‘ain:
‫ من أراد أن يحج أن يتعلم أحكام الحج ألن هذه عبادات متلقاة من الشرع فَلبد أن يعلم كيف شرعها الشارع‬.…… ‫من كان عنده مال أن يتعلم أحكام الزكاة‬
‫ليعبد هللا على بصيرة‬
Orang yang memiliki harta wajib mempelajari hukum-hukum zakat…….. demikian pula orang yang hendak menunaikan
ibadah haji, wajib baginya mempelajari hukum-hukum haji, karena ibadah itu sumbernya adalah Syari’at, maka wajib
mempelajari tata cara ibadah yang disyari’atkan oleh Allah, agar seseorang bisa beribadah kepada-Nya berdasarkan
ilmu 2
 Ilmu tentang pekerjaan, profesi atau tugas, agar bisa menunaikan kewajiban pekerjaannya dan agar terhindar dari
melakukan keharoman dalam pekerjaannya. Berkata Ibnu Hazm rahimahullah :
‫ وليس تعلم ذلك‬،‫ ثم فرض على األمراء والقضاة تعلم األحكام واألقضية والحدود‬.‫ثم فرض على قواد العساكر معرفة السِير وأحكام الجهاد وقَسْم الغنائم والفيء‬
‫فرضا على غيرهم‬
.Selanjutnya, diwajibkan bagi para komandan pasukan untuk mengetahui ilmu tentang strategi mobilitas pasukan,
hukum-hukum jihad, pembagian rampasan perang dan fai`.
Diwajibkan pula bagi para pejabat pemerintahan dan hakim untuk mempelajari hukum-hukum fikih peradilan dan
hukuman hudud, akan tetapi mempelajari hal itu tidak wajib bagi selain mereka. 3
 Ilmu tentang mu’malah (aktivitas) yang hendak dilakukannya, agar bisa menghindari larangan yang haram dilakukan dan
bisa menunaikan kewajibannya terhadap pihak lain. Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-Munajjid rahimahullah
memberi contoh ilmu-ilmu yang termasuk fardhu ‘ain :
‫ وكذا أحكام النكاح والطَلق واألطعمة واألشربة وغيرها من المعامَلت لمن أراد اإلقدام على‬، ‫ومن ذلك تعلم أحكام البيع والشراء لمن أراد أن يتعامل بذلك‬
‫شيء منها‬
Dan yang termasuk ilmu fardhu ‘ain adalah mempelajari hukum-hukum jualbeli bagi orang yang hendak melakukan
aktifitas jualbeli, demikian pula hukum-hukum nikah, thalaq, makanan, minuman dan mu’amalah selainnya, bagi orang
yang hendak melakukan salahsatu bentuk mu’amalah tersebut 4

 Ilmu tentang hukum suatu kejadian kontemporer bagi yang mengalaminya. Berkata An-Nawawi rahimahullah:
‫ وقد رحل خَلئق‬،‫ويجب عليه االستفتاء إذا نزلت به حادثة يجب عليه علم حكمها فإن لم يجد ببلده من يستفتيه وجب عليه الرحيل إلى من يفتيه وإن بَعُدت داره‬
‫من السلف في المسألة الواحدة الليالي واأليام‬
“Wajib baginya (seseorang yg tidak tahu hukum suatu kejadian-pent) untuk meminta fatwa, jika mengalami kejadian
kontemporer yang harus diketahui hukumnya. Jika di negrinya tidak didapatkan orang yang mampu berfatwa, maka
wajib baginya pergi kepada orang yang mampu berfatwa walaupun jauh dari rumahnya. (Di dalam sejarah) beberapa
orang Salaf dahulu pergi mencari ilmu tentang satu masalah sampai selama berhari-hari”5.

2. Ilmu Fardhu Kifayah


Yaitu sebuah ilmu yang jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang mempelajarinya dengan mencukupi,maka gugurlah
kewajiban tersebut atas seluruh kaum muslimin yang lainnya, namun disunnahkan bagi kaum muslimin yang lainnya tersebut
untuk mempelajarinya.
Berikut nukilan perkataan An-Nawawi rahimahullah :
‫ والنحو‬، ‫ والفقه‬، ‫ واألصول‬، ‫ وعلومهما‬، ‫ واألحاديث‬، ‫ كحفظ القرآن‬، ‫ وهو تحصيل ما ال بد للن اس منه في إقامة دينهم من العلوم الشرعية‬، ‫) القسم الثاني ( فرض الكفاية‬
، ‫ والحساب ففرض كفاية أيضا‬، ‫ ويحتاج إليه في قوام أمر الدنيا كالطب‬، ‫ وأما ما ليس علما شرعيا‬، ‫ والخَلف‬، ‫ واإلجماع‬، ‫ ومعرفة رواة الحديث‬، ‫ والتصريف‬، ‫واللغة‬
“Jenis Ilmu yang kedua adalah ilmu Fardu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan manusia demi tegaknya agama mereka yang
sifatnya harus ada, yaitu berupa ilmu-ilmu Syari’at, seperti : menghafal Alquran, Hadits dan ilmu Hadits, ilmu Ushul, Fikih,
Nahwu, Bahasa Arab, Shorof, ilmu perowi Hadits, Ijma’ dan perselisihan Ulama.
Adapun ilmu yang bukan ilmu Syari’at, namun dibutuhkan untuk tegaknya urusan dunia, seperti kedokteran dan matematika,
maka ini termasuk ilmu Fardhu Kifayah juga“6.
Dengan demikian ilmu Fardhu Kifayahpun terbagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan ilmu-ilmu Syar’i dan yang terkait
dengan ilmu-ilmu dunia.
Wallahu a’lam.
***
Referensi :
1. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi (Pdf,Waqfeya.com).
2. Islamqa.info/ar/47273
3. http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_98.shtml
4. Al-Ihkam, Ibnu Hazm. (Pdf, Waqfeya.com)
Catatan kaki:
1. Kitabul Ilmi, Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin hal. 23
2. http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_98.shtml
3 Al-Ihkam 5/122, Ibnu Hazm. (Pdf, Waqfeya.com)
4. Islamqa.info/ar/47273
5 Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi,hal.91 (Pdf,Waqfeya.com)
6. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi,hal. 51 (Pdf, Waqfeya.com)

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (3): Ilmu Tujuan Dan Ilmu Sarana

Pada artikel bagian pertama dan kedua, sudah dijelaskan tentang ilmu syari’at jika ditinjau dari sisi kewajiban mempelajarinya,
yaitu ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Pada bagian kedua ini, dijelaskan tentang pembagian ilmu syari’at jika ditinjau dari
sisi kedudukannya, terbagi menjadi dua, yaitu ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu
sarana). Diharapkan dengan memahaminya, seorang muslim tidak terjebak pada mendahulukan ilmu yang selayaknya di akhirkan
dalam mencari keridhoan Allah sebagai tujuan hidup manusia.
Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Kedudukannya Terbagi Menjadi Dua, Yaitu Ilmu Maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan Ilmu
Maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)
1. Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan)
Sebuah ilmu yang kedudukannya sebagai tujuan, jadi ilmu tersebut itulah yang menjadi tujuan untuk dipelajari. Nama lain dari
ilmu ini adalah ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu pokok). Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir) dan As-
Sunnah (ilmu Hadits). Di dalam keduanya terdapat disiplin ilmu Tauhid (Aqidah) dan ilmu tentang halal dan haram (Fikih).
Ilmu tujuan ini kembalinya kepada dua disiplin ilmu yang pokok ini, yaitu Tauhid (Aqidah) dan Fikih. Kedua disiplin ilmu pokok
ini memang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan seorang muslim, dengan beberapa
hujjah (alasan ilmiyyah) berikut ini:
1. Kewajiban (Taklif) beriman dan beramal
Setiap hamba Allah mukallaf (baligh dan berakal sehat) dikenai kewajiban beriman dan beramal shalih. Kelak ia akan berjumpa
dengan Allah membawa iman yang benar dan amal yang diterima oleh-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
‫صا ِل ًحا َو ََل يُ ْش ِر ْك ِب ِع َبا َد ِة َر ِبه ِه أ َ َحدًا‬ َ ‫فَ َم ْن َكانَ َي ْر ُجو ِلقَا َء َر ِبه ِه فَ ْل َي ْع َم ْل‬
َ ‫ع َم ًال‬
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(Al-Kahfi:110).
Oleh karena itulah, seorang muslim dituntut untuk mempelajari ilmu tentang keimanan (Tauhid) dan ilmu tentang tatacara
beramal/beribadah (Fikih).
2. Kandungan Agama Islam ini adalah kabar dari Allah (keyakinan/Aqidah), perintah Allah dan larangan-Nya (Fikih).
Allah Ta’ala menjadikan agama-Nya terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Kabar dari-Nya, seperti berita tentang nama, sifat dan perbuatan-Nya, Surga-Nya, para Nabi dan Rasul-Nya. Meyakini dan
membenarkan berita-berita dari Allah ini berarti masuk dalam wilayah keyakinan, keimanan, Aqidah atau Tauhid.
b. Perintah Allah dan larangan-Nya, yaitu masalah halal dan haram, tata cara ibadah dan perincian hukum amalan seorang
hamba. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu termasuk dalam wilayah Fikih. Dua kandungan Agama
Islam ini ditunjukkan oleh firman Allah:
ً‫ع ْدَل‬ َ ‫صدْقا ً َو‬ ِ َ‫ت َك ِل َمةُ َربهِك‬ْ ‫َوت َ َّم‬
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An’aam: 115)
Makna dari:
{‫}صدْقا‬ِ adalah benar dalam urusan kabar-Nya, sedangkan makna
{‫عدْل‬َ } adalah adil dalam urusan perintah dan larangan-Nya.
3. Syarat diterimanya ibadah adalah Ikhlas dan Mutaba’ah
Prinsip hidup seorang muslim adalah ia diciptakan dan hidup untuk diuji, siapa di antara hamba-hamba Allah yang terbaik
amalnya, yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan Sunnah, Allah berfirman:
ُ ُ‫يز ْالغَف‬
‫ور‬ ُ ‫ع َم ًال ۚ َوه َُو ْالعَ ِز‬ َ ْ‫الَّذِي َخلَقَ ْال َم ْوتَ َو ْال َحيَاة َ ِليَ ْبلُ َو ُك ْم أَيُّ ُك ْم أَح‬
َ ُ‫سن‬
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Al-Mulk: 2)

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna


‫ هو أخلصه وأصوبه‬,}‫ع َم ًال‬َ ُ‫سن‬َ ْ‫{أَح‬
Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Nah, jika kita bicara tentang ikhlas, berarti masuk kedalam materi Tauhid, dan jika kita bicara tentang Mutaba’ah dalam beramal
dan beribadah, berarti masuk kedalam materi Fikih.
Kesimpulannya:
Tauhid dan Fikih adalah dua ilmu pokok yang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan
seorang muslim.
2. Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)
Yaitu suatu ilmu yang kedudukannya sebagai sarana untuk mengetahui “ilmu tujuan” yang telah disebutkan di atas. Ilmu ini
disebut sebagai ilmu wasilah/ sarana karena memang sifatnya maqsudun li ghairihi, artinya ilmu ini dipelajari untuk tujuan lain,
yaitu mengetahui “ilmu tujuan”.
Nama ilmu ini adalah As-shinaaiyyah, ilmu sarana atau ilmu alat (sebagai alat untuk memahami “ilmu tujuan”).
Oleh karena itu, yang tergolong kedalam ilmu ini adalah seluruh ilmu-ilmu alat, seperti Ushul Fikih, Ushul Tafsir, Mushtholahul
Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya. Ini semua adalah ilmu
wasilah, sebagai sarana saja untuk sampai kepada ilmu tujuan. Maka barangsiapa yang menjadikan dan mensikapi “ilmu wasilah”
ini sebagai “ilmu tujuan”, maka tidaklah dikatakan sebagai orang yang faqih (menguasai)Al-Qur`an dan As-Sunnah, ia sebatas
dikatakan orang yang menunaikan fardhu kifayah dengan menekuni “ilmu wasilah” untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
‫خيركم من تعلم القرآن وعلمه‬
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”.(HR. Imam Al-Bukhori).
Beliau menjelaskan maknanya :
, ‫ وتعلم معانيه وتعليمها‬, ‫وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها‬
Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:
1. mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya, dan
2. mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya,
, ‫ واللفظ وسيلة إليه‬, ‫ فإن المعنى هو المقصود‬, ‫وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه‬
Nomor dua inilah yang merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia, karena makna Al-
Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an sarana untuk mencapai maknanya.
‫فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها‬
Maka mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya, hakikatnya adalah mempelajari tujuan dan
mengajarkan tujuan.
‫وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه تعلم الوسائل وتعليمها‬
sedangkan mempelajari lafadz semata dan mengajarkannya, hakikatnya adalah mempelajari sarana dan mengajarkan sarana
“ ‫وبينهما كما بين الغايات والوسائل‬
1
Dan (perbandingan) di antara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.
Tiga cara menuntut ilmu Syari’at
Secara garis besar menuntut ilmu Syar’i terbagi menjadi tiga cara:
1. Talaqqi, mengambil ilmu langsung dari Para Ulama dan murid-murid mereka, para Ustadz rahimahumullah. Duduk di
hadapan mereka dan menghadiri majelis mereka.
2. Membaca kitab Ulama, artikel murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz, mendengarkan ceramah mereka dan yang
semisalnya, dengan berbagai macam sarana yang ada di zaman ini.
3. Meminta fatwa kepada para Ulama atau bertanya kepada murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz.

Renungan
Tujuan hidup seorang muslim dan muslimah selain untuk mengenal Allah Ta’ala adalah untuk beribadah kepada-Nya saja, Allah
Ta’ala berfirman:
ِ ‫س ِإ ََّل ِل َي ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzaariyaat:56).
Sedangkan definisi ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
‫اسم جامع لكل ما يحبه هللا و يرضاه من األقوال و األعمال الباطنة و الظاهرة‬
Sebuah nama yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhoi oleh Allah,baik berupa ucapan maupun perbuatan,yang batin
(hati) maupun yang zhahir.2
Berarti, menuntut Ilmu Syar’i merupakan ibadah yang agung, karena dicintai oleh Allah. Tentulah yang namanya ibadah,
tujuannya adalah keridhoan Allah dan kecintaan-Nya. Ketika Anda dihadapkan kepada beberapa pilihan ilmu dan Anda harus
memilih salah satunya, maka ketahuilah bahwa Allah lebih mencintai dan lebih meridhoi Anda mendahulukan ilmu yang fardhu
daripada yang sunnah, dan ilmu tujuan daripada ilmu wasilah/sarana, serta ilmu fardhu ‘ain daripada ilmu fardhu kifayah.
Ilmu itu banyak, umur kita singkat, maka Anda harus memiliki skala prioritas, dahulukan mempelajari ilmu yang paling penting
kemudian ilmu yang penting. Jangan sampai Anda meninggal, sedangkan Anda meyakini keyakinan yang salah atau melakukan
ibadah wajib yang salah. Ingat seorang muslim menghadap Allah di hari Akhir dengan membawa iman yang benar dan ibadah
yang diterima oleh-Nya, camkanlah!
Wallahu a’lam.
***
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul: “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil
‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 , dengan beberapa tambahan referensi:
1. Miftah Daris Sa’adah,Ibnul Qoyyim rahimahullah.
2. Barnamij ‘amali lilmutfaqqihin, Dr. Abdil ‘Aziz Al-Qori`
3. Kitab Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Catatan kaki
1 Miftah Daris Sa’adah: 1/280,Ibnul Qoyyim rahimahullah.
2 Kitab Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 4

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (4): Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang

Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Materi Inti atau Tidaknya terbagi menjadi dua, yaitu Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang
Asy-Syathibi rahimahullah, di dalam kitabnya Al-Muwafaqat berkata,
‫ ومنه ما ليس من صلبه وَل ملحه‬،‫ ومنه ما هو ملح العلم َل من صلبه‬، ‫من العلم ما هو من صلب العلم‬
“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang int, dan ada juga yang penunjang, yang tidak termasuk inti ilmu. Di samping itu, juga ada
yang tidak termasuk ilmu inti dan tidak pula ilmu penunjang.” 1
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,
‫ والعقد تعقد القلب مع العلم والملح َلبد منها للمسير‬،))‫عقَدٌ وملَح‬ ‫من المعلوم ه‬
ُ ‫ ((العلم قسمان‬:‫أن العلم قسمان كما يقول طائفة من أهل العلم منهم الشاطبي في أول الموافقات‬
‫في طلب العلم‬
“Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa disiplin ilmu Syar’i terbagi menjadi dua, sebagaimana disebutkan oleh
sekelompok Ulama diantaranya adalah Asy-Syathibi di awal kitab Al-Muwafaqat, bahwa ilmu Syar’i ada dua macam, ‘Uqod (inti)
dan Mulah (penunjang). ‘Uqod (ilmu inti) sifatnya adalah ilmu yang mengikat hati dengan kuat, sedangkan Mulah (ilmu
penunjang) sifatnya adalah ilmu yang harus ada untuk keistiqomahan perjalanan menuntut ilmu Syar’i.”2
Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu Syari’at ditinjau dari sisi, materi inti atau tidaknya, terbagi menjadi
dua, yaitu:
1. Ilmu Inti (Shulbul ‘Ilmi)
Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan ‘Uqodul ‘Ilmi (Simpul Ilmu) karena sifatnya sebagai simpul pengikat hati, sehingga
ilmu itu benar-benar terikat kuat dan erat dalam hati.
Ada pula yang menyebut ilmu ini dengan sebutan Shulbul ‘Ilmi (Inti Ilmu) karena sifatnya sebagai inti utama ilmu Syari’at,
dijadikan pegangan oleh seorang hamba dalam memahami dan mengamalkan agama Islam.

Ilmu Ini Terbagi Menjadi Dua, yaitu:


1. Ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu Pokok/Tujuan) atau Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan), yang dimaksud dengan ilmu ini
adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir), As-Sunnah (ilmu Hadits), Tauhid dan Fiqh.
2. Ilmu Ash-Shinaiyyah (Ilmu Alat) atau Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana), seperti : Ushul Fikih,Ushul
Tafsir,Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang
semisalnya (Penjelasan lebih lanjut baca Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (3))
Sifat Ilmu Inti
Ulama menjelaskan bahwa sifat ilmu Inti ini adalah sebagai ilmu yang pokok, menjadi pegangan, pusat perhatian dalam aktifitas
menuntut ilmu dan puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya, sebagaimana perkataan Asy-Syathibi rahimahullah setelah
menyampaikan ketiga macam ilmu di atas:
‫ وإليه تنتهي مقاصد الراسخين‬، ‫ والذي عليه مدار الطلب‬، ‫ هو األصل والمعتمد‬: ‫ القسم األول‬: ‫فهذه ثالثة أقسام‬
“Maka ilmu ini ada tiga macam, yang pertama (Ilmu Inti) adalah ilmu pokok dan
menjadi pegangan, serta ilmu yang menjadi pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu, kepadanyalah puncak arah tujuan
Ulama yang kokoh ilmunya.” 3
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,
‫عقَد يصار إليها ومنه ملح مساندة‬
ُ ‫العلم منه‬
“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang jenis ilmu inti, sebagai puncak arah tujuan (dalam menuntut ilmu Syar’i) dan ada juga
yang merupakan ilmu penunjang, sebagai penunjang/penguat ilmu Inti.” 4
2. Ilmu Penunjang (Mulahul ‘Ilmi)
Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan Mulahul ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang berkedudukan sebagai penunjang dan penguat
ilmu Inti, sebagai pelengkap bagi ilmu Inti serta sebagai sarana untuk bisa istiqamah dalam menuntut ilmu Inti. Di antara ilmu
penunjang ini adalah lmu tentang sya’ir, perumpaman-perumpamaan yang baik, kisah-kisah Ulama, biografi Ulama, kisah tentang
perdebatan Ulama dan ilmu Sejarah Islam.
Sifat Ilmu Penunjang ini adalah:
 Ilmu Penunjang ini menyempurnakan pemahaman seseorang terhadap ilmu Inti.
 Ilmu Penunjang ini memang bermanfa’at, akan tetapi barangsiapa yang tidak mempelajarinya tidaklah mengapa, karena
ketidaktahuannya tidak membahayakan ilmunya.
 Jika seseorang ingin mempelajari ilmu Penunjang ini dengan sekedarnya, tidak harus mempelajarinya dari seorang
Ulama yang ahli dalam ilmu tersebut, cukup ia membacanya sendiri dengan seksama, karena bukanlah ilmu tujuan,
kecuali jika ingin menjadi pakar dalam ilmu-ilmu Penunjang ini, misalnya ingin menjadi penya’ir atau sejarawan.
 Memperluas wawasan dengan mengetahui ilmu Penunjang ini, berfungsi juga sebagai penyemangat dan penggembira
dalam mempelajari ilmu Inti yang berat, karena jika seorang penuntut ilmu Syar’i hanya mempelajari ilmu Inti saja,
maka dikhawatirkan ia merasa berat, monoton dan bosan, lalu menjadi lemah semangat dan akhirnya berhenti dari
menuntut ilmu Syar’i ini.
Membaca kitab-kitab tentang ilmu Penunjang ini, perlu dilakukan sebagai selingan, misalnya membaca kitab tentang
biografi Ulama, bagaimana ketekunan dan kiat-kiat mereka dalam menuntut ilmu Syar’i, atau bagaimana kemiskinan
mereka, namun berhasil menjadi Ulama. Hal ini memompa semangatnya untuk bisa istiqomah dalam menuntut ilmu
Syar’i.
 Seorang penuntut ilmu Syar’i bebas memilih membaca kitab-kitab dalam ilmu Penunjang ini, baik itu kitab-kitab jenis
mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (menengah) maupun muthowwalat (panjang), asal mampu memahaminya,
karena sifatnya sebatas penunjang dan untuk memperluas wawasan. Hal ini beda dengan belajar Ilmu Inti yang sifatnya
Ta`shili (pendasaran yang kokoh) .
(Keterangan lebih lanjut baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3))

Imbangi Ilmu Inti dengan Ilmu Penunjang


Maksud mengimbangi di sini, bukan berarti harus memberikan perhatian yang sama persis antara belajar ilmu Inti dengan ilmu
Penunjang! Tidaklah demikian, namun maksudnya, berikanlah kepada tiap-tiap ilmu sesuai dengan haknya masing-masing!
Berikanlah kepada ilmu Inti sesuai dengan porsinya, demikian pula berikanlah kepada ilmu Penunjang sesuai dengan porsinya
pula. Tentu hak ilmu Inti jauh lebih besar daripada ilmu Penunjang.
Mengimbangi ilmu Inti dengan ilmu Penunjang itu perkara yang penting, karena seorang penuntut ilmu Syar’i biasanya
mengalami saat-saat semangat kuat, tengah-tengah, dan menurun.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
َ‫غي ِْر ذَلِكَ فَقَ ْد َهلَك‬ ْ ‫ َو َم ْن َكان‬،‫س َّنتـِي فَقَ ْد أَ ْفلَ َح‬
َ ‫َت فَتْ َرتُهُ ِإلَى‬ ُ ‫َت فَتْ َرتُهُ ِإلَى‬
ْ ‫ فَ َم ْن كَان‬،ٌ‫ع َم ٍل ش َِّرة ً َو ِل ُك ِهل ش َِّرةٍ فَتْ َرة‬
َ ‫ِإ َّن ِل ُك ِهل‬
“Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat, ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya terarah
kepada sunnahku berarti dia telah beruntung, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian
maka dia telah binasa” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib).
Jadi, jika Anda dapatkan diri Anda sedang semangat-semangatnya belajar, maka hadirilah majelis Ilmu Inti dengan sungguh-
sungguh, pahami pelajaran dengan baik, catatlah dan hafalkanlah! Perbanyak membaca kitab-kitab Ulama dan melakukan
pembahasan ilmiyyah!
Namun, jika Anda dapatkan diri Anda lemah dan turun semangat atau jiwa Anda sedang membutuhkan selingan, maka janganlah
Anda keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu atau amal! Silahkan Anda keluar sementara dari ilmu Inti menuju kepada ilmu
Penunjang, niscaya akan bermanfaat bagi Anda!
Adapun seorang penuntut ilmu ketika merasakan turun semangat belajarnya, kemudian keluar dari ilmu kepada permainan atau
jalan-jalan, obrolan, dan nongkrong seperti orang awam yang melalaikan, maka hal ini tidaklah selayaknya dilakukan.
Ulama dan Ilmu Penunjang
Janganlah Anda merasa asing ketika seorang Ulama besar terkadang memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela
waktu sibuknya, sesekali saja! Bukan berarti mereka punya waktu nganggur yang kosong dari kesibukan untuk berleha-leha,
bermain-main pelesiran kesana kemari yang melalaikan mereka dari ilmu Syar’i. Tidaklah demikian!
Namun, mereka memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya dalam rangka menjaga
kesimbangan dalam perjalanan ilmiyyahnya, agar tidak keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu! Dan agar tidak terputus perjalanan
ilmiyyahnya di tengah jalan!
Berikut dua contoh nyata tersebut:
1. Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah, dahulu pernah suatu saat ketika beliau selesai
menyampaikan pelajaran Hadits, berkata kepada murid-muridnya, “Sampaikan ilmu-ilmu “Mulah” kalian! Datangkan
sya’ir-sya’ir kalian! Riwayatkan berita-berita kalian!”, akhirnya merekapun ada yang mengkisahkan kisah ini dan itu,
meriwayatkan kabar ini dan itu, dan seterusnya, hingga mereka pun gembira dan semangat.
2. Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah juga demikian, di samping beliau memiliki tulisan-tulisan dalam disiplin ilmu Inti,
beliau juga memiliki tulisan-tulisan dalam masalah ilmu Penunjang.

Beliau banyak memiliki tulisan dalam ilmu Inti, seperti kitab At-Tamhiid, tentang syarah Hadits, kitab Al-Istidzkar, tentang syarah
Hadits pula, kitab Al-Kaafii tentang fikih madzhab Malikiyyah. Namun beliau juga menulis kitab-kitab “Mulah ”, seperti Bahjatul
Majalis, tentang sya’ir dan kabar.
Peringatan: Jangan Anda Jadikan Ilmu Penunjang Sebagai Ilmu Inti!
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,
ْ ‫ فإنهه لن يدرك بل سيكون عنده أخبار كثيرة ومعلومات أو ثقافة لكن َل يستطيع‬،‫فمن رام ال ُملح وترك عقد العلم‬
‫ أو في مسألة فقهية‬،‫أن يتكلم بوضوحٍ في مسألة عقدية‬
“Maka barangsiapa mencari (dan memberi perhatian besar kepada) ilmu Penunjang dan meninggalkan ilmu Inti, maka ia
tidakakan menguasai (ilmu Syari’at dengan baik), yang ada hanyalah ia memiliki kabar dan info-info atau wawasan (keislaman)
semata, akan tetapi tidak mampu (secara ilmiyyah) berbicara dengan jelas (sistematis) dalam masalah Aqidah atau Fikih (Ilmu
Inti).” 5
Wallahu a’lam.
***
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil
‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 dan Al-Farqu bainal ‘Uqod wal Mulah, http://saleh.af.org.sa/node/45.
Catatan kaki
1 . Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15
2 . http://saleh.af.org.sa/node/45
3 . Kitab Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi di : library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=99&ID=15
4 . http://saleh.af.org.sa/node/28
5 . http://saleh.af.org.sa/node/28

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam
bersabda: ‫علَى ُك ِل ُم ْسل ٍِم‬ َ ‫طلَبُ ْالع ِْل ِم فَ ِري‬
َ ٌ‫ضة‬ َ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan
oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya
di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu
dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.


Alloh Ta’ala berfirman: َ‫ع َلى هللاِ َما ال‬ َ ‫س ْل‬
َ ‫طا ًنا َوأ َ ْن تَقُولُوا‬ ِ ‫ى ِبغَي ِْر ْال َح‬
ُ ‫ق َوأَن ت ُ ْش ِر ُكوا ِباهللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه‬ َ ‫طنَ َواْ ِإلثْ َم َو ْالبَ ْغ‬
َ ‫ظ َه َر مِ ْن َها َو َما َب‬ َ ِ‫ي ْالف ََواح‬
َ ‫ش َما‬ َ ‫قُ ْل ِإنَّ َما َح َّر َم َر ِب‬
‫م‬ َ
َ‫ْ ُ ون‬ ‫ل‬‫ع‬َ ‫ت‬

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui
(berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar
yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut
Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya.
Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang
syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal:
34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
َ ‫علَى هللاِ ْال َكذ‬
Allah Ta’ala berfirman: َ‫ِب الَ يُ ْف ِلحُون‬ َ ‫علَى هللاِ ْال َكذ‬
َ َ‫ِب ِإ َّن الَّذِينَ يَ ْفت َُرون‬ َ ‫ف أ َ ْل ِسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ‬
َ ‫ِب َهذَا َحَلَ ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم ِلت َ ْفت َُروا‬ ِ ‫َوالَ تَقُولُوا ِل َما ت‬
ُ ‫َص‬

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

‫ضلُّوا‬ َ ‫س ِئلُوا فَأ َ ْفت َْوا ِبغَي ِْر ع ِْل ٍم َف‬


َ َ‫ضلُّوا َوأ‬ ُ َ‫اس ُر ُءو ًسا ُج َّهاالً ف‬
ُ َّ‫عا ِل ًما ات َّ َخذَ الن‬ ِ ‫ْض ْالعُلَ َماءِ َحتَّى ِإذَا لَ ْم ُي ْب‬
َ ‫ق‬ ِ ‫ض ْالع ِْل َم ِب َقب‬
ُ ‫عهُ مِ نَ ْال ِع َبا ِد َولَك ِْن َي ْق ِب‬
ُ ‫ض ْالع ِْل َم ا ْنتِزَ اعًا َي ْنت َِز‬
ُ ‫َّللاَ َال َي ْق ِب‬
َّ ‫ِإ َّن‬

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan
mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-
pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat
dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa
ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga
dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh
Abul Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.


Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah
َ َ‫َو َم ْن أ‬
mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman: ِ‫ض ُّل مِ َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ بِغَي ِْر ُهدًى ِمنَ هللا‬

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman: ُِ‫علِي ُم‬
َ ‫سمِ ي ٌع‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا الَ تُقَ ِد ُموا بَيْنَ يَدَي ِ هللاِ َو َر‬
َ َ‫سو ِل ِه َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga
pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman,
dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-
laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka.
Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah
mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia
menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:

ُ ُ‫علَ ْي ِه مِ نَ اْ ِإلثْ ِم مِ ثْ ُل آثَ ِام َم ْن تَبِعَهُ الَ َي ْنق‬


‫ص ذَلِكَ مِ ْن‬ َ َ‫ضَلَلَ ٍة َكان‬
َ ‫عا إِلَى‬
َ َ‫ش ْيئًا َو َم ْن د‬ ِ ‫ص ذَلِكَ مِ ْن أ ُ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬ ِ ‫عا إِلَى ُهدًى َكانَ لَهُ مِ نَ اْألَجْ ِر مِ ثْ ُل أ ُ ُج‬
ُ ُ‫ور َم ْن تَبِعَهُ الَ يَ ْنق‬ َ َ‫َم ْن د‬
َ ‫آثَامِ ِه ْم‬
‫ش ْيئًا‬
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya,
hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa
sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari
Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.


َ َ‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أ ُ ْوالَئِكَ َكان‬
Allah Ta’ala berfirman: ً‫ع ْنهُ َم ْسئُوال‬ َ َ‫ْس لَكَ بِ ِه ع ِْل ٌم إِ َّن الس َّْم َع َو ْالب‬ ُ ‫َوالَ ت َ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang
mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang
merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan
haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat
Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini: َ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآ أَنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْوالَئِكَ ُه ُم ْالكَاف ُِرون‬

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS.
5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata:
“Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii
Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
َ ‫إِنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُكم بِالسُّوءِ َو ْالفَحْ شَآءِ َوأَن تَقُولُوا‬
Allah berfirman: َ‫علَى هللاِ َما الَ ت َ ْعلَ ُمون‬

Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (QS. 2:169)

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu.
Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.

Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu
agama” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan
yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [At
Taubah: 33]. Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah
Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah Ta’ala berfirman yang
artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114]. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat
ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi
Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para
ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).

Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:

Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada
syuhada, dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.

Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh
Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.
Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang Nashrani
dan para pengikut mereka.

Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat Al Fatihah yang senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”Ya
Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan
jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [Al Fatihah: 6 – 7].

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘bukan jalannya orang yang Engkau murkai
dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’, yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak
mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama,
adalah sifat Yahudi. Dan yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat tafsir ayat ini mereka mengira
bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk membaca doa
tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang bersifat demikian. Subhanallah! Bagaimana mungkin Allah mengabarkan
sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau
memberi gambaran keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk terhadap Allah. (Karena
mengira bahwa firman Allah tersebut tidak ada faedahnya -pent.)”. (Lihat Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)

Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca surat Al Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat
wajib maupun shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia dari doa tersebut adalah harapan agar Allah
Ta’ala memberikan kita petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, yang merupakan jalan
keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang binasa, yaitu
orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau berlebihan dalam ilmu saja.

Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat itu di ambil dari Al Qur’an dan hadits, dengan
bantuan para pengajar, juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir Al Qur’an dan kitab syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab
nahwu, dan kitab bahasa arab yang merupakan bahasa Al Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk memahami Al Qur’an
dan Sunnah.

Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan
agamamu. Seperti mempelajari tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah yang engkau butuhkan.
Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Agar
penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Semua ini adalah hal-hal yang
mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu. Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan bersih
niatmu.

Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada
mereka tentang hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum agamamu. Hal ini bisa dilakukan
dengan menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan program-program Islami
dari siaran radio, atau membaca majalah atau buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat terhadap
semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.

Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka
Allah Ta’ala akan menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “Orang yang mengamalkan apa yang telah ia
ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [Al
Baqarah: 272]

Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan
bagi orang-orang yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.

Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengangkat derajat mereka dalam Al Qur’an. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya
orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran” [Az Zumar: 9]. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah telah
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” [Al Mujaadalah: 11]. Allah Ta’ala telah menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang
digandengkan dengan iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa yang kita kerjakan. Maka di
sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ilmu harus digandengkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman dan
muqorobah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “Al Mulakhos Al Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan]

Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ‫اس ْال َخي َْر‬ َ َ‫صلُّون‬
ِ َّ‫علَى ُمعَ ِل ِم الن‬ َ ُ‫ لَي‬، َ‫ َحتَّى النَّ ْملَةَ فِى جُحْ ِرهَا َو َحتَّى ْالحُوت‬،‫ض‬ ِ ‫ت َواأل َ ْر‬ َّ ‫َّللاَ َو َمَلَئِ َكتَهُ َوأَ ْه َل ال‬
ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫» إِ َّن‬
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan
(di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada
manusia”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama[2] yang bersumber dari al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia[3]. Imam
Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih
utama dari menyebarkan ilmu (agama)”[4].
Dalam hadist lain yang semakna dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang yang memahami ilmu (agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada
Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di
lautan”[5].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
– Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan
keberkahan dari-Nya[6]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari
kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:
}‫ور َو َكانَ بِ ْال ُمؤْ مِ نِينَ َرحِ ي ًما‬ ُّ َ‫علَ ْي ُك ْم َو َمَلئِ َكتُهُ ِلي ُْخ ِر َج ُك ْم مِ ن‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫ت إِلَى الن‬ َ ‫ص ِلي‬ َ ُ‫{ه َُو الَّذِي ي‬
“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang
beriman” (QS al-Ahzaab:43)[7].
– Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab
utama terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk di alam
semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan
perbuatannya[8].
– Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang
mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya[9].
– Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan
wajah Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi[10].
– Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11], karena merekalah yang
menggantikan tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan
yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di
sisi Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam[12].
– Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada umat manusia lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang melawan
orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan
menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh
(para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah Ta’ala menjadikan
kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya”[13].
‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Catatan Kaki:

[1] HR at-Tirmidzi (no. 2685) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 7912), dalam sanadnya ada kelemahan, akan
tetapi hadits ini dikuatkan oleh hadits lain yang semakna. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh
al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (4/467).
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).

[3] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/63).

[4] Dinukil oleh imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Bagdad” (10/160).

[5] HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam Ibnu Hibban dan Syaikh
al-Albani rahimahkumullah, serta dinyatakan hasan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris
sa’aadah” (1/63).

[6] Lihat kitab “Zaadul masiir” (6/398).

[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169).

[8] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan al-Muanawi dalam
kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).

[9] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/268).

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/525).

[11] Sebagaimana dalam HR Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Hibban (no. 88), dishahihkan oleh imam
Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani rahimahkumullah.

[12] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64).

[13] Kitab “Jala-ul afhaam” (hal. 415).

Kiat Mengobati Futur Dan Malas Menuntut Ilmu Agama


Futur artinya rasa malas dan lemah setelah sebelumnya ada masa rajin dan semangat. Dalam kamus Lisanul ‘Arab futur
didefinisikan,
‫سكن بعد حدة والنَ بعد شدة‬
“diam setelah intensitas tinggi, yaitu setelah melakukan dengan usaha keras”
Penyakit futur dan malas banyak menjangkiti orang-orang yang menuntut ilmu agama dan juga orang-orang yang berusaha
menapaki jalan kebenaran. Bagaimana solusinya?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “banyak penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam
menuntut. Sarana apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?“. Beliau menjawab:
***
Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut ilmu agama adalah salah satu musibah yang besar. Untuk mengatasi ini ada
beberapa hal:
1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla dalam menuntut ilmu
Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar
pahala. Dan ia juga akan memahami bahwa ia akan termasuk dalam tiga derajat manusia dari umat ini*), lalu dengan itu
semangatnya pun akan bangkit.
ِ‫ش َهدَاء‬ ُّ ‫الصدِيقِينَ َوال‬ ِ ‫علَ ْي ِه ْم مِ نَ النَّ ِبيِينَ َو‬ َّ ‫سو َل َفأُولَئِكَ َم َع الَّذِينَ أ َ ْنعَ َم‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫َّللاَ َو‬َّ ِ‫َو َم ْن يُطِ ع‬
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid” (QS. An Nisa: 69)
2. Selalu bersama dengan teman-teman yang semangat dalam menuntut ilmu
Dan teman-teman yang dapat membantunya dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan
kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu.
3. Bersabar, yaitu ketika jiwa mengajak untuk berpaling dari ilmu
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ع ْن ُه ْم ت ُ ِريدُ ِزينَةَ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا‬ َ ُ‫سكَ َم َع الَّذِينَ يَ ْدعُونَ َربَّ ُه ْم ِب ْالغَدَاةِ َو ْال َعشِي ِ ي ُِريدُونَ َوجْ َههُ َو َال ت َ ْعد‬
َ َ‫ع ْينَاك‬ َ ‫ص ِب ْر نَ ْف‬
ْ ‫َوا‬
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini” (QS.
Al Kahfi: 28)
Maka bersabarlah! Jika seseorang mampu bersabar lalu senantiasa kembali untuk menuntut ilmu maka lama-kelamaan menuntut
ilmu akan menjadi kebiasaan baginya. Sehingga hari ketika ia terlewat dari menuntut ilmu akan terasa hari yang menyedihkan
baginya.
Adapun ketika jiwa menginginkan ‘rasa bebas’ sebentar dari menuntut ilmu, maka jangan biarkan. Karena jiwa itu mengajak
kepada keburukan. Dan setan itu senantiasa menghasung orang untuk malas dan tidak mau ta’lim (menuntut ilmu).

Sumber: Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, hal 97, cetakan Darul Iman
*) maksud Syaikh, orang yang berilmu lah yang bisa menapaki jalan yang lurus yaitu shiratal mustaqim, dan akan bersama
dengan orang-orang menjalani jalan tersebut. Sedangkan siapa saja orang yang menapaki shiratal mustaqim dijelaskan dalam
surat An Nisa ayat 69 yang beliau sebutkan. Wallahu a’lam.

“Pada mejelis ilmu ada dua hal utama yang membuat istiqamah sampai ajal menjemput: pertama adalah ilmu yang menjaga kita
dan kedua adalah sahabat yang shalih yang selalu meingingatkan akan akhirat”
Saudaraku, apapun keadaannya dan bagaimanapun kondisinya, jangan pernah meninggalkan majelis ilmu. Jangan lah tinggalkan
secara total, jika tidak bisa sepekan sekali, mungkin sebulan sekali, jika tidak bisa mungkin 2 atau 3 bulan sekali, insyaallah waktu
itu selalu ada, yang menjadi intinya adalah apakah kita memprioritaskan atau tidak? Jika tidak menjadi prioritas, maka tidak akan
ada waktu dan tidak akan ada usaha untuk itu. Jangan pernah juga meninggalkan majelis ilmu karena sudah merasa berilmu atau
telah menjadi “ikhwan senior”, para ustadz dan ulama pun terus belajar dan menuntut ilmu.

Saudaraku, mereka yang berguguran dipersimpangan jalan dakwah adalah orang perlahan-lahan meninggalkan majelis ilmu secara
total, baik itu tenggelam dengan kesibukan dunia atau merasa sudah berilmu kemudian menjadi sombong dan tergelincir.
Abdullan bin Mubarak menunjukkan keheranan, bagaimana mungkin seseorang jiwanya baik jika tidak mau menuntut ilmu dan
menghadiri majelis ilmu. Beliau berkata,
‫ كيف تدعو نفسه إلى مكرمة‬,‫عجبت لمن لم يطلب العلم‬
“Aku heran dengan mereka yang tidak menuntut ilmu, bagaimana mungkin jiwanya bisa mengajak kepada kebaikan.”? [Siyar
A’lam AN-Nubala 8/398]
Sebagaimana yang kita sampai di awal bahwa pada majelis ilmu terdapat dua faktor utama agar seseorang bisa istiqamah:

[1] Ilmu yang menjaganya

Dengan ilmu dan pemahaman yang benar seseorang agar terjaga dari kesalahan dan ketergelinciran. Ibnul Qayyim berkata,

‫أن العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله‬

“Ilmu itu menjaga pemiliknya sedangkan pemilik harta akan menjaga hartanya.”[Miftah Daris Sa’adah 1/29]

Dengan menghadiri majelis ilmu juga akan menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan yang mejadi tujuan seseorang hidup di
dunia ini. Apabila niatnya ikhlas, maka ia akan merasakan ketenangan di majelis ilmu dan akan terus mencari majelis ilmu di
mana pun berada.

Majelis ilmu adalah taman surga yang membuat seseorang merasakan ketenangan.

‫اض ْال َج َّن ِة قَا َل حِ َلقُ ال ِذ ْك ِر‬ ْ َ‫اض ْال َج َّن ِة ف‬


ُ ‫ارتَعُوا قَالُوا َو َما ِر َي‬ ِ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ِإذَا َم َر ْرت ُ ْم ِب ِر َي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫ضي‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ َر‬
َ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati
taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau
menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510, Ash Shahihah, no. 2562]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

‫ ولهذا سميت مجالس الذكر رياض‬،‫ فلو لم يكن للعبد من ثوابه إال اللذة الحاصلة للذاكر والنعيم الذي يحصل لقلبه لكفى به‬،‫إن للذكر من بين األعمال لذة ال يشبهها شيء‬
‫الجنة‬

“Sesungguhnya dzikir di antara amal memiliki kelezatan yang tidak bisa diserupai oleh sesuatupun, seandaikan tidak ada
balasan pahala bagi hamba kecuali kelezatan dan kenikmatan hati yang dirasakan oleh orang yang berdziki, maka hal itu
[kenikmatan berdzikit saja, pent] sudah mencukupi, oleh karena itu majelis-majelis dzikir dinamakan taman-taman surga.” [Al-
Wabilush Shayyib hal. 81, Darul Hadist, Koiro,, Asy-Syamilah]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫الرحْ َمةُ َو َحفَّتْ ُه ُم ْال َم ََلئِ َكةُ َوذَك ََر ُه ُم‬


ُ‫َّللاُ فِي َم ْن ِع ْندَه‬ َ ‫سكِي َنةُ َو‬
َّ ‫غ ِشيَتْ ُه ُم‬ َّ ‫علَ ْي ِه ُم ال‬ ْ ‫سونَهُ بَ ْينَ ُه ْم إِ َّال نَزَ َل‬
َ ‫ت‬ َ َ‫َّللاِ َويَتَد‬
ُ ‫ار‬ َ ‫َّللاِ يَتْلُونَ ِكت‬
َّ ‫َاب‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ت مِ ْن بُيُو‬
ٍ ‫َو َما اجْ ت َ َم َع قَ ْو ٌم فِي بَ ْي‬
Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan
saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka,
dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699].

[2] Di majelis ilmu kita akan bertemu dengan sahabat yang selalu mengingatkan akan akhirat
Di majelis ilmu kita akan berjumpa dengan sahabat yang benar-benar sejati, yaitu sahabat yang selalu memberikan nasihat dan
mengingatkan kita apabila salah. Sebuah ungkapan arab berbunyi:
‫صديقك من صدقك ال من صدقك‬
“Shadiqaka man shadaqaka laa man shaddaqaka”
“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”
Dengan Sering berjumpa dengan orang shalih yang sabar dengan kehidupan dunia ini dan tidak rakus akan harta dan kedudukan,
hidup kita akan mudah dan lebih bahagia.
Perhatikan bagaimana Ibnul Qayyim mengisahkan tentang guru beliau Ibnu Taimiyyah, beliau berkata:
‫ فما هو إال أن نراه ونسمع كَلمه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحا ً وقوة ويقينا ً وطمأنينة‬،‫وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا األرض أتيناه‬
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-
prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka
dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami
rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”[ Al-wabilush shayyib hal 48, Darul Hadits, Syamilah]

Majelis ilmu syar’i adalah surga di dunia

Kami yakin bahwa kita semua menginginkan agar termasuk dalam penghuni surga-Nya. Bahkan mungkin itulah cita-cita dan
harapan kita yang tertinggi di antara cita-cita dan harapan yang lain. Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan bagaimanakah jika
cita-cita itu berhasil kita raih ketika hidup di dunia ini? Bukankah kita seharusnya akan sangat berbahagia?

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا‬
”Jika Engkau melewati taman-taman surga maka singgahlah!”
Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah! Apakah taman-taman surga itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫حلق الذكر فإن هلل سيارات من المَلئكة يطلبون حلق الذكر فاذا اتوا عليهم صفوا بهم‬
”Majelis dzikir. Allah memiliki sekelompok malaikat yang mencari majelis-majelis dzikir. Jika mereka mendatanginya, malaikat-
malaikat tersebut akan mengelilinginya.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Ali Hasan dalam Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal.
132)
Atho’ rahimahullah berkata, ”Majelis dzikir adalah majelis yang membahas tentang halal dan haram, bagaimana cara menjual,
membeli (baca: fiqh jual beli), shalat, sedekah, nikah, thalaq, dan haji.” (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 132)
Itulah taman-taman surga yang bisa kita dapatkan di dunia ini. Taman-taman surga itu tidak lain adalah majelis ilmu, yang
dibacakan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah di dalamnya. Kita juga dapat berbahagia karena jalan menuntut ilmu ini juga akan
memudahkan kita untuk berjalan menuju surga-Nya di akhirat kelak. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ط ِريقًا ِإلَى ْال َج َّن ِة‬ َ ‫َّللاُ لَهُ بِ ِه‬
َّ ‫س َّه َل‬ َ ‫س فِي ِه ع ِْل ًما‬
ُ ِ‫ط ِريقًا يَ ْلتَم‬
َ َ‫سلَك‬ َ ‫َم ْن‬
”Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju
surga.” (HR. Muslim no. 7028)
Sehingga dengan ilmu syar’i, seharusnya kita berbahagia karena berhasil mendapatkan dua surga sekaligus, yaitu surga di dunia
maupun surga di akhirat kelak.
Kebodohan: sifat penghuni neraka
Sebaliknya, kami yakin bahwa kita semua tidaklah menghendaki termasuk dalam penghuni neraka di akhirat kelak. Dan kami pun
yakin bahwa inilah sesuatu yang paling kita takutkan jika kelak benar-benar menimpa diri kita Melebihi ketakutan jika kita jatuh
miskin atau sakit parah di dunia ini.
Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan, bagaimanakah sifat-sifat penghuni neraka itu supaya kita semua tidak termasuk ke
dalamnya?
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mensifati penduduk neraka dengan kebodohan dan mengabarkan
bahwa Dia menutup jalan-jalan ilmu untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman menceritakan keadaan mereka,
‫ِير‬
ِ ‫سع‬
َّ ‫ب ال‬ ْ َ ‫ِير فَا ْعت ََرفُوا بِذَ ْنبِ ِه ْم فَسُحْ قًا ِأل‬
ِ ‫ص َحا‬ ِ ‫سع‬ َّ ‫ب ال‬ِ ‫ص َحا‬ ْ َ‫َوقَالُوا لَ ْو ُكنَّا َن ْس َم ُع أ َ ْو نَ ْع ِق ُل َما ُكنَّا فِي أ‬
”Dan mereka berkata, ’Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal, niscaya tidaklah kami termasuk penghuni
neraka yang menyala-nyala.’ Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk [67]: 10-11)

Mereka mengabarkan bahwasannya mereka adalah orang-orang yang tidak mau mendengar dan tidak mau menggunakan akal.
Pendengaran dan akal, keduanya adalah pokok ilmu dan alat untuk meraih ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ض ُّل أُو َلئِكَ ُه ُم ْالغَافِلُون‬


َ َ‫ْص ُرونَ ِب َها َولَ ُه ْم آذَانٌ َال َي ْس َمعُونَ ِب َها أُولَئِكَ ك َْاأل َ ْن َع ِام َب ْل ُه ْم أ‬ ً ‫َولَقَ ْد ذَ َرأْنَا ِل َج َهنَّ َم َكث‬
ِ ْ ‫ِيرا مِ نَ ْال ِج ِن َو‬
ِ ‫اإل ْن ِس لَ ُه ْم قُلُوبٌ َال َي ْفقَ ُهونَ ِب َها َولَ ُه ْم أ َ ْعيُنٌ َال يُب‬

”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]:
179)

Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwasannya mereka itu tidak dapat meraih ilmu dari tiga arah untuk mendapatkan ilmu, yaitu
ٌ ‫ص ٌّم بُ ْك ٌم ع ُْم‬
dari akal, pendengaran, dan penglihatan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di ayat lain, ‫ي‬ ُ

”Mereka itu tuli, bisu dan buta.” (QS. Al-Baqarah [2]: 18)

Allah Ta’ala berfirman,

‫ُور‬
ِ ‫صد‬ُّ ‫ار َولَك ِْن ت َ ْع َمى ْالقُلُوبُ َّالتِي فِي ال‬
ُ ‫ص‬َ ‫ض فَت َ ُكونَ لَ ُه ْم قُلُوبٌ يَ ْع ِقلُونَ بِ َها أ َ ْو آذَانٌ يَ ْس َمعُونَ بِ َها فَإِنَّ َها َال ت َ ْع َمى ْاأل َ ْب‬
ِ ‫ِيروا فِي ْاأل َ ْر‬
ُ ‫أَفَلَ ْم يَس‬

”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)

Allah Ta’ala juga berfirman,

َّ ‫ت‬
‫َّللاِ َو َحاقَ بِ ِه ْم َما‬ َ ‫ار ُه ْم َو َال أ َ ْفئِدَت ُ ُه ْم مِ ْن‬
ِ ‫ش ْيءٍ إِ ْذ كَانُوا يَجْ َحدُونَ بِآيَا‬ ُ ‫ص‬َ ‫س ْمعُ ُه ْم َو َال أ َ ْب‬ َ ‫ارا َوأ َ ْفئِدَة ً فَ َما أ َ ْغن َٰى‬
َ ‫ع ْن ُه ْم‬ ً ‫ص‬ َ ‫َولَقَ ْد َم َّكنَّا ُه ْم فِي َما إِ ْن َم َّكنَّا ُك ْم فِي ِه َو َجعَ ْلنَا َل ُه ْم‬
َ ‫س ْمعًا َوأ َ ْب‬
َ‫كَانُوا ِب ِه َي ْست َ ْه ِزئُون‬

”Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati. Tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu
tidak berguna sedikit pun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang
dahulu selalu mereka memperolok-oloknya.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 26)

Allah Ta’ala telah mensifati para penduduk neraka sebagaimana yang telah kita lihat bersama, yaitu dengan tidak adanya ilmu,
kemudian Allah menyerupakan mereka dengan binatang ternak. Dan terkadang Allah menggambarkan mereka seperti keledai
yang membawa kitab-kitab yang tebal (namun tidak memahaminya, pent.). Di bagian lain Allah juga menggambarkan bahwa
mereka itu lebih sesat dari binatang ternak.

Terkadang Allah menyatakan bahwa mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi-Nya, terkadang Allah menyatakan bahwa
mereka itu sebagai mayat-mayat, bukan sebagai orang hidup. Terkadang Allah mengabarkan bahwa mereka itu berada dalam
kegelapan kebodohan dan kesesatan. Terkadang Allah mengabarkan bahwa dalam hatinya terdapat penghalang, dalam telinganya
terdapat sumbat, dan pada matanya terdapat penutup.

Ini semua menunjukkan menjijikkannya kebodohan, tercelanya orang yang memilikinya dan menunjukkan kebencian Allah
kepada mereka. Sebagaimana Allah mencintai ahli ilmu, memuji, dan menyanjung mereka. (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu,
hal. 48-49)

Bagaimana agar kita tidak termasuk dalam penghuni neraka?

Setelah kita mengetahui bagaimanakah sifat-sifat penghuni neraka itu, lalu bagaimana agar kita tidak termasuk ke dalam
penghuninya? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah orang-orang yang bodoh sebagaimana
firman-Nya,

َ‫ار َو ْاأل َ ْفئِدَة َ لَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬


َ ‫ص‬ َ َ‫ون أ ُ َّم َهاتِ ُك ْم َال ت َ ْعلَ ُمون‬
َ ‫ش ْيئًا َو َجعَ َل لَ ُك ُم الس َّْم َع َو ْاأل َ ْب‬ ِ ‫ط‬ُ ُ‫َّللاُ أ َ ْخ َر َج ُك ْم مِ ْن ب‬
َّ ‫َو‬
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)

Tidak ada cara lain untuk mengangkat kebodohan ini dari dalam diri kita kecuali dengan bersungguh-sungguh menuntut
(mempelajari) ilmu agama. Karena ilmu tidak akan pernah mendatangi kita, namun kita-lah yang harus mencari dan
mendatanginya. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Hendaklah Engkau berniat untuk mengangkat kebodohan dari dalam hatimu. Jika Engkau belajar dan menjadi seorang ahli ilmu
maka hilanglah kebodohan dari dirimu. Demikian pula, berniatlah untuk mengangkat kebodohan dari umat ini dengan
mengajarkan ilmu itu menggunakan sarana apapun agar manusia dapat mengambil manfaat dari ilmumu.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal.
28)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Tidak ada suatu amal pun yang sebanding dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya”.

Orang-orang pun bertanya, ”Bagaimana niat yang benar itu?”

Imam Ahmad rahimahullah menjawab, ”Seseorang berniat untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan dari selainnya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata mengomentari perkataan Imam Ahmad di atas,

”Karena mereka itu pada dasarnya bodoh, sebagaimana juga dirimu. Jika Engkau belajar dengan tujuan mengangkat kebodohan
dari umat ini maka Engkau termasuk ke dalam golongan orang yang berjihad di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.”
(Kitaabul ‘Ilmi, hal. 29)

Ibnu Mas’ud rahimahullah berkata, ”Bersungguh-sungguhlah kalian menuntut ilmu sebelum ilmu itu dicabut. Ilmu itu dicabut
dengan dimatikannya para ulama. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh-sungguh orang yang terbunuh sebagai
syuhada’ di jalan Allah itu menginginkan untuk dibangkitkan sebagai seorang ulama karena mengetahui kemuliaan mereka. Dan
seseorang tidaklah dilahirkan sebagai orang yang berilmu, akan tetapi ilmu didapat dengan belajar.” (Al ‘Ilmu, Fadhluhu
wa Syarafuhu, hal. 141-142)

Oleh karena itu, kuatkanlah tekad kita untuk mengangkat kebodohan ini supaya tidak termasuk ke dalam penduduk neraka di
akhirat kelak.

Menuntut ilmu adalah sebuah ibadah yang sangat mulia. Ilmu adalah kunci pembuka untuk amalan-amalan lainnya. Karena
dengan ilmu, seorang hamba bisa mengetahui bagaimana seharusnya dia beribadah kepada Rabb-nya, mengetahui apa saja
kewajiban yang harus ia jalankan, serta mengetahui apa saja larangan yang harus ia jauhi. Oleh karena itulah, keikhlasan dalam
menuntut ilmu adalah suatu hal yang harus terus dijaga oleh kita semua agar ibadah yang sangat mulia ini tidak menjadi debu
yang berhamburan di sisi Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

ِ ُ‫ِصينَ َله‬
َ‫الدين‬ ‫َو َما أُمِ ُروا إِ ال ِليَ ْعبُدُوا ا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخل‬

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlashkan agama kepada-Nya”
(QS. Al Bayyinah : 5)

Tanda Ikhlas dalam menuntut ilmu

Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan memberikan pengaruh kepada pribadi orang tersebut yang dapat dirasakan oleh orang yang
berada di sekitarnya. Di antara tanda-tanda ikhlas dalam menuntut ilmu adalah sebagai berikut :

1- Membuahkan ilmu yang bermanfaat

Tanda paling jelas yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah ilmu tersebut
bermanfaat bagi dirinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ ‫ت الك َََلَ َوالعُش‬
َ ‫ْب ال َكث‬
‫ِير‬ ِ ‫ قَبِ َل‬،ٌ‫ فَكَانَ مِ ْنهَا نَ ِقياة‬،‫َاب أ َ ْرضا‬
ِ َ ‫ فَأ َ ْنبَت‬،‫ت ال َما َء‬ َ ‫ِير أَص‬ ِ ‫ َك َمث َ ِل الغَ ْي‬،‫َّللاُ بِ ِه مِ نَ ال ُهدَى َوال ِع ْل ِم‬
ِ ‫ث ال َكث‬ ‫َمث َ ُل َما بَعَثَنِي ا‬

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah utus diriku dengan membawa keduanya sebagaimana permisalan hujan lebat yang
membasahi bumi. Diantara tanah yang diguyur air hujan, ada tanah yang subur, yang menyerap air sehingga dapat
menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang lebat” (HR. Bukhari)

Seperti itulah permisalan ilmu yang bermanfaat bagi seorang hamba. Ilmu tersebut akan memberikan manfaat kepada pemiliknya
khususnya, dengan membuat hatinya semakin lembut, jiwanya semakin tunduk kepada Rabb-nya, lisan dan pandangannya
semakin terjaga, dan seterusnya. Tidak hanya itu, manfaat ilmunya juga meluas kepada orang-orang di sekitarnya dengan
akhlaknya yang semakin mulia serta ilmu yang telah ia raih ia ajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya.

Inilah tanda yang pertama yang menjadi poros bagi tanda-tanda lainnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya.

2- Mengamalkan ilmu

Ilmu dicari untuk diamalkan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala akan bertanya kepada semua orang yang telah belajar, apa yang telah
mereka amalkan dari ilmu yang ia miliki?

‫سأ َ َل … َوع َْن ِع ْلمِ ِه فِي َم فَ َع َل‬ َ ‫َل ت َزُ و ُل َق َد َما‬


ْ ُ‫ع ْب ٍد َي ْو َم ال ِق َيا َم ِة َحت اى ي‬

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki hamba di hari kiamat sampai ia ditanya,(salah satunya) tentang ilmunya, apa yang sudah
dia amalkan?” (HR. Tirmidzi, beliau nilai hasan shahih. Dan dinliai shahih oleh Al Albani)

Ketika seseorang memiliki niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu, maka ia akan mengerti bahwa ilmu yang ia cari bukanlah tujuan
akhir, tetapi bekal dia untuk beramal sehingga ia akan berusaha mengamalkan setiap ilmu yang ia miliki. Adapun orang yang
niatnya rusak, maka mengamalkan ilmu bukanlah tujuan yang hendak ia capai. Oleh karena itu, Al Khatib Al Baghdadi
rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dianggap berilmu selama ia tidak mengamalkan ilmunya” (Iqtidhaa-ul ‘Ilmi Al
‘Amal hal. 18, dinukil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, hal. 45)

3- Terus memperbaiki niat

Orang yang merasa telah ikhlas dalam menuntut ilmu merupakan ciri tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu. Orang yang ikhlas
justru terus memperbaiki dirinya dan meluruskan niatnya dalam setiap amalannya dan tidak merasa dirinya telah ikhlas.
Sebagaimana yang dikatakan ‘Amr, “Barangsiapa yang mengatakan dirinya adalah orang yang berilmu, maka dia adalah orang
yang bodoh”. Ibnu Rajab mengatakan, “Orang yang jujur akan merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan dan takut mengalami
su-ul khatimah” (lihat Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 30-31)

4- Semakin tunduk dan takut kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

‫َّللاَ مِ ْن ِعبَا ِد ِه ا ْلعُ َل َما ُء‬


‫إِنا َما يَ ْخشَى ا‬

“Sesungguhnya yang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang yang berilmu” (QS. Fathir : 28)

Pada ayat di atas Allah menyebutkan bahwa orang yang takut kepada-Nya adalah orang yang berilmu. Oleh karena itu, semakin
bertambah ilmu seseorang, semakin tunduk ia kepada Rabb-nya. Sebagian ulama mengatakan, “Siapa yang takut kepada Allah
maka dia adalah orang yang berilmu. Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah maka dia adalah orang yang bodoh” (dinukil dari
Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hal. 26).

Ini adalah buah dari ilmu yang bermanfaat, ilmu yang dicari semata-mata karena mengharap wajah-Nya. Seseorang yang telah
berilmu tentang Allah, maka ia akan mengetahui keagungan dan kebesaran Rabb-nya sehingga ia akan semakin takut dan tunduk
kepada-Nya serta selalu merasa diawasi oleh-Nya.
5- Membenci pujian dan ketenaran

Senang dipuji dan cinta ketenaran adalah awal malapetaka pada diri seorang penuntut ilmu. Tidakkah kita ingat kisah tiga orang
yang pertama kali diseret ke dalam neraka? Rasulullah menyebutkan salah satu diantara mereka,

َ‫ َولَ ِكناكَ تَعَلا ْمت‬، َ‫ َكذَبْت‬:َ‫ َقال‬، َ‫علا ْمتُهُ َوقَ َرأْتُ فِيكَ ا ْلقُ ْرآن‬
َ ‫ َو‬،‫ تَعَ ال ْمتُ ا ْل ِع ْل َم‬:َ‫ َف َما عَمِ ْلتَ فِيهَا؟ َقال‬:َ‫ َقال‬،‫ فَأُت َِي بِ ِه فَعَ ار َفهُ نِعَ َمهُ فَعَ َر َفهَا‬، َ‫علا َمهُ َوقَ َرأ َ ا ْلقُ ْرآن‬
َ ‫ َو‬،‫َو َر ُج ٌل تَعَلا َم ا ْل ِع ْل َم‬
ْ ُ
‫علَى َوجْ ِه ِه َحت اى ألق َِي فِي النا ِار‬ َ ‫ب‬ َ ُ ُ َ
َ ِ‫ ث ام أمِ َر ِب ِه فسُح‬،َ‫ فقَ ْد قِيل‬،‫ئ‬ َ ْ ْ َ
ٌ ‫ ه َُو ق ِار‬:َ‫ َوق َرأتَ القُ ْرآنَ ِليُقَال‬،‫ عَا ِل ٌم‬:َ‫ال ِعل َم ِليُقَال‬ ْ ْ

“Seseorang yang menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Lalu ia didatangkan dan dipaparkan kepadanya
segala nikmat yang telah ia raih, lantas ia mengakuinya. Lalu ia ditanya, “Apa yang sudah kamu lakukan terhadap nikmat
tersebut?”. Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu juga mengajarkannya, aku juga membaca Al Qur’an karena-Mu”. Lalu dikatakan
padanya, “Kamu dusta! Kamu itu menuntut ilmu supaya dijuluki sebagai orang yang berilmu! Kamu juga membaca Al Qur’an
karena ingin dikenal sebagai qari! Dan kamu pun telah mendapatkannya!”. Lalu orang tadi diseret di atas wajahnya lalu
dilempar ke neraka” (HR. Muslim)

6- Semakin tawadhu’ di hadapan manusia

Bagai ilmu padi, ilmu yang bermanfaat yang dicari semata-mata mengharap wajah Allah Ta’ala akan membuat pemiliknya
semakin tawadhu’ di hadapan orang lain, tidak merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Ibnu Rajab mengatakan, “Di antara
tanda orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat adalah ia tidak memandang dirinya memiliki status atau kedudukan khusus.
Hatinya membenci rekomendasi dan sanjungan orang. Ia juga tidak takabbur di hadapan orang lain” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal
Khalaf, hal. 31)

Nasihat Penutup

Itulah di antara sedikit tanda-tanda lurusnya niat seseorang dalam menuntut ilmu. Sebagai penutup, kami bawakan sebuah nasihat
indah dari Imam Al Ghazali rahimahullah teruntuk kita semua. Beliau mengatakan, “Betapa banyak malam yang telah kau
hidupkan dengan mengulang-ngulang ilmu dan membaca berbagai macam buku, dan kau halangi dirimu dari tidur? Aku tidak
tahu apa yang memotivasimu untuk berbuat demikian. Jika niatmu adalah karena dunia, karena mencari harta dan
mengumpulkan bagian-bagian dunia, atau berbangga-bangga dengan teman sepantaranmu, maka celakalah dan celakalah
dirimu! Tapi jika niatmu adalah menghidupkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membina akhlakmu, dan mematahkan
jiwa yang suka mengajak kepada keburukan, maka beruntunglah dan beruntunglah engkau!” (Ihya ‘Ulumuddin, hal. 105-106,
dinukil dari Adabu Thalibil ‘Ilmi, hal. 35)

Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan kepada kaum muslimin umumnya. Hanya kepada Allah-
lah kita semua memohon keikhlasan dalam setiap ucapan dan amalan.

Ya Allah, jadikanlah seluruh amalan kami sebagai amalan yang shalih, dan jadikanlah amalan kami tersebut ikhlas mengharap
wajah-Mu semata, dan janganlah Engkau jadikan sedikitpun bagian untuk selain diri-Mu dalam amalan kami tersebut.
Sesungguhnya Engkau Maha mendengar seruan hamba-Mu.

Referensi :
Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid
Bayaanu Fadhli ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, Ibnu Rajab Al Hanbali
Ma’alim fii Thariqi Thalabil ‘Ilmi, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As Sadhan

Sudah berapa juz Al Qur’an yang anda hafal?


Sudah berapa hadits yang anda hafal?
Berapa bab fiqih yang sudah anda kuasai?
Berapa kitab para ulama yang sudah khatam anda pelajari?
Sudah sejauh apa kita memahami agama kita ini..?
Semoga Allah menolong kita agar kita tidak termasuk orang-orang yang berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai dari
mempelajari ilmu agama. Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar agama ala kadarnya dan seadanya, padahal ilmu
agama ini begitu penting lebih penting dari makan dan minum. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih
membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan
mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)
Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana
bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, kita simak
bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana kita dibanding mereka?

Semangat Mendatangi Majelis Ilmu


Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping
rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang
ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan
pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit
fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh
seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az
Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di
muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala
Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).

Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya
bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu
tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja
tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke
dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar
darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar
ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding
terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya,
mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).

Semangat Belajar Dalam Keterbatasan

Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada
di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya
mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli
kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh
tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).

Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah.
Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk
lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).

Semangat Mencari Ilmu Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh


Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan
tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam
perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan
rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al
Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke
Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut
(Tadzkiratul Huffadz, 2/630).
Rela Membelanjakan Banyak Harta Demi Ilmu
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya
mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)
Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham
untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang
bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)
Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya
tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).
Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak
bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka. Allahumma yassir wa a’in.

Referensi utama: buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil
‘ilmi asy syar’i” karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, penerbit Elba Surabaya

Kebaikan di dunia adalah dengan mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya

Manusia secara umum tentu sangat menginginkan kebaikan dalam hidupnya. Tidaklah mungkin seseorang menginginkan
keburukan menimpa kehidupannya. Setiap orang tentu mengharapkan kebaikan untuk hidupnya di dunia, lebih-lebih di akhirat
kelak. Kita pun senantiasa berdoa siang dan malam demi kebaikan hidup ini,

ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ َ ‫سنَةً َوقِنَا‬
َ َ ‫عذ‬ َ ‫س َنةً َوفِي ْاْلخِ َرةِ َح‬
َ ‫َربَّنَا آتِنَا فِي الدُّ ْنيَا َح‬

”Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa
neraka.”

Namun, tidakkah kita tahu, bahwa kebaikan dunia itu ada di dalam ilmu syar’i? Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

ً‫س َنة‬
َ ‫َربَّنَا آتِنَا فِي الدُّ ْن َيا َح‬

”Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201)

Al-Hasan rahimahullah berkata, ”yaitu ilmu dan ibadah”.

Dan ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

ً‫َوفِي ْاْلخِ َرةِ َح َسنَة‬

”Dan kebaikan di akhirat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201)

Beliau rahimahullah berkata, ”yaitu surga”.

Inilah tafsir yang paling baik, karena kebaikan yang paling tinggi adalah ilmu (syar’i) yang bermanfaat dan amal yang
shalih. (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 141)

Dan perlu diketahui, jika kita menuntut ilmu agama, maka itu adalah tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuk diri
kita. Baik kebaikan di dunia ini maupun kebaikan di akhirat kelak. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫َم ْن ي ُِر ْد‬


‫َّللا ِب ِه َخي ًْرا يُفَقِههُ فِي الدِين‬

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR.
Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)

Itulah puncak kebaikan yang seharusnya menjadi dambaan setiap orang. Oleh karena itu, berjalanlah menuntut ilmu agama,
sehingga kita dapat mendapatkan kebaikan itu.
Ilmu agama adalah sumber kebahagiaan

Kita semua pasti menginginkan kebahagiaan. Dan kita tentu akan berbuat apa saja demi meraih kebahagiaan itu, meskipun harus
dengan mengorbankan apa saja, termasuk mengeluarkan harta dalam jumlah yang sangat banyak. Tentu kita akan sangat bersedih
jika hidup kita tidak bahagia.

Akan tetapi, ”apakah kebahagiaan yang hakiki itu?”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, ”Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa, ruh, dan hati.
Kebahagiaan itu tidak lain adalah kebahagiaan ilmu (agama) yang bermanfaat dan buah-buahnya. Karena sesungguhnya
itulah kebahagiaan yang abadi dalam seluruh keadaan. Kebahagiaan ilmulah yang menemani seorang hamba dalam seluruh
perjalanan hidupnya di tiga negeri: negeri dunia, negeri barzakh (alam kubur), dan negeri akhirat.” (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 110-111)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫َاز ِل – قَا َل – َو‬


ٌ‫ع ْبد‬ ِ ‫ض ِل ْال َمن‬ َ ‫ع َّز َو َج َّل فِي ِه َحقَّهُ – قَا َل – فَ َهذَا بِأ َ ْف‬ َ ِ‫ص ُل فِي ِه َرحِ َمهُ َويَ ْعلَ ُم ِ َّّلِل‬ ِ َ‫ع َّز َو َج َّل َماالً َوع ِْلما ً فَ ُه َو يَتَّقِى فِي ِه َربَّهُ َوي‬ َّ ُ‫ع ْبدٌ َرزَ قَه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫إِنَّ َما الدُّ ْنيَا أل َ ْربَعَ ِة نَف ٍَر‬
ْ
‫َّللاُ َماالً َولَ ْم يَ ْر ُز ْقهُ عِلما ً فَ ُه َو‬
َّ ُ‫ع ْبدٌ َرزَ قَه‬ َ ‫س َوا ٌء – قَا َل – َو‬ َ
َ ‫عمِ لتُ بِعَ َم ِل فَُلَ ٍن – قَا َل – فَأجْ ُر ُه َما‬ ْ َ ‫ع َّز َو َج َّل ع ِْلما ً َولَ ْم يَ ْر ُز ْقهُ َماالً – قَا َل – فَ ُه َو يَقُو ُل لَ ْو َكانَ لِى َما ٌل‬ َّ ُ‫َرزَ قَه‬
َ ُ‫َّللا‬
‫َّللاُ َماالً َوالَ ع ِْلما ً فَ ُه َو َيقُو ُل لَ ْو‬
َّ ُ‫ع ْبدٌ لَ ْم َي ْر ُز ْقه‬ ‫و‬
َ َ – ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ – ‫ل‬ ‫َاز‬
ِ ِ َ ‫ن‬‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ث‬
ِ ‫ب‬‫خ‬
َ ِ َْ َ ‫أ‬‫ب‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫ه‬ َ ‫ف‬ ُ ‫ه‬‫ق‬َّ ‫ح‬
َ ‫ه‬
ِ ‫ِي‬ ‫ف‬ َّ
‫ّلِل‬ ‫م‬ َ ‫ل‬
ِ ِ ُ َ َ َ َ ‫ع‬
ْ ‫ي‬ َ ‫ال‬‫و‬ ُ ‫ه‬‫م‬ ِ‫ح‬ ‫ر‬ ‫ه‬
ِ ‫ِي‬ ‫ف‬ ُ
‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬ َ ‫ال‬‫و‬
ِ َ َ َ َ َ َّ
‫ل‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ز‬ َّ ‫ع‬ ُ ‫ه‬‫ب‬
َّ ‫ر‬
َ ‫ه‬
ِ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫ِى‬‫ق‬َّ ‫ت‬‫ي‬َ َ ‫ال‬ ‫م‬
ٍ ْ
‫ِل‬‫ع‬ ‫ْر‬ِ ِ َ ‫طف‬
‫ي‬ ‫غ‬
َ ‫ب‬ ‫ه‬ِ ‫ل‬ِ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ِى‬ ُ ‫َي ْخ ِب‬
‫س َوا ٌء‬ ُ ْ َ
َ ‫ِى نِيَّتهُ ف ِوز ُره َما فِي ِه‬ ُ َ َ ُ ُ‫ت‬
َ ‫كانَ لِى َمال لعَمِ ل بِعَ َم ِل فَل ٍن – قا َل – ه‬ ْ َ ٌ َ

”Sesungguhnya dunia itu hanya diberikan kepada empat kelompok. (Kelompok pertama), yaitu seorang hamba yang diberi rizki
oleh Allah berupa harta dan ilmu. Dia bertakwa kepada Allah dengan hartanya, menyambung tali silaturahim, dan mengetahui
hak-hak Allah di dalamnya. Inilah kedudukan yang paling baik di sisi Allah. (Kelompok kedua), yaitu yang diberi ilmu oleh
Allah namun tidak diberi harta. Dia berkata, ’Jika aku memiliki harta maka aku akan beramal seperti amalnya Fulan’. Maka
dengan niatnya itu, dia sama dengan kelompok pertama dari sisi pahalanya. (Kelompok ketiga), yaitu yang diberi harta oleh
Allah namun tidak diberi ilmu. Dia seenaknya saja memanfaatkan hartanya, tidak bertakwa kepada Allah dengan hartanya, tidak
menyambung tali silaturahim, dan tidak mengetahui hak-hak Allah di dalamnya. Ini adalah kelompok yang paling buruk di sisi
Allah. (Kelompok keempat) yaitu yang tidak diberi harta dan ilmu. Dia berkata, ’Seandainya aku mempunyai harta, maka aku
akan beramal seperti amalnya Fulan’. Maka dengan niatnya itu, dia sama dengan kelompok ketiga dari sisi dosanya.” (HR.
Ahmad no. 18060. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Arnauth dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Ahmad.)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengomentari hadits ini, ”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi penduduk dunia
ke dalam empat kelompok.

Kelompok pertama, kelompok terbaik di antara mereka. Yaitu yang diberi harta dan ilmu. Dia berbuat baik kepada masyarakat
dan kepada dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya.

Kelompok kedua, kelompok yang diberi ilmu namun tidak diberi harta. Pahala kelompok pertama dan ke dua itu sama karena
niatnya. Jika tidak, maka kelompok pertama yang berinfak dan bersedekah, berada di atas kelompok ke dua karena infak dan
sedekahnya. Orang yang berilmu namun tidak memiliki harta, maka sama pahalanya dengan kelompok pertama dengan niatnya
yang sungguh-sungguh dan ditindaklanjuti dengan apa yang mampu dilakukannya, yaitu mengucapkan niatnya.

Kelompok ketiga, kelompok yang diberi harta namun tidak diberi ilmu. Kelompok ini adalah kelompok yang paling buruk
kedudukannya di sisi Allah. Karena hartanya adalah sarana menuju kehancurannya. Jika dia tidak mempunyai harta, maka itu
lebih baik baginya. Dia diberi sesuatu yang bisa dijadikan sebagai bekal menuju surga, namun justru dia gunakan sebagai bekal
menuju neraka.

Kelompok keempat, yang tidak diberi harta maupun ilmu. Dia berniat bemaksiat kepada Allah jika diberi harta. Maka
kedudukannya lebih rendah daripada orang kaya yang bodoh. Dosanya sama karena niatnya yang sungguh-sungguh dan
ditindaklanjuti dengan apa yang mampu dilakukannya, yaitu ucapan.

Maka Nabi membagi kebahagiaan ke dalam 2 kelompok. Beliau menjadikan ilmu dan amal sebagai sebab untuk meraihnya.
Beliau juga membagi kecelakaan ke dalam 2 kelompok dan menjadikan kebodohan beserta akibat-akibatnya sebagai penyebab
kecelakaannya.
Maka seluruh kebahagiaan kembali kepada ilmu dan konsekuensinya. Dan seluruh kecelakaan kembalinya kepada kebodohan
dan buahnya.” (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 253)

Allah Ta’ala pun memerintahkan kita untuk bergembira dan berbahagia dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah Dia
berikan kepada manusia, berupa ilmu dan amal shalih. Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa keduanya itu lebih baik dari
apa yang telah kita kumpulkan. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َّللاِ َو ِب َرحْ َم ِت ِه فَ ِبذَلِكَ فَ ْل َي ْف َر ُحوا ه َُو َخي ٌْر مِ َّما َيجْ َمعُون‬ ْ َ‫قُ ْل ِبف‬
َّ ‫ض ِل‬

”Katakanlah, ’Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya
itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” dalam ayat di atas
adalah Al-Qur’an, yang merupakan nikmat dan karunia Allah yang paling besar serta keutamaan yang Allah berikan kepada
hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari
apa yang kita kumpulkan berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 367)

Al-Qur’an dan iman ini tidak lain dan tidak bukan adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, ”Iman dan Al-Qur’an, keduanya adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Keduanya adalah petunjuk dan
agama yang benar serta ilmu dan amal yang paling utama.” (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 29)

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, inilah kebahagiaan yang akan membuat kita selalu tersenyum gembira.
Tentu kita semua menginginkan untuk meraih kebahagiaan itu, yaitu kebahagiaan mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya.

Di akhir majelis yang membahas hadits ke-146 dari kitab ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullahu Ta’ala menyampaikan beberapa nasihat penting kepada para penuntut ilmu dengan mengatakan,

“Kita tutup majelis ini dengan beberapa kalimat yang ringkas, aku meminta kepada Allah Ta’ala untuk bisa mengambil manfaat
darinya.

Pertama, aku menyampaikan kabar gembira kepada saudara sekalian yang hadir untuk menuntut ilmu pada zaman ini bahwa
sesungguhnya mereka akan mendapatkan pahala, dan mereka termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ط ِريقًا ِإلَى ْال َج َّن ِة‬ َ ،‫س فِي ِه ع ِْل ًما‬


َ ‫س َّه َل هللاُ لَهُ بِ ِه‬ ُ ِ‫ط ِريقًا يَ ْلتَم‬
َ َ‫سلَك‬
َ ‫َو َم ْن‬

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah Ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim no. 2699)

Lebih-lebih mereka menahan beratnya safar (perjalanan jauh), terpisah dari keluarga dan kampung halaman. Aku berharap kepada
Allah Ta’ala untuk melipatgandakan pahala bagi mereka.

Kedua, sesungguhnya seseorang yang melatih (membiasakan) dirinya untuk menanggung kesulitan selama menuntut ilmu
termasuk dalam ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Karena hal itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

َ‫َّللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ُ ‫صا ِب ُروا َو َرا ِب‬


َّ ‫طوا َواتَّقُوا‬ ْ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا‬
َ ‫ص ِب ُروا َو‬

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 200)

Ketiga, aku berharap agar semua yang hadir dapat mengambil manfaat dari ilmu yang didapatkan. Bukan manfaat dari sisi
hapalan dan pemahaman, dua hal ini insyaa Allah juga ditekankan, akan tetapi (yang lebih penting adalah) manfaat dengan
diamalkan dan (perubahan) akhlak. Karena tujuan dari ilmu adalah untuk diamalkan. Bukanlah maksud dari ilmu adalah sebagai
argumen (hujjah) yang menyudutkan orang yang mempelajarinya (karena tidak diamalkan, pent.).
Wajib atas kalian untuk beramal dengan semua ilmu yang shahih yang telah sampai kepada kalian, sehingga ilmu tersebut
berfaidah, menancap dan kokoh di hati kalian. Oleh karena itu dikatakan,

‫ فإن أجاب و إال ارتحل‬،‫العلم يهتف بالعمل‬

“Ilmu memanggil untuk diamalkan. Jika panggilan itu disambut, ilmu akan tetap. Namun jika panggilan itu tidak disambut, ilmu
akan pergi.”

Perkataan ini benar. Karena jika Engkau mengamalkan ilmumu, maka hal itu akan lebih memperkokoh ilmu dan lebih bermanfaat.
Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menambahkan untuk kalian ilmu, cahaya, dan juga bashirah.

Keempat, demikian pula aku berharap kepada para penuntut ilmu jika sedang menuntut ilmu, hendaknya membantu saudaranya
sesuai dengan kemampuannya dan tidak memiliki penyakit hasad kepada mereka. Janganlah mengatakan, “Jika aku mengajarkan
ilmu kepadanya, aku takut dia menjadi lebih berilmu dibandingkan aku.” Bahkan kami katakan, “Jika Engkau mengajari
saudaramu, Engkau menjadi lebih berilmu darinya.” Karena Allah Ta’ala telah memberikan kepadamu ilmu yang sebelumnya
Engkau tidak mengetahuinya.

Terdapat hadits yang valid dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

َ ‫ع ْو ِن ْالعَ ْب ِد َما َكانَ ْالعَ ْبدُ فِي‬


‫ع ْو ِن أَخِ ي ِه‬ َ ‫َوهللاُ فِي‬

“Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

Jika Engkau menolong saudaramu dengan mengajarkannya suatu masalah (bab) ilmu, Allah Ta’ala akan membantumu dengan
mengajarkan ilmu lainnya yang belum Engkau miliki. Maka janganlah hasad dengan saudaramu, sebarkanlah ilmu di tengah-
tengah mereka, inginkanlah bagi mereka sama seperti apa yang Engkau inginkan bagi dirimu sendiri.”

Menuntut ilmu merupakan suatu pekerjaan yang tidak perlu lagi diragukan akan keuntungan dan keutamaan yang akan diperoleh
darinya. Menuntut ilmu merupakan ciri khas umat terakhir yang menghuni bumi ini, umat Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam. Betapa banyak ayat dan hadits yang membicarakan keuntungan mempelajari syariat Islam. Bahkan tidak ada seorang
muslim pun yang berakal kecuali ia akan senantiasa berpesan kepada karib kerabat dan sahabatnya agar tidak lengah dari
mempelajari syariat. Hal itu karena begitu besarnya keuntungan dalam aktifitas mempelajari syariat Islam.

Dalam Al-Quran, antara lain Allah pernah mengatakan,

ٌ ‫َّللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬


‫ير‬ ٍ ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا مِ ن ُك ْم َو َّالذِينَ أُوتُوا ْالع ِْل َم دَ َر َجا‬
َّ ‫ت ۚ َو‬ َّ ِ‫يَ ْرفَع‬

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11)

Ketinggian derajat di sini mencakup derajat di dunia seperti diberi kedudukan di tengah masyarakat serta keharuman namanya
maupun derajat di akhirat dengan diberikan kedudukan tingga di Surga. (Fath Al-Bari I/141)

Allah juga berfirman,

ِ ‫ِيرا ۗ َو َما يَذَّ َّك ُر إِ َّال أُولُو ْاأل َ ْلبَا‬


‫ب‬ ُ
َ ‫يُؤْ تِي ْالحِ ْك َمةَ َمن يَشَا ُء ۚ َو َمن يُؤْ تَ ْالحِ ْك َمةَ فَقَ ْد أوت‬
ً ‫ِي َخي ًْرا َكث‬

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-
orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah: 269)

Tentang al-hikmah di sini, Mujahid pernah mengatakan, “Maksudnya adalah ilmu dan fiqih.” (Akhlaq Al-‘Ulama hlm. 9)
Di antara firman Allah yang menunjukkan besarnya keuntungan pada aktifitas belajar adalah kewajiban memperdalam dan
menambah ilmu, mengingat firman Allah Ta’ala yang berisi perintah pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

‫وقل رب زدني علما‬

“Katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkan ilmu padaku.” (QS Thaha: 114)

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabi-nya meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu saja, tidak ada yang
lain. Hal ini tentu karena Allah tahu bahwa ada begitu keuntungan besar yang akan diperoleh dalam ilmu. Apalagi kalau bukan
buah takut pada Allah ‘Azza wa Jalla,

‫إنما يخشى هللا من عباده العلمؤا‬

“Di antara hamba-hamba Allah hanya para ulama lah yang takut pada-Nya.” (QS Fathir: 28)

Khasy-yah ini tujuan paling agung dalam menuntut ilmu, bukan untuk berlagak di hadapan orang-orang dengan penuh
kesombongan.

Ayat dapat difahami, khasy-yah seseorang kepada Allah berbanding lurus dengan ilmu yang dimilikinya. Semakin ilmunya luas,
rasa takutnya pada Allah pun semakin kuat pula. Jika sama sekali tidak memeliki ilmu? Sama sekali tidak tahu mana yang halal
dan mana yang haram? Tentu saja segala tindakan dosa bakal mudah diterjangnya tanpa ada rasa khawatir tertimpa azab dan siksa.

Ibaratnya suatu jalan yang kerap terjadi perampokkan dan penyamunan. Orang yang tidak mengetahui bahwa di jalan tersebut
ramai penyamun, ia akan biasa saja melewatinya, tanpa ada sedikit pun rasa takut. Walaupun boleh jadi saat ia lewat sedang tidak
ada penyamun yang mangkal di situ. Di lain hari ia juga akan melewati jalan tersebut dengan perasaan yang sama, aman dan tidak
khawatir. Akan tetapi jika di suatu hari ada orang yang memberinya tahu, bahwa ternyata jalan yang biasa dilaluinya itu banyak
penyamun yang beropreasi di sana, tentu sikapnya akan berobah derasti. Dari yang sebelumnya jalan biasa, kini mulai waspada
dan hati-hati.

Maka dengan bertambahnya ilmu, bertambahlah pula rasa takut pada Allah Ta’ala. Dan Mahasuci Allah dari segala bentuk
permisalan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kerap kali mendorong dan memotofasi umatnya agar terus mempelajari syariatnya.
Antara lain sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah pasti
memberi salah satu jalan menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat mendaratkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu.
Sesungguhnya penduduk langit, bumi, dan ikan hiau yang berada di perut laut senantiasa memintakan ampun bagi seorang
ulama. Sejatinya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah laksana keutamaan rembulan di bulan purnama
atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama merupakan pewaris para nabi. Dan sesungguhnya nabi-nabi tidak pernah
mewariskan dinar maupun dinar. Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, berati ia telah
mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Ad-Darda’ –radhiyallahu ‘anhu-)

Masih banyak lagi nas-nas yang menyebutkan keutamaan ilmu. Kiranya bagi seorang Muslim yang akalnya masih sehat dapatlah
cukup hanya sekedar isyarat saja, tidak seperti orang dungu yang meskipun dibacakan Al-Quran, Injil, Zabur, dan seluruh kitab
Allah tidak akan membuatnya tergugah.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa seorang pelajar yang berjalan dalam rangka menimba dan mempelajari ilmu ada di sana rambu-
rambu yang perlu diperhatikan. Agar apa yang selama ini ia cari tidak berubah menjadi mala petaka bagi dirinya. Akhirnya
sesuatu yang seharusnya membuatnya mulia justru berubah menjadi bencana.

Salah satu adab yang kerap kali dilupakan para pelajar dan penuntut ilmu di zaman ini adalah sikap jujur dan amanah dalam
menuntut ilmu. Padahal dusta yang merupakan lawan dari jujur, dan khianat yang tak lain lawan dari amanah, termasuk sifat yang
paling buruk dan bejat. Seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman tidak mungkin memendam kedua sifat buruk
tersebut. Apatah lagi seorang penuntut ilmu syariat yang selalu dinaungi sayap-sayap para Malaikat dan pemburu warisan para
nabi dan rasul!!
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

َ‫سو َل َوت َ ُخونُوا أ َ َمانَاتِ ُك ْم َوأَنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬


ُ ‫الر‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال تَ ُخونُوا‬
َّ ‫َّللاَ َو‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 26)

Ilmu merupakan salah satu amanah yang benar-benar harus ditunaikan karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh
sebab itu sepantasnya bagi penuntu dan pengembannya dapat mengemban dan menunaikannya dengan penuh kejujuran dan
amanah serta diiringi rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu ia juga harus selalu waspada terjerumus pada
menyandarkan sesuatu atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara zhalim dan tidak benar.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti dan mengancam siapa saja yang berani
berdusta atas namanya. Perkara yang semisal dengan dusta atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah terlau
ceroboh membawakan suatu riwayat dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Bukhari melaporkan dari ‘Ali bin Abu Thalib –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Kalian jangan berdusta atas namaku. Karena sesungguhnya siapa yang berdusta atas namaku, sebaiknya ia
masuk Neraka saja.”

Menurut satu riwayat lain disebutkan, “Hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, tuturnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,

‫ و إن هللا سائلكم يوم القيامة‬، ‫ فإن خيانة أحدكم في علمه أشد خيانة في ماله‬، ‫تناصحوا في العلم‬

“Hendaknya kalian saling memberi nasehat tentang ilmu. Sesungguhnya khianat salah seorang kalian terhadap ilmunya itu lebih
besar daripada pengkhianatannya pada hartanya. Dan sesungguhnya Allah pasti akan memintai kalian pertanggungjawaban pada
hari kiamat.” (Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperbincangkan kepribadiannya)

Ada satu kebiasaan tercela di tengah penuntut ilmu dan masyarakat pada umumnya, yaitu tindakan mereka yang terlalu bermudah-
mudahan memberikan fatwa hanya karena pernah mentelaah suatu permasalahan syariat. Sudah seperti itu, ia menyangka bahwa
dirinya sudah layak mengeluarkan fatwa dan mengkritisi pendapat-pendapat pakar fiqih.

Padahal jika kita melihat bagaimana sikap orang-orang terdahulu yang benar-benar sangat hati-hati memberi fatwa meskipun
keilmuan mereka tidak perlu diragukan lagi, tentu kita akan merasa kerdil dan malu terhadap apa yang ada pada kita. Baru pernah
menghadiri beberapa daurah dan kajian ilmiah serta mengkhatamkan beberapa gelintir buku saja sudah merasa seakan-akan
mebawa lautan ilmu, gampang mengeluarkan fatwa, sembrono menyalahkan orang lain, dan tindakan-tindakan rendahan lainnya.

Disebutkan dalam kitab Adab Al-Mufti wa Al-Mustafti karya Ibnu Ash-Shalah, bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang
mendatangi Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhum– untuk mempertanyakan sesuatu. Maka
Al-Qasim berkata, “Aku bukan pakarnya.”

Orang yang tadi datang pun terus merayu, “Sesungguhnya aku didorong untuk bertanya padamu. Aku tidak mengetahuinya
selainmu.”

Al-Qasim menjawab, “Anda jangan melihat panjangnya janggutku dan padatnya orang di sekelilingku. Demi Allah, aku bukan
pakarnya.”

Kemudian beliau berkata pula, “Demi Allah, sekiranya lisanku dipotong itu lebih kusukai daripada aku harus berbicara tanpa ilmu
tentangnya.”

Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id pernah mengatakan, “Orang yang paling gampang mengeluarkan fatwa adalah orang
yang paling minim ilmunya.”
Al-Haitsam bin Jamil berkata, “Aku menyaksikan Malik bin Anas diberi pertanyaan sebanyak 48 masalah. 32 masalah di
antaranya beliau katakan, ‘Aku tidak tahu.’”

Berfatwa tanpa ilmu kerap kali menyebabkan lahirnya kesesatan dan kedustaan. Boleh jadi menghalalkan yang seharusnya haram
atau mengharamkan yang seharusnya halal.

Allah Ta’ala berfirman,

‫عذَابٌ أَلِي ٌم‬ َ ‫َّللاِ ْال َكذ‬


َ ‫ِب َال يُ ْف ِلحُونَ * َمت َاعٌ َقلِي ٌل َولَ ُه ْم‬ َّ ‫علَى‬ َ ‫َّللاِ ْال َكذ‬
َ َ‫ِب ۚ إِ َّن الَّذِينَ يَ ْفت َُرون‬ َ ‫ِب ٰ َهذَا َح ََل ٌل َو ٰ َهذَا َح َرا ٌم ِلت َ ْفت َُروا‬
َّ ‫علَى‬ َ ‫ف أ َ ْل ِس َنت ُ ُك ُم ْال َكذ‬ ِ ‫َو َال تَقُولُوا ِل َما ت‬
ُ ‫َص‬

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS An-Nahl: 116-117)

Agar dapat menimimalisir berbicara tanpa ilmu atau berdusta atas nama seseorang adalah dengan selalu memusatkan perhatian
ketika menghadiri pengajian atau ketika pelajaran tengah berlangsung. Bukan malah datang ke pengajian atau kelas hanya untuk
kemudian dijadikan sebagai ajang lomba tidur. Atau hal yang serupa adalah dengan banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran
tengah berlangsung. Seperti misalnya banyak main HP, ngobrol dengan sesama hadirin, banyak izin keluar kelas karena alasan
yang tidak masuk akal, atau bahkan hanya sekedar setor muka di hadapat sang guru. Tindakan-tindakan semacam ini sangat tidak
layak dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai penuntut ilmu.

Kemudian banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung hanya akan mengganggu konsenterasi memahami
penjelasan sang guru. Apalagi permasalahan yang sedang dibahas terhitung rumit dan sulit yang tidak hanya memerlukan
kesadaran penuh, namun juga konsenterasi dan berfungsinya akal pikiran secara sempurna. Bahkan jika perlu, tidak hanya suara
guru yang didengar, namun juga gerak-gerik bibir guru juga diperhatikan agar tidak ada satu huruf pun yang salah terdengar.
Karena biasanya satu kalimat saja luput dari penangkapan indera, dapat mempengaruhi pemahaman seseorang. Apalagi mereka
yang pemahamannya standart. Yang seharusnya hukumnya A, malah difahami hukumnya B. Dan demikianlah seterusnya.

Maka ketika sudah salah menangkap penjelasan sang guru, bisa jadi ketika keluar dari pengajian dan kelas pelajaran, langsung
menyampaikan apa yang ditangkapnya dari sang guru. Hasilnya tidak dapat tidak, ia telah berkata dusta atas nama gurunya.
Padahal sang guru berlepas diri dari apa yang ditangkapnya itu.

Apalagi di zaman modert seperti saat ini. Ketika media-media informasi mudah didapat, seperti facebook dan twitter. Berapa
banyak Anda jumpai mereka yang baru saja keluar dari pengajian atau daurah, langsung update di akun jejaringan sosial yang
dimilikinya. Bahkan penulis pernah menjumpai orang yang sudah terburu-buru update ketika pelajaran tengah berlangsung. Iya
kalau apa yang ia tangkap dari sang guru sesuai realita, jika ternyata berbedar bagaimana?!

Dalam hal ini penulis tidak menyalahkan mereka yang menebar ilmu di jejaringan sosial, akan tetapi alangkah baiknya jika apa
yang ditulis itu benar-benar sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak ada penambahan ataupun pengurangan yang bersifat sia-sia,
apalagi diotak-atik seperti kebiasaan ahlul bida’ wal ahwa’ (baca: pelaku bid’ah dan pengekor hawa nafsu) yang kerap mengotak-
atik teks-teks Al-Quran dan hadits shahih.

Pernah suatu kali salah seorang dosen kami, Syaikh ‘Ali Hufaizh, menceritakan ketika beliau tengah mengisi suatu pengajian di
sebuah masjid. Karena suaranya yang tinggi, sehingga orang-orang di luar masjid yang berlalu lalang pun dapat mendengarnya. Di
kemudian hari salah seorang yang mendengar suatu penjelasan beliau dari luar masjid menyampaikan sesuatu pada orang lain.
Satu permasalah penting. Ketika hal tersebut didengar oleh Syaikh, ternyata beliau mengingkarinya. Bukan seperti itu penjelasan
yang beliau pernah sampaikan saat itu.

Hal lain yang perlu diperhatikan selain satu hal di atas adalah saat membaca buku. Membaca buku juga sangat diperlukan sikap
kehati-hatian. Sebaiknya seorang yang membaca buku selau memusatkan perhatiannya pada apa yang tengah dibacanya. Bukan
sekedar membaca tanpa ada keseriusan. Oleh sebab itu, seyogyanya membaca buku bukan saja target cepat selesai dan banyaknya
buku yang dikhatamkan, namun juga target memahami buku yang dibacanya hingga benar-benar faham. Jika ada hal-hal yang
kiranya sulit difahami sendiri, alangkah baiknya jika ia menanyakannya pada seorang yang ahli di bidangnya. Membaca sedikit
dengan disertai pemahaman yang benar itu lebih baik daripada banyak khatam kitab namun salah tangkap.
Sungguh betapa indahnya syair yang mengatakan,

‫أقول زيدا فيسمعه عمروا *** و يكتبه بكرا و يقرؤه بدرا‬

Aku katakan Zaid, dia malah mendengarnya ‘Amr

Lalu ia menulisnya Bakr namun dibacanya Badr

Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rizki pada kita semua berupa sikap amanah, jujur, dan khasy-yah pada-Nya,
serta memberikan kita kecintaan pada ilmu dan mengamalkannya. Sesungguhnya hanya Dia jualah Dzat yang Mahamengabulkan
doa. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. []

Menuntut ilmu syar’i merupakan amal yang sangat mulia, bahkan seorang yang pergi menuntut ilmu seperti halnya orang yang
pergi berjihad sampai ia kembali. Namun perbuatan yang baik ini jika tidak diiringi dengan metode belajar yang benar justru akan
menjadi tidak teratur dan semrawut. Maka dari itu sangat penting bagi setiap penuntut ilmu untuk memperhatikan bagaimanakah
cara belajarnya.

Ilmu Didapat Secara Bertahap

Seseorang yang tidak sabar ingin menelaah seluruh judul buku/kitab kerap kali berbuntut pada kebosanan dan dan akhirnya malah
putus. Semangatnya begitu membara di awal, tetapi setelah itu padam tanpa bekas. Jadi sebenarnya apa masalahnya? Masalahnya
adalah metode pembelajaran yang tidak berjenjang dan tidak memprioritaskan penguatan kaidah dasar (ta’shili), yaitu bertahap
dimulai dari tahap awal kemudian meningkat ke jenjang yang lebih tinggi dan seterusnya. Dan adalah seorang yang cerdas ia
mengambil ilmu sedikit demi sedikit sesuai dengan kadar kemampuannya, dengan semangat juang yang tinggi. Karena ilmu itu
seperti tangga, untuk bisa mencapai bagian puncak dari tangga maka ia harus memanjat dari bawah terlebih dahulu, jika ia
memaksakan untuk langsung menuju puncak, maka ia tidak akan mampu atau akibatnya ia akan celaka.

Ketahuilah, jika engkau tergesa-gesa ingin memasukkan seluruh pelajaranmu, niscaya engkau justru akan kehilangan seluruhnya,
karena ilmu didapat seiring dengan berjalannya siang dan malam, seteguk demi seteguk dengan penuh kesabaran, bukan sekali
dua kali duduk atau sekali dua kali baca. Ingatlah firman Allah, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib
yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka
bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Mulailah dari yang Paling Penting

Dalam Ilmu dien, maka seseorang harus menguasai dasar yang kokoh sebagai bekal baginya untuk mendalami Ilmu syariat.
Barangsiapa tidak memulai dari hal yang mendasar/pokok, maka ia tidak akan mendapatkan cabangnya. Hal terpenting yang harus
engkau pelajari saat ini adalah ilmu tauhid, karena tauhidlah sumber kebahagiaan dunia dan akherat. Selain itu, kenalilah lawan
dari tauhid yaitu syirik dengan perinciannya. Sebab jika engkau tidak kenal dengan syirik maka secara tidak sadar engkaupun
jatuh di dalamnya.

Bergurulah!!

Adakalanya seseorang belajar ilmu syar’i hanya dari buku yang ia baca semata. Metode ini memiliki beberapa sisi negatif, di
antaranya yaitu butuh waktu yang lama, ilmunya lemah, dan kadang kita jumpai seseorang yang seperti ini banyak terjatuh dalam
kesalahan karena lemahnya pemahaman atau karena buku yang dibacanya sesat dan menyesatkan. Dengan adanya guru, maka
dialah yang akan membimbingmu dan membetulkanmu jika engkau salah dan waktu yang engkau butuhkan untuk belajar menjadi
lebih singkat.

Hendaklah seseorang melihat kepada siapa ia mengambil ilmu, carilah guru yang berakidah dan bermanhaj sebagaimana para
sahabat, memegang teguh sunnah Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam, jauh dari hawa nafsu, lepas dari kebid’ahan dan
memiliki cara mengajar yang baik.

(Disarikan dari Kitabul-Ilmi Syaikh Utsaimin dan dari kajian-kajian ilmiah)


Menuntut Ilmu Agama adalah Ibadah yang Mulia

Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu agama adalah ibadah yang mulia. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menuntut
ilmu dan orang yang berilmu. Allah Ta’ala berfirman:

ٍ ‫َّللاُ الَّذِينَ آ َمنُوا مِ ْن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا ْالع ِْل َم دَ َر َجا‬


‫ت‬ َّ ِ‫يَ ْرفَع‬

“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu di antara kalian” (QS.
Al-Mujadalah: 11).

Namun perlu diketahui bahwa dalam menuntut ilmu, diperlukan manhaj (metode) yang benar agar dapat meraih kesuksesan dalam
menuntut ilmu syar’i dan akan menguatkan keistiqamahan seorang penuntut ilmu untuk terus menuntut ilmu syar’i. Syaikh Shalih
bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan, “Kami melihat banyak pemuda yang mulai semangat dan gemar untuk menuntut
ilmu. Namun banyak di antara mereka yang tidak paham bagaimana cara yang benar dalam menuntut ilmu. Di antara mereka ada
yang sudah melalui waktu yang lama atau bertahun-tahun dalam menuntut ilmu namun tidak meraihnya kecuali sedikit saja, yang
kadar itu bisa didapatkan oleh orang lain dengan waktu yang singkat. Sebabnya adalah karena mereka tidak menjalani manhaj
(metode) yang benar dalam menuntut ilmu” (Ath-hariq ila Nubughil Ilmi, 13).

Metode yang Benar Dalam Menuntut Ilmu Agama

Hendaknya para penuntut ilmu syar’i dalam mempelajari agama mereka menerapkan metode yang benar sebagaimana yang
digariskan oleh para ulama. Bukan menuntut ilmu sekenanya atau tanpa arah.

Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh memberikan tiga poin garis besar metode menuntut ilmu yang benar:

1. Ikhlas kepada Allah

Beliau mengatakan, “Menuntut ilmu syar’i adalah ibadah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ضا بما يصنَ ُع‬


ً ‫ب الع ِِلم ر‬ َ ‫إن المَلئكةَ ت‬
ِ ‫ض ُع أجنحت َها لطال‬ َّ

“Sesungguhnya para Malaikat mereka melebarkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena ridha dengan apa
yang mereka lakukan” (HR. Ibnu Hibban no. 1321, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6297).

Dan ibadah ini agar diterima dan diberi taufik oleh Allah wajib untuk ikhlas kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Yaitu hendaknya ia tidak
menuntut ilmu karena untuk meraih suatu kedudukan duniawi, atau karena sum’ah (ingin dipuji), atau karena ingin menjadi
pengajar, atau karena ingin menjadi dosen, atau karena ingin terkenal, atau karena ingin menjadi orang yang sering mengisi
pengajian, atau semacamnya. Hendaknya ia dalam menuntut ilmu meniatkannya dalam rangka ibadah kepada Allah Ta’ala dan
untuk menghilangkan kejahilan dari dirinya sehingga ia beribadah kepada Allah di atas ilmu” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 17).

Imam Ahmad bin Hambal ditanya: “bagaimanakah bentuk ikhlas dalam menuntut ilmu”. Beliau menjawab:,

‫ {أمن هو قانت هلل ساجدا وقائما يحذر اْلخرة ويرجو رحمة ربه قل هل يستوي‬:‫اإلخَلص فيه أن ينوي رفع الجهالة عن نفسه ألنه ال يستوي عالم وجهول قال جل وعَل‬
{‫ {يرفع هللا الذين آمنوا والذين أوتوا العلم درجات‬:‫الذين يعلمون والذين ال يعلمون} وقال جل وعَل في آية المجادلة‬

“Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah seseorang menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirinya. Karena tidak sama antara
orang yang alim (berilmu) dengan orang jahil. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman (yang artinya): “(Apakah kamu hai orang musyrik
yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az Zumar: 9). Ia juga berfirman (yang artinya): ‘Allah meninggikan derajat orang-orang
yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu di antara kalian’ (QS. Al Mujadalah: 11)” (dinukil dari Ath-Thariq
ila Nubughil Ilmi, 17)

2. Menuntut ilmu dengan perlahan dan bertahap

Imam Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang ulama kibar tabi’in, berkata kepada muridnya yaitu Yunus bin Yazid,
‫ فإن من رام اخذه جملة ذهب عنه جملة‬، ‫ وال تأخذ العلم جملة‬،‫ ولكن خذه مع األيام والليالي‬، ‫ فأيها أخذت فيها قطع بك قبل أن تبلغه‬، ‫ ال تكابر العلم فإن العلم أودية‬,‫يا يونس‬
، ‫ولكن الشيء بعد الشيء مع األيام والليالي‬

“Wahai Yunus janganlah engkau sombong di hadapan ilmu. Karena ilmu itu bagaikan lembah-lembah. Jika engkau berusaha
melaluinya sekaligus, engkau akan terhenti sebelum mencapainya. Namun laluilah ia berhari-hari. Janganlah mengambil ilmu
dengan sekaligus, karena barangsiapa yang mengambil ilmu dengan sekaligus, maka akan hilang darinya sekaligus. Namun
ambilah sedikit-demi-sedikit, bersamaan dengan hari-hari dan malam-malammu” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhilih, 1/104, dinukil
dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 18-19).

Dan sikap demikian disebut juga taraffuq bil ilmi, bersikap lembut dan perlahan dalam menuntut ilmu.Di antara bentuk sikap yang
tidak taraffuq bil ilmi misalnya seseorang pemula dalam menuntu ilmu, ketika ia ingin belajar ilmu tafsir ia lalu membuka Tafsir
Ath-Thabari. Kitab Tafsir Ath-Thabari adalah kitab tafsir yang besar yang di dalamnya memuat hampir semua nukilan tafsir.
Hasilnya, ketika orang ini ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, tidak ada yang terlintas dalam benaknya melainkan hanya sedikit
saja. Ia tidak bisa menjelaskan dan mendudukan tasfirnya dengan benar dan tepat.

Di antara bentuk sikap yang tidak taraffuq bil ilmi juga seorang pemula dalam ilmu fiqih langsung belajar kitab Al-Mughni karya
Ibnu Qudamah, atau Al-Majmu karya An-Nawawi. Atau seorang pemula dalam ilmu hadits, langsung belajar kitab Nailul Authar
karya Asy-Syaukani atau kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh menjelaskan, “kitab-kitab besar seperti ini yang bisa memahami pembahasan di dalamnya adalah
para ulama. Adapun penuntut ilmu pemula, hendaknya tidak membacanya dari awal hingga akhir. Karena tidak diragukan lagi
bahwa dalam memahami kitab-kitab ini perlu penelaahan yang perlu merujuk pada kitab-kitab yang besar lainnya, maka
hendaknya penuntut ilmu pemula tidak melakukan qira’ah sardan (sekedar membaca dengan cepat dari awal hingga akhir).
Demikian juga penuntut ilmu pemula jangan menyibukkan diri dengan tafshilaat (rincian masalah secara mendalam). Karena jika
ia sibuk dengan tafshilaat, ia akan melupakannya dan tidak membuahkan ilmu. Karena ia belum memiliki dasarnya” (Ath-Thariq
ila Nubughil Ilmi, 20-21).

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫َولَك ِْن ُكونُوا َربَّانِيِينَ بِ َما ُك ْنت ُ ْم تُعَ ِل ُمونَ ْال ِكت‬
َ‫َاب َوبِ َما ُك ْنت ُ ْم تَد ُْرسُون‬

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbaniyyun, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya” (QS. Al Imran: 79).

Imam Al Bukhari menjelaskan makna rabbaniyyun,

‫ هذا الرباني في العلم والتدريس‬،‫الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره‬

“Orang yang Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu tingkat lanjut. Inilah
orang yang Rabbani dalam menuntut ilmu dan dalam mengajarkan ilmu” (lihat dalam Shahih Al-Bukhari Bab “Al-Ilmu Qablal
Qaul Wal ‘Amal” no. 10, dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 21).

3. Hendaknya terus-menerus dalam menuntut ilmu dan menyediakan waktu khusus untuk menuntut ilmu

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan, “hendaknya seorang penuntut ilmu menyediakan waktu khusus untuk menuntut ilmu
dengan waktu-waktu yang paling berharga yang ia miliki dan bukan waktu-waktu sisa yang ketika itu pikirannya sudah lelah dan
pemahamannya sudah lemah. Maka, berikanlah waktu terbaik untuk menuntut ilmu, yang ketika itu pikiran masih cemerlang. Dan
hendaknya seorang penuntut ilmu itu senantiasa terngiang perkara ilmu dalam pikirannya, baik siang maupun malam. Pikirannya
disibukkan dengan ilmu, ambisinya pun terhadap ilmu. Jika ia ingin tidur ia berbaring dan di sampingnya ada kitab yang sedang ia
ingin pelajari pembahasannya. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan,

‫إذا رأيت كتب طالب العلم مرتبة فاعلم أنه هاجر له‬

“Jika engkau melihat seorang penuntut ilmu selalu bersama dengan kitab-kitabnya, ketahuilah ia adalah orang yang sedang
berhijrah menuju ilmu” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 22).
Dalam hal ini Syaikh Shalih membagi waktu menjadi tiga macam,
1. Awqat jalilah (waktu yang paling cemerlang), yang ketika itu pikiran seseorang berada dalam kondisi paling prima.
Maka di waktu ini seorang penuntut ilmu hendaknya memilih untuk belajar pelajaran yang butuh pemikiran yang pelik,
seperti ilmu akidah, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu nahwu.
2. Awqat mutawashithah (waktu yang pertengahan), yang ketika itu pikiran seseorang tidak paling cemerlang, namun juga
tidak lemah dan lelah. Maka di waktu ini seorang penuntut ilmu hendaknya memilih untuk belajar pelajaran yang tidak
membutuhkan pemikiran yang pelik seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ilmu musthalah hadits.
3. Awqat dha’ifah (waktu lemah), yang ketika itu pikiran seseorang dalam kondisi lemah dan lelah. Maka di waktu ini
hendaknya ia belajar kitab-kitab adab (akhlak), tarajim (biografi), tarikh (sejarah), sirah Nabawiyah, dan wawasan
umum.

Dengan demikian seluruh waktu akan penuh dengan ilmu.

Beliau menjelaskan, “Dengan demikian, ciri sifat penuntut ilmu adalah ia senantiasa memikirkan ilmu. Ia tidak memberikan
sebagian waktunya saja untuk ilmu, namun ia memberikan seluruh waktunya atau mayoritas waktunya untuk ilmu, di masa
mudanya. Yang masa muda ini adalah masa-masa dihasilkannya banyak ilmu. Oleh karena itu para ulama mengatakan,

‫اعط العلم كلك و يعطيك بعضه‬

“Berikanlah lelahmu pada ilmu, maka ilmu akan memberikan sebagian dari dirinya”

Karena ilmu itu luas, pembahasan dalam ilmu syar’i itu banyak. Sampai-sampai sebagian ahli hadits masih menyampaikan hadits
ketika ia sudah terbaring sakaratul maut” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 24).

Imam Ahmad ketika beliau sakit di masa-masa menjelang wafatnya, beliau terkadang merasakan rasa sakit yang hebat sehingga
beliau terkadang mengaduh-aduh. Lalu ketika datang sebagian muridnya mereka meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari
Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu ‫كان يكره األنين‬

“bahwasanya beliau (Anas bin Malik) tidak menyukai al-aniin (mengaduh-aduh ketika sakit)”

Imam Ahmad belum pernah mendengar hadits itu sebelumnya, kecuali ketika beliau hendak wafat” (lihat Shifatus Shafwah, 2/357,
dan Al-Minhaj Al-Ahmad, 1/95, dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 25).

Inilah tiga kiat penting yang hendaknya diperhatikan oleh para penuntut ilmu agar ia sukses dalam meraih ilmu syar’i.

Semoga bermanfaat, wa billahi at taufiq was sadaad.

Diringkas dari kitab Ath-Thariq ilan Nubughil Ilmi karya Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh

Termasuk hikmah dari Allah bahwasanya tingkatan semangat seseorang, motivasi, keinginan dan konsentrasi untuk mencari ilmu
dan meraihnya, berbeda dan bervariasi antara satu waktu dengan waktu lainnya, sepanjanga hari, pekan dan bulan. Itulah
sebabnya di sebagian waktu seseorang merasakan kenikmatan jiwa yang menakjubkan, cepat paham dan kuat dalam menghafal
dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain.

Dengan demikian, seyogyanya seorang penuntut ilmu memilih waktu yang sesuai untuk konsumsi ilmiahnya. Memilih metode
yang sesuai untuk belajar di waktu tersebut. Karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya termasuk menyia-nyiakan waktu
dan memboroskan tenaga. Berikut adalah sebagian dari wasiat ulama salaf berkenaan dengan masalah ini.

Al Khathib Al Baghdadi berkata,

‫ وأوقات الجوع أحمد للتحفظ من أوقات الشبع‬،‫ وحفظ الليل أصلح من حفظ النهار‬.‫ وبعدها الغدوات دون العشيات‬،‫ ثم بعدها وقت انتصاف النهار‬،‫ األسحار‬:‫فأجود األوقات‬

“waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, di tengah hari, kemudian di pagi hari. Menghafal di waktu malam
lebih baik dari waktu siang. Dan waktu lapar lebih baik dari waktu kenyang” (Al Faqih wal Mutafaqqih, 2/103).
Imam Ibnu Jama’ah berkata,

‫ وأجود األوقات للحفظ األسحار وللبحث اإلبكار وللكتاب وسط النهار وللمطالعة والمذاكرة‬.‫أن يقسم أوقات ليله ونهار ويغتنم ما بقي من عمره فإن بقية العمر ال قيمة له‬
‫الليل‬

“(termasuk ada seorang penuntut ilmu) adalah membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan sis umurnya. Karena sisa
umur tidak ternilai harganya baginya. Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, waktu pagi untuk penelitian,
tengah hari untuk menulis, dan malam untuk menelaah serta mudzakarah (mengulang)” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallimin).

Ibnul Jauzi berkata,

‫ وأوقات الجوع خير من‬،‫ والغدوات خير من العشيات‬،‫ وأنصاف النهار‬،‫ وأفضلها عادة األسحار‬،‫ وما يقاربه من أوقات الزمان‬،‫ فأفضلها الصبا‬،‫وللحفظ أوقات من العمر‬
‫أوقات الشبع‬

“dalam menghafal ada waktu-waktunya, yang paling baik adalah ketika masih kecil, atau yang masih mendekati itu lebih baik dari
rentang usia yang lain. Dan yang paling baik adalah ketika waktu sahur dan tengah hari. dan waktu-waktu pagi hingga siang, lebih
baik dari siang hingga sore. waktu lapar lebih baik dari waktu kenyang” (Shaidul Khathir, 580).

Khalil bin Ahmad berkata, “waktu pikiran paling jernih adalah waktu sahur” (Wafayatul A’yan, 1/173).

Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “waktu untuk menghadap Allah adalah ketika terbebas dari gangguan alami (fisik) seperti
ketika sangat lapar, sangat kenyang, sangat mengantuk, terlalu capek. Atau gangguan pikiran, seperti telinga yang bising karena
suara ribut, pandangan yang dipenuhi dengan gambar-gambar berwarna-warni dan dari bisikan-bisikan lainnya” (Hujjatullahil
Balighah).

[Kitab Kaifa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Asy Syar’i karya Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu Abdillah hal 161-162 ]

Makna adab

Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan:

ِ ‫َار ِم ْاأل َ ْخ ََل‬


‫ق‬ ِ ‫ع ْنهُ ِبأَنَّهُ ْاأل َ ْخذُ ِب َمك‬
َ ‫ض ُه ْم‬ َ ‫َو ْاألَدَبُ ا ْستِ ْع َما ُل َما يُحْ َمدُ قَ ْو ًال َوفِ ْع ًَل َو‬
ُ ‫عب ََّر َب ْع‬

“Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga
mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia” (Fathul Bari, 10/400).

Dalil wajibnya menerapkan adab dalam menuntut ilmu

Dalil-dalil dalam bab ini ada mencakup:

1. Dalil-dalil tentang perintah untuk berakhlak mulia

Diantaranya: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‫أكم ُل المؤمنين إيمانًا أحسنُهم ُخلقًا‬

“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata:
“hasan shahih”).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‫ق‬


ِ ‫كار َم األخَل‬ ِ ُ‫إنَّما بعثت‬
ِ ‫ألتم َم َم‬

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash
Shahihah, no. 45).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‫الفاحش البذي َء‬


َ ‫ِض‬
ُ ‫وإن هللاَ يُبغ‬ َ ‫يوم القيام ِة ُخلُ ٌق ح‬
َّ ٌ‫سن‬ َ ‫ميزان المؤمِ ِن‬
ِ ِ ‫إن أثقَ َل ما ُو‬
‫ضع في‬ َّ

“Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak
menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).
2. Dalil-dalil tentang perintah untuk memuliakan ilmu dan ulama

Diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman: ‫َّللاِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َر ِب ِه‬


َّ ‫ت‬ ِ ‫َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُح ُر َما‬

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”
(QS. Al Hajj: 30).

ِ ‫َّللاِ فَإِنَّ َها مِ ْن ت َ ْق َوى ْالقُلُو‬


Allah Ta’ala berfirman: ‫ب‬ َ ‫َو َم ْن يُ َع ِظ ْم‬
َّ ‫ش َعائ َِر‬

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).

ِ ‫َوالَّذِينَ يُؤْ ذُونَ ْال ُمؤْ مِ نِينَ َو ْال ُمؤْ مِ نَا‬


Allah Ta’ala berfirman: ‫ت بِغَي ِْر َما ا ْكت َ َسبُوا فَقَ ِد احْ ت َ َملُوا بُ ْهت َانًا َوإِثْ ًما ُمبِينًا‬

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).

ِ ‫ من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحر‬: ‫إن هللاَ قال‬


Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‫ب‬ َّ

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari
no. 6502).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan: ‫إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء هللا فليس هلل ولي‬

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan
Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Urgensi adab penuntut ilmu

1. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong mendapatkan ilmu

Abu Zakariya An Anbari rahimahullah mengatakan: ‫ و أدب بَل علم كروح بَل جسد‬،‫علم بَل أدب كنار بَل حطب‬

“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” (Adabul Imla’ wal Istimla’ [2],
dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [10]).

Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan: ‫باألدب تفهم العلم‬

“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil
Ilmi [17]).

Sehingga belajar ada sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah
mengatakan: ‫تعلم األدب قبل أن تتعلم العلم‬

“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17])

2. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu

Dengan adab dalam menuntut ilmu, maka ilmu menjadi berkah, yaitu ilmu terus bertambah dan mendatangkan manfaat.

Imam Al Ajurri rahimahullah setelah menjelaskan beberapa adab penuntut ilmu beliau mengatakan:

‫حتى يتعلم ما يزداد به عند هللا فهما في دينه‬


“(hendaknya amalkan semua adab ini) hingga Allah menambahkan kepadanya pemahaman tentang agamanya” (Akhlaqul Ulama
[45], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [12]).

3. Adab merupakan ilmu dan amal

Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari ilmu, karena bersumber dari dalil-dalil. Dan para ulama juga membuat kitab-
kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu yang mesti diamalkan tidak hanya
diilmui. Sehingga perkara ini mencakup ilmu dan amal.

Oleh karena itu Al Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan: ‫أنتم إلى يسير األدب احوج منكم إلى كثير من العلم‬

“Kalian lebih membutuhkan adab yang sedikit, dari pada ilmu yang banyak” (Syarafu Ash-habil Hadits [122], dinukil dari Min
Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).

4. Adab terhadap ilmu merupakan adab kepada Allah dan Rasul-Nya

Sebagaimana dalil-dalil tentang memuliakan ilmu dan ulama yang telah kami sebutkan.

5. Adab yang baik merupakan tanda diterimanya amalan

Seorang yang beradab ketika menuntut ilmu, bisa jadi ini merupakan tanda amalan ia menuntut ilmu diterima oleh Allah dan
mendapatkan keberkahan. Sebagian salaf mengatakan: ‫األدب في العمل عَلمة قبول العمل‬

“Adab dalam amalan merupakan tanda diterimanya amalan” (Nudhratun Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169).

60 adab penuntut ilmu syar’i

Berikut ini 60 adab-adab bagi penuntut ilmu syar’i yang kami sarikan dari kitab Al Mu’lim fi Adabil Mu’allim wal Muta’allim
karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif Alu Asy Syaikh rahimahullah.

1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi.
Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.
2. Hendaknya memiliki percaya diri yang kuat.
3. Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Seperti shalat berjamaah di masjid,
menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika
mendapatkan gangguan dalam dakwah
4. Berakhlak dengan akhlak yang mulia sebagaimana yang dianjurkan dalam nash-nash syariat. Yaitu hendaknya penuntut
ilmu itu: zuhud terhadap dunia, dermawan, berwajah cerah (tidak masam), bisa menahan marah, bisa menahan gangguan
dari masyarakat, sabar, menjaga muru’ah, menjauhkan diri dari penghasilan yang rendahan, senantiasa wara, khusyuk,
tenang, berwibawa, tawadhu’, sering memberikan makanan, iitsar (mendahulukan orang lain dalam perkara dunia)
namun tidak minta didahulukan, bersikap adil, banyak bersyukur, mudah membantu hajat orang lain, mudah
memanfaatkan kedudukannya dalam kebaikan, lemah lembut terhadap orang miskin, akrab dengan tetangga
5. Senantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnya
6. Senantiasa merutinkan adab-adab Islam dalam perkataan dan perbuatan, baik yang nampak maupun tersembunyi. Seperti
tilawah Al Qur’an, berdzikir, doa pagi dan petang, ibadah-ibadah sunnah, dan senantiasa memperbanyak shalawat
7. Membersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri),
meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar
kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-
lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan
diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik
golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.
8. Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan
muru’ah.
9. Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil, tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia, sederhana
dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya.
10. Menjaga jarak dengan para penguasa dan hamba-hamba dunia, dalam rangka menjaga kemuliaan ilmu. Sebagaimana
dilakukan para salaf terdahulu. Jika memang ada kebutuhan untuk itu maka hendaknya ketika ada maslahat yang besar
disertai niat yang lurus.
11. Sangat-sangat menjauhkan diri dari perkara-perkara bid’ah, walaupun sudah menjadi kebiasaan mayoritas orang.
12. Perhatian dan fokus utamanya adalah mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk akhiratnya. Menjauhkan diri dari ilmu
yang tidak bermanfaat.
13. Mempelajari apa saja yang bisa merusak amalan, kemudian menjauhinya.
14. Makan makanan dengan kadar yang sedikit saja, dari makanan yang halal dan jauh dari syubhat. Ini sangat membantu
seseorang untuk memahami agama dengan baik.
15. Banyaknya makan menyebabkan kantuk, lemah akal, tubuh loyo, dan malas.
16. Mempersedikit makan makanan yang bisa menyebabkan lemah akal dan memperbanyak makanan yang menguatkan akal
seperti susu, mushtoka, kismis dan lainnya.
17. Mempersedikit waktu tidurnya, selama tidak membahayakan tubuhnya. Hendaknya tidur sehari tidak lebih dari 8 jam.
Tidak mengapa penuntut ilmu merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan pandangannya jika merasa lelah (dalam aktifitas
belajar) atau merasa lemah untuk melanjutkan. Dengan melakukan refreshing dan rekreasi sehingga ia bisa kembali fit
dalam menjalankan aktifitasnya lagi. Namun tidak boleh membuang-buang waktunya untuk itu (liburan).
18. Senantiasa bersungguh-sungguh untuk menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan membaca, menelaah, menghafal,
mengulang pelajaran dan aktifitas lainnya
19. Aktifitas-aktifitas yang lain dan juga sakit yang ringan, hendaknya tidak membuat seorang penuntut ilmu bolos
menghadiri kajian atau lalai dari membaca dan mengulang pelajaran.
20. Bersungguh-sungguh untuk bersuci dari hadats dan najis ketika menghadiri kajian, badan dan pakaiannya dalam keadaan
bersih serta wangi. Menggunakan pakaiannya yang terbaik, dalam rangka untuk mengagungkan ilmu.
21. Bersungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari sikap minta-minta kepada orang lain walaupun dalam kondisi sulit
22. Mempersiapkan diri, memikirkan dan merenungkan hal yang ingin disampaikan sebelum diucapkan agar tidak terjatuh
dalam kesalahan. Terlebih jika ada orang yang hasad kepadanya atau orang yang memusuhinya yang akan menjadikan
ketergelincirannya sebagai senjata.
23. Tidak bersikap sombong dengan enggan mengambil ilmu dan faidah dari orang yang lebih rendah kedudukannya atau
lebih muda usianya atau lebih rendah nasabnya atau kurang populer atau lebih rendah ilmunya dari kita
24. Tidak malu bertanya tentang masalah yang belum diketahui
25. Taat kepada kebenaran dan rujuk kepada kebenaran ketika keliru, walaupun yang mengoreksi kita adalah penuntut ilmu
pemula
26. Meninggalkan debat kusir dan adu argumen
27. Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran hati, agar hatinya bisa menerima ilmu dengan baik
28. Memanfaatkan dengan baik waktu-waktu senggang dan waktu-waktu ketika badan fit. Juga memanfaatkan dengan baik
waktu muda dan otak masih cemerlang.
29. Memutuskan dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan sehingga lalai dari menuntut ilmu, atau penghalang-
penghalang yang membuat menuntut ilmu tidak maksimal
30. Senantiasa mengedepankan sikap wara (meninggalkan yang haram, makruh dan syubhat) dalam semua hal. Memilih
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang dipastikan halalnya.
31. Mengurangi sikap terlalu banyak bergaul, terutama dengan orang-orang yang banyak main-mainnya dan sedikit
seriusnya. Hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang-orang yang bisa ia berikan manfaat atau bisa mendapatkan
manfaat dari mereka.
32. Bersikap hilm (tenang) dan anah (hati-hati dalam bersikap) serta senantiasa sabar
33. Hendaknya senantiasa bersemangat dalam menuntut ilmu dan menjadikan aktifitas menuntut ilmu sebagai rutinitasnya di
setiap waktunya, baik ketika tidak safat ataupun ketika safar
34. Hendaknya memiliki cita-cita yang tinggi untuk akhirat. Tidak hanya puas dengan sesuatu yang sedikit jika masih
mampu menggapai yang lebih. Dan tidak menunda-nunda dalam belajar, bersemangat mencari faidah ilmu walaupun
sedikit
35. Tidak berpindah ke kitab yang lain sebelum menyelesaikan dan menguasai kitab yang sedang dipelajari
36. Tidak mempelajari pelajaran yang belum dimampui. Belajar dari yang sesuai dengan kadar kemampuannya
37. Selektif dalam memilih guru. Carilah guru yang mapan ilmunya, terjaga wibawanya, dikenal keistiqamahannya, bagus
pengajarannya.
38. Memandang gurunya dengan penuh pemuliaan dan penghormatan
39. Memahami hak-hak gurunya, senantiasa ingat akan keutamaan gurunya, dan bersikap tawadhu’ di hadapan gurunya
40. Senantiasa mencari keridhaan gurunya, merendahkan diri ketika ingin mengkritik gurunya, tidak mendahului gurunya
dalam berpendapat, mengkonsultasikan semua masalah dengan gurunya, dan tidak keluar dari arahan-arahannya
41. Memuji ceramah dan jawaban-jawaban gurunya baik ketika ada gurunya atau ketika sedang tidak ada
42. Menghormati gurunya dengan penuh pengagungan, senantiasa mengikuti arahannya, baik ketia beliau masih hidup
ataupun ketika beliau sudah wafat. Senantiasa mendoakan beliau. Dan membantah orang yang meng-ghibah beliau.
43. Berterima kasih kepada gurunya atas ilmu dan arahannya
44. Bersabar dengan sikap keras dari gurunya atau terhadap akhlak buruknya. Dan hal-hal ini hendaknya tidak membuatnya
berpaling dari belajar ilmu dan akidah yang lurus dari gurunya tersebut.
45. Bersegera untuk menghadiri majlis ilmu sebelum gurunya hadir
46. Tidak menghadiri majlis sang guru di luar majelis ilmu yang diampunya, kecuali atas seizin beliau
47. Hendaknya menemui gurunya dalam keadaan penampilan yang sempurna, hatinya tidak sibuk dengan hal-hal lain,
jiwanya lapang, pikiran juga jernih. Bukan ketika sedang mengantuk, sedang marah, sedang lapar, haus atau semisalnya
48. Tidak meminta gurunya untuk mengajarkan kitab di waktu-waktu yang menyulitkan beliau
49. Tidak belajar kepada guru di waktu-waktu sang guru sedang sibuk, bosan, sedang kantuk, atau semisalnya yang membuat
beliau kesulitan memberikan syarah (penjelasan) yang sempurna
50. Jika menghadiri majelis ilmu, namun gurunya belum datang, maka tunggulah
51. Duduk di majelis ilmu dengan penuh ada, penuh tawadhu, dan khusyuk
52. Duduk di majelis ilmu dalam keadaan tidak bersandar pada tembok atau pada tiang.
53. Memfokuskan dirinya untuk memandang gurunya dan mendengarkan perkataan gurunya, memikirkannya benar-benar
sehingga gurunya tidak perlu mengulangnya.
54. Tidak menengok ke arah lain kecuali darurat, dan tidak menghiraukan suara-suara lain kecuali darurat. Tidak meluruskan
kakinya. Tidak menutup mulutnya. Tidak memangku dagunya. Tidak terlalu banyak menguap. Tidak membunyikan
dahaknya sebisa mungkin. Tidak banyak bergerak-gerak, hendaknya berusaha tenang. Jika bersih hendaknya
merendahkan suaranya atau menutupnya dengan sapu tangan
55. Tidak meninggikan suaranya tanpa kebutuhan dan tidak berbicara kecuali darurat. Tidak tertawa-tawa kecuali ketika
kagum jika tidak kuat menahan tawa hendaknya tersenyum saja.
56. Ketika berbicara kepada gurunya hendaknya menghindarkan diri dari gaya bicara yang biasa digunakan kepada orang
secara umum
57. Jika gurunya terpeleset lisannya, atau gurunya menjelaskan perkara yang agak vulgar, jangan menertawakannya atau
mencelanya
58. Tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu masalah atau dalam menjawab pertanyaan
59. Tidak memotong perkataan gurunya atau mendahuluinya dalam berbicara, dalam pembicaraan apapun
60. Jika ia mendengar gurunya menjelaskan suatu faidah atau suatu pelajaran yang ia sudah ketahui, maka dengarkanlah
dengan penuh gembira, belum pernah mengetahuinya sebelumnya
61. Hendaknya tidak bertanya yang di luar konteks bahasan
Tidak malu untuk bertanya kepada gurunya atau meminta penjelasan tentang hal yang belum ia pahami

Demikian paparan singkat mengenai adab menuntut ilmu. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah untuk
mengamalkannya.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Anda mungkin juga menyukai