Anda di halaman 1dari 18

Oleh:

AAN FAHRUDIN
ADAB-ADAB IMAM
 Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tiga
golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,”
kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka,
(ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu
kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka
kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa
dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang
yang shalat di belakangnya
Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak
Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada
Yang Lebih Afdhal Darinya?
 Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at.
Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: (Kitab
Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman,
halaman 151)
1. Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi
imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2. Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang
mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam,
kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh
penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3. Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih
fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim,
sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan
oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu
‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ‫ فَإِ ْن َكانُ ْوا فِى‬، ‫سنَّ ِة‬ َ ِ‫ فَإِ ْن َكانُ ْوا فِى ْال ِق َرا َءة‬، ‫هللا‬
ُّ ‫س َوا ٌء فَأ َ ْعلَ ُم ُه ْم بِال‬ ِ ‫ب‬ ِ ‫يَ ُؤ ُّم اْلقَ ْو َم أ َ ْق َر ُؤ ُه ْم ِل ِكتَا‬
،)‫ ِسنًّا‬: ‫س ِوا ٌء فَأ َ ْق َد ُم ُه ْم ِس ْل ًما ( َوفِى ِر َوايَة‬ َ ِ‫ فَإِ ْن َكانُ ْوا فِى اْل ِه ْج َرة‬، ً ‫س َوا ٌء فَأ َ ْق َد ُم ُه ْم ِه ْج َرة‬
َ ‫سنَّ ِة‬ ُّ ‫ال‬
‫ ِفي بَ ْي ِت ِه) َو الَ يَ ْقعُ ْد َعلَى ت َ ْك ِر َم ِت ِه ِإ َّال‬: ‫طا ِنه (وفى رواية‬ َ ‫س ْل‬
ُ ‫الر ُج َل ِفي‬ َّ ‫الر ُج ُل‬ َّ ‫َو الَ يَ ُؤ َّم َّن‬
‫بِإِ ْذنِ ِه‬
 “Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling
pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama,
maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam
sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam
hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat
lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang
lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya).
Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya”
4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila
jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits
disebutkan:

ِ ‫ َر ُج ٌل أَ َّم قَ ْو ًما َوه ْم لَهُ َك‬: ‫صالَت ُ ُه ْم فَ ْوقَ ُرؤ ُْو ِس ِه ْم ِشب ًْرا‬
 … َ‫ار ُه ْون‬ َ ‫ثَالثَةٌ الَ ت َ ْرت َ ِف ُع‬

 “Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih


satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi
imam suatu kaum yang membencinya” (HR Ibnu Majah
no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,“Sanad ini
shahih, dan rijalnya tsiqat.”)

 Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits


yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan
antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang
mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan
adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang
layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.
Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus
Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan
Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang
Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan
Seterusnya.Karena seringkali kita mendapatkan
seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga
merubah maknanya.
Ketiga : Mentakhfif Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan
jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam
hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal
yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya
mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak
mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. (Shalatul
Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman
166, Darul Wathan 1414}
Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

 ‫صلَّى ِلنَ ْف ِس ِه‬


َ ‫ َو ِإ َذا‬،‫ْف َو اْل َك ِبي َْر‬
َ ‫ض ِعي‬ ْ ‫اس فَ ْليُخ َِف‬
َّ ‫ف فَإِ َّن فِ ْي ِه ُم ال‬
َّ ‫س ِقي َْم َو ال‬ ِ َّ‫صلَّى أ َ َح ُد ُك ْم ِللن‬
َ ‫ِإ َذا‬
‫فَ ْليُ ِط ْل َما شَا َء‬
“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia)
mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya”
(HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.)

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan


suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya
menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian
orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan
menurut yang lain terasa pendek, begitu juga
sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -
dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Keempat : Kewajiban Imam Untuk
Meluruskan Dan Merapatkan Shaf. Ketika shaf
dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang
imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakannya.
 Kelima: Meletakkan Orang-Orang Yang Telah
Baligh Dan Berilmu.
Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang
telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang
setelah mereka, kemudian orang-orang setelah
mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya
berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh
kalian suara riuh seperti di pasar (HR Muslim no.
432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572)
Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak
Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya
hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :
 َ‫ فَإِ َّن َمعَهُ القَ ِريْن‬،ُ‫ فَإِ ْن أَبَى فَ ْليُقَاتِ ْله‬،‫ْك‬
َ ‫ع أ َ َحدًا يَ ُم ُّر بَيْنَ يَ َدي‬ ُ ‫ص ِل ِإالَّ ِإلَى‬
ْ ‫ َو الَ ت َ َد‬، ‫ستْ َرة‬ َ ُ ‫الَ ت‬
“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah
(pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya
jin.” (HR.Muslim 260)
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil
sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di
kalangan para ulama (Fathul Barri 1/572)
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang
shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat
mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia)
berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati
orang yang sedang shalat tersebut.”
 Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak
Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya,
Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang
paling layak dalam menasihati orang-orang yang
shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari
mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud.
 Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia
ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya,
manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang
masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak
memberatkan makmum, karena kehormatan orang-
orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan
orang yang masuk tersebut.
Adab-adab Makmum
1. Apabila seorang makmum mendengar iqamah, janganlah
ia tergesa-gesa berjalan. Hendaknya ia berjalan dengan tenah
dan penuh wibawa. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda:
“Kalau kalian mendengar suara iqamah, segeralah datang ke masjid
untuk shalat, dan berjalanlah dengan tenang dan penuh wibawa.
Jangan kalian tergesa-gesa. Ikutilah jamaah shalat sebatas yang
sempat kalian ikuti, dan lanjutkanlah bagian yang belum kalian
ikuti..”
2. Tidak boleh ruku’ sebelum masuk ke shaf. Dasarnya adalah
hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah
bermakmum kepada Nabi ketika beliau sedang ruku’. Maka ia pun
ruku’ sebelum sampai ke dalam shaf. Hal itu diceritakan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, maka beliau bersabda: “Semoga
Allah menambahkan semangatmu, namun jangan ulangi lagi.” [2]
 3. Makmum tidak bangkit untuk shalat meskipun
iqamah telah dikumandangkan, sebelum imam
masuk masjid. Dasarnya adalah hadits Qatadah
radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam: “Apabila iqamah telah
dikumandangkan, janganlah kalian bangkit untuk shalat
sebelum kalian melihatku (keluar rumah menuju masjid).”
Dalam lafazh Al-Bukhari disebutkan: “Hendaknya kalian
berjalan dengan tenang.” [3]

 4. Bila perlu, suara imam disambungkan agar


terdengar makmum bila diperlukan. Dasarnya adalah
hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia
menceritakan: Rasulullah pernah mengimami kami shalat
Zhuhur sementara Abu Bakar di belakang beliau. Apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bertakbir, Abu
Bakar pun bertakbir agar terdengar oleh kami.” [4]
 5. Makmum mengucapkan: “Rabbana lakal hamd,” setelah
imam mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah”.
dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara
marfu’:

 “Dan apabila imam berkata “Sami’allahu liman hamidah”,


katakanlah: “Rabbana lakal hamd” …” [6]

 Juga berdasarkan ucapan Asy-Sya’bi: “Janganlah mengucapkan


“Sami’allahu liman hamidah,” akan tetapi hendaknya ia
mengucapkan: “Rabbana lakal hamd”.” [7]

 6. Kalau imam datang terlalu terlambat, para makmum


bisa mengangkat salah satu yang terbaik di antara mereka
untuk menjadi imam pengganti. Dasarnya adalah hadits Sahl
bin Saad dalam kisah para shahabat yang mengajukan Abu Bakar
sebagai imam penggati ketika Nabi pergi untuk mendamaikan
pertikaian di kalangan Bani Umar sehingga datang terlambat.
 7. Kalau iqamah telah dikumandangkan, maka xang
ada hanyalah shalat wajib. Dasarnya adalah hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

 “Apabila iqamah telah dikumandangkan, maka yang ada


hanyalah shakat wajib.” [10]

 8. Tidak melaksanakan shalat sunnah di tempat


shalat wajib kecuali bila telah dipisahkan dengan
berbicara atau bergeser tempat. Dasarnya adalah hadits
As-Sa’ib bin Yazid, dari Muawiyah diriwayatkan bahwa As-
Sa’ib pernah berkata kepadanya: “Apabila engkau selesai
shalat Jum’at, janganlah engkau shalat sunnah sebelum
berbicara atau bergeser tempat.” [11]
 9. Tidak bangkit dari tempat shalat sebelum imam,
tetapi menunggu dahulu sampai imam menghadap ke
arah makmum. Dasarnya adalah hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi pada suatu hari
mengimami mereka. Usai shalat, beliau menghadap ke
arah makmum dan berkata:“Hai jamaah sekalian! Saya
adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku
ruku’, bersujud atau bangkit, dan juga jangan
mendahuluiku bangkit dari tempat shalat.
 10. Tidak menyusun shaf di antara tiang-tiang masjid,
kecuali bila terdesak. Dasarnya adalah hadits Anas
radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: “Kami selalu
menghindari itu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassalam.” [15]
 Demikian juga dengan hadits Qurrah radhiyallahu ‘anhu
yang menceritakan: “Di masa hidup Rasulullah, kami
dilarang untuk shalat di antara pilar-pilar masjid, bahkan
kami diusir dari lokasi tersebut dengan keras.”
 11. Langsung mengikuti gerakan imam ketika
terlambat masuk, apapun gerakan yang dilakukan
oleh imam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’: “Ikutilah jamaah shalat
sebatas yang sempat kalian ikuti, dan lanjutkanlah bagian
yang belum kalian ikuti..” [17]

 12. Tidak boleh ‘menguasai’ tempat khusus di masjid


yang hanya di tempat itu ia melakukan shalat sunnah.
Dasarnya adalah hadits Abdurrahman bin Syubal, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang tiga hal:
“Mematuk seperti burung gagak, menghamparkan lengan
tangan seperti binatang buas dan menempatkan seseorang
pada satu tempat khusus untuk shalat seperti
menempatkan seekor unta.
 13. Mengingatkan imam bila imam kesulitan
mengingat ayat yang akan dibacanya. Dasarnya adalah
hadits Al-Musawar bin Yazid Al-Maliki radhiyallahu ‘anhu
yang bercerita: “Saya pernah menyaksikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam membaca surat dalam shalat,
tetapi beliau meninggalkan sebagian ayat dan lupa
membacanya. Maka seorang makmum bertanya seusai
shalat: “Rasulullah, bukankah engkau tadi lupa membaca
ayat ini dan itu?” Beliau balik bertanya: “Kenapa tidak
engkau ingatkan tadi?” Lelaki itu menjawab: “Saya kira,
ayat-ayat itu memang sudah dimansukhkan.
 14. Tidak shalat di depan imam. [21] Dasarnya adalah
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, dan
di situ disebutkan: “Imam itu diangkat untuk dijadikan
ikutan.”
Jazakallah Khoiron
wassalam

Anda mungkin juga menyukai