Anda di halaman 1dari 12

ADAB-ADAB IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh; Ustadz Armen Halim Naro

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya. Karena hal itu sebagai
bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.

Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil
mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian
dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan
rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َ ُّ ُ ُّ َ ُّ ُّ َ ُّ ُ
‫هللا َّ ُّنف َلَّْ َي ْ ُو ُّمْ ُسفوفص َّن َو ُست‬ ‫ُّو ُّم ُس َهو ُج ف َن ُي َي‬

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian” [1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian.


 Pertama, adad-adab imam.
 Kedua, adab-adab makmum.

Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban
sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau
menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan
mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh
pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]

Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
 Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada
penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
 Kedua : Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang
bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allah-.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang
bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan
si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya.
Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari
pintunya. Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya
layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum
muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-
syarat menjadi imam.

Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot,
memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai
emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam
bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan
anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa
yang telah kita sebutkan di atas”. [3]

Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab
berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.

Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada
Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya
ialah: [4]
 1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan
rumah layak menjadi imam.

 2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju
menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai
imam, yang disebut dengan imam rawatib.

 3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan
bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini
ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُّ َ ُّ ُّ ُ َ ُ َ ُ ُّ َ َ َ ‫لَّو َسا َفم ُهه ُّل ُّع ُج‬
ُ ِ ، ‫ََّو َسا فف ا ُّلُ ُسَ َفن ُت‬
ُ ََِ ‫ ُ َه رْه َفم ُم َم ُّد ُّع ُج ٌَ َس‬، ‫َا ُّلُ ُس َفن ُت‬
‫لك ْم َهؤه ُج ََّْ ُس َص َُّم ُص‬ َ
َ
َ ، ‫ٌسَِ ََّ َْ َهَِ َْ َفف الُسَ ف َنت‬
َ‫ََّهل ََّ َب‬ َ َ َ َ َ َ َ
َ ُ َ ِ َ َ ُّ َ ‫ ٍوَا ا وف ى ( ٌُّه ََل َُل َفف‬: ‫َههف َا ُْ ُّع ُم َ َو َ)ن ُه ََ َل َفف‬
‫ اٍ َو ََا ِا َو َفف( ٌَه رلل فممم ُّد ُّع ُج ٌَ اس ََِ َ ََّع ُ َهَْ َفف‬: ‫)ٌسل‬،َ ‫ََّه ُّم ُّر َُّم َد َي ف َو‬َ ‫ََّه ُّم َر‬
َ َ ُ
‫َن َهن َُ َل َا ِب اه َد ََ َل‬

“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah.
Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka
dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka
yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi
imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan
janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya” [5]

 4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam
sebuah hadits disebutkan:
ََ َ َ َ َ َ ُّ َ َ َ ُّ َ ُ َ ُّ َ َ َ ُ ُّ
‫ َا ُر رهَ ٍُّؤ ُو ٌَ َع ُج ف ُسو َممِ ُّع ُج ِ ُهِ َْ ُّر ٌف الا‬: ‫هج م ُس ردل ْ َص ٍَ ُّم َر‬‫…ا الٍهست ُفَ و‬

“Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka:
(Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”[6]

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada
perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau
yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi
imam untuk meninggalkannya”.

Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan
dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.)
karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan
kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan
untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan
tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang
lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau
karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar
dari pahala melakukannya.[7]

Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa
ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]

Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan
Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan
Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah
makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat
Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”,
sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] .
Na`uzubillah.

Ketiga : Mentakhfif Shalat.


Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan
dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau
hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10].
Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu:
َ َ َّ ُ ُ ُّ َ َ ُ ْ َ ُّ َ َ َ ُّ ُ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َّ َ ُ َ ُ ُّ َ َ َ َ
َ‫فم َان‬‫لل ْمماج ه‬‫ََّب َريه و ََّف َعنل و ََّو َْنج َفي َعج ف َنت فهنفْل ََّهس ا‬، ‫الِ دل فهن ََر ََّسْ َو َل مهف َانَ و‬

“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada
mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah
sekehandaknya” [11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya
menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang,
sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi
imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali kepada mashlahat.
Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga
kepada keinginan makmum.[12]
Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.

Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa
kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau
berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun
berkata:
َ ُّ ُ ُّ َ ُّ ُّ َ ُّ ُ
‫هللا َّ ُّنف َلَّْ َي ْ ُو ُّمْ ُسفوفص َّن َو ُست‬ ‫ُّو ُّم ُس َهو ُج ف َن ُي َي‬

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian” [13]

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau
tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c
melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan
dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu,
apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud
berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke
bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah
melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak
suka dengan hal itu, pen).”[15]

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika
beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak
engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali
mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang
dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf.
Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika
mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;

1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah.
Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah
akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus
(urusan)nya.”[17]

2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.


3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ
‫هللا َات‬
َ ُّ َ
‫مَََل ف َو‬ َ َ ُ ُّ َ ُّ َ َ ُ َّ َ ُّ ُ َ َ ُ ُّ ُ
َ ‫ََّنْسص ا َنهسفت ََّ َُّْي ههف انهست د‬

“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf” [18 [19]

Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm:


ُ ُ ُ ُ َ َ ُ ُّ َّ َ ُ ُّ َّ َ ُ َ ُّ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ُ ُ ُّ ُ ُ ُّ ُ ُ َ َ َ ُّ َ ُ َ َ َُ
‫ل ِفَ َهْ ُسَ َو َاه ُسُ ُّع ُج ََّ َْ ُُّ َي ال َج َاه ُسُ ُّع ُج ََّ َْ ُُّ َي ال َج ََّس َعف َو َم ُمم َص ْ ُوَّ ُسَ َدسك ُج ََّ َن َه َي َس ُف‬ ‫َو هتَلي و وَماليج مهكبكج فَفَ َه‬ َ ‫َمٌس‬

“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang
setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya
berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar” [20].

Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.


Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :
َ ْ َ ُّ َ َ ُ ََ ُ ََ ‫ر‬ َ َ ُ َ ُّ َ َ َ َ ُّ َ
‫ ٌَُّ َهِْ َاَّف َا ف ِنر‬، ‫ام ُاو َن ُي َي َا ُّل ُه ْ َممَ ِمد ف َو‬،َ ‫فه ُّنْل َِهل ْ َنف ف َنت‬، ‫ََّْ اي ُر َي َد َعل ف َنت‬

“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang
lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin.” [22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal
ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat
mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih
baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu,
red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]

Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya,
Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang
shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah
mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan
mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan
hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan
akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya,
menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika
dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang
yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak
menyempurnakan shalatnya.”[25]

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya,
manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu
raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang
makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang
akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
________
Footnote
[1]. HR Muslim no. 436.
[2]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[3]. Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
[4]. Ibid, halaman 1/151.
[5]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[6]. HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,“Sanad ini shahih, dan rijalnya
tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c .
Berkata Shiddiq Hasan Khan,“Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan
satu sama lain.” (Lihat Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7]. Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8]. Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9]. Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at
keempat pada shalat ruba`iah (empat raka`at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun
yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah
membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga
membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana
imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10]. Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12]. Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13]. HR Muslim no. 436.
[14]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
[15]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16]. HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan,
halaman 207.
[17]. HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
[18]. HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
[19]. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21]. Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta.
Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22]. HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23]. Fathul Bari, 1/572.
[24]. HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25]. Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
[26]. “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)

Sumber: https://almanhaj.or.id/2486-adab-adab-imam-dalam-shalat-berjamaah.html
Menjadi Imam Shalat Jamaah

Dalam hal panjang dan pendeknya bacaan, telah dibedakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
antara shalat sendirian dan shalat berjamaah. Berliau bersabda,

“Jika di antara kamu shalat mengimami manusia, maka hendaklah meringkas, karena di antara
mereka ada yang lemah, orang sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika shalat sendirian, maka
hendaklah memanjangkan semuanya.” (HR. Bukhari: 662)

Akan tetapi, bukanlah yang dimaksudkan meringkas shalat adalah membaca setiap rakaatnya dengan
surat-surat pendek seperti Al-Ikhlash dan An-Nash atau semisalnya. Kita harus memahami maksud
hadis di atas sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat syariat yang mulia ini. Jika penafsiran suatu
hadis diserahkan kepada semua pihak, niscaya mereka akan berbeda penafsiran dan akan terus
berselisih.
Misalnya tentang penafsiran hadis ini, seorang penghafal Alquran akan mengatakan bahwa Surat Al-
Anfal, Surat Yusuf, Surat Yunus, dan semisalnya adalah surat-surat yang pendek (karena dia telah
menghafalnya di luar kepala), sementara orang yang tidak mempunyai hafalan Alquran akan
mengatakan bahwa surat Al-Ghosyiyah, Al-Alaq, Al-Balad, Adh-Dhuha, dan semisalnya adalah surat-
surat yang panjang. Maka mustahil terjadi kesamaan persepsi dari setiap orang.

Oleh karena itu, kita harus mengetahui siapakah seseorang yang shalatnya ringkas (pendek) ketika
menjadi imam? Jawabnya tidak lain adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam
sebuah hadis:

Dari Anas bin Malik berkata, “Aku tidak pernah shalat bersama seorang imam pun yang lebih pendek
dan lebih sempurna shalatnya daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari: 667
dan Muslim: 721)

Hadis ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya
memendekkan shalat ketika menjadi imam, tetapi juga menyempurnakannya. Inilah maksud hadis
yang diinginkan, karena demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sabdanya
dengan praktik secara langsung yang dilihat oleh para sahabat setiap hari.

Maka bagi setiap imam hendaklah berupaya melaksanakan shalatnya agar sesuai dengan sunnah Rasul
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat yang sesuai dengan sunah adalah shalat yang pendek tetapi
sempurna, bukan shalat yang memperturutkan hawa nafsunya atau hawa nafsu kebanyakan para
makmumnya yang biasanya ingin shalat secepat mungkin. Seorang imam adalah pemikul amanat
manusia, dan orang yang sedang memikul amanat harus menunaikannya dengan yang sebaik-baiknya,
dan shalat yang paling baik adalah yang sesuai dengan sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Nawawi berkata, “Makna hadis ini sangat jelas, yaitu seorang imam diperintahkan untuk
memendekkan shalatnya tetapi tidak mengurangi sunah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
mengurangi maksud-maksud shalat.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 2:216)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Para ahlul ilmi mengatakan, yang dianjurkan ketika shalat shubuh
adalah membaca thiwalul mufashol, dalam shalat maghrib membaca qishorul mufashol, dan shalat
lainnya (zuhur, ashar, dan isya) membaca awashitul mufashol.
Thiwalul mufashol adalah dimulai dari surat Qaf sampai dengan surat An-Naba.
Qishorul mufashol adalah dimulai dari surat Adh-Duha sampai dengan akhir Alquran.
Awashitul mufashol adalah dimulai dari surat An-Naba sampai dengan Adh-Dhuha. Inilah yang biasa
dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh juga kadang-kadang membaca thiwalul mufashol
ketika shalat maghrib, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang membacanya
pada shalat maghrib.” (Liqo’ al-Bab al-Maftuh, 3:79)

Perkataan di atas didasari oleh sebuah hadis dari jalan Sulaiman bin Yasar dari Abu Hurairah beliau
berkata, “Aku tidak pernah shalat bersama seorang pun yang lebih mirip dengan shalatnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam daripada orang ini (Sulaiman bin Yasar).” Lalu beliau berkata, “Adalah
beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) memanjangkan dua rakaat pertama shalat zuhur dan
memendekkan dua rakaat yang lainnya. Beliau meringkas shalat ashar. Beliau membaca qishorul
mufashol pada shalat maghrib, membaca washatul (awashitul) mufashol pada waktu shalat isya, dan
membaca thulul (thiwalul) mufashol pada shalat shubuh.” (HR. Ibnu Majah: 827, dishahihkan oleh Al-
Albani dalam Sunan Nasai: 983)

Demikian juga, jika suatu saat dibutuhkan untuk shalat lebih pendek dari yang biasa dilakukan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu dibolehkan dengan syarat tidak dijadikan sebagai
kebiasaan. Alasannya, jika hal itu dilakukan setiap hari maka dia akan menyelisihi sunah dalam hal
mengimami shalat. Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, beliau berkata, bahwasanya Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku memulai shalat, dan aku ingin
memanjangkan bacaannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, lalu aku meringkas shalatku
sebab aku mengetahui kekhawatiran ibunya mendengar tangisan anaknya.” (HR. Bukhari 668 dan
Muslim: 723)

Akan tetapi, bacaan panjang yang melebihi sunah Rasul jika sampai memberatkan umatnya maka
menjadi haram hukumnya, karena hal ini akan menyulitkan dan membuat orang-orang lari dari
ibadah. Oleh karenanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah ketika ada salah satu
sahabatnya yang terlalu panjang bacaannya ketika menjadi imam sehingga menyulitkan orang lain.
(HR. Bukhari: 6106 dan Muslim: 465)

Kesimpulan
 Hendaklah meringkas (memendekkan) shalat jika menjadi imam, dan memanjangkan
semaunya jika shalat sendirian.
 Maksud dari memendekkan shalat ketika menjadi imam adalah menyempurnakan shalat
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
melaksanakan shalat yang paling pendek menurut hawa nafsu manusia.
 Dianjurkan ketika shalat shubuh membaca thiwalul mufashol, dan sholat lainnya (zhuhur,
ashar, dan isya) membaca awashitul mufashol.
 Dibolehkan mengurangi atau melebihi sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
bacaannya jika ada suatu kebutuhan, asalkan tidak memberatkan orang lain dan tidak
dijadikan kebiasaan setiap hari.
 Dilarang terlalu panajng bacaannya melebihi sunah yang berakibat memberatkan
makmum.
 Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 01 Tahun ke-10 1432 H/ 2011

Read more https://konsultasisyariah.com/9705-menjadi-imam-shalat-jamaah.html


Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan
Imam Memimpin Berdoa kepada Allah dengan berjamaah, Ini dilakukan
setiap selesai shalat.
Berdoa setelah shalat tidak mengapa. Namun hendaknya setiap Muslim berdoa masing-masing. Baik
ia berdoa untuk dirinya sendiri, untuk saudaranya sesama Muslim, berdoa untuk kebaikan agamanya
atau kebaikan dunianya, namun dilakukan sendiri-sendiri. Tidak dengan berjamaah.

Adapun berdoa berjamaah setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena perbuatan ini tidak pernah
diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah diriwayatkan dari generasi
terbaik umat ini (yaitu sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in) bahwa mereka berdoa berjamaah dengan
cara imam mengangkat tangannya lalu diikuti para makmum mengangkat tangannya kemudian
mereka berdoa berjamaah bersama imam. Ini adalah bid’ah.

Adapun setiap orang berdoa masing-masing tanpa mengangkat suara, dan tidak membuat berisik,
maka ini tidak mengapa. Baik setelah shalat fardhu ataupun setelah shalat sunnah.

Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan, 2/680, Asy Syamilah


DOA BERJAMA’AH DAN JABAT TANGAN SETELAH
SHALAT

1.Imam shalat berdoa bersama-sama, setelah shalat berjamaah.

2. Imam shalat bersalaman dengan berjabat tangan dengannya setelah shalat.

Untuk menjelaskan masalah ini akan kami sampaikan beberapa perkara, sehigga masalah di atas
semoga dapat diselesaikan dengan baik.

Pertama : Perlu diketahui, bahwa imam shalat itu wajib diikuti sampai selesai shalat.
Sehingga setelah selesai salam, makmum sudah tidak harus mengikuti imamnya.
َ َ َ َّ َ َ ُّ ُّ َ َّ َّ ُّ َّ َّ َ َ َ َ َ ََ َ َ َُ َُ َ َ َْ ‫لل َعلْ ُُّ َف‬ َ ُ ْ ُ ُ ُّ َ
‫ن َه ُي‬ ‫لُ ْس‬ ‫ََّنمْ مفف فه َلل َُّ ُس ِص نَي َو ٌَه َج َهه ُن َل ََّهل َمهف ََّه َل ٌٍسُ نسل مهف م‬ ‫لُ َن َس ُم َع َل ههيسل ْمبر‬ ُّ ‫ََّس‬ ‫َادلدكج َاُف‬
َ َ ُ َ ُ ُّ ُ َ ُ ُ ُ َ َ َ ُّ ُ َ َ َ َ َ َ ُ
‫سس َِ و َِلَّهكك اد ْو َبْس َُف فم‬
َ ‫َص َِل َ و َِلَّ َْن َلص و لَّو‬ َ ‫ُ َنه‬

Dari Anas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari shalat mengimami kami.
Setelah selesai shalat beliau menghadapkan wajahnya kepada kami lalu bersabda: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku adalah imam (shalat) kamu, maka janganlah kamu mendahuluiku dengan ruku’,
sujud, berdiri, atau salam!” [HR. Muslim, no. 426]

Ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berdoa setelah shalat adalah dengan sendiri-
sendiri, sebagaimana di dalam hadits berikut ini:

َ ‫ل َم َّه ُي َسل ا َنَ ُا َسل َم‬


‫لُ ََّ َر َه ََِ َه ُي‬
َّ َّ َ ُّ َّ ُ َ َ َّ َ َ َ ُ َ ُ ُ َ ُ ُ َ ُ َ ُ َ ُّ ُ ُّ َ ُ َ َ
َ ‫ََّهل ٍَ ٌُّ ُسُ ََه‬ َ ‫سُ َف َول ُع َُّ ُّل َم‬
‫لُ ُم َع َل َنس ههيسل اْ َبر ا َلي َس َل هي ُبست ْت ْمربسل وٌهج ههن َل ََّهل مهف‬ ُّ ُّْ ‫َا‬
ْ‫ب َ َُّ ُس َص َه َْ ََِ َو مس ُف ٍَك‬ ُّ َ ُ َ ُ ُّ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ
ََ ‫َهبلسب ِ لر ْو ِبع‬

Dari al-Bara’, dia berkata: “Kami (para Sahabat) dahulu, jika melakukan shalat di belakang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami suka berada disebelah kanan beliau, karena beliau akan
menghadapkan wajahnya kepada kami”. Al-Bara’ juga berkata: “Aku pernah mendengar beliau
berdoa: “Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau
mengumpulkan hamba-hamba-Mu”. [HR.Muslim, no. 709]

Walaupun sebagian Ulama menyukai doa jama’ah setelah shalat, namun sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan doa berjama’ah setelah memimpin shalat.
Sedangkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Al-hamdulillah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
makmum tidak pernah berdoa (bersama-sama-red) setelah shalat lima waktu, sebagaimana dilakukan
oleh sebagian orang setelah shalat subuh dan ashar. Dan hal itu tidak pernah diriwayatkan dari
seorang pun (Ulama Salaf-red), juga tidak ada seorang pun dari para imam (Ulama) yang menyukainya.
Barangsiapa meriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah, bahwa beliau menyukainya, maka orang
itu telah berbuat keliru terhadap Imam Syafi’i rahimahullah . Perkataan Imam Syafi’i rahimahullah
yang ada di dalam kitab-kitab beliau meniadakan hal itu. Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah
dan lainnya tidak menyukainya. Walaupun ada sekelompok orang dari pengikut Imam Ahmad
rahimahullah, Imam Abi Hanîfah rahimahullah, dan lainnya menyukai doa (jama’ah-red) setelah shalat
subuh dan ashar. Mereka berkata: “Karena tidak ada shalat setelah dua shalat ini, maka diganti dengan
doa”. Ada juga sekelompok orang dari pengikut Imam Syafi’i rahimahullah dan lainnya menyukai doa
(jama’ah-red) setelah shalat lima waktu. Namun mereka semua sepakat bahwa orang yang
meninggalkan doa (setelah shalat), dia tidak diingkari. Barangsiapa mengingkarinya, maka orang itu
telah berbuat keliru dengan kesepakatan ulama. Karena berdoa (berjama’ah) itu tidak diperintahkan,
baik dengan perintah wajib atau sunnah, pada tempat ini (setelah shalat-red)”.[1]

Kedua: Berjabat tangan itu dianjurkan ketika bertemu dan keutamaannya akan
menggugurkan dosa orang Islam yang berjabat tangan tersebut. Adapun kebiasaan
berjabat tangan setelah shalat, maka hal ini diingkari oleh banyak Ulama’, kecuali bagi
orang yang belum bertemu sebelumnya.

Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata: “Berjabat tangan setelah shalat subuh dan ashar
[2] termasuk perkara-perkara bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang sebelum shalat bertemu
dengan orang yang berjabat tangan dengannya. Karena berjabat tangan itu disyari’atkan pada waktu
datang. Dan kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat adalah melakukan dzikir-dzikir
yang disyari’atkan dan beristighfar tiga kali, kemudian pergi. Dan diriwayatkan beliau berdoa (setelah
shalat) “Rabbi qinî ‘adzâbaka yauma tab’atsu ‘ibâdaka” (Wahai Rabb-ku jagalah aku dari siksa-Mu pada
hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu)[3] ; dan seluruh kebaikan
itu adalah didalam ittibâ’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “[4].

Imam Al-Laknawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya mereka (para Ulama’) telah sepakat bahwa
jabat tangan ini (yakni setelah shalat-red) tidak ada dalilnya dari syari’at. Kemudian mereka berbeda
pendapat tentang makrûh atau mubahnya. Jika suatu perkara berkisar antara makrûh dan mubâh,
sepantasnya difatwakan dengan larangan padanya, karena menolak bahaya lebih utama daripada
mendatangkan kebaikan. Bagaimana tidak menjadi lebih utama, karena orang-orang yang berjabat
tangan (setelah shalat) di zaman kita ini menganggapnya sebagai perkara yang baik, dan mereka
mencela dengan keras terhadap orang-orang yang tidak melakukannya”. [5]

Inilah jawaban kami terhadap pertanyaan saudara. Namun, hendaklah kita bersikap santun dan sabar
di dalam usaha mengajak umat menuju Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar lebih mudah
diterima. Wallâhul Musta’ân.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Majmû’ Fatâwa 22/512-513
[2]. Ini di zaman beliau, adapun di zaman sekarang kebasaan berjabat tangan itu berkembang,
dilakukan setelah shalat lima waktu,shalat jum’at, shalat hara raya, dan shalat tarawih.
[3]. HR.Muslim, no. 709
[4]. Fatâwa al-‘Izz bin Abdis Salâm, hlm. 46-47; dinukil dari Al-Qaulul Mubîn fî Akh-thâil Mushalîn, hlm.
294
[5]. As-Siyâ’ah fî Kasyfi ‘ammâ fî Syarhil Wiqâyah, hlm. 265; dinukil dari Al-Qaulul Mubîn fî Akh-thâil
Mushalîn, hlm. 296.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2600-doa-berjamaah-dan-jabat-tangan-setelah-shalat-adakah-
shalat-taubat.html

Anda mungkin juga menyukai