Anda di halaman 1dari 6

Perhatikan Langkahmu, Kesesatan Terus Mengintai

‫ نَبِّيِّنَا ُُمَ َّم ٍد صلى هللا عليه وسلم َو َعلَى آلِّ ِّه‬،‫ْي‬ ِّ ِّ
َ‫السلَ ُم َعلَى أَ حش َرف ال ُحم حر َسل ح‬
ِّ ‫ وبِّ ِّه نَست ِّعْي َعلَى أُموِّر الدُّنح يا و‬،‫ب الحعال َِّمْي‬
َّ ‫ َو‬،‫الديح ِّن‬
َّ ‫الصلَةُ َو‬ َ َ ‫ُح‬ ُ‫ا حْلَ حم ُد هلل َر ِّ َ حَ َ ح َ ح‬
ِّ ‫ان إِّىل ي وِّم‬
:‫ َوبَ حع ُد‬،‫الديح ِّن‬ ٍ ‫ْي ومن تَبِّع ُهم ِِّبِّ حح‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ‫وأ ح‬
‫س َ َح‬ َ ‫َص َحابه َوالتَّابع حَ َ َ ح َ ح‬ َ

Diantara kenikmatan terindah yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah hidayah islam, iman, dan
rasa cinta kepada Sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬. Dari kecintaan inilah kemudian akan tumbuh benih-benih
pengagungan dan kemuliaan yang kelak berbuah amal-amal shalih. Kendati demikian, teramat banyak
orang-orang yang kita saksikan berada jauh dari cahaya yang mulia ini. Mereka pun dicegah dari
keindahan dan kehangatan berada dalam lingkaran hidayah.

Berbicara tentang hidayah, hakekatnya berbicara tentang perkara yang diidam-idamkan oleh semua
orang. Namun tidak semua orang yang menginginkan hidayah mendapatkannya. Hal ini kembali kepada
cara masing-masing orang dalam menjemput hidayah tersebut, dan tentunya izin dan kehendak Allah
yang mendahului segala sesuatu.

Dalam tulisan kali ini, kami hendak menyebutkan beberapa perkara yang bisa menjadi penghalang
seseorang dari hidayah Allah. Semoga Allah menjaga diri-diri kita dan menjadikan kita manusia-manusia
yang istiqomah di atas jalan hidayah, ash-shirath al-mustaqim.

1. Ghuluw terhadap tokoh-tokoh tertentu, dan menjadikan ucapan dan prilaku mereka sebagai
parameter kebenaran.

Ketahuilah wahai saudaraku, merupakan bagian dari matangnya keimanan seseorang bahwasanya ia bisa
menempatkan segala sesuatu pada pada tempatnya dan sesuai dengan porsinya. Inilah yang diajarkan
oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada ummat Beliau.

Betapa banyak kesesatan yang timbul hanya karena masing-masing kita terkadang terlalu ghuluw
(berlebihan) dalam beribadah. Dan diantara fenomena ghuluw yang kerap berakhir dengan
penyimpangan, bahwasanya seseorang bersikap berlebihan dalam memuliakan pihak tertentu yang tidak
jarang sampai ke derajat pengkultusan. Tatkala hal ini terjadi, maka kebenaran tak akan lagi Nampak pada
dia yang Allah ta’ala uji dengan musibah ini. Kebenaran yang harusnya bersumber dari Al-Quran dan As-
Sunnah yang merujuk pada konsep pemahaman generasi pendahulu ummat ini telah terganti. Jadilah
ucapan dan perbuatan sosok yang dikultuskan tersebut sebagai patokan dan tolak ukur kebenaran, tanpa
peduli apakah ucapan dan perbuatan tersebut telah sesuai dengan Al-quran dan As-Sunnah atau tidak. Di
sinilah kesesatan itu berawal. Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:
ِّ ‫ك من َكا َن قَ ب لَ ُكم اَلحغُلُُّو ِِّف‬ ِّ
.((‫الديح ِّن‬ ‫ح ح‬ ‫ فَِّإ ََّّنَا أَ حهلَ َ َ ح‬،‫))إِّ ََّّي ُك حم َوالحغُلَُّو ِِّف الديح ِّن‬
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini
telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”1
Beliau ‫ ﷺ‬juga bersabda:

1
HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
ِّ ‫ فَ ُقولُوا عب ُد‬،‫ فَِّإ ََّّنَا أ َََن عب ُده‬،‫ت النَّصارى ابن مرََي‬
.((ُ‫هللا َوَر ُس حولُه‬ ‫َح ُ ح ح َح‬ َ ‫))الَ تُط ُحرحوِِّن َك َما أَط َحر ِّ َ َ ح َ َ ح‬
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan
memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah bahwa aku adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya.”1
Ketahuilah saudaraku yang aku cintai, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah Yang Maha Esa, dan ‘Ishmah
(kema’shuman: terlindung dari dosa) hanya Allah berikan kepada para utusan-Nya. Maka tidak ada alasan
untuk menjadikan kebenaran mutlak bagi tokoh tertentu, siapapun ia. Simaklah ucapan indah dari Imam-imam
madzhab yang menunjukkan betapa tawadhu’nya mereka dalam menyikapi masalah ini. Lihatlah betapa besar
kehati-hatian mereka demi menutup pintu berbahaya ini.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

‫إذا قلت قوال خيالف كتاب هللا تعاىل وخرب الرسول صلى هللا عليه وسلم فاتركوا قويل‬
“Jika aku mengatakan sebuah ucapan yang menyelisihi Al-Quran dan hadits Nabi ‫ ﷺ‬maka tinggalkanlah
ucapanku.”2
Malik bin Anas rahimahullah juga berkata:

‫إَّنا أَن بشر أخطئ وأصيب فانظروا ِف رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما مل يوافق الكتاب والسنة فاتركوه‬
“sesungguhnya aku hanyalah manusia (biasa) yang bisa salah dan juga benar, oleh karenanya lihatlah
(timbanglah) pendapatku, maka ambillah semua yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan
tinggalkanlah apa yang menyelisihnya”.3
Imam Asy-Syafi’I rahimahullah juga berkata:

‫أمجع املسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم مل حيل له أن يدعها لقول أحد‬
“Kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya siapa saja yang telah jelas Sunnah dari Rasulullah ‫ ﷺ‬atasnya,
(maka) tidak halal baginya meninggalkan sunnah tersebut karena ucapan siapapun”.4
Dan imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga berkata:

‫ال تقلدِن وال تقلد مالكا وال الشافعي وال األوزاعي وال الثوري وخذ من حيث أخذوا‬
“Janganlah engkau mentaqlidku, dan jangan pula Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Al-Awza’I juga Imam Ats-
Tsauri, (akan tetapi) ambillah dari mana mereka mengambil.”5
Beginilah para ulama mengajarkan kita untuk senantiasa merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah daolam
kehidupan kita, dan melarang kita untuk bersikap berlebihan terhadap sosok tertentu selain Nabi ‫ﷺ‬, apalagi
jika sampai menjadikannya sebagai tolak ukur kebenaran tanpa melihat sudahkah dalil bersamanya atau tidak.
Jika sosok yang kebaikan dan keilmuannya telah mendunia saja melarang kita untuk mengikuti mereka tanpa
dalil, maka adakah orang-orang yang datang setelah mereka berhak mendapatkan hal tersebut?!
2. Beragama atas dasar adat istiadat dan tradisi nenek moyang yang diriwayatkan secara turun-temurun.

1
HR. Al-Bukhari (no. 3445)
2
Kitab Al-Iqozh karya Imam Al-Fulany, (hal: 50)
3
Kitab Al-Jami’ karya Imam Ibnu Abdil Bar, (hal: 32, jilid: 2)
4
Kitab Al-Iqozh karya Imam Al-Fulany, (hal:68)
5
Kitab I’lam Al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi, (hal: 302,jilid: 2)
Diantara penyebab utama terhalangnya seseorang dari hidayah ialah bahwasanya ia senantiasa mendahulukan
adat istiadat dan tradisi yang ia warisi dari nenek moyangnya secara turun temurun atas Nash-nash yang
dating dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya ‫ﷺ‬. Padahal mereka pun meyakini bahwasanya hal tersebut salah. Allah
ta’ala telah menukilkan perkara ini dalam banyak tempat didalam Al-Quran, diantaranya firman Allah:

﴾‫ول قَالُوا َح حسبُ نَا َما َو َج حد ََن َعلَ حي ِّه َآ ََب َء ََن أ ََول حَو َكا َن آ َََب ُؤ ُه حم الَ يَ حعلَ ُمو َن َش حي ئًا َوالَ يَ حهتَ ُدو َن‬
ِّ ‫الر ُس‬
َّ ‫اَّللُ َوإِّ َىل‬
َّ ‫يل ََلُ حم تَ َعال حَوا إِّ َىل َما أَنح َز َل‬ ِّ ِّ
َ ‫﴿ َوإ َذا ق‬
“Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul (ikutilah apa
yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-
bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak
mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir beliau menjelaskan:
“Yakni, mereka tidak mengetahui, tidak memahami dan tidak mengikuti kebenaran. Lantas mengapa mereka
tetap mengikutinya padahal demikian keadaannya?! Tidak ada yang mengikuti mereka melainkan orang yang
lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya”1
Sungguh besar dan berbahaya perkara ini, bukan hanya celaan yang Allah berikan kepada mereka yang
terjatuh ke dalamnya, akan tetapi ancaman pedih berupa siksa neraka pun akan menanti mereka dikarenakan
hal tersebut. Allah ta’ala berfirman:

‫ْي ِّم َن‬ ِّ ‫آِتِّم‬


ِّ ‫ض حع َف ح‬ ِّ
‫السبِّ َيل َربَّنَا ح‬ َ ُّ‫ضل‬
َّ ‫وَن‬ َ َ‫اء ََن فَأ‬ َ ‫وال َوقَالُوا َربَّنَا إِّ ََّن أَطَ حعنَا َس‬
َ ‫ادتَ نَا َوُكبَ َر‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫اَّللَ َوأَطَ حعنَا‬ ِّ ‫وه ُه حم ِِّف الن‬
َّ ‫َّار يَ ُقولُو َن ََّي لَيح تَ نَا أَطَ حعنَا‬ ُ ‫ب ُو ُج‬ ُ َّ‫﴿يَ حوَم تُ َقل‬
﴾‫اب َوال َحع حن ُه حم ل حَعنًا َكبِّريًا‬
ِّ ‫الح َع َذ‬

“Pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, aduhai, seandainya
dulu kita mentaati Allah dan Rasul. Mereka berkata, wahai Rabb kami, sesungguhnya kami (dahulu) mentaati
tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus), wahai Rabb
kami, berikanlah kepada mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar” (QS. Al-
Ahzaab: 66-68).

Asy-Syaukani berkata, “Yang dimaksud dengan tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar adalah para pemimpin
yang dipatuhi perintahnya di dunia dan diteladani.2

Saudaraku, tidak cukupkah bagi kita untuk mengambil pelajaran dari Abu Thalib, paman Nabi ‫ﷺ‬, bagaimana ia
terhalang dari hidayah hanya kerena kuatnya ia berpegang teguh kepada agama yang ia warisi dari ayahnya
Abdul Muththalib?! Bagaimana ia jatuh dalam kesesatan yang tak berujung karena warisan yang tak ingin ia
tinggalkan?!3

Namun demikian, bukan berarti semua adat istiadat yang kita warisi dari nenek moyang akan menjadi pintu
kesesatan bagi kita. Teramat sangat banyak adat istiadat dan tradisi yang kita warisi dari leluhur kita yang harus
bahkan wajib kita lestarikan. Ia adalah adat-adat yang tidak bertentangan dengan syariat, bahkan syariat
sangat mendukung dan menganjurkan kita untuk mealakukannya. Oleh karenanya, beramal haruslah berdasar
kepada Al-Quran dan As-Sunnah diatas pemahaman generasi salaf. Adapun adat, maka tidak boleh dijadikan
rujukan utama dalam beragama. Oleh karenanya, para ulama telah meletakkan Kaedah Fikih dalam masalah ini
yang bisa kita jadikan pedoman:

1
Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir (hal: 108-109, jilid: 2).
2
Tafsir Fathul Qadir (hal: 431, jilid: 4).
3
HR. Al Bukhari: 1272 dan Muslim: 35
‫العادة ُمكمة ما مل ثخالف الشرع‬

“Adat (kebiasaan) bisa menjadi (dasar) sebuah hukum selama tidak menyelisihi syariat”

3. Menjadikan niat baik sebagai alasan untuk melegalkan perkara-perkara yang Allah ta’ala larang.

Niat dan tujuan yang baik kerap disalah gunakan oleh beberapa orang sebagai alasan untuk membolehkan
perkara-perkara yang telah jelas keharamannya di dalam agama. Berdalih dengan hal tersebut, tidak sedikit
dari kita yang tetap teguh berada dalam pelanggaran dan justru nyaman dengannya. Hal ini teramat sangat
berbahaya, karena orang yang terjatuh kedalmnya akan merasa benar dengan alasan tersebut sehingga
membuatnya angkuh dan menolak kebenaran. Dan sikap inilah yang akan menjadi dinding kokoh nan tinggi
yang akan menjadi penghalang antara dirinya dan kebenaran.

Alasan ini bukanlah sesuatu yang baru dalam agama ini. Kaum musyrikin di era jahiliyah pun senantiasa
bersembunyi di balik topeng baiknya niat untuk tetap mengamalkan kesesatan mereka. Allah ta’ala berfirman:

َّ ‫اَّللَ َححي ُك ُم بَيح نَ ُه حم ِِّف َما ُه حم فِّ ِّيه خيَحتَلِّ ُفو َن ۗ إِّ َّن‬ َِّّ ‫وَن إِّ َىل‬ ِّ ِِّّ ِّ َّ ‫اْلَالِّص ۚ والَّ ِّذ‬ ِّ ِّ ِّ
‫اَّللَ َال يَ حه ِّدي‬ َّ ‫اَّلل ُزلح َف ٰى إِّ َّن‬ َ ُ‫اء َما نَ حعبُ ُد ُه حم إَِّّال لِّيُ َق ِّرب‬ ُ ‫﴿أ ََال ََّّلل الد‬
َ َ ُ ‫ين ح‬
َ َ‫ين اَّتَ ُذوا م حن ُدونه أ حَولي‬
ِّ
ٌ ‫ب َك َّف‬
﴾‫ار‬ ٌ ‫َم حن ُه َو َكاذ‬
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar.” (QS. Az Zumar: 3).

Lihatlah bagaimana mereka berdalih, dan lihatlah bagaimana Allah membantah hal tersebut dengan
menamakan mereka sebagai pendusta dan sangat ingkar. Padahal jika saja baiknya niat bisa melegalkan suatu
keharaman, maka pastilah Allah akan menyanjung mereka karena niat tersebut.

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah ‫ ﷺ‬juga membantah mereka yang berdalih dengan baiknya niat dalam
menghalalkan sesuatu yang Allah larang atau mendatangkan perkara-perkara baru dalam agama ini dengan
alasan baiknya niat. Disebutkan dalam sebuah hadits:

ِّ َّ ‫َّب صلَّى‬ ِّ َ ‫اَّلل َعلَي ِّه وسلَّم يسأَلُو َن َعن ِّعب‬ ِّ ‫((جاء ثََلثَةُ رحه ٍط إِّ َىل ب ي‬
: ‫ فَ َقالُوا‬،‫وها‬َ ُّ‫ فَلَ َّما أُ حخِّربُوا َكأَنَّ ُه حم تَ َقال‬، ‫اَّللُ َعلَيحه َو َسلَّ َم‬ َ ِّ ِّ‫ادة الن‬ َ ‫ح‬ ‫صلَّى َُّ ح َ َ َ َ ح‬ َ ‫َّب‬ِّ ِّ‫اج الن‬ ِّ ‫وت أَ حزَو‬ ُُ َ ََ
َ َ‫ َوق‬،‫ُصلي اللَّ حي َل أَبَ ًدا‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ
‫وم‬
ُ ‫َص‬ُ ‫ أ َََن أ‬: ‫ال آ َخ ُر‬ َ ‫ فَِّإِِّن أ‬،‫ أ ََّما أ َََن‬: ‫َح ُد ُه حم‬ َ ‫ال أ‬
َ َ‫َّر؟ ق‬ َ ‫اَّللُ َعلَ حيه َو َسلَّ َم قَ حد غُف َر لَهُ َما تَ َقد‬
َ ‫َّم م حن ذَنحبه َوَما ََتَخ‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ ِّ ِّ‫َوأَيح َن َحَن ُن م َن الن‬
ِّ َّ َ ‫ فَ َق‬،‫اَّللُ َعلَحي ِّه َو َسلَّ َم إِّل حَي ِّه حم‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّّ ‫ول‬ ِّ ِّ ‫الد حهر وَال أُف‬
‫ أ ََما‬،‫ين قُلحتُ حم َك َذا َوَك َذا‬
َ ‫ ”أَنح تُ ُم الذ‬: ‫ال‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫اء َر ُس‬َ ‫ فَ َج‬،‫ج أَبَ ًدا‬
ُ ‫اء فَ َل أَتَ َزَّو‬
َ‫س‬ َ ‫ أ َََن أَ حعتَ ِّز ُل الن‬: ‫ال آ َخ ُر‬َ َ‫ َوق‬،‫حط ُر‬ َ َ َّ
))‫س ِّم ِّن‬ َ ‫ب َع حن ُسن َِِّّت فَ لَحي‬
ِّ
َ ‫ فَ َم حن َرغ‬،‫اء‬ َ‫س‬
ِّ ‫ وأَتَزَّو‬،‫ وأُص ِّلي وأَرقُ ُد‬،‫َك ِّن أَصوم وأُفح ِّطر‬
َ ‫ج الن‬ ُ َ َ ‫ُ َُ ُ َ َ َح‬ ‫ح‬
ِّ ِّ َ ‫اَّلل إِِِّّن َألَ حخ‬
ِّ ‫َّلل وأَتح َقا ُكم لَهُ ل‬
َ َّ ‫شا ُك حم‬
َِّّ ‫و‬
َ

“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi
shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih
sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah
seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian
yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”.
Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian
datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan
begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling
bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang
benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”1

Jika kita berhenti sejenak memperhatikan hadits yang mulia ini, niscaya kita akan mendapati bahwasanya dasar
yang membuat 3 orang tersebut bertekad untuk melakukan hal-hal tersebut ialah karena mereka merasa
amalan mereka teramat sangat sedikit, sehingga mereka ingin menambah porsi ibadah dari apa yang telah
Allah dan Rasul-Nya ‫ ﷺ‬syariatkan. Sungguh niat yang mulia, merasa ibadah yang kita lakukan kurang dan kita
ingin menambahnya bahkan mengorbankan seluruh waktu kita yang tersisa untuk ibadah. Tapi lihatlah
bagaimana Rasulullah ‫ ﷺ‬menanggapi hal tersebut. Bukannya senang, justru hal tersebut membuat beliau
marah dan menakan yang demikian itu sebagai bentuk benci terhada ajaran beliau ‫ﷺ‬. Maka adakah
keberuntungan bagi nereka yang benci terhadap ajaran Rasulullah ‫!?ﷺ‬

4. Menjadikan banyaknya pelaku sebagai tolak ukur baik buruknya suatu amalan.

“Jika benar amalan ini buruk, kenapa banyak orang yang melakukannya?!” Ungkapan lawas yang terus
dikumandangkan oleh sebagian diantara kita tatkala ada orang yang datang untuk menyampaikan nasehat.

Saudaraku, jika memang tolak ukur kebenaran suatu amalan adalah banyakbnya orang yang melakoni amalan
tersebut, akankah Allah melarang Nabi-Nya untuk mengikuti kebanyakan orang di Bumi ini dan mengatakan
bahwa hal itu merupakan pintu kesesatan?! Allah berfirman:

َِّّ ‫يل‬ ِّ ‫ض ي‬ ِّ
ُ ‫اَّلل ۚ إِّ حن يَتَّبِّ ُعو َن إَِّّال الظَّ َّن َوإِّ حن ُه حم إَِّّال خيَح ُر‬
﴾‫صو َن‬ ِّ ِّ‫وك َع حن َسب‬
َ ُّ‫ضل‬ ُ ِّ ‫﴿وإِّ حن تُط حع أَ حكثَ َر َم حن ِِّف حاأل حَر‬
َ

”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)

Jika benar kebenaran diukur dengan kuantitas pelaku, akankah ada Nabi yang hanya memiliki 1, 2 atau bahkan
tidak memiliki pengikut sama sekali?! Apakah sedikitnya jumlah pengikut menunjukkan bahwa apa yang
dibawa oleh Nabi tersebut bukanlah kebaikan?! Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

))‫َح ٌد‬
َ ‫س َم َعهُ أ‬ َّ ِّ‫الر ُج َل ِّن َوالن‬
َ ‫َّب ل حَي‬ َّ ِّ‫ط َوالن‬
َّ ‫َّب َوَم َعهُ ا َّلر ُج ُل َو‬ ُ ‫الرَه حي‬ َّ ِّ‫ت الن‬
ُّ ُ‫َّب َوَم َعه‬ ُ ‫ت َعلَ َّي حاأل َُم ُم فَ َرأَيح‬ َ ‫(( ُع ِّر‬
‫ض ح‬

"Aku telah diperlihatkan (oleh Allah) beberapa golongan umat manusia. Aku lalu melihat seorang nabi yang
bersamanya sekumpulan manusia, ada juga nabi yang bersama dengan satu atau dua orang lelaki saja, dan
seorang nabi tanpa seorang pengikut pun”2

Saudaraku, jika parameter kebenaran adalah banyaknya pelaku, maka bagaimana kita menyikapi hadits Nabi ‫ﷺ‬
yang menjelaskan perpecahan yang akan terjadi dalam diri ummat islam, lantas beliau katakana bahwa hanya
ada satu golongan yang akan selamat?! Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

1
HR. Bukhari: 5063
2
Diriwayatkan secara ringkas dari hadits Muslim: 323
ِّ ‫ْي فِّ حرقَةً فَِّإ حح َدى َو َسبح عُ حو َن ِِّف الن‬ ِّ ِّ ‫ت النَّصارى َعلَى ثِّنح تَ ح‬ ِّ َ‫ وافح تَ رق‬،‫َّار‬ ِّ ِّ ِّ ‫ت الحي هو ُد َعلَى إِّح َدى وسب ِّع‬ ِّ ِّ
‫َّار‬ َ‫ْي َو َسبحع ح‬ ََ َ َ ِّ ‫ْي ف حرقَةً فَ َواح َدةٌ ِِّف ا حْلَنَّة َو َسبح عُ حو َن ِِّف الن‬ َ‫ح َ َ ح ح‬ ‫(( افحتَ َرقَ َ ُ ح‬
ِّ ‫َّار )) قِّيل َّي رسو َل‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ‫ث وسب ِّع‬ ِّ ِّ ِّ ٍ ِّ َّ ِّ ِّ ِّ
‫ َم حن‬،‫هللا‬ ‫ِف الن ِّ ح َ َ َ ُ ح‬ ‫ َواح َدةٌ ِِّف ا حْلَنَّة َوث حن تَان َو َس حب ُع حو َن ِّ ح‬،ً‫ْي ف حرقَة‬َ‫ِت َعلَى ثَلَ ٍ َ َ ح ح‬ ‫س ُُمَ َّمد بيَده لَتَ حف ََِّتقَ َّن أ َُّم ِّ ح‬
ُ ‫ َوالذ حي نَ حف‬،‫َوَواح َدةٌ ِف ا حْلَنَّة‬
ِّ ِّ ِّ ِّ ‫ (( ُكلُّهم ِِّف الن‬:‫ وِف رواية‬.) ُ‫ ( اَ حْلماعة‬:‫ال‬
‫ اْلديث‬.))‫اب‬ ‫ َما أ َََن َعلَ حيه َوأ ح‬:ً‫َّار إِّالَّ ملَّةً َواح َدة‬
‫َص َح ِّ ح‬ ‫ُح‬ َ ََ َ َ‫ُه حم ؟ ق‬
“Ummat Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang
masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh
puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk
surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku
menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan
masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, ‘Siapakah mereka (satu
golongan yang selamat) itu ?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”1
Dalam riwayat lain: “semua di Neraka kecuali satu: (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.”2
Oleh karenanya wahai saudaraku yang aku cintai, berhati-hatilah kita dalam menjalani kehidupan ini, semabri
terus berdoa kepada Allah agar selalu diberikan ketepan hati dan istiqomah agar tetap berada diatas hidayah
Allah. Sungguh, tidaklah seseorang berpaling dari jalan hidayah melainkan Allah akan memalingkannya sejauh-
jauhnya.
۟
َّ ‫غ‬
‫ٱَّللُ قُلُوبَ ُه حم﴾ اآلية‬ َ ‫﴿فَلَ َّما َزاغُٓوا أ ََزا‬
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” (QS. Ash-Shaff: 5)
Dan sungguh tidak akan berpaling dari jalan hidayah kecuali mereka-mereka yang binasa. Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

ٌ ِّ‫ارَها َال يَ ِّزي ُغ َعنح َها بَ حع ِّدي إَِّّال َهال‬


((‫ك‬ ِّ ‫ضاء نقية ل حَي لُ َها َكنَ َه‬
َ ‫))تَ َرحكتُ ُك حم َعلَى بَ حي‬
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang dan murni, siangnya seperti malamnya. Tidak
ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.”3

Ketahuilah saudaraku, bahwasanya jalan keselamatan hanya ada pada Al-Quran dan As-Sunnah dengan
merujuk pada pemahaman salaful ummah. Nabi ‫ ﷺ‬berasabda:

‫هللا َو ُسنَّةَ َر ُس حولِّ ِّه‬


ِّ ‫ كِّتاب‬: ‫سكحتم ِبِِّّما‬ ِّ ‫ت فِّ حي ُكم أ حَمريح ِّن ل‬
َ َ َ ‫َن تَضلُّ حوا َما َتََ َّ ُ ح‬
‫تَ َرحك ُ ح َ ح‬
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.4

‫ واْلمد هلل رب العاملْي‬،‫وصلى هللا على نبينا ُممد وآله وصحبه وسلم‬

‫وهللا تعاىل أعلم‬

1
HR. Ibnu Majah: 3992
2
HR. Tirmidzi: 2641, dan hadits ini dihasankan oleh Asy Syeikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahîhul Jâmi’ (no.
5343)
3
Hadits
4
(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim
al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Anda mungkin juga menyukai