Anda di halaman 1dari 5

6 Pilar Dakwah Ahlussunnah

Pertama; Memurnikan Agama Untuk Allah

Memurnikan agama untuk Allah (ikhlas) merupakan pokok agama. Inilah inti ajaran tauhid yang dibawa oleh para
rasul dan menjadi muatan kitab-kitab.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya, ketahuilah
bahwa agama yang murni adalah milik-Nya.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat
dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku
hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian itu yang diperintahkan kepada-
Ku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri.” (QS. al-An’aam: 162-163)

Tauhid ibarat pondasi bagi sebuah bangunan. Siapa saja yang menginginkan bangunannya kokoh menjulang maka
hendaknya dia mengokohkan pondasinya. Asas yang menjadi landasan agama seorang hamba mencakup 2 hal;
mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya. Ikhlas dan
tauhid ibarat sebuah pohon di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amalan sedangkan buahnya adalah
kehidupan yang baik dan membahagiakan di dunia dan di akhirat. Demikian pula syirik dan kedustaan ibarat sebuah
pohon di dalam hati yang buahnya di dunia berupa rasa takut, kesedihan, kesempitan hati dan kegelapan yang
menggelayuti, dan buahnya di akhirat adalah zaqqum dan pedihnya azab…!

Tauhid inilah perintah pertama yang disebutkan di dalam mushaf al-Qur’an apabila dibaca dari depan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan
orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21).

Allah tidak hanya memerintahkan beribadah, namun juga melarang dari perkara yang membatalkannya, yaitu syirik.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang
mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum mu seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya; Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. al-Anbiya’: 25).
Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun.” (QS. an-Nisaa’: 36)

Dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada tingkatan iman yang paling tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, dan yang tertinggi adalah ‘la
ilaha illallah’, sedangkan yang peling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, bahkan rasa malu itu juga
termasuk cabang keimanan.” (HR. Muslim)

Perbaikan tauhid bagi agama laksana perbaikan jantung bagi anggota badan. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah
segenap anggota badan. Dan apabila dia rusak maka rusaklah segenap anggota badan. Ketahuilah, wahai itu
adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal itu menunjukkan bahwa perbaikan tauhid merupakan pokok
segala upaya perbaikan. Maka dakwah mana pun yang tidak menjadikan dakwah tauhid sebagai perhatian utamanya
maka ia pasti mengalami penyimpangan seiring dengan jauhnya mereka dari pokok ajaran ini.

Tauhid merupakan prioritas pertama dan paling utama dalam dakwah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada Mu’adz, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, apabila kamu
menemui mereka ajaklah mereka kepada syahadat la ilaha illallah dan muhammad rasulullah -dalam riwayat lain
disebutkan; hendaknya yang pertama kali kamu serukan adalah agar mereka beribadah kepada Allah, dalam riwayat
lainnya dikatakan; supaya mereka mentauhidkan Allah- …” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah dakwah yang diserukan oleh segenap para rasul, seperti Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan para nabi
yang lainnya. Bagaimana pun kondisi masyarakat yang mereka hadapi maka dakwah tauhid merupakan yang paling
pokok. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja merasa takut terhadap bahaya syirik, maka bagaimana lagi dengan kita?
Allahta’ala menceritakan dalam ayat (yang artinya), “(Ibrahim berdoa)… Wahai Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak
keturunanku dari menyembah berhala. Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menjauhkan menyesatkan
banyak manusia.” (QS. Ibrahim: 35-36)

Kedua; Hanya ada satu jalan kebenaran

Sesungguhnya jalan yang menjamin nikmat Islam hanya satu, karena keberuntungan hanya Allah tetapkan untuk satu
golongan saja. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itu sajalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. al-Mujadalah: 22) . Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang
loyal kepada Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang
pasti akan menang.” (QS. al-Ma’idah: 56)

Perpecahan merupakan perkara yang dicela. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu termasuk
golongan orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga menjadi
bergolong-golongan, masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (QS. ar-
Rum: 31-32)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga
mereka bergolong-golongan maka kamu sama sekali tidak menanggung urusan mereka, sesungguhnya urusan
mereka kembali kepada Allah, kemudian Allah akan beritakan kepada mereka apa saja yang telah mereka
lakukan.” (QS. al-An’aam: 159)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari
kalangan ahli kitab telah berpecah menjadi 72 aliran, dan sesungguhnya agama ini akan berpecah menjadi 73
golongan, 72 di neraka dan satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, sahih)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’aam:
153). Yang dimaksud dengan jalan yang benar itu adalah yang menjadi kandungan dari kalimat syahadat muhammad
rasulullah. Karena amalan tidak akan diterima kecuali apabila terpenuhi dua hal; mengikhlaskan amalan karena Allah
dan mengerjakannya dengan mengikuti ajaran Rasulullah hallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Berpegang teguhlah dengan tali Allah secara bersama-sama dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS.
Ali Imran: 103)

Tali Allah itu adalah al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Telah aku tinggalkan
kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat sesudahku selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan
Sunnahku.” (HR. Malik, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani). as-Sunnah merupakan penjelas terhadap al-Qur’an,
Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) agar kamu
menjelaskannya kepada manusia.” (QS. an-Nahl: 44)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup sesudahku maka
dia pasti akan melihat banyak perselisihan, maka pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang
megikuti petunjuk dan lurus, berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian, dan
jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan -dalam agama- adalah
bid’ah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian ajaran yang putih
bersih, malamnya bagaikan siangnya, tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah, sahih). Hal ini menunjukkan bahwa agama ini dibangun di atas landasan ittiba’/mengikuti tuntunan
dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama. Ibnu
Mas’udradhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian membuat-buat bid’ah, karena
sesungguhnya kalian ini telah dicukupkan. Hendaknya kalian mengikuti ajaran terdahulu.” Ibnu
Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua bid’ah itu sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”
Maka menjadi kewajiban siapa saja yang telah sampai kepadanya dalil dari Kitabullah maupun Sunnah
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap pasrah dan tunduk serta mengamalkannya, meskipun dalam hal
itu dia harus menyelisihi siapa pun. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Ikutilah apa yang diturunkan kepada
kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian menjadikan selain-Nya sebagai penolong-penolong kalian, betapa
sedikitnya kalian mau mengambil peringatan.” (QS. al-A’raf: 3)

Ketiga; Mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih

Inilah pilar pokok yang banyak dilalaikan oleh berbagai kelompok sehingga menyimpangkan mereka dari jalan yang
benar. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang hendak mengikuti ajaran, maka
ikutilah ajaran orang yang telah meninggal, karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah, mereka itulah
para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang yang paling utama di antara umat ini
dan paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah
dipilih Allah untuk menemani nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah
jejak-jejak mereka dan berpegag teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, sesungguhnya mereka
itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berusaha untuk meneladani
mereka.” Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan
Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian sesudah itu,
kemudian yang sesudah itu lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman,
maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih dan Kami akan memasukkannya ke
dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Keempat; Menggapai kemuliaan dengan ilmu

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan diberikan
ilmu di antara kalian beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan
merendahkan dengannya pula sebagian yang lain.” (HR. Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan oleh Allah al-Kitab
dan Hukum serta kenabian untuk berkata kepada orang-orang; Jadilah penyembahku sebagai sekutu bagi Allah,
akan tetapi hendaknya jadilah kalian sebagai rabbani dengan sebab kalian mengajarkan al-Kitab dan dan dengan
sebab apa yang kalian pelajari.” (QS. Ali Imran: 79)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan rasul ketika
mereka menyerumu kepada sesuatu yang menghidupkan kalian.”(QS. al-Anfal: 24). Abu Bakar ash-
Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang telah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan pasti aku kerjakan, karena sesungguhnya aku takut jika aku tinggalkan
salah satu perintahnya maka aku akan menyimpang/tersesat.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya karena
mereka itu akan tertimpa fitnah atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas
segala perselisihan yang terjadi di antara mereka.” (QS. an-Nisaa’: 65)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah apa adanya ajaran yang aku tinggalkan kepada
kalian, karena sesungguhnya sebab yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah akibat terlalu banyak
bertanya dan suka menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apabila aku melarang kalian dari sesuatu jauhilah dan
apabila aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah sekuat kemampuan kalian.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya mereka
itulah orang-orang yang rendah.” (QS. al-Mujadilah: 20). Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan
dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menyelisihi perintah/urusanku.” (HR. Ahmad)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Taatilah Allah dan rasul-Nya, dan janganlah kalian bertikai karena hal itu
akan melemahkan kalian dan menghilangkan kekuatan kalian.” (QS. al-Anfal: 46). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan.” (QS. Ali Imran: 105)

Kelima; Membantah orang yang menyimpang termasuk amar ma’ruf nahi munkar

Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang yang diam terhadap kebenaran adalah syaitan yang bisu, sedangkan orang
yang berbicara dengan kebatilan adalah syaitan yang berbicara.”Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya
ada di antara kalian orang-orang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ibnu Taimiyah berkata, “Memerintahkan kepada Sunnah dan melarang bid’ah itu termasuk amar ma’ruf dan nahi
mungkar, dan hal itu termasuk amal salih yang paling utama.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala cemburu, dan seorang mukmin pun cemburu, dan kecemburuan Allah
itu bangkit tatkala seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Ada yang
bertanya, “Wahai Rasulullah! Orang ini kami tolong karena dia terzalimi, lalu bagaimana kami menolongnya
sementara dia yang melakukan kezaliman?”. Beliau menjawab, “Kamu menghalangi atau mencegahnya dari
kezaliman.” (HR. Bukhari)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta
bersikap keraslah kepada mereka.” (QS. at-Taubah: 73). Ibnul Qayyim berkata, “Berjihad melawan orang munafik
hanyalah dengan menyampaikan hujjah kepada mereka…” “…Maka berjihad melawan orang-orang munafik lebih
sulit daripada berjihad melawan orang-orang kafir, dan itu merupakan jihadnya kalangan khusus dari umat ini serta
pewaris para nabi. Orang-orang yang menegakkan urusan ini sedikit saja di dunia ini, orang-orang yang turut serta
di dalamnya dan membantu mereka, meskipun mereka itu jumlahnya juga sedikit, maka mereka adalah orang-orang
yang memiliki kedudukan yang lebih agung di sisi Allah.”

Yahya bin Yahya berkata, “Membela Sunnah itu lebih utama daripada jihad.” Ibnul Qayyim berkata, “Berjihad
dengan hujjah dan lisan itu lebih didahulukan daripada jihad dengan pedang dan persenjataan.”

Pada asalnya mengingkari kemungkaran adalah dengan cara lembut. Allah ta’ala berfirman kepada Musa dan Harun
(yang artinya), “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, katakanlah
kepadanya perkataan yang lembut, mudah-mudahan dia mau mengambil pelajaran atau merasa takut.” (QS. Thaha:
43-44). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu
melainkan pasti menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya.” (HR. Muslim)

Meskipun demikian, terkadang menggunakan kekerasan adalah diperbolehkan. Allah ta’alaberfirman (yang
artinya), “Apabila ada dua kelompok di antara kaum muslimin berperang maka lakukanlah perdamaian antara
keduanya, apabila salah satu di antara keduanya bertindak melampaui batas kepada yang lain maka perangilah
kelompok yang memberontak itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat: 9)

Keenam; Tashfiyah dan Tarbiyah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual-beli dengan cara inah (riba), dan
kalian memegang ekor-ekor sapi dan lebih puas dengan pertanian dan meninggalkan jihad, maka Allah akan
timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut oleh Allah kehinaan itu sampai kalian kembali kepada
agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka
mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal salih
bahwa Allah akan menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana Allah angkat orang-orang sebelum
mereka sebagai penguasa dan Allah akan kokohkan untuk mereka agama mereka yang Allah ridhai atas mereka dan
Allah gantikan rasa takut mereka menjadi keamanan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku
dengan sesuatu apapun.”(QS. an-Nur: 55)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalaulah para penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa niscaya
akan Kami bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.”(QS. al-A’raf: 96). Imam Malik
berkata, “Tidak akan memperbaiki urusan umat terakhir ini kecuali dengan apa yang memperbaiki generasi
awalnya.”

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil
‘alamin.

* Diambil dan diringkas dari Sittu Duror Min Ushul Ahli al-Atsar, Syaikh Abdul Malik Ramadhani

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Anda mungkin juga menyukai