Anda di halaman 1dari 19

TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah
(melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini;
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan
diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.


Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia
dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang
pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َّ ‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَطِ ْع فَعَلَ ْي ِه بِال‬،ِ‫صنُ ل ِْلف َْرج‬


‫ص ْو ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬ َ َ‫َض ل ِْلب‬
َ ْ‫ص ِر َوأَح‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَغ‬، ْ‫ع مِ ْن ُك ُم ْالبَا َءة َ فَ ْليَت َزَ َّوج‬ َ َ ‫ب َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬.
ِ ‫شبَا‬

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu
lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami


Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak
sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:

َّ َ‫َّللاِ ۖ فَإ ِ ْن خِ ْفت ُ ْم أ َ ََّل يُقِي َما ُحدُود‬


‫َّللاِ َف ََل‬ َّ َ‫ش ْيئًا ِإ ََّل أ َ ْن َيخَافَا أ َ ََّل يُقِي َما ُحدُود‬ َ ‫ان ۗ َو ََل َيحِ ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا مِ َّما آت َ ْيت ُ ُموه َُّن‬
ٍ ‫س‬َ ْ‫ساك ِب َم ْع ُروفٍ أ َ ْو تَس ِْريح ِبإِح‬ َّ
ِ ‫الط ََل ُق َم َّرت‬
َ ‫َان ۖ فَإ ِ ْم‬
‫م‬ ‫ل‬‫ا‬ َّ
‫الظ‬ ‫م‬ ُ
‫ه‬ ‫ئ‬َ ‫ل‬َٰ ‫و‬ُ ‫أ‬َ ‫ف‬ َّ
‫َّللا‬ ‫د‬ ‫ُو‬ ‫د‬‫ح‬ َّ ‫د‬‫ع‬َ ‫ت‬ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ۚ ‫َا‬
‫ه‬ ‫ُو‬ ‫د‬َ ‫ت‬‫ع‬ َ ‫ت‬ َ
‫َل‬ َ ‫ف‬ َّ
‫َّللا‬ ُ ‫د‬‫ُو‬ ‫د‬‫ح‬ ْ
‫ِل‬ ‫ت‬ ۗ ‫ه‬ ‫ب‬ ْ‫ت‬ ‫د‬ َ ‫ت‬ ْ
‫ف‬ ‫ا‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫م‬‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ح‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫ج‬
َ‫ِ ُ ون‬ ُ َ‫ِك‬ ِ َ ُ َ َ َ َ ْ ِ ُ َ‫َ ِ ِ ك‬ َ َِْ َ َ ُ

“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan
isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah
lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-
Baqarah, lanjutan ayat di atas:

َّ ُ‫َّللاِ ۗ َوت ِْلكَ ُحدُود‬


َ‫َّللاِ يُبَيِنُ َها ِلقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُمون‬ َّ َ‫ظنَّا أ َ ْن يُقِي َما ُحدُود‬
َ ‫علَ ْي ِه َما أ َ ْن يَت ََرا َجعَا إِ ْن‬
َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل ُجنَا َح‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل تَحِ ُّل لَهُ مِ ْن بَ ْعدُ َحت َّ َٰى ت َ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬
َ ‫غي َْرهُ ۗ فَإ ِ ْن‬ َ ‫فَإ ِ ْن‬

“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya.
Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan
muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang
calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.

a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam


Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang
selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam
memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta
saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan
adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -
insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak
seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat
seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya
melainkan derajat taqwanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

‫علِيم َخ ِبير‬ َّ ‫َّللاِ أَتْقَا ُك ْم ۚ ِإ َّن‬


َ َ‫َّللا‬ َّ َ‫ارفُوا ۚ ِإ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم مِ ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنثَ َٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13]

Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para
orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat
istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda
ْ َ‫ ف‬،‫سبِ َها َو ِل َج َما ِل َها َو ِل ِد ْينِ َها‬
ِ ‫اظف َْر بِذَا‬
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: َ‫ت ال ِدي ِْن ت َِربَتْ يَدَاك‬ َ ‫ ِل َما ِل َها َو ِل َح‬:ٍٍ ‫ت ُ ْن َك ُح ْال َم ْرأَة ُ ِأل َ ْربَ ِع‬.

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka
hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.” [2]

Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah
adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.

Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena
sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan
pernikahannya tetap sah.

Allah menjelaskan dalam firman-Nya: ‫ت‬ َّ ‫الط ِيبُونَ ل‬


ِ ‫ِلط ِي َبا‬ َّ ‫ِلط ِي ِبينَ َو‬
َّ ‫الط ِي َباتُ ل‬
َّ ‫ت ۖ َو‬
ِ ‫ْال َخ ِبيثَاتُ ل ِْل َخ ِبيثِينَ َو ْال َخ ِبيثُونَ ل ِْل َخ ِبيثَا‬

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang
keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur : 26]

b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah


Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-
laki yang shalih.

َّ ‫ظ‬
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah: ُ‫َّللا‬ ِ ‫ظات ل ِْلغَ ْي‬
َ ‫ب ِب َما َح ِف‬ َ ِ‫صا ِل َحاتُ قَانِت َات َحاف‬
َّ ‫فَال‬

“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]

Lafazh ‫ قَانِت َات‬dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]

َّ ‫اَلدُّ ْن َيا َمت َاع َو َخي ُْر َمت َاعِ الدُّ ْن َيا ْال َم ْرأَة ُ ال‬.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ُ‫صا ِل َحة‬

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ظ َر ِإلَ ْي َها َوت ُطِ ْيعُهُ ِإذَا أ َ َم َر َوَلَ تُخَا ِلفُه ُ فِ ْي نَ ْف ِس َها َوَلَ َما ِل َها ِب َما َي ْك َره‬ ُ َ ‫ساءِ الَّتِي ت‬
َ َ‫س ُّرهُ ِإذَا ن‬ َ ِ‫ َخي ُْر الن‬.

“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan
tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

،‫ضيِ ُق‬ َّ ‫ َو ْال َم ْسكَنُ ال‬،‫ َو ْال َم ْرأَة ُ الس ُّْو ُء‬،‫ار الس ُّْو ُء‬
ُ ‫ ا َ ْل َج‬:ِ‫شقَ َاوة‬
َّ ‫ َوأ َ ْربَع مِ نَ ال‬،‫ َو ْال َم ْر َكبُ ْال َهنِ ْي ُء‬،‫صا ِل ُح‬ ُ ‫ َو ْال َج‬،‫ َو ْال َم ْسكَنُ ْال َوا ِس ُع‬،ُ‫صا ِل َحة‬
َّ ‫ار ال‬ َّ ‫ ا َ ْل َم ْرأَة ُ ال‬:ِ‫سعَادَة‬
َّ ‫أ َ ْربَع مِ نَ ال‬
ْ
‫وال َم ْر َكبُ الس ُّْو ُء‬. َ

“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan
kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat
tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]

Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah
:

1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,


2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah.
[7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah
syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.

Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.

Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak
keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah


Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat
baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan
amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah
(sedekah).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ‫ أ َ َكان‬،‫ضعَ َها فِي َح َر ٍام‬


… ‫علَ ْي ِه فِ ْي َها ِو ْزر؟ فَ َكذَلِكَ ِإذَا‬ َ ‫ أَيَأْتِي أ َ َحدُنَا‬،ِ‫س ْو َل هللا‬
َ ‫ أ َ َرأ َ ْيت ُ ْم لَ ْو َو‬:َ‫ش ْه َوتَهُ َويَ ُك ْونُ لَهُ فِ ْي َها أَجْر؟ قَال‬ َ ‫ْع أ َ َح ِد ُك ْم‬
ُ ‫ يَا َر‬:‫ قَالُ ْوا‬،‫صدَقَة‬ ِ ‫َوفِي بُض‬
‫ض َع َها فِي ْال َحَلَ ِل َكانَ لَهُ أَجْ ر‬َ َ ‫و‬.

“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para
Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya
terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian
jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan
isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8]

5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih


Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

َ‫َّللاِ ُه ْم َي ْكفُ ُرون‬


َّ ‫ت‬ ِ ‫ت ۚ أَفَ ِب ْال َباطِ ِل يُؤْ مِ نُونَ َو ِبنِ ْع َم‬ َّ َ‫اج ُك ْم َبنِينَ َو َحفَدَة ً َو َرزَ قَ ُك ْم مِ ن‬
ِ ‫الط ِي َبا‬ ِ ‫َّللاُ َجعَ َل لَ ُك ْم مِ ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا َو َج َع َل لَ ُك ْم مِ ْن أ َ ْز َو‬
َّ ‫َو‬

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu
bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk
generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

‫َّللاُ لَ ُك ْم‬
َّ ‫َب‬َ ‫َوا ْبتَغُوا َما َكت‬

“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]

Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in
menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]

Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami
isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih.
Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat
banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-
nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun
isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan
agama Islam.

Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai
pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400),
at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i
(VI/68), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-
Ta’liqaatul Hisaan) dan al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim (II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat
Abu Hurairah radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021 -at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits
Sa’ad bin Abi Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167,
168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
[9]. Tafsiir Ibnu Katsir (I/236), cet. Darus Salam
Khitbah (Peminangan)

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena
dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ َحتَّى َيتْ ُركَ ْالخَاطِ بُ قَ ْبلَهُ أ َ ْو َيأْذَنَ لَه ُ ْالخَاطِ ب‬،ِ‫ط َب ِة أَخِ ْيه‬
ْ ِ‫علَى خ‬
َ ‫الر ُج ُل‬
َّ ‫ب‬ ُ ‫ َوَلَ َي ْخ‬،‫ض‬
َ ‫ط‬ ٍ ‫علَى َبي ِْع َب ْع‬ ُ ‫سلَّ َم أ َ ْن َي ِب ْي َع َب ْع‬
َ ‫ض ُك ْم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫نَ َهى النَّ ِب‬.
َ ‫ي‬

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh
saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk
menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫ فَ ْليَ ْفعَ ْل‬،‫ظ َر مِ ْن َها إِلَى َما يَ ْدع ُْوهُ إِلَى نِ َكاحِ َها‬
ُ ‫ع أ َ ْن يَ ْن‬ َ َ ‫ فَإ ِ ِن ا ْست‬،َ ‫ب أ َ َحدُ ُك ُم ْال َم ْرأَة‬
َ ‫طا‬ َ ‫إِذَا َخ‬
َ ‫ط‬

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya: ‫حْرى أ َ ْن يُؤْ دَ َم بَ ْينَ ُك َما‬ ُ ‫أ ُ ْن‬
َ َ ‫ فَإِنَّهُ أ‬،‫ظ ْر إِلَ ْي َها‬

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak
mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian
mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat
rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk
menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam.
[4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang


Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami
sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang
akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu
ِ ‫ إَِلَّ ت َ ْفعَلُ ْوا ت َ ُك ْن فِتْنَة فِي اْأل َ ْر‬،ُ‫ض ْونَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَا ْن ِك ُح ْوه‬
َ َ‫ض َوف‬
‘alaihi wa sallam bersabda, ‫ساد َكبِيْر‬ َ ‫إِذَا َجا َء ُك ْم َم ْن ت َْر‬.

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak
kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh
suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di
Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia
berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku
telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq
dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan
tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan
puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala
engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata,
‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa
Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang
meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan
shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta
memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk
memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah
(Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:

ِ ‫عَلَّ ُم ْالغُي ُْو‬


‫ اَللَّ ُه َّم إِ ْن ُك ْنتَ ت َ ْعلَ ُم أ َ َّن َهذَا اْأل َ ْم َر‬.‫ب‬ َ َ‫ضلِكَ ْالعَظِ ي ِْم فَإِنَّكَ ت َ ْقد ُِر َوَلَ أ َ ْقد ُِر َوت َ ْعلَ ُم َوَلَ أ َ ْعلَ ُم َوأ َ ْنت‬ ْ َ‫اَللَّ ُه َّم إِنِي أ َ ْستَخِ ي ُْركَ بِع ِْلمِ كَ َوأ َ ْست َ ْقد ُِركَ بِقُد َْرتِكَ َوأ َ ْسأَلُكَ مِ ْن ف‬
َ ْ َ َ َ ْ ُ
‫ َوإِ ْن كنتَ ت َ ْعل ُم أ َّن َهذا األ ْم َر ش ٌَّر‬،ِ‫ار ْك ِل ْي فِ ْيه‬ ُ ْ
ِ َ‫آج ِلهِ( فَاقد ُْرهُ ِل ْي َويَ ِس ْرهُ ِل ْي ث َّم ب‬ ِ ‫اج ِل ِه َو‬ِ ‫ع‬ َ
َ :َ‫ي )أ ْو قال‬ َ ْ ‫عاقِبَ ِة أ َ ْم ِر‬ َ ‫ي ِد ْينِ ْي َو َمعَا ِش ْي َو‬ ْ ِ‫سمِ ى َحا َجتَهُ( َخيْر ِل ْي ف‬ َ ُ‫)وي‬ َ
‫ضنِ ْي بِ ِه‬ َ ُ
ِ ‫ْث َكانَ ث َّم أ ْر‬ ْ
ُ ‫ِي ال َخي َْر َحي‬ َ ‫ل‬ ‫ُر‬
ْ ‫د‬ ْ
‫ق‬ ‫ا‬‫و‬ َ ُ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫ي‬
ْ ‫ن‬
ِ ْ
‫ف‬ ‫ر‬
ِ ‫ص‬
ْ ‫ا‬‫و‬َ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ ‫ع‬
َ ُ ‫ه‬ ْ
‫ف‬ ‫ر‬ِ ‫ص‬
ْ ‫ا‬َ ‫ف‬ (ِ ‫ه‬ ‫ل‬
ِ ‫آج‬
ِ ‫و‬َ ‫ه‬
ِ ‫ل‬
ِ ‫اج‬ِ ‫ع‬
َ ‫ي‬ْ ‫ف‬
ِ :َ
‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ ‫و‬ْ َ ‫أ‬) ‫ي‬
ْ ‫ر‬ِ ‫م‬ْ َ ‫أ‬ ‫ة‬
ِ َ ‫ب‬‫ق‬
ِ ‫ا‬‫ع‬َ ‫و‬
َ ‫ي‬
ْ ‫ش‬
ِ ‫ا‬‫ع‬
َ ‫م‬َ ‫و‬
َ ‫ي‬ْ ‫ن‬
ِ ‫ي‬ْ ‫د‬
ِ ‫ي‬ْ ‫ف‬
ِ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
ِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan
kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-
Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak
mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini
(orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan
akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan
(tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui
bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan
jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian
berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid
berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah
mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta
pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur’an [10] dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” [11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat
wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:

1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.

2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat
malam.

3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan
jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.

4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.

5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh
Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-
Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i
(no. 3047).
[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216)
oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul
Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i
(VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu
‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti
Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu
‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (III/218-222).

2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai


2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan
wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian
saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah
Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari
pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak
wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita,
memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita,
wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa
wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ي َم ْن‬ ُّ ‫طانُ َو ِل‬ َ ‫ فَإ ِ ِن ا ْشت َ َج ُر ْوا فَالس ُّْل‬،‫ فَإ ِ ْن دَ َخ َل بِ َها فَلَ َها ْال َم ْه ُر بِ َما ا ْست َ َح َّل مِ ْن فَ ْر ِج َها‬،‫ فَنِكَا ُح َها بَاطِ ل‬،‫ فَنِكَا ُح َها بَاطِ ل‬،‫أَيُّ َما ا ْم َرأَةٍ نَ َك َحتْ بِغَي ِْر ِإ ْذ ِن َو ِليِ َها فَنِكَا ُح َها بَاطِ ل‬
ُ‫ي لَه‬ َّ َ‫ل‬
ِ ‫و‬ َ ‫َل‬ .

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab
menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ٍ ‫َلَ نِكَا َح ِإَلَّ بِ َو ِلي‬

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

َ ‫َلَ ِنكَا َح ِإَلَّ ِب َو ِلي ٍ َوشَا ِهدَى‬


Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‫عدْ ٍل‬

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka
nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-
Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:

‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر ۗ َٰذَ ِل ُك ْم‬


َّ ِ‫ظ بِ ِه َم ْن َكانَ مِ ْن ُك ْم يُؤْ مِ نُ ب‬ َ ‫ض ْوا بَ ْينَ ُه ْم بِ ْال َم ْع ُروفِ ۗ َٰذَلِكَ يُو‬
ُ ‫ع‬ َ ‫ضلُوه َُّن أ َ ْن يَ ْنكِحْ نَ أ َ ْز َوا َج ُه َّن ِإذَا ت ََرا‬
ُ ‫سا َء فَبَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ت َ ْع‬
َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫َو ِإذَا‬
َ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َوأ َ ْنت ُ ْم ََل ت َ ْعلَ ُمون‬ ْ َ ‫أ َ ْزك ََٰى لَ ُك ْم َوأ‬
َّ ‫ط َه ُر ۗ َو‬

“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi
mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik.
Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci
bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan
kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

!‫ َوهللاِ َلَ تَعُ ْودُ إِ َليْكَ أَبَدًا‬،َ‫طبُ َها؟ َل‬ َ َ‫ زَ َّوجْ تُكَ َوفَ َر ْشتُكَ َوأ َ ْك َر ْمتُكَ ف‬:ُ ‫ فَقُ ْلتُ لَه‬،‫طبُ َها‬
ُ ‫طلَّ ْقت َ َها ث ُ َّم ِجئْتَ ت َْخ‬ ُ ‫ضتْ ِعدَّت ُ َها َجا َء يَ ْخ‬ َ َ‫زَ َّو ْجتُ أ ُ ْختًا ِل ْي مِ ْن َر ُج ٍل ف‬
َ َ‫طلَّقَ َها َحتَّى إِذَا ا ْنق‬
ُ ‫ اْْلنَ أ َ ْف َع ُل يَا َر‬: ُ‫ضلُوه َُّن ( فَقُ ْلت‬
ُ‫ فَزَ َّو َج َها ِإيَّاه‬:َ‫ قَال‬.ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ فَأ َ ْنزَ َل هللاُ َه ِذ ِه اْْليَ ِة ) فَ ََل ت َ ْع‬.ِ‫ت ْال َم ْرأَة ُ ت ُ ِر ْيدُ أ َ ْن ت َْر ِج َع ِإلَ ْيه‬ِ َ‫س بِ ِه َوكَان‬ ْ
َ ‫َو َكانَ َر ُجَلً َلَ بَأ‬

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya.
Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku
katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau
menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu
selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka
Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku
akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara
perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil
tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam
hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya
yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat
yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan
syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan.
Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya
sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi
mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan
bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah
baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan
dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya…” [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan
dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya.
Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita
memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٍ ‫َلَ نِكَا َح إَِلَّ بِ َو ِلي‬

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan


Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari
wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya
(pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia
setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ َو َك ْي‬،ِ‫ يَا َرسُ ْو َل هللا‬:‫ قَالُ ْوا‬. َ‫َلَ ت ُ ْن َك ُح اْألَيِ ُم َحتَّى ت ُ ْست َأ ْ َم َر َوَلَ ت ُ ْن َك ُح ْالبِ ْك ُر َحتَّى ت ُ ْست َأْذَن‬
َ‫ أ َ ْن ت َ ْسكُت‬:َ‫ف إِ ْذنُ َها؟ قَال‬

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh
dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau
menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi
wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin
membatalkannya). [12]

• Mahar

ً‫صدُقَاتِ ِه َّن نِحْ لَة‬ َ ِ‫َوآتُوا الن‬


َ ‫سا َء‬

“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-
Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan
menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang
lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan
mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

‫صدَاقِ َها َوت َ ْي ِسي ُْر َرحِ مِ َها‬ ْ ِ‫إِ َّن مِ ْن يُ ْم ِن ْال َم ْرأَةِ ت َ ْي ِسي ُْر خ‬
َ ‫طبَتِ َها َوت َ ْي ِسي ُْر‬

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

َ ‫َخي ُْر النِكَاحِ أ َ ْي‬


‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ُ‫س ُره‬

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan
mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]
• Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun
Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

َ‫ َوأ َ ْش َهدُ أ َ ْن َلَ ِإلَه‬،ُ‫ِي لَه‬َ ‫ضل ِْل فََلَ هَاد‬ ْ ُ‫ َو َم ْن ي‬،ُ‫ض َّل لَه‬ِ ‫ َم ْن يَ ْه ِد ِه هللاُ فََلَ ُم‬،‫ت أ َ ْع َما ِلنَا‬ ُ ‫ َونَعُ ْوذُ بِاهللِ مِ ْن‬،ُ‫ نَحْ َمدُهُ َونَ ْست َ ِع ْينُهُ َونَ ْست َ ْغف ُِره‬،ِ‫ِإ َّن ْال َح ْمدَ ِهلل‬
َ ‫ش ُر ْو ِر أ َ ْنفُ ِسنَا َومِ ْن‬
ِ ‫سيِئ َا‬
ُ ‫س ْولُه‬ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬ َ ‫ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬،ُ‫ِإَلَّ هللاُ َو ْحدَهُ َلَ ش َِريْكَ لَه‬

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung
kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk,
maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya,
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

َ‫َّللاَ َح َّق تُقَاتِ ِه َو ََل ت َ ُموت ُ َّن ِإ ََّل َوأ َ ْنت ُ ْم ُم ْس ِل ُمون‬
َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫سا َءلُونَ بِ ِه َو ْاأل َ ْر َح‬


َّ ‫ام ۚ إِ َّن‬
َ َ‫َّللاَ َكان‬ َ َ ‫َّللاَ الَّذِي ت‬
َّ ‫سا ًء ۚ َواتَّقُوا‬
َ ِ‫ِيرا َون‬ َّ َ‫اس اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّذِي َخلَقَ ُك ْم مِ ْن نَ ْف ٍس َواحِ دَةٍ َو َخلَقَ مِ ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬
ً ‫ث مِ ْن ُه َما ِر َج ًاَل َكث‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫َرقِيبًا‬

“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’ : 1]

َّ ‫صلِحْ لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغف ِْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم ۗ َو َم ْن يُطِ ِع‬


َ ‫َّللاَ َو َرسُولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا‬
‫عظِ ي ًما‬ ْ ُ‫سدِيدًا ي‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫َّللاَ َوقُولُوا قَ ْو ًَل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya
Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad
(VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-
Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya
Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad
(IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107)
dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-
Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib
adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij
Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari
Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad
Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi
(no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-
Wajiiz (hal. 280-281).
[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181).
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani
dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani
rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H,
dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet.
Daarul Adh-ha, th. 1409 H.
[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka yang biasa
dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari
enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097
dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi
(no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:
1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-
Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah
Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “… Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du….” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “…Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap
kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du…” (HR.
Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu
petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-
lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du…” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِ‫ي ك َْال َي ِد ْال َج ْذ َماء‬


َ ‫ش ُّهد فَ ِه‬ ْ ‫ ُك ُّل ُخ‬.
َ ‫ط َب ٍة لَي‬
َ َ ‫ْس ِف ْي َها ت‬

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta.”
(HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-
Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah…”
(Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-
an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya…. Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak
mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-
hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya…” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah,
XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “…Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka
setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang
lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang…” (Khutbatul Hajah
(hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).
Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini
untuk menghidupkan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak
dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk
menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah
merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82)
cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

3. Walimah.
Walimatul ‘urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٍ‫أ َ ْو ِل ْم َولَ ْو بِشَاة‬.

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya
mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang
dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫صى هللاَ َو َرسُ ْولَه‬ ِ ْ ‫ فَ َم ْن لَ ْم َيأ‬، ُ‫سا ِك ْين‬


َ ‫ت الدَّ ْع َوة َ فَقَ ْد‬
َ ‫ع‬ َ ‫عى إِلَ ْي َها اْأل َ ْغنِيَا ُء ويُتْ َركُ ْال َم‬
َ ‫ يُ ْد‬،ِ‫طعَا ُم ْال َو ِل ْي َمة‬ َّ ‫ش َُّر‬
َ ‫الطعَ ِام‬

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan,
sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‫ي‬ َ ‫صاحِ بْ إَِلَّ ُمؤْ مِ نًا َوَلَ يَأ ْ ُك ْل‬
ٌّ ‫طعَا َمكَ إَِلَّ ت َ ِق‬ َ ُ ‫َلَ ت‬

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-
orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫ِي أ َ َحدُ ُك ْم إِلَى ْال َو ِل ْي َم ِة فَ ْليَأْتِ َها‬
َ ‫إِذَا دُع‬

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

َ ُ‫صائِ ًما فَ ْلي‬


َ ُّ‫ يَ ْعنِى اَلد‬.‫ص ِل‬
‫عا َء‬ ْ َ‫ فَإ ِ ْن َكانَ ُم ْفطِ ًرا فَ ْلي‬، ْ‫طعَ ٍام فَ ْلي ُِجب‬
َ َ‫ َوإِ ْن َكان‬،‫طعَ ْم‬ َ ‫ِي أ َ َحدُ ُك ْم إِلَى‬
َ ‫إِذَا دُع‬

Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah
(hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk,
maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah,
sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan
saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak
diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di
Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena
aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang
bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau
mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut
makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

ْ ‫ َو‬،‫اَللَّ ُه َّم ا ْغف ِْر لَ ُه ْم‬


Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah: ‫ َوبَا ِِر ْك لَ ُه ْم فِ ْي َما َرزَ ْقت َ ُه ْم‬،‫ار َح ْم ُه ْم‬

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

ِ ‫اَللَّ ُه َّم َب‬


ْ ‫ْ َو‬،‫ َوا ْغف ِْر لَ ُهم‬،‫ار ْك لَ ُه ْم فِ ْي َما َرزَ ْقت َ ُه ْم‬
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh: ‫ار َح ْم ُه ْم‬

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh: ‫سقَانِي‬


َ ‫ق َم ْن‬ ْ َ ‫ط ِع ْم َم ْن أ‬
ِ ‫ َوا ْس‬،‫طعَ َمنِي‬ ْ َ ‫اَللَّ ُه َّم أ‬

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang
memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh: ُ‫علَ ْي ُك ُم ْال َمَلَئِ َكة‬


َ ْ‫صلَّت‬ ُ ‫ط َعا َم ُك ُم اْألَب َْر‬
َ ‫ َو‬،‫ار‬ َ ‫ َوأ َ َك َل‬، َ‫صائِ ُم ْون‬ َ ‫أ َ ْف‬
َّ ‫ط َر ِع ْندَ ُك ُم ال‬

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik,
dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah: ‫ع َليْكَ َو َج َم َع َب ْينَ ُك َما فِي َخي ٍْر‬ َ ‫اركَ هللاُ لَكَ َو َب‬
َ َ‫ارك‬ َ ‫َب‬

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam
kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.


Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.


2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ص ْوتُ فِي النِك‬


‫َاح‬ ُّ ‫ص ُل َما بَيْنَ ْال َحَلَ ِل َو ْال َح َر ِام الد‬
َّ ‫ُّف َوال‬ ْ َ‫ف‬

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan
oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria
dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‫ار يُ ْع ِجبُ ُه ُم اللَّ ْه ُو‬


َ ‫ص‬َ ‫ َما َكانَ َم َع ُك ْم لَ ْهو؟ فَإ ِ َّن اْأل َ ْن‬،ُ‫شة‬
َ ‫عا ِئ‬
َ ‫َيا‬

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]
Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya
seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia
nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

‫أَت َ ْينَا ُكـ ْم أَت َـ ْينَا ُكـ ْم فَ َحـي ُّْونَا نُ َحيِ ْي ُكـ ْم‬
‫لَ ْو َلَ الذَّهَبُ اْألَحْ ـ َم ُر َما َحلَّتْ ِب َوا ِد ْي ُكـ ْم‬
‫عذَ ِار ْي ُك ْم‬ َ ْ‫سمِ نَت‬ َ ‫ـرا ُء َما‬ َ ‫س ْم‬ َّ ‫طةُ ال‬ َ ‫لَ ْو َلَ ْالحِ ْن‬

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian


Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫أ َ ْع ِلنُوا النِكَا َح‬

“Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
[1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish
shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama
berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-
Nasa’i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat
Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no.
1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad
(III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-
Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138),
dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini
miliknya, dari Abu Hurairah.
[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).
[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul
Baari IX/247).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120,
121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah
bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad
radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika
bertamu atau lainnya.
[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa’i dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika
seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus
Salam, th. 1423 H.
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-
Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad
(III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-
Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.
4. Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai
berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،ِ‫علَ ْيه‬َ ‫ اَللَّ ُه َّم إِنِي أ َ ْسأَلُكَ مِ ْن َخي ِْرهَا َو َخي ِْر َما َجبَ ْلت َ َها‬:‫ َو ْليَقُ ْل‬،ِ‫ع لَهُ بِ ْالبَ َر َكة‬
ُ ‫ع َّز َو َجلَّ( َو ْليَ ْد‬ َ ُ‫)و ْلي‬
َ َ‫س ِم هللا‬ ِ ‫إِذَا ت َزَ َّو َج أ َ َحدُ ُك ْم ا ْم َرأَة ً أ َ ِو ا ْشت ََرى خَا ِد ًما فَ ْليَأ ْ ُخ ْذ بِن‬
َ ‫َاصيَتِ َها‬
‫علَ ْي ِه‬ ْ
َ ‫وأَع ُْوذُ بِكَ مِ ْن ش َِرهَا َوش َِر َما َجبَلت َ َها‬. َ

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu
bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya
dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di
antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr
bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata:
‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih
seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat
dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya.
Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.


Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan
seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah,
sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang
kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

‫ َوفَ ِر ْق بَ ْينَنَا ِإذَا فَ َّر ْقتَ ِإلَى َخي ٍْر‬،‫ اَللَّ ُه َّم اجْ َم ْع بَ ْينَنَا َما َج َمعْتَ ِإلَى َخ ْي ٍر‬،‫ار ُز ْق ُه ْم مِ نِي‬ ْ ‫ اَللَّ ُه َّم‬،‫ي‬
ْ ‫ َو‬،‫ار ُز ْقنِي مِ ْن ُه ْم‬ ِ َ‫ َوب‬،‫ار ْك لِي فِي أ َ ْه ِل ْي‬
َّ ِ‫ار ْك لَ ُه ْم ف‬ ِ َ‫اَللَّ ُه َّم ب‬

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah
rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau
yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu
kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan
kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas
itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya
sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia
membaca do’a:

‫طانَ َما َرزَ ْقتَنَا‬


َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ب ال‬ َّ ‫ اَللَّ ُه َّم َجنِ ْبنَا ال‬،ِ‫ ِبس ِْم هللا‬.
َ ‫ش ْي‬
ِ ِ‫طانَ َو َجن‬

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan
Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari
hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫سا ُؤ ُك ْم َح ْرث لَ ُك ْم فَأْتُوا َح ْرث َ ُك ْم أَنَّ َٰى ِشئْت ُ ْم ۖ َوقَ ِد ُموا ِأل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا‬
َ‫َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ُم ََلقُوهُ ۗ َو َبش ِِر ْال ُمؤْ مِ نِين‬ َ ‫ِن‬

“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan
utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-
Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa
yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau: ‫سا ُؤ ُك ْم َح ْرث لَ ُك ْم فَأْتُوا َح ْرث َ ُك ْم أَنَّ َٰى‬
َ ِ‫ن‬
‫ِشئْت ُ ْم‬

“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-
Baqarah : 223]

َ ‫ق الدُّب َُر َو ْال َح ْي‬


Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: َ‫ضة‬ ِ َّ ‫ َوات‬،‫أ َ ْقبِ ْل َوأ َ ْد ِب ْر‬.

“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di
dubur dan ketika sedang haidh”. [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ِ‫ُم ْقبِلَة ُم ْدبِ َرة إِذَا كَانَتْ فِي ْالف َْرج‬

“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja

• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan
hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara
keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ْ ‫إِذَا أَت َى أ َ َحدُ ُك ْم أ َ ْهلَهُ ث ُ َّم أ َ َرادَ أ َ ْن يَعُ ْودَ فَ ْليَت ََوضَّأ‬

“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’
terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu
bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di
rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?”
Beliau menjawab.

ْ َ ‫ط َيبُ َوأ‬
‫ط َه ُر‬ ْ َ ‫َهذَا أ َ ْزكَى َوأ‬

“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam.
Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini
berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau.
Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau
melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

ِ ْ ‫ص َر أ َ َحدُ ُك ُم ا ْم َرأ َة ً فَ ْليَأ‬


‫ فَإ ِ َّن ذَلِكَ يَ ُردُّ َما فِ ْي نَ ْف ِس ِه‬،ُ‫ت أ َ ْهلَه‬ َ ‫ان فَإِذَا أ َ ْب‬
ٍ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ُ ‫ان َوت ُ ْدبِ ُر فِ ْي‬
َ ِ‫ص ْو َرة‬ ٍ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ُ ‫إِ َّن ْال َم ْرأَة َ ت ُ ْقبِ ُل فِ ْي‬
َ ِ‫ص ْو َرة‬

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila
seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang
demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar
segera mendatangi isterinya – atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan
syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits
tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman: َ‫صنَعُون‬ َّ ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ۚ َٰذَلِكَ أ َ ْزك ََٰى لَ ُه ْم ۗ إِ َّن‬
ْ َ‫َّللاَ َخبِير بِ َما ي‬ ُ َ‫ار ِه ْم َويَحْ ف‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُ ْل ل ِْل ُمؤْ مِ نِينَ يَغُضُّوا مِ ْن أ َ ْب‬

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda
َ ‫ظ َرة َ فَإ ِ َّن لَكَ اْأل ُ ْولَى َولَ ْي‬
kepada ‘Ali. ُ ‫ستْ لَكَ اْْلخِ َرة‬ ْ َّ‫ظ َرة َ الن‬
ْ ‫ َلَ تُتْبِع ال َّن‬،‫ي‬
ِ ُّ ‫ع ِل‬
َ ‫يَا‬

“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang
kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

َّ ‫َّللاُ ۚ ِإ َّن‬
ُّ‫َّللاَ يُحِ ب‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن مِ ْن َحي‬
َّ ‫ْث أ َ َم َر ُك ُم‬ ْ ‫يض ۖ َو ََل ت َ ْق َربُوه َُّن َحت َّ َٰى َي‬
َ َ ‫ط ُه ْرنَ ۖ فَإِذَا ت‬ ِ ِ‫سا َء فِي ْال َمح‬ ِ ِ‫ع ِن ْال َمح‬
َ ِ‫يض ۖ قُ ْل ه َُو أَذًى فَا ْعت َِزلُوا الن‬ َ َ‫َو َي ْسأَلُونَك‬
َ َ ْ
َ‫الت َّوابِينَ َويُحِ بُّ ال ُمتط ِه ِرين‬ َّ

“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena
itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang
bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

َ ‫ فَقَ ْد َكف ََر ِب َما أ ُ ْن ِز َل‬:‫َم ْن أَت َى َحائِضًا أ َ ِو ا ْم َرأَة ً فِي دُب ُِرهَا أ َ ْو كَا ِهنًا‬
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‫علَى ُم َح َّم ٍد‬

“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun,
maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‫َم ْلعُ ْون َم ْن أَت َى ا ْم َرأَتَهُ فِي دُب ُِرهَا‬

“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.


Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya
yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang
lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ٍ ‫َار أ َ ْو ِنصْفِ ِد ْين‬


‫َار‬ َ َ ‫َيت‬
ٍ ‫صدَّقَ ِب ِد ْين‬

“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada
kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

‫يءٍ إَِلَّ النِكَاح‬ َ ‫صنَعُ ْوا ُك َّل‬


ْ ‫ش‬ ْ ِ‫ا‬

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan
berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha
bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫س َل يَدَ ْي ِه ث ُ َّم يَأ ْ ُك ُل َويَ ْش َرب‬ َ ‫صَلَةِ َو ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَأ ْ ُك َل أ َ ْو يَ ْش َر‬
َ ‫ب َوه َُو ُجنُب‬
َ ‫غ‬ َّ ‫ضأ َ ُوض ُْو َءهُ لِل‬ َ ‫َكانَ ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَن‬
َّ ‫َام َوه َُو ُجنُب ت ََو‬

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila
beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan
dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

َّ ‫ضأ َ لِل‬
ِ‫صَلَة‬ َّ ‫س َل فَ ْر َجهُ َوت ََو‬ َ ‫سلَّ َم ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن َين‬
َ ‫َام َوه َُو ُجنُب‬
َ ‫غ‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫َكانَ النَّ ِب‬
َ ‫ي‬

“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan
berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat
membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-
masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang
yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ضى ِإلَى ا ْم َرأَتِ ِه َوت ُ ْف‬


ُ ‫ضى ِإلَ ْي ِه ث ُ َّم يَ ْن‬
‫ش ُر س َِّرهَا‬ َّ ‫اس ِع ْندَ هللاِ َم ْن ِزلَةً يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
ِ ‫الر ُج ُل يُ ْف‬ ِ َّ‫ِإ َّن مِ ْن أَش َِر الن‬

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan
isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian
lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan
perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa
membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang
diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada
seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫ظ‬
ُ ‫َّللا‬ ِ ‫ظات ل ِْلغَ ْي‬
َ ‫ب بِ َما َح ِف‬ َ ِ‫صا ِل َحاتُ قَانِت َات َحاف‬
َّ ‫فَال‬

““Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya)
tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari
Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia
menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia
menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal.
92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
(VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah
(hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no.
2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 144,
145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada
kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di
atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka
dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-
Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala
Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata,
“Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195).
Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang
lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi
(VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi
(I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari Sahabat Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah
(hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no.
640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal.
122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-
103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i
(I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan
lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah
al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-
haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan
hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

Anda mungkin juga menyukai