Anda di halaman 1dari 102

Kajian Ta’shilul Ilmi

Bersama
Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi

BAB
ADAB & TAZKIYATUN NUFUS
1. Indahnya Adab dan Akhlaq
2. Petaka Dosa Besar
3. 40 Atsar Shohabat
4. Ta’dzimul ‘Ilmi

Ma’had Al Furqon Al Islami


Srowo – Sidayu – Gresik – Jawa Timur
‫ش‬‫م‬‫ل‬
‫فصول الآداب ومكارم الآخلاق ا روعة‬
‫لإلمام العآلمة أبً الوفاء علً بن عقٌل البغدادي الظفري‬

‫‪Kajian Ta’shilul Ilmi‬‬


‫‪Bersama Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi‬‬
‫بسمميحرلا نمحرلا هللا‬

Alhamdulillah, sholawat dan slam


tercurahkan kepada Nabi Muhammad ‫صلى هللا علٌه‬
‫و سلم‬, penutup para nabi. Juga kepada beliau
serta kepada para shahabat beliau seluruhnya
hingga datangnya hari kiamat.

Berikut ini adalah ringkasan dari


“pembagian-pembagian tentang adab dan akhlaq
mulia yang disyari’atkan dalam agama ISLAM
dengan judul asli “Fushul Adab Wa Makarimul
Akhlaq Al-Masyru’ah” yang disusun oleh Syaikh Al
Imam Al Qudwah Abu Al- Wafa’ bin ‘Aqil - Semoga
ALLOH merahmati beliau -
FASHAL 1
Dianjurkan bagi pejalan kaki untuk
mengucapkan salam kepada yang duduk dan
juga untuk yang berkendara agar mengucapkan
salam terlebih dahulu kepada yang berjalan atau
yang duduk. Dan memulai mengucapkan salam
itu hukumnya adalah sunnah .

Jika salah satu dari jamaah yang berjalan


kaki atau berkendara mengucapkan salam, maka
cukup sebagian dari jamaah tersebut. Begitu juga
untuk yang menjawab salam dari suatu jamaah
yang duduk, maka cukup sebagian saja. Adapun
lafadz salam itu adalah : assalamu ‘alaikum ‫"السالم‬
"‫علٌكم‬, adapun lafadz jawabannya adalah :
wa’alaikum salam “‫”وعلٌكم السالم‬. Tambahannya
yang disunnahkan adalah : warohmatullohi
wabarokatuh “‫”ورحمة هللا وبركاته‬. Dan tidak
disunnahkan tambahan selain itu.

Disunnahkan bagi yang menjawab salam


untuk menjawab salam dengan lafadz yang
serupa atau lebih baik lagi. Seandainya seseorang
mengucapkan salam, kemudian terpisah atau
terhalang pohon atau tembok, maka disunnahkan
mengulang salam ketika bertemu. Demikianlah
yang diamalkan oleh para shahabat Nabi ‫صلى هللا‬
‫علٌه وسلم‬
Dimakruhkan mengucapkan salam kepada para
pemudi karena hal tersebut membuat mereka
menjawab salam dan terdengarlah suara mereka
yang dapat menimbulkan fitnah. Sudah berapa
banyak kerusakan yang mengundang hawa nafsu
akibat dari suara mereka (pemudi).

Adapun mengucapkan salam kepada


wanita yang sudah tua renta, hal ini tidak
mengapa. Kareana tidak ada fitnah yang
ditimbulkan dari suara mereka. Demikian juga
diperbolehkan mengucapkan salam kepada
wanita yang terjaga kehormatannya, karena dia
butuh do’a keselamatan serta boleh menjawab
salam mereka

Diperbolehkan mengucapkan salam


kepada anak kecil sebagai pendidikan adab bagi
mereka dan agar memiliki budi pekerti yang baik.

Disunnahkan pula memulai salam ketika


hendak pergi sebagaimana disunnahkan pula
memulai salam ketika dating. Dan salam ketika
dating lebih disunnahkan.
FASHAL 2
Berjabat tangan antara dua orang adalah
termasuk hal yang dianjurkan.Tidak
diperbolehkan bersalaman dengan pemudi atau
wanita. Karena yang demikian akan menimbulkan
syahwat.

Demikian pula diperbolehkan dalam Islam


saling berpelukan, begitu pula mencium kepala
ataupun tangan kepada para ahli ilmu agama
atauulama ataupun kepada yang lebih tua
umurnya.

Boleh menyambut pemimpin yang adil, orangtua,


ahli ilmu atau seorang yang mulia nasabnya
dengan berdiri. Adapun selain mereka, maka
tidak dianjurkan.
FASHAL 3
Hendaknya seseorang tidak ikut campur
dalam rahasia suatu kaum. Dan jangan ikut
nimbrung untuk mendengarkan musyawarah
suatu kaum. Dan barangsiapa yang tidak sengaja
mendengarkannya maka wajib menyimpannya
dan tidak menyebarkannya

FASHAL 4
Tidak diperbolehkan berjalan penuh
dengan kesombongan atau ujub. Karena jalan
dengan kesombongan sangat dibenci Alloh,
kecuali dalam peperangan melawan orang-orang
kafir.

FASHAL 5
Dan termasuk akhlak yang mulia adalah
tidak menyamaratakan manusia seluruhnya
namun memperlakukan mereka sesuai dengan
kedudukan mereka masing-masing. Dan
menutupi kesalahan mereka adalah hal yang
mulia. Begitu juga janganlah buang angin
sembarangan, bersuara maupun tidak. Jika ada
yang mendengar demikian maka seakan dia tidak
mendengarnya atau berpura-pura tidur. Yang
demikian adalah termasuk kemuliaan akhlak.
FASHAL 6
Dan menjaga 10 fithrah, 5 di bagian kepala
dan 5 lainnya di badan. Adapun di bagian kepala,
yaitu berkumur ketika berwudhu, memasukkan
air dalam hidung ketika berwudhu, bersiwak,
mencukur kumis, dan memelihara jenggot.

Adapun bagian badan, yaitu mencukur


bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong
kuku, bersuci ketika berhadats, dan khitan.

FASHAL 7

Tidak diperkenankan mencabut uban,


karenadia disebutkan dalam hadits adalah
sebagai cahaya Alloh, selain itu juga sebagai
pengingat kematian, tidak menjadikan manusia
bermalas-malasan dalam beramal shalih.

Tidak diperkenankan pula mencukur


rambut cepak di sebagian kepala, kecuali untuk
keperluan hijamah atau bekam. Karena hal ini
diperbolehkan dalam sebagian riwayat.
FASHAL 8
Dan tidak diperkenankan bagi seorang
muslimuntuk masuk ke rumah kerabat ataupun
lainnya secara tiba-tiba dan tanpa ijin. Seharusnya
memberi salam dahulu sampai 3 kali jika tidak ada
jawaban maka pulang lebih baik baginya.

FASHAL 9
Haram hukumnya ketika berbincang-
bincang dengan dua orang namun hanya
mengajak berbicara satu orang saja dari
keduanya. Karena yang demikian akan menyakiti
hati seseorang yang tidak diajak bicara.
FASHAL 10
Wajib mengucap bismillah ketika hendak
makan. Dan menutupnya dengan hamdalah.
Hendaknya memakan makanan dengan tangan
kanan dan mengambil makanan yang berada
didekatnya saja, hal ini jika makanan tersebut
sama jenisnya atau tidak beraneka ragam
makanannya. Hendaknya pula memakan
makanan dari tepi makanan bukan dari tengah-
tengah makanan. Dikarenakan yang demikian
lebih barokah sebagaimana disebutkan dalam
sebagian riwayat.

Demikian pula tidak boleh meniup


makanan yang panas maupun dingin. Tidak
mengapa minum dan makan dengan berdiri,
namun makruh hukumnya jika makan dengan
bersandar. Jika ingin membersihkan wadah
minum ataupun makan hendaknya memulai dari
kanan. Demikianlah yang Nabi ‫ ملسو هيلع هللا ىلص‬ajarkan.
FASHAL 11
Barangsiapa yang ingin tidur maka
hendaknya menutup pintunya, mengikat kantung
airnya, menutup bejana-bejananya, serta
memadamkan lampunya. Demikianlah yang
diajarkan Nabi ‫ ملسو هيلع هللا ىلص‬dalam sebagian riwayat. Dan
Ahmad radhiyalloh ‘anhu membenci cuci tangan
ketika hendak makan. Walaupun beliau
meriwayatkan hadits tentang cuci tangan
tersebut. Mungkin beliau menilai hadits tersebut
tidak shahih.

FAHSAL 12
Dianjurkan untuk mencuci tangan untuk
menghilangkan aroma daging. Adapun ketika
hendak tidur maka lebih dianjurkan. Dan telah
diriwayatkan tentang peringatan tersebut, agar
tidak mengundang hewan-hewan berbisa.

Dan dimakruhkan memakan makanan


yang berbau menyengat dan kurang sedap ketika
hendak ke masjid untuk sholat, semisal bawang
dan yang semisalnya terlebih rokok yang jelas
keharamnya. Dan Nabi ‫ ملسو هيلع هللا ىلص‬melarang hal tersebut.
Hendaknya berusaha menjawab undangan
walimah, dan adapun walimah khitan maka hal ini
adalah perkara yang diada-adakan.

Andaikata menghadiri walimah dan tidak


ada makanan maka cukup baginya mendoakan
pengantin kemudian pergi. Dan undangan
walimah yang wajib dijawab adalah yang tidak
ada kemungkaran dalam acara tersebut. Jika ada
hal-hal yang dimakruhkan oleh syari’at, maka
makruh pula menghadirinya.

Dan tidak sepantasnya untuk kalangan ahli


ilmu dan orang – orang yang memiliki akhlaq
mulia untuk berebut makanan. Dan tidak
selayaknya mereka mendatangi walimah yang
tidak syar’i. yang demikian akan menjatuhkan
muru’ah atau harga dirinya.

Dan disunnahkan bagi seorang muslim


untuk dapat merawat jenazah saudaranya
sesama muslim. Dan berta’ziyah kepada
keluarganya.Dan tidak mengapa berta’ziyah
kepada kafir dzimmiy (kafir yang dilindungi
Negara)
FASHAL 13
Ghibah adalah perkara yang haram, sebagaimana
firman Alloh,

)۲۱ : ‫والٌغتب بعضكم بعضا (الحجرات‬

"dan janganlah kalian saling mengghibah satu


dengan yang lainnya" (Q.S. Al hujurot : 12 )

Adapun menyebutkan keburukan seorang


untuk memberikan peringatan atas bahaya orang
tersebut. Maka hal ini tidak termasuk ghibah.

FASHAL 14
Ghibah adalah ucapan yang berisi hinaan
dan cacian, dan juga keburukan terhadap yang
orang yang dituju.

Hendaknya kita menahan lisan kita dari hal


tersebut. Kecuali memang mengharuskan
menyebut cacat seseorang untuk memberi
peringatan atau memberi petunjuk. Selain itu
maka hendaknya menjaga lisan adalah lebih baik.
Sibukkanlah lisan kita dengan al-Quran, mengkaji
berbagai ilmu syar’i, beramar ma’ruf nahi munkar
dan melakukan perbaikan terhadap manusia.
FASHAL 15
Dan diharamkan dalam Islam sutera bagi
laki-laki, dan dibolehkan untuk para wanita.
Begitu juga tidak boleh bagi lelaki memakai emas-
emasan walaupun hanya cincin atau yang
semacamnya.

Dan tidak dimakruhkan untuk memakai


kain sejenis sutera namun dicampur dengan
bahan kulit onta, seperti juga kain dari kapas yang
dicampur sejenis sutera.

Dan tidak diperbolehkan adanya gambar


bernyawa pada pakaian, karena Nabi ‫ملسو هيلع هللا ىلص‬melarang
hal tersebut. Sebagaimana sabda beliau,
"Malaikat tidak akan masuk rumah yang
didalamnya ada gambar mahkluk bernyawa".

Dan pilihlah tangan kiri untuk memakai


cincin. Ataupun tangan kanan maka tidak
mengapa.

Dan tidak boleh mengenakan pakaian


yang melebihi mata kaki, karena hal ini
merupakan kesombongan
Diperbolehkan bagi lelaki untuk masuk
kamar mandi menggunakan kain penutup hanya
untuk menutup auratnya. Namun hal ini tidak
diperkenankan untuk perempuan kecuali untuk
keperluan yang mendesak.

Boleh menyemir rambut dengan aneka


macam tumbuhan semacam inai atau pacar, dan
tidak boleh dengan warna hitam.

Diharamkan bagi lelaki untuk bercampur


baur dengan wanita yang bukan mahrom, baik
dengan jumlah yang banyak semisal dua lelaki
dengan dua perempuan. Juga tidak selayaknya
wanita yang berpakaian minim satu ranjang
dengan wanita pula, atau dalam satu selimut juga
tidak diperbolehkan.

Tidak diperbolehkan bermain musik dalam


Islam baik dengan alat musik apapun jenisnya.
Dan dikecualikan rebana maka ini diperbolehkan
hanya waktu pernikahan. Sebagaimana sabda
Nabi
mainkanlah rebana."

Boleh dengan menasyidkan nama-nama


ALLoh.
FASHAL 16
Boleh berobat dengan bekam atau fashdu,
begitu juga dengan kai (menempelkan besi
panas) atau meminum obat-obatan yang
diperbolehkan.

Dan diharamkan berobat dengan sesuatu


yang haram ataupun najis. Adapun dalam riwayat
Ahmad hukum pengobatan fasdhu dan kai adalah
makruh.

FASHAL 17

Ketika ada ular dalam rumah maka

hendaknya mengusirnya 3x, jika tidak bereaksi

maka boleh membunuhnya. Adapun ular yang

memiliki dua tanduk (ular gurun) maka boleh

langsung membunuhnya. Ular ini biasanya ada

garis hitam dipunggungnya.

Adapun lafazh mengusir adalah "pergilah

dengan selamat".
FASHAL 18
Dibolehkan membunuh cicak, dan tidak
diperbolehkan membunuh semut dan tidak boleh
pula membongkar rumahnya.

Dan dimakruhkan membunuh kutu


dengan api.

Dan haram hukumnya membunuh katak.

FASHAL 19
Tidak boleh menandai hewan
menggunakan kai agar terkelupas kulitnya.

FASHAL 20
Makruh hukumnya membersihkan tubuh
dalam masjid, seperti memotong kuku, mencukur
kumis, ataupun mencabut bulu ketiak. Begitupula
dengan menjahit pakaian atau kulit. Begitu pula
dengan menyambung tali sandal yang putus.
FASHAL 21
Dan berbakti kepada kedua orangtua
adalah wajib. Imam Ahmad pernah ditanya
tentang bakti kepada orangtua apakah itu harus?
Maka beliau menjawab, aku tidak mengatakan
bahwa itu harus tapi itu adalah kewajiban.

Namun tidak boleh taat kepada


keduanyajika dalam kemaksiatan kepada Alloh.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi ‫ ملسو هيلع هللا ىلص‬, "tidak ada
ketaatan kepada mahkluk dalam bermaksiat
kepada Alloh".

FASHAL 22
Tidak diperbolehkan bersandar dengan
tangan kiri di belakang punggung. Dan makruh
hukumnya duduk diantara sinar matahari dan
bayangan.
FASHAL 23
Dan dianjurkan menutup suatu majelis
dengan doa kaffarotul majelis, yaitu

‫"سبحاك اللهم وبحمدك أشهد أن ال إله إال أنت أستغفرك و أ توب‬


"‫إلٌك‬

Dan dimakruhkan duduk di bawah menara


serta membersihkan rumah menggunakan
sobekan kain serta minum dari bejana yang
retak/pecah.
‫ل‬ ‫ظ‬‫ن‬‫م‬
‫مة ا كبائر‬
‫لإلمام أبً النجا موسى بن أحمد الحجاوي‬

Kajian Ta’shilul Ilmi


Bersama Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi
‫بسم هللا الرمحن الرحمي‬
‫ بحمدك ِا رب البرِة ابجدي‬.1
‫لػلُ ـّما رمجي ابلؼ مكػدي‬
Aku memulai dengan memuji-Mu wahai
pemilik kemuliaan
Semoga apa yang aku katakan
tersampaikan maksudku.

‫ هذاك اغلُ غلَ الوبُ و الي‬.2


‫و اغحابي من هو ًاد و مٌجدي‬
Semoga shalawat senantiasa tercurahkan
bagi Nabi dan juga kepada keluarganya
serta para sahabatnya dari Alloh dan
hamba hambanya.

‫ ان الذهٍب زمّػٌا‬: ‫ وهن غالما‬.3


‫بػؾرى و هبرى لشمت ـُ المرٍد‬
Jadilah orang yang berilmu: bahwa dosa
seluruhnya
Terbagi menjadi dosa besar dan dosa kecil.
‫ ـما ـّي حد ـُ الدها او ثٍغد‬.4
‫ ـشم هبرى غلَ هع احمد‬,‫باخرى‬

Setiap yang ada hukumannya di dunia serta


ancaman di akhirat, maka itulah dosa besar.

‫ او زا وغّدى‬: ‫ و زاد حفّد المرد‬.5


‫بوفُ إلِمان و لػن مبػد‬

Dan Ibnu Taimiyyah menambahkan, yaitu


yang terdapat ancaman padanya,
Serta dapat menghapus keimanan serta
mendapat laknat.

‫ هطرك او لجو الوفس إال بحكٌا‬.6


‫و اهو الربا و الشحر و لذف الوٌد‬

Seperti kesyirikan dan membunuh jiwa tanpa hak


Riba dan sihir serta menuduh dengan tuduhan
palsu.
‫و اهلم امٍال الّجامَ بباطو‬ .7
‫ثٍلّم ٍِم الزحؿ ـُ حرب زحد‬
Juga seperti memakan harta anak yatim dengan
cara bathil
Dan larinya engkau dari medan pertempuran
yang berkecamuk

‫ خم اللٍاط و ظربٌم‬,‫هذاك الزها‬ .8


‫خمٍرا و لطػا للطرِق الممٌد‬

Dan juga zina, homoseks dan meminum


khamr, dan segala bentuk perampokan

‫ و صرلة مال الؾّر او اهو مالي‬.9


‫بباطو غوع الكٍل و الفػو و الّد‬

Begitu juga pencurian dan memakan harta orang


lain dengan cara yang bathil
baik melalui perbuatan, ucapan atau tangan
‫ ظٌادة زور خم غق لٍالد‬.11
‫و ؽّبة مؾجاب همّمة مفشد‬

Persaksian palsu, kemudian durhaka terhadap


orang tua
Mengghibah, dan gemar mengadu domba.

‫ ِمّن ؽمٍس ثارك لػالثي‬.11


‫مػو بال طٌر لي بجػمد‬

Mengingkari sumpah, meninggalkan sholat,


Serta menjalankan sholat tanpa bersuci dengan
sengaja

‫ مػو بؾّر الٍلت او ؽّر لبلة‬.21


‫مػو بال لراهي المجاهد‬
Melaksanakan sholat tidak pada waktunya,
ataupun tidak menghadap kiblat
Dan juga sholat yang lalai terhadap Al-Quran.

‫ لوٍط الفجَ من رحمة هللا خم لو‬.13


‫إصاءة الظن باإللي المٍحد‬

Putus asanya seseorang dari rahmat Alloh,


serta buruknya prasangka terhadap Alloh yang
Esa
‫ خم لطّػة‬,‫ و امن لمنر هللا‬.14
‫لذي رحم و النبر والخّال اغدد‬

Merasa aman dari azab Alloh, kemudian pemutus


silaturrahim, begitu juga gemar menyombongkan
diri.

‫ هذا هذب إن هان ِرمُ بفجوة‬.15


‫والمفجري ٍِما غلَ المػطفَ احمد‬

Begitu juga dengan dusta,


serta memfitnah atau sengaja mengada-ada
atas nama Nabi.

‫ هناح المحلو‬,‫ لّادة دٍِث‬.16


‫و ًررة غدل مشلم و مٍحد‬

Seorang lelaki yang tidak mempunyai rasa


cemburu, dan nikah muhallil,
serta gemar mengucilkan atau menghajer sesama
muslim.
‫ و موػي‬,‫ و ثرك للحذ مشجطّػا‬.17
‫ و حنم الحاهم المجكلد‬,‫زهاة‬

Dan seseorang yang meninggalkan haji


padahal dia mampu,
seseorang yang enggan menunaikan zakat,
seorang hakim yang mempermainkan hukum.

‫ وـطرى‬,‫وارثطاء‬,‫ بخلؿ الحق‬.18


‫بالغذرها ـُ غٍم ظٌر الجػبد‬

Untuk menyelisihi kebenaran, dan juga suap


menyuap, begitu juga orang yang berbuka di
bulan ramadhan tanpa adanya udzur.

‫ و لٍل بال غلم غلَ هللا ربوا‬.19


‫و صب الغحاب الوبُ دمحم‬

Dan berkata tentang Agama Alloh tanpa ilmu,


serta mencela para sahabat Nabi Muhammad
‫ ثرك ثوزى‬,‫ مػر غلَ الػػّان‬.21
‫من البٍل ـُ هع الحدِح المشدد‬

Istiqomah dalam maksiat, tidak bersuci


Dari air kencing sebagaimana disebutkan dalam
hadits.

‫ و هطزًا‬,‫ و إثّان من حاضت بفرج‬.21


‫غلَ زوزٌا من ؽّر ؽذر ممٌد‬

Mendatangi istri ketika sedang haid, dan


durhakanya istri terhadap suaminya tanpa udzur
syar’i.

‫ و إلحالٌا بالزوج من حملجٌا من‬.22


‫ وه جمان الػلٍم لطخع مٌجد‬,‫صٍاى‬

Juga menisbatkan anak yang dikandungnya


dari selain suaminya kepada suaminya,
juga menyembunyikan ilmu dari orang yang
ingin belajar ilmu darinya.
‫ و ثػٍِر ذي روح و إثّان هاًن‬.23
‫و إثّان غراف و ثػدِكٌم زد‬

Dan menggambar mahluk bernyawa, dan


mendatangi dukun,
serta para abnormal, kemudian mempercayainya.

َ‫ دغٍة من دغ‬,‫ صرٍد لؾّر هللا‬.24


‫إلَ بدغة او للضاللة ما ًدي‬

Bersujud kepada selain Alloh, mengajak manusia


kepada amalan bid'ah atau kesesatan.

‫ ؽلٍل و الوٍح و الجطّر بػدى‬.25


‫واهو و ظرب ـُ لرّن و غشرد‬

Mengambil ghanimah sebelum dibagikan,


begitu juga dengan meratapi mayit, dan juga
bertathoyyur (beranggapan sial),
begitu juga dengan makan dan minum dari
wadah yang terbuat dari emas dan perak.
‫ و موػي‬,‫ وزٍر المٍغُ ـُ الٍغاِا‬.26
‫ إباق الغبد‬,‫لمّراث وراث‬

Dan juga perbuatan curang dalam masalah


warisan
Dan budak yang lari dari tuannya

‫ بّع لحرة‬,‫ وإثّاهٌا ـُ الدبر‬.27


‫ومن ِشجحو البّت لبلة مشرد‬

Dan menggauli istri dari duburnya, begitu juga


menjual seseorang yang merdeka seolah mereka
adalah budaknya,
Dan orang-orang yang
menghalalkan sesuatu yang diharamkan
Alloh di masjidil harom.

‫ اه ججاب للرباو و ظٌادة‬: ‫ وموٌا‬.28


‫ لو للجٍغد‬,‫ وذو الٍزٌّن‬,‫غلّي‬

Dan penulis riba dan saksinya,


Dan seseorang yang memiliki dua wajah,
katakanlah sebagai peringatan
‫ و من ِدغُ اغال و لّس باغلي‬.29
‫ اها ابن الفاضو المجمرد‬: ‫ِكٍل‬

Dan yang menisbatkan diri kepada orang yang


bukan merupakan nasabnya,
Seperti berkata, saya adalah anak keturunan
fulan yang terhormat, padahal dusta.

‫ ـّرؽب غن اباءئي وزدودى‬.31


‫الصّما ان ِوجشب لمحمد‬

Membenci nasab, Ayah dan kakek,


Terlebih yang menisbahkan kepada Muhammad

‫ و ؽض إمام للرغّة بػدى‬.31


‫ولٍع غلَ الػرما البٌّمة ِفشد‬

Pemimpin yang mencurangi rakyatnya,


Dan seseorang yang bersetubuh dengan binatang

‫ و ثرك لجرمّع و إصاءة مالم‬.32


‫ ذا طبع لي ـُ المػبد‬,‫إلَ الكن‬

Dan yang meninggalkan Sholat Ju’mat,


Serta berbuat buruk kepada hamba sahaya
‫الغرر من موقوف الآئر‬
ً‫للشٌخ صالح بن عبد هللا العصٌم‬

Kajian Ta’shilul Ilmi


Bersama Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi
‫بسم الله الرحمن الرحيم‬
‫عن أيب بكر الصديق هنع هللا يضر قال ‪ " :‬آيأيها الناس‪ ,‬إايكم‬ ‫‪.1‬‬
‫و الكذب‪ ,‬فإن الكذب رلانب لئلميان "‬
‫‪“Wahai manusia, waspadalah kalian dari‬‬
‫‪sifat dusta. Karena dusta itu menjauhkan‬‬
‫”‪kalian dari keimanan‬‬

‫عن عمر بن اخلطاب هنع هللا يضر أنو قال لزايد بن حدير‬ ‫‪.2‬‬

‫‪":‬ىل تعرف ما يهدم اإلسبلم؟" قال ‪ :‬قلت ‪:‬ال ‪.‬‬


‫قال ‪":‬يهدمو زلة العامل‪ ,‬و جدال ادلنافق ابلكتاب‪,‬‬
‫وحكم األئمة ادلضلٌن"‪.‬‬
‫‪“ Tahukah kamu, apa yang akan‬‬
‫” ? ‪meruntuhkankan Islam‬‬
‫‪1. Tergelincirnya ulama‬‬
‫‪2. Orang munafik yang membantah kitab‬‬
‫‪3. Hukum para pemimpin yang‬‬
‫‪menyesatkan.‬‬
‫وهللا لئن قتلت‬: ‫عن عثمان بن عفان هنع هللا يضر أنو قال‬ .3

."‫ لكأمنا قتلت الناس مجيعا‬,‫رجبل واحدا‬


“ Sesungguhnya, seandainya engkau membunuh
seseorang, maka seolah-olah engkau telah
membunuh seluruh manusia “

‫ "أحبب حبيبك‬: ‫عن علي بن أيب طالب هنع هللا يضر أنو قال‬ .4
‫ و أبغض‬,‫ عسى أن يكون بغيضك يوما ما‬,‫ىوان ما‬
."‫ عسى أن يكون حبيبك يوما ما‬.‫بغيضك ىوان ما‬
“ Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, bisa jadi
dia akan membencimu suatu hari nanti, dan
membenci orang itu sekedarnya saja, bisa jadi dia
akan menjadi kekasihmu suatu hari nanti.”

‫ "من استطاع منكم‬: ‫عن الزبًن بن العوام هنع هللا يضر أنو قال‬ .5

"‫ فليفعل‬,‫أن تكون لو خيبئة من عمل صاحل‬


“ Barangsiapa yang mampu untuk
menyembunyikan amalannya, maka lakukanlah “
‫ "أقل لعيب ادلرء‬: ‫عن طلحة بن عبيد هللا هنع هللا يضر أنو قال‬ .6

"‫أن جيلس يف داره‬

“ Seseorang yang paling sedikit aibnya adalah


yang selalu duduk dirumahnya”

‫ دلا تناول رجل‬- ‫عن سعد بن أيب وقاص هنع هللا يضر أنو قال‬ .7

‫"إن‬: -‫ وكان بينهما كبلم‬,‫خالد بن الوليد هنع هللا يضر عنده‬


"‫ما بيننا مل يبلغ ديننا‬

“ Perselisihan yang terjadi diantara kami, tidak


akan mencemari agama kami “

‫"اللهم ىب‬: ‫عن سعد بن عبادة هنع هللا يضر أنو كان يدعو‬ .8

‫ ال رلد إال بفعال وال فعال‬.‫يل محدا و ىب يل رلدا‬


"‫ وال أصلح عليو‬,‫ اللهم ال يصلحين القليل‬,‫إال دبال‬

“ Ya Alloh karuniakan kepadaku kemuliaan, dan


berikanlah kepadaku kehormatan, Tidak ada
kemuliaan kecuali dengan beramal, dan tidak ada
amalan kecuali dengan harta,

Ya Alloh, sedikitnya harta tidak cocok bagiku, dan


aku tidak bisa beramal kebaikan dengan
sedikitnya harta. “
‫"إن الدنيا قد آذنت‬: ‫عن عتبة بن عزوان هنع هللا يضر أنو قال‬ .9

‫بصرم و ولت حذاء ومل يبق منها إال سبابة كسبابة‬


‫ و إنكم منتقلون منها إىل‬,‫ يتصاهبا صاحبها‬,‫اإلانء‬
."‫ فانتقلوا خبًن ما حبضرتكم‬,‫دار ال زوال ذلا‬

“ Sesungguhnya dunia telah mengabarkan bahwa


dia itu fana, dan akan segera berlalu, dan tidak
ada yang tersisa kecuali hanya seperti kucuran air
yang dituang dari sebuah teko, dan kalian akan
berpindah ke perkampungan yang tidak akan
sirna.

Maka berpindahlah kalian dengan membawa


amalan – amalan kebaikan. “

‫"اجلس بنا نؤمن‬: ‫ عن معاذ بن جبل هنع هللا يضر أنو قال‬.11
‫ساعة" يعين نذكر هللا‬

“ Ayo, duduk bersama kami untuk beriman


sejenak, yakni berdzikir. “
‫ دلا سألو مسروق بن‬-‫ عن أيب بن كعب هنع هللا يضر أنو قال‬.11
‫ أكان ىذا؟) قال‬,‫ (اي ابن أخي‬-‫الؤلخدع عن مسألة‬
‫ فإذا كان اجتهدان لك‬,‫"فأمجنا حىت يكون‬: ‫"ال" قال‬:
."‫رأينا‬

“ Ringankanlah kami dari permasalahan –


permasalahan yang belum terjadi. Seandainya
kelak terjadi, maka kami akan berusaha
mencarikan solusi / hukumnya untukmu”

‫ "ما ليلة هتدى إيل‬: ‫ عن خالد بن الوليد هنع هللا يضر أنو قال‬.12
‫ أبحب أيل‬.‫ أو أبشر فيها بغبلم‬.‫عروس أان ذلا زلب‬
‫من ليلة شديدة اجلليد يف سرية من ادلهاجرين أصبح‬
."‫هبا العدو‬

“ Tidaklah suatu malam yang dihadiahkan


kepadaku seorang pengantin yang aku cintai atau
aku mendapat kabar gembira kelahiran anakku
lebih aku sukai daripada malam yang sangat
dingin di sebuah peperangan berada di barisan
orang-orang muhajirin menghadapi musuh-
musuh islam.”
‫"الصرب نصف‬: ‫ عن عبد هللا بن مسعود هنع هللا يضر أنو قال‬.13
"‫ و اليقٌن اإلميان كلو‬,‫اإلميان‬

“ Kesabaran itu setengah dari keimanan, dan


keyakinan itu merupakan keimanan secara
keseluruhan”.

‫"إمنا يهلك ىذه‬: ‫ عن سلمان الفارسي هنع هللا يضر أنو قال‬.14
"‫األمة نقضها عهودىا‬

“ Sesungguhnya yang menghancurkan umat ini


adalah mengingkari janji”.

,‫"ال أؤم رجلٌن‬: ‫ عن أيب طلحة األنصاري هنع هللا يضر أنو قال‬.15
"‫وال أأتمر عليهما‬

“Aku tidak mau mengimami 2 orang dan aku juga


tidak mau memimpin keduanya”.
‫"ليأتٌن على‬: ‫ عن حذيفة بن اليمان هنع هللا يضر أنو قال‬.16
‫ ال ينجو فيو إال الذي يدعو بدعاء‬,‫الناس زمان‬
."‫كدعاء الغريق‬

“ Kelak akan datang suatu zaman, tidak ada yang


selamat kecuali orang yang berdoa seolah olah
dia tenggelam / akan binasa”.

‫"ثبلث‬: ‫ عن عمار بن ايسر رضي هللا عنهما أنو قال‬.17


,‫ اإلنصاف من نفسك‬: ‫من مجعهن مجع اإلميان‬
"‫ و بذل السبلم للعامل‬,‫واإلنفاق من اإلقتار‬

“ Ada 3 perkara, seandainya seseorang


mengumpulkannya, maka dia telah
mengumpulkan keimanan :

1. Adil terhadap dirinya


2. Infaq tatkala susah
3. Menebarkan salam kepada orang-orang
berilmu”.
‫‪ .18‬عن أيب الدرداء هنع هللا يضر أنو قال ‪":‬لو ال ثبلث صلح‬
‫الناس ‪":‬شح مطاع‪ ,‬وىوى متبع‪ ,‬وإعجاب كل ذي‬
‫رأي برأيو"‪.‬‬

‫‪“ Kalau bukan karena 3 perkara ini, maka Baiklah‬‬


‫‪kondisi manusia :‬‬

‫‪1. Pelit yang ditaati‬‬


‫‪2. Hawa nafsu yang diikuti‬‬
‫‪3. Bangga terhadap pendapatnya‬‬
‫‪sendiri”.‬‬

‫‪ .19‬عن أيب مسعود األنصاري البدري هنع هللا يضر أنو قال‬
‫‪":‬عليكم بتقوى هللا و لزوم مجاعة دمحم ملسو هيلع هللا ىلص فإن هللا لن‬
‫جيمع مجاعة دمحم ملسو هيلع هللا ىلص على ضبللة‪ ,‬وإن دين هللا واحد‪,‬‬
‫وإايكم والتلون يف دين هللا‪ ,‬وعليكم بتقوى هللا‪,‬‬
‫واصربوا حىت يسرتيح بر‪ ,‬و يسرتاح من فاجر"‪.‬‬

‫‪“ Hendaknya bagi kalian untuk bertaqwa kepada‬‬


‫‪Alloh, dan menetapi jamaah Nabi Muhammad‬‬
‫‪Shollallohu ‘alaihi wasallam, Sesungguhnya Alloh‬‬
‫‪tidak akan mengumpulkan umat Nabi‬‬
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam diatas
kesesatan,

Agama Alloh itu satu. Berhati-hatilah dari sikap


plin plan dalam agama ini, dan bertaqwalah
kepada Alloh. Dan bersabarlah kalian sampai
orang-orang yang baik beristirahat dan orang-
orang buruk diistirahatkan oleh Alloh ta’ala ”.

-‫يوم قتل عثمان‬-‫ عن عبدهللا بن سبلم هنع هللا يضر أنو قال‬.21
‫"وهللا ال تريقون زلجما من دم إال ازددمت بو من هللا‬:
."‫بعدا‬

“ Tidaklah kalian tumpahkan setetes darah


kecuali itu akan menambah jauhnya dirimu
dengan Alloh ”.

‫"إذا كثر األخبلء‬: ‫ عن عمرو بن العاصي هنع هللا يضر أنو قال‬.21
."‫كثر الغرماء‬

“ Semakin banyak temanmu maka semakin


banyak hutang-hutangmu ”.
‫"إنو من مل يستح من‬: ‫ عن زيد بن اثبت هنع هللا يضر أنو قال‬.22
."‫ مل يستح من هللا‬,‫الناس‬

“ Sesungguhnya orang yang tidak malu pada


manusia maka dia tidak memiliki rasa malu
kepada Alloh ”.

‫"مثل ىذا‬: ‫ عن أيب موسى األشعري هنع هللا يضر أنو قال‬.23
‫ ظهرىا‬: ‫ تقلبها الرايح‬,‫القليب مثل ريشة بفبلة‬
."‫لباطنها‬

“ Permisalan hati kecil ini ibarat bulu di tengah


gurun pasir, diombang ambing angina luar dan
dalam ”.

‫"إن يف ادلعارض‬: ‫ عن عمران بن حصٌن اهنع هللا يضر أنو قال‬.24


."‫دلندوحة عن الكذب‬

“ Sesungguhnya dalam ucapan yang memiliki 2


makna itu bisa menjadi solusi agar kita tidak
berdusta ”.
‫‪ .25‬عن أسامة بن زيد رضي هللا عنهما أنو قيل لو ‪ :‬أال‬
‫تدخل على عثمان فتكلمو؟ "أترون أين ال أكلمو إال‬
‫أصمعكم؟ وهللا لقد كلمتو فيما بيين و بينو ما دون أن‬
‫أفتتح أمرا ال أحب أن أكون أول من فتحو"‪.‬‬

‫‪“ Apakah aku harus lapor pada kalian seandainya‬‬


‫‪aku menasehati pemimpin? Wallohi, sungguh aku‬‬
‫‪telah menasehati pemimpin secaa rahasia, saya‬‬
‫‪tidak mau menjadi orang pertama yang membuka‬‬
‫)‪fitnah”. (menjelek-jelakkan pemimpin‬‬

‫‪ .26‬عن عائشة اهنع هللا يضر أهنا قالت ‪":‬إنكم لتغفلون أفضل‬
‫عبادات ‪ :‬التواضع"‪.‬‬

‫‪“ Sungguh kalian telah melupakan ibadah yang‬‬


‫”‪paling utama, yakni tawadhu’.‬‬

‫‪ .27‬عن أيب ىريرة هنع هللا يضر أنو قال ‪":‬يبصر أحدكم القذاة يف‬
‫عٌن أخيو و ينسى اجلذل‪ -‬أو قال ‪ :‬اجلذع – يف عٌن‬
‫نفسو"‪.‬‬
“ Salah seorang dari kalian bisa melihat kotoran di
mata saudaranya, dan lupa akan duri kayu yang
menancap di matanya ”.

‫"ساعة للدنيا‬: ‫ عن عثمان بن أيب العاصي هنع هللا يضر أنو قال‬.28
"‫ وهللا أعلم أي ذلك يغلب علينا‬,‫و ساعة لآلخرة‬
‫ ذىبتم ابلدنيا‬: - ‫فقال لو مطرف – ىو الراوي عنو‬
,‫"لدرىم يصيبو أحدكم من جهد‬: ‫واآلخرة؟ قال‬
‫فيضعو يف حق أفضل من عشرة آالف ينفقها أحدان‬
."‫فيضا من فيض‬

“ Ada waktu untuk dunia da nada waktu untuk


akhirat, Alloh lebih mengetahui mana yang lebih
banyak kita kerjakan ”.

“ Sungguh 1 dirham yang kalian dapatkan dengan


sungguh-sungguh dan diinfakkan di jalan Alloh
lebih baik dari 10 ribu dirham yang kami miliki ”.

‫ عن شداد بن أوس هنع هللا يضر أنو قال – دلا حضرتو الوفات‬.29
‫ والشهوة‬,‫ الرايء‬: ‫"أخوف ما أخاف عليكم‬: -
."‫اخلفية‬
‫‪“ Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa‬‬
‫‪kalian adalah riya’ dan syahwat yang‬‬
‫‪tersembunyi”.‬‬

‫‪ .31‬عن معاوية بن أيب سفيان رضي هللا عنهما أنو قال‬


‫‪":‬ال حلم إال ذبربة"‪ .‬يعيدىا ثبلاث‬

‫‪“ Tidak ada kelembutan itu kecuali dengan‬‬


‫‪pengalaman ”.‬‬

‫‪ .31‬عن جندب بن عبد هللا هنع هللا يضر أنو قال ‪":‬أصيكم بتقوى‬
‫هللا والقرآن‪ ,‬فإنو نور الليل ادلظلم وىدى النهار‪,‬‬
‫فاعملوا بو على ما كان من جهد وفاقة‪ ,‬وإن عرض‬
‫ببلء فقدم مالك دون نفسك‪ ,‬فإن ذباوز الببلء فقدم‬
‫مالك و نفسك دون دينك‪ ,‬فإن احملروب من حرب‬
‫دينو‪ ,‬وادلسلوب من سلب دينو‪ ,‬إنو ال غىن بعد النار‬
‫وال فاقة بعد اجلنة وإن النار ال يفك أسًنىا وال‬
‫يستغين فقًنىا"‪.‬‬

‫‪“ Aku waistkan agar kalian bertaqwa pada Alloh‬‬


‫‪dan Al Qur’an. Karena Al Qur’an adalah cahaya di‬‬
‫‪malam hari dan petunjuk di siang hari.‬‬
‫‪Amalkanlah Al Qur’an tersebut walau engkau‬‬
kesusahan. Seandainya ada musibah maka
dahulukan hartamu dari jiwamu, seandainya
musibah semakin bertambah, maka dahulukan
hartamu dan nyawamu dari agamamu. Orang
yang diperangi adalah orang yang diperangi
agamanya. Orang yang ditawan adalah orang
yang ditawan agamanya. Tidak ada kesuksesan
jika seseorang masuk neraka. Tidak ada
kemiskinan jika seseorang masuk surge. Neraka
itu tidak akan membebaskan tawanannya, dan
tidak akan butuh akan kefakirannya ”.

‫ عن عبد هللا بن عمرو رضي هللا عنهما أنو قال‬.32


‫ فإنكم‬,‫ و علموه أبناءكم‬,‫"عليكم ابلقرآن فتعلموه‬:
."‫ وكفى بو واعظا دلن عقل‬,‫ وبو ذبزون‬,‫عنو تسألون‬

“ Seharusnya kalian berpegang teguh pada Al


Qur’an dan mempelajarinya, dan ajarilah anak-
anak kalian. Sesungguhnya engkau akan dimintai
pertanggung jawaban. Kalian akan dibalas
dengan Al Qur’an. Cukuplah Al Qur’an sebagai
nasehat bagi orang-orang yang berakal ”.
‫"إن‬: ‫ عن النعمان بن بشًن رضي هللا عنهما أنو قال‬.33
‫ و إن مصايل الشيطان و‬,‫للشيطان مصايل و فخوخا‬
,‫ و الفخر بعطاء هللا‬,‫" البطر أبنعم هللا‬: ‫فخوخو‬
‫ واتباع اذلوى يف غًن ذات‬,‫والكربايء على عباد هللا‬
."‫هللا‬

“ Sesungguhnya syaitan itu memiliki perangkap.


Diantara perangkap Alloh itu adalah sombong
akan nikmat Alloh, bangga akan pemberian Alloh,
sombong terhadap hamba-hamba Alloh, dan
mengikuti hawa nafsu ”.

‫"إذا أصبح الرجل‬: ‫ عن أيب سعيد اخلدري هنع هللا يضر أنو قال‬.34
‫ فإنك‬,‫"اتق هللا فينا‬: ‫ تقول‬,‫فإن أعضاءه تكفر اللسان‬
."‫ وإن اعوججت اعوججنا‬,‫إن استقمت استقمنا‬

“ Seandainya pada pagi hari anggota tubuh


seseorang akan mengatakan pada lisannya :
bertaqwalah pada Alloh akan diri kami.
Seandainya engkau istiqomah, kami akan
istiqomah. Jika kamu tergelincir maka kami juga
tergelincir ’’.
‫ عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما أنو قال‬.35
‫ فإن ذلك يوقع‬,‫"التضربوا كتاب هللا بعضو ببعض‬:
."‫الشك يف قلوبكم‬

“ Jangan kalian benturkan ayat2 Al Qur’an antara


yang satu dengan yang lain, karena hal itu akan
menumbuhkan keraguan di hati kalian ”.

‫"إنكم اليوم يف‬: ‫ عن عدي بن أيب حامت هنع هللا يضر أنو قال‬.36
‫ و منكره معروف‬,‫زمان معروفو منكر زمان قد مضى‬
"‫رمان أييت‬

“ Sesungguhnya kalian berada di zaman dimana


kebaikan dianggap sebagai kemungkaran pada
zaman dahulu, dan kemungkaran akan dianggap
sebagai kebaikan pada masa yang akan dating ”.

‫"إن‬: ‫ عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما أنو قال‬.37


"‫ وإن الولد مسؤول عن الوالد‬,‫الوالد مسؤول عن الولد‬
)‫(يعين يف األدب و الرب‬

“ Orang tua itu akan dimintai pertanggung


jawaban atas anaknya, dan seorang anak akan
dimintai pertanggung jawaban atas orang
tuanya”.

‫"جالسوا الكرباء و‬: ‫ عن أيب جحيفة هنع هللا يضر أنو قال‬.38
."‫خالطوا احلكماء و سائلوا العلماء‬

“ Duduklah bersama para pembesar, bergaullah


dengan orang-orang bijaksana dan bertanyalah
pada para ulama ”.

‫ وال تغرنكم‬,‫"اقرؤوا القرآن‬: ‫ عن أيب أمامة هنع هللا يضر أنو قال‬.39
‫ادلصاحف ادلعلقة فإن هللا غز و جل ال يعذب قلبا‬
."‫وعى القرآن‬

“ Bacalah Al Qur’an, janganlah tertipu dengan


mushaf-mushaf yang digantungkan. Karena
sesungguhnya Alloh tidak akan mengazab hati
yang memahami Al Qur’an ”.

"‫"كم يكثر يهجر‬: ‫ عن أنس بن مالك هنع هللا يضر أنو قال‬.41

“ Barang siapa yang banyak omongannya, dia


akan terjatuh ”.
‫خلاصة‬
‫تعظيم الع مل‬
ً‫للشٌخ صالح بن عبد هللا العصٌم‬

Kajian Ta’shilul Ilmi


Bersama Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi
‫بسمميحرلا نمحرلا هللا‬

1. Menyucikan Wadah Ilmu

Wadah ilmu adalah hati. Ilmu akan masuk ke


dalam hati, tatkala hati tersebut bersih. Semakin
bersih hati, ia akan semakin siap untuk dimasuki
ilmu.

Barang siapa ingin meraih ilmu, hendaklah ia


menghiasi batinnya dan menyucikan hatinya dari
kotoran. Ilmu adalah permata yang indah. Tidak
layak untuk ditempatkan kecuali di dalam hati
yang bersih.

Kesucian hati diukur dengan dua hal pokok:

 Pertama: Bersihnya hati dari kotoran syubhat.


 Kedua: Bersihnya hati dari kotoran syahwat.

Bukankah engkau merasa malu saat bajumu


kotor dan dilihat orang lain? Maka merasa
malulah saat dilihat Allah, dalam keadaan hatimu
dikotori perasaan dendam, hal-hal yang dibenci
Allah, dosa dan maksiat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
"‫ وال هن ِوظر إلَ للٍبنم و اغمالنم‬,‫"إن هللا ال ِوظر إلَ غٍرهم و امٍالنم‬

“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta


kalian. Namun Dia melihat hati dan amalan
kalian”. HR. Muslim.

Barang siapa membersihkan hatinya,


niscaya ilmu akan menempati hati tersebut. Dan
barang siapa yang tidak menghilangkan kotoran
hatinya, niscaya ilmu akan pergi dari hati itu.

Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata,


“Hati yang masih dipenuhi hal-hal yang dibenci
Allah, sulit dimasuki cahaya”.
2. Mengikhlaskan Niat Dalam Menuntut Ilmu

Mengikhlaskan niat dalam beramal adalah


pondasi dan tangga agar amalan tersebut
diterima. Allah ta’ala berfirman,

‫وما امروا إال لّػبدوا هللا مخلػّن لي الدِن حوفاء‬

Artinya: “Mereka hanya diperintahkan untuk


beribadah kepada Allah dengan ikhlas menaati-
Nya semata-mata karena (menjalankan) agama”.
QS. Al-Bayyinah : 5.

Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu


bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

" ‫" إهما االغمال بالوّات‬

“ Sesungguhnya Amaanl itu tergantung niatnya.


Setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai
niatnya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Kaum salaf tidaklah lebih unggul dan lebih


berprestasi, melainkan karena keikhlasan mereka
kepada Allah Rabb alam semesta.
Abu Bakr al-Marrudziy rahimahullah
mengisahkan, “Aku pernah mendengar
seseorang berbicara dengan Imam Ahmad
tentang kejujuran dan keikhlasan. Maka Imam
Ahmad berkomentar, “Berkat dua hal itulah, para
salaf dahulu meraih kedudukan yang tinggi. Kadar
ilmu yang didapat seseorang itu tergantung kadar
keikhlasannya.

Ikhlas dalam belajar agama dibangun di


atas empat pondasi. Jika seseorang
memenuhinya, maka niatnya dianggap ikhlas:

Pertama: Berniat untuk menghilangkan


kebodohan dari dirinya. Dengan mempelajari
ibadah apa saja yang diwajibkan atas dirinya.
Serta berupaya mengetahui perintah dan
larangan Allah.

Kedua: Berniat untuk menghilangkan kebodohan


dari orang lain. Dengan cara mengajari dan
mengarahkan mereka kepada kebaikan dunia dan
akhirat.

Ketiga: Berniat menghidupkan ilmu agama dan


menjaganya supaya tidak sirna.
Keempat: Berniat mengamalkan ilmu tersebut.

Dahulu para salaf rahimahumullah


senantiasa merasa khawatir belum ikhlas dalam
proses mereka belajar agama. Sehingga mereka
memilih tidak mengklaim keikhlasan, dalam
rangka kehati-hatian. Bukan karena mereka
belum merealisasikannya di dalam hati.

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah


engkau belajar ilmu agama semata karena
Allah?”. Beliau menjawab, “Ikhlas itu berat.
Namun Allah menumbuhkan di dalam hatiku
kecintaan terhadap ilmu. Sehingga akupun
senantiasa mempelajarinya”.

Barang siapa tidak mempedulikan


keikhlasan, niscaya ia akan kehilangan banyak
ilmu dan limpahan kebaikan.

Siapapun yang ingin selamat, hendaklah ia


selalu mengecek keikhlasannya dalam segala
aktivitas. Yang kecil maupun yang besar. Yang
dirahasiakan maupun yang terlihat.
Upaya senantiasa mengecek keikhlasan ini
akan mendorong kita untuk terus memperbaiki
niat.

Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah


menuturkan, “Sesuatu yang paling sulit untuk aku
perbaiki adalah niatku. Sebab ia selalu berubah-
ubah”.

Bahkan Sulaiman al-Hasyimiy rahimahullah


berkata, “Terkadang saat akan menyampaikan
sebuah hadits, aku sudah berupaya
menghadirkan niat. Namun ketika telah
menyampaikan separoh hadits, tahu-tahu niatku
berubah. Sehingga ternyata untuk
menyampaikan satu hadits saja bisa
membutuhkan niat berkali-kali”.
3. Serius Belajar

Serius menjalankan sesuatu ditandai dengan


tiga hal:

Pertama: Bersemangat dalam menggapai


sesuatu yang bermanfaat. Manakala hamba
dikaruniai taufik untuk menemukan hal yang
bermanfaat, niscaya ia akan bersemangat dalam
menjalankannya.

Kedua: Memohon bantuan kepada Allah untuk


dapat meraihnya.

Ketiga: Tidak bersikap malas dalam upaya


menggapainya.

Tiga hal di atas telah digabungkan dalam


sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

‫احرص غلَ ما ِوفػم واصجػن باهلل وال ثػرز‬

“Bersemangatlah dalam menggapai hal


yang bermanfaat untukmu. Mohonlah bantuan
kepada Allah dan jangan bersikap malas”. HR.
Muslim.
Al-Junaid rahimahullah menjelaskan,
“Seseorang yang mengejar sesuatu dengan
semangat dan kejujuran, pasti akan
mendapatkannya. Jika tidak semuanya berhasil ia
raih, paling tidak ia akan meraih sebagiannya”.

Dalam kitabnya; al-Fawa’id, Ibn al-Qayyim


rahimahullah berkata, “Bila bintang kesungguhan
telah muncul di gelap gulitanya kemalasan, lalu
diiringi dengan rembulan semangat, saat itulah
bumi akan disinari cahaya dari Allah”.

Di antara hal yang bisa mendongkrak


semangat adalah membaca sejarah para ulama.
Serta mengenali potret kesungguhan mereka.
Saat Ahmad bin Hambal masih kecil, beliau biasa
keluar rumah sebelum Subuh. Untuk berangkat
menghadiri majelis para ulama. Karena merasa
kasihan, ibunya pun memegangi bajunya sembari
berkata, “Tunggu hingga adzan berkumandang,
atau agak lebih pagi sedikit”.

Al-Khathib al-Baghdadiy rahimahullah


pernah mengkhatamkan Shahih Bukhari hanya
dalam tiga pertemuan. Di hadapan guru beliau;
Ismail al-Hîriy. Dua pertemuan, masing-masing
dimulai ba’da Maghrib hingga Subuh. Sedangkan
pertemuan ketiga dimulai sejak waktu dhuha
sampai Maghrib. Lalu dilanjutkan ba’da Maghrib
hingga terbit fajar.
Abu Muhammad Ibnu at-Tabbân di masa
awal menuntut ilmu, biasa belajar semalam
suntuk. Hingga ibunya merasa kasihan dan
melarangnya membaca di malam hari. Maka
beliaupun menyiasati dengan menyembunyikan
lampu teplok di bawah ember besar. Lalu
mengesankan seakan dia sudah tidur. Bila ibunya
telah tidur, beliau mengeluarkan lampunya, lalu
belajar kembali.

Jadilah orang yang telapak kakinya


mantap menapak di bumi, namun semangatnya
menjulang tinggi di atas bintang. Jangan sampai
engkau seperti seseorang yang tubuhnya muda,
namun semangatnya tua. Sungguh semangat
orang yang bersungguh-sungguh itu tidak akan
pernah menua.

Salah satu tokoh genius dunia; Abu al-


Wafa Ibnu ‘Aqil, seorang ahli fiqih mazhab
Hambali, di usia delapan puluhan tahun, beliau
bersenandung,
“Semangatku, keteguhanku, karakterku
tidaklah menua.
Begitupula loyalitasku, agamaku dan
kehormatanku.
Hanya rambutku yang berubah dari warna
aslinya.
Rambut yang beruban itu berbeda dengan
semangat yang beruban”
4. Memprioritaskan Mempelajari Al Qur’an
dan Hadist

Seluruh ilmu yang bermanfaat, sumbernya


adalah firman Allah dan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun ilmu-ilmu lainnya maka hanya ada dua


kemungkinan.

Kemungkinan pertama: ilmu itu dibutuhkan


sebagai alat bantu untuk memahami al-Qur’an
dan Hadits. Maka perlu dipelajari sesuai kadar
kebutuhan tersebut.

Atau kemungkinan kedua: ilmu itu tidak


memiliki hubungan apa-apa dengan al-Qur’an dan
hadits. Sehingga manakala seseorang tidak
mengetahuinya; maka tidak masalah.

Alangkah tepat perkataan ‘Iyadh al-Yahshubiy


dalam kitab beliau al-Ilmâ’,

“Ilmu itu sumbernya hanya dua, tidak lebih.


Kecuali bagi orang yang tersesat dari jalan
kebenaran. Dua sumber itu adalah ilmu al-Qur’an
dan ilmu Hadits. Yakni yang dinukil oleh para
tabi’in dari para sahabat”.
Inilah ilmu para salaf rahimahumullah. Setelah
kurun mereka berlalu, hal-hal yang tidak
bermanfaat mulai dipelajari. Maka sejatinya ilmu
di zaman salaf lebih banyak.

Adapun sesudah masa mereka, maka yang lebih


banyak adalah pembahasan tentang hal yang
tidak bermanfaat.

Hammad bin Zaid bertutur, “Aku pernah


bertanya kepada Ayyub as-Sikhtiyaniy, “Lebih
banyak mana, ilmu hari ini atau di masa lalu?”.
Beliau menjawab, “Hari ini yang lebih banyak
adalah pembahasan tentang sesuatu yang kurang
bermanfaat. Adapun ilmu, maka lebih banyak di
masa lalu”.
5. Mengikuti Metode Yang Benar Dalam
Belajar

Setiap tujuan pasti memiliki jalan yang


mengantarkan kepadanya. Barang siapa meniti
jalan tersebut, niscaya akan mengantarkannya
kepada tujuan. Adapun orang yang tidak meniti
jalan itu, maka ia tidak akan menggapai
tujuannya.

Sungguh ilmu juga memiliki jalan untuk


menggapainya. Barang siapa tidak menapakinya,
maka ia akan gagal meraih tujuannya. Kalaupun ia
mendapatkan manfaat, maka hanya sedikit sekali.
Tidak sebanding dengan keletihannya yang
sangat.

Muhammad Murtadha az-Zabidiy; pengarang


kitab Tâj al-‘Arûs, telah menjelaskan metode
tersebut. Dengan redaksi yang singkat dan padat.
Dalam bait-bait syairnya yang berjudul Alfiyyah as-
Sanad. Beliau berkata,

“Sekalipun seseorang hidup seribu tahun, ia


tidak akan menggapai tujuannya secara
sempurna.

Maka pelajarilah inti setiap ilmu. Caranya


dengan menghapalkan matan1 yang menghimpun
pendapat
terkuat dalam setiap permasalahan. Engkau
mempelajari matan tersebut dari guru yang
mumpuni ilmunya dan bagus cara mengajarnya”.

Jadi, metode yang benar dalam belajar agama


itu terbagi menjadi dua tahapan. Barang siapa
mengikuti tahapan tersebut, berarti dia telah
memuliakan ilmu. Sebab dia mencari ilmu melalui
jalan yang benar.

Tahapan pertama: Menghapalkan matan yang


berisikan pendapat terkuat. Harus dihapalkan.
Barang siapa mengira bisa memperoleh ilmu
tanpa menghapal, maka sejatinya ia sedang
mengejar sesuatu yang mustahil.

Matan yang seharusnya dihapal adalah matan


yang menghimpun pendapat terkuat. Maksudnya
adalah matan yang mu’tamad (diakui dan
diterima) oleh para ahli di bidang studi tersebut.

Tahapan kedua: Mempelajari matan tersebut di


bawah bimbingan orang yang mumpuni dan
cakap mengajar. Guru ini bertugas menjelaskan
makna yang dikandung matan tersebut. Beliau
harus memiliki dua kriteria berikut:

a. Mumpuni. Yakni menguasai disiplin ilmu


tersebut. Karena beliau diketahui asal-usul
proses belajarnya hingga menguasai bidang
itu. Sehingga memiliki kemampuan
maksimal di dalamnya.
Dalil perlunya ada kriteria ini dalam seorang
guru adalah hadits berikut. Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

" ‫ و ِشمع ممن صمع مونم‬,‫ و ِشمع مونم‬,‫" ثشمػٍن‬

“Kalian (para sahabat) berguru padaku.


Orang sesudah kalian (para tabi’in) berguru
kepada kalian. Adapun generasi berikutnya
berguru pada murid-murid kalian”
HR. Abu Dawud dengan sanad yang kuat.

Hadits ini berlaku bukan khusus untuk para


sahabat saja. Sebab redaksinya bersifat
umum. Sepanjang sejarah, metode belajar
kaum muslimin adalah dengan bergurunya
generasi sekarang dari generasi
sebelumnya.

b. Cakap mengajar. Kriteria ini diukur dari


kelayakan beliau untuk dijadikan suri
teladan. Bisa dicontoh penampilan dan
perilakunya. Juga diukur dari pengetahuan
beliau tentang metodologi mengajar.
Sehingga beliau terampil dalam mengajari
murid-muridnya. Mengetahui apa yang
bermanfaat untuk mereka dan apa yang
membahayakan. Sesuai pendidikan
keilmuan yang dijelaskan asy-Syathibiy
dalam kitab al-Muwâfaqât.
6. Meragamkan Ilmu yang Dipelajari dan
Memprioritaskan Yang Terpenting

Dalam Shaid al-Khâthir, Ibn al-Jauziy


rahimahullah berkata, “Menguasai berbagai
macam ilmu adalah sebuah hal yang istimewa”.

Seorang penyair berkata,


“Pelajarilah setiap bidang ilmu agama dan jangan
engkau abaikan.

Orang yang merdeka berhak mengetahui


hal-hal rahasia dalam setiap bidang ilmu”.

Guru dari para guru kami; Muhammad Ibnu


Mâni’ rahimahullah dalam Irsyâd ath-Thullâb
menjelaskan,

“Tidak layak bagi orang yang mulia


meninggalkan sebuah ilmu yang bermanfaat. Jika
ia merasa memiliki kemampuan untuk
mempelajarinya. Terlebih manakala bisa dijadikan
alat bantu untuk memahami Kitab dan Sunnah.
Tidak pantas baginya untuk mencela ilmu yang
tidak diketahuinya atau merendahkan orang yang
mengetahui ilmu tersebut. Sungguh perilaku
tersebut adalah sebuah kekurangan dan
kehinaan.
Orang yang berakal seharusnya berbicara
berdasarkan ilmu atau diam berdasarkan
kebijaksanaan. Jika tidak, maka ia bisa
dikategorikan dalam pemeo,

“Telah sampai kepada kami berita bahwa Si Sahl


meremehkan ilmu-ilmu yang tidak dikuasainya.
Hanya lantaran ia tidak mengetahuinya.

Padahal jika ia menguasai ilmu-ilmu tersebut,


niscaya dia tidak akan meremehkannya. Memang
merasa puas dengan ketidaktahuan itu sesuatu
yang lebih gampang”.

Meragamkan ilmu yang dipelajari akan


bermanfaat apabila terpenuhi dua syarat:

Pertama: Mendahulukan ilmu yang paling


penting sebelum yang penting

Yakni ilmu yang kita butuhkan agar bisa


menjalankan dengan benar tugas ibadah kepada
Allah.

Kedua: Hendaklah di awal masa belajar,


berusaha menguasai ikhtisar setiap disiplin ilmu.
Jika semua ringkasan ilmu bermanfaat tersebut
telah dikuasai, baru melanjutkan langkah
berikutnya. Yaitu melihat mana disiplin ilmu yang
ia gemari dan ia merasa memiliki kemampuan
untuk mendalaminya. Boleh secara bertahap dari
satu disiplin ilmu saja. Atau boleh juga lebih dari
itu.

Di antara sajak yang biasa dilantunkan orang


Syinqith (Chinguetti); sebuah wilayah di
Mauritania,

“Jika engkau ingin menguasai suatu disiplin


ilmu, maka selesaikan dulu yang satu itu.

Hindari disiplin ilmu lainnya, sebelum tuntas


mempelajari ilmu tadi.

Sebab mempelajari dua ilmu atau lebih secara


bersamaan, tidak akan maksimal hasilnya. Seperti
dua bayi kembar yang ingin keluar dari rahim
secara berbarengan”.

Namun jika ada yang merasa memiliki


kemampuan untuk mempelajari lebih dari dua
ilmu secara bersamaan, maka dipersilahkan. Dia
mendapat pengecualian dari kebanyakan orang.
7. Bersegera Mulai Belajar Dan
Memaksimalkan Masa Muda

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Masa


muda itu mirip sesuatu yang kuletakkan di lengan
baju, lalu tahu-tahu ia terjatuh”.

Ilmu yang dipelajari di masa muda itu lebih


cepat dikuasai dan lebih melekat dalam ingatan.

Al-Hasan al-Bashriy rahimahullah bertutur,


“Belajar di masa kecil seperti mengukir di atas
batu”.

Awetnya ilmu yang dipelajari saat kecil, seperti


awetnya ukiran di atas batu. Barang siapa
memanfaatkan masa mudanya, niscaya ia akan
meraih cita-citanya. Sehingga di masa tuanya ia
akan bahagia dengan kenikmatan yang
dirasakannya.

“Wahai pemuda, manfaatkan masa mudamu.

Karena saat tua, orang-orang memuji


perjuangan di masa muda”.
Mohon tidak dipahami dari keterangan di atas
bahwa orang yang sudah tua tidak perlu lagi
belajar. Justru banyak sahabat Rasululullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulai belajar di
usia senja mereka. Sebagaimana diterangkan oleh
al-Bukhari dalam buku beliau ash-Shahih, Kitab
Ilmu.

Al-Mawardiy dalam kitab Adab ad-Dun-yâ wa ad-


Dîn menjelaskan sebab beratnya belajar di masa
tua. Antara lain karena: banyaknya kesibukan,
dominasi halangan dan bertambahnya jalinan
hubungan sosial. Barang siapa yang mampu
mengatasi berbagai rintangan tadi, niscaya ia bisa
meraih ilmu.
8. Senantiasa Bertahap dan Tidak Tergesa-
Gesa

Ilmu itu diraih bukan dalam satu waktu


sekaligus. Karena hati tidak akan mampu untuk
itu. Sebab ilmu memiliki bobot yang berat.
Sebagaimana batu terasa berat di tangan orang
yang membawanya.
Allah ta’ala berfirman:

" ‫" إنا سنلقي عليك قوال ثقيال‬


Artinya: “Sungguh Kami akan menurunkan
perkataan yang berat kepadamu”.
QS. Al-Muzzammil : 5.
Perkataan berat yang dimaksud di ayat ini adalah
al-Qur’an.

Padahal di ayat lain Allah menyampaikan,

" ‫" ولقد يسرنا إلقرإن للذكر‬


Artinya: “Sungguh Kami telah memudahkan al-
Qur’an untuk peringatan”. QS. Al-Qamar : 17.

Jika al-Qur’an yang sudah dimudahkan Allah


saja masih dinyatakan berat, apalagi ilmu-ilmu
selain al-Qur’an?

Karena pertimbangan berat bobotnya itulah, al-


Qur’an diturunkan secara bertahap, sejalan
dengan berbagai peristiwa yang terjadi.
Allah ta’ala berfirman :

‫" و لال الذِن ه فروا لٍال هزل غلّي الكران زملة واحدة هذلم‬
" ‫لودبت بي ـؤادك ورثلواى ثرثّال‬
Artinya: “Orang-orang kafir berkata, “Mengapa al-
Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
(Muhammad) secara sekaligus?”. Demikianlah,
agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad)
dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(berangsur-angsur, perlahan dan benar)”
QS. Al-Furqan : 32.

Ayat ini merupakan dalil keharusan bertahap


dalam belajar ilmu agama dan tidak bersikap
tergesa-gesa. Sebagaimana dijelaskan al-Khathib
al-Baghdadiy dalam al-Faqîh wa al-Mutafaqqih dan
ar-Raghib al-Ashfahaniy dalam mukadimah Jâmi’
at-Tafsîr.

Di antara syair Ibn an-Nahhas al-Halabiy


rahimahullah,

“Hari ini memperoleh setitik, besok juga setitik,


dari ilmu-ilmu pilihan yang terus dicari.

Dengan itulah seseorang bisa meraih hikmah.


Sungguh banjir itu merupakan kumpulan dari
tetesan-tetesan air”.
Konsekwensi dari adanya tahapan belajar
adalah memulainya dengan matan-matan ringkas
di setiap disiplin ilmu. Dihapal dan dipahami.
Bukan membaca kitab-kitab tebal yang belum
waktunya untuk dipelajari.

Barang siapa mengkaji kitab-kitab besar


sebelum waktunya, bisa jadi ia membahayakan
agamanya. Juga telah melanggar aturan yang
benar dalam belajar. Bahkan bisa berakibat pada
hilangnya ilmu.

Sebuah mutiara ungkapan bijak disampaikan


Abdul Karim ar-Rifa’iy; seorang ulama Damaskus
di abad lampau, “Makanan orang dewasa adalah
racun bagi bayi”.
9. Sabar Dalam Belajar dan Mengajar

Segala sesuatu yang mulia, untuk


mendapatkannya membutuhkan kesabaran. Hal
terpenting yang bisa diandalkan dalam proses
mengejar cita-cita tinggi adalah memaksa diri
untuk bersabar.
Karena itulah bersabar dan melatih kesabaran
diperintahkan agama. Sebab keduanya sangat
diperlukan hamba dalam upayanya untuk
membangun pondasi keimanan, atau guna
menyempurnakannya.
Allah ta’ala berfirman,

" ‫" ياإيها إلذين إمنوإ إصبروإ و صابروإ‬


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Bersabarlah kalian dan kuatkanlah
kesabaranmu”.
QS. Ali Imran : 200.

Dia juga berfirman,

‫" وإصبر نفسك مع إلذين يدعون ربهم بالغدإة وإلعشي‬


" ‫يريدون وجهه‬
Artinya: “Bersabarlah engkau bersama orang
yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja
hari dengan mengharap keridhaan-Nya”.
QS. Al-Kahfi : 28.
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah menafsirkan
ayat ini, “Yang dimaksud adalah bersabar dalam
menghadiri majelis-majelis fiqih”.

Seseorang tidak mungkin mendapat ilmu


kecuali dengan kesabaran.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah menegaskan,


“Ilmu tidak akan didapatkan dengan fisik yang
bersantai ria”.

Dengan kesabaran, kebodohan bisa dihilangkan


dan kenikmatan ilmu bisa dirasakan.

Bersabar dalam ranah ilmu ada dua macam:


Pertama: Bersabar saat belajar. Proses
menghapal memerlukan kesabaran. Proses
memahami membutuhkan kesabaran.
Menghadiri majelis-majelis ilmu memerlukan
kesabaran. Menunaikan hak-hak guru
membutuhkan kesabaran.

Kedua: Bersabar saat mengajarkan ilmu.


Duduk bersama para murid memerlukan
kesabaran. Memahamkan mereka
membutuhkan kesabaran. Menghadapi
kesalahan-kesalahan mereka memerlukan
kesabaran.
Di atas kedua macam kesabaran ini, masih ada
lagi jenis kesabaran lainnya. Yaitu melatih diri
sabar dalam menjalankan keduanya dan menjaga
keistiqamahan.

“Setiap orang bisa melakukan beberapa


lompatan untuk mencapai puncak.

Namun sedikit saja yang konsisten hingga


berhasil”.
10. Senantiasa Menjaga Adab Ilmu

Dalam kitab Madârij as-Sâlikîn, Ibn al-Qayyim


rahimahullah berkata,

“Tingginya adab seseorang adalah pertanda


kebahagiaan dan keberuntungan dia. Sedangkan
minimnya adab dia adalah alamat kemalangan
dan kegagalannya. Sarana terbesar untuk
mendapatkan kebaikan duniawi dan ukhrawi
adalah adab. Sebaliknya, penghalang terbesar
dari kebaikan duniawi dan ukhrawi adalah
minimnya adab”.

“Seseorang tidak mungkin terangkat tanpa


adab.

Sekalipun ia berdarah bangsawan”.

Orang yang layak mendapatkan ilmu adalah


yang menghiasi dirinya dengan adab. Baik itu
adab personal, adab saat menghadiri pelajaran,
adab kepada guru, maupun adab terhadap
teman.

Yusuf bin al-Husain rahimahullah menjelaskan,


“Dengan adab lah engkau bisa memahami ilmu”.

Sebab orang yang beradab akan terlihat pantas


untuk mendapatkan ilmu. Sehingga para gurupun
berupaya untuk mentransferkan ilmu kepadanya.
Adapun orang yang minim adab, justru
dikhawatirkan ilmu akan sia-sia manakala
diberikan kepadanya.

Dari sinilah para salaf rahimahumullah sangat


mementingkan belajar adab, sebagaimana
mereka mementingkan belajar ilmu.

Ibn Sirin rahimahullah menuturkan, “Para salaf


mempelajari adab, sebagaimana mereka
mempelajari ilmu”.

Bahkan sebagian ulama mendahulukan belajar


adab, sebelum belajar ilmu.

Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata


kepada seorang pemuda dari suku Quraisy, “Nak,
pelajarilah adab terlebih dahulu, sebelum engkau
mempelajari ilmu”.

Mereka juga selalu berupaya menerangkan


tingginya kebutuhan kita terhadap adab.

Suatu hari Makhlad bin al-Husain pernah


bertutur kepada Ibn al-Mubarak, “Kita lebih
memerlukan adab yang banyak dibanding ilmu
yang banyak”.

Mereka juga biasa menyampaikan nasehat dan


mengarahkan orang lain kepada adab.
Malik mengisahkan, “Ibuku biasa memasangkan
sorban di kepalaku. Sembari berpesan, “Pergilah
ke majelis Rabî’ah. Belajarlah adab dari beliau
sebelum engkau mengambil ilmunya”.

Yang dimaksud beliau adalah Rabî’ah bin Abi


Abdirrahman rahimahullah. Seorang ulama ahli
fiqih kota Madinah di masa itu.

Banyak murid di zaman ini yang gagal


mendapatkan ilmu; dikarenakan mereka kurang
adab.

Suatu saat al-Laits bin Sa’ad rahimahullah


bertemu sekelompok pelajar hadits. Beliau
melihat ada perilaku yang kurang pas di antara
mereka. Maka beliau berkata, “Apa-apaan ini?
Kalian itu lebih membutuhkan adab walaupun
sedikit, dibanding ilmu sekalipun banyak”.

Apa gerangan komentar al-Laits, jika beliau


melihat perilaku banyak dari para penuntut ilmu
di zaman ini?!
11. Menjaga Muru’ah dan Ilmu Dari Perilaku
Yang Tidak Terpuji

Barang siapa yang tidak menjaga ilmu, niscaya


ilmu tidak akan menjaganya. Demikian pesan dari
Imam Syafi’iy rahimahullah.

Siapapun yang minim etika dengan melakukan


hal-hal yang tidak terpuji, sejatinya ia telah
meremehkan ilmu. Tidak mengagungkannya.
Serta menjadi pemalas. Lalu akan berujung pada
lenyapnya ilmu dari diri dia.

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,


“Orang yang tak bermoral tidak akan pernah
menjadi manusia bijak”.

Inti dari murû’ah (sopan santun, etika) adalah:


“Mempraktekkan segala sesuatu yang bisa
menghiasi pribadi seseorang. Serta menghindari
semua hal yang bisa menjadi aib”. Demikian
keterangan dari Abu al-Barakat Ibn Taimiyyah (w.
652 H) dalam kitab beliau Al-Muharrar, juga cucu
beliau; Abu al-Abbas Ibn Taimiyyah (w. 728 H)
dalam beberapa fatwanya.

Seseorang pernah bertanya kepada Abu


Muhammad Sufyan bin Uyainah, “Engkau telah
berhasil menemukan dalil segala pembahasan di
al-Qur’an. Lantas ayat apa yang bisa dijadikan dalil
untuk pembahasan murû’ah?”.
Beliau menjawab, “Ada di firman Allah ta’ala,

" ‫" خذ إلعفو وإمر بالعرف و إعرض عن إلجاهلين‬


Artinya: “Jadilah pemaaf dan ajaklah orang
mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh”.
QS. Al-A’raf : 199.

Ayat ini mengandung perintah untuk beretika,


beradab yang baik dan berakhlak mulia”.

Di antara adab personal terpenting seorang


penuntut ilmu adalah: menghiasi diri dengan etika
dan hal-hal yang mendukungnya. Serta
menjauhkan diri dari perilaku yang menodai etika.
Seperti mencukur habis jenggot, banyak tengak-
tengok saat berjalan, dan berselonjor di tempat
umum tanpa keperluan atau kondisi darurat.
Berteman dengan orang berperilaku kotor, fasiq,
tak punya malu dan tidak bermoral. Juga bergulat
dengan anak-anak kecil secara berlebihan.
12. Selektif Memilih Teman yang Baik

Memiliki teman adalah sebuah keharusan bagi


manusia. Penuntut ilmu butuh untuk berinteraksi
dengan sesama penuntut ilmu. Agar bisa
membantu proses belajar dan mendongkrak
semangat di dalamnya.

Pertemanan dalam belajar sangat bermanfaat


untuk mengantarkan pada tujuan. Dengan syarat
terhindar dari ekses-ekses negatifnya.

Tidak layak bagi pemilik cita-cita mulia kecuali


memilih teman yang bisa mendukungnya. Sebab
teman karib pasti berpengaruh terhadap
sahabatnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,


bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,

" ‫ ـلّوظر احدهم من ِخالو‬,‫" الرزو غلَ دِن خلّلي‬


“Seseorang itu tergantung agama teman karibnya.
Hendaklah kalian melihat siapa teman karibmu”.
HR. Abu Dawud dan at-Tirmidziy
Ar-Raghib al-Ashfahaniy berkata, “Penularan
perilaku dari teman duduk kita bukan hanya
melalui ucapan dan perbuatannya. Namun juga
dengan kita melihatnya”.
Yang berhak dipilih menjadi teman adalah orang
yang bersahabat karena mengejar kebaikan,
bukan untuk kepentingan duniawi atau
kenikmatannya.

Terjadinya interaksi antar manusia biasanya


karena tiga alasan ini; mencari kebaikan, atau
karena ada kepentingan, atau mengejar
kenikmatan. Begitu keterangan yang
disampaikan guru dari para guru kami;
Muhammad al-Khidhir bin Husain dalam Rasâ’il al-
Ishlâh.

Maka pilihlah teman karena sama-sama


mengejar kemuliaan. Sebab engkau akan dikenal
dengan teman itu.

Dalam Irsyâd ath-Thullâb, Ibn Mâni’ rahimahullah


berpetuah,

“Penuntut ilmu harus sangat menghindari


pergaulan dengan orang-orang yang dungu, tak
tahu malu, yang reputasinya buruk, bebal dan
tolol. Sebab berinteraksi secara intensif dengan
mereka akan menjadi sebab terhalangnya dia dari
kebaikan dan memicu kesengsaraan”.
13. Maksimal Berjuang Menjaga Lisan

Sekedar belajar dari guru tanpa menghapalkan


ilmu kurang bermanfaat. Apalagi jika tidak
diulang-diulang atau didiskusikan. Berbagai hal ini
akan menumbuhkan pengagungan ilmu di dalam
hati. Sebab ia fokus dan sibuk dengan ilmu.

Proses menghapal membuat seseorang


konsentrasi dengan dirinya.

Proses berdiskusi membuat seseorang


berinteraksi dengan rekannya.

Proses bertanya membuat seseorang


mendatangi gurunya.

Para ulama selalu memotivasi dan mengajak


kita untuk menghapalkan ilmu.

Guru kami; Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah


bertutur, “Ilmu yang kami hapalkan sedikit.
Sedangkan ilmu yang kami baca banyak. Namun
manfaat dari ilmu yang kami hapalkan lebih
banyak dibanding yang kami baca”.

Dengan berdiskusi, ilmu akan bertahan hidup


lebih lama dalam diri kita dan lebih melekat.
Diskusi yang dimaksud adalah belajar bersama
sesama teman.
Kita diperintahkan untuk mengulang-ulang
hapalan al-Qur’an, padahal itu adalah ilmu yang
termudah.

Dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma,


bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,

‫" إهما مدو غاحب الكران همدو غاحب اإلبو المػلكة إن‬
" ‫غاًد غلٌّا امشنٌا و إن اطلكٌا ذًبت‬
“Pemilik hapalan al-Qur’an itu mirip pemilik onta
yang diikat. Jika ia rutin mengeceknya, niscaya
onta tersebut akan terjaga. Namun bila ia abaikan,
tentu onta tersebut akan lepas”.
HR. Bukhari dan Muslim.

Dalam kitabnya at-Tamhîd, Ibn Abd al-Bar


rahimahullah mengambil kesimpulan dari hadits di
atas,

“Jika al-Qur’an yang telah dimudahkan Allah


diumpamakan seperti onta yang diikat, barang
siapa yang rutin mengeceknya maka akan terjaga,
bagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lainnya?”.

Dengan bertanya, perbendaharaan ilmu bisa


terbuka. Pertanyaan yang baik adalah separoh
dari ilmu. Tanya-jawab yang kemudian dibukukan,
contohnya Masâ’il Ahmad, merupakan bukti nyata
besarnya manfaat bertanya.
Tiga bentuk proses pencarian ilmu tadi
diumpamakan seperti menanam pohon,
menyiraminya dan mengembangkannya.
Sehingga pohon itu akan terjaga kekokohannya
dan terhindar dari hama.

Menghapal adalah upaya untuk menanam ilmu.

Sedang mengulang dan berdiskusi adalah usaha


untuk menyiraminya.

Adapun bertanya adalah upaya untuk


mengembangkannya.
14. Memuliakan Ahli Ilmu dan
Mendhormatinya

Keutamaan ulama sangatlah agung. Kedudukan


mereka teramat mulia. Sebab mereka adalah
orang tua rohani. Guru adalah ayah rohani
seseorang. Sedangkan orang tua adalah ayah
biologisnya. Mengakui keutamaan para guru
adalah sebuah kewajiban.

Muhammad bin Ali al-Udfuwiy rahimahullah


menyimpulkan dari al-Qur’an hal ini. Beliau
berkata, “Manakala seseorang belajar dari ulama
dan memperoleh banyak pelajaran darinya;
berarti ia telah menjadi budaknya.
Allah ta’ala berfirman,

" ‫" و إذ لال مٍصَ لفجاى‬


Artinya: “(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada
budaknya”. QS. Al-Kahfi : 60.

Yang dimaksud dengan budak di ayat di atas


adalah Yusya’ bin Nun. Sejatinya beliau bukanlah
budak Musa. Namun murid yang selalu
mengikutinya. Allah menjuluki Yusya’ sebagai
budak Musa, karena ia berguru padanya”.

Syariat telah memerintahkan kita untuk


menjaga hak ulama, memuliakan, menghargai
dan menghormati mereka.
Dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:

‫" لّس من امجُ من لم ِرو هبّرها و ِرحم غؾّرها و ِػرف‬


" ‫لػالموا‬
“Bukan termasuk dari ummatku, orang yang tidak
menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda dan tidak mengetahui hak
ulama”. HR. Ahmad.

Ibn Hazm telah menukil ijma’ tentang


disyariatkannya menghormati ulama dan
memuliakan mereka.

Di antara adab yang harus ditunaikan murid


kepada gurunya: bersikap tawadhu,
memperhatikan pelajarannya, tidak tengak-
tengok dan menjaga adab berbicara di
hadapannya. Bila membicarakan beliau, maka
harus dengan penuh penghormatan tanpa
berlebihan. Yaitu dengan memposisikan beliau
sesuai kedudukannya. Supaya tidak merendahkan
beliau, dengan cara yang disangka
menyanjungnya.
Hendaklah berterima kasih atas pengajaran
beliau, serta senantiasa mendoakannya. Tidak
menampakkan kepada beliau perasaan tak butuh,
tidak menyakitinya baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Jika beliau keliru, maka
mengingatkannya dengan penuh kesantunan.

Secara ringkas, ada enam poin yang harus


diperhatikan dalam menyikapi kekeliruan ulama:

Pertama: Memastikan berita bahwa beliau


benar-benar melakukan hal tersebut.

Kedua: Memastikan apakah perbuatan tersebut


betul-betul keliru. Ini adalah tugas para ulama
yang mumpuni. Ditanyakan kepada mereka.

Ketiga: Tidak mengikuti kesalahan ulama itu.

Keempat: Mencarikan alasan yang wajar guna


memaklumi kesalahan tersebut.

Kelima: Berusaha menasehati beliau dengan


halus dan rahasia, bukan dengan celaan apalagi di
depan umum.

Keenam: Tetap menjaga reputasi beliau.


Kehormatannya tidak boleh dirusak dari hati
kaum muslimin.
Terkait masalah penghormatan terhadap
ulama, ada hal yang perlu dihindari. Yaitu sesuatu
yang terlihat sebagai penghargaan, namun
sebenarnya berujung kepada penghinaan dan
pelecehan. Contohnya: Berdesak-desakan di
sekitar ulama hingga menyulitkannya dan
mengakibatkan beliau terpaksa mengambil jalan
yang susah.
15. Menyerahkan Pembahasan llmu yang Pelik
Kepada Ahlinya

Orang yang mengagungkan ilmu akan


mempercayakan pemecahan pembahasan ilmu
yang pelik kepada ulama pakar. Tidak membebani
dirinya sesuatu yang di luar kemampuannya.
Karena dikhawatirkan akan berbicara tanpa ilmu
tentang Allah dan berdusta atas nama agama. Dia
harus lebih takut terhadap kemurkaan Allah
dibanding ketakutannya kepada intimidasi
penguasa. Ulama itu manakala berbicara maka
berdasarkan ilmu. Begitupula saat diam, juga
berdasarkan pertimbangan yang matang.

Jika mereka telah berbicara, maka berbicaralah


engkau sesuai dengan apa yang mereka
sampaikan. Namun bila mereka diam, maka
hendaknya engkau pun ikut diam.

Di antara pembahasan pelik yang terberat


adalah bagaimana menyikapi fitnah (perselisihan,
huru-hara) yang kerap terjadi dan permasalahan
kontemporer yang banyak muncul sepanjang
zaman.

Orang yang selamat dari kobaran api fitnah


hanyalah yang kembali kepada para ulama dan
konsisten dengan arahan mereka.
Jika terasa ada yang muskil dari arahan mereka,
maka dia mengedepankan prasangka baik terhadap
mereka. Dia meninggalkan pendapat pribadinya, dan
mengambil pendapat mereka. Sebab pengalaman dan
pengetahuan mereka jauh lebih matang.

Bila terjadi perbedaan pandangan di antara para


ulama, maka ia memilih pendapat kebanyakan
dan mayoritas mereka. Dalam rangka
memprioritaskan keselamatan. Sebab tidak ada
yang lebih penting dibanding keselamatan.

Alangkah bijaknya petuah Ibn ‘Ashim dalam


Murtaqâ al-Wushûl,

“Kewajiban kita saat menghadapi pemahaman


yang muskil adalah:

mengedepankan prasangka baik kepada para


ulama”.

Contoh tugas berat adalah: meluruskan


kesalahan para ulama dan membantah
pemahaman sesat ahlul bid’ah. Hanya para ulama
yang keilmuannya mendalam lah yang berhak
berbicara dalam masalah ini.

Demikian keterangan yang disampaikan asy-


Syathibiy dalam al-Muwâfaqât dan Ibn Rajab
dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam.
Jalan keselamatan adalah mengkonsultasikan
berbagai urusan tadi kepada para ulama besar
dan berpegang dengan arahan mereka.
16. Menghargai Majelis Ilmu dan Tempat
Penyimpanan Ilmu

Majelis para ulama mirip majelis para nabi.

Sahl bin Abdullah berkata, “Barang siapa yang


ingin melihat majelis para nabi, hendaklah ia
melihat majelis para ulama.

Seseorang datang berkonsultasi, “Syaikh, apa


pendapatmu tentang seseorang bersumpah
begini dan begitu kepada istrinya?”.

Beliau menjawab, “Telah jatuh talak atas


istrinya”.

Orang lain datang sembari bertanya, “Apa


pendapatmu tentang seseorang yang bersumpah
begini dan begitu kepada istrinya?”.

Beliau menjawab, “Dia tidak dianggap


melanggar sumpahnya”.

Hanya nabi dan ulama yang berhak


menyampaikan seperti itu. Maka pahamilah hal
tersebut”.
Penuntut ilmu harus mengetahui hak majelis
ilmu. Hendaklah ia duduk dengan sopan,
mendengarkan secara seksama penyampaian
guru sembari melihat kepadanya dan tidak
tengak-tengok tanpa kebutuhan darurat. Tidak
pecah fokus saat mendengar kegaduhan. Tidak
bermain-main dengan tangan dan kakinya. Tidak
menyandarkan punggungnya saat berada di
hadapan guru. Tidak pula bertelekan dengan
tangannya. Tidak banyak berdehem dan
bergerak. Tidak berbicara dengan teman
duduknya. Jika bersin, maka ia berupaya
merendahkan suaranya. Bila menguap, maka ia
menutupi mulutnya, setelah berusaha maksimal
agar mulutnya tidak terbuka.

Masih dalam rangka menghargai majelis ilmu,


adalah memuliakan tempat penyimpanan ilmu.
Dan yang paling pokok adalah: buku.

Sepantasnya penuntut ilmu berusaha untuk


menjaga bukunya, merawatnya, menghargainya
dan memperhatikannya. Tidak menjadikan buku
seperti almari tempat penitipan barang atau
menggulung buku seperti terompet. Jika hendak
menaruhnya, maka ia letakkan dengan
kelembutan dan penuh perhatian.
Suatu hari Ishaq bin Rahawaih melemparkan
buku yang ada di tangannya. Perbuatan itu
terlihat oleh Ahmad bin Hambal. Maka beliaupun
marah sembari berkata, “Begitukah cara
memperlakukan perkataan para manusia
pilihan?”.

Tidak sepantasnya bertelekan pada buku, atau


meletakkannya di depan telapak kaki. Jika
membacanya di hadapan guru, maka hendaklah ia
memegangnya dengan kedua tangan, bukan
meletakkannya di atas lantai.
17. Membela Ilmu dan Mempertahankan
Kemuliannya

Ilmu itu memiliki kemuliaan yang tinggi.


Sehingga mengharuskan kita untuk
melindunginya, manakala ada upaya untuk
merusaknya.

Banyak potret pembelaan para ulama terhadap


ilmu. Di antaranya:

1. Membantah orang yang menyimpang.

Siapapun yang jelas-jelas menyelisihi


syariat maka perlu dibantah. Dalam rangka
pembelaan terhadap agama dan nasehat
bagi kaum muslimin.

2. Pemboikotan terhadap ahlul bid’ah.

Abu Ya’la al-Farra menukil ijma’ tentang


hal ini.

Ilmu tidak boleh diambil dari ahlul bid’ah.


Kecuali jika dalam keadaan terpaksa.
Contohnya meriwayatkan hadits dari
mereka. Sebagaimana dilakukan oleh para
ahli hadits.
3. Memberikan peringatan keras kepada
murid, manakala melampaui batas dalam
pembahasan ilmu, atau terlihat ngeyel, atau
beradab buruk.

Jika dibutuhkan, guru boleh mengeluarkan


murid dari majelisnya, sebagai teguran keras
bagi dia. Silahkan melakukan seperti apa
yang dilakukan Syu’bah rahimahullah
kepada Affan bin Muslim di majelisnya.

Terkadang murid perlu diperingatkan


dengan cara diabaikan dan pertanyaannya
tidak dijawab. Sebab diam pun bisa menjadi
jawaban. Demikian penjelasan dari al-
A’masy.

Kami sering menyaksikan ini dari para guru


kami. Di antaranya al-Allamah Ibn Baz
rahimahullah. Beliau pernah ditanya
seseorang tentang sesuatu yang tidak
bemanfaat baginya. Maka beliaupun tidak
menjawabnya. Lalu memerintahkan
muridnya untuk melanjutkan pembacaan
kitab. Atau terkadang beliau menjawabnya
berbeda dengan maksud si penanya.
18. Berhati-Hati dalam Bertanya kepada Ulama

Hal itu dilakukan untuk menghindari


pertanyaan-pertanyaan yang bisa memicu
kegaduhan, serta dalam rangka menjaga wibawa
ulama.

Sebab ada pertanyaan-pertanyaan yang


diajukan untuk memancing kerusuhan, huru-hara
dan menyebarkan keburukan. Jika para ulama
merasakan gelagat seperti itu dari seseorang;
niscaya ia akan merasakan dari mereka perlakuan
yang tidak menyenangkan. Sebagaimana yang
baru saja dijelaskan dalam pembahasan tentang
perlunya peringatan keras terhadap sebagian
murid.

Maka dalam bertanya kepada ulama, kita harus


ekstra hati-hati. Sikap kehati-hatian tersebut akan
terealisir dengan cara menjalankan empat dasar
berikut ini:

Pertama: Memikirkan alasan mengapa


bertanya?

Hendaknya tujuan bertanya adalah supaya


paham dan dalam kerangka belajar. Bukan dalam
rangka mencari-cari kesalahan atau
menyombongkan diri. Siapapun yang niatnya
buruk dalam bertanya, maka ia tidak akan
mendapatkan keberkahan ilmu dan terhalang dari
manfaatnya.
Kedua: Memahami isi pertanyaannya.

Jangan bertanya tentang sesuatu yang tidak


bermanfaat. Baik ditimbang dari kondisi penanya,
atau dilihat dari konten pertanyaan itu sendiri.

Termasuk yang harusnya dihindari adalah:


bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi,
atau bertanya tentang sesuatu yang bukan untuk
konsumsi publik, namun hanya untuk kalangan
tertentu.

Ketiga: Mempertimbangkan situasi dan kondisi


ulama itu saat akan ditanya.

Jangan bertanya dalam suasana yang tidak


memungkinkan beliau untuk menjawab.
Contohnya di saat kondisi beliau sangat sedih,
atau sedang berkonsentrasi memikirkan sesuatu,
atau sedang berjalan di jalan, atau sedang
mengemudikan kendaraan. Namun hendaklah
menanti saat yang tepat. Yakni ketika suasana
pribadinya sedang baik.

Keempat: Memperhatikan cara bertanya.


Yakni mengajukannya dengan redaksi yang baik
dan penuh adab. Diawali dengan doa untuk
syaikh, lalu berbicara dengan sopan. Tidak seperti
berbicara dengan orang pasar dan kebanyakan
awam.
19. Mencintai Ilmu Sepenuh Hati

Keseriusan dalam belajar ilmu agama


berkonsekwensi pada kecintaan dan
ketergantungan hati padanya. Seseorang tidak
akan mencapai derajat ilmu yang tinggi, kecuali
manakala kenikmatan terbesarnya adalah saat
mempelajari ilmu.

Ibn al-Qayyim rahimahullah menyebutkan tiga


hal yang akan memunculkan kenikmatan dalam
belajar:

Pertama: Mengerahkan segenap usaha dan


tenaga

Kedua: Serius dalam belajar

Ketiga: Niat yang lurus dan ikhlas

Tiga hal di atas tidak akan tercapai, kecuali bila


ia menyingkirkan segala urusan yang
menyibukkan hati.

Kenikmatan ilmu jauh melebihi kenikmatan


jabatan yang dikejar oleh banyak orang, dengan
menghamburkan banyak uang, bahkan hingga
menumpahkan darah manusia.
Karena itulah para raja merasakan kehampaan,
merindukan kenikmatan ilmu dan berupaya untuk
meraihnya.

Abu Ja’far al-Manshur; seorang khalifah Daulah


Abbasiyah, yang kekuasaannya terbentang dari
Timur dunia hingga Barat, beliau pernah ditanya,
“Masih adakah kenikmatan dunia yang belum
engkau raih?”.

Sambil duduk di atas singgasana mewahnya, ia


menjawab, “Tersisa satu keinginan. Yaitu:
manakala aku duduk di atas kursi dan di
sekelilingku para penuntut ilmu, lalu dikatakan
padaku, ‘Semoga Allah merahmatimu. Hadits apa
yang lagi akan engkau sampaikan?’ ”.

Maksudnya beliau menginginkan untuk bisa


mengajarkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.

Manakala hati dipenuhi kenikmatan ilmu,


niscaya akan lenyap kenikmatan urusan duniawi
dan terlupakan. Penderitaan pun akan
tergantikan kenikmatan.
20. Menghargai Waktu Demi Ilmu

Dalam kitabnya; Shaid al-Khâthir, Ibn al-Jauziy


rahimahullah berkata,

“Seorang insan harus mengetahui betapa


mahal waktunya dan alangkah berharga
umurnya. Sehingga ia tidak boleh
menggunakannya untuk selain ketaatan,
walaupun hanya sesaat. Ia berusaha
menghasilkan ucapan dan amalan yang terbaik”.

Berangkat dari hal inilah, para ulama sangat


menghargai waktu mereka. Hingga Muhammad
bin Abdul Baqiy al-Bazzaz pernah berkata, “Aku
tidak pernah menyia-nyiakan sesaatpun dari
umurku untuk aktivitas yang tidak bermanfaat
atau untuk bermain-main”.

Abu al-Wafa’ Ibn Aqil; yang telah menulis kitab


Al-Funûn setebal 800 jilid, pernah berkata, “Tidak
halal bagiku untuk menyia-nyiakan umurku walau
sekejap”.

Saking mereka menghargai waktu, hingga saat


makan pun ada yang membacakan kitab untuk
mereka. Bahkan saat di kamar kecil, juga ada yang
membacakan dari luar.
Wahai penuntut ilmu, jagalah waktumu.
Simaklah nasehat yang sangat menyentuh dari
Ibn Hubairah, ulama sekaligus menteri yang salih,

“Waktu adalah sesuatu yang paling berharga


untuk dijaga.

Namun ternyata ia adalah sesuatu yang paling


gampang untuk disia-siakan”.

Anda mungkin juga menyukai