Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi ajaran


Islam—bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan
ulamanya. Hal ini mengingat hadis menempati posisi kedua sebagai sumber hukum
dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’a>n.1 Bahkan, hadis
merupakan ‚sumber mata air‛ yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi
dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.
Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengimani apa yang
disampaikan Rasulullah SAW, menaati segala perintah serta menjauhi segala
larangannya.

ْ.ََْ‫اعْالل‬ َْ ‫َمنْْيُ ِط ِْعْالَر ُس‬


َْ َ‫ولْفَ َقدْْأَط‬
‚Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah‛.2

.‫ولْفَ ُخ ُذوُْْ َوَماْنَ َها ُكمْْ َع ُْْفَان تَ ُهوا‬


ُْ ‫َوَماْآتَا ُكمْ الَر ُس‬
‚.... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
ْ
bagimu, maka tinggalkanlah..‛.3

ِْ ‫ِْلِل‬
.‫َاسْ َماْنُّزَْلْإِلَي ِهمْ َولَ َعلَ ُهمْْيَتَ َف َك ُرو َْن‬ َْ ّ َ‫كْال ّذكَْرْلِتُب‬
َْ ‫َوأَن َزلَاْإِلَي‬
‚Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkannya‛.4

.‫َُُِْْمْالَ ِذيْاختَ لَ ُفواْفِي ِْْ َوُ ًدىْ َوَرَْْةً لَِقوٍْمْيُؤِمُو َْن‬


َْ ّ َ‫ابْإِاْلِتُب‬
َْ َ‫ك ال ِكت‬
َْ ‫َوَماْأَن َزلَاْ َعلَي‬
‚Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kita>b (al-Qur’a>n) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman‛.5

1
DR. Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005) hlm. 3
2
QS. An-Nisa : 80
3
QS. Al-Hasyr : 7
4
QS. An-Nahl : 44
5
QS. An-Nahl : 64, lihat pula QS. An-Nisa : 65, 80, Al-Jin : 23, An-Nur : 51, 63, al-Hasyr : 7, dll

1
Demikian pula, Rasulullah SAW memotivasi umatnya untuk memberi
perhatian kepada hadis-hadis yang disampaikannya baik perhatian berbentuk riwa>yah
maupun dira>yah.6 Rasulullah SAW bersabda:

ْ»ْ‫بْ ُمبَ لَ ٍْغْأَو َعىْ ِمنْْ َس ِام ٍْع‬


َْ ‫َرْاللَُْْامَرْأًْ ََِ َْعْ ِمَاْ َشيئًاْفَبَ لَغَُْْ َك َماْ ََِ َْعْفَ ُر‬
َْ‫«ْنَض‬
‚Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami
kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang
disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya (langsung
dari sumbernya).‛7
Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para
ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam
‚matan-matan riwayat‛ dari berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang
yang ekstrim, dan penafsiran (ta’wi>l) orang-orang yang bodoh, serta kedustaan yang
disisipkan oleh pelaku kebatilan. Rasulullah SAW bersabda:

َْ ِ‫ال ْال ُمب ِطل‬


َْ ‫ ْ َوتَأ ِو‬،ْ ِ
ْ‫يل‬ َْ ِ‫يف ْالغَال‬
َْ ‫ ْ َوانتِ َح‬،ْ ِ ٍْ ‫ََ ِم ُْل ْ َ َذا ْالعِل َْم ْ ِمنْ ْ ُك ّْل ْ َخل‬
َْ ‫ ْيَ ُفو َْن ْ َع ُْ ْ ََ ِر‬،ْ ُُْ‫ف ْعُ ُدول‬

ِْ ِِ
َ ‫اَْا ل‬
‚Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak
penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, penyelewengan orang yang
batil dan interpretasi yang salah dari orang-orang bodoh‛.8
Imam an-Nawawi rahimah}ullah menjelaskan posisi strategis studi hadis ini
sebagai berikut: ‚Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang
berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari
aspek sahi>h, hasan dan d}o’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}ol, maqlu>b,
masyhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.‛ An-Nawawi berargumen bahwa syari’at

6
Ilmu riwa>yah al-hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan proses dan mekanisme transmisi
(periwayatan) hadis. Sedangkan Ilmu dira>yah hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan dengan cara
mengetahui kondisi dan kualitas sanad (perawi) hadis dan matan (yang diriwayatkan)nya. Lihat
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : ‘Alam
al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403 H/1983 M), hlm. 24-25. Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-
Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), hlm. 30-32
7
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5, ed. Ahmad Muhammad Syakir, dkk.
(Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats al-‘Araby, tanpa tahun), hlm. 34
8
Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy
(Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), hlm. 344. Hadis Hasan ghorib, lihat catatan Abu
Mu’adz dalam Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-Riyadh: Dar
al-‘Ashimah, 1423 H), hlm. 511

2
Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah
dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena mayoritas ayat-ayat yang mengatur
masalah furu‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya
terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas (muh{kama>t).
Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi
seorang mujtahid yang bertugas sebagai qod{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama
pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum.
Kenyataan ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu
yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah
(bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek
penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia (yaitu Nabi
Muhammad SAW).‛ 9
Mengingat posisi hadis yang strategis dan urgensi mempelajarinya, maka
generasi salaf al-s}oleh memberikan perhatian serius untuk menjelaskan posisi hadis ini
kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya, menjabarkan cabang-
cabang keilmuannya, menghafal hadis, mencatatnya dalam kitab-kitab dan
mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum dan fikih dengan berpegang teguh kepada
sunah dalam semua aspek kehidupannya.10
Perhatian utama mayoritas ahli hadis generasi salaf—sebelum masa tadwi>n
hadis—pada aspek al-riwa>yah. Mereka tidak menerima suatu hadis yang tidak disertai
penyebutan sanadnya untuk melihat integritas pribadi (kapabiltas intelektual dan
integritas moral) perawi-perawinya dan ketersambungan antarsumber informasi perawi
(it{t}is{ol sanad). Cukup banyak ungkapan dan pernyatan para ulama salaf tentanng
urgensi sanad ini, di antaranya Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) berkata:

َ‫اْش ْاء‬
َ ‫ْم‬َ َ‫ْشاء‬
َ ‫ْمن‬
َ ‫ادْلََق َال‬ ِ ‫اد ِْمنْالدّي ِن َْولَوَا‬
ُ َ‫ْاْس‬ ِ
ُ َ‫اْس‬
‚Sanad adalah bagian dari (masalah) agama, seandainya tidak ada (ilmu) sanad, maka
seseorang akan mengatakan tentang agama semaunya‛ 11

9
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz 1
(Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), hlm. 3-4
10
Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah al-
‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), hlm. 5-6.
11
Al-Hasan bin Abdurrahman ar-Ramahurmudzi, Al-muh}addith al-Fa>sil baina al-Ra>wi> wa al-Wa’iy>, ed.
DR. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M), hlm. 209.
Shoifurrahman al-Mubarakfuri, Mannah al-Mun’i>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m, Juz 1 (Dar al-Salam li al-

3
Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H) 12 berkata :
ٍ ‫يْش‬
ْ ‫يءْيُ َقاتِ ُل؟‬ ِ ِ ِ ‫اْس‬
َ ّ َ‫احْفَبِأ‬ َ ‫ْفإ َذاْ ََْيَ ُكن‬،‫احْامؤم ِن‬
ٌ ‫ْم َع ُْس‬ ُ ‫ادْس‬
ُ
‚Isnad adalah senjata orang yang beriman, seandainya seorang mukmin tidak punya
senjata, maka dengan apa dia akan berperang?‛ 13
Muhammad bin Sirin (w. 110 H) 14 berkata :

ْ‫ْْفَانْظُُْْرْواْ َعْ َمْنْْتَْأْ ُْخ ُذْ ْو َنْْ ِْديَْْ ُكْ ْم‬،ْْ‫ْإِ َْنْ َْ َذْاْاْلعِْْل َمْْ ِدْْي ٌن‬
‚Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) ini adalah agama, maka lihatlah dari mana
kamu mengambil agamamu‛.15
Seiring perjalanan waktu, para ulama dari zaman ke zaman senantiasa menjaga
otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan kandungan hukum dan hikmahnya.
Peran ini secara khusus menjadi spesialisasi ulama hadis. Mereka meletakkan kaidah-
kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari upaya tah}ri>f (penyelewengan)
dari orang-orang yang ektrim (al-gha>li>n) dan takwil (interpretasi) dari orang-orang
bodoh (al-ja>hi} li>n) serta pemalsuan (intih{al> ) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n)ْdari sekte-
sekte yang bid’ah.16

nasyr wa al-Tauzi’, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M), hlm. 36. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-
Nawawy, Tahqiq; Abu Mu’adz Thoriq bin ‘Audhillah bin Muhammad (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423
H), Juz 2, hlm. 144
12
Sufyan bin Sa’id bin Masruq Al-Tsauri , seorang Syaikhul Islam, imam al-hufadz, seorang ulama
‘amilin di zamannya. Kunyahnya Abu Abdullah al-Kuufy, beliau adalah seorang mujtahid, penulis kitab
al-jami’. Mulai belajar hadis melalui bimbingan ayahnya seoarng al-Muhadits Sa’id bin Masruq al-
Tsaury.. Beliau meriwayatkan hadis dari bapaknya dan al-A’masy, Habib bin Abi Tsabit, Abdullah bin
Dinar, Abi al-Zanad, dan sejumlah besar guru hadis lainnya. Murid beliau yang meriwayatkan hadis
darinya antara lain Abdurrahman bin Mahdi, Sufyan bin ‘Uyainah, dan sejumlah besar para tokoh ulama
hadis. Pengakuan kredibilitas dan kapabiltas keilmuan beliau oleh para ulama hadis antara lain
dinyatakan oleh Imam Waki’ : ‚Kaana Sufyan Bahran‛ ‚(kedalaman dan keluasan ilmu) Sufyan (adalah)
seperti lautan‛. Syu’bah menyatakan : Sufyan memimpin manusia dengan sikap wara’ dan ilmu‛. Imam
Ahmad menyatakan kpd al-Maruzy: ‚Tahukah kamu siapakah al-imam itu? Al-Imam itu adalah Sufyan
al-Tsaury, tidak seorangpun yang saya unggulkan darinya dalam hati saya‛.
13
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, hlm. 344
14
Muhammad bin Sirin al-Anshory, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah al-Bashry, maula’ Anas bin Malik. Beliau
termasuk Tabi’in pertengahan,yang wafat tahun 110 H pada umur 77 tahun. Al-hafidz Ibnu Hajar
menilainya : tsiqoh tsabtun kabiirul qadr. Imam adz-Zahabi menilai : Tsiqotun hujjah, salah seorang
tokoh ulama hadis, sangat luas ilmunya. Meriwayatkan hadis langsung dari sejumlah besar para
Shahabat Nabi SAW diantaranya : Anas bin Malik, Abu Qotadah, Abu Sa’id al-Khudry, Abu Hurairah,
al-Hasan bin ‘Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Ummu ‘Athiyah, dll.. Para ulama hadis yang
meriwayatkan dari beliau antara lain: Tsabit, Ayub, ibnu ‘Aun, Qotadah, dll
15
Shoifurrahman al-Mubarakfury, Mannah. Juz 1 hlm. 35
16
Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad Abu
Zahwu. Al-Hadits wa al-Muhadditsun. (ar-Riyadh: ar-Riasah al-’ammah li idarah al-buhuts al-‘ilmiyah
wa al-ifta’, 1404 H/1984 M), Nuruddin ‘Itr. Manhaj an-Naqd, hlm. 51-80.

4
Perumusan teoritis dari praktek penyaringan hadis dalam bentuk kaidah-kaidah
semakin matang pada abab ketiga hijriyah. Di antara ulama yang memiliki saham dan
berkontribusi besar bagi perkembangan ilmu hadis pada abab tersebut adalah al-Imam
Ami>r al-mu’mini>n fi al-H{adi>th, Muh}ammad bin Isma>>’i>l al-Bukha>ri, atau yang lebih
dikenal dengan Imam Bukhari.
Imam Bukhari adalah orang yang pertama kali menyusun kitab hadis yang
secara khusus menghimpun hadis-hadis yang berkualitas shohih saja. Kemudian diikuti
oleh muridnya, Abu al-H{usai>n Muslim bin al-H{ajja>j al-Nai>sa>bu>ry atau Imam Muslim.17
Bukhari sendiri menyatakan bahwa hadis-hadis yang dicantumkannya dalam kitab
tersebut adalah hadis-hadis shohih yang dipilih dari sekian banyak hadis shohih.18
Karya Imam Bukhari, al-Ja>mi’ al-Shoh}ih> atau yang dikenal dengan Sahih
Bukhari, merupakan masterpiece dalam bidang hadis. Apresiasi dan pengakuan para
ulama terhadap kitab ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian tentang kitab
tersebut sepanjang zaman sejak munculnya kitab tersebut. Adz-Dzahabi menilai bahwa
kitab tersebut merupakan kitab paling utama dan paling tinggi kedudukannya setelah
Kitab Allah, al-Qur’a>n.19 Bahkan, menurut al-Nawawy, para ulama telah sepakat
bahwa kitab shohih al-Bukhari—juga shohih Muslim—adalah kitab yang paling shohih
setelah al-Qur’a>n dan hadis-hadisnya diterima kesahihannya di tengah umat Islam.20
Di samping apresiasi yang tinggi, muncul pula kritikan terhadap kitab tersebut
baik dari kalangan peneliti klasik (mutaqaddimin) maupun kontemporer
(muta’akhirin). Di antara mereka adalah al-Imam ad-Daruquthny (w. 385 H) dalam
Kitabnya Al-Ilzama>t wa al-Tatabu’.21 Adapun dari kalangan peneliti kontemporer; al-

17
Ibrahim bin Musa bin Ayub al-Abnasy. Asy-Syadz al-Fiyah min ‘Ulumil Hadis. Tahqiq: Sholah Fathi
Hilal (Riyadh: Maktabah Rusyd, Cet. 1: 1418 H/1998 M) Juz 1, hlm. 82. Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib
ar-Rowi fi Syarh Taqrib an-Nawawi. Juz 1 hlm. 117. Ibnu Sholah. Ulum al-Hadits. Hlm. 17. Nuruddin
‘Itr. Manhaj an-Naqd, hlm. 251. As-Sakhowy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits. Tahqiq: ‘Abdul
Karim al-Khudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1,
1418 H), hlm. 46
18
Adz-Dzahaby, Siyar A’lam an-Nubala’ (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M) Juz 10,
hlm. 96 dan Juz 12 hlm. 302
19
Siddiq Hasan Al-Qonujy, Al-Hitthoh fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah. Tahqiq: Ali Hasan al-Hlm.aby
(Beirut: Dar al-Jail, tanpa tahun), hlm. 312
20
An-Nawawi. Muqoddimah Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim. Juz 1 hlm. 14, Ibnu Sholah. Ulum
al-Hadis, hlm. 28, Ibnu Katsir. Al-Ba’its al-Hatsis Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits. Tahqiq: Syaikh
Ahmad Syakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tanpa tahun), hlm. 34. Sa’aduddin al-Kaby.
Muqaddimimah an-Nawawi fi Ulum al-Hadits. Hlm. 12
21
Ad-Daruquthny, Al-Ilzamat wa At-Tatabu’, Studi dan tahqiq; Muqbil bin Hadi al-Wadi’y. (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet. 2. 1405 H/1985 M)

5
Kautsary (w. 1371 H)22, Muhammad al-Ghozali (w. 1996 M)23 , Abu Rayah24, dan lain-
lain.
Di sisi lain, cukup banyak ulama hadis yang menyebutkan tentang ketinggian
syarat Sahih al-Bukhari dan juga muslim sebagai syarat tertinggi dalam kesahihan
hadis.25 Namun, syarat-syarat keshohihan apa saja yang menjadi standar untuk
menyeleksi hadis dalam Kitab al-Ja>mi’ al-Shoh}i>h, al-Bukhari sendiri tidak
26
menjelaskannya. Hal inilah yang memancing minat para peneliti hadis sejak dulu
untuk berusaha merumuskannya. Perumusan syarat sahih al-Bukhari dan manh}a>j-nya
dalam pencantuman hadis-hadisnya dilakukan dengan metode induktif (al-Istiqro>’iy)
yaitu meneliti hadis-hadis al-Ja>mi’ al-Shoh}i>h untuk mendapatkan kesimpulan umum
tentang syarat-syaratnya.27
Di antara ulama yang membahas dan merumuskan tentang syarat shohih al-
Bukhari adalah al-Hakim (w. 405 H), Muhammad Thohir al-Maqdisy (w. 507 H), al-
Hazimy (w. 584 H), an-Nawawy (w. 676 H), Ibnu Daqieq al-‘Ied (w. 702 H). Dalam
kenyataan, pendapat dan teori mereka tentang syarat al-Bukhari ternyata tidak sama
bahkan terjadi pro-kontra pendapat.
Muhibbin28 adalah salah seorang peneliti yang menyorot realitas yang terjadi
dalam lapangan‘Ulu>m al-H{adi>th ini dalam disertasi doktoralnya. Muhibbin mengkritisi

22
Muhammad bin Zahid al-Kautsary. Lahir di Turki tahun 1296 H. Wafat di Mesir tahun 1371 H.
Seorang peneliti hadis dan banyak memiliki tulisan dalam ilmu hadis. Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah.
Madinah al-Munawwarah no. 27.
23
Penulis Kitab ‚As-Sunah an-Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits‛. Dalam Kitab tersebut
Muhammad al-Ghozali mengkritik metode ulama hadis dalam memahami hadis dan juga mengkritik
keshohihan sejumlah hadis.
24
Muhammad Abu Rayyah, Adwa’ Ala as-Sunah al-Muhammadiyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, Cet. 6,
Tanpa tahun)
25
As-Suyuthi. Tadrib ar-Rowy. 1/122-123
26
As-Sakhowy. Fath al-Mughits. Tahqiq Abdul Karim al-Khudhoir dan Muhammad bin Abdullah Alu
Fuhaid (ar-Riyadh : Maktabah Dar al-Minhaj, cet. 1, 1426 H), hlm. 81-82
27
Sholih Muhammad bin Sholih as-Syahir. Al-Ahadits allati yuriduha al-Imam al-Bukhari fi Tarajim al-
Abwab wala yasrah bi kauniha ahadits, wa laisat ‘ala syartihi (Tesis magister, Kuliyah Dakwah wa
Ushuluddin, Qism Dirasat al-Ulya, program studi al-Kitab wa As-Sunah, Jami’ah Ummu al-Quro’, 1421
H, tidak dicetak) hlm. 81
28
Muhibbin. Lahir di Demak, tahun 1960. Menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Syari’ah IAIN Wali
Songo Semarang. Lulus tahun 1980. Melanjutkan pendidikan Pascasarjana di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan meraih gelar master tahun 1994 dan gelar doktor tahun 2003. Disertasi doktoralnya
berjudul ‚Telaah Ulang atas Kriteria Kesahihan Hadis-Hadis al-Jami’ as-Shohih‛ dibimbing oleh Prof.
DR. Said Agil Munawwar, MA dan Prof. DR. Qodri Azizy, MA dan telah diujikan secara terbuka pada
tanggal 27 Desember 2003 di hadapan dewan penguji yang diketuai oleh Prof.DR. M. Amin Abdullah,
MA. Beberapa karya tulis Muhibbin antara lain ‚Hadis-hadis politik‛ (diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
Yogyakarta), ‚Sejarah Ilmu Hadis‛ (diterbitkan oleh Penerbit Gunung Jati Semarang), ‚Pandangan
Empat Ulama Pendiri Madzhab terhadap Hadis‛, ‚Imam al-Bukhari , Seorang Tokoh Hadis Dan Ahli
Fikih‛, dll

6
syarat-syarat shohih yang disampaikan para ulama tersebut. Namun sayangnya,
Muhibbin mengklaim adanya kelemahan al-Bukhari dalam meneliti hadis,
mendho’ifkan beberapa hadis dalam Sahih al-Bukhari dan menyatakan al-Bukhari
tidak melakukan kritik matan (naqd matn al-Hadith) dengan bukti pendho’ifannya atas
hadis-hadis al-Bukhari dari aspek matan.
Tulisan ini akan menelaah kembali hasil penelitian Muhibbin terutama pada
klaim kedho’ifan hadis-hadis al-Bukhari dan perspektifnya dalam menilai syarat shohih
al-Bukhari. Melalui tulisan ini, diharapkan akan terungkap pula kedalaman manhaj al-
Bukhari dalam seleksi hadis-hadisnya dan metode pencantuman hadis dan penyusuan
kitab al-Ja>mi’ al-Shoh}i>h.29
Tulisan ini diharapkan dapat menyodorkan sejumlah argumentasi (iqo>mat al-
hujjah) bagi upaya pembelaan terhadap sunah-sunah Nabi SAW (al-Difa’ ‘an al-
Sunnah al-Nabawiyyah) sehingga hasil penelitian semacam itu tidak digunakan oleh
aktivis ingkar as-sunnah sebagai ‚senjata‛ untuk merobohkan salah satu dari
marja’iyyah al-‘ulya> fi> al-Isla>m melalui tasyki>k (upaya meragukan) terhadap shohih al-
Bukhari, dan bisa ber-‚efek domino‛ dan menjadi ‚bola salju‛ tasyki>k terhadap kitab-
kitab hadis lain di bawah level Sahih Bukhari dari kutub al-sittah 30 atau dari kutub al-
tis’ah31 .

29
Tulisan ini bersumber dari terjemahan Skripsi penulis yang berjudul ‚Isykaliyah Haula Ahadits al-
Bukhari wa Syarth Shohihihi fi al-Jami’ As-Shohih; Dirasah Tahliliyah Naqdiyah ‘an Risalah Duktuurah
Muhibbin‛. Skripsi tersebut disusun dibawah bimbingan Prof.DR. Zainul Arifin, MA dan diajukan
kepada Kelas Khusus Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana (S1) dalam bidang Tafsir-Hadis. Skripsi tersebut telah
diujikan oleh tim penguji dibawah pimpinan Prof.Dr. Zainul Arifin, MA pada tanggal 30 Agustus 2009
dan telah dinyatakan lulus pada tanggal 31 Agustus 2009.
30
Yaitu Kitab Shohih Bukhari sendiri, Shohih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Al-
Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah
31
Yaitu Kitab yang enam (al-Sittah) ditambah al-Muwatho Imam Malik, Musnad Imam Ahmad dan
Sunan Al-Darimy.

Anda mungkin juga menyukai